27
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Umur dan Jenis Kelamin Jumlah siswa yang diteliti sebanyak 62 orang, terdiri dari siswa laki-laki yaitu 34 orang dan siswa perempuan yaitu 28 orang. Umur siswa antara 12-14 tahun. Sebagian besar siswa berumur 13 tahun, yaitu siswa laki-laki (88.2%) dan siswa perempuan (75%). Sebagian kecil siswa berumur 14 tahun, yaitu siswa laki-laki (2.9%) dan siswa perempuan (7.1%). Jumlah guru yang diteliti sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 4 orang dan perempuan yaitu 6 orang. Umur guru antara 40-58 tahun. Sebagian besar guru berumur 40-45 tahun (60%). Sebagian kecil guru berumur 49 tahun (10%). Jumlah pedagang yang ada di SMPN 5 Bogor sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 7 orang dan perempuan 3 orang. Umur pedagang antara 22-51 tahun. Sebagian besar pedagang berumur 32-36 tahun (40%) dan sebagian kecil pedagang berumur 22 tahun (10%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin. Tabel 3 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
12 13 14 Total
3 30 1 34
8.8 88.2 2.9 100.0
5 21 2 28
17.9 75.0 7.1 100.0
8 51 3 62
12.9 82.3 4.8 100.0
40-45 46-50 >50 Total Pedagang <30 30-40 40-50 >50 Total
3 0 1 4
75 0 25 100
3 1 2 6
50.0 16.7 33.3 100
6 1 3 10
60 10 30 100
1 1 3 2 7
14.3 14.3 42.9 28.6 100.0
0 3 0 0 3
0 100 0 0 100
1 4 3 2 10
10 40 30 20 100
Usia (tahun)
Total
Siswa
Guru
28
Uang Saku Besar uang saku siswa antara Rp 5.000 – Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar siswa menerima uang saku antara Rp 10.000 – Rp 15.000 (53.2%). Ratarata uang saku siswa yaitu Rp. 15.096,7 dan simpangan baku Rp. 6.835,2. Alokasi uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan sebaran siswa berdasarkan uang saku. Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan uang saku Uang Saku (Rp/hari) 5.000 – 9.000 10.000 – 15.000 15.500 – 20.000 > 20.000 Total
n 6 33 18 5 62
% 9.7 53.2 29.0 8.1 100.0
Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Besar uang saku anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun diluar sekolah (Andarwulan et al. 2008) Tingkat Pendidikan Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan sarjana (80%), sebagian kecil tingkat pendidikan Diploma 3 (20%). Sebagian besar pedagang memiliki latar belakang pendidikan SLTP (50%). Sebagian kecil tingkat pendidikan SLTA (20%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5 menunjukan sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan. Tabel 5 Sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
1 3 4
25 75 100
1 5 6
16.7 83.3 100.0
2 8 10
20 80 100
3 3 1 7
42.9 42.9 14.3 100.0
0 2 1 3
0.0 66.7 33.3 100.0
3 5 2 10
30 50 20 100
Total
Guru D3 S1 Total Pedagang SD SLTP SLTA Total
29
Tingkat pendidikan guru pada umumnya memiliki tingkat pendidikan sarjana sedangkan pada pedagang banyak yang memiliki tingkat pendidikan SLTP. Hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang biasanya mempunyai taraf pengetahuan dan keterampilan yang semakin baik serta akan lebih mengerti tentang sesuatu hal, karena menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (1997) bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, dimana dapat membuat seseorang untuk lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi baru. Hal ini juga sesuai dengan Notoatmodjo (2003), yang mengemukakan bahwa manusia yang memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dalam arti tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka akan semakin mengerti dan semakin mudah memahami manfaat dari suatu hal. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan guru antara
Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000 per
bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan guru > Rp. 2.800.000 per bulan (50%). Sebagian kecil tingkat pendapatan guru Rp. 2.000.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan guru yaitu Rp.2.470.000 dan simpangan baku yaitu Rp.333.999,3.
Besar
atau
kecil
pendapatan
guru
ditentukan
oleh
pangkat/golongan, jabatan dan masa kerja. Berdasarkan Tabel 6 tingkat pendapatan pedagang antara Rp.800.000 – Rp.1.800.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan pedagang Rp.1.000.000 – Rp.1.500.000 per bulan (60%). Sebagian kecil tingkat pendapatan pedagang Rp.1.800.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan
pedagang
yaitu
Rp.1.230.000 dan
simpangan
baku
yaitu
Rp.316.403,3. Besar atau kecil pendapatan tergantung dari permodalan dan omset (hasil penjualan). Menurut Berg (1986) dalam Adhistiana (2009) pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Jelas ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Menurut Gallo (1996) faktor ekonomi seperti harga dan pendapatan konsumen juga merupakan faktor penentu yang penting dalam pemilihan makanan yang berhubungan secara langsung dengan ketersediaan pangan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukan sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan.
