20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Sistiserkosis pada Serum Contoh Total Penelitian ini memeriksa serum babi sebanyak 39 contoh (Tabel 1). Babi yang diambil serumnya dalam penelitian ini berasal dari peternakan rakyat di Distrik Assologaima dan Wamena Kota. Penelitian ini tidak mempertimbangkan bobot badan, ras, dan umur dari babi yang digunakan.
Tabel 2 Persentase status serum berdasarkan distrik asal babi Distrik
Total serum
Positif Jumlah
Negatif %
Jumlah
%
Assologaima
22
7
33.3
15
68.2
Wamena Kota
17
1
5.9
16
94.1
Total
39
8
20.5
31
88.6
Tabel 3 Kejadian sistiserkosis pada babi yang disembelih dan dijual di Pasar Jibama Kabupaten Jayawijaya (Maitindom 2008) Distrik
Jumlah babi
Positif
Prevalensi (%)
Assologaima
7
5
71.4
Wamena Kota
5
2
40.0
12
7
58.3
Total
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebanyak delapan (20.5%) serum contoh positif mengandung antigen Cysticercus cellulosae dan sebanyak 31 (88.6%) serum contoh tidak mengandung antigen Cysticercus cellulosae. Menurut hasil pemeriksaan postmortem yang dilakukan oleh Maitindom (2008), kasus sistiserkosis pada babi asal Distrik Assologaima dan Wamena Kota yang disembelih di Pasar Jibaman sebesar 58.3% (7/12) (Tabel 3).
Kedua hasil
penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang sangat besar. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu pemeriksaan dan jumlah contoh yang diperiksa. Jumlah contoh yang diperiksa dalam penelitian Maitindom (2008) sangat sedikit sehingga satu temuan positif akan memberikan persentase kasus yang besar.
21
Kedua penelitian tersebut juga menggunakan metode pemeriksaan yang berbeda yaitu pemeriksaan postmortem dan teknik Ag-ELISA. Masing-masing metode tersebut miliki tingkat sensitifitas dan spesifitas berbeda, sehingga dapat memberikan hasil uji yang berbeda. Biasanya pemeriksaan postmortem akan memberikan hasil positif yang lebih rendah dibandingkan dengan Ag-ELISA. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sensitivitas yang dimiliki pemeriksaan postmortem. Efek dari rendahnya sensitivitas suatu uji untuk mendeteksi sistiserkosis menyebabkan tidak terdeteksinya Cysticercus cellulosae pada tingkat infeksi ringan (predominan). Hasil pemeriksaan postmortem juga sangat dipengaruhi oleh keterampilan dan kejelian dari pemeriksa daging (meat inspector) (Kebede 2008). Ag-ELISA memiliki sensitifitas yang lebih tinggi daripada pemeriksaan postmortem sehingga mampu mendeteksi sistiserkosis pada tingkat infeksi rendah (Dorny et al. 2000). Metode Ag-ELISA yang digunakan dalam penelitian ini bersifat genus spesifik. Sifat ini menyebabkan terdeteksinya antigen dari metacestoda spesies cacing lainnya akibat reaksi silang. Antigen sistiserkus lain yang dapat dideteksi oleh antigen pendeteksi ELISA ini antara lain yaitu Cysticercus bovis (T. saginata), metacestoda dari Taenia asiatica dan Cysticercus tenuicollis dari Taenia hydatigena (ITM 2009).
Namun, hasil penelitian ini bebas dari
kemungkinan reaksi silang antara Cysticercus cellulosae dengan metacestoda lainnya. Menurut hasil pemeriksaan molekular dan serologis yang dilakukan oleh Ito et al. (2008) terhadap penyebab sistiserkosis di Papua ditemukan bahwa Cysticercus cellulosae adalah satu-satunya penyebab zoonosis tersebut. Penyebab terjadinya reaksi silang antar antigen di atas disebabkan oleh banyaknya kesamaan komponen antigen dari sistiserkus tersebut yang ditangkap oleh antibodi pendeteksi (Sciuto et al.
