IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap utama, antara lain pemilihan panelis untuk analisis deskriptif, penelitian sensori nasi dengan analisis deskriptif, dan uji preferensi.
A.
PENENTUAN SAMPEL Varietas sampel beras yang digunakan dalam penelitian ditentukan berdasarkan wilayah di Indonesia. Ada tiga pertimbangan dalam menentukan wilayah yang akan diteliti. (1) Sulawesi Selatan dan Jawa Barat merupakan dua dari lima provinsi di Indonesia sebagai lumbung beras nasional (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan NTB ) (Anonim, 2011). Selain itu, (2) pemilihan wilayah-wilayah tersebut didasarkan pada perwakilan bagian wilayah di Indonesia, yaitu bagian barat (Sumatra Barat dan Jawa Barat), bagian tengah (Sulawesi Selatan), dan bagian timur (Papua). Sumatra Barat dan Jawa Barat adalah dua provinsi yang berada di wilayah barat Indonesia. Akan tetapi, menurut Puslitbangtan (2005) bahwa masyarakat dari kedua provinsi tersebut memiliki kesukaan yang berbeda terhadap jenis nasi yang dikonsumsi. Masyarakat Sumatra Barat lebih suka mengkonsumsi nasi yang pera/keras, sedangkan masyarakat Jawa Barat lebih suka mengkonsumsi nasi yang pulen (lengket). Karena perbedaan kesukaan tersebut, maka dipilih varietas unggul beras yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sumatra Barat dan Jawa Barat. Pertimbangan yang terakhir adalah (3) karena penelitian dilakukan di sekitar kampus IPB Dramaga, dimana mahasiswa-mahasiswanya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maka dari studi statistik, jumlah mahasiswa yang akan dijadikan sebagai panelis penelitian yang dapat memenuhi syarat dalam studi preferensi adalah keempat daerah tersebut. Melalui perwakilan dari beberapa daerah tersebut, diharapkan dapat mewakili seluruh konsumen beras di Indonesia. Pemilihan varietas beras yang akan diuji ditentukan berdasarkan data statistik penyebaran varietas padi di masing-masing daerah dengan cara meninjau beberapa literatur. Dari data-data statistik tersebut, dipilih satu varietas yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Varietas Ciherang merupakan varietas beras yang paling tinggi penyebarannya di daerah Jawa Barat, yaitu sebesar 56,19% (Ruskandar, 2009). Selain itu, varietas ini penyebarannya cukup tinggi pada beberapa daerah di Indonesia yang masyarakatnya menyukai nasi bertekstur lembek/pulen, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data terakhir menunjukkan varietas Ciherang makin mendominasi areal pertanaman padi di ketiga provinsi tersebut (Ruskandar, 2009). Konsumen Sumatera Barat menyukai rasa nasi pera dengan kadar amilosa >24%. Varietas IR42 dan Cisokan merupakan varietas yang paling dominan berkembang di Sumatera Barat dikarenakan memiliki rasa nasi pera dengan kadar amilosa >25% (Puslitbangtan, 1993). Jumlah produktivitas varietas unggul Cisokan di Sumatra Barat sebesar 30% pada periode 2001-2004 (Atman, 2007). Di Sulawesi Selatan, areal tanam IR64 hanya 10,5%, sedangkan luas pertanaman varietas Ciliwung yang dilepas pada tahun 1989 menduduki 49, 4% dari total areal tanam padi di propinsi tersebut (Suprihatno & Daradjat, 2009). Di Papua, Varietas Membramo dan Ciliwung merupakan varietas unggul beras yang banyak diproduksi. Berdasarkan LPTP Koya Barat (2000), varietas padi yang disukai petani adalah Mambramo dan Ciliwung (di Koya
Barat); Mambramo, Digul dan Ciliwung (di Prafi, Manokwari); Digul dan IR 64 (di Kurik, Merauke). Untuk menghindari adanya variasi komposisi dan mutu bahan mentah, maka beras yang digunakan adalah beras yang berasal dari satu lot produksi, yaitu sampel diperoleh dari hasil panen pada periode dan penggilingan yang sama. Selama penelitian berlangsung, beras diletakkan di sebuah wadah plastik kedap udara seperti tupperware yang ditutupi plastik hitam. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan karena oksidasi dari udara dan terpapar cahaya luar. Kemudian beras disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 9-11˚C. Penyimpanan ini bertujuan agar senyawa volatil yang terdapat pada beras tidak rusak karena suhu tinggi. Selain standardisasi sampel, dilakukan juga standardisasi terhadap perlakuan pada tahap persiapan sampel, yaitu metode penanakan nasi, alat menanak nasi (rice cooker), dan waktu penyajian. Metode menanak nasi mengacu pada Subarna, dkk (2005). Rice cooker yang digunakan adalah rice cooker yang memiliki umur penggunaan dan merk yang sama, yaitu Miyako MCM-509. Sampel disajikan ke panelis 15 menit setelah nasi matang atau dalam kondisi matang. Standardisasi akhir dilakukan pada saat pengujian sampel. Pengujian sensori dilakukan di dua tempat, yaitu laboratorium sensori dan di lapangan (asrama Papua). Untuk pengujian lapangan, kondisi pada saat pengujian dibuat semirip mungkin dengan kondisi pengujian di laboratorium sensori. Tempat yang digunakan untuk pengujian dipilih yang bersih, tenang, jauh dari kegaduhan dan jauh dari bau-bauan yang dapat mempengaruhi penilaian panelis terhadap sampel pada saat pengujian. Selain itu, antar panelis dilakukan pemisahan walaupun tanpa sekat dan digunakan karton putih sebagai alas pada saat pengujian.
B.
PEMILIHAN PANELIS ANALISIS DESKRIPTIF 1.
Seleksi Panelis Dalam melakukan analisis deskriptif, penggunaan panelis terlatih merupakan salah satu syarat utama. Tahap yang dilakukan untuk mendapatkan panelis terlatih adalah seleksi panelis. Panelis yang terpilih adalah panelis yang memiliki kemampuan sensori yang baik (panelis potensial) yang kemudian dilatih menjadi panelis terlatih dan digunakan untuk melakukan pengujian pada atribut-atribut sensori nasi yang telah ditentukan. Proses seleksi panelis berlangsung selama 23 hari yang terdiri dari prescreening/seleksi awal, acuity test, dan personal interview. Pre-screening dilakukan melalui pengisian kuesioner (Lampiran 1) dengan tujuan : mengetahui riwayat kesehatan dan food habit calon panelis, mengenalkan calon panelis terhadap bahan yang akan diuji, mengetahui kemampuan dasar sensori dan kemampuan menskala calon panelis, dan motivasi calon panelis. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan pemberitahuan mengenai jadwal dan kebutuhan waktu yang harus disediakan calon panelis. Calon panelis yang mengikuti tes ini sebanyak 90 orang. Setelah menjalankan pre-screening, 84 calon panelis akan melakukan acuity test /tes ketepatan. Kandidat panel harus mendemonstrasikan kemampuan untuk mendeteksi dan menjelaskan karakteristik sensori yang ada secara kualitatif; mendeteksi dan menggambarkan perbedaan secara kuantitatif. Tes ini terdiri dari uji identifikasi rasa dan aroma, uji segitiga rasa dan aroma. Uji identifikasi rasa diikuti oleh 84 orang mahasiswa. Uji identifikasi rasa dasar menggunakan lima rasa dasar, yaitu manis, asin, asam, pahit, dan gurih (Lampiran 2), sedangkan uji identifikasi aroma menggunakan
29
enam aroma, yaitu aroma manis, pandan, buttery, creamy, vanila, dan nutty (Lampiran 2). Pada tahap ini terjaring 29 orang panelis yang dapat mengidentifikasi 100% rasa dan minimal 50% aroma yang diujikan dengan benar. Panelis yang lolos acuity test akan diseleksi kembali menggunakan uji segitiga rasa dan aroma. Uji segitiga rasa dilakukan sebanyak 18 set dalam waktu 3 hari dan uji segitiga aroma dilakukan sebanyak 12 set dalam waktu 2 hari. Setiap set terdiri dari dua larutan yang sama dan satu larutan yang berbeda. Dari uji segitiga yang telah dilakukan, dihasilkan 20 panelis yang dapat memenuhi persyaratan, yaitu panelis yang mempunyai jawaban benar minimal 50% dari contoh standar baik atribut rasa maupun aroma yang diberikan. Selanjutnya kandidat panelis mengikuti uji ranking rasa manis, asin, dan gurih dimana calon panelis yang lolos adalah yang mampu menjawab 100% benar. Panelis yang lolos tahap ini sebanyak 11 orang. Personal interview dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran apakah kandidat memiliki kemauan yang serius dan untuk konfirmasi minat kandidat dalam tahapan berikutnya, yaitu pelatihan. Dari hasil interview, didapatkan 8 orang panelis yang terdiri dari tiga orang mahasiswa dan lima orang mahasiswi yang akan mengikuti pelatihan. Penelitian ini membutuhkan panelis terlatih sebanyak 8-12 orang (Setyaningsih dkk, 2010; Meilgaard et al. 1999) yang sebelumnya harus melewati proses seleksi panelis untuk melakukan analisis deskriptif. Selain itu, juga dibutuhkan banyak panelis dalam pengujian hedonik/uji preferensi terhadap sampel. Jumlah panelis yang dibutuhkan minimum 30 panelis tidak terlatih (Watts et al. 1989) atau 50 sampai beberapa ratus (Meilgaard et al. 1999). Asumsi yang digunakan dalam pengujian analisis deskriptif dan hedonik adalah sampel dinilai sama oleh panelis walaupun disajikan di hari yang berbeda. Oleh karena itu, sampel diusahakan dibuat konsisten dan seragam. Untuk mendapatkan sampel yang seragam, dilakukan usaha standardisasi terhadap sampel.
2.
Pelatihan dan Penetapan Nilai Standar Lamanya pelatihan didasarkan pada kompleksitas produk yang akan dianalisis. Dalam penelitian kali ini, pelatihan diadakan kontinyu selama 2-3 minggu setiap hari kerja. Materi pelatihan terdiri dari penetapan terminologi, pengenalan skala deskriptif, pengenalan perbedaan yang kecil dari produk, dan latihan. Pelatihan bertujuan untuk melatih kepekaan sensori terhadap atribut sensori yang akan sangat membantu pada pengujian selanjutnya. Penetapan terminologi atribut sensori dilakukan untuk menyamakan konsep atribut sensori sehingga dapat dikomunikasikan antar panelis satu dengan yang lainnya (Stone & Sidel, 2004). Pada tahap pelatihan teminologi aroma, setiap panelis diperkenalkan pada aroma-aroma tertentu yang kemungkinanan ada pada sampel nasi berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan Limpawattana & Shewfelt (2010) dan Arkanti (2007). Panelis dilatih menggunakan uji rating skala garis pada atribut rasa, aroma, dan tekstur. Untuk pelatihan atribut aroma, standar aroma berasal dari PT Ogawa Indonesia dan PT Sensient Technologies Indonesia. Pelatihan panelis dilakukan menggunakan larutan standar. Konsentrasi larutan standar untuk atribut rasa, aroma, dan tekstur ditentukan secara subyektif oleh para panelis. Penentuan standar dan pelatihan dilakukan menggunakan skala garis tidak terstruktur sepanjang 15 cm dengan garis/tanda sebagai pengarah di awal dan di ujung garis. Pada tanda awal dan akhir
30
diberi label berupa ekspresi kata-kata yang menunjukkan intensitas dari atribut yang diuji. Satu garis digunakan untuk satu atribut dan panelis memberi tanda berupa garis vertikal atau menyilang pada kisaran respon yang dideteksi. Scoresheet/kuesioner yang digunakan untuk penentuan standar dan pelatihan atribut sensori dapat dilihat pada Lampiran 7 dan 6a-6e. Setelah nilai konsentrasi dan intensitas masing-masing atribut diperoleh pada saat melakukan pelatihan QDA, dibuat hubunga logaritmik dan diplot menjadi persamaan Stephen (Meilgaard et al, 1999). Persamaannya adalah sebagai berikut : R = k Cn dimana R merupakan perkiraan intensitas, C merupakan konsentrasi, k adalah konstanta yang tergantung pada unit yang dipilih untuk mengukur R dan C, dan n adalah eksponensial yang digunakan untuk mengukur laju perkembangan intensitas yang diperoleh sebagai suatu fungsi stimulus intensitas. Kemudian persamaan Stephen dibuat logaritma menjadi turunan rumus : Log R = Log k + n Log C Dari turunan persamaan Stephen, ditentukan persamaan linier kurva standar untuk menentukan intensitas dan konsentrasi larutan standar untuk pelatihan panelis dan pengujian analisis kuantitatif. Gambar 3 merupakan kurva linier hasil plot antara nilai konsentrasi dan skor untuk atribut rasa manis.
