HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Menjadi Anak Jalanan Menurut Moeliono (2001) tidak ada satu faktor tunggal yang menyebabkan anak berada, tinggal, hidup atau bekerja di jalanan melainkan ada banyak faktor (multifaktor) yang sangat terkait. Pada dasarnya ada tiga faktor utama sebagai penyebab yaitu: kemiskinan, faktor-faktor keluarga dan pengaruh lingkungan. Tabel 3 Sebaran anak jalanan berdasarkan alasan turun ke jalan Alasan n % Ekonomi 33 64,7 Diajak teman 10 19,6 Lainnya 8 15,7 Total 51 100,0
Beberapa alasan anak jalanan turun ke jalan adalah faktor ekonomi (64,7%), diajak teman (19,6%) dan lainnya (15,7%). Alasan lainnya dalam hal ini adalah faktor keluarga dan untuk sekedar mengisi waktu. Tabel 3 menunjukkan bahwa alasan utama anak jalanan turun ke jalan adalah ekonomi (64,9%). Tabel 4 Sebaran ayah dan ibu anak jalanan berdasarkan jenis pekerjaan Ayah Ibu Jenis pekerjaan n % Jenis pekerjaan Buruh 7 30,4 Pembantu rumah tangga Penarik becak 3 13 Pedagang Pengelap mobil 3 13 Buruh Pedagang 2 8,7 Pengemis Pengamen 2 8,7 Pemulung Pengangguran 3 13 Pengamen Lainnya 3 12,9 Pengangguran/IRT Total 23 100,0 Total
n 5 3 2 2 2 2 13 29
% 17,2 10,3 6,9 6,9 6,9 6,9 44,8 100,0
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua anak jalanan bekerja di sektor informal bahkan ada pula orangtua anak jalanan yang menganggur. Pekerjaan ayah terbanyak adalah buruh (30,4%) sedangkan sebagian besar ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga (17,2%). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak anak jalanan berasal dari keluarga besar (5-10 jiwa) dengan orangtua yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal dengan penghasilan rendah (pemulung, pedagang, asongan/kaki lima, supir dan sebagainya) atau juga petani miskin di desa (Moeliono 2001). Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan seluruh anggota keluarga baik dari hasil pekerjaan utama maupun pekerjaan tambahan. Pada penelitian ini, rata-rata pendapatan keluarga anak jalanan adalah Rp.
1.476.800±158.310. Lebih dari separuh keluarga memiliki pendapatan kurang dari Rp.1.300.000 per bulan (60,7%). Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari total seluruh pendapatan keluarga dibagi jumlah anggota keluarga tersebut. Batas garis kemiskinan di Kota Bandung adalah Rp.203.751 (BPS 2009). Sebagian besar anak jalanan turun ke jalan karena alasan ekonomi tetapi berdasarkan garis kemiskinan di Kota Bandung, lebih dari separuh (64,3%) keluarga anak jalanan tergolong keluarga tidak miskin (pendapatan/kapita/bulan >Rp.203.751). Hal ini disebabkan hampir setiap anggota keluarga bekerja mencari uang sehingga pemasukan dari anggota keluarga cukup besar. Tabel 5 Sebaran rumah tangga berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan n
%
Pendapatan keluarga 17 4
60,7 14,3
7
25
Miskin (
10
35,7
Tidak miskin (>Rp.203.751)
18
64,3
Rp.1.600.000 Pendapatan per kapita per bulan
Karakteristik Anak Jalanan Alasan ekonomi juga menyebabkan sebagian besar orangtua mendukung anak jalanan untuk mencari uang di jalan. Orangtua berharap pendapatan yang diperoleh anak jalanan bisa menambah pendapatan keluarga. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebesar 47,1 persen orangtua mendukung anak jalanan untuk turun ke jalan mencari uang. Menurut Moeliono (2001) faktor ekonomi menyebabkan anak-anak terpaksa dikerahkan tenaganya untuk mencari tambahan penghasilan keluarga (pekerja anak) atau justru mencari makan di luar rumah (gembel/tekyan). Keluarga
merupakan
tempat
utama
kegiatan
pengasuhan
dan
pencurahan kasih sayang terhadap anak. Berdasarkan Tabel 6 sebesar 90,2 persen anak jalanan masih tinggal dengan orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan termasuk ke dalam kategori children on the street. Anak jalanan turun ke jalan hanya untuk bekerja dan masih pulang ke rumah serta tinggal dengan orang tua. Di Indonesia disebut
pekerja anak
di jalan yakni anak
yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan atau tempat-
tempat umum untuk membantu keluarganya. Pada umumnya mereka bekerja untuk memperoleh pendapatan (Moeliono 2001). Tabel 6 Sebaran anak jalanan berdasarkan dukungan ortu,karakteristik dan pendidikan Karakteristik Anak jalanan n
%
Dukungan Orangtua Setuju
24
47,1
Tidak Setuju
23
45,1
4
7,8
46
90,2
5
9,8
5-8
5
9,8
9-12
23
45,1
13-15
14
27,5
9
17,6
29
56,9
22
43,1
2
3,9
Putus sekolah SD/MI SMP
21 6
41,2 11,8
Masih sekolah : SD/MI SMP
19 3
37,3 5,9
Tidak Tahu Tinggal dengan Orangtua Ya Tidak Umur (tahun)
16-18 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Status pendidikan Tidak pernah sekolah
Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak jalanan (56,9%) adalah laki-laki. Jumlah anak jalanan yang lebih banyak laki-laki diduga karena anak laki-laki memiliki kebebasan dan mampu berdapatasi dengan lingkungan jalanan sejak dini dibandingkan perempuan (Abdelgalil et al. 2004). Umur anak jalanan berada pada kisaran umur 5-18 tahun. Umur anak jalanan dibagi ke dalam empat kelompok umur yaitu 5-8 tahun, 9-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Persentase umur terbesar berada pada kisaran umur 912 tahun (45,1%) dan 13-15 tahun (27,5%). Persentase anak jalanan yang berumur 16-18 tahun sebesar 17,6 persen dan persentase anak jalanan yang berumur 5-8 tahun sebesar 9,8 persen. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil survai BPS I di Jakarta bahwa persentase jumlah anak jalanan pada kelompok
