HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST|MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada suhu annealing 60 ºC selama 45 detik dengan panjang produk PCR 624 pasang basa (pb) (Gambar 5). Keberhasilan amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi Indonesia adalah 100%. Seluruh sampel yang digunakan yaitu sebanyak 283 sampel DNA yang berasal dari sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan berhasil diamplifikasi pada penelitian ini.
(-) 624 pb
(+)
Gambar 5. Produk PCR Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. Suhu annealing yang diperoleh (60 ºC) merupakan suhu optimal yang didapatkan untuk mengamplifikasi gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia, yaitu sapi bali, madura, pesisir, aceh, dan katingan. Suhu annealing yang didapatkan dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari suhu annealing yang digunakan oleh Palmer et al. (1998) yaitu 62 ºC untuk mengamplifikasi gen calpastatin pada domba dorset. Fragmen gen calpastatin berhasil diamplifikasi pada sapi pedaging (Bos
taurus) dengan panjang produk 624 pb dengan suhu annealing 62 ºC selama 45 detik (Kubiak et al., 2004), sedangkan pada domba lokal di Indonesia gen calpastatin berhasil diamplifikasi dengan suhu annealing 48 ºC (Sumantri et al., 2008). Keberhasilan amplifikasi sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target), disamping faktor-faktor lainnya, seperti bahan pereaksi PCR dan kondisi mesin PCR (thermalcycler). Kisaran temperatur penempelan (annealing) adalah antara 36 ºC sampai dengan 72 ºC, namun suhu yang biasa digunakan antara 50-60 ºC (Muladno, 2002). Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin Produk PCR fragmen gen calpastatin yang telah dipotong dengan enzim restriksi MspI pada penelitian ini menghasilkan dua macam genotipe, yaitu fragmen yang terpotong (dua pita) yang dikenal dengan genotipe MM dan fragmen gabungan (tiga pita) yang dikenal dengan genotip MN (Gambar 6). M
1
Genotipe MM
2
3
4
5
MM MM MM MM
6
MM
7
8
9
10
11
12
MM MM MM MM
MN
MM
13
MN
(-)
(+) Genotipe MM MM
MM
MM
MM MM
MM
MM
MM MM
MN MM MN
Gambar 6. Genotipe Gen Calpastatin pada Gel Agarose 2%. Penentuan genotipe gen CAST|MspI dilakukan dengan teknik Polymerase Chain
Reaction-Restriction
Fragment
Lenght
Polymorfism
(PCR-RFLP)
17
menggunakan MspI sebagai enzim pemotong. Identifikasi keragaman gen CAST|MspI dilakukan pada produk PCR dengan panjang 624 pb. Hasil analisis keragaman gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia, yaitu sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan diperoleh dua genotipe, yaitu genotipe MM dan genotipe MN (Tabel 4). Genotipe MM ditunjukkan dengan panjang pita 338 dan 286 pb, genotipe MN dengan panjang pita 624, 338, dan 286 bp. Enzim MspI mengenali situs pemotongan C|CGG. Keragaman gen CAST|MspI disebabkan oleh adanya mutasi pada posisi basa ke-284 nomor akses GenBank AF117813. Subtitusi basa (transisi) basa Guanin (CCGG) – Adenin (CCGA). Tabel 4. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
Genotipe (n) MM
MN
NN
Sapi bali
100
0
0
Sapi madura
68
0
0
Sapi pesisir
46
4
0
Sapi aceh
15
0
0
Sapi katingan
50
0
0
Total
279
4
0
Keterangan: n = jumlah genotipe yang muncul
Hasil identifikasi genotipe gen calpastatin pada bangsa sapi Indonesia dengan teknik PCR-RFLP menunjukkan bahwa pada bangsa sapi Indonesia yaitu sapi bali, sapi madura, sapi pesisir, sapi aceh, dan sapi katingan tidak ditemukan genotipe NN yang ditunjukkan dengan tiga pita pada panjang 286, 338, dan 624 pb. Hasil identifikasi genotipe berbeda dengan Kubiak et al. (2004) yang melakukan amplifikasi pada sapi potong Bos taurus yang menghasilkan tiga genotipe yaitu genotipe GC, genotipe CC, dan genotipe GG. Perbedaan genotipe terjadi akibat perbedaan enzim pemotong yang digunakan, sehingga titik potong pun berbeda yang menyebabkan perbedaan dalam penentuan genotipe. Keragaman gen CAST|MspI bangsa sapi Indonesia disebabkan olah adanya mutasi titik yang terjadi pada posisi basa ke-284 nomor akses GenBank AF117813. Terjadinya subtitusi basa (transisi) basa Guanin (CCGG) – Adenin (CCAG) menyebabkan situs pemotongan untuk enzim restriksi MspI berubah. Produk PCR
18
