HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik lokasi Penelitian dilakukan di Desa Padajaya Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lokasi penelitian termasuk dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 1300 meter di atas permukanan laut (mdpl) serta memiliki topografi yang berbukit. Berdasarkan letak geografisnya lahan berada pada koordinat 107°01'13.4" BT dan 6°44'37.7" LS (Gambar 1). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah ini memiliki suhu rata-rata bulanan antara 20.8° sampai 21.7°C (Tabel 1). Menurut Oldeman (1980), curah hujan selama penelitian termasuk kategori bulan basah (Tabel 1).
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Tabel 1 Curah hujan, dan suhu, di Kecamatan Cipanas selama pengamatana bulan Minggu setelah tanam Curah hujan (mm) Suhu (oC) April 1 485.5 21.3 Mei 2-5 272.2 21.7 Juni 6-10 211.9 21.3 Juli 11-13 272.8 20.8 a
sumber: BMKG
Populasi S. exigua Faktor abiotik seperti curah hujan dan temperatur mempengaruhi populasi S. exigua. Temperatur yang tinggi dapat memperpendek stadium larva, pupa dan imago. Daur hidup S. exigua di dataran tinggi memerlukan waktu yang relatif lebih lama dibandingkan dataran rendah. Suhu optimum yang dibutuhkan oleh serangga ini adalah 28 oC (Smits 1987). Suhu rata-rata saat penelitian berkisar antara 20.8 oC sampai 21.7 oC, hal ini menyebabkan laju pertumbuhan populasi di lokasi penelitian rendah.
6
Larva S. exigua yang baru menetas tinggal beberapa saat di atas tumpukan telurnya, setelah itu larva akan menggerek ke dalam daun bawang di sekitar kelompok telur (Ernawati 1996). Larva S. exigua yang berada di dalam daun tanaman bawang daun, memakan jaringan daun sebelah dalam, sedangkan lapisan epidermis luar ditinggalkan. Serangan S. exigua pada daun bawang akan menunjukan gejala daun jendela yang berwarna putih memanjang dari atas ke bawah. Semakin lama, gejala tersebut semakin jelas (Gambar 2B). Apabila larva S.exigua berpindah ke daun yang lain, akan terlihat lubang gerekan yang agak besar pada daun yang ditinggalkan, pada tingkat serangan yang berat dapat menyebabkan sebagian besar daun menjadi terkulai, dan layu (Gambar 2C) (Rukmana 1995).
A
B
c
D
Gambar 2 Tanaman bawang daun (A) tidak terserang hama, (B) terserang S. exigua pada tingkat rendah, (C). terserang S. exigua pada tingkat tinggi, (D) gejala tanaman terserang kutu daun.
Polimorfisme larva S. exigua dapat menjadi indikator tingkat populasi larva. Menurut Rauf (1999), polimorfisme larva dipengaruhi kerapatan populasi, saat populasi tinggi larva cenderung berwarna cokelat, sedangkan saat populasi rendah berwarna hijau daun. Larva yang ditemukan pada penelitian ini umumnya berwarna hijau daun yang menandakan bahwa populasi larva saat penelitian tergolong rendah. Dinamika populasi S. exigua pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar 3. Dinamika populasi S. exigua diamati seminggu satu kali selama 13 minggu (Gambar 3). Pengamatan dimulai pada 1 minggu setelah tanam (mst). Populasi S. exigua P1, pada 1 mst kerapatan populasi S. exigua 0.0069 individu/rumpun. Populasi larva meningkat dan mencapai tingkat tertinggi sebesar 0.1736 individu/rumpun pada 9 mst. Setelah 9 mst populasi menurun hingga 0.0139 individu/rumpun pada 13 mst. Kerapatan populasi S. exigua P2 0.0556 individu/rumpun pada 1 mst. Populasi meningkat dan mencapai tingkat tertinggi sebesar 0.2361 individu/rumpun pada 8 mst. Setelah 8 mst kerapatan populasi menurun hingga mencapai kerapatan 0.0208 individu/rumpun pada 13 mst. Kerapatan awal populasi S. exigua pada P3 sebesar 0.0069 individu/rumpun. Populasi meningkat dan mencapai tingkat kerapatan tertinggi sebesar 0.1528 individu/rumpun pada 8 mst. Setelah 8 mst populasi menurun sampai 13 mst sebesar 0.0208 individu/rumpun. Populasi larva tertinggi berurutan yaitu P2, P1, dan P3.