umur 10-14 tahun merupakan yang terbesar diikuti oleh kelompok umur 15-18 tahun, 19-21 tahun dan 5-9 tahun (BPS 2001). Status pendidikan anak jalanan dikelompokkan menjadi masih sekolah, putus sekolah dan tidak pernah sekolah. Persentase anak jalanan yang putus sekolah lebih besar (52,9%) dibandingkan anak jalanan yang masih sekolah (43,2%). Beberapa alasan anak jalanan putus sekolah di antaranya tidak memiliki biaya, malu dan malas. Di antara alasan tersebut, alasan utama yang menyebabkan anak jalanan putus sekolah adalah tidak memiliki biaya sedangkan anak jalanan yang tidak pernah sekolah mengaku malas untuk sekolah. Selain itu, diduga orang tua anak jalanan beranggapan bahwa anak jalanan lebih baik bekerja di jalanan dibandingkan sekolah sehingga bisa memperoleh uang untuk menambah pendapatan. Berdasarkan penelitian Atmajaya di beberapa kota, banyak orang tua di kota dengan kondisi sosial-ekonomi rendah beranggapan bahwa bekerja lebih penting daripada sekolah (Moeliono 2001). Baik anak jalanan yang masih sekolah maupun putus sekolah memiliki tingkat pendidikan SD/MI. Anak jalanan berhenti sekolah dan memilih untuk mencari uang di jalan disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi. Selain faktor ekonomi, anak jalanan mengaku tidak mau melanjutkan sekolah karena usia anak jalanan sudah tua sehingga malu untuk kembali lagi ke sekolah dan malas untuk mengingat pelajaran. Banyak anak jalanan menolak untuk kembali lagi ke sekolah. Alasan utamanya adalah malu karena sudah merasa besar, sudah tidak mampu lagi mengikuti pelajaran sekolah, lebih senang bekerja dan ingin membantu atau meringankan beban orangtua (Prasadja dan Agustian 2000). Walaupun tidak memiliki biaya, contoh memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah sampai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Contoh menganggap pendidikan dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan sehingga contoh bisa lebih dihargai orang lain dan memperoleh pekerjaan. Selain itu, contoh juga memiliki keinginan untuk mengikuti kursus atau pelatihan. Alasannya adalah contoh ingin memiliki keterampilan dan pengalaman sehingga bisa memperoleh uang tanpa harus turun ke jalan. Pola Aktivitas Pola aktivitas anak jalanan meliputi frekuensi, lama dan jenis aktivitas yang dilakukan anak jalanan selama berada di jalan dalam waktu tertentu yang dilakukan secara terus-menerus. Anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan
dengan berbagai macam aktivitas. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah bekerja. Pola kerja anak jalanan merupakan bagian dari strategi bertahan hidup yaitu memperoleh uang. Hal ini disebabkan alasan utama anak jalanan turun ke jalan adalah faktor ekonomi. Selain itu, pemilihan pekerjaan yang tepat juga akan menentukan penghasilan yang diperoleh anak jalanan. Pekerjaan yang dilakukan anak jalanan untuk memperoleh uang di antaranya adalah berjualan, mengamen, menyemir sepatu, mengelap mobil, menyewakan payung, meminta-minta dan sebagainya. Tabel 7 Sebaran anak jalanan berdasarkan pola aktivitas dan pendapatan Pola Aktivitas n Jenis pekerjaan 1 Berjualan 37 Mengamen Lebih dari satu pekerjaan 13 (ganda) Durasi (jam/hari) 38 4-8 13 9-12 0 >12 Jumlah Hari Kerja 5 1-3 25 4-6 21 7 Pendapatan (per hari) 18 < Rp.10.000 29 Rp.10.001-Rp.20.000 4 >Rp.20.001
% 2 72,5 25,5 74,5 25,5 0 9,8 49 41,2 35,3 56,9 7,8
Jenis pekerjaan yang banyak dilakukan anak jalanan adalah mengamen (72,5%). Mengamen banyak dilakukan diduga karena jenis pekerjaan ini lebih cepat menghasilkan uang. Selain itu, sebesar 25,5 persen anak jalanan melakukan lebih dari satu pekerjaan (ganda). Pekerjaan ganda yang banyak dilakukan adalah mengamen sambil melakukan pekerjaan yang lain diantaranya berjualan, meminta-minta dan kuli angkut. Tabel 7 menunjukkan bahwa hampir separuh anak jalanan bekerja 4-6 hari dalam seminggu (49%). Anak jalanan yang bekerja setiap hari sebesar 41,2 persen sedangkan anak jalanan yang bekerja 1-3 hari sebesar 9,8 persen. Durasi anak jalanan berada di jalan dikelompokkan menjadi 4-8 jam per hari, 912 jam per hari dan lebih dari 12 jam per hari. Rata-rata durasi anak jalanan turun ke jalan adalah 6 jam per hari. Sebagian besar anak jalanan turun ke jalan
selama 4-8 jam per hari (74,5%). Anak jalanan yang masih sekolah biasanya turun ke jalan sehabis pulang sekolah. Anak jalanan umumnya bekerja antara 4-18 jam per hari jika melakukan satu aktivitas atau sejumlah aktivitas dengan rata-rata 11 jam kerja per hari (UNICEF 2001). Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak ada anak jalanan yang turun ke jalan untuk bekerja lebih dari 12 jam/hari. Hal ini diduga karena sebagian besar contoh termasuk kategori children on the street sehingga hanya turun ke jalan untuk mencari uang (pekerja anak) dan masih memiliki keluarga sehingga masih pulang ke rumah secara rutin. Pendapatan anak jalanan merupakan pendapatan yang diperoleh selama anak jalanan turun ke jalan dalam sehari. Pendapatan per hari yang diperoleh anak jalanan beragam. Pendapatan terendah anak jalanan adalah Rp.5.000 dan tertinggi adalah Rp.30.000 serta rata-rata pendapatan anak jalanan adalah Rp.14.451±5730,84. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar 56,9 persen pendapatan anak jalanan berkisar
