HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan selama Proses Pengeringan Kondisi lingkungan merupakan aspek penting saat terjadinya proses pengeringan. Proses pengeringan dapat memberikan pengaruh terhadap sifat fisik dan kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan. Secara umum kedua teknik pengeringan dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dapat menurunkan kadar air hijauan pakan yang dihasilkan. Suhu merupakan ukuran panas atau dinginnya suatu benda (Tiwari dan Goyal, 1998). Pada penelitian ini suhu pengeringan diukur setiap 1 jam untuk pengeringan matahari. Rataan suhu pada saat pengeringan matahari berkisar antara 30,37-33,62°C. Data suhu yang didapat cenderung fluktuatif. Menurut Anne (2007) fluktuasi suhu udara dapat disebabkan oleh adanya keseimbangan antara panas yang diperoleh dari radiasi surya dengan panas yang hilang dari permukaan bumi. Rataan suhu pengeringan matahari pada saat penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Suhu Pengeringan Matahari pada Saat Penelitian Perlakuan Suhu (°C) Waktu (Jam)
09.00
12.00
16.00
Pengeringan Matahari
30,37
33,62
31,68
Selain suhu udara, kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi sifat fisik dan kandungan nutrien hijauan pakan yang dihasilkan adalah kelembaban relatif (RH) dan kecepatan angin. Nilai kelembaban relatif udara berbanding terbalik dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara maka kelembaban yang didapat akan semakin rendah. Kecepatan angin juga dapat mempengaruhi proses pengeringan. Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal pada ketinggian dua meter diatas tanah (Anne, 2007). Pada saat pengerngan matahari kecepatan angin dapat menyebabkan jumlah pakan yang tercecer/terbuang semakin tinggi, selain itu angin kencang juga dapat mempercepat terjadinya proses pengeringan. Kecepatan angin selain berpengaruh terhadap proses pengeringan juga dapat berpengaruh pada bidang lain, misalnya bidang pariwisata dan bidang perhubungan (Anne, 2007). Kondisi lingkungan wilayah Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.
16
Tabel 5. Kondisi Lingkungan Wilayah Bogor Kondisi Lingkungan
Nilai
Suhu (°C)
23-32
Kelembaban Udara (%)
62-95
Kecepatan Angin (km/jam)
(10-30 km/jam)
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2011
Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan Pada penelitian ini teknik pengeringan yang digunakan adalah pengeringan matahari dan pengeringan oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Hijauan pakan setelah mengalami proses pengeringan berwarna hijau kecoklatan, berbau khas hijauan dan teksturnya masih berbentuk daun (tidak berubah) namun tidak segar lagi, hal ini disebabkan kadar air yang terdapat pada hijauan pakan telah diambil pada saat pengeringan (Renny, 2005). Rataan bobot kering hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan Bobot Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (g/500g) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
393,33±5,77BC
386,67±11,54C
303,33±5,77EFG
P2
403,33±5,77ABC
403,33±5,77ABC
320±0E
P3
406,67±5,77AB
416,67±5,77A
360±10D
P4
293,33±11,54G
200±0I
200±10I
P5
310±0EFG
300±0FG
266,67±28,86H
P6
343,33±11,54D
316,67±5,77EF
310±10EFG
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1=Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam
Rataan bobot kering hijauan pakan setelah proses pengeringan berkisar antara 200-416,67 g/500g hijauan pakan baik pada pengeringan matahari ataupun pengeringan oven 60°C dengan intensitas waktu pengeringan 7, 14 dan 21 jam. Secara umum rataan bobot kering hijauan pakan tertinggi terjadi pada saat pengeringan matahari dengan rata-rata 303,33-416,67 g/500g hijauan pakan. Rataan bobot kering tertinggi pada Gamal (Gliricidia sepium) dihasilkan saat dikeringkan
17
dengan menggunakan pengeringan matahari 21 jam (P3). Tingginya bobot kering pada hijauan pakan tersebut dapat disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka sehingga dapat mempengaruhi tingginya jumlah bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Soewarno
(1990)
yang
menyatakan
bahwa
pada
saat
pengeringan
