HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat Komposisi Vegetasi Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan di kawasan TNGP pada 7 resort (Resort Cisarua, Resort Gunung Putri, Resort Bodogol, Resort Situ Gunung, Resort Selabintana, Resort Cimungkad, dan Resort Cibodas) (Gambar 7), dapat diketahui parameter vegetasi di kawasan tersebut, meliputi Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) pada berbagai tingkat pertumbuhan vegetasi, yaitu tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai. Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona pemanfaatan.
Adapun pada tingkat pohon
ditemukan 61 jenis pohon di zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan.
Gambar 7 Lokasi plot analisis vegetasi.
36
Jumlah jenis pohon yang lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini dapat terjaga kelestariannya. Gangguan akibat berbagai aktivitas manusia pada umumnya terjadi di zona pemanfaatan, seperti kegiatan wisata alam, pendakian, perambahan lahan, penebangan pohon, dan pengambilan kayu bakar. Intensitas aktivitas oleh masyarakat sekitar yang cukup tinggi di zona pemanfaatan ini adalah karena lokasi zona pemanfaatan yang cukup dekat dengan tempat tinggal masyarakat sekitar.
Selain itu, zona pemanfaatan di kawasan
TNGP juga banyak yang terdapat di areal perluasan kawasan TNGP, yang semula merupakan lahan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Jenis pohon yang mendominasi zona inti dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88%), Lithocarpus indutus (26,09%), Castanopsis javanica (15,50%), Elaeocarpus pierrei (13,14%), dan Vernonia arborea (12,92%)( Tabel 3 dan Lampiran 1-2). Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica (49,03%), Schima wallichii (42,23%), Agathis dammara (29,26%), Altingia excelsa (16,76%), Elaeocarpus pierrei (15,35%). Tabel 3 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5
Nama Latin Zona Inti Schima wallichii (DC.) Korth. Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Vernonia arborea Buch. Ham. Zona Pemanfaatan Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Schima wallichii (DC.) Korth. Agathis dammara Altingia excelsa Noronha Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Puspa Pasang batu Riung anak Janitri Hamirung
16,552 10,345 8,966 3,793 4,483
9,091 7,879 1,818 5,455 4,242
16,241 7,869 4,716 3,895 4,192
41,883 26,093 15,499 13,143 12,918
Riung anak Puspa Damar Rasamala Janitri
20,833 16,389 5,833 5,278 5,278
5,714 13,714 2,286 2,286 6,857
22,478 12,124 21,139 9,196 3,211
49,026 42,227 29,258 16,760 15,346
37
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa kerapatan jenis pohon yang tertinggi di zona inti dimiliki oleh Schima wallichii, yaitu sebesar 37 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 16,55%, sedangkan kerapatan jenis pohon yang tertinggi di zona pemanfaatan dimiliki oleh Castanopsis javanica, yaitu sebesar 57 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 20,83%. Kerapatan suatu jenis merupakan hasil pembagian antara jumlah individu suatu jenis dengan luas petak contoh. Jika dilihat dari frekuensi suatu jenis yang merupakan hasil pembagian antara jumlah subpetak ditemukan suatu jenis dengan jumlah seluruh subpetak contoh, maka jenis pohon Schima wallichii juga memiliki frekuensi yang tertinggi di zona inti TNGP, yaitu sebesar 0,46 dengan frekuensi relatif sebesar 9,09%, sedangkan frekuensi tertinggi di zona pemanfaatan juga dimiliki oleh jenis pohon Schima wallichii, yaitu sebesar 0,73 dengan frekuensi relatif sebesar 13,71%. Frekuensi ini dapat juga menjadi indikasi penyebaran suatu jenis. Jika frekuensi suatu jenis tinggi, maka distribusi/penyebaran jenis tersebut juga akan tinggi. Jika dilihat dari dominansi suatu jenis yang merupakan hasil pembagian antara luas bidang dasar suatu jenis dengan luas petak contoh, maka jenis pohon di zona inti yang memiliki dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 16,24%, sedangkan jenis pohon di zona pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis javanica, yaitu sebesar 6,94 m2/ha dengan dominansi relatif sebesar 22,48%. Semakin besar dominansi suatu jenis, maka dominansi terhadap jenis lainnya akan semakin besar. Dominansi suatu jenis dipengaruhi oleh naungan dimana jenis dengan naungan yang lebih besar lebih dominan terhadap jenis lain dengan naungan yang lebih kecil. Hal tersebut disebabkan jenis yang ternaungi akan mendapatkan intensitas cahaya yang lebih sedikit sementara intensitas cahaya penting bagi proses pertumbuhannya. Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi, yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea (pohon pakan owa jawa). Satu jenis di antaranya, yaitu Lithocarpus indutus, merupakan pohon tidur owa jawa. Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan pohon
38
tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei (pohon pakan) dan Altingia excelsa yang merupakan pohon tidur owa jawa. Dominansi pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat owa jawa di kawasan TNGP masih baik. Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan
zona
pemanfaatan
(3,29)
(Tabel
4).
Semakin
tinggi
keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut. Tabel 4 Parameter vegetasi tingkat pohon sebagai habitat owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Zona Inti Zona Pemanfaatan
Parameter Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis
Nilai 61 3,60 0,88 59 3,29 0,81
Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J’) yang dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan (0,81)(Tabel 4).
Hal tersebut
menunjukkan bahwa jenis pohon pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat owa jawa, utamanya pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur. Nilai indeks kemerataan juga merupakan ukuran keseimbangan antara suatu komunitas dengan suatu komunitas lainnya.
Nilai-nilai ini dipengaruhi oleh
jumlah jenis yang terdapat dalam satu komunitas (Ludwig and Reynolds 1988). Dengan demikian, semakin tinggi indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka keseimbangan komunitasnya juga semakin tinggi.
39
Secara keseluruhan, vegetasi tingkat pohon yang ditemukan di TNGP berjumlah 61 jenis pada zona inti dan 59 jenis pada zona pemanfaatan. Iskandar (2007b) menemukan 13 jenis di hutan Rasamala TNGP, survei TNGP (2002) menemukan 56 jenis di SSWK Bodogol dan SSWK Selabintana, sedangkan Rahardjo (2002) menemukan 3 jenis di hutan Rasamala dan 67 jenis di hutan primer TNGP. Pada kawasan konservasi yang lain, Rinaldi (1999) menemukan 55 jenis di TNUK sedangkan Iskandar (2007a) menemukan 52 jenis di TNGHS. Bila dibandingkan, hasil survei pada kawasan TNGP berada pada kisaran yang hampir sama antara 56-67 jenis, kecuali hasil survei Iskandar (2007b) dan Rahardjo (2002) di hutan Rasamala yang jauh lebih kecil. Jenis vegetasi pada hutan Rasamala memang lebih rendah karena hutan ini merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis yang lebih sedikit dan seragam. Bila dibandingkan dengan kawasan TN lainnya, jumlah jenis di TNGP mendekati jumlah jenis di TNUK dan TNGHS. Jenis pohon yang dominan dengan INP tertinggi pada habitat owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Iskandar 2007a) adalah Pasang batarua (Quercus gemiliflorus), Puspa (Schima wallichi), Saninten (Castanopsis javanica), Rasamala (Altingia excelsa), dan Kokosan monyet (Antidesma tentadrum). Tiga jenis di antara jenis pohon dominan di TNGHS tersebut sama dengan jenis dominan di TNGP, yaitu Saninten Castanopsis javanica, Puspa Schima wallichi, dan Rasamala Altingia excelsa. Ketiga jenis vegetasi tersebut merupakan jenis-jenis pohon pakan owa jawa. Berdasarkan laporan TNGP 2002, jenis pohon dominan pada habitat owa jawa di SSWK Bodogol TNGP adalah Rasamala, Kiara, Leungsir, Riung anak dan Janitri, sedangkan di SSWK Selabintana adalah Kiara, Manggong, Saninten, Rasamala, dan Salam gunung. Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Jawa Vegetasi sebagai sumber pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat owa jawa yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan owa jawa seperti halnya bagi primata lain.
Hal tersebut dikarenakan vegetasi sumber pakan
merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi satwaliar, termasuk owa jawa.
Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi yang
40
ditemukan di dalam habitat, memungkinkan adanya banyak alternatif vegetasi sebagai sumber pakan owa jawa. Tabel 5 Daftar jenis vegetasi sumber pakan owa jawa di kawasan TNGP No.
Nama Lokal
Nama Latin
Family
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Afrika Beleketebe Bisoro Cempaka leuweung Hamerang Hamirang badak Hamirung Huru beas Ipis kulit Janitri Jirak leutik Kacapi hutan Kahitutan
Rhamnaceae Elaeocarpaceae Moraceae Magnoliaceae Moraceae Moraceae Asteraceae Aceraceae Myrtaceae Tiliaceae Symplocaceae Meliaceae Rubiaceae
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Ki cantung Ki dage Ki hujan Ki jebug Ki jeruk Ki kuray Ki leho Ki leho bulu Ki leho leutik Ki racun Ki sauheun Ki tambaga Kokosan monyet Kondang Kondang beunying Manggong Manglid Nangsi Pasang
Maesopsis eminii Engl. Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Ficus lepicarpa Bl. Michellia montana Bl. Ficus padana Burn. F Ficus alba Reinw. Vernonia arborea Buch. Ham. Acer laurinum Hassk. Decaspermum fruticosum J.R.& G. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Symplocos fasciculata Zoll. Chisocheton divergens Blume Lasianthus purpureus Bl. Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms Bruismia styracoides Boerl. & Koord. Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl. Polyosma integrifolia Bl. Acronychia laurifolia Bl. Trema orientalis (L.) Bl. Saurauia bracteosa DC Saurauia bracteosa DC Saurauia reinwardtiana Bl. Macropanax dispermum (Bl.) Orophea hexandra Bl Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry Antidesma tetandrum Bl. Ficus variegata Bl. Ficus fistulosa Reiwn. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Manglietia glauca Bl Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Quercus tyesmannii Bl.
