HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Tepung Gaplek Menurut Soetanto (2008), umbi ketela atau singkong umumnya dapat dipanen saat tanaman berumur 6-12 bulan setelah tanam. Pada penelitian ini bahan dasar tepung gaplek adalah singkong kuning yang dipanen pada umur 6-9 bulan. Proses pembuatan tepung gaplek meliputi pengupasan, pencucian dan perendaman dalam air mengalir selanjutnya singkong dikeringkan dan digiling (dihaluskan) dan diayak sehingga diperoleh tepung gaplek. Tahap awal dalam pembuatan tepung gaplek adalah pengupasan dan pencucian singkong segar. Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses pencucian karena secara tidak langsung memiliki efek membersihkan. Perendaman dapat menghilangkan seluruh sianida bebas karena proses pencucian dalam air mengalir cukup ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun (Astawan 2004). Proses selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari selama 5-7 hari sampai singkong kering. Pengeringan berlangsung dalam waktu yang cukup lama karena singkong dikeringkan dalam bentuk utuh tanpa diiris-iris. Hasil dari pengeringan adalah gaplek utuh yang kemudian digiling dan diayak sehingga diperoleh tepung gaplek.
Gambar 3 Tepung gaplek
Rendemen Tepung Gaplek Rendemen merupakan perbandingan berat akhir tepung dengan berat awal bahan baku yang digunakan. Nilai rendemen dapat digunakan untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk. Semakin tinggi nilai rendemen maka semakin ekonomis suatu produk, begitu juga sebaliknya (Melani 2002). Nilai rendemen tepung gaplek adalah sebesar 29,2%. Rendahnya nilai rendeman tepung gaplek karena singkong mentah memiliki kadar air yang tinggi yaitu 60% (Depkes 2005), sehingga ketika dikeringkan bobotnya menyusut lebih dari setengahnya.
31
Komposisi Zat Gizi Tepung Gaplek Komposisi zat tepung gaplek yang dianalisis antara lain adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat makanan. Tabel 9 menampilkan komposisi zat gizi tepung gaplek. Tabel 9 Komposisi zat gizi tepung gaplek hasil analisis Komposisi zat gizi per 100 g Tepung gaplek SNI* Energi (kkal) 390 Protein (g) 1,6 Lemak (g) 0,5 Karbohidrat (g) 94,9 Min. 68 Serat (g) 5,5 Maks.5 Abu (g) 2,7 Maks. 3 Air (g) 9,2 Maks. 14 *Sumber: Badan Standarisasi Nasional (SNI.No.01.2905.1992)
Hasil analisis tepung gaplek menunjukkan bahwa tepung gaplek yang dibuat telah memenuhi SNI untuk tepung gaplek untuk kadar karbohidrat, kadar abu dan kadar air. Namun, hasil analisis kadar serat tepung yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan SNI kadar serat tepung gaplek. Pengolahan Berbagai Jenis Tiwul Tiwul Konvensional Tiwul konvensional adalah tiwul yang dibuat sendiri oleh peneliti. Pada pembuatan tiwul konvensional, bahan yang digunakan adalah tepung gaplek dan air tanpa adanya tambahan pemanis dan garam sehingga tiwul yang dihasilkan tawar. Pembuatan tiwul konvensional dilakukan dengan menambahkan air sedikit demi sedikit pada tepung gaplek ke dalam tampah dengan perbandingan 1:1 (air:tepung), kemudian tampah diputar hingga diperoleh gumpalan (granula). Granula tiwul kemudian dikukus selama 20 menit sampai matang (Lampiran 1). Tiwul Instan Tinggi Protein Tiwul instan tinggi protein adalah tiwul yang dibuat sendiri oleh peneliti. Berbeda dengan tiwul konvensional yang umumnya berasal dari tepung gaplek yang diperciki air kemudian dikukus, tiwul instan tinggi protein ini berbentuk kering sehingga dapat tahan lebih lama. Proses pengolahan untuk menyajikan tiwul instan tinggi protein ini adalah dengan menambahkan air. Setelah penambahan air, tiwul dikukus sampai matang dan disajikan. Proses pembuatan tiwul instan tinggi protein terdapat pada Lampiran 1. Peningkatan nilai gizi tiwul dapat dilakukan dengan penambahan protein sehingga tiwul tidak hanya sebagai pangan sumber karbohidrat tetapi mampu membantu mencukupi kebutuhan
32
protein. Protein yang terdapat pada produk ini berasal dari penambahan tepung isolat protein kedelai (ISP). Trial and error telah dilakukan sebelumnya untuk memperoleh cara pembuatan tiwul yang sesuai. Trial and error ini dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang ditambahkan dan waktu pengukusan yang tepat untuk menghasilkan tiwul dengan kematangan yang sempurna. Berdasarkan hasil trial and error, perbandingan yang digunakan untuk penambahan jumlah air adalah 1:1 untuk air berbanding tiwul kering. Untuk menyajikan 100 g tiwul instan tinggi protein kering ditambahkan dengan 100 ml air yang dituangkan kedalam tiwul, kemudian didiamkan selama ±3 menit. Selanjutnya adalah proses pengukusan yang berlangsung selama 20 menit. Setelah matang tiwul siap disajikan. Hasil trial and error ini juga didukung oleh hasil penelitian Yuliawati (1999), mengenai penambahan berbagai jenis tepung dalam pembuatan tiwul modifikasi. Pada pembuatan tiwul modifikasi, perbandingan jumlah air dan tepung yang digunakan adalah 1:1 dengan waktu pengukusan 20 menit pada suhu 100ºC. Perlakukan tiwul instan tinggi protein dibedakan berdasarkan dua faktor yaitu campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai. Penambahan konsentrasi isolat protein kedelai ditetapkan berdasarkan Acuan Label Gizi (ALG) tahun 2007 yang menjelaskan bahwa suatu produk yang menyatakan kaya dalam setiap suatu zat gizi harus mengandung zat gizi tersebut paling sedikit 20% ALG dalam setiap ukuran saji (BPOM 2007). Berdasarkan ALG (2007), protein untuk kelompok usia umum adalah 60 g. Oleh karena itu, penambahan konsentrasi isolat protein kedelai dibedakan menjadi 3 taraf yaitu 25%, 30%, dan 35% dari total jumlah tepung gaplek dan tepung singkong yang digunakan. Formula pembuatan tiwul instan tinggi protein terdiri atas tepung gaplek, tepung singkong, isolat protein kedelai, sukralosa, garam, dan flavour powder. Penambahan bahan-bahan tersebut dimaksudkan agar tiwul instan tinggi protein yang dibuat memiliki penampakan dan rasa yang hampir sama dengan produk tiwul instan komersial. Berikut adalah tabel formulasi tiwul instan tinggi protein.
33
Tabel 10 Formulasi tiwul instan tinggi protein Formula (g) Bahan Pangan F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 Tepung 50,00 50,00 50,00 66,67 66,67 66,67 33,33 gaplek Tepung 50,00 50,00 50,00 33,33 33,33 33,33 66,67 singkong Isolat Protein 25,00 30,00 35,00 25,00 30,00 35,00 25,00 Kedelai (ISP) Sukralosa 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 0,03 Flavour 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 Garam 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 Keterangan: F1 : Formula 1:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 25% ISP F2 : Formula 1:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 30% ISP F3 : Formula 1:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 35% ISP F4 : Formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 25% ISP F5 : Formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 30% ISP F6 : Formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong), 35% ISP F7 : Formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong), 25% ISP F8 : Formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong), 30% ISP F9 : Formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong), 35% ISP
F8
F9
33,33
33,33
66,67
66,67
30,00
35,00
0,03 0,13 0,13
0,03 0,13 0,13
Gambar 4 Penampakan formula tiwul instan tinggi protein
Pada pembuatan tiwul instan tinggi protein, sukralosa digunakan sebagai pengganti dari gula merah yang umum digunakan dalam pembuatan tiwul sebagai pemberi rasa manis. Penggunaan sukralosa dipilih sebagai pemanis karena sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa), sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan reproduksi, maupun efek karsinogenik. Keunggulan lain dari sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Brannen et al. 1990). Tingkat kemanisan sukralosa yang lebih tinggi dibandingkan sukrosa dapat memperkecil jumlah pemanis yang digunakan. Selain itu, ukuran partikel sukralosa yang lebih kecil dibandingkan gula biasa (sukrosa) memudahkan dalam proses pencampuran bahan-bahan pada saat dry mixing. Sukralosa yang digunakan pada penelitian ini sebesar 0,02% dimana jumlahnya masih dalam rentang aman digunakan. Berdasarkan peraturan BPOM (2004), batas maksimum penggunaan sukralosa sebesar 0-15 mg/kg BB.
34
Pencampuran tepung gaplek dan tepung singkong pada pembuatan tiwul instan tinggi protein bertujuan untuk memperbaiki tekstur tiwul sehingga tiwul yang dihasilkan memiliki tekstur kenyal. Selain itu, pada pembuatan tiwul instan tinggi protein juga ditambahkan flavour powder. Flavour powder yang digunakan adalah capucino flavour. Penggunaan capucino flavour ditujukan untuk mengurangi aroma apek yang diberasal dari tepung gaplek dan tepung singkong. Pemilihan capucino flavour didasarkan pada hasil trial and error. Jumlah capucino flavour yang digunakan sebanyak 0,09% dimana jumlahnya masih dalam
rentang
aman
digunakan.