Gambar 3. Kurva linier hubungan antara logaritma skor atribut rasa manis dan konsentrasi larutan sukrosa sebagai penentu nilai standar untuk uji QDA Persamaan garis yang diperoleh kurva standar pada Gambar 3 digunakan untuk menentukan konsentrasi dan skor yang akan digunakan sebagai standar pada pelatihan panelis dan pengujian analisis kuantitatif. Kurva standar di atas menghasilkan nilai R2 yang baik, yaitu sebesar 0,970 dengan persamaan y=0,157 x + 0,126. Kurva standar untuk atribut-atribut sensori lainnya dapat dilihat pada Lampiran 9 sedangkan konsentrasi larutan standar, skor (intensitas), dan bahan yang digunakan untuk pelatihan panelis dapat dilihat pada Lampiran 10.
31
Bahan-bahan yang digunakan sebagai standar merupakan bahan-bahan yang memiliki rasa, aroma, dan tekstur yang mirip dengan nasi. Standar atribut rasa manis menggunakan gula pasir, rasa asin menggunakan garam halus, dan rasa gurih menggunakan MSG + NaCl 0,1%. Standar atribut aroma menggunakan beberapa standar aroma, seperti diacetyl untuk atribut aroma buttery, sugar lactone untuk atribut aroma manis, pandan flavor untuk atribut aroma pandan, vanilin untuk atribut aroma vanilla, dan 2-Acetyl-2-Pyridine untuk atribut aroma popcorn/kacang-kacangan. Standar-standar aroma tersebut harus diencerkan dengan propilen glikol sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Bahan dan skor untuk atribut tekstur nasi yang digunakan pada pelatihan panelis tidak dicari menggunakan persamaan Stephen. Bahan standar dan skor mengacu pada standar yang tercantum dalam Meullenet et al. (1999). Bahan dan skor atribut tekstur yang digunakan untuk pelatihan panelis dapat dilihat pada Tabel 12. Setelah dilakukan penetapan standar, panelis dilatih menggunakan standar hingga penilaian dan kepekaan panelis menjadi konsisten dimana dalam penelitian ini dilakukan pelatihan sebanyak 15 kali. Panelis dikatakan panelis terlatih jika kepekaan panelis konsisten dan panelis siap untuk ke tahap selanjutnya, yaitu pengujian.
3.
Pengujian Atribut Sensori Nasi Pengujian dilakukan oleh delapan orang panelis terlatih yang menilai empat sampel nasi yang banyak diproduksi dan dikonsumsi di daerah Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua, yaitu Varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo secara berturut-turut. Pengujian dilakukan secara kualitatif menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dan secara kuantitatif menggunakan Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Atribut sensori yang dinilai meliputi rasa, aroma, dan tekstur. Pada uji deskripsi, kekonsistenan adalah suatu hal yang penting sehingga perlu dilakukan tiga kali ulangan pengujian dari setiap atribut yang terdapat pada produk. Ulangan dapat membantu mengkondisikan panelis terlatih agar dapat melakukan penilaian secara konsisten (Piggot et al. 1998). Jumlah produk per sesi analisis tergantung derajat kelelahan panelis dalam menilai dan mengisi lembar uji. Umumnya 4-6 sampel per hari dan jika produk yang dinilai rumit atau atribut sensori yang dianalisis banyak, maka cukup tiga sampel per hari. Apabila sampel terlalu sedikit, akan mengakibatkan variasi yang terlalu besar dan apabila sampel terlalu banyak, akan mengakibatkan antarcontoh kelihatannya berbeda tetapi sebenarnya tidak (Setyaningsih dkk, 2010). Pada penelitian ini, pengujian dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dari setiap atribut pada produk. Sampel yang disajikan pada saat pengujian sebanyak empat sampel, yaitu nasi dari varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo. Pada saat pengujian, tidak semua atribut dianalisis pada jumlah yang sama. Atribut rasa dianalisis hanya satu periode, ketiga-tiganya dianalisis pada waktu bersamaan. Atribut aroma dianalisis sebanyak dua periode, periode pertama sebanyak tiga atribut dan periode kedua sebanyak dua atribut lainnya. Atribut tekstur dilakukan sebanyak dua periode, yaitu periode pertama sebanyak tiga atribut dan periode kedua sebanyak tiga tribut lainnya.
32
C.
ANALISIS DESKRIPTIF KUALITATIF NASI Analisis kualitatif digunakan untuk mendapatkan data deskripsi masing-masing sampel beras secara subyektif. Metode analisis kualitatif yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD). Pengujian sensori dengan teknik FGD melibatkan seluruh panelis dan seorang moderator. Pada uji ini, panelis dengan arahan moderator akan mendiskusikan atribut sensori (rasa, aroma, dan tekstur) dari semua sampel beras yang diujikan. Hasil yang didapat dari FGD tersebut akan digunakan pada proses selanjutnya, yaitu analisis kuantitatif QDA. Tabel 13. adalah hasil FGD empat sampel nasi yang telah dilakukan. Tabel 13. Atribut sensori dari empat sampel nasi yang diperoleh dari hasil FGD
D.
Atribut Sensori
Karakteristik
Rasa
Manis, asin, gurih
Aroma
Buttery, pandan, nutty, manis, dan vanilla
Tekstur
Kelengketan/adhesive sampel di bibir, kekerasan, kepaduan/kohesif massa sampel, kekasaran, toothpull, dan ukuran partikel nasi saat dikunyah,
ANALISIS DESKRIPTIF RASA NASI 1.
Analisis Kualitatif Analisis kualitatif yang digunakan pada penelitian kali ini adalah Focus Group Discussion (FGD). FGD dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pelatihan. FGD sebelum dilakukan untuk menentukan atribut-atribut sensori (rasa, aroma, dan tekstur) yang terdapat di sampel nasi yang akan digunakan dalam proses pelatihan. FGD kedua dilakukan setelah proses pelatihan agar kepekaan panelis dalam mendeteksi keberadaan sensori dalam sampel lebih tinggi dan juga untuk menyamakan terminologi diantara panelis. FGD dipimpin oleh seorang panel leader yang bertujuan untuk memfasilitasi diskusi agar berjalan lancar secara dinamis dan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari panelis, serta mengarahkan panelis agar tetap fokus pada diskusi (Setyaningsih dkk, 2010). Hasil atau keputusan diskusi diambil langsung oleh panelis tanpa campur tangan panel leader. Diskusi untuk menentukan atribut rasa pada nasi dilakukan pada empat sampel nasi, yaitu varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo. Diskusi sebelum dan sesudah pelatihan berlangsung selama 1 jam. Tabel 14 menunjukkan bahwa atribut rasa yang teridentifikasi secara dominan pada keempat sampel adalah manis dan gurih. Rasa asin juga teridentifikasi pada sampel nasi dari varietas Ciherang dan Cisokan selain rasa manis dan gurih. Hasil ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Darmasetiawan (2004), dimana hasil analisis kualitatif terhadap nasi dari Beras Panjang menunjukkan bahwa nasi tersebut memiliki atribut rasa manis dan asin. Rasa manis mendominasi rasa yang ada pada nasi, mengingat penyusun utama beras adalah karbohidrat, yaitu 89-90% (Rohman, 1997) dimana karbohidrat merupakan sumber rasa manis. Tidak semua karbohidrat berperan dalam membentuk rasa manis. Karbohidrat yang berperan sebagai sumber rasa manis adalah monosakarida seperti glukosa dan fruktosa (Winarno, 1992).
33
Tabel 14. Hasil analisis kualitatif FGD atribut rasa nasi
2.
Sampel
Deskripsi Rasa
Cisokan Ciherang Ciliwung Membramo
Manis, asin Manis, asin, dan gurih Manis, gurih Manis, gurih
Analisis Kuantitatif Metode yang digunakan dalam melakukan analisis kuantitatif adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Tahap pengujian kuantitatif dilakukan untuk menentukan intensitas atribut-atribut sensori yang diperoleh dari FGD. Atribut rasa yang diujikan dengan metode ini adalah manis, asin, dan gurih. Penilaian sampel dilakukan pada skala tidak terstruktur sepanjang 15 cm. Pada saat pengujian diberikan 2 standar (R1 dan R2) yang nilainya telah ditentukan saat pelatihan. Adanya standar dengan berbagai intensitas pada setiap atribut membantu panelis untuk mengingat dan menyamakan konsep dengan panelis lainnya. Pada saat pengukuran intensitas atribut dengan penggaris, nilai yang diperoleh dikonversi menjadi skala 100. 2.1 Atribut Rasa Manis Beras mengandung pati sebesar 78,3% (Winarno, 1992). Pati merupakan polisakarida yang terdiri dari molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis enzim-enzim yang spesifik kerjanya (Winarno, 1992). Enzim yang terdapat pada saliva adalah enzim α-amilase. Enzim ini dapat menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari 6 sampai 7 unit glukosa (Winarno, 1992). Glukosa merupakan monosakarida. Gulagula sederhana inilah yang berkontribusi kuat terhadap rasa manis pada nasi pada saat pengunyahan. Pada umumnya manusia baik bayi, anak, maupun orang dewasa menyukai rasa manis sehingga dapat dikatakan bahwa rasa manis merupakan salah satu alasan sebagian besar penduduk di dunia menyukai nasi selain sebagai bahan makanan pokok. Tabel 15. menunjukkan nilai intensitas rasa manis pada nasi. Data intensitas rata-rata rasa manis kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA. Uji ini digunakan untuk melihat interaksi sampel dan panelis. Pada Lampiran 16 didapat informasi bahwa terdapat pengaruh yang nyata terhadap rasa manis empat varietas beras yang diujikan (p-value < 0,05). Uji lanjut Tukey pada Lampiran 16 menunjukkan perbedaan rasa manis diantara keempat varietas. Kelompok sampel nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, dan Membramo tidak saling memiliki perbedaan rasa manis yang signifikan. Nasi dari varietas Ciherang memiliki perbedaan rasa manis yang signifikan terhadap kelompok sampel nasi dari varietas Ciliwung dan Cisokan. Selain itu, Tabel 15 juga menginformasikan bahwa nasi dari varietas Ciliwung memiliki intensitas rasa manis yang paling tinggi, yaitu sebesar 12,9, sedangkan intensitas yang paling rendah dimiliki nasi dari varietas Ciherang, yaitu sebesar 8,6.
34
Tabel 15. Data intensitas atribut rasa manis nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel
Intensitas
Ciherang Membramo Cisokan Ciliwung
8,6 ± 2,4b 11,1 ± 3,5ab 12,4 ± 2,9a 12,9 ± 6,3a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (pvalue < 0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.2 Atribut Rasa Asin Beras mengandung sodium sebanyak 2 mg/ 158 g nasi (USDA, 2001). Mineral ini berperan dalam pembentuk rasa asin. Ion sodium (Na+) yang menyentuh ujung apikal dari sel pencecap melalui saluran ion pada mikrovili akan menimbulkan rangsangan sensasi rasa asin. Data intensitas rasa gurih selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada selang kepercayaan 95%. Data intensitas rasa gurih dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil analisis untuk sampel menunjukkan bahwa rasa asin pada nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo tidak berbeda pada selang kepercayaan 95%. Tabel 16. Data intensitas atribut rasa asin nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel
Intensitas
Membramo Ciherang Cisokan Ciliwung
10,9 ± 5,8 a 12,1 ± 2,7 a 12,5 ± 3,4 a 14,9 ± 4,2 a
2.3 Atribut Rasa Gurih Senyawa pemberi rasa gurih yang paling dikenal dan potensial adalah asam amino L-glutamat atau garamnya, seperti Monosodium Glutamat (MSG). Menurut FAO (2004), kandungan asam amino pada beras dapat dikatakan tinggi, meliputi asam glutamat dan aspartat dimana lysin merupakan pembatas asam amino. Selain itu, rasa gurih juga dapat ditimbulkan oleh peptida seperti yang dikatakan Han & Xu (2011) bahwa peptida berkontribusi dalam pembentukan sensori suatu makanan, yaitu rasa manis, asam, pahit, dan gurih. Peptida merupakan molekul pembentuk protein. Protein dalam nasi merupakan komponen kimia terbesar kedua, sebesar 78% (Haryadi, 2008) setelah pati. Oleh karena itu, memakan nasi akan menimbulkan atribut rasa gurih. Dari hasil uji kuantitatif, diperoleh intensitas rata-rata atribut rasa gurih yang kemudian dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA. Uji ini menggunakan selang kepercayaan 95% yang menjaga agar alpha-risk tetap maksimum 5%. Tabel 17 menginformasikan intensitas rata-rata atribut rasa gurih. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 16, diketahui rasa gurih diantara keempat sampel yang diujikan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%.