Annonaceae Styracaceae Junglandaceae Saxifragaceae Rutaceae Ulmaceae Saurauiaceae Saurauiaceae Saurauiaceae Araliaceae Annonaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Moraceae Moraceae Euphorbiaceae Magnoliaceae Urticaceae Fagaceae
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Pasang batu Pingku tanglar Pisitan monyet Puspa Ramogiling Rasamala Riung anak Salam banen Saninten Seseurehan Teureup Walen
Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Dysoxylum excelsum Bl. Dysoxylum alliaceum Bl. Schima wallichii (DC.) Korth Schefflera scandens (Bl.) Vig. Altingia excelsa Noronha Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Pygeum latifolium Miq. Castanopsis argentea (Bl.) DC. Piper aduncun L. Artocarpus elasticus (Bl.) DC Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume
Fagaceae Meliaceae Meliaceae Theaceae Araliaceae Hamamelidaceae Fagaceae Rosaceae Fagaceae Piperaceae Fagaceae Moraceae
Bagian yang Dimakan Daun muda Buah dan daun muda Buah Buah Buah masak Buah Buah Buah dan daun muda Daun muda Buah Daun muda Buah Buah Bunga Daun muda Daun muda Daun muda Buah Buah dan daun muda Buah dan bunga Buah Bunga Buah dan daun Bunga Daun muda Buah Buah dan muda Buah Buah dan daun muda Buah dan daun muda Buah & pucuk Buah Buah tua dan daun muda Daun muda Buah Buah dan daun muda Buah dan daun muda Daun muda Buah dan daun muda Daun Buah dan daun Bunga Buah Buah dan daun muda
Diketahui bahwa pada kawasan TNGP terdapat 44 jenis pohon pakan owa jawa yang merupakan anggota dari 24 familia yaitu Rhamnaceae, Elaeocarpaceae, Moraceae, Magnoliaceae, Asteraceae, Myrtaceae, Tiliaceae, Symplocaceae,
41
Meliaceae, Rubiaceae, Annonaceae, Styracaceae, Junglandaceae, Saxifragaceae, Rutaceae, Ulmaceae, Saurauiaceae, Araliaceae, Euphorbiaceae, Urticaceae, Fagaceae, Hamamelidaceae, Rosaceae, dan Piperaceae (Tabel 5). Bagian vegetasi yang dijadikan makanan owa jawa adalah daun muda, buah, dan bunga. Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon pakan sedangkan pada zona pemanfaatan 33 jenis (Tabel 5). Hasil survei Iskandar (2007b) menemukan 3 jenis pohon pakan pada hutan Rasamala TNGP, sedangkan survei TNGP (2002) menemukan 45 jenis pohon pakan di SSWK Bodogol serta 37 jenis di SSWK Selabintana. Pada kawasan TNUK, Rinaldi (1999) menemukan 27 jenis pohon pakan sedangkan Iskandar (2007a) menemukan 33 jenis pohon pakan di TNGHS. Bila dibandingkan, hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil survei TNGP (2002) namun jauh lebih tinggi dibandingkan survei Iskandar (2007b). Jenis pohon pakan di hutan Rasamala lebih rendah karena hutan ini merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis yang sedikit dan relatif seragam. Jumlah jenis pohon pakan di TNUK dan TNGHS relatif hampir sama dengan hasil penelitian di TNGP ini. Tabel 6 Jenis vegetasi sebagai tempat tidur owa jawa di TNGP No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Jenis Vegetasi Nama Latin Nama Lokal Altingia excelsa Rasamala Antidesma tetandrum Kokosan Monyet Artocarpus elasticus Teureup Castanopsis argentea Saninten Castanopsis tungurrut Kitungeureut Ficus cuspidata Darangdan Ficus globosa Hamerang Badak Ficus sp. Kihampelas Ficus variegata Kondang Lithocarpus indutus Pasang Batu Lithocarpus teysmanii Pasang Kayang Macaranga rhizinoides Manggong Maesopsis eminii Afrika Ostodes paniculata Muncang Cina Quercus tyesmannii Pasang Symplocos cochinchinensis Jirak Trema orientalis Kikuray
Family
Keterangan
Hamamelidaceae Euphorbiaceae Fagaceae Fagaceae Fagaceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Fagaceae Fagaceae Euphorbiaceae Rhamnaceae Euphorbiaceae Fagaceae Symplocaceae Ulmaceae
Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Pengamatan langsung Informasi petugas Informasi petugas Pengamatan langsung Pengamatan langsung Informasi petugas Informasi petugas Informasi petugas Pengamatan langsung
Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur owa jawa (Tabel 6), yang tergolong ke dalam 7 familia, yaitu: Hamamelidaceae,
Euphorbiaceae,
Fagaceae,
Moraceae,
Rhamnaceae,
42
Symplocaceae, dan Ulmaceae. Dari 17 jenis vegetasi yang diidentifikasi sebagai tempat tidur owa jawa, 4 jenis di antaranya dapat diidentifikasi secara langsung melalui pengamatan di lapangan dan 13 jenis melalui informasi petugas di lapangan. Keempat jenis vegetasi tersebut adalah: Kondang (Ficus variegata), Manggong (Macaranga rhizinoides), Kayu afrika (Maesopsis eminii), dan Ki kuray (Trema orientalis). Menurut Iskandar (2007a), hasil identifikasi pohon tidur pada kawasan TNGHS di wilayah hutan primer Citarik berjumlah 11 jenis, di Cikaniki 10 jenis, di hutan sekunder Cibereum 8 jenis, serta di Cisalimar 7 jenis. Pada umumnya vegetasi yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan dan tempat tidurnya adalah vegetasi tingkat pohon.
Hal tersebut
disebabkan pola hidup owa jawa yang bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas (Iskandar 2007a). Dari 61 jenis vegetasi tingkat pohon pada zona inti TNGP, 34 jenis merupakan pohon pakan owa jawa sedangkan 14 jenis merupakan pohon tidur owa jawa. Dari 59 jenis vegetasi tingkat pohon pada zona pemanfaatan TNGP, 33 jenis merupakan pohon pakan owa jawa sedangkan 12 jenis merupakan pohon tidur owa jawa. Jumlah jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa yang lebih banyak terdapat di zona inti daripada jumlah jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat owa jawa di zona inti cenderung lebih baik daripada kondisi habitat owa jawa di zona pemanfaatan, melalui ketersediaan alternatif pohon pakan dan pohon tidur yang lebih banyak dan beragam. Profil Vegetasi di Zona Inti dan Zona Pemanfaatan TNGP Untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi dari hutan yang dipelajari, dengan melihat bentuk profilnya akan dapat diketahui proses dari masing-masing pohon dan kemungkinan peranannya dalam komunitas tersebut, serta dapat diperoleh informasi mengenai dinamika pohon dan kondisi ekologinya (Istomo & Kusmana 1997). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7) dapat diketahui bahwa rata-rata diameter profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 17,46 - 31,97 m,
43
dengan diameter profil vegetasi minimum berkisar antara 7 – 19,7 m dan diameter profil vegetasi maksimum berkisar antara 40 – 115 m. Sedangkan rata-rata diameter profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 17,36 – 30,29 m, dengan diameter profil vegetasi minimum berkisar antara 7 – 20,4 m dan diameter profil vegetasi maksimum berkisar antara 35,1 – 110 m. Rerata tinggi total profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 9,34 – 28,35 m, dengan tinggi total profil vegetasi minimum berkisar antara 2,5 – 12 m dan tinggi total profil vegetasi maksimum berkisar antara 17 – 56 m. Rata-rata tinggi total profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 11,38 – 24,13 m, dengan tinggi total profil vegetasi minimum berkisar antara 4,5 – 20 m dan tinggi total profil vegetasi maksimum berkisar antara 19 – 29 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lebar tajuk profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 3,48 – 5,78 m dan 2,82 – 5,27 m, dengan lebar tajuk profil vegetasi minimum berkisar antara 0,7 – 2,5 m dan 0 – 1,5 m, serta lebar tajuk profil vegetasi maksimum berkisar antara 7,4 – 17,1 m dan 6,0 – 11,5 m. Sedangkan rata-rata lebar tajuk profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 3,98 – 6,09 m dan 3,92 – 5,28 m, dengan lebar tajuk profil vegetasi minimum berkisar antara 0,3 – 2,9 m dan 1 – 2 m, serta lebar tajuk profil vegetasi maksimum berkisar antara 6,7 – 14,5 m dan 6,5 – 14 m.
Tabel 7 Parameter profil vegetasi di kawasan TNGP No.
Resort
1.
Cisarua
2.
Bodogol
3.
Cimungkad
4.
Situ Gunung
5.
6. 7.