Menurut
Peraturan
Menkes
RI
No.235/Men.Kes/Per/VI/79 penggunaan penyedap rasa dan aroma tidak dibatasi, namun sesuai dengan kebutuhan atau digunakan secukupnya (Sulaeman 1990). Proses pencampuran semua bahan-bahan tiwul instan tinggi protein dilakukan manual dengan cara dry mixing. Proses dry mixing dalam formulasi ini dilakukan dengan memasukan bahan-bahan tiwul instan tinggi protein yang telah ditimbang ke dalam plastik kemudian diisikan udara kedalam plastik tersebut sampai plastik mengembung dan plastik diputar hingga membentuk lingkaran sehingga tidak ada udara yang keluar. Plastik yang berisi bahan-bahan tersebut kemudian digerakan dengan cara mengocoknya hingga semua bahan tersebut tercampur. Pengocokan dilakukan selama ± 5 menit. Proses pencampuran dua material padat atau lebih untuk menghasilkan suatu campuran padat yang homogen disebut dry mixing. Dibandingkan dengan proses wet mixing, dry mixing memiliki beberapa kelebihan, antara lain proses lebih sederhana, biaya proses lebih murah, menghindari terjadinya reaksi antar bahan, dan lebih fleksibel terhadap perubahan resep. Tiwul Instan Komersial Tiwul instan komersial merupakan tiwul yang diproduksi oleh salah satu perusahaan yang berada di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Tiwul instan komersial yang digunakan adalah tiwul dengan merek “X” dengan rasa gula jawa yang dibeli pada bulan Agustus 2011. Komposisi tiwul instan komerisial yang terdapat pada kemasan terdiri tepung singkong, tepung jagung, tepung terigu, garam, gula jawa, vitamin A dan mineral (zat besi dan iodium). Cara penyajian tiwul instan komersial dapat dilihat pada Lampiran 1. Uji Organoleptik Pada penelitian ini dilakukan dua kali uji organoleptik. Uji organoleptik pertama dilakukan pada sembilan macam formula (F1-F9) tiwul instan tinggi
35
protein untuk menentukan satu formula terpilih. Uji organoleptik kedua dilakukan pada ketiga jenis tiwul yang akan diukur indeks glikemiknya yaitu tiwul konvensional, tiwul instan tinggi protein, dan tiwul instan komersial. Tujuan uji organoleptik kedua adalah untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap berbagai jenis tiwul dan juga untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap tiwul instan tinggi protein sebagai produk baru bila dibandingkan dengan jenis tiwul yang sudah umum beredar di masyarakat. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan (hedonik) dan mutu hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap tiwul instan tinggi protein meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Sedangkan uji mutu hedonik dilakukan untuk mengetahui kesan spesifik tiwul terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur. Uji organoleptik melibatkan 30 panelis semi terlatih yang terdiri dari mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat. Hasil uji organoleptik diolah dengan menggunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata (p<0,05), maka dilakukan uji lanjutan dengan Uji Duncan untuk menguji perbedaan dari semua pelalakuan. Uji Organoleptik I (Tiwul Instan Tinggi Protein) Uji organoleptik pertama dilakukan untuk menentukan satu formula terpilih dari sembilan formula tiwul instan tinggi protein. Uji organoleptik ini meliputi uji hedonik (uji kesukaan) dan uji mutu hedonik. Uji Mutu Hedonik Menurut Setyaningsih et al. (2010), uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui kesan panelis terhadap sifat produk secara lebih spesifik. Berdasarkan penilaian 30 panelis terhadap mutu hedonik tiwul instan tinggi protein, diketahui bahwa sembilan formula tiwul instan tinggi protein memiliki sifat mutu hedonik yang berbeda. Parameter yang diamati pada uji hedonik meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur. Warna. Warna merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan produk dan turut menentukan mutu produk. Warna tiwul instan tinggi protein ini dipengaruhi oleh bahan baku tepung gaplek, tepung singkong, dan isolat protein kedelai. Skor penilaian yang digunakan untuk menilai mutu hedonik warna produk dilakukan dengan cara menilai produk pada skala 1-7, yaitu (1) coklat kehitaman, (2) coklat tua, (3) coklat muda, (4) coklat kekuningan, (5)
36
kuning kecoklatan, (6) kuning tua, dan (7) kuning. Grafik hasil uji mutu hedonik warna tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 5.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 5 Grafik hasil uji mutu hedonik warna tiwul instan tinggi protein
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik, warna tiwul instan tinggi protein memperoleh skor antara 2,17 sampai 3,60 (coklat tua hingga coklat kekuningan). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa perbandingan campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penilaian panelis pada parameter warna (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan warna tiwul pada ke-9 formula. Pengaruh campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan isolat protein kedelai dapat terlihat pada skor mutu hedonik warna memiliki superscript yang berbeda pada masing-masing fomula (Gambar 5). Aroma. Menurut Vaclavik & Christian (2003), aroma merupakan hasil kombinasi antara rasa dan bau. Aroma dapat dideteksi melalui ephitelium olfaktori yang terdapat pada bagian atas dari rongga hidung. Skor penilaian yang digunakan untuk menilai mutu hedonik aroma produk dilakukan dengan cara menilai produk pada skala 1-7 yaitu, (1) sangat apek, (2) apek, (3) agak apek, (4) tidak apek/tidak harum, (5) agak harum, (6) harum, dan (7) sangat harum. Grafik hasil uji mutu hedonik aroma tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 6.
37
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 6 Grafik hasil uji mutu hedonik aroma tiwul instan tinggi protein
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik, aroma tiwul instan tinggi protein memperoleh skor antara 2,97 sampai 3,50 (agak apek hingga agak tidak apek/tidak harum). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa perbandingan campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penilaian panelis pada parameter aroma (Lampiran 6). Rasa. Menurut Winarno (2008), rasa merupakan salah satu faktor penentu daya terima konsumen terhadap suatu produk pangan. Rasa suatu bahan pangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa lain serta jenis dan lama pemasakan. Skor penilaian yang digunakan untuk menilai mutu hedonik rasa produk dilakukan dengan cara menilai produk pada skala 1-7 yaitu, (1) sangat pahit, (2) pahit, (3) agak pahit, (4) hambar (tidak berasa manis atau pahit), (5) agak manis, (6) manis, dan (7) sangat manis. Grafik hasil uji mutu hedonik rasa tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 7.
38
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 7 Grafik hasil uji mutu hedonik rasa tiwul instan tinggi protein
Berdasarkan hasil penilaian uji mutu hedonik, rasa tiwul instan tinggi protein memperoleh skor antara 3,43 sampai 4,20 (agak pahit hingga hambar atau tidak manis dan tidak pahit). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa perbandingan campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penilaian panelis pada parameter rasa (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rasa pada ke-9 formula tiwul. Pengaruh campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan isolat protein kedelai dapat terlihat pada skor mutu hedonik rasa memiliki superscript yang berbeda pada masing-masing fomula (Gambar 7). Tekstur. Tekstur merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan mutu produk. Pengindraan tekstur dapat berasal dari sentuhan dan ditangkap oleh permukaan kulit, tetapi biasanya untuk mengetahui tekstur suatu bahan dapat melalui ujung jari (Setyaningsih et al. 2010). Skor penilaian yang digunakan untuk menilai mutu hedonik tekstur produk dilakukan dengan cara menilai produk pada skala 1-7 yaitu, (1) sangat keras, (2) keras, (3) agak keras, (4) kenyal, (5) agak lembek, (6) lembek, dan (7) sangat lembek. Grafik hasil uji mutu hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 8.
39
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 8 Grafik hasil uji mutu hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein
Berdasarkan hasil penilaian uji mutu hedonik, tekstur tiwul instan tinggi protein memperoleh skor antara 3,03 sampai 4,50 (agak keras hingga agak lembek).
