5
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Daerah Aliran sungai (DAS) Ciujung terletak di provinsi Banten. Terbagi menjadi sub DAS Ciujung Hulu, Ciujung Tengah, dan Ciujung Hilir. Secara geografis DAS Ciujung berbatasan dengan dengan sub DAS Cisimeut di sebelah barat, DAS Cilaman di sebelah timur, sub DAS Ciujung tengah di sebelah utara dan DAS Cimandur disebelah selatan. DAS Ciujung memiliki luas sekitar 1850 km2 dengan panjang sungai 142 kilometer . DAS Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut dan Gunung Karang ke Laut Jawa dengan melewati kabupaten Lebak dan kabupaten Serang. Sub DAS Ciujung Hulu mempunyai tiga anak sungai utama yaitu sungai Ciujung Hulu, sungai Ciberang, dan sungai Cisimeut dengan pertemuan di daerah Kota Rangkasbitung. Lokasi penelitian meliputi semua bagian DAS Ciujung yang meliputi kabupaten Bogor, Serang, Lebak, Pandeglang, dan Kota Serang. Kabupaten Bogor meliputi kecamatan Jasinga (desa Cileuksa). Kabupaten Lebak meliputi (desa Jatimulya dan Lebakgedong). Kabupaten Pandeglang meliputi Kecamatan Pandeglang Desa Sukaratu. Kabupaten Serang meliputi Kecamatan Petir Desa Kadugenep. Kota Serang meliputi Kecamatan Ciruas Desa Kaserangan. Semua lokasi penelitian memiliki topografi yang cenderung datar.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di DAS Ciujung
6
Penggunaan lahan di lokasi penelitian meliputi hutan dan kebun campuran dengan vegetasi berupa tanaman tahunan seperti Jati, Jabon, Albasia, Afrika, Rambutan, Duren dan Kelapa. Jenis tanah di lokasi penelitian sebagian besar adalah latosol. Latosol Coklat Kemerahan Banten termasuk ke dalam order (ordo) Inceptisol, suborder Udepts, greatgroup Dystrudepts, subgrup Typic Dystrudepts menurut sistem klasifikasi USDA 2010. Tanah Latosol ini terbentuk dari bahan induk tuf volkan, pada topografi berombak hingga bergunung pada ketinggian 10 1000 m dpl dengan vegetasi utama hutan tropis. Menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957) tanah Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi terjadi di bawah pengaruh curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropik dimana gaya-gaya hancuran bekerja lebih cepat dan pengaruhnya lebih ekstrim daripada daerah dengan curah hujan dan suhu sedang. Deskripsi Penggunaan Lahan Hutan Tanaman Hutan tanaman merupakan kawasan yang sengaja ditumbuhi oleh tanaman berkayu yang biasanya berumur lebih dari sepuluh tahun dan tanaman lainnya dengan penggunaan lahan yang tidak berubah. Lokasi penelitian dengan penggunaan lahan berupa hutan tanaman berada di lokasi Lebakgedong dan Cileuksa, yang didominasi oleh pohon Maesopsis eminii atau lebih dikenal dengan pohon Afrika dan pohon Albizia chinensis yang lebih dikenal dengan pohon Sengon dengan tutupan lantai hutan yang sangat rapat. Tanaman penutup tanah didominasi oleh semak dan rerumputan yang sangat rapat yang dapat menghasilkan bahan organik lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya. Hal ini menyebabkan aliran air mudah masuk ke dalam tanah dikarenakan pori yang terbentuk oleh perakaran serta aktivitas organisme tanah. Selain itu kapasitas tanah dalam menampung air akan meningkat sehingga kehilangan air akibat aliran permukaan dapat dikurangi.