30
Tabel 6 Sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan Tingkat Pendapatan (Rp. Juta /bulan) Guru <2,5 2,5 - 2,8 > 2,8 Total Pedagang <1 1 - 1,5 > 1,5 Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
0 2 2 4
0 50 50 100
1 2 3 6
16.7 33.3 50.0 100.0
1 4 5 10
10 40 50 100
3 3 1 7
42.9 42.9 14.3 100.0
0 3 0 3
0 100 0 100
3 6 1 10
30 60 10 100
Jenis Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukan sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP. Tabel 7 Sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP BTP Penyedap rasa
Pewarna
Pemanis Pengawet
Jenis BTP Masako Royko Sasa Ajinomoto (umami) MSG (lainnya) Kunyit Pandan Pewarna buatan Gula Pemanis buatan Garam STPP/Poshat
Jajanan yang dibuat n % 3 30 3 30 4 40 4 40 1 10 1 10 0 0 0 0 3 30 0 0 7 70 0 0
Jajanan yang dibeli n % 0 0 0 0 0 0 0 0 2 20 3 30 1 10 3 30 2 20 1 10 7 70 1 10
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa semua pedagang yang membuat makanan jajanan menggunakan BTP yang berbentuk penyedap rasa dari berbagai merek. Adapun bumbu penyedap rasa dengan aneka jenis rasa seperti rasa ayam dan sapi, adapun pedagang yang menggunakan penyedap rasa yang berbentuk butiran seperti sasa dan ajinomoto. BTP sebagai pewarna alami hanya pedadang roti yang menggunakan bahan alami buah. Adapun pewarna buatan yang digunakan yaitu jajanan yang di beli seperti meisis warnawarni dan pada saos yang dibeli pedagang bakso dan mie ayam yang mungkin ditambahkan pewarna buatan. Pemanis alami yang digunakan yaitu gula pasir
31
dan gula merah untuk pembuatan minunan jus dan kuah pempek. Sedangkan pemanis sintetis yang terdapat dalam minuman kemasan yang di produksi oleh industry minuman. BTP pengawet tidak ditemukan menggunakan bahan berbahaya hanya bahan pengental bakso sodium tri phosphate (STPP) merupakan bahan kimia untuk makanan yang ditambahan dalam proses pengolahan. Hal ini disebabkan karena kantin yang berada di dalam lingkungan sekolah biasanya sudah mendapat bimbingan dan pengawasan dari pihak guru dan pengelola kantin atau langsung dari kepala sekolah. Kebiasaan Jajan Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan baik pada anak-anak, remaja ataupun dewasa. Jajanan yang baik akan mempunyai kontribusi yang positif terhadap kebutuhan konsumsi gizi seseorang. Dengan demikian apabila makanan jajanan yang dikonsumsi aman dan sehat akan membantu kecukupan harian energi dan zat gizi seseorang. Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan. Penelitian ini mengidentifikasi frekuensi jajan per minggu yang dilakukan di lingkungan sekolah. Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3-4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan kosentrasi belajar akan pulih. Berdasarkan Tabel 8 Frekuensi jajan siswa yang diukur adalah frekuensi jajan berdasarkan kelompok jajanan makanan utama dalam 1 minggu terakhir. Frekuensi jajan siswa dibagi menjadi 4 kelompok yaitu <5 kali/minggu, 6-10 kali/minggu, 11-15 kali/minggu, >15 kali/minggu. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa memiliki frekuensi jajan makanan ringan 6–10 kali per minggu. Sebesar 48.3% siswa memiliki frekuensi jajan jenis minuman 6–10 kali per minggu. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukan sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan. Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan Frekuensi jajan (kali/minggu) <5 6–10 11–15 >15 Total
Makanan Utama n % 8 12.9 33 53.2 14 22.5 7 11.2 62 100
Makanan Ringan n % 13 20.9 21 33.8 16 25.8 12 19.3 62 100
Minuman n % 18 29.0 30 48.3 14 22.5 0 0 62 100
32