35
Tabel 17. Data intensitas atribut rasa gurih nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciherang Ciliwung Cisokan Membramo
6,4 ± 2,2 a 7,7 ± 2,4 a 8,9 ± 2,1 a 8,9 ± 3,4 a
2.4 Spider web Atribut Rasa Manis, Gurih, dan Asin Data hasil analisis kuantitatif atribut rasa manis, asin, dan gurih masingmasing varietas unggul beras yang diujikan ditampilkan dalam bentuk spider web atau grafik jaring laba-laba (Gambar 4). Gambar 4 menjelaskan bahwa intensitas atribut rasa asin yang paling tinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung, yang kemudian diikuti oleh Cisokan, Membrano, dan Ciherang. Rasa gurih dari varietas Cisokan dan Membramo memiliki intensitas yang sama, dan intensitas yang paling rendah dimiliki oleh varietas Ciherang. Intensitas rasa manis yang ditimbulkan pada keempat sampel terdapat perbedaan. Dari Gambar 4 terlihat jelas bahwa nasi dari varietas Ciherang merupakan nasi yang memiliki atribut rasa manis paling rendah dimana titiknya terletak antara garis/jaring 5 dan 10, yaitu sebesar 8,6. Namun, titik varietas Ciliwung, Cisokan, dan Membramo terletak antara garis/jaring 10-15. Dari hasil two-way ANOVA rasa manis pun menyatakan bahwa nasi dari keempat varietas ini berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nasi dari varietas Ciliwung memiliki intensitas rasa manis yang paling tinggi, yaitu sebesar 12,9, sedangkan yang paling rendah adalah varietas Ciherang, yaitu 8,6.
Gambar 4. Spider Web atribut rasa nasi dari varietas beras Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo
36
3.
Korelasi Atribut Rasa pada Nasi Suatu atribut dikatakan berkorelasi jika memiliki nilai korelasi lebih dari 0,5 (Limpawattana & Shewfelt, 2010). Analisis korelasi pada atribut rasa manis, asin, dan gurih menunjukkan bahwa tidak ada atribut yang berkorelasi tinggi, yaitu >0,80 (Limpawattana & Shewfelt, 2010) yang dapat dilihat pada Tabel 18. Angka yang bercetak tebal pada Tabel 18 berarti adanya korelasi antara atribut. Atribut rasa asin berkorelasi positif dengan rasa manis sebesar 0,512 yang menunjukkan bahwa semakin besar intensitas rasa asin yang dirasakan semakin besar pula intensitas rasa manis yang dirasakan. Serupa dengan atribut rasa gurih dan manis yang berkorelasi positif sebesar 0,698 dimana semakin besar intensitas gurih yang dirasakan maka semakin besar rasa manis yang ditimbulkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa atribut rasa manis berkorelasi positif dengan rasa gurih dan asin. Tabel 18. Korelasi atribut Rasa (Pearson Correlation) Atribut Manis Asin Gurih Manis Asin Gurih
E.
1 0,512 0,698
1 -0,246
1
ANALISIS DESKRIPTIF AROMA NASI 1.
Analisis Kualitatif Untuk melakukan analisis ini juga digunakan Focus Group Discussion (FGD). Prosesnya pun sama dengan analisis kualitatif atribut rasa nasi dan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah pelatihan. Diskusi sebelum dan sesudah pelatihan masing-masing berlangsung selama satu jam. Hasil diskusi selanjutnya digunakan untuk uji kuantitatif dan dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa terdapat lima atribut aroma yang dihasilkan dari diskusi, yaitu buttery, nutty, pandan, manis, dan vanila. Uji secara kuantitatif selanjutnya menggunakan lima atribut aroma tersebut. Pada deskripsi aroma, panelis sering kali mengalami kesulitan melakukan penilaian apabila nasi telah dingin. Oleh karena itu, pengujian segera dilakukan setelah nasi matang. Keempat varietas beras dimasak menggunakan rice cooker sesuai dengan Subarna (2005). Metode ini diterapkan juga pada pelaksanaan analisis deskriptif atribut rasa dan tekstur. Nasi yang sudah masak dibungkus dengan alumunium foil yang bertujuan untuk memerangkap dan meminimalisasi kehilangan aroma. Panelis kemudian melakukan pengujian aroma nasi untuk setiap atribut. Tabel 19. Hasil analisis kualitatif FGD atribut aroma Sampel Deskripsi Aroma Ciherang Cisokan Membramo Ciliwung
Buttery, nutty, pandan, manis Buttery, manis, vanila, nutty Buttery, manis, vanila, nutty Buttery, vanilla, manis, nutty, pandan
37
2.
Analisis Kuantitatif Tahap pengujian kuantitatif dilakukan untuk menentukan intensitas atributatribut aroma yang telah diperoleh dari FGD dengan membandingkan dengan standar yang nilainya telah ditentukan saat tahap pelatihan. Analisis kuantitatif atribut aroma menggunakan dua standar (R1 dan R2) pada skala tidak terstruktur sepanjang 15 cm. Pada saat pengukuran intensitas atribut aroma dengan penggaris, nilai yang diperoleh dikonversi menjadi skala 100. 2.1 Atribut Aroma Buttery Pengujian aroma buttery pada empat varietas beras yang diujikan menghasilkan data seperti yang terlihat pada Tabel 20. Nilai intensitas rata-rata atribut aroma buttery yang diperoleh dari hasil kuantitatif selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA (Lampiran 17). Berdasarkan uji ANOVA yang dilakukan terlihat adanya pengaruh nyata terhadap aroma buttery emapat sampel nasi yang diujikan. Untuk mengetahui perbedaan lebih lanjut diantara keempat varietas tersebut, maka dilakukan uji lanjut Tukey (p-value <0,05). Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa aroma buttery pada nasi dari varietas Ciherang tidak berbeda nyata dengan varietas Ciliwung dan Membramo (p-value >0,05). Namun, aroma buttery pada nasi dari varietas Cisokan berbeda nyata dengan varietas Ciherang dan Ciliwung. Hasil uji lanjut Tukey atribut aroma buttery dapat dilihat pada Lampiran 17. Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa nasi yang memiliki intensitas aroma buttery tertinggi terdapat pada varietas Ciherang, yaitu sebesar 23,6 dan yang terendah adalah varietas Cisokan, yaitu sebesar 19,2. Tabel 20. Data intensitas atribut aroma buttery pada nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Cisokan Membramo Ciliwung Ciherang
19,2 ± 10,2b 21,4 ± 11,8ab 22,3 ± 8,2a 23,6 ± 12,5a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.2 Atribut Aroma Nutty Tabel 21 menunjukkan nilai intensitas rata-rata yang diperoleh dari hasil analisis kuantitatif atribut aroma nutty. Pengolahan data intensitas atribut nutty dengan uji two-way ANOVA didapatkan informasi bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada intensitas atribut aroma nutty diantara keempat varietas beras unggul yang diujikan (p-value<0,05). Hasil analisis ini dapat dilihat pada Lampiran 17. Selanjutnya, untuk mengetahui varietas beras mana saja yang memiliki perbedaan atribut nutty dilakukan uji lanjut Tukey (Lampiran 17). Aroma nutty pada nasi dari varietas Cisokan tidak berbeda nyata dengan varietas Membramo. Begitupun pada nasi dari varietas Membramo dengan Ciherang (p-value>0,05). Perbedaan aroma nutty terlihat antara nasi dari varietas Ciliwung dengan varietas Membramo, Cisokan, dan Ciherang (p-value<0,05). Berdasarkan Tabel 21 telah diketahui bahwa varietas Ciliwung memiliki nilai intensitas atribut
38
aroma nutty tertinggi, yaitu sebesar 15,7 sedangkan intensitas aroma nutty yang terendah adalah varietas Ciherang, yaitu sebesar 8,9. Tabel 21. Data intensitas atribut aroma nutty pada nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciherang Membramo Cisokan Ciliwung
8,9 ± 3,7c 10,9 ± 4,2bc 12,4 ± 4,7b 15,7 ± 5,5a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.3 Atribut Aroma Pandan Nilai intensitas atribut aroma pandan pada nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 22. Selanjutnya nilai intensitas ini dianalisis secara statistik dengan uji two-way ANOVA. Dari Lampiran 18, hasil analisis ini menunjukkan bahwa aroma pandan berpengaruh nyata pada keempat sampel yang diujikan. Untuk mengetahui keterangan lebih lanjut mengenai perbedaannya diantara keempat varietas tersebut, maka dilakukan uji lanjut Tukey (Lampiran 17). Nasi dari varietas Ciherang memiliki aroma pandan yang tidak berbeda nyata dengan varietas Cisokan dan Ciliwung. Hal serupa juga terjadi pada nasi dari varietas Membramo dengan varietas Cisokan dan Ciliwung (p-value>0,05). Perbedaan aroma pandan yang nyata terlihat antara nasi dari varietas Ciherang dan Membramo. Berdasarkan Tabel 22, intensitas aroma pandan tertinggi terdapat pada nasi dari varietas Ciherang sebesar 14,0; sedangkan yang terendah terdapat pada nasi dari varietas Membramo sebesar 11,8. Tabel 22. Data intensitas atribut aroma pandan pada nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Membramo Ciliwung Cisokan Ciherang
11,8 ± 4,9b 12,9 ± 7,1ab 13,8 ± 7,8ab 14,0± 6,1a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.4 Atribut Aroma Manis Setelah didapat intensitas atribut aroma manis pada keempat varietas, maka dilakukan analisis statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan Lampiran 17, diketahui bahwa aroma manis pada keempat sampel terdapat perbedaan yang nyata (p-value<0,05). Dari uji lanjut Tukey (Lampiran 17), aroma manis pada nasi dari varietas Ciliwung tidak berbeda nyata dengan varietas Membramo dan Ciherang. Namun, aroma manis pada nasi dari varietas Cisokan berbeda nyata dengan ketiga varietas lain (p-value<0,05). Nilai
39
aroma manis tertinggi terdapat pada nasi dari varietas Ciliwung dan yang terendah terdapat pada nasi dari varietas Cisokan (Tabel 23). Tabel 23. Data intensitas atribut aroma manis pada nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Cisokan Ciherang Membramo Ciliwung
25,0 ± 11,7b 31,1 ± 11,3a 31,8 ± 12,5a 36,6 ± 11,2a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.5 Atribut Aroma Vanilla Hasil uji QDA, yaitu data intensitas rata-rata atribut aroma vanilla (Tabel 24) dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada selang kepercayaan 95%. Lampiran 17 menginformasikan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata terhadap atribut aroma vanilla pada nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo (p-value>0,05) Kesemua sampel memiliki intensitas aroma vanilla yang sama saat panel mencium nasi dalam keadaan hangat. Tabel 24. Data intensitas atribut aroma vanilla pada varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciherang Cisokan Membramo Ciliwung
18,0 ± 6,4a 19,2 ± 6,6 a 21,3 ± 6,0 a 23,0 ± 5,8 a
2.6 Spider web Atribut Aroma Buttery, Nutty, Pandan, Manis, dan Vanilla Dari data intensitas atribut aroma yang diperoleh dari uji kuantitatif, dapat dibuat sebuah jaring laba-laba (spider web) untuk membandingkan intensitas atribut sensori secara visual (Gambar 5). Dari hasil kuantitatif, keempat varietas dideteksi memiliki semua atribut aroma yang diujikan. Perbedaan terletak pada intensitas. Nasi dari varietas Cisokan memiliki aroma manis dan buttery yang paling rendah diantara keempat sampel yang diujikan. Aroma pandan tertinggi terdapat pada varietas Ciherang dan Cisokan, yang kemudian diikuti oleh Ciliwung dan Membramo. Atribut aroma yang menonjol pada nasi dari varietas Ciliwung adalah aroma nutty dan manis. Selain memmiliki aroma pandan yang tertinggi, nasi dari varietas Ciherang di karakteristikkan dengan atribut aroma buttery yang paling tinggi serta aroma nutty yang paling rendah. Nasi dari varietas Membramo memiliki intensitas aroma pandan yang paling rendah. Aroma vanilla pada keempat varietas memiliki intensitas yang cenderung sama. Hal ini terlihat dari titik-titik pada varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo yang saling berhimpitan.