Selabintana
Gunung Putri Cibodas
Zona Inti (Pipa) Pemanfaatan (Jalur Riung Anak) Inti (Jalur Afrika) Inti (Jalur Kanopi) Pemanfaatan (Jalur Rasamala) Inti (Baruka Dua) Inti (Puspa Dua) Inti (Jalur Tower) Pemanfaatan (Simanaracun) Inti (Jalur Manuel) Pemanfaatan (Jalur Pendakian) Inti (Jalur Pendakian) Inti (Legok Babah) Inti (Pasir Buntu) Pemanfaatan (Cibeureum)
Diameter (cm) Rerata Min Max 20,02 7,00 84,40 25,32 7,00 56,00
Tinggi Total (m) Rerata Min Max 9,34 4,50 29,00 15,33 5,00 24,60
Lebar Tajuk 1 Rerata Min 4,91 1,00 4,68 0,30
(m) Max 16,80 10,00
Lebar Tajuk 2 (m) Rerata Min Max 3,68 1,00 11,50 4,01 1,00 7,20
26,15
7,20
66,80
13,45
7,00
22,00
5,78
2,50
12,00
5,27
1,50
10,50
27,85
12,00
40,00
12,33
7,00
17,00
5,15
2,50
10,60
4,10
1,50
6,00
27,59
7,00
89,00
12,83
5,00
29,00
6,09
1,50
14,50
5,28
1,50
10,50
21,13
7,20
58,30
12,23
2,50
23,00
5,23
1,00
13,00
4,54
0,50
11,50
20,34
8,00
63,00
12,83
5,00
28,00
5,05
1,50
17,10
5,14
1,00
11,50
21,49
7,50
52,00
15,03
5,00
27,00
5,27
0,80
11,00
4,48
0,50
9,00
30,29
8,00
110,00
14,77
5,00
29,00
4,80
0,50
11,00
3,92
1,00
9,00
19,20
7,00
68,00
14,01
4,00
29,00
5,03
0,70
13,50
4,32
0,50
11,50
17,36
7,00
47,00
11,38
4,50
19,00
4,18
0,50
11,00
4,77
1,00
14,00
31,97
19,70
108,20
28,35
12,00
56,00
4,91
1,00
12,00
4,97
1,00
11,00
24,02
6,00
115,00
12,89
4,50
25,00
4,41
0,30
12,50
3,61
0,00
9,50
17,46
7,00
60,00
12,42
5,00
23,00
3,48
1,00
7,40
2,82
0,00
7,00
25,04
20,40
35,10
24,13
20,00
27,00
3,98
2,90
6,70
4,11
2,00
6,50
Adapun profil vegetasi habitat owa jawa di zona inti TNGP dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12 berikut ini.
Gambar 8 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cisarua).
Gambar 9 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Bodogol).
Gambar 10 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cimungkad).
46
Gambar 11 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Situ Gunung).
Gambar 12 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cibodas). Adapun profil vegetasi habitat owa jawa di zona pemanfaatan TNGP dapat dilihat pada Gambar 13, Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16 berikut ini.
Gambar 13 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Cisarua).
47
Gambar 14 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Bodogol).
Gambar 15 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Situ Gunung).
Gambar 16 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Cibodas).
48
Rerata tinggi pohon di TNGP (Tabel 7) menunjukkan variasi antara 9,34 – 28,35 m, sedangkan survei Iskandar (2007b) di hutan Rasamala TNGP menemukan rerata 9,8 m sedangkan Iskandar (2007a) menunjukkan variasi antara 16,62-21,30 di TNGHS . Bila dibandingkan, rerata tinggi pada Tabel 7 memiliki rentang yang lebih besar karena jumlah lokasi survei yang lebih banyak. Pepohonan di hutan Rasamala merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis sedikir dan relatif seragam sehingga rerata tinggi pohonnya memiliki kisaran yang sempit. Hal ini berarti bahwa pada wilayah TNGP memiliki variasi tinggi pohon yang lebih beragam dibandingkan dengan di TNGHS, kecuali variasi tinggi pohon di hutan Rasamala. Rerata diameter pohon (Tabel 7) menunjukkan nilai 17,36 – 31,97 cm, di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) 59,6 cm sedangkan di TNGHS (Iskandar 2007a) antara 33,31 - 41,61 cm. Bila dibandingkan, diameter pohon di TNGP menurut penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan diameter pohon di hutan Rasamala dan di TNGHS. Diameter pohon di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) lebih besar karena jenis pepohonan dan umur pohon relatif seragam dan terdiri dari jenis berdiameter besar (Rasamala). Sebaliknya, jenis pepohonan yang terdata pada penelitian ini lebih beragam dan terdiri dari jenis-jenis dengan ukuran diameter yang berbeda-beda pula. Data TNGHS (Iskandar 2007a) bernilai cukup tinggi karena yang didata adalah jenis-jenis pohon pakan yang umumnya cukup tinggi dan berdiameter besar. Rerata lebar tajuk (Tabel 7) berada pada kisaran 2,82 – 3,48 m dan 5,28 6,09 m, di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) 4,83 – 6,33 m sedangkan menurut Iskandar (2007a) di TNGHS berada pada kisaran 9,87 – 10,02 m dan 13,69 – 15,32 m. Dengan demikian, rerata hasil penelitian ini dan hasil survei Iskandar (2007b) relatif sama dibandingkan dengan lebar tajuk di TNGHS (Iskandar 2007a) yang lebih lebar. Hal ini disebabkan pengukuran lebar tajuk di TNGHS dilakukan pada pohon-pohon yang diidentifikasi sebagai pakan owa, dan kondisi hutan yang relatif baik.
49
Permudaan Vegetasi Permudaan vegetasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin keberlanjutan vegetasi yang ada saat ini, yaitu melalui proses regenerasi vegetasi.
Terjaminnya permudaan vegetasi secara langsung dapat menjamin
kondisi dan kualitas habitat owa jawa, utamanya dalam hal tersedianya pohon pakan dan pohon tidur owa jawa. Untuk dapat mengetahui kondisi permudaan vegetasi di kawasan TNGP, maka dilakukan analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat semai (Tabel 8), dapat diketahui bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Symplocos cochinchinensis (25,81%), Schima wallichii (16,38%), Kikopi (11,08%), Decaspermum fruticosum (7,70%), dan Antidesma tetandrum (5,95%).
Dari
kelima jenis tersebut, terdapat 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii dan Decaspermum fruticosum) dan 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon tidur owa jawa (Symplocos cochinchinensis dan Antidesma tetandrum). Tabel 8 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5
Nama Latin Zona Inti Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.Moorr Schima wallichii (DC.) Korth. Kikopi Decaspermum fruticosum J.R.& G. Antidesma tetandrum Bl. Zona Pemanfaatan Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.Moore Schima wallichii (DC.) Korth. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Maesopsis eminii Engl. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val.
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
INP (%)
Jirak Puspa Kikopi Ipis kulit Kiseuer
18,018 9,234 6,532 3,153 2,703
7,792 7,143 4,545 4,545 3,247
25,810 16,377 11,077 7,699 5,949
Jirak Juspa Riung anak Afrika Janitri
13,024 6,402 4,194 4,636 4,415
7,500 6,875 3,750 2,500 2,500
20,524 13,277 7,944 7,136 6,915
Lima jenis vegetasi tingkat semai yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Symplocos cochinchinensis (20,52%), Schima wallichii (13,28%), Castanopsis
50
javanica (7,94%), Maesopsis eminii (7,14%), dan Elaeocarpus pierrei (6,92%). Dari kelima jenis vegetasi tersebut, terdapat 4 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Castanopsis javanica, Maesopsis eminii, dan Elaeocarpus pierrei) dan 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon tidur owa jawa (Symplocos cochinchinensis dan Maesopsis eminii). Hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang (Tabel 9) menunjukkan bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti adalah sebagai berikut: Schima wallichii (21,19%), Villebrunea rubescens (16,27%), Kikopi (12,99%), Acronychia laurifolia (12,15%), dan Orophea hexandra (11,19%). Dari kelima jenis vegetasi tersebut, terdapat 4 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Villebrunea rubescens, Acronychia laurifolia, dan Orophea hexandra).
Adapun dari kelima jenis
vegetasi tersebut tidak ditemukan pohon tidur owa jawa. Sedangkan lima jenis vegetasi tingkat pancang yang mendominasi dan memiliki INP yang tertinggi pada zona pemanfaataan adalah sebagai berikut: Calliandra calothyrsus (21,06%), Schima wallichii (20,19%), Castanopsis javanica (13,24%), Kikopi (13,12%), Villebrunea rubescens (11,43%).
Dari
kelima jenis tersebut, terdapat 3 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Castanopsis javanica, dan Villebrunea rubescens). Adapun dari kelima jenis vegetasi tersebut tidak ditemukan pohon tidur owa jawa. Tabel 9 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pancang di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5
Nama Latin Zona Inti Schima wallichii (DC.) Korth. Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Kikopi Acronychia laurifolia Bl. Orophea hexandra Bl Zona Pemanfaatan Calliandra calothyrsus Meisn. Schima wallichii (DC.) Korth. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC Kikopi Villebrunea rubescens (Bl.) Bl.
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Puspa Nangsi Kikopi Kijeruk Kisauheun
5,455 4,242 6,061 2,727 2,121
4,762 4,762 4,762 2,381 1,905
10,971 7,265 2,173 7,043 7,159
21,188 16,270 12,996 12,152 11,185
Kaliandra Puspa Riung anak ki kopi Nangsi
9,091 5,303 6,061 4,545 4,167
1,754 5,263 3,509 4,678 4,094
10,211 9,621 3,672 3,901 3,165
21,056 20,188 13,242 13,124 11,426
51
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang (Tabel 10) menunjukkan bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti adalah sebagai berikut: Villebrunea rubescens (35,44%), Schima wallichii (20,65%), Elaeocarpus pierrei (18,43%), Castanopsis javanica (15,02%), dan Ficus lepicarpa (13,03%).
Kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut seluruhnya
tergolong ke dalam pohon pakan owa jawa. Adapun dari kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut tidak ada yang merupakan pohon tidur owa jawa. Sedangkan lima jenis vegetasi tingkat tiang yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona pemanfaatan adalah sebagai berikut: Schima wallichii (40,95%), Macaranga rhizinoides (17,39%), Decaspermum fruticosum (16,80%), Ficus alba (15,76%), dan Altingia excelsa (15,20%).
Kelima jenis vegetasi
tingkat tiang tersebut seluruhnya tergolong ke dalam pohon pakan owa jawa. Adapun dari kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut, 2 jenis vegetasi diantaranya merupakan pohon tidur owa jawa (Macaranga rhizinoides dan Altingia excelsa). Tabel 10 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat tiang di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I 1 2 3 4 5 II 1 2 3 4 5
Nama Latin Zona Inti Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Schima wallichii (DC.) Korth. Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Ficus lepicarpa Bl. Zona Pemanfaatan Schima wallichii (DC.) Korth. Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Decaspermum fruticosum J.R.& G Ficus alba Burm.f. Altingia excelsa Noronha
Nama Lokal
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
Nangsi Puspa Janitri Ruing anak Bisoro
12,844 8,257 6,422 6,422 3,670
9,877 4,938 4,938 2,469 3,704
12,724 7,456 7,072 6,133 5,661
35,444 20,651 18,432 15,024 13,034
Puspa
13,187
11,111
16,651
40,948
Manggong Ipis kulit Hamerang Rasamala
5,495 5,495 5,495 5,495
6,173 6,173 6,173 2,469
5,721 5,136 4,093 7,237
17,388 16,803 15,760 15,201
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturutturut adalah 65 jenis, 82 jenis, dan 45 jenis. Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis (Tabel 11). Lebih banyaknya
52
jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di zona pemanfaatan. Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan. Tabel 11 Parameter permudaan vegetasi sebagai habitat owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Zona Inti
Tingkat Pertumbuhan Semai Pancang Tiang
Zona Semai Pemanfaatan Pancang Tiang
Parameter
Nilai
Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis
65 3,74 0,89 82 3,99 0,91 45 3,53 0,93 62 3,77 0,91 63 3,81 0,92 39 3,37 0,92
Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan (Tabel 11).
Secara keseluruhan nilai Indeks
Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango cenderung bernilai tinggi, sehingga kondisi vegetasi di kedua
53
zona tersebut cenderung stabil, utamanya berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai sumber pakan dan sebagai tempat tidur owa jawa di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93. Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan 0,92 (Tabel 10).
Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada semua
tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan cenderung tinggi. Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat owa jawa cenderung seimbang dan stabil. Berdasarkan hasil penelitian ini, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur owa jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup owa jawa di TNGP. Kondisi tersebut juga dapat ditemukan di kawasan TNGHS, dimana vegetasi yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan tempat tidur owa jawa teridentifikasi pada seluruh tingkat permudaan (semai, pancang, tiang) (Iskandar 2007a). Karakteristik Populasi Jalur Pengamatan Populasi Secara administratif, lokasi pengamatan owa jawa di TNGP meliputi 7 resort, yaitu Cibodas, Cisarua, Bodogol, Cimungkad, Situ Gunung, Selabintana, dan Gunung Putri, lokasi ini merupakan bagian dari distribusi owa jawa di TNGP. Total jalur panjang jalur pengamatan adalah 249 km dengan total luas area pengamatan sebesar 24,9 km2, Gambar 17 menyajikan jalur-jalur pengamatan di lokasi penelitian serta titik perjumpaan owa jawa.
54
Gambar 17 Jalur transek pengamatan owa jawa di TNGP. Distribusi Populasi Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan owa jawa dapat diidentifikasi di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung putri. Dari 18 jalur yang diamati, owa jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi.
Jalur-jalur dimana owa jawa tidak teridentifikasi, yaitu jalur
Legok babah (zona inti) di Cibodas, jalur Puspa II (zona pemanfaatan) di Situgunung, serta 3 jalur di Selabintana dan 2 jalur Gunung putri. Beberapa penelitian sebelumnya (TNGP 2002; Djanubudiman et al 2004) menemukan adanya owa jawa pada lokasi Cibodas dan Selabintana.
Tidak
teridentifikasinya owa jawa pada beberapa jalur, utamanya di lokasi Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah dari kelompok yang sebelumnya ada. Terbukanya kawasan hutan akibat perambahan dapat mengganggu kestabilan
55
habitat owa jawa, sedangkan aktivitas manusia sangat berpengaruh terhadap perilaku owa jawa. Kedua faktor ini dapat menyebabkan owa jawa mengubah wilayah jelajahnya. Pada lokasi Gunung Putri, keberadaan populasi owa jawa dipengaruhi oleh adanya gangguan akibat aktivitas manusia berupa perambahan kawasan hutan yang merupakan habitat owa jawa oleh masyarakat sekitar. Perambahan kawasan tersebut terjadi pada habitat owa jawa hingga ketinggian 2000 m dpl, sehingga populasi owa jawa yang ada diduga terus tertekan oleh aktivitas manusia tersebut. Pada lokasi Selabintana, owa jawa pernah teridentifikasi pada penelitianpenelitian sebelumnya, namun selama penelitian ini tidak teridentifikasi secara audio maupun visual.
Diduga penyebab utamanya adalah tingginya aktivitas
masyarakat setempat dan pengunjung dari luar wilayah ke kawasan Selabintana yang merupakan daerah tujuan wisata alam untuk melihat air terjun dan berkemah. Gangguan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberadaan populasi owa jawa di wilayah Selabintana. Untuk mendapatkan data populasi owa jawa di Gunung Putri dan Selabintana, perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk memastikan keberadaan populasi owa jawa serta memastikan faktor penyebab utama ada atau tidak adanya owa jawa pada kedua lokasi dimaksud. Hasil pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa distribusi owa jawa tersebar pada beberapa ketinggian yaitu mulai ketinggian 700 sampai 1.600 m dpl (Situ Gunung, Cimungkad, Bodogol, Cisarua, Cibodas) (Tabel 12). Frekuensi tertinggi perjumpaan owa jawa adalah di ketinggian 700 - 806,4 m dpl pada lokasi Bodogol. Lokasi Bodogol juga relatif cukup banyak dikunjungi pengunjung, sehingga bila dibandingkan dengan kondisi Selabintana, seharusnya kuantitas dan kualitas perjumpaan dengan owa jawa hampir sama. Pada kenyataannya, seperti telah dibahas sebelumnya, tidak terjadi perjumpaan dengan owa jawa di lokasi Selabintana sedangkan di lokasi Bodogol merupakan yang tertinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan menelaah perbedaan jumlah dan tipe pengunjung yang datang ke kedua lokasi. Pengunjung Selabintana umumnya adalah masyarakat biasa dengan tujuan wisata umum dan terkadang dalam jumlah yang banyak, sedangkan pengunjung Bodogol adalah para mahasiswa atau peneliti serta pengunjung minat
56
khusus yang datang untuk tujuan ilmiah atau wisata terbatas (minat khusus). Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan perilaku pengunjung yang mempengaruhi populasi owa jawa yang ada, dimana pengunjung biasa relatif lebih bising dan berperilaku mengganggu sedangkan pengunjung ilmiah dan wisata minat khusus cenderung bersikap tenang dan mengikuti prosedur yang berlaku untuk mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap kawasan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Tabel 12 Distribusi owa jawa di TNGP No
Lokasi
Koordinat
1
Cisarua
2
Bodogol
3 4
Cimungkad Situ Gunung
5 6 7
Selabintana Gunung Putri Cibodas
- S06°43'30,6'' E106°56'09,3'' - S06°43'23,5'' E106°55'48,7'' - S06°46,6959' E106°51,5381' - S06°46,6336' E106°51,2976' - S06°46,6746’ E106°51,3033' - S06°46,7808' E106°51,6341' - S06°46,8300' E106°51,3403' - S06°46,8803' E106°51,0515' - S06°49,2966' E106°53,4847' - S06°49,8000' E106°55,8000' - S06°49,9878' E106°55,6743' - S06°44'55,1'' E106°59'26,8'' - S06°43'49,4'' E106°59'30,4''
Ketinggian (m dpl) 1.198 1.009 763,2 806,4 794,4 785 721 704 1.095,8 1.126,5 1.147,7 1.588 1.587
Catatan Riung anak Pipa Kanopi trek Jalur Rasamala Jalur Afrika Jalur afrika Dam Dam Bukit Baruka II Simanaracun Tower Tidak ditemukan Tidak ditemukan Rawa Gayonggong Pasir Buntu
Sebagai perbandingan, frekuensi tertinggi perjumpaan dengan owa jawa di TN Gunung Halimun Salak berada pada ketinggian antara 1.082 - 1.132 m dpl (Iskandar 2007a). Rowe (1998) menyatakan bahwa owa jawa dapat hidup mulai dari ketinggian 0 - 1.500 m dpl, sedangkan menurut Kappeler (1981) berada di bawah ketinggian 1.600 m dpl, serta Supriatna & Wahyono (2000) menemukannya pada ketinggian 1.400 - 1.600 m dpl. Data Djanubudiman (2004) menyatakan bahwa perjumpaan owa jawa di TNGP terjadi pada ketinggian 824 1.700 m dpl.