Gambar 2 Penggunaan lahan hutan tanaman
7
Yanrilla (2001) mengemukakan bahwa laju infiltrasi hutan lebih tinggi dibandingkan dengan laju infiltrasi pada penggunaan lahan semak dan lahan pertanian. Hal ini dikarenakan hutan tidak mengalami pengolahan tanah. Sehingga tidak terjadi pemadatan tanah, tanah hutan cenderung memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi, bobot isi yang lebih rendah dan struktur serta agregat tanah yang lebih stabil. Sofyan (2006) juga menyatakan bahwa laju infiltrasi tanah hutan lebih tinggi daripada laju infiltrasi tanah pada lahan tegalan dan lahan kebun campuran. Kandungan bahan organik dan jumlah pori makro yang tinggi menjadi faktor utama tingginya laju infiltrasi lahan hutan dibandingkan laju infiltrasi lahan tegalan maupun lahan agrofrestry. Kebun Campuran Rapat Kebun campuran adalah kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dengan minimal satu jenis tanaman berkayu. Beberapa tanaman jenis lain, berupa tanaman tahunan dan atau tanaman setahun yang tumbuh sendiri maupun ditanam (Martini et al 2010). Kebun campuran rapat merupakan pengelompokkan dari dua lokasi kebun campuran dengan tingkat kerapatan pohon dan tanaman penutup tanah yang cukup rapat. Lokasi penggunaan lahan ini berada di desa Jatimulya dan Kadugenep. Adapun tanamannya terdiri dari pohon Jabon, Bambu, Kakao, Kecapi, Rambutan, Duren, dan Pisang dengan tanaman penutup tanah berupa rumput – rumputan dan tanaman Harendong. Umur tanaman pada penggunaan lahan kebun campuran rapat berkisar antara 2 – 8 tahun. Pada kebun campuran rapat masih terjadi gangguan aktivitas manusia tetapi relatif lebih sedikit sehingga tanah tidak mengalami pemadatan yang signifikan. Dengan rapatnya tanaman menghasilkan serasah yang banyak yang mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam meresapkan air.
Gambar 3 Penggunaan lahan kebun campuran rapat Menurut Sofyan (2006) lahan tegalan dan lahan kebun campuran mengalami proses pengolahan tanah. Namun pengolahan tanah pada lahan tegalan lebih intensif daripada pengolahan tanah pada lahan kebun campuran sehingga laju infiltrasi pada lahan kebun campuran lebih tinggi daripada laju infiltrasi lahan tegalan. Hal ini membuktikan bahwa pada penggunaan lahan yang berbeda
8
memiliki laju infiltrasi yang berbeda pula. Dimana penggunan lahan sangat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi. Kebun Campuran Tidak Rapat Penggunaan lahan kebun campuran tidak rapat merupakan pengelompokan dari dua kebun campuran yang tersebar di desa Kaserangan dan Sukaratu. Pengelompokkan berdasarkan pada kerapatan vegetasi dan kerapatan tanaman bawah. Tanaman yang ada di lokasi ini yaitu pohon Jati, Albasia, Kelapa, Kecapi dan Rambutan. Sedangkan tanaman penutup tanahnya berupa rerumputan dan tanaman semak seperti Harendong. Umur tanaman pada penggunaan lahan kebun campuran tidak rapat berkisar antara 2 – 10 tahun.
Gambar 4 Penggunaan lahan kebun campuran tidak rapat Banyaknya aktivitas manusia yang melewati kebun ini menyebabkan tanah mengalami pemadatan. Hal ini didukung dengan bahan organik yang sedikit akibat kurang rapatnya tanaman penutup tanah serta sedikitnya serasah yang dihasilkan, sehingga kemampuan tanah dalam meresapkan air sangat rendah. Sifat Fisik Kimia Tanah Penggunaan lahan yang berbeda akan menghasilkan karakteristik sifat fisik dan kimia tanah yang berbeda pula. Penggunaan lahan berpengaruh terhadap jumlah bahan organik terkait dengan banyaknya sisa tanaman yang dapat disumbangkan melalui pelapukan batang, ranting, bunga dan daun yang jatuh ke permukaan tanah (Arsyad 2010). Bahan organik yang dihasilkan tersebut turut mempengaruhi pembentukan sifat fisik dan kimia tanah. Dari hasil análisis di laboratorium diperoleh data sifat fisik kimia tanah dilokasi penelitian dengan berbagai penggunaan lahan. Tanah pada penggunaan lahan HT memiliki C- organik serta ISA (indeks stabilitas agregat) yang paling tinggi dibandingkan dengan KCR dan KCTR. Hal ini dikarenakan HT memiliki karapatan tanaman yang paling tinggi sehingga menghasilkan serasah lebih banyak. Poerwowidodo (1984), mengemukakan bahwa salah satu peranan penting dari bahan organik tanah adalah dalam
9