Khapipah (2000) menyatakan bahwa siswa menyukai makanan jajanan seperti ciki karena rasanya enak dan gurih, mempunyai banyak pilihan rasa, warna dan merk yang diproduksi oleh produsen. Tingginya persentase frekuensi jajan dikarenakan banyaknya jenis pangan yang ada dibandingkan kelompok jajanan lainnya, sehingga siswa lebih sering mengkonsumsi jajanan yang berbeda-beda dalam setiap minggunya. Selain itu aktivitas siswa disekolah yang cukup padat dapat menyebabkan frekuensi jajan disekolah meningkat. Khomsan (2003) menyatakan aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan seseorang dirumah. Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga mengancam kesehatan seseorang. Jenis Makanan Jajanan yang Dikonsumsi Terdapat tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa dan guru dikelompokan kedalam tiga golongan yaitu makanan utama (main dish), makanan ringan (snack), dan minuman. Menurut Apriadji (1986) jenis jajanan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makanan utama (meals) dan makanan ringan (snack). Makanan utama adalah makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit protein seperti siomay, nasi uduk, bubur ayam, roti bakar, dan lainnya. Sedangkan makanan ringan adalah makanan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur seperti biskuit, gorengan, dan makanan ringan kemasan. Seluruh contoh menyatakan sering membeli makanan utama. Sumber jajanan yang paling diminati oleh contoh yaitu minuman sebagian besar siswa (88.7%) dan guru (70%), contoh menganggap bahwa minum itu paling penting untuk kebutuhan cairan sehingga lebih diminati. Sebagian kecil siswa (9.7%) memilikh gorengan dan sebagian kecil guru (10%) memilih makanan ringan kemasan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan jajan yang menganggap tidak ada pilihan makanan jajanan lain sehingga hanya mengkonsumsi jajanan yang tersedia di lingkungan sekolah. Berdasarkan Tabel 9 jenis jananan makanan yang paling diminati oleh siswa yaitu mie ayam, sedangkan pada guru sumber jajanan makanan yaitu nasi uduk. Baik mie ayam maupun nasi uduk, keduanya dapat memberikan kalori yang cukup untuk mendukung aktivitas fisik dan memenuhi kecukupan energi dalam sehari. Menurut hasil penelitian Widjayanti (1990), diacu dalam Khapipah (2000) menyatakan bahwa makanan jajanan memberikan sumber energi dan zat gizi terbesar diantaranya berasal dari karbohidrat. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9 menunjukan persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan.
33
Tabel 9 Persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan Guru
Siswa
Jenis jajanan
n 44 55 7 16 10 6 34 54 47 41
Nasi uduk Minuman Siomay Bubur ayam Makanan ringan kemasan Gorengan Mie Bakso Mie ayam Pempek/batagor Roti bakar
% 71.0 88.7 11.3 25.8 16.1 9.7 54.8 87.1 75.8 66.1
n 8 7 4 2 1 5 3 3 4 5
% 80 70 40 20 10 50 30 30 40 50
Status Gizi Siswa Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi (Khomsan 2000). Menurut Riyadi (2001) status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran yang dikonsumsinya dalam jangka waktu cukup lama. Berdasarkan Tabel 10 sebagian besar siswa (71.0%) memiliki status gizi normal. Selanjutnya sebanyak (14.5%) memiliki status gizi kurang, (11.3%) memiliki status gizi gemuk, dan (3.2%) memiliki status gizi lebih. Status gizi normal diduga memiliki pengetahuan gizi yang tergolong baik, sedangkan status gizi kurang diduga karena siswa lebih menyukai makanan jajanan yang tidak memiliki zat gizi seperti makanan ringan (snack) untuk mencukupi kebutuhan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10 menunjukan sebaran status gizi siswa. Tabel 10 Sebaran status gizi siswa Status Gizi Kurus Normal Gemuk Obese Total
n 5 22 5 2 34
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan % n % 14.7 4 14.3 64.7 22 78.6 14.7 2 7.1 5.9 0 0.0 100.0 28 100.0
Total n 9 44 7 2 62
% 14.5 71.0 11.3 3.2 100.0
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makan dan keadaan kesehatan, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Secara tidak langsung pengetahuan tentang gizi berpengaruh terhadap status gizi seseorang (Riyadi 2006).