Rp.10.001-Rp.20.000; 35,3 persen anak
jalanan berpendapatan kurang dari Rp.10.000 dan hanya 7,8 persen anak jalanan berpendapatan lebih dari Rp.20.001. Tabel 8 Sebaran alokasi pendapatan anak jalanan Alokasi Pendapatan n Untuk orangtua 10 Untuk diri sendiri 6 Untuk orangtua dan diri sendiri 35 Total 51
% 19,6 11,8 68,6 100
Pendapatan yang diperoleh anak jalanan selama turun ke jalan digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Tabel 8 menunjukkan bahwa sebesar 68,6 persen anak jalanan membagi pendapatannya untuk orangtua dan diri sendiri. Anak jalanan yang memberikan seluruh pendapatannya untuk orangtua sebesar 19,6 persen sedangkan anak jalanan yang menggunakan pendapatannya untuk diri sendiri sebesar 11,8 persen. Anak jalanan memberikan sebagian atau seluruh pendapatannya kepada orangtua karena anak jalanan ingin membantu orangtua. Hal ini sesuai dengan alasan utama anak jalanan turun ke jalan yaitu karena faktor ekonomi. Alokasi pendapatan anak jalanan untuk diri sendiri digunakan untuk berbagai macam kebutuhan. Kebutuhan tersebut diantaranya adalah untuk ditabung, ongkos transportasi ke jalanan, jajan atau makan dan lainnya. Kebanyakan anak jalanan menggunakan pendapatannya untuk jajan atau makan
daripada menabung. Alokasi pendapatan yang digunakan untuk makan atau jajan berkisar Rp.500-Rp.20.000 per hari. Sebagian besar anak jalanan tidak mengalokasikan pendapatannya untuk ongkos transportasi. Hal ini diduga karena jarak rumah anak jalanan menuju jalanan cukup dekat sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Kebiasaan Makan Frekuensi Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kelebihan atau kekurangan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan (Almatsier 2006). Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuesi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu, maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada seseorang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang dengan kondisi ekonomi lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998). Kebiasaan makan anak jalanan merupakan frekuensi dan jenis pangan yang dikonsumsi anak jalanan serta bagaimana cara memperolehnya. Frekuensi pangan anak jalanan dikonversi ke dalam satuan bulan. Jenis pangan dikategorikan menjadi tujuh kategori yaitu 1) seralia, umbi dan hasil olahannya 2) daging, telur, ikan dan hasil olahannya 3) kacang-kacangan dan hasil olahannya 4) sayuran 5) buah-buahan 6) jajanan dan 7) serba-serbi. Cara anak jalanan memperoleh pangan dikategorikan menjadi enam yaitu dibeli, ditanam atau dipelihara sendiri, diberi, barter, dari alam (memancing, berburu) dan memulung. Tabel 9 Statistik konsumsi serealia, umbi dan hasil olahannya (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata sd 66,3 18,9 Beras 5,7 5,4 Jagung Singkong
5,1
7,7
Ubi jalar
5,2
7,1
Mie
3,1
7,6
Dalam penelitian ini sumber pangan karbohidrat terdiri atas beras, jagung, singkong, ubi jalar dan mie (Tabel 9). Beras merupakan pangan sumber
karbohidrat yang sering dikonsumsi anak jalanan. Rata-rata konsumsi beras anak jalanan adalah 2 kali/hari. Pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi dengan frekuensi tidak terlalu sering adalah jagung (5,7 kali/bulan), ubi jalar (5,2 kali/bulan), singkong (5,1 kali/bulan). Mie merupakan pangan yang jarang dikonsumsi yaitu 3,1 kali/bulan. Semua pangan sumber karbohidrat diperoleh dengan cara membeli. Tabel 10 Statistik konsumsi daging, telur, ikan dan hasil olahannya (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata sd 4,8 6,6 Daging ayam 1,3 7,8 Daging sapi 0,3 1,2 Daging kambing 2 3,5 Ikan laut 5,5 9,1 Ikan pindang 3,7 5,4 Ikan tawar 8,9 12,9 Ikan asin 13,4 14,5 Telur 6,3 8,9 Susu 0,8 3,2 Madu
Dalam penelitian ini sumber protein hewani terdiri atas daging ayam, daging sapi, daging kambing, ikan, telur, susu, dan madu (Tabel 10). Sumber protein hewani yang paling sering dikonsumsi anak jalanan adalah telur, ikan asin, susu, ikan pindang dan daging ayam. Pangan sumber protein hewani yang tidak terlalu sering dikonsumsi adalah ikan tawar dan ikan laut yaitu 3,7 dan 2 kali/bulan. Pangan sumber hewani hewani lain yaitu daging sapi dan kambing jarang dikonsumsi anak jalanan. Daging sapi dikonsumsi dengan frekuensi 1,3 kali/bulan sedangkan daging kambing 0,3 kali/bulan. Hampir semua pangan sumber protein hewani diperoleh anak jalanan dengan membeli kecuali daging sapi dan kambing. Hampir seluruh anak jalanan memperoleh daging sapi dan kambing dari pemberian pada saat Hari Raya Idul Adha. Dalam penelitian ini sumber protein nabati terdiri atas tahu, tempe, oncom, kacang tanah, buncis, kacang merah, jengkol dan petai (Tabel 11). Pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi anak jalanan adalah tahu dan tempe. Kacang tanah, buncis dan kacang merah tidak terlalu sering dikonsumsi oleh anak jalanan. Pangan yang jarang dikonsumsi adalah oncom, jengkol dan petai. Makanan-makanan ini dikonsumsi antara 1-3 kali/bulan. Semua pangan sumber protein nabati diperoleh anak jalanan dengan membeli.