perbaikan struktur tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat mengakibatkan penurunan bobot isi tanah, peningkatan ruang pori total, ruang pori drainase cepat serta ruang pori drainase lambat. Tanah dengan kandungan bahan organik yang lebih tinggi akan menghasilkan proses agregasi tanah yang lebih baik, dimana semakin baik agregasi tanah tersebut maka ruang pori total tanah juga akan semakin meningkat, sehingga air akan lebih mudah terinfiltrasi dan laju infiltrasi akan semakin tinggi (Tabel 4). Kandungan bahan organik yang tinggi juga mampu membentuk agregat - agregat tanah yang lebih stabil sehingga partikel tanah tidak mudah hancur oleh air. Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Tabel 4 Sifat fisik kimia tanah pada setiap penggunaan lahan
Penggunaan Lahan
C -organik (%)
Sifat - sifat tanah Kadar Kadar Kadar pasir debu klei (%) (%) (%)
Hutan Sekunder (HS) 3,9 8,9 2,2 22,7 Kebun Campuran Rapat (KCR) Kebun Campuran Tidak Rapat 1,1 24,3 (KCTR) Keterangan : KA : Kadar air, ISA : Indeks Stabilitas Agregat
ISA
16,3 21,5
74,9 55,9
1656,4 560,4
42,3
33,4
262,3
Kelas stabilitas agregat tanah pada penggunaan lahan ketiganya tergolong sangat stabil sekali (Tabel 2). Pratiwi (2012) menyatakan bahwa semakin stabil agregat tanah semakin meningkatkan laju infiltrasi, hal ini karena tanah dengan agregat yang stabil tidak mudah hancur oleh air sehingga pori tanah tidak mudah tertutup oleh agregat tanah yang hancur, dengan begitu pori tanah tetap mudah dilewati oleh air. Agregat tanah juga memiliki peranan penting dalam menentukan jumlah dan distribusi ruang pori tanah, yang berkaitan dengan kerentanan agregat terhadap erosi angin dan air (Baver et al 1972). Menurut Haridjadja (1980) tekstur tanah adalah distribusi besar butir-butir tanah atau perbandingan secara relatif dari besar butir-butir tanah. Butir-butir tersebut adalah pasir, debu dan klei. Gabungan dari ketiga fraksi tersebut dinyatakan dalam persen dan disebut sebagai kelas tekstur. Kelas tekstur tanah pada ketiga penggunaan lahan tersebut tergolong kedalam kelas tekstur klei. Menurut Herlina (2003) tanah dengan kandungan klei yang tinggi memiliki laju infiltrasi yang lebih lambat, terutama bila tidak memiliki agregasi yang baik. Data distribusi ruang pori dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai distribusi ruang pori pada setiap penggunaan lahan Penggunaan Lahan Hutan Sekunder (HS)
RPT 73,5
Distribusi ruang pori PDSC PDC PDL 18,4
6,8
3,7
PPA
PM
20,4
28,9
Kebun Campuran Rapat (KCR) 56,6 5,0 2,6 4,2 28,8 11,8 Kebun Campuran Tidak Rapat 51,5 2,1 11,3 2,3 25,4 15,6 (KCTR) Keterangan : RPT : Ruang pori total, PDC : Pori drainase cepat, PDSC : Pori drainase sangat cepat, PDL : Pori drainase lambat, PPA : Pori pemegang air, PM : Pori makro.
10
Ruang pori total (RPT) tanah merupakan bagian tanah yang ditempati oleh air dan udara (Soepardi, 1983). RPT tanah dihitung berdasarkan penetapan bobot isi dan bobot jenis partikel tanah (Hiller 1971). RPT terdiri dari pori drainase (PD) atau pori makro (PM), pori air tersedia (PAT), dan pori pemegang air (PPA) atau disebut juga pori higroskopis. Pori drainase dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu (1) Pori Drainase Sangat Cepat (PDSC) adalah pori yang berukuran ≥ 300 μm dan akan kosong (tidak mengandung air) pada tekanan 10 cm (pF 1), (2) Pori Drainase Cepat (PDC) adalah pori yang berukuran antara 300-30 μm dan akan kosong antara tekanan 10 cm (pF 1) dan tekanan 100 cm (pF 2), dan (3) Pori Drainase Lambat (PDL) adalah pori yang berukuran antara 30-9 μm dan akan kosong pada tekanan 100 cm (pF 2) dan tekanan sekitar 1/3 atmosfer atau 330 cm (pF 2.54) (Sitorus et al 1981). Sedangkan Menurut Hardjowigeno (2003) pori tanah terbagi menjadi dua yaitu pori makro dan pori mikro. Dimana pori makro berisi udara atau air gravitasi, sedangkan pori mikro berisi udara serta air kapiler dan air higroskopis. Tanah pada penggunaan lahan HT memiliki jumlah pori drainase sangat cepat (PDSC) dan pori makro (PM) yang paling tinggi dibandingkan dengan KCR dan KCTR. Menurut Arsyad (2010) pori yang berukuran besar adalah pori yang paling berpengaruh untuk infiltrasi tanah. Meskipun pada HT memiliki kadar pasir dan debu yang paling sedikit namun HT memiliki agregasi tanah yang baik yang mampu mempentuk pori lebih tinggi dan lebih beragam. Foth (1984) menyatakan bahwa keadaan pori dan kandungan air merupakan faktor terpenting yang menentukan infiltrasi