IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Empat Jenis Kayu Rakyat berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Kayu Nilai rata-rata kehilangan bobot (weight loss) pada contoh uji kayu
sengon, karet, tusam, dan mangium hasil pengujian laboratorium terhadap serangan jamur pelapuk kayu S. commune berdasarkan arah serat longitudinal dan cross section seperti terlihat pada tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8. Nilai Rataan Persentase kehilangan bobot (% P) pada pengujian empat jenis kayu rakyat oleh jamur pelapuk S. commune dengan metode SNI Jenis Kayu dan Arah Serat
BA₁
BK₁
KA₁
BA₂
Sengon Longitudinal 13,13 8,49 34,11 10,26 Sengon Cross section 11,23 6,86 35,23 9,73 Karet Longitudinal 12,33 10,39 15,75 15,75 Karet Cross section 13,31 11,07 16,71 17,58 Tusam Longitudinal 14,99 13,92 7,10 17,02 Tusam Cross section 15,78 14,99 4,97 18,74 Mangium Longitudinal 12,42 11,39 8,29 16,33 Mangium Cross section 11,08 10,14 8,47 14,97 Ket : BA₁ = Bobot awal contoh uji kayu sebelum pengujian (gram)
BK₂ 5,62 5,79 8,96 9,75 12,80 13,59 10,67 9,50
KA₂ 45,09 40,19 42,92 44,48 24,73 27,24 34,45 36,42
P (%) 32,18 15,47 13,80 11,96 8,03 9,33 6,28 6,33
BK₁ = Bobot kering tanur contoh uji kayu sebelum pengujian (gram) KA₁ = Kadar air contoh uji kayu sebelum pengujian (%) BA₂ = Bobot awal contoh uji kayu setelah pengujian (gram) BK₂ = Bobot kering tanur contoh uji kayu setelah pengujian (gram) KA₂ = Kadar air contoh uji kayu setelah pengujian (%) P
= Persentase kehilangan bobot (%)
Parameter ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk S. commune dilihat dari nilai kehilangan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium (laboratory test). Kehilangan bobot merupakan nilai pengurangan bobot kayu akibat perlakuan uji laboratorium selama kurang lebih 90 hari yang mengakibatkan bobot kayu berkurang. Standar pengujian yang digunakan pada penelitian ini adalah SNI 01.7207-2006. Standar ini digunakan untuk menguji
24
empat jenis kayu rakyat, antara lain: kayu sengon, kayu karet, kayu tusam, dan kayu mangium.
Keempat jenis kayu rakyat ini memiliki ukuran yang telah
terstandarisasi yaitu 5 cm x 2,5 cm x 1,5 cm. 35
32,18
Penurunan Bobot (dalam %)
30 25 20
15,47 15
Long
13,8
Cross
11,96 9,33
10
8,03
6,28 6,33
5 0 Sengon
Karet
Tusam
Mangium
Gambar 5. Persentase kehilangan bobot pada pengujian empat jenis kayu rakyat dengan arah serat longitudinal dan cross section oleh jamur pelapuk S. commune dengan metode SNI 4.2
Sidik ragam
Tabel 9. Hasil sidik ragam kehilangan bobot terhadap jenis kayu, arah serat, serta interaksi antara jenis kayu dan arah serat Sumber Keragaman
db
Jk
KT
Fhit
Jenis kayu
3
3614,52
1204,84
66,87*
Arah serat
1
369,63
369,63
20,52*
Interaksi
3
1050,72
350,24
19,44*
Galat/error
72
Total
79
Keterangan : * berbeda nyata pada uji F taraf 0,05
Hasil Analisa Statistik dengan menggunakan sidik ragam pada tabel 9 dengan selang kepercayaan yang digunakan adalah 95%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang nyata antarperlakuan jenis kayu (sengon x karet x tusam x mangium), maupun antarperlakuan arah serat (longitudinal x cross section), serta
25
interaksi antara perlakuan jenis kayu dan arah serat (jenis kayu x arah serat) terhadap kehilangan bobot kayu, hal ini ditandai dengan nilai Pr > F untuk setiap perlakuan adalah < 0,05. Hasil sidik ragam menyatakan bahwa interaksi antara jenis kayu dan arah serat memiliki pengaruh nyata terhadap persentase kehilangan bobot contoh uji pada α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat longitudinal maupun cross section. Berdasarkan pada grafik 1 juga terlihat bahwa interaksi antara jenis kayu dan arah serat memiliki pengaruh nyata dimana nilai kehilangan bobot pada kayu sengon dan karet, arah serat longitudinal lebih tinggi daripada arah serat cross section. Sedangkan, nilai kehilangan bobot pada kayu tusam dan mangium arah serat longitudinal lebih rendah daripada cross section namun dengan selisih yang lebih kecil. 4.3