Analisis
sidik
ragam
menunjukkan
bahwa
perlakuan
berupa
perbandingan campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap penilaian panelis pada parameter tekstur. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekstur pada ke-9 formula (Lampiran 6). Pengaruh campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan isolat protein kedelai dapat terlihat pada skor mutu hedonik rasa memiliki superscript yang berbeda pada masing-masing fomula (Gambar 8). Uji Hedonik Menurut Setyaningsih et al. (2010), penentuan penerimaan terhadap produk makanan dapat dilakukan melalui uji hedonik atau uji kesukaan. Pada uji hedonik, panelis diminta tanggapannya mengenai kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu produk. Uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat-sifat produk yang umum misalnya warna, aroma, tekstur, dan rasa (Rahayu 1998). Parameter yang diamati pada uji hedonik tiwul instan tinggi protein meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Skor penilaian yang digunakan untuk menilai tingkat kesukaan produk dilakukan dengan cara menilai produk pada skala 1-7, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, dan (7) sangat suka. Semakin
40
tinggi skor yang diberikan panelis maka semakin tinggi pula tingkat kesukaan panelis terhadap produk tersebut. Warna. Warna sangat penting bagi makanan, baik makanan yang tidak diolah maupun makanan yang diolah. Bersama-sama dengan aroma, rasa, dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Secara visual, faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum mempertimbangkan faktor lain (Winarno 2008). Grafik hasil uji hedonik warna tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 9.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 9 Grafik hasil uji hedonik warna tiwul instan tinggi protein
Hasil uji hedonik terhadap warna tiwul instan tinggi protein menunjukkan bahwa penilaian panelis berkisar antara 3,45 sampai 4,70 (biasa hingga agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa warna tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul dengan formula F9 (formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 35% ISP) sedangkan warna tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul dengan formula F4 (formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 25% ISP). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter warna tiwul (Lampiran 8). Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter warna berbeda nyata. Tingkat kesukaan warna yang paling disukai (formula F9) berbeda nyata dengan formula F1, F2,
41
F3, F4, F6 dan F8. Namun, formula F9 tidak berbeda nyata dengan formula F5 dan F7. Aroma. Menurut Winarno (2008), aroma suatu produk pangan ikut menentukan penerimaan produk tersebut. Aroma atau bau suatu produk dapat tercium ketika zat-zat volatil dari produk tersebut masuk kedalam saluran nasal dan diterima oleh sel-sel olfaktori. Jumlah zat volatil dalam produk dapat dipengaruhi oleh suhu serta sifat alami dari bahan penyusun produk (Meilgaard 1999). Grafik hasil uji hedonik aroma tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 10.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 10 Grafik hasil uji hedonik aroma tiwul instan tinggi protein
Hasil uji hedonik terhadap aroma tiwul instan tinggi protein menunjukkan bahwa penilaian panelis berkisar antara 3,56 sampai 4,16 (biasa). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa aroma tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul dengan formula F1 (formula 1:1 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 25% ISP) sedangkan aroma tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul dengan formula F2 (formula 1:1 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter aroma tiwul (Lampiran 8). Rasa. Menurut Winarno (2008), rasa merupakan salah satu faktor penentu daya terima konsumen terhadap suatu produk pangan. Rasa makanan
42
dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup yang terletak pada papila. Indra pengecapan dapat membedakan 4 rasa utama yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Grafik hasil uji hedonik rasa tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 11.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 11 Grafik hasil uji hedonik rasa tiwul instan tinggi protein
Hasil uji hedonik terhadap rasa tiwul instan tinggi protein menunjukkan bahwa penilaian panelis berkisar antara 3,35 sampai 4,02 (agak tidak suka hingga biasa). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa rasa tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul dengan formula F5 (formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP) sedangkan rasa tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul dengan formula F8 (formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter rasa tiwul (Lampiran 8). Tekstur. Menurut Meilgaard (1999), tekstur merupakan manifestasi sensorik terhadap struktur atau sifat suatu produk yang berasal dari reaksi stres (dihitung berdasarkan sifat mekanik antara lain kekerasan, adhesi, kohesi, kerenyahan serta kekentalan bahan yang diketahui melalui indra kinetik seperti sentuhan dari tangan, jari, lidah, atau bibir) dan rangsangan taktikel atau kelembaban bahan (dapat diketahui berdasarkan syaraf taktiel pada permukaan
43
kulit tangan, bibir atau lidah). Grafik hasil uji hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 12.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 12 Grafik hasil uji hedonik tekstur tiwul instan tinggi protein
Hasil uji hedonik terhadap tekstur tiwul instan tinggi protein menunjukkan bahwa penilaian panelis berkisar antara 3,26 sampai 4,34 (agak tidak suka hingga biasa). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa tekstur tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul dengan formula F7 (formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 25% ISP) sedangkan tekstur tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul dengan formula F8 (formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter tekstur tiwul (Lampiran 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter tekstur berbeda nyata. Tingkat kesukaan warna yang paling disukai (formula F7) berbeda nyata dengan formula F2, F4, dan F8. Namun, formula F7 tidak berbeda nyata dengan formula F1, F5, F6 dan F9. Keseluruhan. Parameter keseluruhan merupakan gabungan penilaian panelis secara utuh dari keempat parameter (warna, aroma, rasa, dan tekstur) pada saat produk dilihat, dimakan, dan dirasakan dalam satu saat. Penilaian keempat parameter (warna, aroma, rasa, dan tekstur) berfungsi menuntun
44
panelis untuk memberi penilaian keseluruhan dimana secara subjektif panelis menjumlahkan rata-rata keempat parameter tersebut. Grafik hasil uji hedonik keseluruhan tiwul instan tinggi protein disajikan pada Gambar 13.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 13 Grafik hasil uji hedonik keseluruhan tiwul instan tinggi protein
Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan dari produk tiwul instan tinggi protein menunjukkan bahwa penilaian panelis berkisar antara 3,60 sampai 4,27 (biasa). Berdasarkan penilaian tersebut terlihat bahwa keseluruhan dari produk tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul dengan formula F5 (formula 2:1 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP) sedangkan keseluruhan produk tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul dengan formula F8 (formula 1:2 (tepung gaplek:tepung singkong) dengan 30% ISP). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa campuran tepung gaplek dan tepung singkong serta penambahan konsentrasi isolat protein kedelai tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter keseluruhan (Lampiran 8). Berdasarkan jumlah rata-rata dari lima parameter (warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan) pada uji hedonik tiwul instan tinggi protein, maka satu formula terpilih yang memiliki nilai tertinggi adalah tiwul formula F5 (Formula 2:1(gaplek:singkong),30%ISP) dengan tingkat penerimaan biasa-agak suka. Uji Organoleptik II (Uji Hedonik Berbagai Jenis Tiwul) Uji organoleptik juga dilakukan pada tiga jenis tiwul yang merupakan pangan uji dalam pengukuran indeks glikemik. Uji organoleptik yang dilakukan
45
adalah uji kesukaan (uji hedonik) dengan parameter warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Tiga jenis tiwul yang diuji organoleptik antara lain tiwul konvensional, tiwul instan komersial, dan tiwul instan tinggi protein. Uji hedonik dilakukan pada 30 panelis semi terlatih. Skor penilaian yang digunakan untuk menilai tingkat kesukaan yaitu dalam skala 1-7, yang meliputi (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, dan (7) sangat suka. Grafik hasil uji kesukaan (uji hedonik) berbagai jenis tiwul disajikan pada Gambar 14.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Gambar 14 Grafik hasil uji hedonik berbagai jenis tiwul
Warna. Hasil uji hedonik warna berbagai jenis tiwul menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis untuk tiwul konvensional adalah 4,71 (agak suka), tiwul komersial 3,75 (biasa), dan tiwul instan tinggi protein bernilai 5,22 (agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa warna tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul instan tinggi protein sedangkan warna tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul instan komersial. Hal ini diduga karena tiwul instan komersial memiliki warna lebih gelap yaitu coklat kehitaman dibandingkan tiwul konvensional dan tiwul instan tinggi protein. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter warna (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter warna berbeda nyata pada ketiga jenis tiwul. Warna tiwul instan komersial berbeda nyata dengan warna tiwul konvensional dan tiwul instan
46
tinggi protein. Namun, warna tiwul konvensional tidak berbeda nyata dengan warna tiwul instan tinggi protein. Aroma. Hasil uji hedonik aroma berbagai jenis tiwul menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis untuk aroma tiwul konvensional adalah 4,61 (agak suka), tiwul instan komersial 4,00 (biasa), dan tiwul instan tinggi protein bernilai 4,71 (agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa aroma tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul instan tinggi protein sedangkan aroma tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul instan komersial. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter aroma (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter aroma berbeda nyata pada ketiga jenis tiwul. Aroma tiwul instan komersial berbeda nyata dengan aroma tiwul konvensional dan tiwul instan tinggi protein. Namun, aroma tiwul konvensional tidak berbeda nyata dengan aroma tiwul instan tinggi protein. Rasa. Hasil uji hedonik terhadap rasa tiwul menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis untuk rasa tiwul konvensional adalah 3,63 (biasa), tiwul komersial 3,72 (biasa), dan tiwul instan tinggi protein bernilai 4,54 (agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa rasa tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul instan tinggi protein sedangkan rasa tiwul yang paling tidak disukai panelis adalah tiwul konvensional. Hal ini diduga karena tidak ada penambahan pemanis atau garam pada tiwul konvensional sehingga memiliki rasa hambar atau tawar. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter rasa (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter rasa berbeda nyata pada ketiga jenis tiwul. Rasa tiwul instan tinggi protein berbeda nyata dengan rasa tiwul konvensional dan tiwul instan komersial. Namun, rasa tiwul konvensional tidak berbeda nyata dengan rasa tiwul instan komersial. Tekstur. Hasil uji hedonik terhadap tekstur tiwul menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis untuk tekstur tiwul konvensional 4,71 (agak suka), tiwul komersial 4,23 (biasa), dan tiwul instan tinggi protein bernilai 4,69 (agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa tekstur tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul konvensional dan tiwul instan tinggi
47
protein sedangkan tekstur tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul instan komersial. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa jenis tiwul tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter tekstur (Lampiran 10). Hal ini menunjukkan bahwa tekstur ketiga jenis tiwul tersebut tidak berbeda. Keseluruhan. Hasil uji hedonik terhadap keseluruhan produk tiwul menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis untuk keseluruhan tiwul konvensional adalah 4,24 (biasa), tiwul komersial bernilai 3,97 (biasa), dan tiwul instan tinggi protein bernilai 4,84 (agak suka). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui bahwa keseluruhan produk tiwul yang paling disukai oleh panelis adalah tiwul instan tinggi protein sedangkan keseluruhan tiwul yang paling tidak disukai adalah tiwul instan komersial. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berupa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter keseluruhan (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kesukaan panelis pada parameter keseluruhan berbeda nyata pada ketiga jenis tiwul. Keseluruhan produk tiwul instan tinggi protein berbeda nyata dengan tiwul konvensional dan tiwul instan komersial. Namun, keseluruhan produk tiwul konvensional tidak berbeda nyata dengan keseluruhan produk tiwul instan komersial. Komposisi Zat Gizi berbagai Jenis Tiwul Menurut Vosloo (2005), komposisi zat gizi yang terdapat dalam bahan makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi respon glukosa darah. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui komposisi zat gizi berbagai jenis tiwul yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Analisis dilakukan pada enam jenis sampel dengan dua kali ulangan yaitu tiwul konvensional mentah (KN), tiwul konvensional matang (KNm), tiwul instan komersial mentah (KM), tiwul instan komersial matang (KMm), tiwul instan tinggi protein mentah (TP), dan tiwul instan tinggi protein matang (TPm). Hasil analisis proksimat dan serat makanan berbagai jenis tiwul disajikan pada Tabel 11.
