50
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Kemitraan Pabrik Gula dengan Petani Kemitraan dapat dikatakan hubungan suatu teman kerja, pasangan kerja ataupun teman usaha. Kemitraan dalam hal ini dapat dibentuk oleh pihak pabrik gula dan petani tebu. Pabrik gula sebagai pengelola teknologi produksi gula dari bahan baku tebu sedangkan petani tebu sebagai pengelola budidaya tanaman tebu mulai dari pembibitan sampai pemanenan. Tujuan dari kemitraan itu sendiri ialah menghilangkan sekat antara petani dengan pabrik gula sehingga hubungan kerjasamanya
lebih
transparan
dengan
prinsip
saling
membutuhkan,
meningkatkan pelayanan petani berupa pemberian insentif mutu tebu bagi petani yang kualitas tebunya memenuhi kriteria MBS (Manis Bersih Segar), serta memberikan pelayanan secara profesional terhadap seluruh petani binaan berupa saprodi dan jasa (bantuan kredit dan pembinaan). Bentuk kerja sama yang diberikan PG Madukismo kepada para petani tebu dibagi kedalam tiga kelompok kerja sama yaitu Tebu Rakyat Mandiri (TRM), Tebu Rakyat Kerja Sama Usaha (KSU) dan Kerja Sama Kemitraan. Tebu rakyat mandiri Tebu berasal dari petani, para petani secara perorangan menggilingkan tebunya dengan sistem bagi hasil dimana petani mendapatkan 70% gula yang dihasilkan dari tebu mereka dan 30% gula untuk PG Madukismo. Selain itu petani juga mendapatkan hak atas tetes gula. Pabrik Gula menyediakan pinjaman biaya garap & saprodi apabila dibutuhkan petani. Tebu rakyat kerjasama usaha Bentuk kemitraan ini dikhususkan untuk lahan sawah berpengairan teknis. Petani secara berkelompok menanam tebu dengan fasilitas kredit ketahanan pangan tebu rakyat (KKPTR) atau bisa juga dikoordinasi melalui KUD. Petani memperoleh jaminan pendapatan minimal petani (JPMP) agar petani tidak
51
mendapatkan kerugian dalam menanam tebu. Pada kemitraan KSU petani memperoleh SHU (Sisa Hasil Usaha). Tebu rakyat kemitraan Sistem pembagian hasil pada klasifikasi tebu ini hampir sama dengan Tebu Rakyat Kerja Sama Usaha yaitu petani mendapatkan jaminan pendapatan minimal petani (JPMP) tetapi jika pada sistem Tebu Rakyat Kerja Sama Usaha petani mengerjakan tebunya sendiri sedangkan pada tebu rakyat kemitraan dari pihak PG ikut turut serta dalam penanaman tebu sebagai pembimbing teknis. Selain itu, kelebihan produksi kristal dari sasaran sebesar 20 % dikembalikan ke petani (Sasaran untuk lahan tegal sebesar 60 ku/ha dan lahan sawah sebesar 80 ku/ha). Keuntungan bagi petani dalam membentuk kemitraan dengan PG Madukismo adalah sebagai berikut : 1. Kemudahan dalam memperoleh sarana produksi - Pinjaman Alat-alat Mekanisasi (Traktor & Hand Traktor) - Jaminan Bibit dari PG. Madukismo - Jatah pupuk bersubsidi langsung diperoleh dari KPTR 2. Kemudahan dalam memperoleh Permodalan - Pinjaman Biaya Garap dari PG. Madukismo - Dana Penguatan Modal Usaha Kelompok (Dana Akselerasi) - Dana Kredit Ketahanan Pangan & Energi (KKP-E) 3. Kelembagaan yang baik dan kuat - Pembinaan dan pengarahan intensif dari Dinas Perkebunan dan PG. Madukismo - Adanya wadah petani melalui APTRI & KPTR Manajemen Tebang dan Angkut Tebang angkut yang baik dan benar mengikuti pada manajemen tebang angkut yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Banyak permasalahan yang terjadi baik dalam hal teknis maupun non teknis di dalam ruang lingkup tebang angkut. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan mengikuti
52