dan jumlah aliran permukaan. Sedangkan menurut Arsyad (2010) Asdak (2002) Mashall and Holmes (1988) tanah yang memiliki kontinuitas pori tanah yang baik akan memiliki laju infiltrasi yang cepat. Keragaan Infiltrasi Infiltrasi adalah proses masuknya air kedalam tanah yang biasanya melalui permukaan tanah (Arsyad 2010). Laju infiltrasi adalah kecepatan masuknya air ke dalam tanah sedangkan kapasitas infiltrasi adalah laju maksimum gerakan air masuk ke dalam tanah (Seyhan 1990). Laju infiltrasi bervariasi sesuai dengan penggunaan lahan. Laju infiltrasi awal tertinggi pada penggunaan lahan HT kemudian KCR dan KCTR. Begitupun laju infiltrasi pada menit ke – 15, menit ke – 30, dan laju infiltrasi konstan. Laju infiltrasi pada berbagai penggunaan lahan turut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah. Pada penggunaan lahan HT memiliki porositas tanah (73,5%) dan pori makro (28,9%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan KCR dan KCTR. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya bahan organik pada HT sehingga aktivitas organisme tanah juga turut meningkat sehingga kontinuitas pori tanah lebih stabil. Berbeda dengan HT, KCR dan KCTR yang mengalami lebih banyak pengaruh aktivitas manusia yang menyebabkan pemadatan tanah sehingga porositas tanah menjadi lebih rendah yaitu sebesar (56,6%) pada KCR dan (51,5%) pada KCTR. Dibandingkan KCTR, KCR memiliki laju infiltrasi konstan yang lebih tinggi dikarenakan tanaman penutup tanahnya jauh lebih rapat dibandingkan dengan KCTR sehingga pembentukan pori tanah oleh aktivitas perakaran juga tinggi. Adapun kurva infiltrasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Laju Infiltrasi (cm jam-1)
11
Hutan Tanaman
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
f = 30 + (54,66)e-3,473t R2= 0,78
f = 16,8 + (44,84)e-1,520t R2= 0,88
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
Waktu (jam) CS Lapang LG Horton
LG Lapang
CS Horton
Kebun Campuran Rapat Laju Infiltrasi (cm jam-1)
70
f = 12 + (15,565)e-1,210t R2= 0,74
60 50
f = 14,4 + (21,20)e-1,389t R2= 0,67
40 30 20 10 0 0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
Waktu (jam) KG Lapang
JM Lapang
KG Horton
JM Horton
Laju Infiltrasi (cm jam-1)
Kebun Campuran Tidak Rapat 60,0
f= 9,6 + (16,41)e-3,252t R2 = 0,50
50,0 40,0
f = 2,4 + (3,86)e-1,270t R2 = 0,63
30,0 20,0 10,0 0,0 0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
Waktu (jam) SR Lapang
KS Lapang
SR Horton
KS Horton
Keterangan : LG : Lebakgedong, CS : Cileuksa, KG : Kadugenep, JM : Jatimulya, KS : Kaserangan, SR : Sukaratu, Lapang : Laju infiltrasi lapang, Horton : laju infiltrasi hasil persamaan Horton.
Gambar 5 Laju infiltrasi pada setiap penggunaan lahan
12
Pada penggunaan lahan KCR dan KCTR memiliki laju infiltrasi lebih rendah karena kerapatan tanaman penutup tanah yang semakin berkurang, hal ini menyebabkan air hujan lebih cepat bahkan langsung mengenai permukaan tanah, sehingga menyebabkan pemadatan tanah dan aliran permukaan yang lebih besar. Hal ini terjadi karena tertutupnya pori – pori pada agregat tanah oleh butir primer tanah yang terdispersi karena pukulan butir hujan. Oleh karena itu agar tanah tetap memiliki laju infiltrasi yang baik maka sebaiknya tanah tetap dalam kondisi tertutup vegetasi sehingga air mudah meresap kedalam tanah dan mampu meningkatkan cadangan air bawah tanah, serta turut mencegah banjir pada musim hujan dan kekeringan dimusim kemarau. Kurva infiltrasi di atas dibuat dari penggabungan antara kurva infiltrasi lapang dan kurva hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan Horton. Dari gambar kurva tersebut terlihat bahwa laju infiltrasi hasil analisis dengan model Horton memiliki korelasi yang positif dengan laju infiltrasi lapang. Hal ini terlihat dari nilai R2 yang bervariasi dan lebih besar atau sama dengan 0,5. Oleh karena itu model Horton sesuai digunakan untuk memprediksi laju infiltrasi tanah pada penggunaan lahan hutan tanaman (HT), kebun campuran rapat (KCR) dan kebun campuran tidak rapat (KCTR) di DAS Ciujung. Dari kurva hasil perhitungan Horton yang diperoleh menunjukkan bahwa laju infiltrasi Horton tidak jauh berbeda dengan laju infiltrasi di lapangan. Namun pada penggunaan lahan KCTR memiliki nilai R2 yang paling rendah dibandingkan dengan HT dan KCR khususnya di desa Sukaratu. Hal