Nilai Rata-rata Kehilangan Bobot Berdasarkan Uji Duncan
Tabel 10. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan jenis kayu Jenis Kayu
Rata-rata
Sengon Karet Tusam Mangium Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %
Berdasarkan tabel 10 di atas, apabila dilihat dari perbedaan jenis kayu, kayu sengon memiliki nilai rata-rata tertinggi sebesar 23,826%. Hasil dari uji Duncan menyatakan bahwa kayu sengon memberikan pengaruh nyata dalam hal ini berbeda nyata dengan kayu karet dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 12,878% serta berbeda nyata dengan kayu tusam dan kayu mangium. Sedangkan kayu tusam dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,680% tidak berbeda nyata dengan kayu magium dengan kehilangan bobot sebesar 6,301%. Dengan demikian perlakuan dengan jenis kayu sengon dapat digunakan sebagai kayu kontrol dalam pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur S. commune.
26
Tabel 11. Nilai rata-rata kehilangan bobot berdasarkan perbedaan arah serat kayu Arah Serat
Rata-rata
Longitudinal Cross section Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %
Berdasarkan uji Duncan pada tabel 11 di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot arah serat longitudinal sebesar 15,0708 % berbeda nyata dengan arah serat cross section sebesar 10,7718 %. Hal ini sesuai dengan grafik tingkat degradasi rata-rata pada gambar 5 bahwa nilai kehilangan bobot contoh uji kayu sengon dan karet berdasarkan arah serat menunjukkan nilai persentase arah serat longitudinal lebih besar dibandingkan dengan arah serat cross section (berbeda nyata). Sedangkan untuk contoh uji kayu tusam dan mangium berdasarkan gambar 5 menunjukkan hal sebaliknya yaitu bahwa nilai persentase arah serat longitudinal lebih kecil dibandingkan dengan arah serat cross section namun dengan selisih yang kecil sehingga dapat diasumsikan tidak berbeda nyata. Dengan demikian perlakuan dengan arah serat longitudinal dapat digunakan sebagai standar pengujian ketahanan kayu terhadap serangan jamur pelapuk S. commune.
Tabel 12. Nilai rata-rata kehilangan bobot dari hasil akhir uji Duncan Interaksi Jenis Kayu & Arah Serat
Rata-rata
Sengon Longitudinal Sengon Cross Karet Longitudinal Karet Cross Tusam Longitudinal Tusam Cross Mangium Longitudinal Mangium Cross Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 %
27
Pengaruh dari perbedaaan jenis kayu dan arah serat terhadap persentase kehilangan bobot kayu contoh uji menunjukkan bahwa sengon longitudinal memberikan pengaruh yang nyata dalam hal ini berbeda nyata dengan sengon cross dan perlakuan lainnya (lihat tabel 12). Pengaruh nyata ini terlihat pada persentase kehilangan bobot sengon longitudinal sebesar 32,177 % terhadap sengon cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %. Sementara untuk beberapa perlakuan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Hal ini seperti pada karet longitudinal dengan persentase kehilangan bobot sebesar 13,801 % tidak berbeda nyata dengan sengon cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 15,475 %. Antara tusam longitudinal dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 8,028 % tidak berbeda nyata dengan tusam cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 9,331 %. Hal yang sama juga terjadi antara mangium longitudinal dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 6,227 % tidak berbeda nyata dengan mangium cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 6,326 %. Sementara itu, pada perlakuan karet cross dengan rata-rata kehilangan bobot sebesar 11,955% tidak berbeda nyata dengan sengon cross 15,475%, karet longitudinal 13,801%, tusam longitudinal 8,028%, tusam cross 9,331%.