manajemen tebang angkut yang ada di pabrik gula tersebut. Berikut adalah permasalahan yang biasa terjadi dalam aspek tebang angkut tebu di PG Madukismo. Permasalahan tebang dan angkut Tebang angkut merupakan salah satu kegiatan akhir dalam teknik budidaya tanaman tebu. Pelaksanaan tebang angkut harus mendapat perhatian secara cermat. Resiko kehilangan produksi gula karena tebang angkut sangat besar, baik dari aspek kuantitas seperti pasokan bahan baku tebu dan tebu tertinggal atau terbuang, maupun aspek kualitas seperti pengurangan kandungan dan mutu gula. Kegiatan tebang angkut tidak selamanya berjalan dengan baik dan sesuai prosedur. Ada beberapa permasalahan yang terjadi pada saat pelaksanaan. Beberapa permasalahan tebang angkut di PG Madukismo ialah sebagai berikut. a. Cara pemanenan Cara pemanenan yang salah atau tidak sesuai dengan kriteria teknis pemanenan misalnya, akan menimbulkan kerugian cukup besar. Sebagai contoh, kesalahan dalam menentukan saat panen, atau teknis pola tebang yang tidak didasarkan pada kemasakan, sebaran lokasi dan pembatasan fron tebang akan berdampak pada hasil yang lebih sedikit maupun kualitas yang kurang baik. Masalah yang umum timbul dalam tebang angkut antara lain adalah penentuan gilir/pola tebang. Hal ini karena pada saat tanam belum sepenuhnya dapat diatur sesuai dengan umur tebu dan masa gilir, saat kemasakan optimum tebu jatuh hampir pada masa yang bersamaan sehingga penebangan harus diatur secara bergilir. Dengan demikian sebagian tebu terpaksa digiling lebih awal atau lebih lambat. b. Sebagian besar lahan milik tebu rakyat PG Madukismo adalah pabrik gula yang sebagian besar lahannya merupakan lahan tebu rakyat. Sehingga dalam mengolah tebu petani rakyat dengan teknis pola tebang ini sulit karena pola tebang lebih banyak ditentukan oleh hasil kompromi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya perebutan gilir
53
tebang. Dalam prakteknya tebang diselenggarakan berdasarkan jatah terhadap kelompok tani. Faktor ini menjadi kendala utama untuk menghasilkan tebu giling bermutu tinggi. c. Lokasi dan kondisi kebun tebu Faktor lain yang merupakan kendala teknis dalam kegiatan tebang angkut yang optimal adalah lokasi kebun tebu yang semakin terpencar jauh dari pabrik gula dengan kondisi jalan yang buruk, sehingga waktu tunggu antara tebang dan giling menjadi lama, umumnya melebihi 24 jam. Hal ini menyebabkan tingkat kadar gula dalam tebu sulit dipertahankan. Untuk itu haruslah diupayakan agar tebu yang dipanen telah sampai di pabrik dalam waktu kurang dari 24 jam. Tebu yang terlalu lama ditimbun di kebun ataupun di pabrik kadar gula di dalam batangnya sebagian akan hilang karena terjadi penguapan sehingga rendemen turun (Barus, 2005). Rendemen gula dapat turun 35% dari saat tebang sampai akhir pengolahan gula. Kehilangan terbesar biasanya terjadi pada saat tebang sampai tebu siap untuk digiling sehingga tebu menjadi rusak. Rusaknya tebu juga menyebabkan tebu sukar diolah menjadi gula. d. SDM (Sumber Daya Manusia) Sumber daya manusia sering kali menjadi permasalahan dalam tebang angkut. Beberapa permasalahan yang biasa terjadi misalnya saja tenaga tebangnya baik dalam jumlah tenaga tebangnya maupun kinerja dari pihak-pihak yang terkait tebang angkut. Jumlah tenaga tebang. Tenaga tebang dibagi menjadi dua yaitu tenaga tebang drop (impor daerah) dan tenaga tebang lokal. Tenaga tebang drop adalah tenaga tebang yang di ambil dari daerah lain sehingga tenaga menginap di wilayah penebangan. Tenaga tebang lokal adalah tenaga tebang dari daerah sekitar sehingga si penebang bisa pulang pergi. Perbedaan lainnya di antara kedua tenaga tebang tersebut adalah dalam sistem pembayarannya. Tenaga lokal hanya di beri uang makan 50% besarnya dari tenaga tebang drop. Tenaga tebang drop sekitar 90% lebih dominan dibandingkan dengan tenaga tebang lokal. Hal yang
54