34
Pengetahuan Gizi Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoadmodjo 2005). Berdasarkan
Tabel
11
sebagian
besar
siswa
(67.7%)
memiliki
pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (32.3%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi siswa dalam kategori baik (82.1%) dan simpangan baku (6.6). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi guru dalam kategori baik (86.8%) dan simpangan baku (2.9). Dari
beberapa
pertanyaan
mengenai
pengetahuan
gizi
terhadap
BTP
menunjukan bahwa semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil pedagang (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi pedagang dalam kategori sedang (66.1%) dan simpangan baku (6.9). Tabel 11 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan pengetahuan gizi terhadap BTP Kategori Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
20 14 0 34
58.8 41.2 0.0 100.0
22 6 0 28
78.6 21.4 0.0 100.0
42 20 0 62
67.7 32.3 0.0 100.0
4 0 0 4
100 0 0 100
6 0 0 6
100 0 0 100
10 0 0 10
100 0 0 100
0 5 2 7
0.0 71.4 28.6 100.0
0 2 1 3
0.0 66.7 33.3 100.0
0 7 3 10
0 70 30 100
Total
35
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam pengetahuan siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (1.91) dan peluang (0.17), maka pengujian kesamaan rata-rata dari pengetahuan gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata pengetahuan gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga karena siswa mendapat informasi yang sama dari materi yang diajarkan guru dan media informasi mengenai penggunaan BTP. Tabel 12 Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa Pengetahuan Gizi n Rata-rata sd Pengetahuan Gizi Hasil uji t-test
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata Simpangan baku galat
Laki-laki 34 81.12 7.14 Ragam diasumsikan sama -1.36 60 0.17 -2.27
Perempuan 28 83.39 5.74 Ragam diasumsikan tidak sama -1.39 59.97 0.17 -2.27
1.67
1.63
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama apabila didasari oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran yang baik. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik terhadap sesuatu hal diharapkan akan mempunyai sikap yang baik juga. Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa seluruh siswa mendapat informasi tentang BTP. Sebagian besar (88,7%) mendengar informasinya dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil siswa sebanyak (3.2%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar guru (100%) mendapat informasi dari media cetak (surat kabar, majalah, buku). Sebagian kecil guru sebanyak (30%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar pedagang (100%) mendapat informasi dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil pedagang (10%) mendapat informasi dari teman. Hal ini menunjukan bahwa siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Sedangkan pedagang tidak mencari informasi lain dari beberapa sumber hanya mengetahui dari keadaan sekitar saja. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP.
36
Tabel 13 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP Sumber Informasi Media elektronik (TV dan radio) Media cetak (surat kabar, majalah, buku) Orang Tua Guru Teman Lainya (internet)
Siswa n % 55 88.7 39 62.9 52 83.9 48 77.4 26 41.9 2 3.2
Guru n % 8 80 10 100 7 70 3 30
Pedagang n % 10 100 3 30 4 40 1 10 0 0
Siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Pengetahuan gizi bisa diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal dapat diperoleh dari pengajar dengan diadakanya pendidikan gizi. Pendidikan gizi adalah proses belajar dalam bidang gizi sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai gizi yang lebih baik. Selain itu, melaui media komunikasi seperti televisi, majalah, Koran, radio, atau penyuluhan kesehatan gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan gizi. Uraian terhadap hasil pengetahuan gizi dapat di lihat dari Tabel 14 yang menunjukkan pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa, guru, dan pedagang. Tabel 14 Persentase siswa, guru, dan pedagang yang menjawab pertanyaan pengetahuan mengenai BTP dengan benar. Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Definisi makanan/minuman yang bergizi Definisi makanan jajanan (makanan/minuman) Contoh makanan jajanan yang bergizi Definisi BTP Manfaat penggunaan BTP Contoh BTP Ciri makanan yang menggunakan pemanis buatan Ciri makanan yang mengandung pengawet Contoh BTP yang dilarang Apakah fungsi sebenarnya dari formalin Contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin Ciri bakso yang mengandung formalin dan boraks Ciri jajanan yang menggunakan pewarna sintetis (buatan) Fungsi MSG (Monosodium Glutamat) Contoh jajanan yang mungkin mengandung MSG Bahaya BTP bagi kesehatan
Siswa n % 59 95.2
Guru Pedagang n % n % 10 100 4 40
31
50.0
10
100
0
0
61 55 32 45
98.4 88.7 51.6 72.6
10 9 10 4
100 90 100 40
0 6 0 1
0 60 0 10
25
40.3
9
90
9
90
38
61.3
10
100
5
50
45 5
72.6 8.1
9 0
90 0
9 0
90 0
18
29.0
0
0
0
0
53
85.5
10
100
2
20
49
79.0
10
100
6
60
30
48.4
1
10
1
10
51
82.3
10
100
7
70
56
90.3
10
100
4
40
37