gen CAST|MspI sepanjang 624 pb dipotong dan menghasilkan dua alel, yaitu alel M dan N. Alel M mempunyai mempunyai nukleotida G pada posisi basa ke-284, sedangkan alel N mempunyai nukleotida A pada posisi basa yang sama. Terjadinya transisi basa G – A menyebabkan terjadinya perbedaan sekuen nukleotida dari gen CAST|MspI. Mutasi transisi disebabkan oleh adanya subtitusi antara Adenin dengan Guanin (Purin) atau basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella, 1998). Titik mutasi gen CAST|MspI diketahui berada pada daerah intron 1 yang merupakam daerah non-coding karena pada saat transkripsi bagian ini akan hilang (splicing). Proses transkripsi merupakan proses pengkodean dari kodon-kodon yang akan ditranslasikan menjadi asam-asam amino. Mutasi yang terjadi pada bagian yang tidak ditranskripsikan (intron) akan mengakibatkan silent mutation, yaitu mutasi yang tidak menyebabkan perubahan fenotipik (Paolella, 1998). Keragaman Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia Nilai frekuensi genotipe dan frekuensi alel gen CAST|MspI bangsa sapi Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|MspI pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
n
Frekuensi Genotipe
Frekuensi Alel
MM
MN
M
N
Sapi bali
100
1,00
0,00
1,00
0,00
Sapi madura
68
1,00
0,00
1,00
0,00
Sapi pesisir
50
0,92
0,08
0,96
0,04
Sapi aceh
15
1,00
0,00
1,00
0,00
Sapi katingan
50
1,00
0,00
1,00
0,00
283
0,99
0,01
0,99
0,01
Total
Keterangan: n = jumlah individu
Frekuensi genotipe gen calpastatin (CAST|MspI) pada sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan memiliki genotipe MM tertinggi (1,00), sedangkan genotipe MN dan NN tidak muncul pada bangsa sapi tersebut. Sapi pesisir memiliki dua macam genotipe yaitu genotipe MM dan MN dengan frekuensi genotipe MM yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe MN. Frekuensi alel tertinggi
19
pada bangsa sapi indonesia adalah alel M. Frekuensi alel pada sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan adalah 1,00, sedangkan sapi pesisir memiliki frekuensi alel M sebesar 0,96 dan alel N sebesar 0,04. Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau lebih dalam suatu populasi (lebih dari 1%) (Nei dan Kumar, 2000). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen CAST|MspI bersifat monomorfik atau tidak beragam yaitu pada sapi bali, sapi madura, sapi aceh, dan sapi katingan, kecuali pada populasi sapi pesisir yang bersifat polimorfik. Populasi bangsa sapi indonesia diketahui mempunyai frekuensi alel M lebih tinggi dibandingkan frekuensi N pada semua populasi yang dianalisis. Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi (Nei dan Kumar, 2000). Seleksi adalah suatu tindakan untuk membiarkan ternak-ternak tertentu bereproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak diberi kesempatan untuk bereproduksi (Noor, 2008). Seleksi dan manajemen yang dilakukan oleh peternak diduga merupakan penyebab tingginya frekuensi alel M pada populasi bangsa sapi Indonesia. Seleksi yang dilakukan adalah dengan mempertahankan individu-individu yang memiliki alel M dan tidak mempertahankan individu yang memiliki alel N. Hal tersebut berdampak pada manajemen perkawinan yang dilakukan, yaitu peternak lebih banyak melakukan perkawinan terhadap individu-individu yang memiliki alel M dibandingkan dengan individu-individu yang memikiki alel N, sehingga menghasilkan keturunan yang tentunya juga memiliki alel M yang diwariskan dari tetuanya. Frekuensi alel dan genotipe gen calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi Indonesia memilki keragaman genetik yang cenderung rendah. Hal ini disebabkan karena ternak-ternak tersebut telah beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia sehingga pengaruh lingkungan berperan terhadap sifat produksinya. Proses adaptasi tersebut merupakan proses evolusi dan seleksi pada spesies ternak domestik. Evolusi terhadap adaptabilitas pada lingkungan tropis memberikan penyesuaian terhadap resistensi atau toleransi penyakit, stres panas, stres nutrisi dan toleransi obat-obatan (Newman dan Coffey, 1999). Seleksi alam mengakibatkan pembentukan individu-individu yang kuat dan tahan terhadap tantangan lingkungan alam sekitarnya, hal tersebut mengakibatkan
20