menjadikan sebuah permasalahannya terletak pada mayoritasnya tenaga tebang drop yang tidak stabil jumlahnya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : - Panen raya di daerah asal tenaga tebang (komoditas lain). Tenaga tebang lebih condong melakukan panen terhadap komoditas lain yang lebih menguntungkan. - Adanya pekerjaan lawah persawahan di daerah asal tenaga. - Perayaan budaya di daerah asal ; Bulan Dzulhijah, bulan Rasullan - Biaya tinggi bagi penyediaan tenaga tebang drop (transport tenaga, biaya penginaan, uang makan, sarana/fasilitas). Permasalahan yang terjadi pada tenaga tebang lokal adalah : - Sering pamit/ meminta izin dalam rangka kegiatan sosial masyarakat misalnya orang meninggal. Kinerja pihak-pihak terkait tebang dan angkut. Seorang tenaga tebang sering kali melakukan kesalahan pada saat penebangan. Mereka menebang tidak sesuai ketentuan TMT (tebang mepet tanah) minimal 3 cm di atas permukaan tanah. Hal ini karena kebiasaan tenaga tebang yang menebang tebu secara sekaligus 3-4 batang dalam sekali tebas. Di sisi lain seorang mandor dan asistennya terkadang kurang mengawasi kinerja para tenaga tebang. Beberapa pihak karyawan dari bagian lain pun ikut berperan penting misalnya dari bagian pabrikasi yang menginformasikan kekurangan atau kelebihan tebu yang disalurkan ke pabrik yang harus disesuaikan dengan kapasitas pabriknya. Pola giling dan pola tebang harus benar-benar disesuaikan agar tidak terjadi kesalahan dan kehilangan hasil yang lebih besar yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian bagi pabrik tersebut. e. Serangan hama uret Kesehatan tanaman menentukan pertumbuhan tanaman. Tanaman tebu yang terinfeksi organisme pengganggu dapat berupa hama, penyakit dan gulma dapat dipastikan tidak akan tumbuh normal. Salah satu hama yang menyebabkan kerugian cukup besar pada sentra pertanaman tebu adalah uret (Lepidiota stigma), hama ini menyerang akar dan pangkal tanaman tebu. L. stigma menimbulkan kerusakan pada saat stadia larva, sedangkan stadia kumbang tidak menimbulkan
55
kerusakan pada tebu, karena kebutuhan makanannya hanya untuk memasuki masa perkawinan dan peletakan telur. Usaha pengendalian yang dilakukan oleh petani untuk mengendalikan serangan uret selama ini dilakukan secara manual apabila serangan tidak terlalu parah namun apabila serangan sudah sangat parah maka para petani yang diarahkan oleh mandor atau asisten kebun biasanya lebih disesuaikan dengan pola tanam tebu diiringi dengan fase pertumbuhan uret tersebut. Cara tersebut dilakukan untuk mengurangi kegagalan saat panen tebu. f. Curah hujan Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kehilangan hasil tebu pada saat panen. Tingginya curah hujan yang masih terjadi saat musim panen raya tebu saat ini mengakibatkan rendemen atau kadar gula pada tebu menurun. Hujan berkepanjangan tidak hanya menyebabkan kemasakan tebu tertunda tetapi juga memengaruhi ketidaklancaran kegiatan tebang angkut tebu dari kebun ke pabrik gula. Pada saat hujan deras dapat menyulitkan alat transportasi untuk masuk ke lahan tebu karena lahan tergenang air sehingga tebu yang sudah ditebang sering kali tidak terangkut. Curah hujan dengan intensitas tinggi ini berpengaruh pada produksi gula. Tebu yang semestinya sudah masuk masa panen terpaksa ditunda untuk ditebang. Hal ini berakibat pada rendahnya rendemen. Solusi permasalahan tebang dan angkut Solusi tepat yang harus dilakukan adalah mengikuti manajemen tebang angkut yang benar sesuai dengan standar-standar yang sudah menjadi ketetapan. Manajemen Tebang dan Angkut menjadi hal yang penting dan perlu diperhatikan untuk mendapatkan tingkat produktivitas tebu yang tinggi. Hal-hal yang termasuk ke dalam tebang angkut ialah pengaturan jadwal tebang, penebangan, dan pengangkutan sampai di pabrik gula. Berdasarkan ketiga bagian dalam kegiatan tebang angkut ini diterapkan manajemen tebang angkut yang baik dan benar.