2007).
Penelitian ini menggunakan
monoklonal antibodi (mAb) B158 sebagai antibodi penangkap dan pendeteksi. Menurut Deckers dan Dorny (2010), hubungan antara mAb B158 dengan antigen dari Cysticercus sp. belum dapat dipastikan. Diduga mAb B158 reaktif terhadap karbohidrat atau protein dari tegumen yang terkandung dalam E/S sistiserkus. Menurut Emmanuel (2004), walaupun terdapat banyak kesamaan komponen penyusun E/S dari sistiserkus dari anggota genus Taenia terdapat fraksi protein
22
spesifik yang berbeda dari masing-masingnya.
Sebagai contoh, antigen
Cysticercus cellulosae dan Cysticercus tenuicollis memiliki perbedaan pada fraksi protein 14 kDa. Terjadinya reaksi silang ini menunjukkan bahwa mAb B158 tidak berikatan dengan epitop yang spesifik dari masing-masing metacestoda dari genus Taenia. Reaksi silang yang terjadi seperti di atas berpotensi untuk menganggu akurasi uji apabila digunakan pada populasi babi yang dipelihara di wilayah endemis Taenia sp selain Taenia solium.
Sebagai contoh, Kabupaten Flores
Timur, NTT merupakan wilayah endemis sistiserkosis dengan agennya adalah Cysticercus tenuicollis (Saleh 2010).
Bali merupakan daerah endemis
sistiserkosis dengan agen penyebabnya tidak hanya Cysticercus cellulosae, melainkan ditemukan juga Cysticercus bovis. Metacestoda dari Taenia asiatica pernah ditemukan menjadi agen penyebab sistiserkosis di Pulau Samosir, Sumatera Utara (Ito et al. 2008). Permasalahan reaksi silang yang mungkin terjadi dalam kondisi di atas dapat diatasi dengan melakukan pemeriksaan serologis dan morfologis. Berdasarkan data pada Tabel 2, prevalensi sistiserkosis di Distrik Assologaima termasuk dalam kategori daerah endemik. Kategori endemik ini diambil berdasarkan persentase kasus sistiserkosis yang ditemukan lebih dari sepuluh persen. Distrik Wamena Kota termasuk kategori daerah non-endemik karena persentasenya kasus sistiserkosis yang ditemukan dibawah sepuluh persen. Pengkatagorian ini sesuai dari pernyataan Garcia et al. (2003) yang menyatakan bahwa suatu daerah dikatakan endemis sistiserkosis bila memiliki prevalensi penyakit ini lebih dari sepuluh persen. Noble dan Noble (1989) menyatakan bahwa prevalensi sistiserkosis pada daerah non-endemis biasanya kurang dari satu sampai dua persen. Perbedaan persentase kasus sistiserkosis di kedua wilayah ini berkaitan dengan keadaan sanitasi lingkungan, menejemen peternakan babi, dan keberadaan penderita taeniasis.
Ditinjau dari sanitasi lingkungannya, keadaan Distrik
Assologaima lebih buruk dibandingkan dengan Distrik Wamena Kota (Maitindom 2008). Keadaan sanitasi lingkungan tersebut dapat dicerminkan dari toilet yang dimiliki oleh masyakat. Gambar 5 (a) menunjukkan bahwa persentase masyarakat
23
Assologaima yang memiliki toilet lebih rendah daripada masyarakat Wamena Kota.
Gambar 5 (a dan b) juga menunjukkan adanya hubungan antara
kepemilikan toilet dan kasus sistiserkosis pada babi di kedua distrik tersebut. Semakin tinggi persentase masyarakat yang memiliki toilet maka kejadian sistiserkosis pada babi akan rendah dan semakin rendah persentase masyarakat yang memiliki toilet maka kejadian sistiserkosis pada babi semakin tinggi.
a Gambar 5
b Persentase sistiserkosis pada babi yang berasal dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota (a) dan kepemilikan toilet dari masyarakat Distrik Assologaima dan Wamena Kota (b).