ternak hasil seleksi alam rendah terhadap sifat produksinya dikarenakan apa yang dibutuhkan oleh hewan tersebut terbatas hanya untuk mempertahankan hidupnya (Pane, 1986). Fenomena kelenturan fenotipik sebagai hasil seleksi alam dan menyebabkan genotipe pada bangsa sapi Indonesia memiliki keragaman rendah. Noor (2002) menyatakan bahwa kemampuan suatu individu/genotipe untuk menampilkan lebih dari satu bentuk morfologi, status fisiologi dan tingkah laku sebagai respon terhadap perubahan lingkungan disebut sebagai kelenturan fenotipik. Pewarisan sifat dari tetua yang menyumbangkan alel yang sama (homozigot) kepada keturunannya secara turun temurun mengakibatkan frekuensi gen individuindividu pada populasi bersifat monomorfik. Silang dalam merupakan suatu bentuk isolasi secara genetik. Silang dalam terjadi akibat adanya keterbatasan pilihan dalam proses perkawinan, akan tetapi silang dalam tidak akan merubah frekuensi gen awal pada proses silang dalam dimulai. Apabila terjadi perubahan frekuensi gen, maka perubahan itu disebabkan oleh adanya seleksi, mutasi, dan pengaruh sampel acak (Noor, 2008). Hal ini berkaitan dengan isolasi yang dilakukan untuk menjaga kemurnian Sapi Bali untuk kepentingan konservasi yang dilakukan oleh BPTU Sapi Bali di Pulau Bali. Faktor lain yang diduga memiliki pengaruh terhadap rendahnya keragaman gen calpastatin (CAST|MspI) pada bangsa sapi Indonesia adalah keterbatasan sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dengan jumlah ternak yang terbatas mengakibatkan frekuensi gen yang diidentifikasi kurang representatif atau kurang mewakili individu-individu populasi bangsa sapi Indonesia, seperti yang terjadi padamn sampel sapi aceh yang digunakan dalam penelitian ini. Jumlah individu yang digunakan untuk sampel DNA sapi aceh hanya berjumlah 15 ekor ternak sapi. Keragaman yang terdapat pada populasi sapi pesisir diduga terjadi akibat manajemen perkawinan yang dilakukan oleh peternak, dimana ternak-ternak mengalami perkawinan secara acak (random mating). Frekuensi alel M yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel N disebabkan oleh kesempatan pejantan yang memiliki alel M yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pejantan yang memiliki alel N untuk mengawini individu-individu betina.
21
Pendugaan Nilai Heterozigositas Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) gen CAST-MspI pada bangsa sapi Indonesia tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He) gen CAST-MspI pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
Heterozigositas
n
Ho
He
Bali BPTU
100
0,00
0,00
Madura
68
0,00
0,00
Pesisir
50
0,08
0,08
Aceh
15
0,00
0,00
Katingan
50
0,00
0,00
Keterangan: n = jumlah individu
Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui, yaitu untuk mendapatkan gambaran variabilitas genetik pada suatu populasi (Marson et al., 2005), selain itu nilai heterozigositas digunakan untuk mengetahui tingkat polimorfisme suatu alel dan prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer dan Mackay, 1996). Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisis nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai pengamatan harapan (He) tidak mengindikasikan adanya perbedaan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa frekuensi genotipe dari populasi yang dianalisis dalam keadaan seimbang. Tambasco et al. (2003) menyatakan bahwa jika nilai heterozigositas pengamatan
(Ho)
lebih
rendah
dari
heterozigositas
harapan
(He)
dapat
mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari proses seleksi yang intensif. Moioli et al. (2004) menyatakan bahwa secara umum nilai heterozigositas, khususnya nilai heterozigositas harapan (He) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menjelaskan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik. Heterozigositas merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui nilai variasi genetik (Nei, 1987). Keragaman genetik yang rendah pada bangsa sapi Indonesia mungkin disebabkan oleh kemampuan ternak dalam beradaptasi dengan lingkungan tropis di Indonesia. Kondisi yang terbatas dalam hal nutrisi dan iklim mengakibatkan bangsa sapi Indonesia hanya mengekspresikan sifat yang sesuai
22
dengan kebutuhannya dalam mempertahankan hidup. Ternak memberikan respon terhadap stres dengan cara mengatur keadaan fisiologi atau morfologi sebagai upaya meredam pengaruh stres untuk mempertahankan fungsi normal tubuh agar ternak dapat bertahan dan bereproduksi dalam keadaan tersebut. Penelitian ini merupakan penilitian pertama yang dilakukan untuk mengetahui keragaman gen CAST|MspI bangsa sapi Indonesia. Informasi yang tersedia masih terbatas untuk dijadikan sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa gen calpastatin (CAS|MspI) bersifat monomorfik pada sebagian besar bangsa sapi Indonesia (sapi bali, sapi aceh, aceh, dan sapi katingan), kecuali pada sapi pesisir yang bersifat polimorfik. Untuk itu diperlukan suatu penelitian lanjutan dengan menggunakan fragmen gen calpastatin yang berbeda mengingat gen calpastatin memiliki fragmen DNA yang cukup panjang (lebih dari 30 ekson).
23