40
Gambar 5. Spider Web atribut aroma nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo
3.
Korelasi Atribut Aroma pada Nasi Tabel 25 menjelaskan mengenai korelasi pada atribut aroma buttery, manis, nutty, pandan, dan vanilla. Angka yang bercetak tebal menunjukkan korelasi antara atribut. Analisis tersebut menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara atribut aroma tersebut, yaitu aroma nutty dan aroma vanilla yang berkorelasi positif sebesar 0,809. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin besar intensitas aroma vanilla maka semakin besar intensitas aroma nutty dan hubungan antara kedua atribut tersebut sangat tinggi. Hal serupa juga ditunjukkan antara aroma manis dan buttery, antara vanilla dan manis yang secara berturut-turut berkorelasi positif sebesar 0,750 dan 0,644. Nilai ini dapat dikatakan memiliki korelasi yang cukup tinggi. Berbeda dengan aroma vanilla dan pandan yang memiliki korelasi negatif sebesar 0,674 yang berarti bahwa semakin besar intensitas aroma vanilla maka semakin kecil intensitas aroma pandan dan sebaliknya. Tabel 25. Korelasi Atribut Aroma (Pearson Correlation) Atribut Buttery Manis Nutty Pandan Buttery Manis Nutty Pandan Vanilla
1 0,750 -0,270 0,075 -0,019
1 0,358 -0,344 0,644
1 -0,172 0,809
1 -0,674
Vanilla
1
Menurut Champagne (2008), komponen volatil utama yang membentuk karakteristik aroma adalah 2-acetyl-1-pyrroline (2-AP; aroma popcorn). Buttery et al. (1982) menemukan bahwa 2-acetyl-1-pyrroline (ACPY) adalah senyawa volatil organik yang terdapat pada nasi dari beras aromatik dimana senyawa ini dapat menjadi indikator yang baik untuk mengidentifikasi aroma nasi dari beras nonaromatik. Karena empat
41
varietas sampel yang digunakan bukan merupakan beras aromatik sehingga ACPY dapat digunakan sebagai indikator dalam mengidentifikasi senyawa volatil yang berperan dalam pembentukan aroma-aroma tersebut dengan GC-MS (Gas Chromatography-Mass Spectrometry).
F.
ANALISIS DESKRIPTIF ATRIBUT TEKSTUR NASI 1.
Analisis Kualitatif Tekstur beras merupakan karakteristik fisik dari nasi seperti kelengketan dan kekerasan yang umumnya dikenal sebagai atribut yang mempengaruhi mutu makan nasi dari pada mutu penampilan, seperti warna dan atribut organoleptik yang lain (rasa dan aroma). Sebagai besar masyarakat Indonesia menyukai nasi yang bertekstur pulen/lengket, tetapi ada juga sebagian kecil masyarakat yang menyukai nasi bertekstur keras, seperti pada masyarakat Sumtera Barat. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis ini sama seperti analisis kualitatif sebelumnya, yaitu Focus Group Discussion (FGD) dan dilakukan sebanyak dua kali, sebelum dan sesudah pelatihan. Diskusi sebelum dilakukan untuk menentukan deskripsi tekstur yang ada pada keempat sampel. Banyak istilah dalam mendeskripsikan tekstur nasi. Pada penelitian ini, pendeskripsian nasi mengacu pada Meullenet et al. (1999) untuk menyamakan terminologi diantara panelis. Diskusi berlangsung selama dua jam, satu jam untuk sebelum dan sesudah pelatihan. Tabel 26 merupakan hasil diskusi panelis mengenai deskripsi tekstur nasi yang berasal dari empat varietas unggul beras, yaitu Varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo. Tabel 26. Hasil analisis kualitatif FGD atribut tekstur nasi Sampel Deskripsi Tekstur Ciherang Membramo Cisokan
Ciliwung
2.
Ukuran partikel/volume nasi besar, lebih padu, kepulenan agak kurang Pulen, tidak lengket di gigi (toothpull kurang), sampel nasi di mulut padu/kohesif Kelengketan/adhesive di bibir kurang, tidak pulen/keras, tidak kohesif, ukuran partikel/volume nasi dalam mulut kecil, kasar saat dikunyah, toothpull kurang Lebih adhesive, pulen, toothpull cukup besar, lebih kohesif, tidak kasar saat dikunyah
Analisis Kuantitatif Analisis ini dilakukan untuk menentukan intensitas atribut tekstur yang telah ditentukan pada analisis kualitatif. Metode yang digunakan adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA). Pengujian dilakukan menggunakan sakala tidak terstruktur sepanjang 15 cm dan dua standar, yaitu R1 dan R2. Definisi terminologi dan cara pengukuran atribut tekstur yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Pada saat pengukuran intensitas atribut tekstur dengan penggaris, nilai yang diperoleh dikonversi menjadi skala 100.
42
2.1 Atribut Adhesif/Kelengketan Sampel di Bibir Atribut adhesif sampel di bibir yang digunakan pada penelitian ini memiliki pengertian derajat kelengketan saat sampel menempel di bibir. Pengukuran atribut ini dilakukan dengan cara menekan sampel di antara dua bibir, dan dilepaskan. Pengujian atribut adhesif di bibir pada empat varietas beras menghasilkan data seperti yang terlihat pada Tabel 27. Nilai intensitas rata-rata atribut kelengketan sampel di bibir yang diperoleh dari hasil kuantitatif selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 18). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan atribut adhesif sampel di bibir yang nyata pada keempat sampel. Untuk mengetahui keterangan lebih lanjut mengenai perbedaannya diantara keempat varietas tersebut, maka dilakukan uji lanjut Tukey. Nasi dari varietas Ciherang memiliki atribut adhesif sampel di bibir yang tidak berbeda nyata dengan varietas Ciliwung dan Membramo, sedangkan nasi dari varietas Cisokan memiliki perbedaan yang nyata dengan tiga varietas lainnya (p-value<0,05). Intensitas adhesif sampel di bibir tertinggi terdapat pada nasi dari varietas Ciherang sebesar 51,53 dan yang terendah adalah varietas Cisokan sebesar 37,69 (Tabel 27). Atribut adhesif/kelengketan sampel di bibir berkaitan dengan kadar amilosa yang dimiliki masing-masing varietas beras. Hal ini terlihat pada varietas Cisokan yang memiliki tingkat adhesif paling rendah dimana varietas ini memiliki kadar amilosa paling tinggi, 26% (Puslitbangtan, 2007), sedangkan varietas Ciherang memiliki tingkat adhesif paling tinggi dimana menurut Puslitbangtan (2007) kadar amilosanya sebesar 23% (tergolong pulen). Kemungkinan fenomena ini adalah semakin tinggi kadar amilosa nasi, semakin rendah intensitas adhesif sampel di bibir. Tabel 27. Data intensitas atribut adhesif sampel di bibir pada nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Cisokan Membramo Ciliwung Ciherang
37,7 ± 10,3b 45,5 ± 11,3a 49,2 ± 11,7a 51,5 ± 16,5a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.2 Atribut Kekerasan Atribut kekerasan pada nasi memiliki definisi kekuatan yang dibutuhkan untuk menekan sampel nasi. Tabel 28 menunjukkan nilai intensitas rata-rata yang diperoleh dari hasil analisis kuantitatif atribut kekerasan. Pengolahan data intensitas atribut kekerasan secara statistik dengan uji two-way ANOVA pada selang kepercayaan 95% didapatkan informasi bahwa atribut kekerasan sampel tidak berbeda nyata pada nasi dari keempat varietas beras yang diujikan (Lampiran 18). Hal ini berarti nasi dari varietas Ciherang, Ciliwung, Cisokan, dan Membramo cenderung memiliki tingkat kekerasan yang sama.
43
Tabel 28. Data intensitas atribut kekerasan pada varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel
Intensitas
Cisokan Ciliwung Membramo Ciherang
32,4 ± 4,4a 30,7 ± 9,9 a 28,3 ± 4,2 a 27,9 ± 8,4 a
2.3 Atribut Kohesif/Kepaduan Massa Sampel Pengertian dari atribut kohesif massa sampel adalah derajat pengunyahan saat sampel dikunyah secara bersamaan. Nilai intensitas atribut kepaduan/kohesif massa sampel pada varietas Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung dapat dilihat pada Tabel 29. Selanjutnya nilai intensitas ini dianalisis secara statistik dengan uji two-way ANOVA. Dari Lampiran 18, hasil analisis ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada atribut kohesif diantara keempat varietas beras tersebut. Perbedaan tersebut terlihat jelas antara varietas Membramo dengan Ciherang (pvalue<0,05), sedangkan atribut kohesif pada nasi dari varietas Ciliwung tidak berbeda nyata dengan varietas Cisokan. Berdasarkan Tabel 29, nilai kohesif massa sampel yang tertinggi terdapat pada varietas Membramo sebesar 53,71, sedangkan nilai terendah terdapat pada varietas Ciherang sebesar 47,80. Semakin tinggi nilai intensitas pada atribut ini, maka semakin sampel mudah dikunyah karena sampel cepat menyatu saat pengunyahan. Semakin rendah nilai intensitas, semakin sampel sulit dikunyah karena sampel mudah berbaur saat pengunyahan. Atribut ini diduga terkait dengan kelengketan dimana kelengketan nasi tergantung pada kadar amilosa nasi tersebut. Varietas Membramo memiliki kadar amilosa sebesar 19% yang tingkat kohesifnya paling tinggi, sedangkan varietas Ciherang memiliki kadar amilosa sebesar 23% yang tingkat kohesifnya paling rendah. Tabel 29. Data intensitas atribut kohesif/kepaduan massa sampel nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciherang Cisokan Ciliwung Membramo
47,8± 15,9b 49,8 ± 6,5ab 52,5 ± 5,4ab 53,7 ± 5,3a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.4 Atribut Kekasaran Massa Sampel Atribut ini dianalisis dengan cara mengunyah sampel dengan gigi geraham sebanyak 8 kali. Nilai intensitas yang diukur adalah sejumlah kekasaran yang dirasakan saat mengunyah sampel. Setelah didapat intensitas atribut kekasaran massa sampel pada keempat varietas, maka dilakukan analisis statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan lampiran 18, terdapat perbedaan yang nyata pada atribut kekasaran massa sampel nasi diantara keempat varietas beras yang diujikan. Perbedaan tersebut terdapat pada varietas
44
Ciliwung (p-value<0,05) dimana tingkat kekasarannya paling rendah, yaitu sebesar 32,2 (Tabel 30). Atribut kekasaran sampel nasi varietas Ciherang tidak berbeda nyata dengan varietas Cisokan dan Membramo. Tabel 30. Data intensitas atribut kekasaran massa sampel nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciliwung Membramo Cisokan Ciherang
32,2 ± 12,4b 38,8 ± 15,9a 40,2 ± 15,5a 40,5± 16,3a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.5 Atribut Toothpull Pengerian toothpull yang digunakan pada penelitian ini adalah kekuatan yang dibutuhkan agar rahang terpisah pada saat mengunyah. Cara pengukurannya dilakukan dengan cara mengunyah sampel sebanyak tiga kali. Selanjutnya dilakukan analisis kuantitatif dan memperoleh data intensitas rata-rata atribut toothpull pada empat varietas yang diujikan (Tabel 31). Data-data ini dianalisis secara statistik menggunakan uji two-way ANOVA pada selang kepercayaan 95%. Lampiran 18 menginformasikan bahwa intensitas atribut toothpull pada keempat varietas beras yang diujikan berbeda nyata. Nasi dari varietas Membramo memiliki toothpull yang berbeda nyata (p-value<0,05) dengan varietas Ciherang, Cisokan, dan Ciliwung, sedangkan ketiga varietas tersebut tidak saling berbeda nyata (p-value>0,05). Berdasarkan Tabel 31 diketahui bahwa varietas beras yang memiliki intensitas atribut toothpull paling tinggi adalah nasi dari varietas Membramo sebesar 40,7. Jadi, nasi yang dimasak dari varietas membramo adalah nasi yang paling lengket di gigi di antara keempat varietas. Hal ini kemungkinan karena kadar amilosa dimana kadar amilosa varietas Membramo paling rendah, yaitu 19% (Puslitbangtan, 2007). Tabel 31. Data intensitas atribut Toothpull sampel nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciliwung Cisokan Ciherang Membramo
31,3± 12,9b 33,2 ± 15,6b 33,4 ± 11,9b 40,7 ± 16,4a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan menggunakan uji lanjut Tukey
2.6 Atribut Ukuran Partikel Yang dimaksud dengan atribut ukuran partikel nasi yang digunakan pada penelitian ini adalah besarnya ruang yang dipenuhi partikel sampel di dalam mulut. Kemudian dilakukan analisis kuantitatif yang memperoleh data pada Tabel 32 dan selanjutnya dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji two-way ANOVA
45
dengan selang kepercayaan 95%. Berdasarkan Lampiran 18, diketahui tidak ada perbedaan atribut ukuran partikel nasi yang nyata pada sampel nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo. Hal ini berarti besar ruangan yang dibutuhkan nasi dari keempat varietas tersebut pada saat pengunyahan cenderung membutuhkan intensitas ukuran/volume yang sama. Menurut Haryadi (2008), amilosa memiliki kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada amilopektin. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih besar sehingga volume pengembangan nasi turut meningkat. Pada penelitian kali ini, varietas Cisokan tergolong beras dengan kadar amilosa yang tinggi, yaitu 26% (Puslitbang Pangan, 2010). Oleh karena itu, seharusnya volume nasi yang mengisi ruangan pada mulut saat pengunyahan dari varietas Cisokan lebih besar. Tabel 32. Data intensitas atribut ukuran partikel sampel nasi dari varietas Ciliwung, Cisokan, Membramo, dan Ciherang Sampel Intensitas Ciherang Membramo Ciliwung Cisokan
52,6 ± 9,1a 52,7 ± 8,2a 52,7 ± 11,1a 55,8 ± 8,8a
2.7 Spider web Atribut Kekasaran, Adhesif Sampel di Bibir, Kohesif Massa Sampel, Kekasaran Massa Sampel, Toothpull, dan Ukuran Partikel Hasil uji kuantitatif intensitas rata-rata enam atribut tekstur nasi pada varietas Ciherang, Cisokan, Ciliwung, dan Membramo ditampilkan dalam bentuk spider web, seperti pada Gambar 6. Masing-masing varietas beras dideskripsikan dengan enam atribut. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa nasi dari varietas Cisokan dideskripsikan memiliki intensitas adhesif sampel di bibir paling rendah. Nasi dari varietas Ciherang memiliki ciri khusus, yaitu tingkat kohesif dan kekasaran paling tinggi, serta tingkat adhesif sampel di bibir paling rendah. Atribut kohesif yang tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung dan Membramo. Selain itu, varietas Ciliwung juga dikarakteristikkan dengan atribut kekasaran dan toothpull dengan intensitas paling rendah. Nasi dari varietas Membramo memiliki intensitas toothpull tertinggi. Intensitas atribut kekerasan dan ukuran partikel pada keempat varietas yang diujikan cenderung memiliki karakteristik yang sama. Hal ini dapat dilihat dari letak titik-titik pada keempat varietas yang saling berhimpitan satu sama lain.