matahari/pengeringan tempat terbuka energi panas untuk penguapan air tidak sematamata berasal dari sinar matahari langsung melainkan faktor-faktor lain di sekitar tempat penjemuran juga mempengaruhi, seperti sifat bahan yang dikeringkan, cara penjemuran (adanya pembalikan), ukuran bahan. Pada pengeringan matahari mudah untuk dilakukan pembalikan, dengan adanya pembalikan dapat mempengaruhi tingginya bobot kering hijauan pakan tersebut. Selain itu menurut Soewarno (1990) angin yang kencang juga dapat mempercepat proses pengeringan. Menurut Noveni (2009) jumlah bobot kering pada pengeringan matahari cenderung meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya matahari. Rataan bobot kering hijauan pakan pada pengeringan oven 60°C berkisar antara 200 –343,33 g/500g hijauan pakan. Hasil yang didapat cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan menggunakan matahari, hal ini dapat disebabkan panas yang didapat selama proses pengeringan tidak merata. Sesuai dengan pendapat Winarno et al., (1980) yang menyatakan bahwa pengeringan dengan menggunakan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata (bagian luar kering bagian dalamnya masih basah). Fenomena ini sering disebut dengan Case Hardening. Pada penelitian ini laju bobot kering yang dihasilkan tidak fluktuatif, tetapi cenderung naik dengan meningkatnya intensitas lama waktu pengeringan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dan jenis hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Rataan bobot kering tertinggi dihasilkan pada saat pengeringan matahari yang cenderung meningkat dengan bertambahnya intensitas waktu pengeringan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) nyata dapat meningkatkan jumlah bobot kering hijauan pakan, sedangkan perlakuan P4 (pengeringan oven 60°C selama 7 jam) nyata menurunkan bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Interaksi antara teknik pengeringan dengan jenis hijauan pakan yang digunakan
18
dapat memberikan pengaruh terhadap bobot kering yang dihasilkan. Semakin lama intensitas waktu pengeringan yang digunakan, baik pengeringan matahari ataupun oven 60°C maka semakin tinggi bobot kering hijauan pakan yang dihasilkan. Selain itu, ketiga jenis hijauan pakan yang digunakan memiliki morfologi yang berbedabeda. Kehilangan Bahan Kering Proses pengeringan juga dapat menyebabkan terjadinya kehilangan bahan kering pada hijauan pakan. Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan setelah proses pengeringan berkisar antara 0,73-31,54% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase kehilangan bahan kering tertinggi terdapat pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides), sedangkan kehilangan bahan kering terendah pada Brachiaria humidicola. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rudy (2011) yang menyatakan bahwa jumlah kehilangan bahan kering terbesar pada rumput Raja (P. pupureum x P. thypoides) sebesar 32,50±3,96% yang dipotong pada saat malam hari. Menurut McDonald (1991) jumlah kehilangan bahan kering yang sesuai standar yaitu 7-40%. Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Kehilangan Bahan Kering Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (%) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
1,68±1,09K
7,09±1,97IJ
14,06±0,95EF
P2
0,73±0,57K
9,86±1,05GHI
11,35±0,11FGH
P3
1,09±0,44K
12,39±1,01EFG
4,17±1,81JK
P4
18,56±1,86CD
25,86±0,25B
31,54±1,93A
P5
15,58±0,49DE
8,52±0,18HI
21,23±5,61C
P6
10,49±1,98FGHI
6,85±1,16IJ
13,03±1,96EFG
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21
19
Persentase kehilangan bahan kering hijauan pakan pada pengeringan matahari cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan oven 60°C. Kehilangan bahan kering pada pengeringan matahari disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka, sehingga jumlah pakan yang tercecer cukup tinggi. Hasil ini sesuai pendapat Rahmawan (2001) yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan pada pengeringan matahari/penjemuran kemungkinan terjadinya kehilangan bahan kering cukup tinggi, hal ini disebabkan adanya pakan yang tercecer dan gangguan oleh ternak/ burung selama proses pengeringan. Pada pengeringan oven 60oC jumlah kehilangan bahan kering yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pada pengeringan matahari terutama pada P4 (pengeringan ovenoC selama 7 jam). Menurut Rudy (2011) jumlah kehilangan bahan kering pada silase dapat disebabkan oleh aktivitas bakteri asam laktat yang akan memanfaatkan gulagula sederhana. Kehilangan bahan kering tidak hanya disebabkan oleh bakteri asam laktat saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh proses respirasi dan proteolisis yang terjadi pada awal ensilase, serta adanya kehilangan melalui cairan (effluent), akibatnya kadar air akan meningkat dan bahan kering akan turun (Lendrawati, 2008). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dan jenis hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kehilangan bahan kering yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa secara perlakuan P4 (pengeringan ovenoC selama 7 jam) nyata dapat meningkatkan kehilangan bahan kering (BK) ketiga hijauan pakan tersebut. Interaksi antara teknik pengeringan dan jenis hijauan pakan yang digunakan dapat memberikan pengaruh terhadap persentase kehilangan bahan kering (BK). Selain teknik pengeringan, hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya kehilangan bahan kering (BK), ketiga jenis hijauan pakan tersebut memiliki morfologi yang berbeda-beda. Kandungan Nutrien Bahan Kering (BK) Pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan pangan . Hijauan pakan setelah mengalami proses pengeringan berwarna hijau kecoklatan, berbau khas hijauan dan teksturnya masih berbentuk daun (tidak