48
Tabel 11 Hasil analisis proksimat berbagai jenis tiwul Jenis Tiwul
Kadar Air (%bb)
KN 9,19a KNm 50,96c KM 8,93a KMm 41,89b TP 7,13a TPm 52,71c *) keterangan:
Kadar Kadar Kadar Kadar Abu Protein Lemak Karbohidrat (%bk) (%bk) (%bk) (%bk) 2,68a 1,65a 0,53a 95,14e 2,92c 1,75a 0,50a 94,82de 2,83b 2,76a 0,93c 93,48c 2,98cd 2,60a 0,67b 93,76cd 2,99d 24,49b 0,81c 71,54a 3,07e 23,45b 0,51a 72,98b KN : tiwul konvensional mentah KNm : tiwul konvensional matang KM : tiwul instan komersial mentah KMm : tiwul instan komersial matang TP : tiwul instan tinggi protein mentah TPm : tiwul instan tinggi protein matang
Kadar Air Hasil analisis kadar air berbagai jenis tiwul dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 15 Grafik hasil rata-rata analisis kadar air (%bb) tiwul
Berdasarkan grafik diatas, kadar air di dalam 100 g tiwul konvensional (basis basah) berkisar antara 9,19% sampai 50,96%, kadar air tiwul instan komersial berkisar antara 8,93% hingga 41,89%, sedangkan kadar air instan tinggi protein berkisar antara 7,13% sampai 52,71%. Rata-rata kadar air tertinggi
49
yaitu pada tiwul TPm sedangkan rata-rata kadar air terendah yaitu pada tiwul TP. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar air (Lampiran 12). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar air tiwul mentah berbeda dengan kadar air tiwul matang. Kadar air tiwul mentah (KN, KM dan TP) berbeda nyata dengan kadar air tiwul matang (TPm, KNm dan KMm). Kadar air tiwul mentah (KN, KM dan TP) berkisar antara 7,13% sampai 9,19%. Kadar air yang rendah pada tiwul mentah dapat mengurangi atau memperkecil risiko kerusakan yang disebabkan oleh berbagai reaksi biokimia dan juga dapat meningkatkan masa simpan (Deman 1997). Perbedaan kadar air juga terlihat pada tiwul matang. Kadar air tiwul KMm berbeda nyata dengan tiwul KNm dan TPm. Hal ini diduga karena jumlah air yang ditambahkan sebelum pengukusan berbeda. Tiwul KNm dan TPm ditambahan air dengan perbandingan 1:1 antara tepung:air (berdasarkan hasil trial and error), sedangkan pada tiwul KMm dalam 250 g tiwul ditambahkan air 150 mL (berdasarkan cara penyajian dalam kemasan). Kadar air tiwul TPm tidak berbeda nyata dengan kadar air tiwul KNm karena jumlah air yang ditambahakan sama. Tingginya kadar air tiwul matang dapat meningkatkan risiko kerusakan produk. Menurut Deman (1997), penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi dapat dipengaruhi oleh kadar air. Beberapa kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, dan hidrolisis lemak juga dapat disebabkan oleh kandungan air yang tinggi. Kadar Abu Menurut Winarno (1993), abu merupakan residu dari proses pembakaran bahan-bahan organik yang umumnya berupa partikel halus dan berwarna putih. Kadar abu merupakan gambaran kandungan mineral dalam suatu bahan pangan (Sediaoetama 2006). Hasil analisis kadar abu tiwul disajikan pada Gambar 16.
50
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 16 Grafik hasil rata-rata analisis kadar abu (%bk) tiwul
Kadar abu di dalam 100 g tiwul konvensional (basis kering) berkisar antara 2,68% sampai 2,92%, kadar abu tiwul instan komersial berkisar antara 2,83% hingga 2,98%, sedangkan kadar abu tiwul instan tinggi protein berkisar antara 2,99% sampai 3,07%. Kadar abu tertinggi yaitu tiwul instan tinggi protein baik dalam keadaan mentah maupun matang (TP dan TPm) sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh tiwul konvensional mentah dan matang (KN dan KNm). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar abu (Lampiran 12). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa TPm berbeda nyata dengan TP, KMm, KM, KNm, dan KN. Namun, tiwul KMm tidak berbeda nyata dengan KNm dan TP. Hal ini dapat dilihat dari nilai kadar abu berbagai produk tiwul diikuti dengan supercript yang berbeda (Gambar 16). Kadar Protein Menurut Almatsier (2002), protein merupakan bagian dari semua sel hidup yang terbentuk dari asam-asam amino dalam jumlah besar setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh. Protein berfungsi sebagai sumber energi, zat pembangun dan zat pengatur. Hasil analisis kadar protein tiwul disajikan pada Gambar 17.
51
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 17 Grafik hasil rata-rata analisis kadar protein (%bk) tiwul
Kadar protein di dalam 100 g tiwul konvensional berkisar antara 1,65% hingga 1,75%, kadar protein tiwul instan komersial berkisar antara 2,60% hingga 2,76%, sedangkan kadar protein tiwul instan tinggi protein berkisar 23,45% hingga 24,49%. Tiwul instan tinggi protein memiliki kadar protein tertinggi dari semua jenis tiwul yang dianalisis, sedangkan kadar protein terendah dimiliki oleh tiwul konvensional. Kadar protein yang tinggi pada tiwul instan tinggi protein disebabkan oleh penambahan isolat protein kedelai pada saat formulasi. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar protein (Lampiran 12). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tiwul dengan penambahan isolat protein kedelai (TP dan TPM) memiliki rata-rata kadar protein yang berbeda dengan tiwul konvensional (KN dan KNm) dan tiwul instan komersial (KM dan KMm). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan isolat protein kedelai berpengaruh nyata terhadap kadar protein tiwul. Tiwul TP dan TPm berbeda nyata dengan tiwul KN, KNm, KM, dan KMm. Namun, tidak terdapat perbedaan nyata pada tiwul KN, KNm, KM, dan KMm.
52
Berdasarkan grafik kadar protein dapat diketahui bahwa jenis tiwul matang memiliki kadar protein lebih rendah dibanding tiwul mentah. Penurunan kadar protein diduga terjadi karena proses pengukusan dan penambahan air sebelum tiwul dimasak menyebabkan kadar air tiwul meningkat sehingga kadar protein, lemak, dan karbohidrat menurun. Menurut Palupi et al. (2007), pengolahan bahan pangan yang mengandung protein dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizi. Salah satu cara pengolahan yang paling banyak dilakukan adalah pengolahan menggunakan pemanasan seperti pemasakan dan pengeringan. Winarno
(1993),
menyatakan
bahwa
pemanasan
(perebusan,
pengukusan dan penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama tanpa penambahan karbohidrat, dapat mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena terbentuknya ikatan silang dalam protein. Protein merupakan senyawa yang reaktif terhadap panas, dimana sisi aktif beberapa asam amino dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produk oksidasinya. Kadar Lemak Hasil analisis kadar lemak tiwul disajikan pada Gambar 18.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 18 Grafik hasil rata-rata analisis kadar lemak (%bk) tiwul
53
Lemak merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh untuk menjaga kesehatan manusia. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein (Winarno 1993). Kadar lemak di dalam 100 g tiwul konvensional beriksar antara 0,53% hingga 0,50%, kadar lemak tiwul instan komersial berkisar antara 0,67% hingga 0,93%, sedangkan kadar lemak tiwul instan tinggi protein berkisar antara 0,51% hingga 0,81%. Rata-rata kadar lemak tertinggi diperoleh tiwul instan komersial mentah (KM), sedangkan ratarata kadar lemak terendah diperoleh tiwul konvensional matang (KNm). Tiwul instan komersial memiliki kadar protein tertinggi diduga karena komposisi bahan pembuatan tiwul instan tinggi protein lebih beragam yaitu tepung singkong, tepung jagung, tepung terigu, garam, gula jawa, vitamin A dan mineral (zat besi dan iodium) dimana masing-masing bahan memiliki kadar lemak yang berbeda. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar lemak (Lampiran 12). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tiwul KM dan TP berbeda nyata dengan tiwul KMm, TPm, KN, dan KNm. Namun, tidak terdapat perbedaan nyata antara tiwul KN, KNm, dan TPm. Berdasarkan grafik dapat diamati bahwa terjadi penurunan kadar lemak pada tiwul matang. Semua jenis mentah memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan tiwul matang. Penurunan kadar lemak diduga diakibatkan oleh proses pengukusan. Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan seperti pemanasan, akan menyebabkan kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens (Palupi et al. 2007). Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori. Selain itu, karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan seperti rasa, warna, tekstur, dan lain-lain (Winarno 1993). Umumnya kadar kabohidrat dalam suatu bahan makanan dianalisis melalui karbohidrat by difference. Karbohidrat by difference merupakan salah satu cara analisis termudah yang dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan karbohidrat suatu bahan makanan. Perhitungan karbohidrat by difference adalah perhitungan karbohidrat secara kasar pada suatu bahan makanan (Winarno 1993). Hasil analisis kadar karbohidrat tiwul disajikan pada Gambar 19.