ini disebabkan karena pada penggunaan lahan KCTR memiliki nilai indeks stabilitas agregat paling rendah sehingga partikel tanah mudah hancur ketika terkena air, hancuran tanah tersebut menyebabkan terjadinya penyumbatan pori tanah sehingga laju infiltrasi di lapangan lebih berfluktuatif dan tidak stabil. Menurut klasifikasi Kohnke (1968) laju infiltrasi konstan pada HT dan KCR termasuk kedalam kelas cepat. Pada KCTR laju infiltrasi konstan termasuk kelas sedang hingga cepat. Dari ketiga penggunaan lahan tersebut terlihat bahwa HT memiliki laju infiltrasi yang paling tinggi dari awal (75 cm jam-1) hingga konstan (23,4 cm jam-1) dan paling stabil dibandingkan dengan KCR dan KCTR. Pada penggunaan lahan KCR terlihat laju infiltrasi konstan lebih tinggi daripada KCTR. Hal ini dipengaruhi oleh nilai indeks stabilitas agregat (ISA), dimana pada KCR memiliki nilai ISA yang lebih tinggi (560,4) dibandingkan pada KCTR (262,3). Semakin stabil agregat tanah akan menghasilkan kontinyuitas pori yang stabil pula dimana pori tanah tidak mudah hancur dan tertutup oleh tanah sehingga kapasitas infiltrasi tanah menjadi lebih besar. Laju Infiltrasi Awal Laju infiltrasi awal (t = 0.016 jam) tertinggi pada penggunaan lahan HT. Meskipun memiliki kadar air awal yang lebih tinggi (67,3%) dibandingkan penggunaan lahan lainnya tetapi HT memiliki porositas (73,5%) serta pori makro (24,3%) yang lebih tinggi sehingga mempermudah air masuk kedalam tanah. Arsyad (2010) mengemukakan bahwa selain dipengaruhi oleh kelembaban tanah laju infiltrasi juga turut dipengaruhi oleh ukuran pori tanah, dimana semakin besar ukuran pori maka air akan mudah masuk kedalam tanah. Penggunaan lahan KCR memiliki laju infiltrasi awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan KCTR. Faktor yang lebih mempengaruhi laju infiltrasi awal
13
Laju Infiltrasi (cm jam-1)
pada KCR dan KCTR yaitu kadar air tanah awal. KCR memiliki kadar air tanah awal yang lebih rendah (43,05%) dibandingkan dengan KCTR (47,85%). Kadar air tanah awal yang rendah dapat menyebabkan hisapan matriks yang menyebabkan air akan masuk ke dalam tanah lebih cepat atau lebih banyak, sehingga tanah – tanah yang lebih kering memiliki kemampuan menarik dan memasukkan air lebih besar (Arstad 2010). Sedangkan PDSC mampu mempercepat laju infiltrasi karena memiliki ukuran pori yang lebih besar sehingga lebih mudah dilalui air. Grafik laju infiltrasi awal dapat dilihat pada Gambar 6. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
75 a
45 ab 24 b
Hutan Tanaman
Kebun Campuran Rapat
Kebun Campuran Tidak Rapat
Gambar 6 Laju infiltrasi awal pada setiap penggunaan lahan Berdasarkan hasil análisis ANOVA menunjukkan bahwa laju infiltrasi awal tidak berbeda nyata pada penggunaan lahan HT dan KCR, sedangkan HT dengan KCTR memiliki nilai yang berbeda nyata , begitupun dengan KCR dan KCTR memiliki nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf (p<0,05). Laju Infiltrasi Menit Ke – 15 dan Menit Ke - 30 Berdasarkan data laju infiltrasi pada menit ke – 15 pada penggunaan lahan HT memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya, disusul oleh KCR kemudian KCTR. Hal ini karena laju infiltrasi pada menit ke – 15 masih dipengaruhi oleh jumlah pori makro yang belum seluruhnya terisi air sehingga laju infiltrasi masih sangat cepat. Laju infiltrasi pada menit ke – 15 nyata dipengaruhi jumlah pori makro khususnya pori drainase sangat cepat (PDSC). Hal ini karena pori drainase sangat cepat (PDSC) memiliki ukuran pori besar yang mempermudah air masuk kedalam tanah. Serta sangat nyata dipengaruhi oleh laju infiltrasi awal, dimana semakin tinggi laju infiltrasi awal maka laju infiltrasi pada menit ke 15 juga akan tinggi. Demikian juga laju infiltrasi pada menit ke – 30 dimana penggunaan lahan HT memiliki laju infiltrasi yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Hal ini karena HT memiliki ruang pori total (RPT) dan pori drainase sangat cepat (PDSC) yang lebih tinggi daripada KCR dan KCTR sehingga tanah pada HT mampu meresapkan air lebih banyak dibandingkan dengan KCR dan KCTR. Hal ini sesuai dengan analisis statistik dimana laju infiltrasi pada menit ke – 30 juga sangat nyata dipengaruhi oleh pori drainase sangat cepat (PDSC). Grafik laju infiltrasi pada menit ke – 15 dan menit ke – 30 dapat di lihat pada Gambar 7.