56
a. Pengaturan jadwal tebang Tebu yang sudah masak tidak langsung begitu saja dapat di tebang dan di bawa ke pabrik. Penebangan yang dilakukan harus ada aturannya agar tidak terlalu banyak di tebang dan dapat disesuaikan juga dengan kapasitas pabriknya. Pengaturan jadwal tebang yang diterapkan oleh PG Madukismo adalah perhitungan T-Score. Pada Tabel 10 disajikan perhitungan nilai tebang di PG Madukismo. Tabel 10. Asumsi perhitungan skor tebang Variabel 1. Keterangan Bongkar ratoon, serangan hama dll
2. Masa Tanam
3.Faktor Kemasakan
4. Varietas
Bobot
Penjelasan Kriteria 40% ada keterangan tdk ada keterangan 25% Masa Tanam: 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 25% <30 30-70 >70 tdk ada keterangan 10% Masak awal Masak Tengah Masak lambat Campur
Sumber : Bina sarana tani (BST) PG Madukismo, Bantul (2012)
Suatu kebun di tebang dengan beberapa syarat, yaitu keterangan bongkar ratoon, serangan hama, masa tanam, faktor kemasakan, dan varietas tebu yang ditanam seperti yang ditunjukkan pada tabel 10 di atas. Sebagai contoh dalam
Nilai 10 5 10 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 8-10 5-7 4 1 10 7 4 3
57
menanggapi serangan hama uret di wilayah Purworejo yang tingkat serangannya tinggi maka kebun tersebut mendapat skor tebang 10 yang artinya harus segera ditebang. Skor tebang diberi angka 1 – 10 dimana semakin tinggi angka yang diberikan menunjukkan kebun tersebut harus didahulukan penebangannya. Penebangan dapat dilakukan apabila telah memenuhi standar tebu MBS (Manis, Bersih, Segar). Tebu dikatakan masak apabila rendemen bagian bawah dan atas hampir sama atau angka FK mendekati angka 25. Kemasakan dipengaruhi oleh sifat genetik varietas yang ditanam ,umur tebu pada saat ditebang dan kondisi iklim/cuaca saat panen. Tebu yang segar berarti masa tunggu sejak tebu ditebang sampai digiling paling lambat 24 Jam. Tebu segera diangkut ke PG dan digiling sesuai dengan urutan tebu masuk. Tebu dikatakan bersih berarti terbebas dari kotoran bukan tebu berupa sogolan, pucukan, akar, tanah dan daduk. Hal lain yang merupakan standar penebangan yaitu kebun sudah diklentek bersih. Standarnya pengklentekan dilakukan sebanyak tiga kali
kebanyakan
pengklentekan yang dilakukan di PG Madukismo hanya sekali. Hal ini dikarenakan sifat malas dan curang dari seorang mandor dengan menimbun biaya yang seharusnya digunakan untuk pengklentekan. Menanggapi permasalahan tersebut perlu adanya upaya pengawasan oleh pihak yang tanggung jawabnya lebih tinggi seperti sinder atau tim pengawas tebu MBS agar mandor tidak berlaku curang. Menurut Sutaryanto (2009) tebang angkut dengan mutu tebu yang MBS (Manis, Bersih, Segar) dilakukan dengan cara penjadwalan kebun ditebang berdasarkan analisis kemasakan yaitu FK (Faktor Kemasakan), KP (Koefisien Peningkatan), KDT (Koefisien Daya Tahan), pemenuhan bahan baku tebu sesuai kapasitas giling harian dan total. Pengendalian sisa tebu pagi di emplasemen 010% kapasitas giling. Pada periode awal ditetapkan brix minimal nira tebu yang ditebang lebih dari sama dengan 17%. Apabila dilihat dari kapasitas pabrik di PG Madukismo sebesar 35,000 ku/hari maka 10% nya sisa tebu pagi yaitu 3,500 ku merupakan batas maksimal jumlah sisa tebu pagi. Wilayah kerja PG Madukismo sendiri rata-rata sisa tebu paginya 30%/hari yaitu 10,500 ku/hari. Hal ini dikarenakan
jumlah
pemasukan
tebu
yang
terlalu
banyak
dan
untuk
58
mengantisipasi kelebihan sisa tebu pagi maka penentuan pola tebang dan pola giling harus disesuaikan dengan kapasitas pabriknya. b. Penyiapan tenaga tebang dan truk Kapasitas giling pabrik di PG Madukismo adalah 35.000 ku/hari dengan jumlah taksasi rata-rata sekitar 800 ku/ha maka dalam satu hari dilakukan penebangan seluas 43.75 ha. Tenaga tebang yang dibutuhkan untuk menebang sejumlah luasan tersebut terdiri dari 3,500 orang. Upah seorang tenaga tebang dalam satu hari tebangnya sebesar Rp. 40,000.