Tabel 11 Statistik konsumsi kacang-kacangan dan hasil olahannya (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata sd 15,9 14,5 Tahu 14,8 12,3 Tempe 2,2 8,3 Oncom 7,2 13,9 Kacang tanah 4,9 6,5 Buncis 4,4 5,7 Kacang merah 3,3 9,7 Jengkol 1,3 4,4 Petai
Sayuran yang dikonsumsi anak jalanan cukup beragam yang terdiri atas 17 macam, antara lain bayam, kangkung, sawi, wortel kol, daun singkong dan lainlain (Tabel 12). Sayuran yang paling sering dikonsumsi adalah tomat dan selada. Sayuran yang tidak terlalu sering dikonsumsi adalah bayam, wortel, kol, daun singkong, kacang panjang, mentimun dan nangka muda. Semua sayuran yang dikonsumsi anak jalanan diperoleh dengan membeli. Tabel 12 Statistik konsumsi sayuran (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata 7,6 Bayam 8,5 Kangkung 3,6 Sawi 6,8 Wortel 7,5 Kol 4,2 Daun singkong 0,9 Daun papaya 12 Daun melinjo 6,5 Kacang panjang 13 Selada 3,8 Labu siam 11,3 Tomat 6,9 Mentimun 6,4 Nangka muda 0,9 Papaya muda 3,1 Terong 2,2 Melinjo
sd 9,1 12,1 6,1 7,0 13,1 7,5 4,1 3,0 14,5 3,6 5,7 15,3 16,3 14,2 2,1 7,1 5,1
Buah yang dikonsumsi anak jalanan adalah jambu, pepaya, mangga, nanas, pisang dan lain-lain (Tabel 13). Buah yang sering dikonsumsi diantaranya jambu, pepaya, mangga, nanas, pisang, nangka tua, rambutan dan jeruk. Namun buah yang paling sering dikonsumsi adalah rambutan (16,6 kali/bulan) dan jambu (13,7 kali/ bulan. Buah lainnya (semangka dan apel) hanya dikonsumsi 1,1 kali/bulan. Semua buah yang dikonsumsi anak jalanan diperoleh dengan membeli.
Tabel 13 Statistik konsumsi buah-buahan (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata sd 13,7 23,1 Jambu 6,2 8,7 Papaya 3,9 4,5 Mangga 2,4 6,0 Nanas 8,6 9,3 Pisang 3,9 7,2 Nangka tua 16,6 19,6 Rambutan 5,7 7,4 Jeruk 3,8 7,8 Salak 0,2 0,6 Durian 1,1 3,0 Lainnya
Makanan
jajanan
yang
dikonsumsi
anak
jalanan
cukup
banyak,
diantaranya bakso, siomay, pisang goreng, mi ayam, bakwan dan lain-lain (Tabel 14). Hampir semua makanan jajanan dikonsumsi dengan frekuensi sering dalam sebulan. Namun, makanan jajanan yang paling sering dikonsumsi adalah gorengan yaitu tahu goreng (21,2 kali/bulan), pisang goreng (19,9 kali/bulan) dan tempe goreng (19 kali/bulan). Makanan jajanan lainnya (batagor, minuman serbuk dan roti) dikonsumsi dengan frekuensi tidak terlalu sering (1,3 kali/bulan). Semua makanan jajanan yang dikonsumsi anak jalanan diperoleh dengan membeli. Tabel 14 Statistik konsumsi makanan jajanan (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata Sd 13,0 15,3 Bakso 7,8 12,3 Siomay 19,9 26,6 Pisang goreng 3,9 4,6 Mi ayam 14,8 26,8 Bakwan 21,2 26,9 Tahu goreng 19,0 25,6 Tempe goreng 1,3 7,9 Lainnya
Pangan lainnya yang dikonsumsi anak jalanan adalah gula, teh, kopi, saos, kerupuk, dan kecap (Tabel 15). Semua pangan lainnya sering dikonsumsi dalam sebulan. Pangan lainnya yang paling sering dikonsumsi adalah gula (18,6 kali/bulan), teh (13,6 kali/bulan) dan kerupuk (12,8 kali/bulan) sedangkan yang tidak terlalu sering dikonsumsi adalah saos dan kecap. Kopi jarang dikonsumsi anak jalanan dengan frekuensi 7,5 kali/bulan. Semua pangan lainnya diperoleh anak jalanan dengan membeli.