54
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 19 Grafik hasil rata-rata analisis kadar karbohidrat (%bk) tiwul
Berdasarkan Gambar 19, kadar karbohidrat tiwul konvensional beriksar antara 94,82% hingga 95,14%, kadar karbohidrat tiwul instan komersial berkisar antara 93,48% hingga 93,76%, sedangkan kadar karbohidrat tiwul instan tinggi protein berkisar antara 71,54% hingga 72,98%. Kadar kabohidrat tertinggi yaitu pada tiwul konvensional mentah (KN) sedangkan kadar karbohidrat terendah dimiliki oleh tiwul instan tinggi protein mentah (TP). Tiwul instan tinggi protein memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah dibanding tiwul lainnya karena ada penambahan isolat protein kedelai pada saat formulasi. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar karbohidrat (Lampiran 12). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar kabohidrat tiwul instan tinggi protein berbeda dengan tiwul konvensional dan tiwul instan komersial. Tiwul TP dan TPm berbeda dengan tiwul KM, KMm, KN, dan KNm. Selain itu, tiwul TP juga berbeda dengan TPm. Tingkat Gelatinisasi Pati Selain analisis proksimat dan serat makanan, dilakukan pula analisis tingkat gelatinisasi pati. Analisis tingkat gelatinisasi perlu dilakukan karena
55
mempengaruhi nilai indeks glikemik. Hasil analisis tingkat gelatinisasi berbagai jenis tiwul disajikan dalam Gambar 20.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 20 Grafik hasil rata-rata analisis tingkat gelatinisasi pati (%bk)
Pati terdapat dalam bentuk butiran-butiran kecil atau granula. Pada suhu diatas 65ºC granula pati akan mengalami penguraian karena panas. Pada suhu 60-85 ºC volume granula pati bertambah sekitar lima kalinya dan sifat pati berubah dari sol menuju gel (melekat), sehingga membuat pektin menjadi mudah larut. Gelatinisasi merupakan fenomena yang kompleks, dipengaruhi beberapa faktor antara lain ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta media pemanas (Juliano 1972 dalam Shanita 2011). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tiwul konvensional memiliki tingkat gelatinisasi yang paling tinggi dibandingkan tiwul instan komersial dan tiwul instan tinggi protein. Tingkat gelatinisasi tiwul konvensional mencapai 95,54% sedangkan tiwul instan komersial 92,48% dan tiwul instan tinggi protein 87,45%. Tiwul konvensional matang memiliki tingkat gelatinisasi pati tertinggi diduga karena tiwul konvensional dibuat dari tepung gaplek yang diperciki air dimana tepung gaplek memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan tiwul instan komersial dan tiwul instan tinggi protein mentah yang memiliki bentuk
56
granula kering. Ukuran partikel yang lebih kecil pada tepung gaplek diduga mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), ukuran partikel mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas permukaan total pangan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat gelatinisasi tiwul. Gambar 20 menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi tiwul mentah lebih rendah dibandingkan tiwul matang. Rendahnya tingkat gelatinisasi tiwul mentah diduga karena sampel yang dianalisis dalam keadaan mentah (tiwul kering). Pati dalam pangan mentah memiliki granula yang tersusun rapat. Hal tersebut mengakibatkan pangan mentah sulit dicerna. Sedangkan pada tiwul matang, proses pembuatannya dilakukan dengan menambahkan air dan proses pengukusan. Selama pemanasan, air dan panas akan memperbesar granula pati. Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan di usus mendapat permukaan yang lebih luas untuk dapat kontak dengan molekul pati. Reaksi cepat dari enzim ini akan menyebabkan kadar glukosa darah meningkat cepat (Rimbawan & Siagian 2004). Kadar Amilosa dan Amilopektin Menurut Winarno (2004), pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Kadungan amilosa dalam pati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah <10%, kadar amilosa rendah 10-19%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kadar amilosa tiwul tergolong rendah (10-19%) dan sedang (20-24%). Kadar amilosa pada tiwul konvensioal mentah (tepung gaplek) yaitu 21,67%, hampir sama dengan hasil penelitian Yuliawati (1999). Karbohidrat yang terdapat pada ubi kayu yaitu 99% pati yang terdiri dari 17-20% amilosa dan selebihnya adalah amilopektin. Terdapat sedikit perbedaan pada kadar amilosa, hal ini diduga karena perbedaan varietas singkong yang digunakan. Kadar amilosa tertinggi terdapat pada tiwul instan tinggi protein mentah yaitu 28,42%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar amilosa tiwul. Hasil
57
analisis kadar amilosa dan amilopektin berbagai jenis tiwul disajikan dalam Gambar 21.
*) keterangan: Angka-angka yang diikuti superscript yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) **) keterangan: KN KNm KM KMm TP TPm
: tiwul konvensional mentah : tiwul konvensional matang : tiwul instan komersial mentah : tiwul instan komersial matang : tiwul instan tinggi protein mentah : tiwul instan tinggi protein matang
Gambar 21 Grafik hasil rata-rata kadar amilosa dan amilopektin tiwul (%bk)
Kadar amilopektin pada tiwul diperoleh dengan cara 100% dikurangi dengan kadar amilosa (%). Hasil analisis kadar amilopektin berbagai jenis tiwul menunjukkan bahwa kadar amilopektin tiwul jauh lebih tinggi dibandingkan kadar amilosanya. Kadar amilopektin tertinggi dimiliki oleh tiwul instan komersial (90,29%), sedangkan kadar amilopektin terendah dimiliki oleh tiwul instan tinggi protein (80,01%). Menurut Friedman (1950) dalam Anggi (2011), pati singkong mengandung 83% amilopektin. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis tiwul berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar amilopektin tiwul. Kandungan Zat Gizi dan Energi Tiwul Perhitungan jumlah energi dan zat gizi yang masuk ke dalam tubuh merupakan salah satu hal penting. Kandungan gizi dari tiwul yang diunggulkan adalah energi dan proteinnya. Berdasarkan 100 g komposisi zat gizi tiwul (Tabel 11) dapat diperhitungkan kandungan energi dan zat gizi tiwul per takaran saji (75 g) yang disajikan pada Tabel 12.
58
Tabel 12 Kandungan zat gizi dan energi tiwul per takaran saji (75 g) Jenis Tiwul KN Km TP
Kandungan zat gizi per takaran saji Protein Lemak Karbohidrat (g) (g) (g) 1,24 0,40 71,36 2,07 0,70 70,11 18,38 0,61 53,66
Kandungan Energi (Kalori) 294 295 293
Kontribusi berdasarkan AKG Energi* Protein** (%) (%) 14,70 2,17 14,75 3,45 14,65 30,63
Keterangan : KN : Tiwul Konvensional KM : Tiwul Instan Komersial TP : Tiwul Instan Tinggi Protein * Kontribusi energi berdasarkan 2000 Kalori (BPOM 2007) ** Kontribusi protein berdasarkan 60 g (BPOM 2007)
Berdasarkan Tabel 11 dapat terlihat bahwa kontribusi energi yang dihasilkan berbagai jenis tiwul tidak jauh berbeda. Dalam satu takaran saji ketiga jenis tiwul mengandung ±300 Kalori. Tiwul instan tinggi protein memberikan kontribusi energi paling kecil dibanding tiwul lainnya yaitu 14,65% setara dengan 293 Kalori. Dibandingkan dengan tiwul konvensional dan tiwul instan komersial, tiwul instan tinggi protein memberikan kontribusi protein terbesar yaitu 30,63% setara dengan 18,38 g protein. Satu takaran saji tiwul instan tinggi protein mentah (75 g) menghasilkan ±150 g tiwul matang. Tiwul instan tinggi protein dalam penelitian ini mampu mencukupi 14,65% AKG dari kebutuhan AKG sehari yaitu 2000. Menurut BPOM (2007), menjelaskan bahwa suatu produk yang menyatakan kaya dalam setiap suatu zat gizi harus mengandung zat gizi tersebut paling sedikit 20% ALG dalam setiap ukuran saji. ALG protein untuk kelompok usia umum adalah 60 g. Tiwul instan tinggi protein ini dapat dikatakan sebagai makanan tinggi protein karena mengandung 30,63% ALG per takaran saji. Oleh karena itu, tiwul instan tinggi protein cocok dikonsumsi untuk sarapan sebagai makanan tinggi protein dan sumber energi untuk memenuhi 15% AKG. Tiwul instan tinggi protein ini juga cocok dikonsumsi bagi penderita KEP (Kurang Energi Protein) yang membutuhkan protein dalam jumlah tinggi. Selain itu, tiwul instan tinggi protein juga dapat dikonsumsi oleh atlet yang membutuhkan makanan yang mengandung protein. Kebutuhan protein bagi seorang atlet berkisar antara 1.2-1.6 gr/kg berat badan per hari dan nilai ini berada diatas kebutuhan protein bagi non-atlet yaitu sebesar 0.6-0.8 gr/kg berat badan. Peningkatkan kebutuhan protein bagi atlet ini disebabkan karena atlet lebih beresiko untuk mengalami kerusakan jaringan otot terutama saat menjalani latihan/pertandingan olahraga yang berat (Irawan 2007).