Hal ini disebabkan karena pada ketinggian tersebut banyak
ditemukan pohon pakan dan pohon tidur dalam jumlah yang cukup memadai serta adanya pepohonan dengan tajuk lebar dan rapat yang dapat digunakan pada saat melakukan pergerakan dan sebagai tempat berlindung dari ancaman predator. Penyebaran kelompok owa jawa berbeda-beda pada setiap lokasi penelitian (Gambar 17). Hal ini tergantung pada kondisi habitat serta gangguan yang terjadi
57
di dalamnya,
kondisi habitat yang baik dapat mendukung kebutuhan hidup
kelompok owa jawa. Semakin baik kualitas suatu habitat maka semakin banyak pula kelompok yang dapat didukung, apabila kondisi habitat tidak mendukung, termasuk adanya gangguan aktivitas masyarakat, maka jumlah kelompok yang terbentuk cenderung lebih rendah. Kepadatan Populasi Kepadatan populasi owa jawa memberikan gambaran banyaknya individu dalam satu kilometer persegi. Pada penelitian ini individu owa jawa yang ditemukan di TNGP adalah sebanyak 42 individu dengan jumlah kelompok sebanyak 13 kelompok. Gambar 13 memperlihatkan jumlah individu yang dijumpai serta kepadatan pada setiap lokasi penelitian, kepadatan keseluruhan untuk individu adalah 6,43 individu/km2 sedangkan untuk kelompok adalah 1,93 kelompok/km2. Tabel 13 Jumlah individu dan kelompok owa jawa di TNGP Lokasi (resort)
Luas Jalur (km2)
Jumlah Individu
Kelompok
Cisarua Bodogol Cimungkad Situ Gunung Selabintana Gunung Putri Cibodas TOTAL
2,70 4,80 1,20 3,60 5,40 3,30 3,90 24,90
6 20 4 7 0 0 5 42
2 6 1 2 0 0 2 13
Perjumpaan
6 24 5 6 0 0 7 48
Kepadatan Individu (individu/km2)
Kelompok (kel/km2)
6,67 17,08 16,67 6,11 0,00 0,00 4,62
2,22 5,00 4,17 1,67 0,00 0,00 1,79
Bila dibandingkan dengan dugaan kepadatan owa jawa yang dikemukakan Nijman (2004), nilai kepadatan tersebut (6,43 individu/km2 dan 1,93 kelompok/km2) lebih rendah dari dugaan Nijman sebesar 8,6 individu/km2 dan 2,6 kelompok/km2 (pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl), namun lebih tinggi dari dugaan Nijman sebesar 1,5 individu/km2 dan 0,6 kelompok/km2 (pada ketinggian 1.000 – 1.750 m dpl). Hal ini disebabkan lokasi penelitian yang menyebar dan berada pada beberapa ketinggian.
Dengan merujuk pada ketinggian lokasi
penelitian (Tabel 12) dan angka kepadatan individu dan kelompok (Tabel 13), maka diduga kepadatan populasi tertinggi berada pada ketinggian 700 – 1.100 m
58
dpl. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai kepadatan populasi owa jawa di TNGP cenderung parsial terfokus pada lokasi tertentu sehingga belum dapat menggambarkan kepadatan secara keseluruhan. Apabila dibandingkan dengan penelitian serupa di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang dilakukan oleh Iskandar (2007a), maka dapat diketahui bahwa kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS dengan kepadatan owa jawa di kawasan TNGP tidak jauh berbeda, kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS adalah sebesar 8,20 individu/km2, sedangkan kepadatan owa jawa di kawasan TNGP adalah sebesar 6,43 individu/km2. Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan kepadatan owa jawa di kedua kawasan ini lebih disebabkan oleh aksesibilitas kawasan dan pengunjung yang datang ke kawasan. Kawasan TNGP memiliki aksesibilitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan aksesibilitas kawasan TNGHS. Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan TNGP ini menyebabkan jumlah kunjungan ke kawasan TNGP lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan ke kawasan TNGHS.
Hal
tersebut tentunya dapat mempengaruhi keberadaan owa jawa di suatu kawasan, mengingat owa jawa merupakan satwaliar yang tergolong sensitif terhadap adanya gangguan. Sehingga kepadatan owa jawa di kawasan TNGP relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Jumlah perjumpaan individu tertinggi untuk tingkat resort ditemukan pada resort Bodogol, yaitu 20 individu, sedangkan pada resort Selabintana dan Gunung Putri tidak ditemukan satu individu pun (Tabel 14). Kepadatan owa jawa yang tertinggi pada tingkat resort terdapat pada resort Bodogol, yaitu 17,08 individu/km2 (individu) dan 5,00 kelompok/km2 (kelompok). Dua resort, yaitu Gunung Putri dan Selabintana, memiliki nilai kepadatan 0,00 untuk individu dan kelompok karena pada kedua resort tersebut tidak ditemukan owa jawa. Survei TNGP (2002) menyebutkan bahwa terdapat 17 kelompok owa jawa di Bodogol dengan ukuran kelompok 1,9 individu/kelompok atau setara dengan 32 individu, sedangkan
di
Selabintana
terdapat
11
kelompok
dengan
ukuran
2,4
individu/kelompok atau setara dengan 27 individu. Tiga resort, yaitu Bodogol, Cimungkad dan Cisarua, memiliki kepadatan individu dan kelompok yang lebih
59
tinggi dibandingkan kepadatan keseluruhan. Pada resort Cimungkad, hanya ada 1 zona yang dimiliki yaitu zona inti. Pada zona inti resort Bodogol, ditemukan 2 kelompok owa jawa pada setiap jalur yang ada, yaitu kelompok Afrika 1 dan Afrika 2 pada jalur Afrika serta kelompok Dam 1 dan kelompok Dam 2 pada jalur Dam. Raharjo (2002) menduga kepadatan owa jawa pada lokasi Bodogol adalah 12,7 individu/km2 dan 4,5 kelompok/km2 (hutan primer) serta 9,3 individu/km2 dan 2,7 kelompok/km2 (hutan produksi blok Rasamala). Kepadatan populasi tertinggi ditemukan pada resort yang relatif jarang memperoleh gangguan serta memiliki kondisi habitat yang baik. Kepadatan yang tinggi pada resort Bodogol juga di pengaruhi oleh perilaku pengunjung yang sebagian besar bertujuan untuk penelitian ataupun pengamatan satwa, sehingga aktivitas yang dilakukan cenderung tidak mengganggu ekosistem yang ada.
Tabel 14 Data perjumpaan individu dan kelompok owa jawa di TNGP Lokasi
Zona
Cisarua
P I
Bodogol
P P I I
Cimungkad
I
Situ gunung
P P I
Selabintana
P P I
Gunung putri
P I
Cibodas
P I I
Nama Jalur riung anak pipa JUMLAH kanopi rasamala afrika dam JUMLAH baruka II JUMLAH Simanaracun puspa II tower JUMLAH jalur 3 air terjun manuel JUMLAH bukit tengah pendakian JUMLAH cibereum pasir buntu Legok babah JUMLAH
Jumlah Ulangan 6 6
Panjang Jalur (km) 2,00 2,50
Lebar Jalur (km) 0,10 0,10
6 6 6 6
2,00 2,00 2,00 2,00
0,10 0,10 0,10 0,10
6
2,00
0,10
6
2,00
0,10
6 6
2,00 2,00
0,10 0,10
6 6 6
2,00 3,50 3,50
0,10 0,10 0,10
6
3,00
0,10
6
2,50
0,10
6 6 6
2,00 2,00 2,50
0,10 0,10 0,10
Luas Jalur (km2) 1,20 1,50 2,70 1,20 1,20 1,20 1,20 4,80 1,20 1,20 1,20
Jumlah Individu (individu) 4 2 6 3 5 6 6 20 4 4 4
Jumlah Kelompok
Perjumpaan
Ind*Jumpa
Kel*Jumpa
1 1 2 1 1 2 2 6 1 1 1
3 3 6 5 3 10 6 24 5 5 4
12 6 18 15 15 32 20 82 20 20 16
3 3 6 5 3 10 6 24 5 5 4
1,20 1,20 3,60 1,20 2,10 2,10 5,40 1,80
0 3 7 0 0 0 0 0
0 1 2 0 0 0 0 0
0 2 6 0 0 0 0 0
0 6 22 0 0 0 0 0
1,50 3,30 1,20 1,20 1,50 3,90
0 0 3 2 0 5
0 0 1 1 0 2
0 0 4 3 0 7
0 0 12 6 0 18
Kepadatan Individu (individu/km2) 10,00 4,00
Kepadatan Kelompok (kel/km2) 2,50 2,00
12,50 12,50 26,67 16,67
4,17 2,50 8,33 5,00
16,67
4,17
13,33
3,33
0 2 6 0 0 0 0 0
0,00 5,00
0,00 1,67
0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00
0,00
0,00
0 0 4 3 0 7
0,00
0,00
10,00 5,00 0,00
3,33 2,50 0,00
Jumlah individu dan kelompok yang ditemukan pada zona inti adalah 23 individu dari 8 kelompok, sedangkan pada zona pemanfaatan ditemukan 19 individu dari 5 kelompok. Kepadatan owa jawa pada zona inti, untuk individu 7,14 individu/km2 dan untuk kelompok 2,30 kelompok/km2, lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan, untuk individu 5,69 individu/km2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km2 (Tabel 15). Tabel 15 Kepadatan individu dan kelompok owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona
Luas Jalur (km2)
Kepadatan Individu (individu/km2)
Kepadatan Kelompok (kel/km2)
12,60 12,30
7,14 5,69
2,30 1,54
Inti Pemanfaatan
Kondisi ini disebabkan karena pada zona inti, vegetasi dan habitat secara keseluruhan (kerapatan vegetasi, keanekaragaman jenis) lebih baik dibandingkan pada zona pemanfaatan, begitu pula pengaruh aktifitas masyarakat dan pengunjung yang lebih kecil pada zona inti dibandingkan pada zona pemanfaatan. Hal ini ditunjang dengan pola pengelolaan kawasan dimana zona inti merupakan zona yang dilindungi sehingga aktivitas manusia tidak diperbolehkan dan difungsikan sebagai zona perlindungan keanekaragaman hayati. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, belum ada penelitian lainnya yang atau penelitian pendahulu yang mengkaji habitat dan populasi owa jawa berdasarkan zonasi. Hal ini menyebabkan tidak ada data lain yang dapat digunakan sebagai pembanding. Estimasi Populasi Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan populasi owa jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km2 dan kelompok 1,93 kelompok/km2), maka estimasi populasi owa jawa di TNGP adalah 346,98 individu dan 104,09 kelompok atau, bila dibulatkan, 347 individu dan 105 kelompok.