Tabel 15 Statistik konsumsi serba-serbi (kali/bulan) Sumber pangan Rata-rata Sd 18,6 32,1 Gula 13,6 19,0 Teh 7,5 23,4 Kopi 11,4 15,5 Saos 12,8 11,6 Kerupuk 9,0 11,3 Kecap
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Kusharto & Sa’adiyah 2006). Jenis pangan yang dikonsumsi anak jalanan terbilang cukup beragam walaupun ada yang dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Selain berasal dari makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari, anak jalanan memperoleh kebutuhan gizinya dari makanan jajanan. Tabel 16 menunjukkan bahwa kontribusi energi (50,1%), protein (24,9%) dan Fe (31,7%) terbesar berasal dari golongan serealia, umbi, hasil olahannya yaitu beras. Selain itu rata-rata konsumsi beras paling besar dibandingkan pangan yang lain. Rata-rata konsumsi protein hewani terbesar adalah telur sedangkan rata-rata konsumsi protein nabati terbesar adalah tahu. Sayuran yang paling banyak dikonsumsi adalah bayam sedangkan buah-buahan yang banyak dikonsumsi adalah rambutan. Rata-rata konsumsi vitamin A terbesar berasal dari sayuran yaitu 42,1 persen. Sumber vitamin A terbesar berasal dari sayur sawi. Rata-rata konsumsi vitamin C terbesar adalah minuman (48,8%) yang berasal dari minuman rasa buah. Makanan jajanan yang paling banyak dikonsumsi adalah pisang goreng sedangkan serba-serbi yang paling banyak dikonsumsi adalah kopi. Rata-rata konsumsi pangan, energi dan zat gizi tiap jenis pangan dapat dilihat pada lampiran 1.
Tabel 16 Rata-rata konsumsi pangan, energi dan zat gizi anak jalanan
Berat (g/kap/ hari)
En erg i (Ka l)
%
Prot ein (g)
%
F e ( m g)
Serealia, umbi dan hasil olahannya
461,2
96 2
58, 4
14,4
37 ,0
Daging, telur, ikan dan hasil olahannya
55,8
13 7
8,3
9,4
Kacang-kacangan dan hasil olahannya
73,8
15 6
9,5
Sayuran
37,3
12
Buah
44,4
Jajanan
%
Vit A (m g)
3, 8
31 ,7
24 ,2
1, 3
9,1
23 ,4
0,8
0,7
15
0,9
83,1
21 3
Serba-Serbi
16,4
Minuman
Total
Pangan
%
Vit C (m g)
%
4, 1
0,9
1,5
3,4
11 ,1
79 ,9
16, 7
0,3
0,7
3, 3
27 ,5
0
0,3
0,8
1, 7
0, 6
4, 8
0, 1 20 1, 8
42, 1
12, 8
28, 0
0,2
0, 5
0, 2
1, 4
66 ,1
13, 8
7,9
17, 3
13, 0
4,0
10 ,3
2, 4
20 ,3
0,5
0,5
1,0
44
2,6
0,9
2, 4
0, 4
3, 2
2, 6 12 5, 1
26, 1
0,0
0,0
79,8
10 7
6,5
0,2
38,9
0, 0 47 9, 6
48, 8
10 0,0
0, 0 10 0, 0
22, 3
16 46
0, 0 1 2, 1
0,0
851,6
0, 5 10 0, 0
10 0,0
45, 7
10 0,0
Tingkat Kecukupan Gizi Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) Tingkat kecukupan energi dan protein dibedakan menjadi empat cut off points menurut Departemen Kesehatan (1996) yaitu: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG) (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG) (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG) (4) normal (90-119% AKG) dan (5) kelebihan (≥120% AKG). Tabel 17 Statistik konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan Energi dan Protein Rata-Rata Energi Konsumsi (Kal/hari) 1640 Kecukupan (Kal/hari) 1871 Tingkat Kecukupan (%) 88 Protein Konsumsi (Kal/hari) Kecukupan (Kal/hari) Tingkat Kecukupan (%)
38,7 46,3 84
Sd 833,47 427,15 57,5 21,86 10,61 54,1
Rata-rata konsumsi energi anak jalanan adalah 1640 Kal sedangkan ratarata kecukupan energi anak jalanan adalah 1871 Kal. Jika rata-rata konsumsi dibandingkan dengan rata-rata kecukupan maka diperoleh rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG). Rata-rata tingkat kecukupan energi anak jalanan adalah 88 persen dan termasuk ke dalam kategori defisit tingkat ringan. Rata-rata konsumsi protein anak jalanan adalah 38,7 gram sedangkan rata-rata angka kecukupan protein anak jalanan 46,3 gram. Rata-rata tingkat kecukupan protein anak jalanan adalah 84 persen dan termasuk ke dalam kategori defisit tingkat ringan. Tabel 18 Sebaran anak jalanan berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein TKE TKP Kategori n % n % Defisit Tingkat Berat (<70% AKG) 19 37,3 23 45,1 Defisit Tingkat Sedang (70-79% AKG) 4 7,8 4 7,8 Defisit Tingkat Ringan (80-89% AKG) 6 11,8 4 7,8 Normal (90-119% AKG) 10 19,6 9 17,6 Lebih (≥120% AKG) 12 23,5 11 21,6 Total 51 100,0 51 100,0
Tabel 18 menunjukkan bahwa sebesar 37,3 persen tingkat kecukupan energi anak jalanan termasuk ke dalam kategori defisit tingkat berat. Persentase anak jalanan yang termasuk ke dalam kategori normal sebesar 9,6 persen dan
yang termasuk ke dalam kategori lebih sebesar 23,5 persen. Anak jalanan yang mengalami tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat diduga disebabkan frekuensi makan yang jarang. Menurut Sukandar (2007) frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi. Berdasarkan Tingkat Kecukupan Protein (TKP), hampir separuh anak jalanan (45,1%) termasuk ke dalam kategori defisit tingkat berat. Persentase anak jalanan yang termasuk ke dalam kategori normal sebesar 17,6 persen dan yang termasuk ke dalam kategori lebih sebesar 21,6 persen. Sumber protein yang banyak dikonsumsi anak jalanan adalah telur dan tahu. Menurut Almatsier (2006)
bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutu seperti susu, telur, daging, unggas dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan lain. Tingkat kecukupan protein anak jalanan yang termasuk ke dalam kategori defisit tingkat berat disebabkan pangan sumber protein yang dikonsumsi anak jalanan rendah walaupun mutu proteinnya baik. Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Klasifikasi tingkat kecukupan zat besi, vitamin A dan vitamin C menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG) dan (2) cukup (≥77% AKG). Ratarata konsumsi Fe, vitamin A dan vitamin C anak jalanan adalah 12 mg, 492,2 RE dan 45,6 mg. Angka kecukupan Fe, vitamin A dan vitamin C anak jalanan adalah 16,7 mg, 577,5 RE dan 61,3 mg. Rata-rata tingkat kecukupan Fe dan vitamin C anak jalanan termasuk ke dalam kategori kurang sedangkan rata-rata tingkat kecukupan vitamin A anak jalanan termasuk dalam kategori cukup. Tabel 19 Statistik konsumsi, kecukupan dan tingkat kecukupan Vitamin dan Mineral Rata-Rata Fe
Sd
Konsumsi (Kal/hari)
12,0
8,58
Kecukupan (Kal/hari)
16,7
5,27
72
79,5
492,2
657,57
577,5
43,95
85
115,4
Konsumsi (Kal/hari)
45,6
122,58
Kecukupan (Kal/hari)
61,3
16,12
74
270,7
Tingkat Kecukupan (%) Vitamin A Konsumsi (Kal/hari) Kecukupan (Kal/hari) Tingkat Kecukupan (%) Vitamin C
Tingkat Kecukupan (%)
Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak jalanan (70,6%) memiliki tingkat kecukupan Fe kurang. Hal ini karena konsumsi protein hewani anak jalanan rendah dan sumber pangan Fe anak jalanan terbesar berasal dari serealia. Menurut Almatsier (2006) sumber baik besi adalah makanan hewani, seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Pada umumnya besi di dalam daging, ayam dan ikan mempunyai ketersediaan biologi tinggi, besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologi sedang. Tabel 20 Sebaran anak jalanan berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral
Kategori Kurang (<77% AKG) Cukup (≥77% AKG) Total
TK Fe n % 36 70,6 15 29,4 51 100,0
TK Vit A n % 35 68,6 16 31,4 51 100,0
TK Vit C n 38 13 51
% 74,5 25,5 100,0
Lebih dari separuh anak jalanan memiliki tingkat kecukupan vitamin A dan C kurang (Tabel 20). Menurut Almatsier (2006) vitamin A terdapat di dalam pangan hewani sedangkan karoten terutama di dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam lemaknya) dan mentega. Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buahbuahan yang berwarna kuning jingga seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga, nangka masak dan jeruk. Vitamin C umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati yaitu sayur dan buah terutama yang asam seperti jeruk, nenas, rambutan, papaya, gandaria, dan tomat. Vitamin C juga banyak terdapat di sayuran daun-daunan dan jenis kol. Higiene Personal Higiene personal anak jalanan diukur dengan 13 pernyataan mengenai pemeliharaan kebersihan tubuh dan pakaian dalam kehidupan sehari-hari. Pemeliharaan personal tersebut meliputi kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi, cuci tangan, menggunting kuku, menggunakan alas kaki dan mengganti baju. Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah datangnya penyakit pada higiene personal (kesehatan peseorangan) diantaranya, mandi minimal dua kali sehari, menyikat gigi, pakaian yang bersih, olahraga, minuman yang direbus dan mencuci tangan sebelum memegang makanan. Higiene personal yang baik dapat membantu dalam pencegahan penyakit. Tabel 21 Sebaran higiene personal anak jalanan Higiene personal 1. Kebiasaan mandi 2. Kebiasaan menggunakan sabun mandi 3. Kebiasaan gosok gigi 4. Kebiasaan menggunakan pasta gigi 5. Kebiasaan keramas
Total
n 48
% 94,1
n 3
% 5,9
Tidak pernah n % 0 0
48
94,1
3
5,9
0
0
51
100
41
80,4
9
17,6
1
2
51
100
45
88,2
5
9,8
1
2
51
100
19
37,3
32
62,7
0
0
51
100
Sering
Jarang
n 51
% 100
6. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan air bersih 7. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun 8. Kebiasaan menggunting kuku 9. Kebiasaan menggunakan alas kaki 10. Kebiasaan menggunakan handuk sendiri 11. Kebiasaan menjemur handuk 12. Kebiasaan mencuci handuk 13. Kebiasaan mengganti baju
38
74,5
11
21,6
2
3,9
51
100
17
33,3
23
45,1
11
21,6
51
100
21
41,2
27
52,9
3
5,9
51
100
43
84,3
7
13,7
1
2
51
100
21
41,2
1
2
29
56,9
51
100
41 26 38
80,4 51 74,5
7 23 12
13,7 45,1 23,5
3 2 1
5,9 3,9 2
51 51 51