14
Laju Infiltrasi (cm jam-1)
60
51 a
50 34 a
40 30
23 ab
21 ab 14 b
20
7,2 b
10 0 Hutan Tanaman
Kebun Campuran Rapat
Laju menit ke - 15
Kebun Campuran Tidak Rapat
Laju menit ke - 30
Gambar 7 Laju infiltrasi menit ke – 15 dan menit ke - 30 pada setiap penggunaan lahan Laju infiltrasi pada menit ke-15 dan menit ke – 30 juga nyata dipengaruhi oleh sifat fisik kimia tanah lainnya yaitu, kadar C-organik, ruang pori total (RPT), dan indeks stabilitas agregat (ISA). Semakin tinggi C-organik tanah maka aktivitas perakaran serta organisme tanah akan semakin meningkat. Aktivitas tersebut mampu meningkatkan pori tanah sehingga daya jerap tanah dan kemampuan tanah dalam melalukan air akan lebih cepat. Sedangkan nilai indeks stabilitas agregat (ISA) yang tinggi menandakan bahwa tanah memiliki agregat yang stabil yang menyebabkan tanah tidak mudah hancur ketika terkena air, sehingga tidak terjadi penyumbatan pori akibat hancurnya agregat tanah. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Analisi statistika antara laju infiltrasi menit ke - 15 dan menit ke - 30 dengan sifat - sifat tanah Variabel terikat
Laju Infiltrasi menit ke - 15 (cm jam-1)
Laju Infiltrasi menit ke – 30 (cm jam-1)
Variabel bebas
R
R2
P
y
RPT
0,63
0,40
0,0378
y = -72.27 + 1.58*x
C – Organik (%)
0,77
0,59
0,0056
y = -11.94 + 14.91*x
ISA
0,68
0,47
0,0204
y = -1.69 + 0.03*x
PDSC
0,82
0,68
0,0018
y = 4.67 + 2.62*x
Pori makro
0,66
0,43
0,0278
y = -12.46 + 2.04*x
RPT
0,60
0,36
0,053
y = -43.84 + 1.01*x
C – Organik (%)
0,74
0,55
0,0094
y = -5.62 + 9.67*x
ISA
0,64
0,41
0,0342
y = 1.39 + 0.02*x
0,76 0,58 0,0065 y = 5.55 + 1.63*x PDSC Keterangan : RPT : Ruang pori total, ISA : Indeks stabilitas agregat, PDSC : Pori drainase sangat cepat.
Dari hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa laju infiltrasi pada menit ke – 15 dan menit ke - 30 pada penggunaan HT tidak berbeda nyata dengan KCR namun berbeda nyata dengan KCTR. Tabel pada Lampiran.
15
Laju Infiltrasi Konstan Laju infiltrasi konstan disebut juga kapasitas infiltrasi yaitu laju maksimum infiltrasi pada suatu tanah (Arsyad 2010). Hasil análisis laju infiltrasi konstan pada penggunaan lahan HT memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada KCR dan KCTR, diikuti oleh KCR dan KCTR. Menurut klasifikasi Kohnke (1968) pada HT dan KCR memiliki laju infiltrasi konstan yang tergolong cepat sedangkan pada KCTR tergolong sedang sampai cepat. Adapun data laju infiltrasi konstan pada setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Laju infiltrasi konstan rata – rata pada berbagai penggunaan lahan
Penggunaan Lahan
Laju Infiltrasi Konstan (cm jam-1)
Kelas Infiltrasi
Hutan Tanaman (HT) Kebun Campuran Rapat (KCR) Kebun Campuran Tidak Rapat (KCTR)
23,4 a 13,2 a 6,0 a
Cepat Cepat Sedang – cepat
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada (p<0,05).
Tanah kering akan memiliki daya hisap air yang lebih tinggi dibandingkan tanah yang lembab (Arsyad 2010). Pada saat laju infiltrasi telah konstan kondisi tanah sudah sangat lembab sehingga laju infiltrasi lebih dipengaruhi oleh ruang pori tanah dan indeks stabilitas agregat (ISA). Adapun grafik laju infiltrasi konstan dapat dilihat pada Gambar 8.