Estimasi
populasi ini merupakan hasil perkalian kepadatan dengan luasan habitat representatif bagi owa jawa di TNGP, yaitu sebesar 5.399,84 ha atau 53,9984 km2. dari luasan total 21.975 ha. Nijman (2004) menduga populasi owa jawa di TNGP berjumlah 100
62
individu, sedangkan Djanubudiman (2004) menduga ukurannya 447 individu. Perbedaan estimasi tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan asumsi luasan habitat yang digunakan, metode pengambilan contoh/pengamatan yang berbeda serta pemilihan lokasi pengamatan yang berbeda. Iskandar (2007a) menyatakan bahwa estimasi populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara 2.318-2.695 individu dengan kepadatan 8,2 individu/km2. Terdapat perbedaan jumlah individu yang cukup besar apabila dibandingkan dengan estimasi populasi di TNGP, hal ini disebabkan oleh perbedaan luasan yang digunakan sebagai dasar perhitungan. Sedangkan kepadatan populasi pada kedua taman nasional ini tidak terlalu berbeda. Ukuran dan Komposisi Kelompok Ukuran kelompok owa jawa yang dijumpai di TNGP berada pada kisaran 2 5 individu/kelompok (Tabel 16).
Kelompok dengan jumlah terbanyak adalah
kelompok yang berukuran 2 individu dan 4 individu (masing-masing 4 kelompok) dengan persentase sebesar 30,77 %. Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu yang ditemui selama penelitian.
Sebagai satwa monogami, setiap
kelompok owa jawa umumnya berukuran 3-4 individu/kelompok (Rowe 1998). Setiap kelompok terdiri atas 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa serta 1 - 2 anak yang belum mandiri (Supriatna dan Wahyono 2000). Tabel 16 Ukuran kelompok owa jawa di TNGP Ukuran kelompok (individu/kelompok) 2 3 4 5 >5
Jumlah kelompok
Persentase (%)
4 3 4 2 0 13
30,77 23,08 30,77 15,38 0,00 100,00
Secara keseluruhan, rerata ukuran kelompok di TNGP (Tabel 17) adalah 3,23 individu/kelompok, 2,88 individu/kelompok untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan. Survei TNGP (2002) menemukan rerata ukuran kelompok di resort Bodogol 1,9 individu/kelompok serta 2,4 individu/kelompok. Iskandar (2007a) menyatakan bahwa ukuran rerata kelompok
63
owa jawa di TNGHS adalah 2,5 individu/kelompok. Tabel 17 Ukuran kelompok owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona
Jumlah Individu (individu)
Jumlah Kelompok
Rata-rata individu/ kelompok
I P TOTAL
23 19 42
8 5 13
2,88 3,80 3,23
Ukuran kelompok zona inti yang lebih kecil dibandingkan pada zona Pemanfaatan diduga disebabkan: (1) kelompok-kelompok owa jawa pada zona Inti merupakan kelompok-kelompok yang baru terbentuk dan belum memiliki anak atau baru memiliki 1 anak atau (2) kelompok-kelompok yang sudah lama terbentuk dimana anak-anaknya sudah memisahkan diri membentuk kelompok baru. Bila dibandingkan, hasil penelitian di TNGP ini lebih tinggi dibandingkan dengan survei TNGP (2002) dan Iskandar (2007a). Hal ini disebabkan karena kelompok-kelompok owa jawa di TNGP yang ada saat ini umumnya berukuran besar,
dimana anak-anak owa jawa yang memasuki usia remaja belum
meninggalkan kelompoknya.
Besarnya persentase kelompok yang memiliki
keturunan menandakan bahwa kawasan TNGP mendukung pertumbuhan populasi owa jawa. Namun, pengamatan terhadap populasi owa jawa perlu dilanjutkan karena pada beberapa lokasi yang berbatasan dengan kawasan wisata, populasi owa jawa sulit dijumpai. Tabel 18 Komposisi individu owa jawa berdasarkan kelompok umur dan lokasi pada 7 resort di TNGP Lokasi Cisarua Bodogol Cimungkad Situ Gunung Selabintana Gunung Putri Cibodas Total Rata-rata individu/lokasi Persentase (%)
Induk Jantan (Individu) 2 6 1 2 0 0 2 13 1,86
Induk Betina (Individu) 2 6 1 2 0 0 2 13 1,86
Muda (Individu)
Anak (Individu)
Unknown
Jumlah (Individu)
Persentase (%)
2 5 1 1 0 0 1 10 1,43
0 3 1 1 0 0 0 5 0,71
0 0 0 1 0 0 0 1 0,14
6 20 4 7 0 0 5 42
14,29 47,62 9,52 16,67 0,00 0,00 11,90 100,00
30,95
30,95
23,81
11,90
2,38
64
Tabel 18 menggambarkan komposisi individu berdasarkan kelas umur di setiap lokasi penelitian. Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masingmasing sebesar 30,95% (atau 1,86 individu per lokasi).
Berdasarkan lokasi,
persentase individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62%. Tabel 19 Komposisi individu dalam kelompok owa jawa berdasarkan jenis kelamin dan umur pada 7 resort TNGP Komposisi individu dalam kelompok 1 jantan + 1 betina 1 jantan + 1 betina + 1 anak 1 jantan + 1 betina + 2 anak 1 jantan + 1 betina + 3 anak Total
Jumlah kelompok 4 3 4 2 13
Persentase (%) 30,77 23,08 30,77 15,38 100.00
Tabel 19 menginformasikan komposisi individu di dalam kelompok serta peresentasenya. Kelompok yang terdiri atas satu jantan dan satu betina memiliki persentase terbesar yaitu 30,77%, sedangkan kelompok yang terdiri atas satu jantan, satu betina, dan satu anak memiliki presentase terbesar kedua 23,08%. Dengan memperhatikan data Tabel 19 tersebut, diduga bahwa proses regenerasi owa jawa masih terus berlangsung mengingat jumlah kelompok yang memiliki minimal satu keturunan atau lebih (muda atau anak) masih cukup banyak (sembilan kelompok).
Tingkah Laku Pengamatan tingkah laku owa jawa dilaksanakan di resort Bodogol pada kelompok yang berada di kawasan pohon Kiara, yang terletak tepat di depan stasiun penelitian. Kelompok ini terdiri atas satu jantan dewasa (Owa1), satu betina dewasa (Owa2), satu individu anak remaja (Owa3), dan satu individu anak (Owa4). Persentase terbesar dari aktivitas harian yang teramati adalah aktivitas makan sebesar 34,63%, dan yang terkecil adalah agresi (melalui vokalisasi) sebesar 3,21% (Tabel 20).
65
Tabel 20 Proporsi aktivitas harian kelompok owa di Bodogol TNGP Jenis Aktivitas Makan Sosial Lokomosi Agresi Istirahat Total
Proporsi (%) 34,63 14,77 13,75 3,21 33,64 100,00
Pada kelompok yang diamati, persentase aktivitas makan sebesar 34,63% dari keseluruhan aktivitas harian. Aktivitas makan kelompok owa jawa biasanya menggunakan pemanjatan dengan 4 kaki dan tangan ketika bergerak di antara ujung-ujung cabang kecil. Mereka menggunakan beragam postur makan, seperti duduk dan bergantung. Diet owa jawa terkhususkan pada buah-buahan masak. Perilaku sosial owa jawa yang diamati sebesar 14,77% dari keseluruhan aktivitas harian. Sebagian besar aktivitas sosial ini mencakup interaksi antara induk betina dengan anaknya dalam kegiatan pengasuhan anak, sedangkan kontak antara setiap anggota kelompok lainnya berlangsung dalam proporsi yang lebih kecil antara lain grooming.
Bayi owa jawa hampir selalu menempel pada
induknya di sekitar bagian perut, karena secara alamiah bayi owa jawa mampu berpegangan tanpa bantuan pada bulu induknya ketika induknya bergerak di antara pepohonan.