100 100 100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebesar 94,1 persen anak jalanan memiliki kebiasaan mandi minimal 2 kali sehari dan selalu mandi menggunakan sabun, 80,4 persen anak jalanan memiliki kebiasaan menggosok gigi minimal 2 kali sehari dan 88,2 persen anak jalanan selalu menggunakan pasta gigi. Menurut Rositawaty (2007), untuk memelihara gigi, gigi harus disikat minimal 2 kali sehari secara teratur sehingga kebersihan mulut akan terjaga. Hampir separuh anak jalanan (62,7%) jarang keramas sedangkan anak jalanan yang memiliki kebiasaan keramas hanya sebesar 37,3 persen. Lebih dari separuh anak jalanan (56,9%) tidak pernah menggunakan handuk milik sendiri. Anak jalanan biasanya menggunakan handuk bersamasama dengan anggota keluarga yang lain. Sebagian besar anak jalanan selalu menjemur handuknya setelah digunakan dan lebih dari separuh anak jalanan (51%) selalu mencuci handuknya. Sebagian besar anak jalanan sering mengganti baju 2 kali atau lebih dalam sehari (74,5%). Mandi dan mengganti pakaian secara teratur penting untuk kebersihan dan penampilan seseorang yang baik. Hal ini juga termasuk higiene pencegahan terhadap penyakit seperti skabies, cacing gelang, trakoma, konjungtivitis dan tifus (WHO 2008). Lebih dari separuh anak jalanan (74,5%) terbiasa mencuci tangan menggunakan air bersih tetapi hampir separuh anak jalanan (45,1%) jarang mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun. Menurut WHO (2008) mencuci tangan merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penyebaran penyakit diare. Sabun dan abu gosok merupakan pembersih dan desinfektan yang menggunakan air dapat digunakan untuk membunuh bakteri patogen pada tangan dan peralatan. Waktu yang paling penting dalam mencuci tangan adalah setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang buang air besar dan sebelum makan atau memegang makanan.
Lebih dari separuh anak jalanan (52,9%) jarang menggunting kuku minimal seminggu sekali. Anak jalanan menggunting kukunya bila merasa kukunya sudah kotor. Lebih dari separuh anak jalanan (84,3%) sering menggunakan alas kaki. Anak jalanan selalu menggunakan alas kaki setiap turun ke jalan. Tabel 22 Sebaran anak jalanan berdasarkan skor penilaian higiene personal Klasifikasi n % Rendah (11-16)
4
7,8
Sedang (17-21)
20
39,2
Tinggi (22-26)
27
52,9
Total
51
100,0
Klasifikasi skor penilaian higiene personal terdiri dari tiga kategori yaitu rendah (11-16), sedang (17-21) dan tinggi (22-26). Berdasarkan Tabel 22 sebesar 52,9 persen anak jalanan memiliki skor higiene personal tinggi dan 39,2 persen anak jalanan memiliki skor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak jalanan sudah menjaga kebersihan tubuh dan pakaian dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antar Variabel Hubungan Pola Kecukupan Gizi
Aktivitas
dengan
Konsumsi
Pangan
dan
Tingkat
Anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan dengan berbagai macam aktivitas. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah bekerja agar anak jalanan bisa memperoleh uang. Pekerjaan yang dilakukan anak jalanan untuk memperoleh uang diantaranya adalah berjualan, mengamen, menyemir sepatu, mengelap mobil, menyewakan payung, meminta-minta dan sebagainya. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara jenis pekerjaan yang dilakukan anak jalanan dengan tingkat kecukupan gizi. Durasi anak jalanan turun ke jalan merupakan waktu yang dihabiskan anak jalanan untuk beraktivitas di jalan dalam sehari. Sebagian besar anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan selama 4-8 jam dalam sehari. Waktu yang dihabiskan anak jalanan untuk turun ke jalan dalam sehari diduga akan menyebabkan pola makan yang tidak teratur sehingga berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak jalanan. Namun hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara durasi anak
jalanan berada di jalan dengan konsumsi dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi dan vitamin C anak jalanan. Tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dan durasi dengan tingkat kecukupan gizi anak jalanan karena sebagian besar anak jalanan menghabiskan waktu di jalan selama 4-8 jam sehingga anak jalanan masih dapat membagi waktu antara bekerja dan makan. Berbeda halnya dengan konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A anak jalanan. Hasil korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara durasi anak jalanan berada di jalan dengan konsumsi vitamin A (p<0,05, r=0,286) dan tingkat kecukupan vitamin A anak jalanan (p<0,05, r=0,282) tetapi hubungannya sangat lemah. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Status Gizi Pengukuran
status
gizi
anak
jalanan
dilakukan
dengan
metode
antropometri melalui perhitungan Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U). IMT/U digunakan untuk anak yang berumur 5-19 tahun. Berdasarkan perhitungan IMT/U sebagian besar anak jalanan memiliki status gizi normal (96,1%) dan tidak terdapat anak jalanan yang berstatus gizi lebih atau gemuk. Tabel 23 Sebaran anak jalanan berdasarkan status gizi Klasifikasi n % Kurus