Tabel 13. Perbandingan Kelas Awet Kayu Berdasarkan Literatur dan Hasil Uji Laboratorium Jenis Kayu
Kehilangan bobot
Kelas Awet (penelitian)
Kelas Awet (literatur)
Long
Cross
Long
Cross
Sengon
32,18%
15,47%
V
IV
IV-V *) dan II-IV **)
Karet
13,8%
11,96%
IV
IV
V *)
Tusam
8,03%
9,33%
III
III
IV ***)
Mangium
6,28%
6,33%
III
III
III *)
Keterangan: *)
Mandang dan Pandit 1997
**)
Martawijaya et al. 1989
***)
Pandit dan Ramdan 2002
Dari hasil pengujian seperti terlihat pada tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kehilangan bobot sengon dengan arah serat longitudinal (32,18 %) dan arah serat cross section (15,47 %). Berdasarkan SNI 01.7207-2006,
28
nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section termasuk dalam kategori tidak tahan sampai sangat tidak tahan atau masuk dalam kelas awet IV-V dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10% sampai dengan 30% dan bahkan lebih dari 30%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa kayu sengon termasuk kelas awet IV-V yang berarti memiliki ketahanan yang sangat rendah terhadap serangan jamur pelapuk S. commune. Martawijaya et al. menambahkan bahwa kayu sengon termasuk ke dalam kelas awet II-IV (tahan sampai tidak tahan). Dengan demikian, sengon dapat direkomendasikan sebagai kayu kontrol pengujian ketahanan kayu alami. Sementara, kehilangan bobot untuk kayu karet dengan arah serat longitudinal (13,8%) dan arah serat cross section (11,96%). Berdasarkan SNI 01.7207-2006, nilai kehilangan bobot kayu sengon dengan arah serat longitudinal dan cross section termasuk dalam kategori tidak tahan atau masuk dalam kelas awet IV dengan persentase kehilangan bobot berkisar antara 10% sampai dengan 30%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu karet tidak cocok dijadikan kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini memang tidak sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu karet termasuk dalam kelas awet V yang berarti memiliki ketahanan yang sangat rendah (sangat tidak tahan). Kehilangan bobot untuk kayu tusam arah serat longitudinal (8,03%), dan arah serat cross section (9,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI 01.72072006, tingkat katahanan kayu pinus terhadap jamur pelapuk S. commune masuk dalam kategori agak tahan atau masuk dalam kelas awet III dengan skor kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu tusam tidak cocok digunakan sebagai kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini juga tidak sesuai dengan pernyataan Pandit dan Ramdan (2002) bahwa sifat ketahanan kayu pinus/tusam termasuk ke dalam kelas awet IV. Kehilangan bobot untuk kayu mangium arah serat longitudinal (6,28%), dan arah serat cross section (6,33%). Berdasarkan standar pengujian SNI 01.72072006, tingkat katahanan kayu akasia terhadap jamur pelapuk S. commune masuk dalam kategori agak tahan atau masuk dalam kelas awet III dengan skor
29
kehilangan bobot berkisar antara 5% sampai dengan 10%. Hal ini menunjukkan bahwa jamur S. commune pada kayu mangium tidak cocok digunakan sebagai kontrol dalam uji ketahanan kayu terhadap jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mandang dan Pandit (1997) bahwa sifat ketahanan kayu A. mangium termasuk ke dalam kelas awet III.
4.4
Tingkat Kerusakan Berdasarkan Pengamatan Visual Kayu Pengamatan visual kayu merupakan pengamatan yang dilakukan untuk
melihat pengaruh serangan jamur pelapuk S. commune secara kasat mata terhadap contoh uji kayu yang diumpankan selama kurang lebih 90 hari. Secara umum, terlihat bahwa kolonisasi miselium menyebar mulai dari sisi dinding sel kayu menuju ke bagian tengah permukaan kayu, serta semakin menebal dan merata di seluruh permukaan kayu seiring dengan bertambahnya lama inkubasi. Dari pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa contoh uji kayu yang telah diserang oleh jamur pelapuk S. commune mengalami perubahan warna, yaitu menjadi lebih terang (cokelat muda atau kemerahan) dan rapuh, seperti terlihat pada keempat jenis kayu rakyat yang diujikan berikut ini. (Gambar 6, 7,8, dan 9)
Sengon arah serat longitudinal dan cross section
(a.)
(b.)