Menurut Purba et al. (2003), toilet dengan kejadian sistiserkosis memiliki hubungan dengan nilai odds ratio sebesar 6.2. Nilai ini bermakna bahwa dengan memiliki toilet maka dapat menurunkan sistiserkosis sebesar 6.2 kali daripada yang tidak memiliki toilet. Flores et al. (2001) melaporkan bahwa kepemilikan toilet dan kesadaran masyarakat untuk defekasi tidak di sembarang tempat berhasil menurunkan kasus sistiserkosis di Meksiko hingga 50%. Fungsi dari toilet dalam menekan penyakit ini adalah mencegah pencemaran dari feses
24
manusia yang mengandung telur infektif Taenia solium. Keberadaan telur infektif Taenia solium di lingkungan harus dicegah karena telur ini mampu bertahan lama di lingkungan. Menurut Soulsby (1986), telur infektif dari Taenia solium mampu bertahan hidup selama 71 hari dalam feses basah, 16 hari dalam sampah, 8 minggu pada daerah yang kering, dan 14.5 minggu dalam lahan penggembalaan.
Tabel 4 Persentase sistem perkandangan dari peternakan babi yang dimiliki masyarakat lokal (Maitindom 2008) Distrik
Jumlah
Sistem perkandangan Dikandangkan
%
Diumbar
%
Assologaima
59
24
40.7
35
59.3
Wamena Kota
45
12
26.7
33
73.3
Tabel 5 Keadaan sanitasi lingkungan peternakan babi (Maitindom 2008) Keadaan sanitasi lingkungan Distrik
Luar kandang Kotor
%
Dalam kandang
Bersih
Assologaima
35
100
-
Wamena Kota
30
85.7
5
%
14.2
Kotor
%
Bersih
%
35
100
-
0
25
71.4
10
28.6
Sistem perkandangan yang dilakukan oleh peternak terhadap babinya merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian sistiserkosis pada babi. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa peternakan babi di Distrik Assologaima lebih banyak yang telah mengandangkan hewan ternaknya dibandingkan dengan peternakan di Wamena Kota. Masyarakat Assologaima telah mengandangkan hewan ternaknya, namun kejadian sistiserkosis di Assologaima lebih besar daripada Wamena Kota.
Fenomena kasus tersebut dipengaruhi oleh keadaan
sanitasi kandang. Tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi sanitasi kandang babi di Assologaima lebih buruk dibandingkan dengan kandang babi di Wamena Kota. Gweba et al. (2010) menyatakan bahwa sistiserkosis pada babi dipengaruhi oleh kemiskinan, ketiadaan toilet, dan adanya kontak antara babi dengan feses manusia baik yang dikandangkan maupun yang diumbar.
25
Pada tahun 2005 Subahar et al. melakukan penelitian terhadap taeniasis dan sistiserkosis pada penduduk Distrik Wamena Kota dan Assologaima. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan sebesar 68.4% (26/38) penduduk Distrik Wamena Kota dan sebesar 35.5% (18/51) penduduk Assologaima memiliki antibodi terhadap sistiserkosis.
Pemeriksaan lanjutan menggunakan teknik ELISA-
koproantigen selanjutnya dilakukan terhadap penduduk yang diduga penderita taeniasis.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan ini yaitu ditemukan tiga
penduduk Distrik Assologaima fesesnya positif mengandung antigen cacing Taenia solium.