46
Gambar 6. Spider Web atribut tekstur nasi dari varietas beras Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo
3.
Korelasi Atribut Tekstur pada Nasi Tabel 33 menjelaskan mengenai korelasi atribut tekstur dengan melihat koefisien korelasi masing-masing atribut tekstur dengan atribut tekstur yang lain (pearson correlation). Angka yang bercetak tebal menunjukkan korelasi antara atribut. Suatu atribut dikatakan berkorelasi dengan atribut lain jika nilai korelasinya lebih dari 0,5 (Limpawattana & Shewfelt, 2010). Menurut Limpawattana & Shewfelt (2010), hubungan antara atribut satu dengan atribut lain dikatakan tinggi jika memiliki korelasi >0,8. Nilai ini ditunjukkan oleh hubungan antara atribut ukuran partikel dan atribut adhesif sampel di bibir yang berkorelasi negatif sebesar 0,918 yang berarti semakin besar ukuran partikel/volume nasi maka nasi semakin sampel tidak adhesif/ lengket dibibir. Hal ini berbeda dengan hubungan antara ukuran partikel dan kekerasan dimana semakin besar ukuran partikel nasi, maka nasi semakin keras yang berkorelasi sebesar 0,819. Atribut yang memiliki korelasi negatif diantaranya adalah hubungan antara kekerasan dan adhesif sampel di bibir; toothpull dan kekerasan; kekasaran massa sampel dan kohesif massa sampel yang berturut-turut berkorelasi sebesar 0,734; 0,527; 0,552. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin keras/pera nasi, semakin nasi tidak lengket di bibir; semakin nasi pera maka semakin banyak kekuatan yang dibutuhkan dalam memisahkan rahang pada saat pengunyahan; semakin lembut sampel nasi, semakin besar derajat pengunyahan untuk mengunyah sampel nasi. Selain itu, terdapat juga hubungan antara toothpull dan kohesif massa sampel yang berkorelasi positif sebesar 0,513 dimana semakin besar kekuatan yang dibutuhkan untuk memisahkan rahang saat pengunyahan maka semakin besar pula derajat pengunyahan sampel nasi.
47
Tabel 33. Korelasi Atribut Tekstur (Pearson Correlation) Atribut Adhesif Kekeras- Kohesif / Kekasardi bibir an kepaduan an massa sampel sampel Adhesif di bibir Kekerasan Kohesif / kepaduan sampel Kekasaran massa sampel Toothpull Ukuran Partikel
G.
Toothpull
Ukuran Partikel
1 -0,235
1
1 -0,734 -0,081
1 0,003
1
-0,336
-0,223
-0,552
1
-0,109 -0,918
-0,527 0,819
0,513 -0,276
0,377 0,375
PENGELOMPOKKAN VARIETAS BERAS PADA ATRIBUT RASA, AROMA, DAN TEKSTUR Untuk mengetahui atribut rasa, aroma, dan tekstur yang berhubungan erat dengan varietas beras, digunakan PCA (Principal Component Analysis) dan dilanjutkan dengan biplot menggunakan software MINITAB 16. Analisis menggunakan PCA menghasilkan empat buah grafik, yaitu scree plot (Lampiran 23), score plot (Lampiran 24), loading plot (Lampiran 25), dan scatter plot (biplot). Loading plot merupakan bobot kriteria penyusun komponen utama yang kemudian dirotasi menjadi solusi akhir. Terdapat dua cara yang dipakai dalam menentukan jumlah komponen utama yang akan diambil (Setyaningsih dkk, 2010), yaitu mengambil komponen utama yang memiliki nilai eigen lebih dari satu dan dengan uji gambar yang memetakan nilai-nilai eigen. Nilai eigen merupakan hasil reduksi dari seluruh matriks data pada tiap variabel (Meilgaard et al. 1999). Gambar scree plot pada Lampiran 23 menjelaskan nilai eigen yang diperoleh komponen utama. Dari gambar dapat dilihat terdapat tiga komponen utama yang bernilai eigen lebih dari satu dan memiliki 100% total keragaman. Komponen utama yang digunakan untuk analisis berikutnya adalah yang mampu memberikan informasi sebanyak 75-90% dari total keragaman sehingga komponen utama yang diambil adalah komponen utama satu dan dua. Komponen utama satu menjelaskan keragaman data sebesar 45,7 % dan komponen dua menjelaskan sebesar 31,6% keragaman data. Gambar score plot menggambarkan grafik antara komponen utama satu dan komonen utama dua yang menerangkan hubungan antar sampel, dimana sampel yang berdekatan mempunyai deskripsi yang sama, sedangkan sampel yang berada pada lokasi yang berlawanan mempunyai deskripsi yang berbeda. Pada Lampiran 23 dapat dilihat bahwa Varietas Membramo dan Cisokan berada di kelompok yang sama sehingga memiliki deskripsi yang cenderung sama, sedangkan Varietas Ciliwung dan Ciherang berada di kelompok yang berlawanan. Loading plot (Lampiran 25) menjelaskan hubungan antara variabel atribut aroma, rasa, dan tekstur. Atribut dengan keragaman yang kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan atribut yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang. Pada
48
Lampiran 25 dapat dilihat bahwa atribut kepaduan massa sampel dan aroma pandan digambarkan sebagai garis yang pendek, yang artinya persentase intensitas kedua atribut pada keempat varietas hampir sama besar. Selain itu, di dalam loading plot juga diperoleh informasi mengenai hubungan/korelasi antar atribut. Atribut yang memiliki korelasi positif tinggi digambarkan sebagai garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit, diantaranya : atribut rasa manis dengan gurih, aroma vanila dengan nutty, atribut kepaduan/kohesif massa sampel dengan toothpull, ukuran partikel dengan kekasaran, aroma manis dengan buttery. Sementara itu, atribut yang memiliki korelasi negatif tinggi digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul), diantaranya : kekasaran dengan adhesif sampel di bibir dan ukuran partikel dan adhesif sampel di bibir. Sedangkan atribut yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90˚C (siku-siku), seperti aroma manis dan pandan yang tidak berkorelasi satu sama lain. Kesemua hubungan/korelasi tersebut sesuai dengan hasil analisis menggunakan pearson correlation. Selanjutnya grafik score plot digabungkan dengan loading plot yang menghasilkan grafik scatter plot atau disebut dengan biplot (Gambar 7). Grafik ini untuk mengetahui hubungan antara sampel varietas beras dan atribut sensori. Biplot adalah upaya membuat gambar di ruang berdimensi banyak menjadi gambar di ruang dimensi dua. Pereduksian dimensi ini harus dibayar dengan menurunnya besar informasi yang terkandung dalam PCA. Biplot yang mampu memberikan informasi sebesar 70% dari seluruh informasi dianggap cukup dimana dalam penelitian ini biplot memberikan 77,3%, dimensi satu sebesar 45,7% dan dimensi dua sebesar 31,6%. Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa nasi dari varietas Membramo dan Cisokan berada pada posisi yang berdekatan yang cenderung memiliki kesamaan (ditinjau dari dimensi 1). Varietas Membramo dan Cisokan berbeda dengan varietas Ciliwung dan Ciherang dari segi atribut rasa manis dan gurih, serta atribut adhesif sampel di bibir. Perbedaan antara varietas Membramo dan Cisokan terletak pada intensitas. Intensitas rasa manis dan gurih serta atribut adhesif sampel di bibir pada nasi dari varietas Membramo, yaitu sebesar 11,1±3,5; 8,9±3,4; 45,5±11,3. Nasi dari varietas Cisokan memiliki intensitas sebesar 12,4±2,9; 8,9±2,1; 37,7±10,3 yang secara berturut-turut menunjukkan intensitas atribut rasa manis dan gurih serta adhesif sampel di bibir. Rasa manis yang dimiliki varietas Cisokan lebih tinggi dari pada Membramo. Jika ditinjau dari dimensi 2, varietas Membramo memiliki karakteristik adhesif yang lebih kuat, sedangkan varietas Cisokan memiliki karakteristik adhesif yang sangat lemah. Kedua varietas tersebut dideskripsikan dengan atribut yang sama, kemungkinan ditafsirakan sebagai varietas dengan pola genetik yang sama. Ditinjau dari dimensi 1, nasi dari varietas Ciherang dan Ciliwung memilki kesamaan pada atribut ukuran partikel, toothpull, kekasaran sampel, aroma manis, buttery, vanilla, nutty, dan rasa asin. Namun jika ditinjau lebih lanjut, arah vektor dari variabel atribut-atribut tersebut berbeda. Nasi dari varietas Ciliwung berbeda dengan varietas Ciherang, Membramo, dan Cisokan dari segi atribut aroma manis, vanilla, dan nutty; rasa manis; atribut kepaduan massa sampel dan toothpull. Walaupun atribut kepaduan massa sampel terdapat pada kuadran dimana varietas Ciliwung berada, tetapi keberadaan atribut ini tidak dapat dikatakan sebagai atribut yang mendeskripsikan varietas Ciliwung. Hal ini karena vektor yang dimiliki atribut kepaduan massa sampel pendek, yang berarti persentasi keragaman varietas ini kecil dimana intensitas atribut ini pada keempat sampel hampir sama.
49
Nasi dari varietas Ciherang berbeda dengan tiga varietas lainnya dilihat dari segi atribut aroma buttery; ukuran partikel, kekerasan dan kekasaran massa sampel. Pada Gambar 7 terlihat bahwa vektor atribut aroma pandan menuju sampel Ciherang, tetapi atribut ini memiliki vektor yang pendek. Hal ini berarti persentasi keragaman varietas ini kecil dimana intensitas atribut ini pada keempat sampel hampir sama.