(c.)
(Sumber foto : Laila F.)
Gambar 6. Contoh Uji Kayu Sengon arah serat longitudinal dan cross section (a.) CU kayu sengon sebelum pengumpanan; (b.) CU kayu sengon setelah pengumapanan yang masih diselimuti oleh jamur; (c.) CU kayu sengon setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih gelap dan lebih lunak dibandingkan dengan sebelum pengumpanan.
30
Karet arah serat longitudinal dan cross section
(a.)
(b.)
(c.)
(Sumber foto : Laila F.)
Gambar 7. (a.) Miselium pada Contoh Uji Kayu Karet arah serat longitudinal mengeluarkan bakal buah; (b.) Kayu karet cross section yang masih diselimuti jamur; (c.) Kayu Karet arah cross section setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.
Tusam arah serat longitudinal dan section
(a.)
(c.)
(b.)
(d.)
(Sumber foto : Laila F.)
Gambar 8. (a.) Kayu Tusam sebelum pengumpanan; (b.) Miselium pada Kayu Tusam arah serat longitudinal; (c.) Miselium pada Kayu Tusam arah serat cross section; dan (d.) Kayu tusam arah serat longitudinal setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.
31
Mangium arah serat longitudinal dan cross section
(a.)
(b.)
(c.)
(Sumber foto : Laila F.)
Gambar 9. (a.) Contoh Uji Kayu mangium longitudinal sebelum pengumpanan; (b.) Miselium pada Kayu mangium arah serat cross section; (c.) Kayu mangium arah serat cross section setelah pengumpanan selama 90 hari berwarna lebih coklat dan gelap dibandingkan sebelum pengumpanan.
4.5
Ketahanan Alami Kayu Menurut Tobing (1977), ketahanan alami kayu adalah daya tahan suatu
jenis kayu terhadap organisme perusak kayu, berupa serangga, jamur, dan binatang laut penggerek. Ketahanan kayu dipengaruhi oleh kandungan zat ekstraktif, umur pohon, bagian kayu dalam batang (teras atau gubal), kecepatan tumbuh, dan tempat dimana kayu digunakan. Wistara (2002) dalam Pratiwi (2009) menambahkan bahwa ketahanan alami kayu terutama dipengaruhi oleh kadar ekstraktifnya. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula. Brown dan Panshin (1949) dalam Ediningtyas (1993) menyatakan bahwa beberapa zat ekstraktif seperti tannin dan senyawa-senyawa phenolik memiliki sifat racun dan dalam jumlah yang yang cukup, dapat mencegah kerusakan kayu oleh faktor perusak. Zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi, semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu tersebut akan semakin rendah. Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun (Ediningtyas 1993). Kandungan
32
zat ekstraktif di dalam kayu memang sangat kecil dibandingkan dengan kandungan selulosa, hemiselulosa maupun lignin akan tetapi pengaruhnya cukup besar terhadap sifat kayu dan sifat pengolahannya, antara lain yang sangat penting adalah pengaruhnya terhadap sifat ketahanan alami kayu (Ramadhani 2006). Pada dasarnya semua bagian kayu dapat dimanfaatkan oleh mikro organisme tertentu. Holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin yang secara bersama menyusun bagian terbesar kayu, akan dipecahkan oleh enzimenzim yang dikeluarkan oleh cendawan dan bakteri menjadi persenyawaanpersenyawaan yang sederhana, seperti gula, yang dapat diabsobsi dan dicerna oleh organisme-organisme perusak kayu (Scheffer 1973 dalam Pratiwi 2009). Ketahanan alami ditentukan oleh zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap faktor perusak kayu, sehingga dengan sendirinya ketahanan alami ini akan bervariasi sesuai dengan variasi jumlah serta jenis zat ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan ketahanan alami berbeda-beda menurut jenis kayu, dalam jenis kayu yang sama maupun dalam pohon yang sama. Variasi ketahanan dalam pohon yang sama terjadi antara kayu gubal dengan kayu teras. Kayu gubal mempunyai ketahanan yang rendah karena gubal tidak mengandung zat ekstraktif. Inilah sebabnya penggolongan ketahanan kayu didasarkan pada ketahanan kayu terasnya. Variasi ketahanan juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras bagian luar lebih awet dibanding kayu teras bagian dalam (Tobing 1977).