7 0.2500
kerapatan populasi (Individu/rummpun)
0.2000 0.1500 P1 0.1000
P2 P3
0.0500 0.0000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
mst Gambar 3 Dinamika populasi S. exigua pada ketiga perlakuan (P1 = monokultur bawang daun; P2 = monokultur bawang daun dengan ekstrak daun wortel; P3 = tumpangsari bawang daun dengan wortel)
Fluktuasi populasi S. exigua disebabkan oleh penetasan telur yang tidak serempak menyebabkan perbedaan populasi larva setiap minggunya. Pada 8 dan 9 mst populasi S. exigua tinggi pada P1, P2, dan P3 yang disebabkan melimpahnya pakan karena pertumbuhan bawang daun yang optimum. Pada 9 mst sampai 13 mst populasi S. exigua. Penurunan dapat disebabkan karena migrasi, mati atau berkepompong. Persaingan pakan dengan naiknya populasi kutu daun setelah 10 mst juga dapat menyebabkan penurunan populasi S. exigua. Populasi kutu daun menyebabkan beberapa rumpun mati (Gambar 2D), sehingga terjadi persaingan nutrisi antara kutu daun dengan S. exigua yang pada akhirnya dapat menurunkan populasi S. exigua. Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa populasi S. exigua tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata antar P1, P2 dan P3 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tanaman inang tidak mempengaruhi populasi S. exigua instar 3. Populasi yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh rendahnya populasi S. exigua. Populasi S. exigua rendah pada musim hujan. Menurut Kalshoven (1982), S. exigua adalah hama musim kemarau, biasanya berlangsung singkat dipicu oleh gangguan lingkungan eksternal seperti musim kemarau yang kering. Menurut Rauf (1999) populasi S. exigua meledak karena berlimpahnya sumberdaya makanan, dan musim kering merupakan faktor pendukung utama. Musim mempengaruhi populasi hama sebab cekaman kekeringan pada tanaman dapat meningkatkan kadar asam amino daun, peningkatan kadar Nitrogen daun menyebabkan keperidian S. exigua lebih tinggi dan siklus hidupnya lebih singkat. Perubahan sedikit saja status nutrisi dapat menyebabkan tingkat keseimbangan populasi berubah.
8
Tabel 2 Rataan populasi larva Spodoptera exigua selama 13 kali pengamatan. Perlakuan Rataan ∑ larva S. exigua (individu/rumpun)a P1 0.0572 ± 0.0851 a P2 0.0732 ± 0.0797 a P3 0.0518 ± 0.0705 a a
Angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata dengan uji Dunnet pada taraf 5%
Kejadian Penyakit Entomovirus Virus penyebab penyakit serangga, SeNPV (Spodoptera exigua nucleopolyhedrosisvirus) mampu menekan populasi ulat bawang di lapangan hingga 95%, dibanding dengan insektisida kimia yang rata-rata menekan hama hanya sekitar 60% (Wiyono 2011). Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus menginfeksi inang secara spesifik. Menurut Smits (1987), SeNPV hanya dapat menginfeksi larva S. exigua. Larva yang terinfeksi SeNPV menunjukkan gejala setelah dua sampai tiga hari pasca infeksi. Ciri khas larva S. exigua yang terinfeksi SeNPV adalah kemampuan makan berkurang, gerakannya menjadi lambat, tubuh membengkak dan warna tubuh pucat kekuningan. Menjelang kematiannya, larva S. exigua yang terinfeksi SeNPV bergerak ke bagian pucuk tanaman dan menggantung dengan kaki semunya (Gambar 4B) (Moekasan 1998). Kematian larva terjadi setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi SeNPV. Lamanya waktu kematian larva dari proses terjadinya infeksi sampai mati berkisar antara 4 sampai 5 hari. Badan oklusi yang berbentuk polihedra terlihat ketika hemolimfa dari larva yang terinfeksi NPV diamati di bawah mikroskop cahaya (Gambar 4A). Menurut Maddox (1975) bentuk polyhedra dapat berupa dodecahedra, tetrahedra, kubus atau tidak beraturan. Diameter polyhedra berkisar antara 0.05-15.00 mikrometer. Menurut Aizawa (1963), polyhedra terbentuk di dalam inti sel. Bentuk dan ukuran polyhedra tergantung serangga inang yang terinfeksi oleh NPV. Larva S. exigua memiliki sistem ketahanan terhadap inveksi NPV. Enzim yang terkandung dalam air liur serangga seperti hydrogen peroksida, dapat menginaktifasi NPV (Cory 2006). Menurut Goncalves et.al. (2006), enzim peroksidase dapat diinaktivasi oleh wortel, selain itu menurut Taiz et.al. (2002) wortel mengandung flavonoids yang dapat melindungi NPV dari radiasi UV B.