Laju Iniltrasi (cm jam-1)
25
23,4 a
20 13,2 a
15 10
6,0 a
5 0 Hutan Tanaman
Kebun Campuran Kebun Campuran Rapat Tidak Rapat
Gambar 8 Laju infiltrasi konstan pada setiap penggunaan lahan Sifat fisik kimia yang nyata mempengaruhi laju infiltrasi konstan adalah kadar C-organik, indeks stabilitas agregat (ISA), ruang pori tanah, kadar pasir dan debu, serta kadar klei. Laju infiltrasi konstan dengan C – organik, indeks stabilitas agregat (ISA), ruang pori total (RPT) dan kadar klei memiliki korelasi yang positif, semakin tinggi C-organik akan meningkatkan agregasi oleh aktivitas perakaran dan organisme tanah yang akhirnya akan menghasilkan ruang pori tanah yang semakin tinggi sehingga mempermudah masuknya air ke dalam tanah. Pengaruh klei pada laju infiltrasi konstan terjadi karena pada saat laju infiltrasi telah konstan pori berukuran besar telah jenuh air sehingga air yang masuk kedalam tanah akan mengisi pori yang berukuran mikro yang terdapat diantara
16
partikel klei. Laju infiltrasi konstan pada setiap penggunaan lahan tidak memiliki nilai yang berbeda nyata. Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Analisis statistik antara laju infiltrasi konstan dan sifat - sifat tanah Variabel terikat
Laju Infiltrasi konstan (cm jam-1)
Variabel bebas
R
R2
P
y
RPT
0,72
0,51
0,0131
y = -34.11 + 0.75*x
C – Organik (%)
0,66
0,44
0,0262
y = -1.88 + 5.31*x
Kadar Pasir Debu (%)
-0,80
0,63
0,0033
y = 31.11 - 0.45*x
Kadar Klei (%)
0,80
0,63
0,0033
y = -13.51 + 0.45*x
PDSC
0,84
0,70
0,0014
y = 2.99 + 1.10*x
PDSC + PDC
0,61
0,37
0,0462
y = -0.49 + 0.77*x
0,73 0,54 0,01 y = 1.61 + 0.53*x Pori makro Keterangan : RPT : Ruang pori total PDSC : Pori drainase sangat cepat, PDC : Pori drainase cepat
Volume Air Infiltrasi setelah Satu Jam Volume air yang dapat masuk kedalam tanah sangat ditentukan oleh kapasitas infiltrasi tanahnya. Semakin tinggi kapasitas infiltrasi tanah maka volume air yang masuk kedalam tanah akan lebih banyak sehingga mengurangi terjadinya aliran permukaan (Seyhan 1990). Keragaan volume infiltrasi pada berbagai penggunaan lahan disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Volume infiltrasi pada berbagai penggunaan lahan Penggunaan Lahan Hutan Tanaman (HT) Kebun Campuran Rapat (KCR) Kebun Campuran Tidak Rapat (KCTR)
Volume Infiltrasi setelah Satu Jam (dm3)
Laju Infiltrasi Konstan (cm jam-1)
6,8 a 3,66 b 2,48 b
23,4 a 13,2 a 6,0 a
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada (p<0,05).
Volume air yang terinfiltrasi setelah satu jam pada penggunaan lahan HT paling tinggi dibandingkan KCR dan KCTR. Hal ini menunjukkan HT selain memiliki ruang pori total (RPT) dan pori makro (PM) paling tinggi juga memiliki indeks stabilitas agregat (ISA) yang paling stabil, dimana semakin stabil agregat tanah maka tanah tidak akan mudah hancur oleh air dan hancuran partikel tanah tersebut tidak menyumbat pori yang dilalui oleh air, sehingga air akan lebih mudah dan lebih banyak yang masuk kedalam tanah. Sifat fisik dan kimia tanah yang memiliki pengaruh nyata terhadap volume infiltrasi yaitu kadar C-organik, indeks stabilitas agregat (ISA), kadar klei, dan ruang pori total (RPT). Semakin tinggi bahan organik tanah maka aktivitas organisme tanah akan semakin tinggi sehingga proses agregasi tanah juga semakin baik yang mampu meningkatkan kestabilan tanah. Agregasi tanah yang baik juga turut meningkatkan ruang pori tanah serta mampu membentuk pori tanah dengan ukuran yang lebih beragam yang mampu meningkatkan daya tampung air dalam
17
Volume Infiltrasi (dm3)
tanah. Adapun grafik perbedaan volume infiltrasi pada setiap penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 9. 8 7 6 5 4 3 2 1 0
6,8 a
3,66 b 2,48 b
Hutan Tanaman
Kebun Campuran Kebun Campuran Rapat Tidak Rapat
Gambar 9 Volume air terinfiltrasi pada berbagai penggunaan lahan Hasil analisis statistik dapat di lihat pada Tabel 10. Tabel 10 Analisis statistik antara volume infiltrasi dengan sifat - sifat tanah Variabel terikat
Volume Infiltrasi (dm3)
Variabel bebas
R
R2
P
y
RPT
0,64
0,41
0,0345
y = -11787.56+ 265.59*x
% C - Organik
0,73
0,54
0,0101
y = -1377.30 + 2345.29*x
% Pasir Debu
-0,61
0,37
0,0467
y = 10285.72 - 135.87*x
% Klei
0,61
0,37
0,0467
y = -3301.04 + 135.87*x
ISA
0,64
0,41
0,0351
y = 316.16 + 4.05*x
PDSC + PDC
0,77
0,59
0,0057
y = 1292.50 + 404.06*x
Laju Infl. Konstan
0,86
0,73
0,0008
y = 454.32 + 340.58*x
Keterangan : RPT : Ruang pori total, ISA : Indeks stabilitas agregat, PDSC : Pori drainase sangat cepat, PDC : Pori drainase cepat.