20
berubah) namun tidak segar lagi, hal ini disebabkan kadar air yang terdapat pada bahan pakan telah diambil pada saat pengeringan (Renny, 2005). Bahan kering (BK) sangat mempengaruhi jumlah kadar air suatu bahan pangan. Kadar air merupakan parameter jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan (Renny, 2005). Persentase bahan kering (BK) yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 86,33-92,31% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu pengeringan 7, 14 dan 21 jam. Persentase bahan kering (BK) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel.8. Tabel 8. Persentase Bahan Kering (BK) Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
87,85 ±1,09ABA
88,60± 0,40ABB
89,64±0,51ABA
P2
88,63 ± 0,18ABA
88,07 ±0,27ABB
90,42±0,31ABA
P3
87,65 ± 0,12ABA
88,48 ±0,50ABB
90,61±0,12ABA
P4
88,11 ± 0,41BA
86,58 ± 0,32BB
87,90 ±3,22BA
P5
88,79 ± 0,46ABA
86,33± 1,31ABB
90,86 ±1,04ABA
P6
92,31 ± 1,05AA
88,43 ± 0,19AB
90,11±3,17AA
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21
Perbedaan persentase bahan kering (BK) pada hijauan pakan dapat disebabkan oleh pengaruh perlakuan yang diberikan dan pengaruh lingkungan pada saat penelitian dilakukan. Menurut pendapat Sokhansanj (1999) bahwa hay yang layak untuk disimpan memiliki kadar air < 14% atau bahan kering > 86%. Secara umum pada pengeringan matahari memperlihatkan bahwa semakin lama waktu pengeringan dapat meningkatkan persentase bahan kering yang dihasilkan terutama pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides). Hal tersebut terlihat pada perlakuan P3 (pengeringan matahari 21 jam) menghasilkan bahan kering (BK) yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari intensitas waktu 7 atau 14 jam. Pada gamal (Gliricidia sepium) dan Brachiaria humidicola bahan kering yang dihasilkan fluktuatif, hal ini dapat disebabkan oleh suhu yang tidak konstan selama proses pengeringan. Menurut pendapat Lamhot (1999) suhu yang tidak konstan pada
21
proses pengeringan dapat ditandai dengan adanya kecenderungan naik pada saat awal laju pengeringan kemudian menurun. Rata-rata suhu pengeringan matahari pada saat penelitian berkisar antara 30,37-33,62°C. Pengeringan menggunakan oven 60°C selama 21 jam (P6) dapat menyebabkan jumlah kadar air yang berkurang cukup tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari, hal ini dapat disebabkan pada saat pengeringan oven 60°C terjadinya proses penguapan air. Rendahnya kadar air hijauan pakan terutama Brachiaria humidicola pada perlakuan P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam) juga dapat disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi serta kelembaban udara di dalam oven yang terlalu rendah, hal tersebut mempercepat pelepasan kandungan air dari hijauan pakan yang dikeringkan. Berbeda dengan pengeringan matahari yang memiliki suhu yang rendah dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi sehingga proses penguapan air dari bahan lebih kecil dan proses pengeringan berjalan lebih lambat. Hasil ini sesuai dengan pendapat Ardiansyah (2004) yang menyatakan bahwa rata-rata kadar air untuk metode penjemuran lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan rak, hal ini disebabkan pada saat penjemuran panas yang diterima oleh bahan tidak konstan sehingga proses perpindahan air dan uap berjalan lambat akibat perbedaan konsentrasi atau tekanan uap. Hasil analisis statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan dengan intensitas waktu pengeringan yang berbeda dan hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap bahan kering (BK) yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada perlakuan P2 (pengeringan matahari selama 7 jam), P3 (perlakuan matahari selama 21 jam), P1 (pengeringan matahari selama 7 jam) dan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) tidak saling berbeda nyata karena karakteristik hijauan pakan yang digunakan tidak terlalu berbeda namun, pada P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam) nyata dapat meningkatkan persentase bahan kering (BK) terutama pada Brachiaria humidicola. Menurut Lidiasari et al., (2006) suhu pengeringan yang lebih tinggi (60-70°C) dapat menurunkan kadar air dalam jumlah yang relatif lebih tinggi, namun memiliki kendala apabila disimpan pada tempat terbuka, kadar air akan meningkat kembali, hal ini disebabkan bahan pangan menyerap udara yang lembab karena bahan yang kering memiliki sifat higroskopis.