Penderita taeniasis merupakan sumber kontaminan dari
lingkungannya sehingga dapat diketahui bahwa Distrik Assologaima memiliki sumber kontaminan sedangkan pada Distrik Wamena Kota tidak terdapat sumber kontaminan telur infektif Taenia solium. Kasus taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan higiene personal, pemeriksaan daging babi, dan cara mengolah daging babi sebelum dikonsumsi. Higiene personal berperan untuk mencegah masuknya telur Taenia solium infektif ke dalam tubuh manusia. Wujud dari higiene personal antara lain yaitu mencuci tangan sebelum makan, mandi, memakai alas kaki dan memasak air minum. Menurut Purba et al. (2003), mencuci tangan sebelum makan memiliki korelasi terhadap kejadian sistiserkosis. Nilai odd ratio dari dua hal di atas sebesar 4.9, nilai ini bermakna bahwa mencuci tangan dapat menurunkan peluang seseorang untuk terjangkit sistiserkosis sebesar 4.9 kali. Mandi setiap hari juga dapat menurunkan peluang seseorang untuk terjangkit sistiserkosis sebesar 2.59. Memasak air sebelum dikonsumsi merupakan salah satu tindakan higiene pangan yang bertujuan untuk mematikan telur Taenia solium infektif dalam air. Seseorang memiliki risiko menderita sistiserkosis lebih besar bila mengkonsumsi air mentah dibandingkan dengan air matang. Penularan Cysticercus cellulosae pada manusia sangat berhubungan erat dengan pola pengolahan daging babi sebelum dikonsumsi. Berdasarkan data pada Tabel 6 diketahui bahwa persentase masyarakat Assologaima yang mengolah makanannya dengan cara dimasak terlebih dahulu lebih rendah dibandingkan masyarakat Wamena Kota. Persentase masyarakat yang mengolah daging secara dibakar lebih besar dibandingkan masyarakat Wamena dan ditemukan masyarakat
26
di Distrik Assologaima yang mengkonsumsi daging babi mentah. Masyarakat yang mengkonsumsi daging babi bakar dan mentah memiliki risiko besar untuk menderita taeniasis. Hal ini disebabkan oleh Cysticercus cellulosae dalam daging babi akan mati dalam pemanasan sempurna yaitu diatas suhu 60 °C (Soejoedono 2004). Upacara Bakar Batu yang dilakukan oleh masyarakat setempat memiliki resiko sebagai cara masuk sistiserkus kepada manusia bila tidak dilakukan dengan pemanasan dan lama pembakaran yang tepat.
Masyarakat Papua memiliki
kebiasaan menghidangkan daging dan makanan lain yang telah dimasak dalam Bakar Batu di atas tanah yang dialasi dengan dedaunan dan rumput-rumputan untuk dimakan bersama-sama. Hal ini memiliki resiko terjadinya pencemaran telur Taenia solium infektif dari tanah dan alas makan tersebut (Maitindom 2008).
Tabel 6 Pola mengolah daging babi oleh masyarakat lokal (Maitindom 2008) Jumlah
Distrik
Pola mengolah daging babi Masak
%
Bakar
%
Mentah
%
Assologaima
45
18
4.0
14
31.1
13
28.9
Wamena Kota
35
22
62.8
13
37.1
0
0
Prevalensi Sistiserkosis berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 7 Persentase serum positif berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin
Jumlah Serum
Kejadian sistiserkosis Positif
%
Negatif
%
Jantan
18
3
16.7
15
83.3
Betina
21
6
28.6
15
71.4
39
9
23.1
30
76.9
Total
Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase babi yang menderita sistiserkosis lebih besar dialami oleh babi betina dibandingkan jantan. Risiko relatif (RR) babi betina untuk menderita sistiserkosis 1.7 kali lebih besar daripada babi jantan. Hal ini menunjukkan bahwa babi betina beresiko mengalami sistiserkosis 1.7 kali lebih besar daripada babi jantan. Keadaan ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan tanggap kebal yang diberikan oleh babi betina dan jantan terhadap
27
paparan telur infektif Taenia solium dari lingkungan. Perbedaan respon tanggap kebal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu hormonal, kecukupan nutrisi, dan keadaan fisiologis. Hewan jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan hormon reproduksi yang berpengaruh terhadap sistem tanggap kebal tubuh dan perkembangan parasit dalam tubuh.
Pada tahun 2010 Escobedo et al. melakukan penelitian yang
mengkaji pengaruh hormon reproduksi terhadap perkembangan sistiserkus di media biakan in-vitro. Hasil penelitian ini menenunjukkan bahwa progesteron dapat memacu perkembangan onkosfer di media biakan tersebut. Progesteron memberikan korelasi positif terhadap proses evaginasi skoleks pada jaringan tubuh dan motilitas onkosfer.