4.6
Ketahanan Kayu Terhadap Jamur Pelapuk S. commune Fr. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan kayu dari
serangan faktor perusak kayu yaitu faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar berkaitan dengan kondisi lingkungan dimana kayu tersebut digunakan, sedangkan faktor dalam adalah pengaruh komponen kimia dari kayu yang bersangkutan. S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang merombak lignin dan selulosa. Jamur pelapuk kayu mampu merusak selulosa dan lignin penyusun kayu dengan cara menguraikan kayu melalui proses enzimatik dari bentuk yang kompleks menjadi lebih sederhana. Hal ini menyebabkan bobot kayu menurun dari bobot awalnya. Besarnya nilai kehilangan bobot akibat
33
serangan jamur dalam waktu tertentu menunjukkan tingkat penyerangan jamur terhadap kayu tersebut (Tambunan & Nandika 1989 dalam Fitriyani 2010). Hasil Analisa Statistik menyatakan bahwa persentase kehilangan bobot berbeda nyata pada taraf uji α = 0,05. Artinya keempat jenis kayu rakyat menghasilkan kehilangan bobot yang berbeda-beda baik menggunakan arah serat longitudinal maupun cross section. Nilai rataan kehilangan bobot pada kayu sengon nyata lebih tinggi dibanding ketiga jenis kayu rakyat lainnya (kayu karet, tusam, dan mangium). Hal ini diduga karena jumlah selulosa dan lignin yang terkandung pada kayu sengon lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya. Martawijaya et al. (1989) dalam Atlas Kayu Jilid 2 menyatakan bahwa kadar selulosa kayu sengon tergolong tinggi (49,4%), sedangkan kandungan ligninnya termasuk sedang (26,8%). Menurut Pari (1996), kandungan selulosa kayu karet tergolong tinggi (47,81-48,64%). Boerhendy dan Agustina (2006) dalam Fitriyani (2010) menambahkan bahwa kandungan selulosa pada kayu karet mencapai 45%, sedangkan kandungan ligninnya tergolong sedang yaitu 19,0-24,0%. Sementara, menurut Deptan (1999) dalam Malik et al. bahwa kandungan selulosa pada kayu mangium tergolong sedang yaitu sebesar 40-44%, sedangkan menurut Siagian et al. (1999) kandungan ligninnya sebesar 19,7%. Pelapukan kayu merupakan proses berkurangnya kepadatan kayu yang dikarenakan terjadinya kerusakan bahan dasar kayu oleh jamur untuk proses respirasi yang menghasilkan sejumlah CO2 dan H2O. Dikatakan bahwa kayu pada tingkat pelapukan yang sudah lanjut dapat berubah, terutama warna kayu sebagai akibat perombakan bahan dasar oleh jamur (Cartwright dan Findlay 1958 dalam Rosyadi 1992). Mekanisme pelapukan kayu oleh jamur dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe prefensi dan tipe simultan. Jamur tipe prefensi akan mendegradasi lignin terlebih dahulu sebelum menguraikan hemiselulosa dan selulosa. Sedangkan jamur tipe simultan mampu merombak selulosa, hemiselulosa, dan lignin pada waktu dan kecepatan yang sama (Irawati 2006). Serangan jamur perusak kayu (wood destroying fungi) bersifat menghancurkan dan membusukkan bahan organik kayu karena sebagian dari masa kayu dirombak secara biokimia. Kerusakan kayu akibat serangan jamur dapat
34
dilihat dengan adanya perubahan sifat fisik dan sifat kimia dari kayu. Perubahan tersebut sangat berpengaruh terhadap kemungkinan pemakaian kayu. Pada prinsipnya semua jenis kayu dengan berbagai bentuk dan ukuran dapat diserang oleh jamur. Akan tetapi ada juga beberapa kayu yang tahan terhadap serangan jamur. Hal ini disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat sebagai anti jamur alami (Nandika 1986). Persentase kehilangan bobot kayu mangium adalah yang terendah yaitu sebesar 6,28% (arah serat longitudinal) dan 6,33% (arah serat cross section). Hal ini dapat juga dikatakan bahwa kayu mangium merupakan kayu yang paling tahan terhadap serangan jamur pelapuk kayu S. commune dibandingkan