22
Interaksi antara teknik pengeringan dengan hijauan pakan memberikan pengaruh terhadap bahan kering (BK) yang dihasilkan. Hal ini dapat diartikan bahwa bahan kering (BK) yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknik pengeringan matahari dan oven 60°C intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dan hijauan pakan yang digunakan. Pada pengeringan oven 60°C dengan semakin lama intensitas waktu pengeringan maka bahan kering (BK) yang dihasilkan semakin tinggi terutama pada Brachiaria humidicola. Tingginya bahan kering (BK) Brachiaria humidicola pada perlakuan P6 (pengeringan oven 60°C selama 21 jam) dapat disebabkan oleh suhu pengeringan yang tinggi dan morfologi dari hijauan pakan yang digunakan. Brachiaria humidicola memiliki daun yang tidak lebar dan tidak berbulu yang memudahkan terjadinya proses penguapan air. Kadar Abu Abu dapat digunakan untuk menentukan nilai gizi suatu bahan pangan. Kandungan abu suatu bahan pangan berhubungan dengan kandungan mineral di dalamnya (Herniawan, 2010). Semakin tinggi kandungan abu yang terkandung dalam suatu bahan pangan maka kandungan mineral yang dihasilkan semakin banyak. Selama proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak terbakar karena itulah disebut abu (Herniawan,2010). Persentase abu hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase Abu Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100 %BK) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
4,42±0,63HI
6,43±0,37DEF
7,79±0,73AB
P2
5,23±0,98GH
6,60±0,32CDE
7,88±0,41A
P3
5,74±0,54EFG
6,84±0,39BCD
8,51±0,25A
P4
5,54±0,48FG
5,03±0,37GHI
7,75±0,59AB
P5
4,16±0,62I
5,56±0,71FG
7,56±0,35ABC
P6
6,68±0,28CDE
4,84±0,26GHI
7,47±0,04ABC
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam
23
Persentase abu yang terkandung dalam hijauan pakan berkisar antara 4,168,51% dengan kata lain rataan kadar abu dalam penelitian ini menunjukkan <10%. Secara umum pengeringan matahari menghasilkan abu yang relatif cukup tinggi, hal tersebut dapat terlihat pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) abu yang dihasilkan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengeringan matahari 7 dan 14 jam. Persentase abu tertinggi terdapat pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) yaitu 8,51%. Tingginya abu dapat disebabkan oleh pengeringan matahari yang merupakan pengeringan terbuka sehingga debu atau kotoran yang masuk selama proses pengeringan sulit untuk dikontrol, hal ini sesuai dengan pendapat Herniawan (2010) yang menyatakan bahwa proses pengeringan yang dilakukan pada tempat terbuka memungkinkan terjadinya kontaminasi oleh bahan pengotor seperti debu yang mempengaruhi bertambahnya kandungan abu. Menurut Fery (2006) kadar abu dapat terbentuk dari kotoran atau debu yang masuk selama proses pengeringan. Persentase abu hijauan pakan pada pengeringan oven 60°C relatif lebih rendah dibandingkan dengan pengeringan matahari. Dapat dilihat pada perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) dapat menurunkan abu Brachiaria humidicola (4,16%). Menurut Herniawan (2010) pengeringan oven merupakan pengeringan yang bersifat tertutup sehingga rendah untuk terjadinya kontaminasi oleh komponen pengotor seperti batu atau debu. Hasil analisis statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa kedua jenis teknik pengeringan dengan intensitas waktu pengeringan yang berbeda dan hijauan pakan yang digunakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase abu yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan intensitas lamanya waktu pengeringan pada pengeringan matahari terutama pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) nyata dapat meningkatkan persentase abu pada hijauan pakan yang dihasilkan. Interaksi antara teknik pengeringan dengan hijauan pakan memberikan pengaruh terhadap abu yang dihasilkan, hal ini dapat diartikan bahwa abu yang dihasilkan dipengaruhi oleh teknik pengeringan matahari dan oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14, 21 jam dan hijauan pakan yang digunakan pada saat penelitian. Pengeringan matahari dengan semakin meningkatnya intensitas waktu