59
Indeks Glikemik Berbagai Jenis Tiwul Karakteristik Subjek Penelitian ini telah memperoleh izin dari Komisi Etik Penelitian Biomedis Manusia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 11 April 2011 dengan nomor KE.01.04/EC/153/2011. Penentuan indeks glikemik dilakukan menggunakan subjek manusia. Hal ini dikarenakan metabolisme tubuh manusia sangat rumit sehingga sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al. 2004). Subjek yang dipilih terdiri dari 5 orang laki-laki dan 5 orang perempuan dengan status kesehatan normal (sehat). Sehat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah subjek memiliki status gizi baik (IMT normal 18,5
22,9
kg/m2) dan bebas dari penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat seperti penyakit diabetes melitus, penyakit hati dan penyakit ginjal. Menurut Waspadji et al. (2003), pada penyandang penyakit hati dan ginjal, keseimbangan kadar glukosa darah juga tidak normal, hal ini dikarenakan fungsi organ hati dan ginjal tidak berjalan dengan baik. Penentuan subjek bebas dari penyakit tersebut dengan tujuan agar metabolisme karbohidrat subjek yang diteliti tidak mendapat gangguan, sehingga hasil respon glukosa darah berlangsung dengan normal. Data umur, berat badan, tinggi badan, dikumpulkan untuk mengetahui karakteristik subjek. Subjek pada penelitian ini berjumlah 10 orang. Penggunaan subjek penelitian yang semakin banyak semakin baik, namun dalam penelitian ini sepuluh orang subjek sudah cukup baik. Pemilihan jumlah subjek yang seimbang antara laki-laki dan perempuan bertujuan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias akibat jenis kelamin (Brouns et al. 2005). Karakteristik subjek dapat diamati pada Tabel 13. Tabel 13 Karakteristik subjek Sex (L/P) 1 P 2 P 3 P 4 P 5 P 6 L 7 L 8 L 9 L 10 L Rata-rata
Subjek
Umur (tahun) 21 21 22 21 22 21 21 21 21 19 21
Berat Badan (kg) 49,0 53,4 56,3 45,2 54,0 53,5 61,5 50,4 56,1 60,2 54,0
Tinggi Badan (cm) 154,5 161,5 160,0 146,0 158,2 159,0 166,5 161,0 163,5 179,5 161,0
IMT 2 (kg/m ) 20,5 20,4 22,0 21,2 21,5 21,1 22,1 19,4 20,9 18,7 20,8
60
Umur rata-rata subjek adalah 21 tahun. Berat badan rata-rata subjek 54 kg dengan tinggi badan 161 cm. Semua subjek memiliki status gizi baik dengan rata-rata indeks massa tubuh (IMT) 20,8 kg/m2. Subjek yang telah menandatangani informed consent kemudian mejalani pemeriksaan laboratorium darah. Untuk memastikan subjek tidak menderita DM, penyakit hati, maupun penyakit ginjal dilakukan uji laboratorium. Penentuan penyakit DM dan sehat diperoleh dari data kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa 2 jam setelah makan, penyakit hati dilihat dari kadar bilirubin, SGOT, SGPT, dan uji fungsi ginjal dilihat dari kreatinin darah. Bila hasil uji laboratorium subjek tidak normal maka subjek tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Pemeriksaan laboratorium darah subjek dilakukan di Laboratorium Klinik Nugraha Bogor. Hasil pemeriksaan laboratorium darah subjek secara rinci terdapat pada Lampiran 14. Berikut adalah rata-rata hasil pemeriksaan laboratorium darah sepuluh orang subjek. Tabel 14 Hasil pemeriksaan laboratorium darah subjek Nilai Nilai terendahrata-rata tertinggi 1 Kadar glukosa puasa 98 87-108 2 Kadar glukosa setelah 2 jam 96,70 85-123 3 Bilirubin total (T) 0,88 0,74-1,08 4 Bilirubin direk (D) 0,82 0,50-0,93 5 SGOT 28,70 16-40 6 SGPT 22,70 18-34 7 Kreatinin 0,84 0,65-0,95 Sumber : Laboratorium Klinik Nugraha Bogor 2011 No
Jenis Uji
Nilai normal 90-110 <140 0,65-1,11 0,55-0,93 <35 6-40 0,60-1,1
Satuan mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL U/L U/L mg/dL
Pemeriksaan laboratorium darah subjek dilakukan dengan mengambil sampel darah dari vena. Pengambilan darah ini dilakukan oleh tenaga kesehatan. Malam sebelum dilakukan pemeriksaan darah, subjek terlebih dahulu dipuasakan (kecuali air putih) selama 10-12 jam untuk melihat kadar glukosa darah puasa subjek. Pengambilan darah dari vena dilakukan untuk pemeriksaan glukosa
darah
puasa,
bilirubin,
kreatinin,
SGOT,
dan
SGPT.
Setelah
pengambilan darah, subjek diberikan makan pagi berupa nasi beserta lauk pauk dan sayur. Pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam dilakukan melalui pengambilah darah kapiler dari jari tangan 2 jam setelah subjek selesai makan (post prandial). Nilai kadar glukosa darah puasa dari sepuluh orang subjek berkisar antara 87-108 mg/dL, sedangkan glukosa darah setelah 2 jam berkisar 85-123 mg/dL. Data glukosa darah subjek berada dalam batas normal yaitu 90-110 mg/dL untuk glukosa darah puasa dan <140 mg/dL untuk glukosa darah setelah
61
2 jam. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek tidak mendertia penyakit diabetes mellitus. Nilai bilirubin (T) dan (D) masing-masing berkisar 0,74-1,08 mg/dL dan 0,50-0,93 mg/dL, sedangkan nilai SGOT dan SGPT masing-masing berkisar 16-40 U/L dan 18-34 U/L. Hasil pemeriksaan bilirubin (T) dan (D) serta SGPT subjek tergolong normal, namun kadar SGOT subjek sedikit lebih tinggi. Namun, berdasarkan keterangan Dokter Spesialis Penyakit Dalam nilai rentang SGOT subjek masih tegolong normal sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi hati subjek dalam keadaan baik. Nilai rata-rata uji fungsi ginjal subjek melalui pemeriksaan kadar kreatintin juga tergolong normal yaitu 0,65-0,95 mg/dL yang menunjukkan bahwa fungsi ginjal subjek baik. Pangan Acuan dan Pangan Uji Indeks glikemik merupakan perbandingan respon glukosa darah tubuh terhadap makanan dengan respon glukosa darah tubuh terhadap glukosa murni. Dalam penentuan nilai indeks glikemik diperlukan pangan acuan sebagai pembandingnya. Menurut Waspadji et al. (2003), pada penentuan indeks glikemik pada orang normal pangan acuan yang digunakan sebagai pembanding adalah glukosa murni. Pangan yang direkomendasikan untuk digunakan sebagai pangan acuan dalam penentuan indeks glikemik yaitu glukosa murni karena komposisi dari roti putih dapat berbeda-beda dari satu penelitian ke penelitian lainnya sehingga memungkinkan perbedaan hasil yang bervariasi dari berbagai penelitian (Bronus et al. 2005). Pangan acuan (pembanding) yang digunakan pada penelitian ini adalah glukosa murni (D-glucose unhydrouse) sebanyak 50 g. Masing-masing subjek diberikan glukosa murni sejumlah 50 g untuk dikonsumsi dalam bentuk minuman dengan cara dilarutkan dalam air mineral ± 200 ml. Subjek meminum larutan glukosa murni dalam waktu 5-10 menit. Pangan uji yang diberikan pada penelitian ini adalah 3 jenis tiwul yang berbeda yaitu, tiwul instan tinggi protein, tiwul instan komersial, dan tiwul konvensional (tawar). Pangan uji berupa tiwul diberikan tanpa adanya tambahan kelapa parut seperti tiwul yang umum beredar di masyarakat. Subjek mengkonsumsi pangan uji dalam waktu 15-20 menit. Jarak pemberian pangan acuan dan pangan uji adalah satu minggu, dengan pertimbangan pemulihan kondisi subjek. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), jarak pengambilan glukosa darah antara pangan satu dengan pangan lainnya adalah tiga hari. Hal ini dilakukan untuk memperkecil keragaman respon glukosa darah. Pemberian pangan acuan berupa glukosa murni dilakukan pada
62
minggu pertama. Satu minggu kemudian (minggu kedua) subjek diberikan pangan uji pertama yaitu tiwul instan tinggi protein, kemudian minggu ketiga subjek diberikan pangan uji kedua yaitu tiwul instan komersial, dan pada minggu terakhir (minggu keempat) subjek diberikan pangan uji ketiga yaitu tiwul konvensional. Jumlah pangan uji yang diberikan kepada subjek setara dengan 50 g available charbohydrate. Menurut Waspadji et al. (2003), pemberian beban makanan dalam penentuan respon glukosa darah bervariasi, ada yang 25 g, 35 g, 50 g, dan 75 g karbohidrat. Jenkins et al. Menggunakan 25 g dan 50 g karbohidrat untuk respon glukosa darah pada penentuan indeks glikemik. Pada penentuan respon glukosa darah dengan berat badan < 60 kg maka digunakan 50 g karbohidrat, sedangkan pada berat badan > 60 kg maka digunakan 75 g karbohidrat. Berdasarkan Tabel 13, rata-rata berat badan subjek adalah 54 kg (<60 kg). Oleh karena itu, jumlah pangan acuan maupun pangan uji yang diberikan kepada subjek setara dengan 50 g karbohidrat. Penentuan 50 g available charbohydrate dihitung berdasarkan hasil analisis komposisi zat gizi tiwul. Jumlah porsi yang diberikan kepada subjek (setara 50 g available charbohydrate) dihitung dengan cara sebagai berikut :
Jumlah porsi tiwul yang diberikan kepada subjek untuk masing-masing jenis tiwul disajikan pada Gambar 22.