Berdasarkan Tabel 14 pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan benar oleh contoh. Adapun pertanyaan yang tidak dijawab dengan benar oleh sebagian kecil siswa (8.1%) dalam menjawab mengenai fungsi sebenarnya dari formalin. Bahkan tidak seorangpun guru dan pedagang (0%) yang menjawab dengan benar mengenai fungsi sebenarnya dari formalin dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin. Fungsi formalin adalah sebagai insektisida dan pengawet mayat dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin yaitu bakso, mie, tahu dan ikan asin. Selebihnya contoh dapat menjawabnya dengan benar. Sikap Gizi Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Orang-orang yang berada disekitar kita akan membuat kita menerima atau menolak sesuatu (Contento 2007). Oleh karena itu, pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut Khomsan (2000) sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Seseorang dengan pengetahuan yang baik maka akan memiliki sikap yang baik pula. Sikap merupakan suatu pandangan tetapi dalam hal ini masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut (Purwanto 1998). Berdasarkan Tabel 15 menunjukan sebagian besar siswa (88.7%) memiliki sikap gizi baik terhadap BTP. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi siswa dala kategori baik (86.5%) dan simpangan baku (6.8). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Rata-rata total skor sikap gizi guru dalam kategori baik (94%) dan simpangan baku (5.2). sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi pedagang dalakategori sedang (67.0%) dan simpangan baku (14.9). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15 menunjukan sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP
38
Tabel 15 Sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP Kategori Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
30 4 0 34
88.2 11.8 0.0 100.0
25 3 0 28
89.3 10.7 0.0 100.0
55 7 0 62
88.7 11.3 0.0 100.0
3 1 0 4
75 25 0 100
5 1 0 6
83.3 16.7 0 100
8 2 0 10
80 20 0 100
2 3 2 7
28.6 42.9 28.6 100.0
1 2 0 3
33.3 66.7 0.0 100.0
3 5 2 10
30 50 20 100
Total
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam sikap siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 16 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (0.66) dan peluang (0.41), maka pengujian kesamaan rata-rata dari sikap gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa ratarata sikap gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga bahwa siswa memiliki sikap yang homogen tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, selain itu jenis jajanan yang dikonsumsi siswa sama setiap hari. Tabel 16 Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa Sikap Gizi n Rata-rata Sd
Laki-laki 34 68.0 6.22 Ragam Diasumsikan Sama
Perempuan 28 69.4 4.89 Ragam Diasumsikan Tidak Sama
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata
-0.98 60 0.32 -1.42
-1.01 59.88 0.31 -1.42
Simpangan baku galat
1.44
1.41
Sikap Gizi Hasil uji t-test
Menurut Notoatmodjo (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu. Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep pada sesorang. Hal tersebut menjadikan dasar sebagai
39
program-program
pendidikan
gizi
dilakukan
melalui
perantara
lembaga
pendidikan. Sikap belum merupakan suatu tindakan akan tetapi merupakan predisposisi tindakan. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang tebuka (Notoadmodjo, 2003). Uraian terhadap hasil sikap gizi dapat di lihat dari Tabel 17 yang menunjukkan bahwa pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa. Berdasarkan pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan positif oleh siswa. Sebagian besar siswa (100%) memilih sikap positif mengenai BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman jajanan. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap positif mengenai membawa bekal makanan dari rumah. Adapun faktor penyebab siswa malas membawa bekal dari rumah yaitu menganggap membawa bekal dari rumah tidak praktis dan jajan di sekolah lebih praktis. Selebihnya, lebih dari separuh siswa dapat menjawabnya dengan positif. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 17 menunjukan persentase sikap siswa yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar. Tabel 17 Persentase sikap siswa yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar Pertanyaan Sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah Membawa bekal makanan dari rumah Mendapat uang jajan sebelum berangkat sekolah Jajan sebelum berangkat sekolah Bahan yang mengandung BTP berbahaya di jual bebas BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat jajanan jadi lebih menarik 7 Jika BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman jajanan 8 Jajanan ditambahkan formalin agar lebih awet (tahan lama) 9 Jika boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso 10 Jajanan yang mengandung pewarna buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pewarna alami seperti kunyit atau pandan 11 Jajanan harus mengandung banyak MSG (Monosodium Glutamat) agar lebih enak dan gurih 12 BTP dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan 1 2 3 4 5 6
n 49 7 58 59 19
% 79.0 11.3 93.5 95.2 30.6
61
98.4
62
100
60 60
96.8 96.8
59
95.2
58
93.5
61
98.4
Berdasarkan Tabel 18 pertanyaan mengenai sikap gizi mengenai BTP. Berdasarkan pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan positif oleh guru dan pedagang. Sebagian kecil guru (40%) dan pada pedagang (0%) yang memiliki sikap positif mengenai BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat makanan dan minuman jajanan jadi lebih menarik. Contoh menyebutkan apabila makanan tidak menggunakan BTP dapat mempengaruhi selera makan. Selebihnya, lebih dari separuh contoh dapat menjawabnya dengan positif.