Truk merupakan kendaraan
transportasi yang digunakan untuk mengangkut tebu ke pabrik. Truk yang dibutuhkan untuk mengangkut tebu dalam sehari yaitu sebanyak 583 truk. Truk tersebut diperoleh dari kontrak/pinjaman, bukan milik pabrik. Satu unit truk pinjaman dihargakan Rp. 2,500,000.
Seorang supir truk mendapatkan upah
sebesar Rp. 40,000/hari. Urutan kegiatan di pabrik gula ini yaitu pada bulan Maret melakukan kontrak atau pinjaman truk dan pembayaran uang muka sekaligus pembayaran upah tenaga kerja tahap 2 yang dilaksanakan pada bulan April. Sebelum melakukan penebangan, pihak PG Madukismo melakukan pembekalan berupa sosialisasi mutu tebangan dan training tentang tebangan tebu MBS kepada mandor dan tenaga tebang yang dikenal dengan sebutan acara Santiaji. Hasil dari penentuan pola tebang dan pola giling diperoleh jatah tebang harian dimana masing-masing sinder, mandor, dan tenaga tebang mendapatkan jatah tebang tersebut. Kebanyakan tenaga tebang diambil dari luar daerah atau dinamakan tenaga tebang drop sedangkan upah untuk tenaga tebang drop lebih besar dan untuk mengurangi pengeluaran, pihak pabrik merekruit tenaga tebang lokal lebih banyak. c. Pelaksanaan tebang dan angkut Pada pelaksanaan tebang angkut diusahakan tebangan dongkel atau paling tidak dibawah pangkal tebu yang tertutup tanah ada yang ikut digilingkan karena pada bagian tersebut kandungan sukrosanya lebih banyak. Standar tebang yang diterapkan di PG Madukismo adalah tebang mepet tanah (TMT) dengan sisa tebu
59
tertinggal di lahan maksimal 3 cm. Pengawasan mutu kebersihan tebangan harus diperhatikan agar tebu yang digiling memperoleh hasil rendemen yang tinggi. Sebagai bahan evaluasi, setiap hari dilakukan rapat tebangan untuk menghitung rencana masuk, rencana giling, dan rencana tebang (lalu, har ini, dan besok)Tebu diangkut oleh truk dan di bawa ke pabrik lalu supir truk menyerahkan SPTA (Surat Perintah Tebang Angkut) pada saat akan masuk antrian. SPTA tersebut diperoleh dari petugas administrasi tebang angkut yang diberikan kepada mandor untuk dibawa oleh supir truk. Tebu yang masuk ke gilingan disesuaikan dengan urutan antrian . Tebu pertama masuk di pos satu yaitu pos pemeriksaan. Pada pos ini dilakukan pemeriksaan kualitas tebu manis, bersih, dan segar (MBS). Verifikasi identifikasi kelengkapan SPTA dilakukan juga di pos ini lalu tebu di timbang (timbangan bruto). Selanjutnya tebu masuk pos dua yaitu pos bongkaran. Sama hal nya dengan pos satu, di pos ini juga dilakukan pemeriksaan MBS dan tebangan lalu diperoleh hasil laporan pengecekan yang dijadikan dasar premi upah tebang. Sistem bongkar yang dilakukan di PG Madukismo adalah sistem Indirect Feeding dan
Direct Feeding (dilaksanakan di meja tebu).