Anak yang baru lahir biasanya tidak berbulu, kecuali
sekumpulan rambut pada puncak kepalanya, sehingga harus diletakkan di antara paha dan perut induknya untuk menjaganya tetap hangat. Walaupun selalu berada dalam gendongan sang induk, sesekali anak owa jawa dilepaskan untuk belajar menggantung dan berayun pada batang atau cabang pepohonan. Hal ini biasanya tidak
berlangsung
lama
karena
induk
betina
akan
segera
mengambil/menggendong sang anak kembali, utamanya bila terdengar suara atau pergerakan dari satwa lain yang dianggap sebagai ancaman. Aktivitas bergerak pada kelompok ini sebesar 13,75% dari keseluruhan aktivitas hariannya. Hal ini tidak berbeda dengan hasil penelitian aktivitas harian pada kelompok di kawasan hutan Rasamala Bodogol yang menunjukkan aktivitas bergerak sebesar 16% (Iskandar 2007b) dan 15,95% (Arifin 2006). Perilaku agresif pada kelompok owa jawa yang diamati sebesar 3,21% dari keseluruhan aktivitas harian.
Hal ini terjadi ketika kelompok owa jawa
66
menempati pohon pakan yang sama dengan Surili (Presbytis commata), walaupun tidak terjadi perkelahian secara langsung.
Konfrontasi tetap terlihat melalui
vokalisasi yang dikeluarkan serta pergerakan jantan dan betina owa jawa. Owa menguasai dan mempertahankan teritorinya melalui vokalisasi dan konfrontasi serta mencegahnya dengan agresi fisikal. Betina memainkan peran yang sangat penting dalam pertahanan teritorial karena pasangan jantan betina dalam kelompok melagukan vokalisasi utama (the great call) pada pagi hari. Vokalisasi tersebut berfungsi sebagai suatu pengumuman, yang menunjukkan kehadiran mereka kepada kelompok tetangga. Hal ini dapat memancing konfrontasi pada batas-batas teritori, seringkali dengan pertunjukan yang agresif dan kadang kala hingga berkelahi sesungguhnya (Napier 1985). Aktivitas lainnya yang teramati adalah beristirahat sebesar 33,64% dari keseluruhan aktivitas harian. Napier (1985) menyatakan bahwa owa jawa, tidak seperti kera besar, tidak membangun sarang namun tidur dalam keadaan duduk tegak dengan beralaskan ischial callosities. Postur beristirahat yang paling umum adalah dengan cara duduk beralaskan ischial callosities yang dimiliki dengan lutut ditekuk ke arah dada. Sesekali owa jawa juga merebahkan tubuhnya pada cabangcabang pohon yang cukup besar. Fithriyani (2002) menemukan proporsi aktivitas owa jawa di Bodogol untuk 2 kelompok yang diamati berkisar pada aktivitas makan 32-36%, istirahat 3032%, bergerak 31-33% dan sosial 3%. Dibandingkan dengan hasil penelitian Fithriyani tersebut, maka proporsi makan dan istirahat (Tabel 21) tidak terlalu berbeda namun terdapat perbedaan yang siginifikan untuk aktivitas sosial (1112% lebih tinggi ) dan lokomosi (16-17% lebih rendah). Diduga perbedaan ini terjadi karena perbedaan kondisi habitat, perbedaan kelompok yang diamati serta perbedaan asumsi-asumsi yang digunakan pada kedua penelitian. Tabel 21 Proporsi aktivitas harian kelompok owa di Bodogol TNGP Kegiatan Makan Sosial Lokomosi Agresi Istirahat
Pagi (%) 35,90 15,06 13,60 3,39 32,05
Sore (%) 33,29 14,46 13,91 3,02 35,32
67
Aktivitas makan dan istirahat pada pagi hari dan sore hari masih mendominasi aktivitas harian owa jawa yang diamati di Bodogol (Tabel 21). Kegiatan makan, sosial dan agresi pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan pada sore hari, sebaliknya aktivitas lokomosi dan istirahat pada pagi hari lebih rendah dibandingkan pada sore hari. Secara umum, persentase aktivitas owa jawa pada pagi hari tidak berbeda dengan pada sore hari. Tabel 22 Proporsi aktivitas harian individu owa jawa di Bodogol TNGP Kegiatan Makan Sosial Lokomosi Agresi Istirahat
Owa1 (%) 34,81 14,09 13,50 5,12 32,48
Owa2 (%) 34,94 13,83 13,36 5,04 32,83
Owa3 (%) 34,34 15,90 13,47 1,94 34,34
Owa4 (%) 34,41 15,34 14,71 0,50 35,04
Persentase waktu aktivitas harian yang tertinggi untuk keempat individu owa jawa adalah makan dan istirahat sedangkan yang terendah adalah agresi. Individu dengan persentase tertinggi untuk setiap aktivitas adalah Owa2 (makan), Owa3 (sosial), Owa4 (lokomosi), Owa1 (agresi), dan Owa4 (istirahat). Secara umum, persentase aktivitas keempat individu owa jawa yang diamati tidak terlalu berbeda dan masih berada pada kisaran persentase yang sama, kecuali untuk agresi (Tabel 22). Hal ini terjadi karena sebagian besar persentase agresi dilakukan Owa1 dan Owa2 yang merupakan individu dewasa, sedangkan Owa3 dan Owa4 merupakan individu muda dan anak yang tidak berperan dalam penguasaan teritori.
Proporsi agresi Owa3 dan Owa4 (Tabel 22) tidak
menunjukkan agresi antar anggota kelompok owa jawa namun menunjukkan adanya sedikit kontak antara kedua individu tersebut dengan anak Surili (Presbytis commata) ketika kelompok owa jawa bertemu kelompok Surili pada pohon pakan yang sama. Permasalahan Habitat dan Populasi Keberadaan habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch) di kawasan TNGP saat ini mengalami beberapa masalah yang dapat menyebabkan terganggunya kelestarian owa jawa (Hylobates moloch) (Tabel 23). pengambilan kayu bakar dan pengambilan hasil hutan bukan kayu adalah masalah yang ditemui
68
pada semua resort yang menjadi lokasi penelitian, sedangkan Aktivitas pengunjung adalah masalah-masalah lain yang cukup sering muncul pada beberapa resort. Tabel 23 Permasalahan terhadap habitat dan populasi owa jawa di TNGP No. 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Jenis Cisarua Permasalahan Pengambilan V kayu bakar Pengambilan V hasil hutan bukan kayu Aktivitas V pengunjung dan masyarakat Perambahan Perburuan Penebangan liar
Bodogol V V
Lokasi Cimungkad Situ Gunung V V V
V
Selabintana V
Gn. Putri V
Cibodas
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V V V
V
Beberapa permasalahan yang terjadi terhadap habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch) di kawasan TNGP dapat dianalisis sebagai berikut: 1.
Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar, terutama di zona pemanfaatan. Aktivitas pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar, terutama di zona pemanfaatan ini baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu kehidupan owa jawa yang terdapat di kawasan TNGP. Hal tersebut dikarenakan suara yang ditimbulkan akibat aktivitas pengambilan kayu bakar cukup keras, utamanya pengambilan kayu bakar yang dilakukan dengan cara menebang pohon yang masih hidup. Walaupun jenis pohon yang ditebang bukan merupakan jenis pohon komersil ataupun jenis pohon yang dilindungi, namun kegiatan ini dapat berdampak negatif bagi ketersediaan vegetasi yang dibutuhkan oleh owa jawa. Suara gaduh yang ditimbulkan akibat aktivitas pengambilan kayu bakar menyebabkan owa jawa menjauh dari sekitar tempat tersebut ke arah dalam kawasan yang lebih tenang. Kondisi demikian dapat menyebabkan perubahan homerange (wilayah jelajah) maupun teritori owa jawa, dan dapat
69
berpengaruh terhadap perubahan perilaku dan populasi owa jawa di kawasan TNGP. Aktivitas pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar ini, utamanya di zona pemanfaatan banyak disebabkan karena keterpaksaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang dirasakan semakin berat, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin meningkat. BBM yang paling dibutuhkan masyarakat adalah minyak tanah yang semakin langka di pasaran akibat kebijakan pemerintah untuk mengganti minyak tanah untuk memasak dengan gas elpiji. Hal tersebut dikhawatirkan
akan
berdampak
langsung
terhadap
meningkatnya
pengambilan kayu bakar di dalam kawasan TNGP, yang pada akhirnya dapat mengancam kelestarian owa jawa beserta habitatnya. 2.
Pengambilan hasil hutan bukan kayu Pengambilan hasil hutan bukan kayu yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar pada umumnya adalah berupa pengambilan paku tiang, bambu, rotan, dan tumbuhan hias (anggrek hutan, kadaka, keladi hutan) . Paku tiang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai media untuk tumbuhan hias, bambu dimanfaatkan untuk keperluan perbaikan rumah, rotan digunakan untuk bahan pengikat, sedangkan tumbuhan hias (anggrek hutan, kadaka, keladi hutan) diambil masyarakat sekitar untuk dijual. Kegiatan pengambilan hasil hutan bukan kayu tersebut tentunya dapat mengganggu keberadaan owa jawa mengingat kegiatan yang dilakukan menimbulkan suara gaduh yang menyebabkan owa jawa menjauh dari lokasi tersebut, mengingat owa jawa merupakan satwa primata yang sangat sensitif terhadap gangguan.
3.
Aktivitas pengunjung yang datang ke kawasan TNGP Aktivitas pengunjung yang datang ke kawasan TNGP dikhawatirkan dapat mengganggu kehidupan owa jawa, utamanya pengunjung yang datang secara massal dan melakukan berbagai aktivitas yang menimbulkan kegaduhan. Hal tersebut dikarenakan owa jawa merupakan satwa primata
70
yang sangat sensitif terhadap gangguan dan memiliki respon negatif terhadap kehadiran manusia. Berbagai aktivitas pengunjung yang bersifat mengganggu dapat menyebabkan perubahan perilaku owa jawa dan menurunkan kualitas hidupnya. Hal ini utamanya terjadi pada lokasi-lokasi yang memiliki atau berdampingan dengan area wisata atau camping ground, seperti Selabintana dan Cibodas, dimana pengunjung pada hari libur sekolah dapat mencapai ratusan orang per hari. 4.