40
Tabel 18 Persentase sikap guru dan pedagang yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar Pertanyaan 1 Bahan yang mengandung BTP berbahaya di jual bebas 2 BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat jajanan jadi lebih menarik 3 BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan jajanan 4 Jajanan mengandung bahan tambahan makanan dalam dosis yang berlebihan 5 Jajanan ditambahkan formalin agar lebih awet 6 boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso 7 Jajanan yang mengandung pewarna buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pewarna alami seperti kunyit atau pandan 8 Jajanan harus mengandung banyak MSG (Monosodium Glutamat) agar lebih enak dan gurih 9 BTP dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan 10 Makanan yang diberi BTP akan menjadi lebih bergizi dibandingkan dengan makanan yang tidak diberi BTP
Guru Pedagang n % n % 10 100 10 100 4
40
0
0
10
100
9
90
10
100
9
90
10 10
100 100
9 7
90 70
10
100
8
80
10
100
3
30
10
100
4
40
10
100
8
80
Praktek Gizi Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudiam mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik)
(Notoatmodjo
2003).
Menurut
Notoatmodjo
(2005)
Sikap
adalah
kecenderungan untuk bertindak (praktek), sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Berdasarkan Tabel 19 sebagian besar siswa (59.7%) memiliki praktek gizi sedang terhadap BTP. Sebagian kecil siswa (38.7%) memiliki praktek gizi yang kurang terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi siswa dalam kategori kurang (57.1%) dan simpangan baku (10.6). Sebagian besar guru (90%) memiliki praktek gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil guru (10%) memiliki praktek gizi baik terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi guru dalam kategori sedang (68%) dan simpangan baku (6.3). Sebagian pedagang (50%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sisanya pedagang memiliki pengetahuan kurang terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi pedagang dalam kategori kurang (59.2%) dan simpangan baku (14.5). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 19 menunjukan sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan praktek gizi terhadap BTP.
41
Tabel 19 Sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan praktek gizi terhadap BTP Kategori
Laki-laki n
Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Perempuan % n %
Total n
%
1 25 8 34
2.9 73.5 23.5 100.0
0 12 16 28
0.0 42.9 57.1 100.0
1 37 24 62
1.6 59.7 38.7 100.0
0 4 0 4
0 100 0 100
1 5 0 6
16.7 83.3 0.0 100.0
1 9 0 10
10 90 0 100
0 2 5 7
0.0 28.6 71.4 100
0 3 0 3
0.0 30.0 0.0 100
0 5 5 10
0 50 50 100
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam praktek siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 20 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (0.54) dan peluang (0.46), maka pengujian kesamaan rata-rata dari praktek gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasarkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata praktek gizi laki-laki dan perempuan berbeda. Hal ini diduga bahwa banyaknya aktifitas siswa di sekolah sehingga memungkinkan bahwa siswa sering mengkonsumsi makanan jajanan. Praktek yang kurang juga didukung oleh banyaknya jenis jajanan yang dijual di sekolah yang rata-rata mengandung BTP dan secara umum siswa mengkonsumsi lebih dari satu jenis makanan atau minuman jajanan. Selain itu kebiasaan siswa yang suka membeli makanan jajanan tanpa memikirkan dampak dari penggunaan BTP yang berlebih. Tabel 20 Hasil uji ragam dan rata-rata praktek gizi siswa Praktek Gizi n Rata-rata sd Praktek Gizi Hasil uji t-test
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata Simpangan baku galat
Laki-laki 34 59.4 11.2 Ragam Diasumsikan Sama 1.77 60 0.05 4.76 2.69
Perempuan 28 54.6 9.6 Ragam Diasumsikan Tidak Sama 1.79 59.90 0.05 4.76 2.65
42