3 A ro ma man is
Dimensi 2 (31,6%)
2
B u ttery K ek asaran sam p el
1
Ciliw ung T o o th p u ll asin Van illa N u tty
C ihe rang K o h esif samp el
U k u ran p ar tik el P an d an
0
man is
K ek erasan
M em bram o
-1
-2
A d h esif samp el d i b ib ir g u rih
C isokan
-3 -4
-3
-2
-1 0 Dime nsi 1 (45,7%)
1
2
3
Gambar 7. Biplot Dimensi 1 vs Dimensi 2 atribut rasa, aroma, dan tekstur dari varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo yang masing-masing berasal dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.
H.
UJI PREFERENSI Penanakan nasi tidak menggunakan penambahan bumbu apapun sehingga karakteristik sensori dari nasi sendiri merupakan kunci dalam penerimaan konsumen. Flavor volatil dan tekstur adalah sensori utama dalam mengevaluasi mutu makan nasi (Zeng et al. 2008). Flavor adalah gabungan antara rasa dan aroma (Adawiyah & Waysima, 2009). Oleh karena itu, dalam penelitian ini tingkat penerimaan nasi ditentukan oleh penilaian panelis terhadap aroma, rasa, dan tekstur. Uji afeksi yang digunakan untuk melakukan studi preferensi pada penelitian ini adalah uji afektif kuantitatif dengan menggunakan uji rating hedonik. Skala yang digunakan adalah skala kategori, yaitu skala 1 menyatakan sangat suka sekali, skala 2 menyatakan sangat suka, skala 3 menyatakan suka, skala 4 menyatakan agak suka, skala 5 menyatakan netral, skala 6 menyatakan agak tidak suka, skala 7 menyatakan tidak suka, skala 8 menyatakan sangat tidak suka, dan skala 9 menyatakan sangat tidak suka sekali.
1.
Panelis Panelis yang digunakan dalam penelitian ini adalah panelis tidak terlatih (untrained panelist). Sebanyak 152 panelis tidak terlatih yang ikut serta dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan faktor yang diperkirakan berpengaruh pada tingkat kesukaan terhadap nasi, yaitu kultur/etnis. Pengelompokkan panelis untuk faktor kultur/etnis didasarkan pada kelompok panelis yang berasal dari daerah/wilayah yang
50
sama dan mempunyai budaya yang hampir sama (Nurkhomisah, 2003). Panelis yang diambil untuk satu kelompok etnis adalah panelis yang memang berasal dari etnis yang dimaksud, tinggal di daerah/wilayah etnis tersebut berasal dan pola makan di dalam keluarganya dipengaruhi oleh pola konsumsi dan kebiasaan makan budaya tersebut (Nurkhomisah, 2003). Misalnya panelis untuk etnis Minang dipilih panelis yang kedua orang tuanya beretnis Minang, tinggal di daerah/wilayah etnis Minang berada dan pola makan di dalam keluarganya dipengaruhi oleh pola konsumsi dan kebiasaan makan budaya etnis Minang. Pada penelitian ini sampel diujikan pada mashasiswa IPB yang berasal dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Diusahakan panelis yang berpartisipasi adalah yang memiliki lama waktu paling sedikit berdomisili di Bogor. Hal ini untuk menghindari adanya pengaruh preferensi makanan di daerah Bogor. Jumlah panelis tidak terlatih yang diperlukan untuk uji preferensi adalah 30-50 orang panelis (Watts et al. 1989). Karena jumlah panelis yang dibutuhkan untuk masing-masing kultur/etnis sudah mencukupi, maka data tersebut sudah cukup untuk memperoleh informasi yang digunakan.
2.
Penerimaan Sensori Nasi Masyarakat Sumatra Barat Penilaian tingkat kesukaan panelis yang berasal dari Sumatra Barat terhadap keempat varietas beras diharapkan dapat mewakili penerimaan konsumen secara umum. Pengujian dilakukan terhadap terhadap 35 panelis tidak terlatih yang merupakan masyarakat asli daerah-daerah yang ada di Sumatra Barat. Panelis-panelis tersebut sebagian besar merupakan Suku Minang (71%). 2.1
Hedonik Atribut Aroma Nasi Hasil analisis sidik ragam uji hedonik atribut aroma dapat dilihat pada Lampiran 12 yang menunjukkan bahwa kesukaan panelis Sumatra Barat terhadap aroma nasi tidak berpengaruh nyata untuk keempat varietas beras (pvalue>0,05). Gambar 8 menginformasikan bahwa nilai kesukaan panelis Sumatra Barat terhadap aroma nasi pada keempat varietas beras tersebut berkisar antara 3,26 - 4,00, yaitu antara suka (3) dan agak suka (4).
2.2
Hedonik Atribut Rasa Nasi Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa nasi yang dinilai oleh panelis Sumatra Barat dapat dilihat pada Gambar 8. Nilai kesukaan rasa nasi dari varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung berkisar pada skala 4, yaitu agak suka. Analisis sidik ragam yang diperoleh dapat dilihat bahwa kesukaan panelis Sumatra Barat terhadap rasa nasi tidak berpengaruh nyata untuk keempat sampel (p-value>0,05) (Lampiran 12).
2.3
Hedonik Atribut Kepulenan Nasi Lampiran 12 memperlihatkan bahwa kesukaan panelis Sumatra Barat terhadap atribut kepulenan nasi berpengaruh nyata untuk keempat varietas tersebut (p-value<0,05). Kesukaan tertinggi akan kepulenan nasi jatuh pada varietas Membramo dan Cisokan dengan skala suka (Gambar 8). Varietas Cisokan adalah varietas yang paling disukai oleh konsumen Sumatra Barat
51
dimana kandungan amilosanya tergolong tinggi sehingga bertekstur pera (Puslitbangtan, 2007). Uji lanjut (Duncan) pada Lampiran 12 menyimpulkan bahwa kesukaan konsumen Sumatra Barat terhadap kepulenan nasi dari varietas Membramo tidak berpengaruh nyata dengan Cisokan. Begitupun juga antara varietas Cisokan dan Ciherang; Ciherang dan Ciliwung (p-value>0,05). Kesukaan kelompok konsumen ini terhadap kepulenan nasi dari varietas Membramo berpengaruh nyata dengan varietas Ciherang dan Ciliwung. Kelompok konsumen ini memiliki kesukaan yang lebih tinggi terhadap kepulenan nasi dari varietas Membramo dari pada varietas Ciherang dan Ciliwung. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa varietas Cisokan merupakan varietas padi yang penyebaran produksinya tinggi di Sumbar, tetapi dari uji hedonik yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terjadinya pergeseran kesukaan konsumen terhadap varietas beras yang disukai. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 dimana varietas beras yang paling disukai dari segi atribut kepulenan oleh konsumen Sumbar adalah varietas Membramo. Kondisi ini terjadi karena panelis yang melakukan uji ini sudah cukup lama menetap di Bogor, yaitu selama 10 bulan. Adanya pengaruh dari faktor lingkungan dapat mengubah sedikit preferensi konsumen terhadap nasi. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Bergier (1987) yang menyatakan bahwa latar belakang kultur/etnis dalam penerimaan makanan tidak dapat diubah walaupun telah tinggal di tempat lain.
Gambar 8. Hasil uji hedonik panelis Sumatra Barat terhadap nasi dari keempat varietas beras Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung
3.
Penerimaan Sensori Nasi Masyarakat Jawa Barat Pengujian ini dilakukan oleh panelis yang asli berasal dari daerah-daerah yang ada di Jawa Barat dan bersuku Sunda. Jumlah panelis yang berpartisipasi dalam uji ini sebanyak 45 panelis tidak terlatih. 3.1
Hedonik Atribut Aroma Nasi Varietas Ciherang merupakan varietas beras yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Jawa Barat (Ruskandar, 2009). Namun, dari hasil analisis sidik ragam uji hedonik (Lampiran 13) menyatakan bahwa kesukaan
52
konsumen Jawa Barat tidak berpengaruh nyata terhadap aroma nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung (p-value>0,05). Kelompok konsumen ini menilai kesukaan terhadap atribut aroma nasi pada empat varietas yang diujikan berkisar pada skala suka (3) 3.2
Hedonik Atribut Rasa Nasi Kesukaan konsumen Jawa Barat terhadap rasa nasi dari varietas Ciherang tidak berpengaruh nyata (p-value>0,05) dengan varietas Membramo, Cisokan, dan Ciliwung (Lampiran 13). Penilaian kesukaan untuk keempat varietas tersebut berkisar pada skala agak suka (4).
3.3
Hedonik Atribut Kepulenan Nasi Berbeda dengan dua atribut sebelumnya, kesukaan konsumen Jawa Barat terhadap atribut kepulenan nasi berpengaruh nyata pada keempat varietas tersebut (Lampiran 13). Dari hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 13), dapat diketahui bahwa kesukaan kelompok konsumen Jawa Barat terhadap kepulenan nasi dari varietas Ciliwung tidak berpengaruh nyata dengan varietas Ciherang dan Membramo. Hal serupa juga terdapat pada kesukaan kepulenan nasi dari varietas Cisokan yang tidak berpengaruh nyata dengan varietas Ciherang dan Membramo (p-value>0,05). Namun, kesukaan kelompok panelis ini terhadap kepulenan nasi dari varietas Ciliwung berpengaruh nyata dengan varietas Cisokan, dimana kesukaan terhadap varietas Ciliwung lebih tinggi dari pada Cisokan. Varietas Ciliwung merupakan varietas beras yang memiliki kandungan amilosa 22% (Puslitbangtan, 2007) dimana teksturnya tergolong pulen. Hal ini sesuai dengan kesukaan konsumen Jawa Barat yang menyukai nasi dengan tekstur pulen. Varietas ini memang tidak diproduksi dan dikonsumsi di Jawa Barat (Ruskandar, 2009), tetapi pada saat pengujian atribut kepulenan nasi, varietas tersebut disukai konsumen Jawa Barat. Varietas Ciliwung merupakan varietas baru untuk konsumen Jawa Barat dimana mereka menilai nasi dari varietas ini memiliki kepulenan yang lebih baik daripada varietas yang umumnya mereka konsumsi, yaitu varietas Ciherang. Ditinjau dari sudut pandang sensori, varietas Ciliwung dapat dipertimbangkan untuk dibudidayakan di daerah Jawa Barat.
Gambar 9. Hasil uji hedonik panelis Jawa Barat terhadap nasi dari keempat varietas beras Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung
53
4.
Penerimaan Sensori Nasi Masyarakat Sulawesi Selatan Jumlah panelis yang melakukan uji ini sebanyak 42 panelis tidak terlatih. Mereka asli berasal dari daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan dimana seluruh panelis bersuku bugis. 4.1
Hedonik Atribut Aroma Nasi Kesukaan kelompok konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut aroma nasi dari varietas Ciherang tidak berpengatuh nyata dengan varietas Membramo, Cisokan, dan Ciliwung (p-value>0,05) (Lampiran 14). Pada Gambar 10 diketahui kesukaan panelis berkisar antara skala suka (3) dan agak suka (4) untuk keempat varietas tersebut.
4.2
Hedonik Atribut Rasa Nasi Varietas Ciliwung merupakan varietas beras yang paling banyak dikonsumsi di Sulawesi Selatan. Selain itu, varietas ini juga banyak dikonsumsi di provinsi lain yang berdekatan dengan Sulawesi Selatan, mengingat Sulawesi Selatan merupakan salah satu lumbung padi nasional (Anonim, 2011) . Hal ini diperkuat oleh hasil analisis sidik ragam uji kesukaan konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut rasa nasi, yaitu adanya pengaruh yang nyata terhadap kesukaan rasa nasi dari varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung (Lampiran 14). Menurut Tran et al. (2004), deskripsi rasa yang paling mempengaruhi preferensi konsumen terhadap nasi adalah rasa manis dan gurih . Hasil Uji lanjut Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa kesukaan konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut rasa nasi dari varietas Membramo tidak berpengaruh nyata dengan Ciherang dan juga antara varietas Ciliwung dan Membramo. Kelompok konsumen ini menilai kesukaan rasa nasi dari varietas Ciliwung berpengaruh nyata dengan Ciherang dimana kesukaan Ciliwung lebih tinggi dari pada Ciherang (Gambar 10). Hal yang sama juga terlihat antara Ciherang dan Cisokan, kesukaan terhadap rasa nasi dari varietas Ciherang lebih tinggi dari pada Cisokan. Kelompok konsumen ini juga menilai kesukaan rasa nasi dari varietas Ciliwung lebih tinggi dari pada Cisokan.