Sistem Indirect
Feeding ini yaitu sistem pengangkutan tebu yang dipindahkan dari truk ke lori lalu di bawa ke implacement untuk masuk ke meja giling. Sistem Direct Feeding yaitu pembongkaran yang dilakukan langsung dari truk ke meja giling tebu. Setelah tebu di bongkar di meja tebu maka truk di timbang tara untuk mengetahui berapa bobot tebu tersebut. Jadi truk kembali membawa hasil timbangan yang dijadikan dasar hasil pembayaran SHU (Sisa Hasil Usaha) petani, tenaga tebang dan lainnya. Sistem Indirect Feeding dilakukan pada siang hari sedangkan sistem Direct Feeding dilakukan pada malam hari. Alur tebang angkut tebu dari lahan ke pabrik adalah sebagai berikut :
60
Penentuan Skor Tebang
Taksasi
Persiapan Tenaga Tebang dan Truk
- Bongkar ratoon, serangan hama - Masa tanam - Faktor kemasakan -Tebu Varietas Masuk Pabrik
Giling Tebu
Tebang Angkut
Gambar 17. Alur tebang angkut tebu Sumber Daya Manusia (SDM) Baik atau buruknya teknik budidaya, prosesing di dalam pabrik, maupun pemasarannya semuanya bergantung pada kualitas sumber daya manusia PG Madukismo. Tenaga
kerja adalah faktor
penting dalam
meningkatkan
produktivitas perusahaan. Karyawan PG Madukismo di tantang membangunkan sikap yang disiplin dan sosialis dalam menjalankan tugasnya serta memiliki rasa yang kuat atas visi dan misi perusahaan yang sama dan satu tujuan. Sehingga kaitan antara kinerja dan Produktivitas beriringan. Guna mengefisienkan produktivitas kerja maka dibentuk pembagian waktu kerja yang dibedakan atas masa giling yaitu dalam masa giling dan luar masa giling. Dalam masa giling, proses produksi akan berlangsung selama 24 jam untuk bagian pabrik. Pembagian waktu kerja dibagi ke dalam tiga shift jam kerja. Ketiga shift tersebut yaitu shift pagi, siang, dan malam. Berbeda halnya dengan luar masa giling, dimana tidak berlangsungnya kegiatan produksi maka pembagian hari dan waktu untuk hari senin hingga kamis dimulai pukul 06.30 – 15.00 WIB dengan jam istirahat pukul 11.30 – 12.30 WIB, hari jumat dan sabtu karyawan hanya bekerja setengah hari dari pukul 06.30 – 11.30 WIB Kehilangan Hasil Tebu di Areal Lahan Besarnya produksi yang dihasilkan oleh PG Madukismo masih ada beberapa persentase kehilangan hasil dari awal penebangan, pengangkutan tebu ke truk, transportasi dari lahan ke pabrik, pembongkaran tebu di meja tebu, bahkan masuknya trash pada saat penggilingan pun dapat menurunkan jumlah
61
produksi dan meningkatkan persentase kehilangan hasil. Kehilangan tebu secara fisik dapat diukur melalui metode perhitungan cane wastage (tebu tertinggal yang masih memiliki nilai gula). Kehilangan tebu yang dapat di ukur adalah tunggul, pucuk, dan lonjoran. Tunggul atau tunggak adalah bagian batang bawah tebu tertinggal di kebun di atas permukaan tanah yang ditebang melebihi 3 cm dari permukaan tanah. Batas maksimal tunggak tertinggal di lahan sebesar 15 ku/ha (PT Rajawali Nusantara Indonesia, 2005). Pucuk (top) bagian ujung tebu yang masih memiliki nilai gula relatif tinggi yang tertinggal atau tidak tertebang. Kehilangan hasil ialah berkurangnya jumlah yang seharusnya bisa didapatkan dari hasil panen. Kehilangan hasil terjadi pada saat budidaya hingga pasca panen. Manajemen tebang angkut yang tidak baik akan mengakibatkan kehilangan hasil panen tebu. Kehilangan hasil tebu berdasarkan jumlahnya dibedakan atas dua wilayah yaitu wilayah Bantul dan Purworejo dengan varietas yang ditanam sama. Kedua wilayah ini merupakan lahan tadah hujan dengan drainase yang baik. Nilai kehilangan hasil pada Tabel 11 diperoleh dari bobot tebu tertinggal pada tunggul dengan batas maksimal 3 cm di atas permukaan tanah. Rata-rata kehilangan hasil fisik Tebu di Wilayah Bantul dan Purworejo disajikan pada Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11. Rata-rata kehilangan hasil panen di wilayah Purworejo Kebun Tambaksari Krendetan Depokrejo Rata-Rata Keterangan :
Luas1) (ha) 1.1 0.7 0.6
Taksasi1) (ku) 701 431 262
Taksasi1) (ku/ha) 624.7 570.9 424.6 540.6
Kehilangan2) Hasil (ku) 0.84 1.09 0.29
Kehilangan Hasil2) (ku/ha) (%) 0.77 0.12 1.56 0.25 0.49 0.11 0.94 0.16
1) Data sekunder 2) Data primer hasil pengamatan