Secara teori memang perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu melalui proses perubahan Pengetahuan – Sikap – Praktek. Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian lainnya juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu seperti teori diatas, bahkan dalam praktek sehari-hari terjadi sebaliknya (Notoadmodjo 2003). Seperti halnya pada penelitian ini diperoleh bahwa seseorang bisa berperilaku negatif meskipun pengetahuan dan sikapnya positif. Seperti yang dikatakan oleh Sumintarsih et al. (2000) bahwa dukungan pengetahuan seseorang yang dapat menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Menurut Notoatmodjo (2003) secara logis, sikap akan ditunjukkan dalam bentuk praktek namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan praktek mempunyai hubungan yang sistematis. Artinya status pengetahuan atau sikap yang baik belum tentu terwujud dalam praktek yang baik pula (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu praktek, diperlukan suatu faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan seseorang itu dapat menerapkan apa yang mereka ketahui. Pada Tabel 21 menunjukkan bahwa siswa (38.7%) selalu jajan di sekolah dan (61.3%) yang kadang-kadang jajan di sekolah. Sebagian besar siswa menganggap bahwa jajan di sekolah lebih praktis. Sebagian siswa menjawab selalu membeli jajanan yang rasa sangat manis (8.1%) dan (85.5%) menjawab kadang-kadang membelinya. Tidak ada contoh yang membeli jajanan yang warnanya sangat mencolok. Selain itu dapat juga dilihat bahwa seluruh contoh membeli jajanan seperti mie, bakso, makanan ringan kemasan (snack) dan gorengan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 21 menunjukan persentase siswa dan guru menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP Praktek jajan sedikit dan banyaknya bisa dipengaruhi oleh sarapan atau tidak sarapannya siswa sebelum berangkat ke sekolah. Bagi anak sekolah, meninggalkan sarapan membawa dampak yang kurang menguntungkan. Konsentrasi belajar disekolah bisa buyar karena tubuh tidak memperoleh masukan gizi yang cukup. Sebagai gantinya, anak jajan di sekolah untuk sekadar mengganjal perut. Tetapi, mutu dan keseimbangan gizi jadi tidak terjamin (Khomsan 2003).
43
Tabel 21 Persentase siswa dan guru menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP
n
%
Kadangkadang n %
0
0.0
38
61.3
24
38.7
Guru Membeli jajanan yang rasanya sangat manis seperti es sirup, minuman kemasan, atau permen Siswa
0
0
10
100
0
0
4
6.5
53
85.5
5
8.1
Guru Membeli jajanan yang warnanya sangat mencolok? seperti gulali, agar-agar, kerupuk, sirop Siswa
6
60
4
40
0
0
62
100
0
0.0
0
0.0
10
100
0
0
0
0
7
11.3
48
77.4
7
11.3
0
0
10
100
0
0
11
17.7
48
77.4
3
4.8
2
20
8
80
0
0
Tidak
Pertanyaan 1
3
4
Siswa
Guru Membeli jajanan seperti mie dan bakso
5
n
%
Jajan di sekolah
2
Selalu
Siswa
Guru Membeli makanan ringan kemasan (snack) dan gorengan Siswa
Guru
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa pedagang (80%) selalu menggunakan BTP dan (10%) yang menjawab kadang-kadang dan tidak menggunakan BTP. Semua pedagang menjawab kadang-kadang (100%) membeli makanan jajanan yang mengandung BTP. Pedagang menjawab kadang-kadang membaca komposisi yang terdapat pada BTP. Sebagian pedagang menggunakan BTP sesuai dosis yang dianjurkan. Adapun ada sebagian pedagang yang pernah menggunakan BTP secara berlebih. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22 menunjukan persentase pedagang menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP. Tabel 22 Persentase pedagang menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP Pertanyaan 1 2 3 4 5 6
Menjual makanan yang mengandung BTP Makanan jajanan yang anda beli mengandung BTP Membaca komposisi pada kemasan BTP Memperhatikan keamanan pangan pada makanan jajanan yang anda buat Menggunakan BTP sesuai dosis yang dianjurkan Pernah menggunakan BTP secara belebih
Tidak n %
Kadang-kadang n %
Selalu n %
1
10
1
10
8
80
0
0
10
100
0
0
0
0
9
90
1
10
0
0
5
50
5
50
0
0
4
40
6
60
0
0
5
50
5
50
44
Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Gizi Siswa Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan (Engel et al. 1994). Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, Koran, radio, atau melalui penyuluha kesehatan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang gizi. Menurut Pranadji (1989), sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2005) Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudiam mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan apa yang diketahui dengan baik. Berdasarkan Tabel 23 menunjukan bahwa sebagian besar siswa (62.9%) yang tingkat sikap gizi dalam kategori baik. Namun hanya sebagian kecil (4.8%) menunjukan sikap gizi sedang memiliki pengetahuan gizi yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang berpengetahuan gizi baik dapat mencerminkan sikap gizi yang baik pula. Tabel 23 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan sikap gizi Pengetahuan gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 39 16 0 55