4.3
Hedonik Atribut Kepulenan Nasi Dari hasil analisis sidik ragam yang telah dilakukan (Lampiran 14), diketahui bahwa kesukaan kelompok konsumen ini terhadap atribut kepulenan nasi berpengaruh nyata diantara varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung (p-value<0,05). Hasil Uji lanjut Duncan (Lampiran 14) menunjukkan bahwa kesukaan konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut kepulenan nasi dari varietas Membramo tidak berpengaruh nyata dengan Ciherang dan juga antara varietas Ciliwung dan Membramo. Kelompok konsumen ini menilai kesukaan terhadap kepulenan nasi dari varietas Ciliwung berpengaruh nyata dengan Ciherang dimana kesukaan Ciliwung lebih tinggi dari pada Ciherang (Gambar 10). Hal yang sama juga terlihat antara Ciherang dan Cisokan, kesukaan terhadap kepulenan nasi dari varietas Ciherang lebih tinggi dari pada Cisokan. Kelompok
54
konsumen ini juga menilai kesukaan kepulenan nasi dari varietas Ciliwung lebih tinggi dari pada Cisokan.
Gambar 10. Hasil uji hedonik panelis Sulawesi Selatan dari keempat varietas beras Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung
5.
Penerimaan Sensori Nasi Masyarakat Papua Pengujian konsumen dilakukan oleh panelis yang asli berasal dari daerah-daerah yang ada di Papua. Jumlah panelis yang berpartisipasi dalam uji ini sebanyak 30 panelis tidak terlatih. 5.1
Hedonik Atribut Aroma Nasi Lampiran 15 menunjukkan bahwa hasil analisis sidik ragam uji kesukaan konsumen Papua terhadap atribut aroma nasi tidak berpengaruh nyata untuk varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berarti konsumen Papua cenderung memiliki kesukaan yang sama terhadap keempat varietas tersebut. Penilaian kesukaan konsumen Papua berkisar pada skala 3 (suka) dan 4 (agak suka).
5.2
Hedonik Atribut Rasa Nasi Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 15, kesukaan konsumen Papua terhadap atribut rasa tidak berpengaruh nyata diantara varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung (p-value>0,05). Keempat varietas tersebut dinilai dengan skala suka (3) oleh panelis Papua.
5.3
Hedonik Atribut Kepulenan Nasi Masyarakat Papua tidak memiliki karakteristik khusus mengenai kesukaan nasi sebagai makanan pokok. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis sidik ragam yang menginformasikan bahwa kesukaan konsumen Papua terhadap atribut kepulenan nasi tidak berpengaruh nyata untuk varietas Ciherang, Membramo, Cisokan, dan Ciliwung pada taraf kepercayaan 95%. Umumnya masyarakat Papua menyukai nasi bertekstur pulen.
55
Gambar 11. Hasil uji hedonik panelis Papua dari keempat varietas beras Ciherang, Cisokan, Membramo, dan Ciliwung
6.
Penerimaan Sensori Nasi dari Varietas Ciherang Selain menganalisis dari segi kesukaan maing-masing kelompok panelis, dilakukan juga uji one-way ANOVA pada selang kepercayaan 95% terhadap masingmasing varietas. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 19 menjelaskan bahwa kesukaan kelompok panelis Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua tidak berpengaruh nyata terhadap nasi dari varietas Ciherang baik dari atribut aroma, rasa, maupun kepulenan (p-value>0,05). Hal ini berarti kesukaan kelompok konsumen tersebut cenderung sama terhadap nasi dari varietas Ciherang. Penilaian kesukaan oleh keempat kelompok konsumen ini berkisar pada skala suka (3) dan agak suka (4).
Gambar 12. Hasil uji hedonik varietas Ciherang yang dinilai oleh panelis dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua
7.
Penerimaan Sensori Nasi dari Varietas Cisokan Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 21, diketahui bahwa kesukaan terhadap aroma nasi dari varietas Cisokan dinilai tidak berpengaruh nyata oleh keempat kelompok konsumen (p-value>0,05). Keempat kelompok konsumen tersebut memiliki kesukaan terhadap varietas ini pada skala 3 (suka) dan agak suka (4).
56
Jika nasi dari varietas ini ditinjau dari atribut rasa, kesukaan kelompok konsumen Jabar, Sumbar, Sulsel, dan Papua memiliki pengaruh yang nyata (pvalue<0,05). Kesukaan terhadap rasa nasi dari varietas Cisokan yang dinilai oleh konsumen Papua tidak berpengaruh nyata dengan konsumen Sumbar dan Jabar. Namun, penilaian kesukaan oleh konsumen Sulsel berpengaruh nyata dengan konsumen Papua dan Sumbar dimana kelompok konsumen Papua dan Sumbar memiliki kesukaan yang lebih tinggi dibandingkan konsumen Sulsel. Sama halnya dengan atribut rasa nasi, kesukaan terhadap atribut kepulenan nasi dari varietas Cisokan berpengaruh nyata terhadap konsumen-konsumen tersebut. Pengaruh tersebut terihat pada kesukaan konsumen Sumbar dan Papua yang berbeda dengan kelompok konsumen Sulsel dan Jabar. Kelompok konsumen Sumbar dan Papua memiliki kesukaan yang lebih tinggi terhadap atribut kepulenan nasi dari varietas ini dari pada konsumen Sulsel dan Jabar. Hasil uji hedonik sampel nasi dari varietas Cisokan dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 13. Hasil uji hedonik varietas Cisokan yang dinilai oleh panelis dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua
8.
Penerimaan Sensori Nasi dari Varietas Membramo Lampiran 20 menunjukkan bahwa hasil analisis sidik ragam uji kesukaan terhadap rasa dan kepulenan nasi dari varietas Membramo tidak berpengaruh nyata untuk kelompok konsumen Jabar, Sumbar, Sulsel, dan Papua (p-value>0,05). Keempat konsumen tersebut menilai kesukaan terhadap rasa dan kepulenan nasi dari varietas ini berkisar pada skala suka (3) dan agak suka (4). Namun, terdapat perbedaan pada penilaian kesukaan terhadap atribut aroma nasi. Kesukaan keempat kelompok konsumen berpengaruh nyata terhadap aroma nasi dari varietas Membramo (p-value<0,05). Kesukaan konsumen Sumbar terhadap aroma nasi dari varietas ini tidak berpengaruh nyata dengan konsumen Jabar. Hal serupa juga terjadi pada konsumen Jabar dengan Sulsel dan Papua. Penilaian kesukaan terhadap aroma nasi dari varietas Membramo oleh konsumen Sumbar berpengaruh nyata dengan kelompok konsumen Sulsel dan Papua dimana konsumen Sumbar memilki kesukaan lebih tinggi dari pada kelompok konsumen Sulsel dan Papua (Gambar 14).
57
Gambar 14. Hasil uji hedonik varietas Membramo yang dinilai oleh panelis dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua
9.
Penerimaan Sensori Nasi dari Varietas Ciliwung Dari hasil analisis sidik ragam yang dilakukan (Lampiran 22), diketahui bahwa kesukaan terhadap aroma dan rasa nasi dari varietas Ciliwung tidak berpengaruh nyata untuk kelompok konsumen Jabar, Sumbar, Sulsel, dan Papua (p-value>0,05). Keempat konsumen tersebut menilai kesukaan terhadap kedua atribut ini pada skala suka dan agak suka (Gambar 15). Perbedaan terlihat pada kesukaan terhadap kepulenan nasi dari varietas ini. Kesukaan keempat kelompok panelis terhadap atribut tersebut berpengaruh nyata (pvalue<0,05). Kesukaan kelompok konsumen Sumbar terhadap kepulenan nasi dari varietas Ciliwung berpengaruh nyata dengan kelompok konsumen Jabar, Sulsel, dan Papua dimana konsumen Sumbar memiliki kesukaan yang lebih rendah dari pada ketiga kelompok konsumen lainnya. Kesukaan terhadap atribut ini yang dinilai oleh konsumen Jabar tidak berpengaruh nyata dengan konsumen Sulsel dan Papua.
Gambar 15. Hasil uji hedonik varietas Ciliwung yang dinilai oleh panelis dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua
58
I.
PENGELOMPOKKAN PREFERENSI KONSUMEN SUMATRA BARAT, JAWA BARAT, SULAWESI SELATAN, DAN PAPUA TERHADAP ATRIBUT AROMA, RASA, DAN KEPULENAN / TEKSTUR Untuk mengetahui bagaimana pengelompokkan kesukaan konsumen masing-masing daerah terhadap nasi dari varietas unggul beras yang diujikan dilakukan analisis multivariat Principal Component Analysis (PCA). Nilai eigen yang diperoleh untuk komponen utama satu dan dua masing-masing adalah 5,5347 dan 5,1383 yang dapat dilihat pada grafik scree plot (Lampiran 26). Nilai eigen komponen utama yang diperoleh pada analisis PCA semakin menurun dan merupakan nilai eigen yang baik. Hal ini berarti keragaman data yang dijelaskan akan semakin kecil pada komponen utama yang terakhir. Selain itu, nilai eigen yang akan digunakan sebagai komponen utama harus lebih dari satu (Setyaningsih dkk, 2010). Persentase keragaman komponen utama satu sebesar 46,1% dan komponen utama dua sebesar 42,8% sehingga total keragaman yang didapat sebesar 88,9%. Hal ini berarti grafik yang diperoleh mampu memberikan informasi sebanyak 88,9% dari keseluruhan informasi. Selain mendapatkan grafik scree plot (Lampiran 26), analisis ini juga menghasilkan score plot (Lampiran 27) dan loading plot (Lampiran 28). Gambar score plot menggambarkan grafik antara komponen utama satu dan komonen utama dua yang menerangkan hubungan antar sampel, sedangkan loading plot menjelaskan hubungan antar variabel atribut sensori. Plot gabungan antara grafik score plot dan loading plot akan menghasilkan grafik biplot seperti pada Gambar 16. Ditinjau dari dimensi 1, konsumen Sumbar, Jabar, dan Sulsel memiliki kesamaan kesukaan dalam menkonsumsi nasi, yaitu dideskripsikan dengan atribut rasa, aroma, dan kepulenan nasi dari varietas Ciliwung; rasa dan kepulenan nasi dari varietas Ciherang, Cisokan, dan Membramo. Namun jika ditinjau lebih lanjut, arah vektor dari variabel atribut-atribut tersebut berbeda. Konsumen dari Jabar dan Sulsel terletak berdekatan satu sama lain (ditinjau dari dimensi 2) dan berada pada daerah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok panelis tersebut mempunyai kesamaan dalam hal penilaian kesukaan terhadap nasi pada varietas beras yang diujikan. Jika Gambar 16 diperhatikan, maka kesamaan tersebut berkaitan dengan penilaian terhadap tekstur dan rasa nasi, baik dari Varietas Ciherang, Membramo, maupun Cisokan. Berdasarkan hasil analisis dengan one-way ANOVA, kesukaan konsumen Jabar dan Sulsel terhadap atribut rasa dan kepulenan nasi dari varietas Cisokan adalah kesukaan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok konsumen lain. Kedua kelompok konsumen ini tidak menyukai nasi bertekstur pera seperti pada nasi dari varietas Cisokan (Puslitbangtan, 2007). Atribut tekstur mempengaruhi sensasi rasa yang timbul pada suatu produk pangan (Winarno, 1992). Preferensi konsumen Sulsel paling digambarkan oleh varietas Membramo dari dari sisi atribut kepulenan dan aroma serta varietas Cisokan dari sisi atribut aroma. Kesukaan konsumen Sulsel terhadap aroma dari varietas Cisokan merupakan kesukaan yang relatif lebih rendah dibandingkan konsumen lainnya. Kesukaan kelompok konsumen Papua dicirikan dengan varietas Ciherang dari sisi atribut aroma. Preferensi kelompok konsumen Sumbar dicirikan dengan varietas Ciliwung dari sisi atribut rasa, aroma, dan kepulenan nasi. Kesukaan kelompok ini terhadap kepulenan nasi dari Ciliwung merupakan kesukaan terendah.