Gambar 22 (a) Jumlah porsi tiwul instan tinggi protein (175 g)
Gambar 22 (b) Jumlah porsi tiwul instan komersial (100 g)
Gambar 22 (c) Jumlah porsi tiwul konvensional (116 g)
Berdasarkan hasil perhitungan dapat diamati bahwa jumlah porsi terbanyak adalah tiwul instan tinggi protein, sedangkan jumlah porsi tersedikit adalah tiwul instan komersial. Banyaknya jumlah porsi pada tiwul instan tinggi protein disebabkan oleh penambahan isolat protein kedelai pada proses
63
pembuatannya sehingga komposisi protein bertambah dan karbohidarat berkurang. Nilai Indeks Glikemik Pangan Pengukuran glukosa darah dengan menggunakan alat Glukometer One Touch Ultra
TM
. Sampel darah yang diperoleh pada permukaan kulit setelah
sedikit perlukaan kecil dengan menggunakan lancet (alat penusuk) khusus, disentuhkan pada celah sensor di ujung strip uji yang telah terpasang pada detektor digital (glukometer) sedemikian sehingga kadar glukosa darah sampel terbaca. Sebelum dilakukan pengukuran glukosa darah, subjek menjalani puasa (kecuali air putih) selama 10-12 jam (overnight fasting). Pengukuran kadar glukosa darah selama 2 jam dilakukan pada menit ke 0 (sebelum subjek mengkonsumsi pangan acuan/uji), menit ke 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 (setelah subjek mengkonsumsi pangan acuan/uji). Sampel darah subjek diambil melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh kapiler dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh ini memiliki variasi kadar glukosa darah antar subjek yang lebih kecil dibandingkan dengan darah yang diambil dari pembuluh vena (Ragnhild et al. 2004). Data hasil pengukuran glukosa darah subjek kemudian ditebarkan dalam sumbu X (waktu) dan sumbu Y (kadar glukosa darah) menggunakan Software Microsoft Excell 2007. Dengan demikian, akan diperoleh sebuah kurva yang menunjukan respon glukosa darah terhadap pangan yang diberikan. Kurva ratarata respon glikemik subjek penelitian dapat dilihat pada Gambar 23, Gambar 24, dan Gambar 25.
Gambar 23 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul konvensional
64
Gambar 24 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul instan komersial
Gambar 25 Kurva rata-rata respon glikemik subjek terhadap tiwul instan tinggi protein
Gambar
23
sampai
Gambar
25
menunjukkan
bahwa
rata-rata
peningkatan glukosa darah subjek pada pangan uji (tiwul instan tinggi protein, tiwul instan komersial, dan tiwul konvensional) lebih rendah dibandingkan peningkatan glukosa darah subjek pada pangan acuan (glukosa murni). Peningkatan glukosa darah tertinggi pada ke tiga pangan uji terjadi pada menit ke-30 dan mengalami penurunan pada menit ke-45 hingga menit ke-120. Berdasarkan kurva respon glukosa darah yang dibuat dengan bantuan Microsoft Excell dapat digunakan untuk menghitung luas area bawah kurva (Area Under Cerve, AUC). Luas daerah di bawah kurva dapat dihitung dengan beberapa cara, seperti intergral dari persamaan polinom dan menghitung luas bangun. Perhitungan luas daerah di bawah kurva dapat disesuaikan dengan data respon glukosa darah subjek. Pada penelitian ini, beberapa subjek memiliki kurva respon glukosa darah yang cenderungan naik turun, sehingga dikhawatirkan bila
65
menggunakan luas berdasarkan integral maka persamaan polinom yang dihasilkan kurva tidak signifikan. Oleh karena itu, luas daerah di bawah kurva dihitung secara manual dengan cara menarik garis horizontal dan membuat garis vertikal berdasarkan waktu pengambilan darah sehingga kurva membentuk luas bangun segitiga dan tapesium. Luas daerah di bawah kurva diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing luas bangun. Indeks glikemik dihitung dengan membandingkan luas kurva pangan uji dengan luas kurva pangan acuan. Luas kurva dihitung untuk masing-masing subjek sehingga nilai indeks glikemik tiap subjek berbeda. Nilai indeks glikemik pangan uji diperoleh dari hasil rata-rata nilai indeks glikemik individu sepuluh orang subjek penelitian. Nilai indeks glikemik pangan uji dihitung berdasarkan rumus :
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh nilai rata-rata indeks glikemik berbagai jenis tiwul seperti yang terdapat pada Gambar 26.
Gambar 26 Nilai rata-rata indeks glikemik berbagai jenis tiwul
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tiwul instan komersial memiliki indeks glikemik tertinggi, sedangkan tiwul instan tinggi protein memiliki indeks glikemik terendah. Nilai indeks glikemik tiwul konvensional 94,74; tiwul instan komersial adalah 96,91; dan tiwul instan tinggi protein 71,92. Menurut Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004), berdasarkan pengaruh glikemiknya, pangan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu kategori pangan IG rendah (IG<55), IG sedang (IG = 55-70), dan IG tinggi (IG>70). Berdasarkan
66
pengkategorian tersebut dapat diketahui bahwa semua tiwul yang diteliti termasuk ke dalam kelompok pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi yaitu lebih dari 70. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jenis tiwul tidak berpengaruh terhadap nilai indeks glikemik (p>0,05) (Lampiran 16). Berdasarkan Gambar 26, nilai indeks glikemik tiwul konvensional dan tiwul instan komersial selisihnya tidak besar sehingga tidak berbeda nyata. Walaupun tiwul instan tinggi protein memiliki selisih yang cukup besar dibandingkan tiwul konvensional dan tiwul instan komersial, akan tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004). Semua jenis tiwul termasuk ke dalam kriteria pangan dengan indeks glikemik tinggi (>70). Hal ini diduga karena pati singkong merupakan pati berkadar amilosa rendah dan memiliki kadar amilopektin tinggi. Karbohidrat yang terdapat pada ubi kayu yaitu 99% pati yang terdiri dari 17-20% amilosa dan selebihnya adalah amilopektin (Yuliawati 1999). Hasil analisis kadar amilosa dan amilopektin menunjukkan bahwa tiwul yang memiliki kadar amilopektin ketiga jenis tiwul tergolong tinggi yaitu >88%. Kadar amilopektin tertinggi dimiliki oleh tiwul instan komersial (90,29%), tiwul konvensional (88,31%), dan kadar amilopektin terendah dimiliki oleh tiwul instan tinggi protein (88,01%). Hal ini sejalan dengan nilai indeks glikemik tiwul yaitu indeks glikemik tertinggi dimiliki oleh tiwul instan komersial (96,91), tiwul konvensional (94,74), dan nilai indeks glikemik terendah dimiliki tiwul instan tinggi protein (71,92). Pati di dalam bahan pangan terdiri dari dua bentuk yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki struktur lurus, sedangkan amilopektin memiliki struktur bercabang. Struktur lurus yang dimiliki amilosa membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna. Struktur bercabang yang dimiliki amilopektin mengakibatkan ukuran molekul lebih besar dan terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi sehingga lebih mudah dicerna. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa makanan yang mengandung amilosa lebih dari 50% berpengaruh signifikan untuk menurunkan glukosa darah dan respon insulin (Behall & Hallfrisch 2002; Behall & Scholfield 2005). Hasil penelitian Shanita et al. (2011) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
67