Perambahan kawasan hutan TNGP Perambahan kawasan hutan TNGP untuk areal pertanian/perladangan (Gambar 18) merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup owa jawa. Aktivitas perambahan kawasan hutan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya habitat owa jawa di kawasan TNGP, sehingga kehidupan owa jawa secara langsung dapat terganggu. Fragmentasi habitat dapat menyebabkan terpecahnya habitat yang merupakan satu kesatuan yang besar menjadi fragmen-fragmen habitat yang lebih kecil. Dengan berkurangnya luasan dan kualitas habitat owa jawa, maka ketersediaan jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan, tempat tidur, beristirahat, dan berlindung menjadi terbatas pula.
Pada akhirnya,
kehidupan populasi owa jawa yang tergantung padanya akan terganggu pula.
71
Gambar 18 Perkebunan masyarakat yang dapat menyebabkan fragmentasi habitat owa jawa. 5.
Perburuan liar di kawasan hutan TNGP Kegiatan perburuan liar di kawasan hutan TNGP dapat menyebabkan terganggunya keberadaan owa jawa, meskipun satwa liar yang diburu bukanlah owa jawa. Berdasarkan tanda-tanda yang ditinggalkan, perburuan masyarakat lokal cenderung ditujukan untuk jenis burung, baik untuk keperluan konsumsi, satwa peliharaan, untuk dijual, atau sekedar hobi.
6.
Penebangan liar di kawasan hutan TNGP Kegiatan yang terjadi di kawasan TNGP merupakan permasalahan yang sangat penting untuk segera diatasi mengingat dampak langsungnya terhadap kehidupan owa jawa.
Pohon-pohon yang menjadi sasaran
penebangan liar pada umumnya adalah pohon-pohon yang berukuran besar dan tinggi serta komersial yang merupakan tipe pepohonan ideal bagi owa jawa. Hilangnya pohon-pohon tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pergerakan owa jawa. Hal ini disebabkan owa jawa sangat bergantung terhadap keberadaan tajuk hutan yang rapat yang memungkinkan satwa ini dapat bergerak atau beraktivitas yaitu dengan cara bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara bergelayutan (brakiasi).
72
Selain itu, beberapa jenis pohon komersial yang menjadi sasaran penebangan liar adalah merupakan sumber pakan owa jawa dan pohon tempat tidur owa jawa. Kegiatan penebangan liar tersebut apabila tidak segera diatasi pada akhirnya akan menurunkan kualitas habitat owa jawa, sehingga owa jawa di kawasan hutan TNGP akan semakin menurun pula populasinya. Secara umum, meskipun pada beberapa lokasi di kawasan TNGP terdapat permasalahan, namun kondisi habitat dan populasi owa jawa di TNGP masih relatif baik. Kondisi ini ditinjau dari ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur dalam jumlah yang memadai, kontinuitas tajuk pepohonan yang mendukung pergerakan owa jawa, kondisi topografi (ketinggian habitat), dan kondisi fisik TNGP yang sesuai bagi kehidupan owa jawa. Kondisi habitat dan populasi owa jawa di TNGP pada masa yang akan datang dapat tetap lestari apabila permasalahan-permasalahan yang terjadi di kawasan TNGP tersebut tidak meluas dan dapat segera teratasi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa selama habitat owa jawa di TNGP tetap terjaga dengan baik serta tidak ada aktivitas masyarakat atau pengunjung yang mengganggu habitat owa jawa, maka keberadaan owa jawa di kawasan TNGP dapat tetap lestari. Rekomendasi Pengelolaan Sebagai kawasan pelestarian alam, pengelolaan TNGP ditujukan untuk melaksanakan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
Owa jawa yang merupakan salah satu primata endemik yang
terdapat di dalam kawasan TNGP haruslah dikelola sedemikian rupa baik populasi maupun habitatnya, sehingga tetap terjamin kelestariannya. Berdasarkan hasil penelitian ini, TNGP merupakan habitat yang sangat sesuai bagi owa jawa. Hal ini disebabkan oleh: (1) ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur dalam jumlah yang memadai, (2) kontinuitas tajuk pepohonan yang mendukung pergerakan primata arboreal, (3) kondisi topografi (ketinggian habitat) serta (4) kondisi fisik TNGP (suhu udara, curah hujan) yang tepat bagi owa jawa.
73
Selain menyediakan habitat yang baik bagi berbagai jenis satwaliar, TNGP juga merupakan daerah tujuan wisata alam bagi masyarakat umum, utamanya para pelajar dan pencinta alam. Apabila keberadaan pengunjung tersebut tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan dapat menjadi ancaman bagi keberadaan populasi owa jawa di dalam kawasan TNGP. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dalam pengelolaan owa jawa di TNGP dapat direkomendasikan tiga hal utama kegiatan pengelolaan yang dapat menjamin kelestarian habitat dan populasi owa jawa di TNGP. 1. Pengelolaan kawasan TNGP Pengelolaan kawasan TNGP ini berkaitan erat dengan habitat dan populasi owa jawa. Beberapa kegiatan pengelolaan kawasan TNGP yang berguna dalam menunjang habitat dan populasi owa jawa adalah sebagai berikut: a. Restorasi kawasan yang tedegradasi dan terfragmentasi b. Restorasi kawasan yang bervegetasi sejenis agar dapat kembali pada kondisi aslinya, terutama pada kawasan perluasan TNGP yang merupakan kawasan bekas areal Perum Perhutani. c. Peningkatan pengamanan kawasan, utamanya terhadap pengambil kayu bakar. Selain mengambil dahan atau ranting kering yang sudah jatuh, masyarakat juga menebang pepohonan untuk digunakan sebagai kayu bakar. Hal ini dapat merusak dan mengurangi kuantitas dan kualitas vegetasi serta menimbulkan kegaduhan yang mempengaruhi owa jawa d. Pelaksanaan pemantauan rutin/monitoring terhadap populasi Owa di TNGP, baik lokasi yang pernah diidentifikasi sebagai daerah jelajah owa jawa maupun yang belum teridentifikasi 2. Pengelolaan pengunjung TNGP Pengelolaan pengunjung TNGP ini merupakan kegiatan pengelolaan terhadap pengunjung yang bertujuan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pengunjung yang beraktivitas di kawasan TNGP yang dapat mengganggu habitat dan populasi owa jawa di TNGP. pengunjung ini meliputi kegiatan:
Pengelolaan
74
a. Pengaturan pengunjung yang lebih ketat, utamanya mengurangi jumlah pengunjung (menghindari mass tourism), mengingat kebisingan dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh kehadiran manusia sangat mempengaruhi owa jawa di TNGP b. Pembinaan terhadap pengunjung mengenai tata cara beraktivitas yang ramah lingkungan di dalam kawasan, utamanya bagi para pendaki dan pengunjung camping ground agar dapat menikmati ekosistem TNGP tanpa mengganggu atau merusaknya. c. Pengalihan jalur-jalur wisata yang berada pada daerah jelajah owa jawa ke lokasi lain, sehingga meminimalkan gangguan bagi primata tersebut. 3. Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP Selain pengelolaan kawasan dan pengunjung TNGP, perlu juga dilakukan pengelolaan terhadap masyarakat sekitar TNGP. Pengelolaan masyarakat sekitar TNGP bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar TNGP, sehingga masyarakat tersebut tidak mengganggu sumberdaya alam dan lingkungan yang terdapat di dalam kawasan TNGP, termasuk owa jawa beserta habitatnya. Pengelolaan masyarakat sekitar ini dilakukan melalui pengembangan daerah penyangga (buffer zone) di luar kawasan TNGP. Daerah penyangga merupakan kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan sekitarnya (MacKinnon et al. 1993). Berdasarkan hasil kajian di lokasi penelitian, maka tipe daerah penyangga yang cocok dan dibutuhkan untuk dikembangkan adalah tipe penyangga hutan dan tipe penyangga ekonomi. Daerah penyangga dengan tipe penyangga hutan sangat dibutuhkan mengingat tingginya kebutuhan masyarakat sekitar TNGP terhadap hasil hutan berupa kayu bakar. MacKinnon et al. (1993), menyatakan bahwa penyangga hutan termasuk hutan kayu bakar atau bahan bangunan yang terletak di luar batas kawasan yang dilindungi tetapi di atas tanah negara. Hutan ini dapat berupa hutan alami, hutan sekunder yang diperkaya, atau bahkan perkebunan dimana
75
penekanannya adalah memaksimalkan hasil yang berkelanjutan untuk digunakan penduduk desa setempat, selain berfungsi melindungi air dan tanah. Jenis-jenis pohon yang dapat ditanam di daerah penyangga TNGP dengan tipe penyangga hutan adalah sebagai berikut: puspa (Schima wallichii), pasang (Quercus sp.), rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), kayu afrika (Maesopsis
eminii),
sengon
(Paraserianthes
falcataria),
dan
kaliandra
(Calliandra callothyrsus). Adapun daerah penyangga dengan tipe penyangga ekonomi sangat dibutuhkan mengingat sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGP bermatapencaharian pokok sebagai petani.
MacKinnon et al. (1993),
menyatakan bahwa penyangga ekonomi diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa mengambil sumberdaya dari kawasan yang dilindungi. Hal ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian, sosial atau komunikasi, maupun lahan penyangga yang produktif.