33
HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Tanam Aktual Hasil identifikasi pola tanam menunjukkan bahwa ada tiga puluh enam pola tanam di lahan HKm (Tabel 8).
Pengelolaan lahan bersifat semi komersial,
artinya kelompok-kelompok masyarakat memiliki motivasi ekonomi yang cukup tinggi dalam penggunaan lahan, cenderung ingin meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai tetapi pola hidup mereka masih bersifat subsisten. Komposisi jenis setiap pola tanam terdiri dari 1 - 6 jenis tanaman. Jenisjenis tanaman pada pola tanam aktual terdiri dari tanaman kopi, lada, kakao, cengkeh, pala, alpukat, durian, pisang, cabai dan tanaman kayu-kayuan. Tanaman kopi terdapat di semua pola tanam aktual. Sebagian besar pola tanam didominasi oleh satu jenis tanaman, yaitu tanaman kopi, tetapi ada juga pola tanam yang tidak hanya didominasi oleh tanaman kopi seperti pola tanam 2, 22, 24, 26, 27, 29, 33 dan 34. Pola 2 didominasi oleh tanaman kopi dan cengkeh. Pola 22, 24 dan 27 didominasi oleh tanaman kopi dan cabai. Pola 26 didominasi oleh tanaman kopi, lada, pisang dan cabai. Pola 29 didominasi oleh tanaman kopi, cabai dan kayu. Pola 33 didominasi oleh tanaman kopi dan kakao.
Pola 34 didominasi oleh
tanaman kopi dan pisang. Pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah pola tanam yang terdiri dari satu jenis (tanaman kopi), dua kombinasi jenis (kopi + cabai dan kopi + pisang) dan empat kombinasi jenis (kopi + alpukat + pisang + cabai) (Gambar 2,3,4 dan 5).
Gambar 2 Pola tanam dengan satu jenis tanaman kopi.
34
Gambar 3 Kombinasi tanaman kopi dan cabai.
Gambar 4 Kombinasi tanaman kopi, alpukat, pisang dan cabai.
Gambar 5 Kombinasi tanaman kopi dan pisang.
35
Tabel 8 Pola tanam aktual dan dominasi tanaman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Pola tanam aktual kopi kopi + cengkeh kopi + pisang kopi + cabai kopi + alpukat kopi + kayu kopi + durian kopi + cabai + kayu kopi + cengkeh + cabai kopi + pisang + cabai kopi + kakao + cabai kopi + lada + cabai kopi + lada + kakao kopi + alpukat + cabai kopi + kakao + cabai kopi + pala + alpukat kopi + kakao + alpukat kopi + alpukat + cabai + kayu kopi + alpukat + pisang + cabai kopi + kakao + alpukat + pisang kopi + kakao + alpukat + cabai kopi + cengkeh + kakao + pisang kopi + alpukat + pisang + cabai kopi + kakao + pisang + cabai kopi + lada + alpukat + pisang kopi + lada + pisang + cabai + kayu kopi + alpukat + durian + pisang + cabai kopi + cengkeh + alpukat + pisang + cabai kopi + alpukat + durian + cabai + kayu kopi + alpukat + durian + pisang + kayu kopi + cengkeh + kakao + alpukat + cabai kopi + kakao + alpukat + cabai + kayu kopi + lada + kakao + alpukat + cabai kopi + kakao + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + kakao + alpukat + cabai + kayu kopi + cengkeh + kakao + pala + alpukat + cabai + kayu
Dominasi tanaman kopi kopi, cengkeh kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi kopi, cabai kopi kopi, cabai kopi kopi, lada, pisang, cabai kopi, cabai kopi kopi, cabai, kayu kopi kopi kopi kopi, kakao kopi, pisang kopi kopi
Jaminan penguasaan lahan melalui izin HKm menyebabkan masyarakat mulai melakukan pengembangan pola tanam. Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan agroforestry. Insentif untuk menanam pohon/agroforestry menjadi sangat lemah apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan mengingat sistem agroforestry merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Kepastian penguasaan lahan dan pohon diperlukan untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen (Suharjito et al. 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Otsuka et al. (2001) yang menunjukkan bahwa penguatan penguasaan lahan di hutan
36