24
pengeringan dapat meningkatkan persentase abu pada hijauan pakan yang dihasilkan. Tingginya kadar abu terutama pada rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) pada pengeringan matahari selama 21 jam (P3) dapat terbentuk dari kotoran yang masuk selama proses pengeringan. Selain teknik pengeringan, hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya abu. Rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) memiliki helai daun yang tipis, sehingga saat dikeringkan menjadi rapuh dan mudah terbang menjadi abu. Bahan Organik Bahan organik merupakan selisih antara bahan kering dan abu yang secara kasar merupakan kandungan karbohidrat, lemak dan protein (AOAC, 1999). Pada penelitian ini persentase bahan organik (BO) hijauan pakan yang dihasilkan berkisar antara 91,49-95,84% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase bahan organik (BO) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10. Persentase Bahan Organik Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
95,58±0,63A
93,57±0,37CDE
92,21±0,73GHI
P2
94,77±0,98AB
93,40±0,32DEF
92,12±0,41HI
P3
94,26±0,54BCD
93,16±0,39EFG
91,49 ±0,24I
P4
94,46±0,48BC
94,97±0,37AB
92,25±0,59GHI
P5
95,84±0,63A
94,44±0,71BC
92,44±0,35FGHI
P6
93,32±0,28DEF
95,16±0,26AB
92,53±0,04FGH
Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam
Persentase bahan organik (BO) hijauan pakan pada pengeringan matahari cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan intensitas lamanya waktu pengeringan. Bahan organik (BO) tertinggi dihasilkan pada perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) terutama pada Brachiaria humidicola. Meningkatnya bahan organik (BO) disebabkan suhu pengeringan yang digunakan
25
pada saat penelitian. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fery (2006) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dapat meningkatkan jumlah bahan organik (BO) pada tanaman obat Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Selain itu jenis hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi tingginya bahan organik (BO). Brachiaria humidicola memiliki struktur daun yang cukup kuat sehingga proses dekomposisi berjalan lambat dan bahan organik (BO) tetap terjaga. Persentase bahan organik (BO) berbanding terbalik dengan kadar abu hijauan pakan yang dihasilkan. Semakin tinggi bahan organik (BO) maka semakin rendah kadar abu yang dihasilkan. Pada perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) bahan organik (BO) yang dihasilkan relatif tinggi terutama pada Brachiaria humidicola, hal ini menunjukkan bahwa kadar abu yang terdapat pada hijauan pakan tersebut cukup rendah. Hasil analisis statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa kedua teknik pengeringan dengan intensitas waktu pengeringan yang berbeda dan jenis hijauan pakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase bahan organik (BO) yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P5 (pengeringan oven 60°C selama 14 jam) dapat meningkatkan bahan organik (BO) pada Brachiaria humidicola, sedangkan pada perlakuan P3 (pengeringan matahari selama 21 jam) nyata dapat menurunkan bahan organik ketiga hijauan pakan tersebut (Brachiaria humidicola, rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) dan gamal (Gliricidia sepium)). Interaksi antara teknik pengeringan dengan hijauan pakan mempengaruhi jumlah bahan organik (BO) yang dihasilkan. Hal ini dapat diartikan bahwa penentuan bahan organik (BO) dipengaruhi oleh perbedaan teknik pengeringan matahari dan oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dan jenis hijauan pakan yang digunakan. Pada pengeringan matahari presentase bahan organik (BO) ketiga hijauan pakan menurun seiring dengan meningkatnya intensitas lamanya waktu pengeringan. Menurunnya bahan organik (BO) hijauan pakan dapat disebabkan oleh suhu udara dan meningkatnya intensitas waktu pada saat pengeringan.