Tabel 12. Rata-rata kehilangan hasil panen di wilayah Bantul Kebun Ngepek Brongkol BejiA Rata-Rata Keterangan :
Luas1) (ha)
Taksasi1) (ku)
Taksasi1) (ku/ha)
Kehilangan2) Hasil (ku)
8.5 2.4 2.9
4675 1201 1457
550 500.4 502.4 517.6
3,03 9,88 7,07
1) Data sekunder 2) Data primer hasil pengamatan
Kehilangan Hasil2) (ku/ha) (%) 0.35 0,06 4.11 0,82 2.43 0,48 2.30 0.45
62
Pada Tabel 11 dan Tabel 12 diamati masing-masing tiga kebun dengan luasan yang berbeda-beda. Besar kecilnya nilai taksasi diukur berdasarkan luasan masing-masing kebun lalu dikonversikan ke hektar. Kehilangan hasil pada tabel di atas diperoleh dari hasil kali antara jumlah juring dalam luasan kebun tersebut dengan kehilangan hasil pada lahan pengamatan lalu dikonversikan ke dalam luasan per hektar (satuan dijadikan kuintal). Persen kehilangan hasil panen diperoleh dari jumlah kehilangan hasil (ku/ha) dalam kuintal di bagi taksasi (ku/ha). Tabel 13. Hasil Uji t-student kehilangan hasil panen tebu pada dua wilayah Wilayah Mean (Rata-rata) St. Deviasi Rata-rata Brix Rata-rata Taksasi P-Value
Bantul 2.30 1.88 16.30 517.60
Purworejo 0.94 0.55 18.90 540.60 0.298
Berdasarkan hasil Uji t-student di atas dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa nilai P-Value diatas 0.05 sehingga perbedaan wilayah kehilangan hasil tebu pada saat panen di wilayah Bantul dan Purworejo tidak berbeda nyata meskipun nilai rata-rata kehilangan hasil pada Bantul lebih besar dibandingkan Purworejo. Besarnya nilai kehilangan hasil dari tebu tertinggal berupa tunggul disebabkan oleh kinerja tenaga tebang yang tidak mengikuti peraturan. Biasanya mereka menebang 4-5 batang sekaligus. Kebun tebu wilayah Bantul memiliki nilai brix rata-rata yang lebih rendah daripada wilayah Purworejo. Tingginya nilai brix di wilayah Purworejo ini diakibatkan adanya serangan uret yang menyerang akar tanaman tebu sehingga memaksa kemasakan tebu tersebut menjadi lebih cepat. Tingginya nilai brix > 19 menandakan bahwa tebu tersebut
sudah
dikatakan
masak
dan
tidak
akan
mengalami
peningkatan/pertumbuhan lagi sehingga jika dibiarkan maka rendemen akan turun. Secara teknis kinerja uret hampir sama dengan Ripener atau biasa disebut dengan ZPK (Zat Pemacu Kemasakan) yang biasa digunakan untuk mempercepat kemasakan tebu namun bedanya secara biologis uret ini sangat merugikan terhadap produktivitas tebu. Adanya serangan uret juga menyebabkan akar tanaman tebu mati dan kering sehingga mempermudah pemanenan tebu dengan
63
cara mencabutnya dari permukaan tanah. Oleh karena itu kehilangan hasil pada bagian tunggul tebu di daerah Purworejo lebih sedikit. Kriteria tunggul tertinggal di kebun maksimal 15 ku/ha, dapat dikatakan kehilangan hasil PG Madukismo masih dibawah batas toleransi dan terbilang kinerjanya masih baik. Nilai rendemen rata-rata di PG Madukismo adalah 6.7. Nilai rendemen ini digunakan untuk mengkonversikan berapa besar kehilangan hablur. Nilai kehilangan tebu di lahan diperoleh dari hasil kali antara taksasi (ku/ha) dengan persentase kehilangan hasil lalu dibagi 100 sedangkan nilai kehilangan hablur diperoleh dari hasil kali antara kehilangan tebu dengan rendemen di PG Madukismo (Tabel 14). Tabel 14. Hasil konversi kehilangan hasil panen tebu Wilayah Bantul Purworejo
Kehilangan Tebu (ku/ha)
Kehilangan Hablur (ku)
2.33 0.86
0.15 0.05
Kadar Kotoran/ Trash Kotoran/trash adalah bagian tebu yang meliputi daun kering, daun yang masih hijau, pucuk dan akar yang masuk ke dalam mesin gilingan bersamaan dengan tebu. Daun kering yaitu daun yang sudah mengering dan berwarna coklat. Daun hijau meliputi semua daun yang berwarna hijau atau kuning. Pucuk yaitu bagian antara pucuk tebu dan ruas batang yang terakhir (Paes and Oliveira, 2005). Kotoran yang terbawa gilingan akan menurunkan rendemen. Tiap kenaikan kotoran 1% akan menurunkan rendemen 0.194% (Sulaiman, 2009). Ketentuan tebu BSM (Bersih, Segar, Manis) PG Madukismo harus diterapkan dan dijalankan dengan baik untuk menekan kehilangan hasil dan terbawanya trash/kotoran pada saat giling. Pengawasan BSM PG Madukismo menetapkan kadar kotoran maksimal sebesar 5% (PT Rajawali Nusantara Indonesia, 2005).