ketiga kayu lainnya (sengon, karet, dan tusam). Hal ini diduga karena jumlah zat ekstraktif yang terkandung pada kayu mangium lebih tinggi dibanding ketiga kayu lainnya. Zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi, semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka kehilangan berat kayu tersebut akan semakin rendah. Meskipun tidak semua ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar ekstraktif, ketahanan alami kayu cenderung meningkat pula. Menurut Malik et al., kandungan zat ekstraktif kayu mangium tergolong tinggi sebesar 5,6% sampai 14,8%. Sementara, menurut Martawijaya et al. (1989) kandungan zat ekstraktif kayu sengon termasuk rendah yaitu sebesar 3,4%. Pari (1996) menambahkan kandungan zat ekstraktif kayu karet sebesar 4,18-4,43%. Kandungan dan komposisi zat ekstraktif berubah-ubah di antara spesies kayu, dan bahkan terdapat juga variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur, dan rayap (Fengel & Wegener, 1995). Jika dilihat dari jenisnya, kayu sengon, karet, dan mangium tergolong ke dalam kayu daun lebar (Hardwood), sedangkan kayu pinus/tusam tergolong ke dalam kayu daun jarum (Softwood). Kandungan selulosa dan lignin pada kayu daun lebar (Hardwood) lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum (Softwood) (Pari 1996). Fengel & Wegener (1984) menambahkan bahwasannya struktur selulosa pada kayu daun jarum (softwood) sama dengan pada kayu daun
35
lebar (hardwood), tetapi selulosa pada kayu daun lebar mempunyai serat yang pendek, sedangkan pada kayu daun jarum mempunyai serat panjang. Lignin pada kayu daun lebar berbeda dibandingkan dengan pada kayu daun jarum, baik susunan maupun kadarnya. Susunan dan kadar lignin berpengaruh terhadap sifatsifat seperti ketahanan kayu terhadap mikroorganisme, degradasi dan juga dalam teknologi pengolahan dan sebagainya. Sementara itu, kandungan zat ekstraktif pada kayu daun lebar (Hardwood) lebih rendah dibandingkan kayu daun jarum (Softwood). Karena zat ekstraktif berperan dalam melawan serangan jamur pelapuk. Jadi semakin tinggi kandungan ekstraktif yang terdapat dalam kayu maka nilai kehilangan bobot kayu tersebut akan semakin rendah. Tahapan persiapan contoh uji yang tertulis pada metode SNI 01.72072006 masih kurang lengkap, karena pada tahapan ini tidak ada perintah untuk menimbang dan mengoven contoh uji kayu sebelum diumpankan pada jamur. Sebelum pengumpanan sebaiknya menimbang dahulu bobot awal dan mengoven contoh uji untuk selanjutnya ditimbang bobot kering tanurnya (W1). Data W1 dibutuhkan untuk menghitung persen kehilangan bobot contoh uji sesuai dengan persamaan atau rumus yang terdapat pada poin 3.3.5 (perhitungan kehilangan bobot). Nilai kehilangan bobot contoh uji kayu berdasarkan metode SNI 01.72072006 merupakan selisih antara berat contoh uji kayu sebelum dan sesudah pengujian (W1-W2 atau ΔW) dibagi dengan bobot contoh uji kayu sesudah pengujian (W2) dikalikan seratus persen. Jika menggunakan rumus kehilangan bobot yang tertulis dalam SNI 01.7207-2006 berdasarkan hasil perhitungan dari data-data yang diperoleh, maka didapat nilai yang tidak sesuai standar. Namun jika dihitung menggunakan rumus yang tertulis dalam JIS K 1571-2004, maka nilai kehilangan bobot contoh uji kayu sesuai dengan nilai yang ada pada standar. Hal ini menunjukkan bahwa rumus perhitungan persen kehilangan bobot kayu yang tertulis pada standar SNI kurang tepat. Untuk memperbaiki kualitas pernyataan hasil standar SNI, maka sebaiknya standar SNI mengacu pada rumus kehilangan bobot contoh uji kayu yang tertulis dalam standar JIS, yaitu selisih antara bobot contoh uji kayu sebelum dan sesudah pengujian (ΔW) dibagi dengan bobot contoh uji kayu sebelum pengujian (W1) dikalikan seratus persen.