Sedangkan hubungan kadar klei dengan volume air yang terinfiltrasi adalah klei memiliki ukuran yang sangat kecil, maka semakin banyak klei luas permukaan akan semakin besar sehingga daya menahan air menjadi lebih besar, berbeda dengan kadar pasir dan debu yang memiliki korelasi negatif dengan volume infiltrasi. Hasil tersebut didukung oleh Hardjowigeno (1995), tanah-tanah bertekstur pasir mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus karena tanah yang bertekstur pasir butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil. Tanah-tanah bertekstur klei karena lebih halus maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air tinggi. Menurut Rachman et al (2013) tanah – tanah bertekstur halus (klei) memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang bertekstur kasar (pasir, debu). Hal ini berhubungan dengan luas permukaan dan kemampuan klei dalam menjerap serta mengikat air yang lebih besar dibandingkan partikel debu dan pasir. Hasil análisis ANOVA menunjukkan bahwa penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap volume infiltrasi pada taraf (p<0.05). Volume infiltrasi pada
18
penggunaan lahan HT berbeda nyata dengan KCR pada taraf (p<0,05%). Sedangkan KCR dan KCTR memiliki nilai volume infiltrasi yang tidak berbeda nyata pada taraf (p<0,05).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Laju infiltrasi sangat nyata dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Laju infiltrasi tertinggi pada penggunaan lahan hutan tanaman (HT) dan terendah pada kebun campuran tidak rapat (KCTR). Laju infiltrasi konstan tergolong cepat pada penggunaan lahan hutan tanaman (HT) dan kebun campuran rapat (KCR) dan tergolong sedang hingga cepat pada kebun campuran tidak rapat (KCTR). Volume air terinfiltrasi setelah satu jam tertinggi pada penggunaan lahan hutan tanaman (HT) (6,80 dm3) dan terendah pada kebun campuran tidak rapat (KCTR) (2,48 dm3). 2 Laju infiltrasi juga dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan sifat lainnya seperti kandungan bahan organik, indeks stabilitas agregat, ruang pori tanah, tekstur, dan pori makro. 3. Laju infiltrasi Horton dapat digunakan untuk memprediksi laju infiltrasi tanah pada penggunaan lahan hutan tanaman, kebun campuran rapat dan kebun campuran tidak rapat di DAS Ciujung. Saran Perlu dilakukan upaya pengelolaan tanah dengan kaidah konservasi seperti menjaga agar tanah tetap tertutup oleh vegetasi baik tanaman tahunan seperti pada hutan tanaman dan kebun campuran rapat, rumput maupun semak khususnya pada kebun campuran tidak rapat. Selain itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan sisa – sisa tanaman yang ada sebagai sumber bahan organik. Hal tersebut guna meningkatkan laju infiltrasi tanah serta meningkatkan kemampuan tanah dalam memegang air, sehingga mampu meningkatkan cadangan air tanah dan mencegah terjadinya kekeringan pada musim hujan dan banjir dalam musim hujan.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Bogor (ID): IPB Press. Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Baver LD, WH Gardner, and WR Gardner. 1972. Soil Physics. London (GB) Sidney (AU) and Toronto (US): John Willey and Sons Inc. Dudal R. dan M. Soepraptohardjo. 1957. Soil Clasification in Indonesia. Bogor (ID): Pemberitaan Balai Besar Penyelidikan Tanah.