% 62.9 25.8 0.0 88.7
Sikap Gizi Sedang n % 3 4.8 4 6.5 0 0.0 7 11.3
Kurang n % 0 0 0 0 0 0 0 0
Total n 42 20 0 62
% 67.7 32.3 0.0 100.0
Berdasarkan Tabel 24 menunjukan bahwa sebagian besar siswa (38.7%) yang tingkat praktek gizi dalam kategori sedang. Namun hanya sebagian kecil (1.6%) menunjukan praktek gizi baik memiliki pengetahuan gizi yang sedang. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang berpengetahuan gizi baik belum tentu mencerminkan praktek gizi yang baik pula. Tabel 24 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan praktek gizi Pengetahuan gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 0 1 0 1
% 0 1.6 0.0 1.6
Praktek Gizi Sedang n % 24 38.7 13 21.0 0 0.0 37 59.7
Kurang n % 18 29.0 6 9.7 0 0.0 24 38.7
Total n 42 20 0 62
% 67.7 32.3 0.0 100.0
45
Berdasarkan Tabel 25 berikut dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa (54.8%) yang tingkat praktek gizi dalam kategori sedang memiliki sikap gizi baik. Namun hanya sebagian kecil (1.6%) mencerminkan praktek gizi baik memiliki sikap gizi yang sedang. Jadi dapat dilihat semakin tinggi sikap gizi yang dimiliki maka belum tentu akan mencerminkan praktek yang baik. Tabel 25 Sebaran siswa berdasarkan sikap gizi dan praktek gizi Sikap gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 0 1 0 1
% 0 1.6 0 1.6
Praktek Gizi Sedang n % 34 54.8 3 4.8 0 0 37 59.7
Kurang n % 21 33.9 3 4.8 0 0 24 38.7
Total n 55 7 1 62
% 88.7 11.3 1.6 100.0
Berdasarkan Tabel 26 hasil uji kolerasi Pearson, pada siswa diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan sikap gizi. Hal ini diduga bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang, maka semakin tinggi sikap gizi yang dimilikinya. Sebagian besar paradigma mengasumsikan bahwa apabila konsumen dibekali pengetahuan gizi, maka sikap terhadap makanan akan berubah dan akhirnya berdampak pada perubahan pola makan (Blayock et al. 1999). Menurut Khomsan (1997) juga berpendapat bahwa sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyarakat. Tabel 26 Matrik korelasi antara pengetahuan, sikap dan praktek gizi siswa Peubah Pengetahuan Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Sikap Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Praktek Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n
Pengetahuan
Sikap
Praktek
1 0 62
0.30 0.01 62
-0.09 0.47 62
0.30 0.01 62
1 0 62
-0.25 0.04 62
-0.09 0.47 62
-0.25 0.04 62
1 0 62
Hasil uji kolerasi pearson pada siswa menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pengetahuan dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa pengetahuan siswa tidak berpengaruh yang signifikan antara pengetahuan yang dimiliki dengan praktek kebiasaan mengkonsumsi makanan
46
jajanan, selain itu jenis jananan hanya tersedia di lingkungan sekolah saja untuk memenuhi kebutuhan makan. Hal ini sejalan dengan pernyataan blaylock et al. (1999) yang mengungkapkan bahwa bagaimanapun, pengetahuan saja tidak akan mempengaruhi praktek, terkecuali bila ada motivasi. Pengetahuan gizi disertai dengan motivasi dapat membentuk kebiasaan makan yang baik sehingga dapat memperbaiki status kesehatan dan menurunkan penyakit kronis. Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau sekelompok individu dalam memilih pangan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya. Menurut Gallo (1996) menyatakan bahwa faktor ekonomi seperti harga dan pendapatan konsumen merupakan faktor penentu yang penting dalam memilih makanan yang berhubungan secara langsung dengan ketersediaan zat gizi. Hasil uji kolerasi pearson pada siswa menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara sikap dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa praktek yang kurang didukung oleh banyaknya jenis jajanan yang dijual di sekolah
yang
rata-rata
mengandung
BTP
dan
secara
umum
siswa
mengkonsumsi lebih dari satu jenis makanan atau minuman jajanan. Selain itu kebiasaan siswa yang suka membeli makanan jajanan tanpa memikirkan dampak dari penggunaan BTP yang berlebih. Blaylock et al. (1999) mengungkapkan bahwa sikap terhadap makanan akan berubah dan akhirnya berdampak pada perubahan pola makan. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranaji (1989) yang menyatakan bahwa sikap positif akan menumbuhkan praktek yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan menumbuhkan praktek yang negatif saja.