26
Protein Kasar Protein adalah senyawa yang mengandung nitrogen. Sumber protein khususnya untuk ternak ruminansia dapat berasal dari tanaman, hal ini karena tanaman mampu mensintesis protein dengan cara mengkombinasikan nitrogen dan air dari dalam tanah serta CO2 dari udara (Asngad, 2005). Persentase protein kasar dari ketiga hijauan pakan yang dihasilkan berkisar antara 6,5-24,93% baik pada pengeringan matahari ataupun oven 60°C intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam. Persentase protein kasar (PK) hijauan pakan setelah proses pengeringan diperlihatkan pada Tabel 11. Tabel 11. Persentase Protein Kasar (PK) Hijauan Pakan setelah Proses Pengeringan (100% BK) Perlakuan Brachiaria humidicola Gamal Rumput Raja P1
8,70 ±0,37C
20,88 ±1,97A
11,84 ±0,36B
P2
10,77±1,20C
21,36 ±0,54A
11,23 ±0,44B
P3
9,49 ±0,24C
21,84 ±0,98A
12,50 ±1,07B
P4
6,50 ±0,47C
21,13 ±0,61A
14,44 ±1,07B
P5
6,78 ±0,46C
24,93 ±1,10A
13,21 ±0,25B
P6
6,91 ±0,80C
23,27 ±0,43A
11,72 ±0,94B
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01), P1 = Pengeringan matahari selama 7 jam, P2 = Pengeringan matahari selama 14 jam, P3 = Pengeringan matahari selama 21 jam, P4 = Pengeringan oven 60º C selama 7 jam, P5 = Pengeringan oven 60º C selama 14 jam, P6 = Pengeringan oven 60º C selama 21 jam
Protein kasar pada Brachiaria humidicola menurun pada saat pengeringan oven 60°C terutama perlakuan P4 (pengeringan oven 60°C selama 7 jam). Berbeda dengan Brachiaria humidicola, protein kasar rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides) menurun pada perlakuan P2 (pengeringan matahari selama 14 jam) sedangkan pada Gamal (Gliricidia sepium) protein kasar menurun pada perlakuan P1 (pengeringan matahari selama 7 jam). Penurunan protein kasar dapat disebabkan oleh adanya kandungan NPN yang mudah menguap pada hijauan pakan tersebut (Fennema, 1996). Menurunnya protein kasar juga diduga karena umur dari hijauan yang digunakan pada saat penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsono (1990) yang menyatakan bahwa kadar protein kasar menurun seiring dengan
27
meningkatnya umur suatu tanaman. Secara umum jenis leguminosa yaitu Gamal (Gliricidia sepium) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan Brachiaria humidicola dan rumput Raja (P. purpureum x P. thypoides). Hasil ini sesuai dengan pendapat Ferry (2006) yang menyatakan bahwa rumput-rumputan mengandung protein kasar lebih rendah dibandingkan dengan leguminosa. Leguminosa memiliki bintil-bintil pada akar yang digunakan sebagai pensuplai nitrogen. Menurut Winarno et al., (1980) penurunan protein kasar juga dapat disebabkan oleh reaksi Browning. Reaksi Browning terjadi karena adanya reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi. Reaksi ini ditandai dengan perubahan warna kecoklatan yang terjadi pada hijauan pakan setelah mengalami proses pengeringan. Semakin lama proses pengeringan maka semakin lama reaksi browning itu terjadi, sehingga jumlah protein kasar akan menurun. Hasil analisa statistik menggunakan sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan teknik pengeringan tidak memberikan pengaruh nyata, sedangkan hijauan pakan yang digunakan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap protein kasar yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa Gamal (Gliricidia sepium) nyata mengandung protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan Brachiaria humidicola dan rumput Raja (P.purpureum x P. thypoides). Interaksi antara teknik pengeringan matahari dan oven 60°C dengan intensitas waktu 7, 14 dan 21 jam dan hijauan pakan memberikan pengaruh terhadap persentase protein kasar yang dihasilkan. Protein kasar rumput Raja (P. purpureum x P. thypodes) menurun pada perlakuan P2 (pengeringan matahari selama 14 jam) sedangkan pada Gamal (Gliricidia sepium) protein kasar menurun pada perlakuan P1 (pengeringan matahari selama 7 jam). Hasil ini sesuai pendapat Ardiansyah (2004) yang menyatakan bahwa tingginya kadar protein kasar pada metode pengeringan rak disebabkan oleh panas yang dicapai oleh bahan telah mencapai panas optimum yang mempercepat terjadinya pengurangan air. Penjemuran atau pengeringan matahari akan mempercepat tingginya oxidative rancidity dan menyebabkan penurunan nilai protein kasar. Selain itu umur hijauan pakan yang digunakan juga dapat mempengaruhi menurunnya protein kasar yang dihasilkan.
28