2
3,9
Normal
49
96,1
Total
51
100,0
Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi dan zat gizi (p>0,05) dengan status gizi anak jalanan. Hal ini diduga karena sebagian besar status gizi anak jalanan tersebar pada status gizi normal. Konsumsi pangan yang cukup akan membuat keadaan gizi seseorang baik. Konsumsi pangan pada penelitian ini
tidak mencerminkan keseluruhan
gambaran status gizi saat ini secara langsung sebab status gizi merupakan akibat dari konsumsi sebelumnya. Konsumsi pangan hanya gambaran bukti sementara dari tingkat kecukupan seseorang dan merupakan konsumsi pada saat diteliti (Roedjito 1989). Pada penelitian ini recall yang dilakukan adalah 1x24 jam sehingga diduga memberikan hasil yang kurang representatif. Menurut Supariasa et al. (2001) apabila recall hanya dilakukan 1x24 jam maka data yang diperoleh kurang
representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Kelemahan recall 1x24 jam adalah tidak dapat menggambarkan asupan makan sehari-hari sedangkan kelebihan dari recall 1x24 jam adalah mudah, murah, cepat serta tidak membebani responden. Hubungan Higiene Personal dengan Status Kesehatan Selain menghadapi masalah gizi, anak jalanan juga beresiko mengalami gangguan kesehatan. Kelompok anak jalanan merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah kesehatan. Masalah penyakit yang banyak terjadi adalah penyakit saluran pernafasan, penyakit kulit, gangguan pencernaan, gangguan kepala dan telinga (Sekartini et al. 2004). Pada penelitian ini penyakit yang diderita hanya dibatasi pada penyakit ISPA, diare dan penyakit kulit. Selain pada anak jalanan, prevalensi penyakit ISPA dan diare masih menjadi prioritas pada program pengendalian penyakit. Penyakit ISPA dan diare masih banyak diderita oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat miskin, pendidikan rendah dan banyak tinggal di pedesaan. Prevalensi penyakit ISPA dan diare di Kota Bandung adalah 11,9 persen dan 5,3 persen (Riskesdas 2007). Tabel 24 Sebaran anak jalanan berdasarkan penyakit Penyakit n ISPA Diare Penyakit kulit
Ada Tidak Ada Tidak Ada Tidak
19 32 12 39 9 42
% 37,3 62,7 23,5 76,5 17,6 82,4
Penyakit ISPA yang diderita anak jalanan antara lain flu, tonsillitis dan faringitis sedangkan diare yang banyak diderita anak jalanan adalah diare akut. Jenis penyakit kulit yang diderita anak jalanan antara lain tinea dan dermatitis. Namun berdasarkan Tabel 24 sebagian besar anak jalanan memiliki status kesehatan yang baik. Lebih dari separuh anak jalanan tidak memiliki gangguan penyakit ISPA (62,7%), diare (76,5%) dan penyakit kulit (82,4%). Menurut Widyati & Yuliarsih (2002) higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Higiene personal yang baik dapat mencegah timbulnya penyakit diantaranya penyakit infeksi. Apabila dilihat dari setiap komponen higiene personal, terdapat hubungan yang signifikan negatif (p<0,05, r= -0,294) antara kebiasaan mencuci tangan
menggunakan sabun dengan diare. Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering mencuci tangan menggunakan sabun maka kejadian diare semakin rendah. Menurut Rositawaty (2007) hal termudah untuk menghindari penyakit diare dan muntaber adalah dengan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, setelah buang air besar dan kecil ataupun menyeka lendir ketika terserang flu. Tabel 25 Sebaran anak jalanan berdasarkan status kesehatan dan higiene personal Status Kesehatan Higiene Personal n % n % ISPA Normal Rendah (11-16) 2 3,9 2 3,9 Sedang (17-21)
9
17,6
11
21,6
Tinggi (22-26)
8
15,7
19
37,3
19
37,3
32
62,7
Total
p>0,05 Rendah (11-16)
Diare 1
Sedang (17-21)
4
7,8
16
31,4
Tinggi (22-26)
7
13,7
20
39,2
12
23,5
39
76,5
Total
2
Normal 3
5,9
p>0,05 Rendah (11-16)
Penyakit Kulit 0
0
Normal 4
7,8
Sedang (17-21)
4
7,8
16
31,4
Tinggi (22-26)
5
9,8
22
43,1
Total
9
17,6
42
82,4
p>0,05
Berdasarkan Tabel 25 anak jalanan yang menderita ISPA sebagian besar memiliki higiene personal sedang (17,6%). Anak jalanan yang menderita diare dan penyakit kulit sebagian besar memiliki higiene personal tinggi (13,7% dan 9,8%). Hal ini menunjukkan bahwa higiene personal yang baik belum tentu diikuti dengan semakin baiknya kesehatan seseorang. Selain itu, hasil korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05) antara higiene personal anak jalanan dengan status kesehatan anak jalanan (ISPA, diare dan penyakit kulit). Keadaan demikian diduga karena lingkungan tempat tinggal anak jalanan yang kurang sehat. Kondisi lingkungan rumah berpengaruh terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Semakin buruk kondisi lingkungan rumah maka status kesehatan penghuninya semakin menurun (Entjang 2000). Perilaku yang sehat tidak cukup