Semakin tinggi kadar progesteron maka laju
evaginasi skoleks dan motilitas sistiserkus semakin tinggi dan begitu pula sebaliknya. Menurut Morales et al. (2002), kejadian sistiserkosis babi betina bunting dan jantan kastrasi meningkat sebesar 20%-50% dari keadaan tidak bunting dan tidak dikastrasi.
Fenomena ini terjadi akibat terdapat perbedaan
kadar hormon androgen dan progesteron. Pada babi jantan kastrasi mengalami perubahan pada hormon androgennya bila dibandingkan dengan jantan normal. Kadar progesteron pada betina bunting lebih tinggi dibandingkan betina tidak bunting. Hormon reproduksi juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dari seekor hewan terhadap infeksi onkosfer.
Kadar hormon reproduksi mempengaruhi
kemampuan fungsi makrofag, reaksi peradangan, dan kerja dari sistem pertahanan seluler dalam menghadapi antigen.
Hormon progesteron bersifat sebagai
immunosuppressive (menekan fungsi imun).
Progesteron bekerja menekan
aktivitas makrofag dan Natural Killer Cell (NK Cell). Hormon estrogen berfungsi untuk meningkatkan sirkulasi darah sehingga pergerakan dari limfosit meningkat (Klein 2004). Hormon testosteron berfungsi memperkuat sistem kebal tubuh (Guyton & Hall 1995).
Kadar hormon reproduksi ini berkaitan dengan fase
reproduksi dari masing-masing individu hewan. Fase reproduksi ini merupakan keadaan fisiologis tubuh yang memberikan pengaruh terhadap ketahanan diri terhadap paparan agen parasitik dari lingkungan.
28
Kecukupan nutrisi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan sistem tanggap kebal tubuh dalam menghadapi infeksi antigen. Setiap individu memiliki kebutuhan nutrisi yang berbeda tergantung dari keadaan fisiologis tubuhnya. Babi betina yang sedang bunting dan menyusui membutuhkan nutrisi lebih banyak dibandingkan babi jantan (Sihombing 2006). Namun, babi pada saat bunting kemampuan untuk mengkonsumsi pakan menurun. Keadaan ini perlu diatasi dengan tindakan tepat agar babi bunting tersebut tidak mengalami penurunan kekuatan sistem tanggap kebal tubuh. Salah satu solusinya adalah memberikan pakan bermutu tinggi dan ditambahkan suplemen vitamin bila diperlukan. Ubi jalar (Ipomoea batatas) berkualitas rendah merupakan pakan utama dari babi yang digunakan dalam penelitian ini. Ubi jalar memiliki kandungan protein yang rendah (sebesar 17%), serat kasar tinggi ( sebesar 14.2%), dan zat anti nutrisi yang tinggi (Du Thanh et al. 2009; Nguyen et al. 2010). Zat anti nutrisi yang terkandung dalam ubi jalar berupa linamarin, asam oxalat, phitat, asam tanin, dan chymotrypsin inhibitor. Ditinjau dari kebutuhan nutrisinya, ternak babi yang hanya diberi pakan ubi jalar dapat mengalami kekurangan protein dan mineral seperti kalsium (Ca) dan fosfor (P) (Balitnak 2008).
Salah satu efek yang
ditimbulkan oleh defisiensi protein adalah rendahnya imunitas tubuh. Hal ini menyebabkan individu rentan terhadap paparan telur infektif Taenia solium dan bagi babi yang laktasi tidak dapat memberikan maternal antibody yang baik untuk anaknya. Menurut Sikasunge et al. (2009), maternal antibody anti-Cysticercus cellulosae yang diberikan oleh induk kepada anak babi dapat mencegah dan melindungi babi tersebut hingga berusia lima minggu. Oleh karena hal tersebut maka sebaiknya babi betina yang sedang bunting dan menyusui diberi pakan yang mencukupi kebutuhan nutrisinya.