signifikan antara rasio amilosa dan amilopektin dimana peningkatan kadar amilosa akan menurunkan indeks glikemik makanan. Hasil analisis menunjukan bahwa tiwul memiliki kadar amilosa yang rendah (10-19%) sehingga sebagian besar pati dalam tiwul adalah amilopektin. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa tiwul tergolong dalam pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi (IG>70). Pangan yang memiliki kadar amilopektin lebih tinggi mengakibatkan respon gula darah lebih tinggi karena lebih mudah dicerna oleh enzim. Tingkat gelatinisasi pati juga dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat gelatinisasi tiwul tergolong tinggi yaitu 95,54% untuk tiwul konvensional, 92,48% untuk tiwul instan komersial, dan 87,45% untuk tiwul instan tinggi protein. Tiwul mengalami proses penambahan air dan pengukusan dimana selama pemasakan, air, dan panas dapat memperbesar ukuran granula pati. Beberapa granula terpisah dari molekul pati dan bila sebagian besar granula pati telah mengembang maka akan tergelatinisasi penuh. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan & Siagian 2004). Oleh karena itu, tiwul mengandung pati tergelatinisasi penuh sehingga memiliki indeks glikemik tinggi (IG>70). Indeks glikemik pangan juga dipengaruhi oleh komposisi zat gizi seperti kadar lemak dan protein. Proses pencernaan kompleks antara karbohidrat dan protein atau lemak lebih lambat dibandingkan dengan karbohidrat saja (Waspadji et al. 2003). Menurut Rimbawan & Siagian (2004), pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat kecenderungan bahwa protein dan lemak dalam jumlah besar mungkin dapat mempengaruhi respon glikemik pangan (Wolever & Bolognesi 1996). Hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa tiwul instan tinggi protein memiliki kadar protein jauh lebih tinggi (23,45%) dibanding kadar protein tiwul instan komersial (2,60%) dan tiwul konvensional (1,75%). Tingginya kadar protein pada tiwul instan tinggi protein akibat adanya penambahan isolat protein kedelai pada proses pembuatannya. Tiwul instan tinggi protein memiliki nilai
68
indeks glikemik yang lebih rendah (71,92) dibandingkan tiwul instan komersial (96,91) dan tiwul konvensional (94,74). Meskipun kadar protein tiwul instan tinggi protein lebih tinggi, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada nilai indeks glikemiknya. Menurut Khan et al. (1992) dan Fernandes et al. (2005), kadar protein tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap indeks glikemik walaupun mempunyai potensi untuk menurun nilai indeks glikemik pangan. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Karimah (2011), yang menunjukkan bahwa bubur formula tepung emulsi yang ditambahkan isolat protein kedelai dan putih telur dengan kadar protein 17,45% memiliki nilai indeks glikemik yang lebih rendah (93,96) dibandingkan dengan nilai indeks glikemik bubur pati singkong (97,74) dan bubur pati resisten singkong 3 siklus (106,09) yang dibuat tanpa penambahan tepung emulsi. Namun, nilai indeks glikemik bubur formula tepung emulsi (93,96) sedikit lebih tinggi dibandingkan nilai indeks glikemik bubur pati resisten singkong 1 siklus (93,69) yang dibuat tanpa penambahan tepung emulsi. Tidak semua pangan yang memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah (Rimbawan & Siagian 2004). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan isolat protein kedelai pada tiwul instan tinggi protein dapat menurunkan nilai indeks glikemik tetapi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penurunan nilai indeks glikemik. Hasil analisis kadar lemak pada berbagai jenis tiwul menunjukkan bahwa semua tiwul memiliki kadar lemak yang rendah (<1%). Hal ini dikarenakan bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan tiwul adalah tepung gaplek yang merupakan sumber karbohidrat. Kadar lemak tertinggi terdapat pada tiwul instan komersial yaitu 0,67%. Rendahnya kadar lemak pada tiwul diduga tidak berperan dalam laju pengosongan lambung karena jumlahnya yang relatif kecil. Hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tiwul memiliki IG tinggi (IG>70). Hasil penelitian Wolever & Bolognesi (1996), menunjukkan bahwa lemak dalam jumlah besar (50 g lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Hasil penelitian Wolever et al (2006) dalam Jacson (2007), menunjukkan bahwa studi akhir-akhir ini telah menjelaskan bahwa pengaruh protein dan lemak diabaikan. Hasil penelitian indeks glikemik pada 14 jenis makanan dengan variasi kandungan lemak dan protein tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kadar glukosa luas area dibawah kurva (AUC). Empat belas jenis makanan yang berbeda kandungan lemak (0-18.2 g) dan protein (0-17.5 g)
69
memiliki nilai indeks glikemik yang bervariasi, yaitu berkisar dari 35-100. Hal ini menunjukkan bahwa respon glikemik sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh variasi kandugan lemak dan protein. Perbedaan nilai indeks glikemik berbagai jenis tiwul pada penelitian ini diduga berkaiatan dengan perbedaan respon fisiologis masing-masing subjek. Nilai indeks glikemik suatu bahan makanan merupakan sesuatu yang unik. Nilai indeks glikemik tidak dapat diprediksi hanya berdasarkan komposisi kimia bahanbahan yang terkandung di dalamnya saja karena nilai indeks glikemik juga dipengaruhi oleh respon fisiologis masing-masing individu (Agrasasmita 2008 dalam Karimah 2011). Penelitian mengenai indeks glikemik produk olahan singkong masih cukup terbatas, terlebih belum ada penelitian mengenai indeks glikemik berbagai jenis tiwul dengan bahan dasar tepung gaplek yang berasal dari singkong. Informasi mengenai nilai indeks glikemik produk olahan singkong dari beberapa penelitian disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai indeks glikemik produk olahan singkong dari beberapa penelitian Peneliti Marsono Waspadji et al. Karimah Karimah Karimah Karimah
Produk Olahan Singkong Singkong kukus Singkong rebus Bubur pati singkong Bubur pati resisten singkong 1 siklus Bubur pati resisten singkong 3 siklus Bubur formula tepung emulsi
Nilai Indeks Glikemik 73 94,46 97,74 93, 69 106,09 93,96
Tahun 2002 2003 2011 2011 2011 2011
Berdasarkan hasil penelitian nilai indeks glikemik produk olahan singkong yang dilakukan oleh beberapa peneliti dapat diketahui bahwa singkong termasuk pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi (IG>70). Hasil penelitian Marsono (2002), menunjukkan bahwa nilai indeks glikemik singkong kukus adalah 73 yang termasuk dalam kategori pangan dengan indeks glikemik tinggi. Hasil penelitian Waspadji et al. (2003) menunjukkan hasil yang lebih tinggi. Singkong rebus memiliki nilai indeks glikemik 94,46 yang termasuk dalam kategori pangan dengan indeks glikemik tinggi. Perbedaan nilai indeks glikemik ini diduga karena perbedaan proses pengolahan singkong. Singkong rebus memiliki IG yang lebih tinggi dibandingkan dengan singkong kukus. Proses pemasakan yang langsung terkena air pada singkong rebus menyebabkan singkong lebih banyak menyerap air sehingga pati singkong dapat mengembang dengan cepat dan proses gelatinisasi terjadi lebih baik dibandingkan singkong kukus.
70
Berbeda dengan hasil penelitian Marsono dan Waspadji et al., penelitian Karimah (2011) mengolah singkong menjadi bubur pati singkong dan bubur pati resisten singkong. Hasil penelitian Karimah (2011) menunjukkan bahwa bubur pati singkong memiliki IG 97,74, sedangkan bubur pati resisten singkong memiliki IG 93,69 (1 siklus) dan 106,09 (3 siklus). Proses pengolahan pati singkong menjadi pati resisten singkong dapat menurunkan nilai indeks glikemik pada bubur pati resisten singkong 1 siklus. Secara umum, pengolahan singkong menjadi bubur pati singkong dan bubur pati resisten singkong menghasilkan indeks glikemik yang lebih tinggi dibandingkan pengolahan singkong dengan cara perebusan dan pengukusan. Bila dibandingkan dengan produk olahan singkong yang dijadikan tiwul, perbedaan nilai indeks glikemik antara bubur singkong dan tiwul tidak terlalu jauh. Hal ini diduga karena bahan baku pembuatan bubur singkong dan tiwul memiliki bentuk yang sama yaitu pati singkong dan tepung gaplek. Pati singkong dan tepung gaplek memiliki ukuran partikel yang lebih kecil kecil dibandingkan singkong utuh. Ukuran partikel mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas permukaan total pangan. Selama pemasakan, air, dan panas dapat memperbesar ukuran granula pati. Beberapa granula terpisah dari molekul pati dan bila sebagian besar granula pati telah mengembang maka akan tergelatinisasi penuh. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan & Siagian 2004). Perbedaan nilai indeks glikemik produk olahan singkong dari beberapa penelitian diduga disebabkan oleh perbedaan cara pengolahan pangan. Faktorfaktor lain yang dapat mempengaruhi respon glukosa darah dari suatu bahan pangan dalam tubuh manusia diantaranya adalah sifat botani sumber karbohidrat, pati resisten, serta penambahan bahan lain terhadap formula makanan (Vosloo 2005).