A
B
Gambar 4 (A) Polihedra SeNPV (perbesaran 1000x) (B) S. exigua yang teinveksi NPV.
9
Kejadian penyakit NPV pada P1 paling tinggi ditemukan pada 4 mst sebesar 3.1 %. Pada penelitian ini, puncak populasi pada 9 mst tidak mempengaruhi kejadian penyakit NPV. Hal tersebut dapat terjadi karena cara penyebaran dan jumlah patogen yang tidak mendukung kejadian penyakit (Tanada dan Kaya 1993). Pada P2 kejadian penyakit NPV tertinggi ditemukan pada 2, 3, dan 6 mst sebesar 12.5 %. Penyemprotan ekstrak daun wortel pada 3 mst, 5 mst, 7 mst, dan 9 mst tidak menunjukan hasil yang konsisten terhadap kejadian NPV. Masih belum diketahui hal yang menyebabkan tidak konsistennya kejadian penyakit tersebut. Pada P3, NPV ditemukan paling tinggi pada 7 mst sebesar 25 %. Pada P3, dari 1 sampai 5 mst, pertanaman relatif sama dengan pertanaman pada P1, karena wortel pada P3 belum tumbuh. Kejadian penyakit NPV saat 1-5 mst pada petak P1 dan P3 rendah, yaitu tidak mencapai 5%. Namun pada P3, setelah wortel tumbuh, kejadian penyakit NPV cenderung meningkat.
kejadian penyakit Npv (dalam persen)
30 25 20 p1
15
p2
10
p3 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
mst Gambar 5 Persentase infeksi NPV pada S. exigua 13 kali pengamatan (P1 = monokultur bawang daun; P2 = monokultur bawang daun dengan ekstrak daun wortel; P3 = tumpangsari bawang daun dengan wortel)
Setelah data diuji dengan uji dunnet pada taraf nyata 5%, menunjukan bahwa pada penelitian ini perlakuan tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit NPV. Namun ada kecenderungan kejadian penyakit NPV paling banyak ditemukan pada P2, disusul oleh P3 dan bawang daun kemudian P1. Tabel 3 Rata rata populasi Spodoptera exigua yang terinveksi NPV Perlakuan SeNPV P1 0.0043 ± 0.0220 P2 0.0429 ± 0.1287 P3 0.0388 ± 0.1572 Pada pengamatan ini, ditemukan juga larva yang terinveksi Ascovirus. Larva yang terinveksi Ascovirus mengalami stadium larva lebih panjang
10
dibandingkan larva yang sehat dan tubuhnya tampak pucat karena terjadi akumulasi vesikel yang berisi virion pada hemolimfa (Gambar 6A). Vesikel terlihat ketika hemolimfa dari larva yang terinfeksi Ascovirus diamati di bawah mikroskop cahaya (Gambar 6B) (Tanada dan Kaya 1993). Dari 13 kali pengamatan, Ascovirus hanya ditemukan satu kali pada P2 saat 13 mst. Namun demikian analisis ragam tidak menunjukan perbedaan nyata di antara perlakuan tersebut (Tabel 4). Tabel 4 Rata-rata populasi Spodoptera exigua yang terinveksi Ascovirus Perlakuan Ascovirus p1 0.0000 ± 0.0000 p2 0.0005 ± 0.0039 p3 0.0000 ± 0.0000 Kejadian penyakit yang disebabkan oleh Ascovirus dan NPV dalam percobaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Tanada dan Kaya (1993) epizootik dipengaruhi oleh populasi inang, transmisi patogen, dan banyaknya inokulum. Rendahnya populasi S.exigua dipengaruhi suhu dan curah hujan yang tidak mendukung perkembangan populasi. Semakin rendah populasi inang maka kejadian penyakit akan semakin rendah (Tanada dan Kaya 1993).
A
B
Gambar 6. (A) Hemolimf S.exigua terinveksi Ascovirus (B) vesikel Ascovirus pada perbesaran 1000x
Cara penyebaran patogen mempengaruhi epizootik. Penularan SeNPV dan Ascovirus dipengaruhi populasi parasitoid. Biologi S. exigua dan keragaan bawang daun mengurangi peluang interaksi S. exigua dengan parasitoid.