59
3 A ro ma C iliw ung
Sumbar
2
k epulen an C iherang Rasa Membramo
Dimensi 2 (42,8%)
Kep ulenan C iliw ung
Rasa C iherang
Rasa C iliw ung
1
Jabar Kepulen an Memb ramo
0
Rasa C isok an
S ulsel
Kepulen an C isok an A roma C isok an
-1 A roma C iherang
A roma Memb ramo
-2 Papua
-3 -3
-2
-1
0 Dimensi 1 (46,1%)
1
2
3
Gambar 16. Biplot Dimensi 1 vs Dimensi 2 uji hedonik atribut rasa, aroma, dan tekstur nasi dari varietas Cisokan, Ciherang, Ciliwung, dan Membramo yang masing-masing berasal dari Sumatra Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua.
J.
HUBUNGAN ANTARA PREFERENSI 1.
ANALISIS
DESKRIPTIF
DAN
UJI
Preferensi Kelompok Konsumen Jawa Barat Untuk semakin memperjelas hubungan antara preferensi konsumen dengan deskripsi rasa, aroma, dan tekstur nasi dari masing-masing varietas, maka dilakukan analisis statistik menggunakan PLS (Partial Least Square Regression). Variabel X digunakan sebagai atribut deskripsi, sedangkan variabel preferensi konsumen sebagai matriks Y. Hasil analisis PLS untuk konsumen Jawa Barat membuktikan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat dipengaruhi oleh rasa, aroma, dan tekstur nasi itu sendiri. Gambar score plot pada lampiran 29 menunjukkan mengenai kesukaan konsumen Jawa Barat terhadap keempat varietas yang diujikan. Ditinjau dari component 1, preferensi konsumen Jawa Barat terhadap aroma nasi cenderung menyukai varietas Cisokan, Ciliwung, dan Membramo. Koefisien regresi preferensi konsumen Jawa Barat terhadap atribut aroma nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 4,85952-0,0024 Manis + 0,03139 Nutty + 0,04445 Vanilla - 0,09376 Pandan 0,0534 Buttery R2 = 0,997675 Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 29) terlihat bahwa aroma yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Jawa Barat adalah aroma vanilla (+) dan pandan (-). Korelasi positif menunjukkan semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin tinggi preferensi konsumen dan sebaliknya dengan korelasi negatif, semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin rendah preferensi konsumen. Aroma lain yang berkorelasi positif dan negatif adalah nutty dan buttery, sementara aroma manis bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi
60
yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat yang dapat ditunjukkan oleh aroma nasi adalah sebesar 99,7675%. Koefisien regresi preferensi konsumen Jawa Barat terhadap atribut rasa nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y= 3,72343 + 0,03651 Manis - 0,08397 Asin + 0,1459 Gurih R2 = 0,823667 Gambar score plot pada lampiran 29 menginformasikan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat terhadap rasa nasi yang ditinjau dari component 1 antara varietas Ciliwung dan Cisokan cenderung memiliki kesukaan yang sama, sedangkan antara varietas Ciherang dan Membramo membentuk preferensi tersendiri. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 29) terlihat bahwa rasa nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Jawa Barat adalah rasa gurih (+) dan asin (-), sementara rasa manis bersifat netral (mendekati nol). Nilai regresi kuadrat yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat yang dapat ditunjukkan oleh rasa nasi adalah sebesar 82,3667%. Koefisien regresi preferensi konsumen Jawa Barat terhadap atribut tekstur nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = -1,08993 - 0,02675 Adhesif + 0,02491 Kekerasan - 0,04067 Kohesif + 0,05317 Kekasaran + 0,0117 Toothpull + 0,10851 Ukuran Partikel R2 = 0,999999 Gambar score plot pada lampiran 29 menginformasikan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat terhadap tekstur nasi yang ditinjau dari component 2, varietas Ciliwung dan Membramo memiliki tingkat kesukaan yang relatif sama. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 29) terlihat bahwa tekstur nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Jawa Barat adalah kekasaran dan ukuran partikel (+), kohesif (-). Sementara itu, atribut adhesif, kekerasan, dan toothpull bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat yang dapat ditunjukkan oleh tekstur nasi adalah sebesar 99,999%.
2.
Preferensi Konsumen Sumatra Barat Hasil analisis PLS untuk konsumen Sumatra Barat membuktikan bahwa preferensi konsumen Sumatra Barat dipengaruhi oleh rasa, aroma, dan tekstur nasi itu sendiri. Gambar score plot pada lampiran 30 jika ditinjau dari component 2, aroma nasi dari varietas Ciherang, Ciliwung dan Membramo memiliki sifat kesukaan yang mirip. Varietas Cisokan ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Koefisien regresi preferensi konsumen Sumara Barat terhadap atribut aroma nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = -2,02545 + 0,02959 Manis + 0,06018 Nutty + 0,03096 Vanilla + 0,15595 Pandan + 0,05602 Buttery R2 = 0,992553 Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi terlihat bahwa aroma yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Jawa Barat adalah aroma pandan (+). Korelasi positif menunjukkan semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin tinggi preferensi konsumen. Aroma manis, nutty, vanilla, dan buttery bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat yang dapat ditunjukkan oleh aroma nasi adalah sebesar 99,2553%.
61
Koefisien regresi preferensi konsumen Sumatra Barat terhadap atribut rasa nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 3,30119 + 0,01801 Manis + 0,06278 Asin - 0,01081 Gurih R2 = 0,394069 Gambar score plot pada lampiran 30 jika ditinjau dari component 2, rasa nasi dari varietas Ciherang, Ciliwung dan Membramo memiliki sifat kesukaan yang mirip. Varietas Cisokan ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 30) terlihat bahwa rasa nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Sumatra Barat adalah rasa asin (-), sementara rasa manis dan gurih bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Sumatra Barat yang dapat ditunjukkan oleh rasa nasi adalah sebesar 39,4069%. Koefisien regresi preferensi konsumen Sumatra Barat terhadap atribut tekstur nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 13,465 + 0,0391 Adhesif + 0,0335 Kekerasan - 0,0212 Kohesif - 0,0839 Kekasaran - 0,085 Toothpull - 0,0871 Ukuran Partikel R2= 0,999744 Gambar score plot pada lampiran 30 yang ditinjau dari component 2 menginformasikan bahwa kesukaan konsumen Sumatra Barat terhadap tekstur nasi dari varietas Ciherang dan Cisokan memiliki preferensi yang mirip. Selain kedua varietas tersebut, tekstur nasi dari varietas Membramo dan Ciliwung juga mempunyai preferensi yang relatif sama. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 30) terlihat bahwa tekstur nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Sumatra Barat adalah kekerasan dan adhesif (+); Ukuran partikel (-). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Jawa Barat yang dapat ditunjukkan oleh tekstur nasi adalah sebesar 99,9744%.
3.
Preferensi Konsumen Sulawesi Selatan Hasil analisis PLS untuk konsumen Sulawesi Selatan membuktikan bahwa preferensi konsumen Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh rasa, aroma, dan tekstur nasi itu sendiri. Gambar score plot pada lampiran 31 yang ditinjau dari component 2 menunjukkan bahwa aroma nasi dari varietas Cisokan, Ciliwung, dan Ciherang memiliki sifat kesukaan yang mirip, sedangkan Membramo ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Koefisien regresi preferensi konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut aroma nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 6,28051 - 0,01826 Manis + 0,0348 Nutty+ 0,03264 Vanilla - 0,06495 Pandan 0,09552 Buttery R2 = 0,992553 Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 31) terlihat bahwa aroma yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Sulawesi Selatan adalah aroma vanilla dan nutty (+); pandan dan buttery (-). Korelasi positif menunjukkan semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin tinggi preferensi konsumen dan sebaliknya dengan korelasi negatif, semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin rendah preferensi konsumen. Sementara itu, aroma manis bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Sulawesi Selatan yang dapat ditunjukkan oleh aroma nasi adalah sebesar 99,2553%. Koefisien regresi preferensi konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut rasa nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan :
62
Y = 5,24163 + 0,02047 Manis - 0,18608 Asin + 0,14613 Gurih R2 = 0,398384 Gambar score plot pada lampiran 31 yang ditinjau dari component 2 menginformasikan bahwa rasa nasi dari varietas Ciliwung, dan Ciherang memiliki sifat kesukaan yang mirip, sedangkan Membramo dan Cisokan ditempatkan pada kelompok tersendiri yang memiliki preferensi yang relatif sama. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 32) terlihat bahwa rasa nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Sulawesi Selatan adalah rasa gurih (+) dan rasa asin (-), sementara rasa manis bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Sulawesi Selatan yang dapat ditunjukkan oleh rasa nasi adalah sebesar 39,8384%. Koefisien regresi preferensi konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut tekstur nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = -1,14137 - 0,02918 Adhesif+ 0,02703 Kekerasan - 0,09234 Kohesif + 0,07943 Kekasaran - 0,00065 Toothpull + 0,14553 Ukuran Partikel R2 = 0,999911 Gambar score plot pada lampiran 31 yang ditinjau dari component 2 menunjukkan bahwa tekstur nasi dari varietas Ciliwung dan Membramo memiliki sifat kesukaan yang mirip, sedangkan Ciherang dan Cisokan ditempatkan pada kelompok tersendiri yang mempunyai preferensi yang relatif sama. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 31) terlihat bahwa tekstur nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Sulawesi Selatan adalah kekasaran dan ukuran partikel (+), kohesif (-). Sementara itu, atribut adhesif, kekerasan, dan toothpull bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Sulawesi Selatan yang dapat ditunjukkan oleh tekstur nasi adalah sebesar 99,9911%.
4.
Preferensi Konsumen Papua Hasil analisis PLS untuk konsumen Papua membuktikan bahwa preferensi konsumen Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh rasa, aroma, dan tekstur nasi itu sendiri. Gambar score plot pada lampiran 32 menunjukkan bahwa aroma nasi dari varietas Cisokan dan Ciherang memiliki kesukaan yang sama (ditinjau dari component 2). Hal serupa terjadi antara Membramo dan Ciliwung yang memiliki sifat kesukaan yang relatif mirip yang ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Koefisien regresi preferensi konsumen Papua terhadap atribut aroma nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 5,28598+ 0,00487 Manis -0,04405 Nutty -0,00848 Vanilla -0,11498 Pandan + 0,033 Buttery R2 = 0,992976 Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 32) terlihat bahwa aroma yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Papua adalah aroma buttery (+) dan pandan (-). Korelasi positif menunjukkan semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin tinggi preferensi konsumen dan sebaliknya dengan korelasi negatif, semakin tinggi nilai koefisien regresi, maka semakin rendah preferensi konsumen. Sementara itu, aroma manis, nutty, dan vanilla bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Papua yang dapat ditunjukkan oleh aroma nasi adalah sebesar 99,2976%.
63
Koefisien regresi preferensi konsumen Papua terhadap atribut rasa nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 6,18152 + 0,19746 Manis -0,16674 Asin -0,3095 Gurih R2 = 0,92964 Gambar score plot pada lampiran 32 menunjukkan bahwa rasa nasi dari varietas Ciliwung dan Ciherang memiliki kesukaan yang sama (ditinjau dari component 2). Hal serupa terjadi antara Membramo dan Cisokan yang memiliki sifat kesukaan yang relatif mirip yang ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi terlihat bahwa rasa nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Papua adalah rasa manis (+) dan rasa gurih serta asin (-). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Papua yang dapat ditunjukkan oleh rasa nasi adalah sebesar 92,964%. Koefisien regresi preferensi konsumen Sulawesi Selatan terhadap atribut tekstur nasi yang dihasilkan dari hasil analisis PLS menghasilkan persamaan : Y = 0,159004 -0,013738 Adhesif + 0,053877 Kekerasan + 0,024992 Kohesif -0,017795 Kekasaran -0,007644 Toothpull + 0,044906 Ukuran Partikel R2 = 0,999849 Gambar score plot pada lampiran 32 menunjukkan bahwa preferensi konsumen Papua terhadap tekstur nasi yang ditinjau dari component 2 menunjukkan preferensi yang relatif mirip antara Membramo dan Ciliwung. Hal serupa terjadi antara varietas Ciherang dan Cisokan yang memiliki sifat kesukaan yang relatif sama yang ditempatkan pada kelompok tersendiri yang berbeda dengan yang lain. Berdasarkan koefisien regresi yang tertinggi dan loading plot (lampiran 32) terlihat bahwa tekstur nasi yang paling mempengaruhi preferensi konsumen Papua adalah kekerasan dan ukuran partikel (+); adhesif dan kekasaran (-). Sementara itu, atribut kohesif dan toothpull bersifat netral (mendekati nol). Nilai faktor regresi yang diperoleh menunjukkan bahwa preferensi konsumen Papua yang dapat ditunjukkan oleh tekstur nasi adalah sebesar 99,9849%.
64