64
Tabel 15. Koreksi kotoran pada tebu yang akan digiling Koreksi Kotoran (kg)
Bulan
Bobot Tebu Contoh (kg)
Rapak
Pucuk
Bung
Mei Juni Jumlah
1,024,100 1,093,000 2,117,100
9,157.20 9,218.15 18,375
6,839.60 8,629.25 15,469
7,146.75 9,626.90 16,774
Tebu Mati 928.55 591.45 1,520
Akar 273.60 63.10 337
Sumber: Bina sarana tani PG Madukismo, Bantul (2012)
Tabel 16. Persentase kotoran tebu yang akan digiling Persentase Kotoran (%) Bulan Mei Juni Rata-rata
Rapak
Pucuk
Bung
Tebu Mati
Akar
0.89 0.84 0.87
0.67 0.79 0.73
0.70 0.88 0.79
0.001 0.001 0.001
0.0003 0.0001 0.0002
Jumlah Persentase Kotoran Tebu (%) 2.38 2.57 2.48
Sumber: Bina sarana tani PG Madukismo, Bantul (2012)
Nilai persentase kotoran tebu diperoleh dari hasil bagi antara koreksi kotoran dengan berat tebu contoh. Peubah-peubah yang menjadi koreksi kotoran yaitu rapak, pucuk, bung, tebu mati, dan akar. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa koreksi kotoran rapak memiliki jumlah yang lebih besar dibanding yang lainnya dan akar merupakan kotoran yang paling sedikit terbawa. Hasil rata-rata jumlah persentase kotoran tebu pada bulan Mei dan Juni sebesar 2.48% sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja tebang angkut PG Madukismo berjalan dengan baik karena tidak melebihi standar maksimal kadar kotoran tebu sebesar 5%. Kegiatan tebang angkut tebu harus lebih diperhatikan kembali meskipun angka persentase kotoran tebunya masih dibawah standar agar PG Madukismo lebih menekan lagi nilai 2.48% kotoran tebu sehingga dapat meningkatkan hasil produktivitas tebu dan mencapai target yang telah ditentukan. Pengaruh Curah Hujan Hubungan curah hujan sangat berkaitan dengan produktivitas tebu, rendemen, dan produktivitas hablur. Pada Tabel 17 disajikan korelasi antara curah hujan tahun 2006-2007 dengan produktivitas tebu, rendemen, dan produktivitas hablur tahun 2007-2010.
65
Tabel 17. Hasil uji korelasi curah hujan terhadap produktivitas tebu, rendemen, dan produksi hablur. Korelasi CH vs Produktivitas tebu CH vs Rendemen CH vs Produksi Hablur
Nilai Korelasi -0.839 0.572 -0.219
P-Value 0.076 0.314 0.724
Berdasarkan korelasi tersebut hubungan curah hujan dengan produktivitas tebu memiliki nilai korelasi mendekati -1 dan lebih besar jika dibandingkan dengan peubah lainnya. Hal ini berarti curah hujan yang tinggi lebih berpengaruh terhadap produktivitas tebu. Hal ini dapat didukung berdasarkan data curah hujan yang terdapat pada lampiran 5 dan produktivitas tebu di PG Madukismo. Produktivitas tebu pada tahun 2011 mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan curah hujan pada tahun 2010 tidak terdapat bulan kering.