negara oleh masyarakat berdampak pada perubahan sistem pertanian. Perubahan sistem pertanian juga terjadi di Desa Ngarip. Masyarakat mulai mengembangkan jenis-jenis tanaman tertentu. Jenis-Jenis Tanaman Pilihan Petani Jenis-jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani memiliki sifat komplementer dan suplementer satu sama lain. Tanaman-tanaman yang intensif dapat diusahakan bersama-sama dengan tanaman ekstensif, sehingga penggunaan tenaga kerja dan alat-alat tidak saling bersaing. Jenis tanaman tersebut terdiri dari tanaman tajuk tinggi, tajuk sedang dan tajuk rendah sehingga diharapkan membentuk agroforestry multistrata yang bermanfaat baik secara ekonomi dan ekologi. Tanaman tajuk tinggi terdiri dari E. aromatica, P. americana, M. fragrans, G. sepium, D. zibethinus, P. falcataria, M. eminii, Michelia sp., M. azedarach dan L. leucocephala. Petani memilih tanaman-tanaman tersebut sebagai tanaman tajuk tinggi karena tanaman tersebut memiliki nilai komersial dan fungsi lindung yang baik terutama pelindung bagi tanaman kopi. Tanaman tajuk sedang terdiri dari tanaman C. robusta, T. cacao, P. nigrum dan Musa sp. Petani memilih tanamantanaman tersebut sebagai tanaman tajuk sedang karena tanaman tersebut memiliki nilai komersial dan memiliki kompatibilitas dengan tanaman kopi sehingga tidak bersaing satu sama lain. Tanaman tajuk rendah adalah C. frustescens. Petani memilih tanaman tersebut sebagai tanaman tajuk rendah karena tanaman ini tahan terhadap naungan dan memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Ada beberapa alasan yang menyebabkan petani berminat menanam pepohonan (tajuk tinggi) antara lain, pepohonan yang masih kecil tidak mengganggu tanaman semusim dan perawatan terhadap tanaman pangan dapat memberikan keuntungan bagi pepohonan, petani dapat menanam tanaman yang tahan naungan sehingga menambah pendapatan, menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi misalnya buah-buahan berarti menabung untuk masa depan dan menanam pohon tidak memerlukan banyak perawatan (Hairiah et al. 2000). Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Helton et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemilihan jenis yang tepat adalah kunci kesuksesan
37
agroforestry di Brazil. Jenis pohon yang ingin dikembangkan petani
adalah
pohon yang tumbuhnya tidak bersaing dengan tanaman kopi (compatible) atau tidak kompatibel tetapi memiliki keragaman produk. Hasil identifikasi jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani disajikan pada Tabel 9. Jenis tanaman pilihan petani dijadikan dasar dalam penentuan pola tanam optimal. Tanamantanaman tersebut adalah: Tanaman Coffea robusta Tanaman C. robusta atau tanaman kopi paling diminati masyarakat Desa Ngarip sebagai tanaman pokok karena tanaman ini lebih stabil memberikan pendapatan tahunan dibandingkan tanaman tahunan lain dan tanaman kopi cocok tumbuh di lahan HKm. Tanaman ini sudah ada sejak tahun 1980an
ketika
pertama kali masyarakat membuka lahan kawasan. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman kopi sangat tergantung atau dipengaruhi oleh keadaan lingkungan secara ekonomis. Faktor-faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tanaman kopi antara lain adalah ketinggian tempat, curah hujan, sinar matahari dan tanah. Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda-beda. Jenis kopi yang dibudidayakan di Desa Ngarip adalah kopi robusta. Kopi robusta tumbuh optimum pada ketinggian 400-700 meter di atas permukaan laut, tetapi beberapa diantaranya masih tumbuh baik dan ekonomis pada ketinggian tempat antara 500-1.700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan berkisar antara 2.000-3.000 mili meter per tahun, tetapi kopi masih tumbuh baik pada daerah bercurah hujan 1.3002.000 mili meter per tahun. Banyaknya intensitas matahari yang dikehendaki tanaman kopi berkisar antara 10-50%. Tanaman kopi menghendaki tanah yang gembur, agak masam, subur dan kaya bahan organik dengan pH 4,5-6,5 (Najiyati dan Danarti 1999). Jumlah tersebut tergantung pada iklim dan jenis kopinya. Tanaman kopi di Kabupaten Tanggamus memiliki areal seluas 41.525 hektar atau 42% dari luas areal tanaman perkebunan (BPS 2010). Produktivitas biji kopi kering di Desa Ngarip rata-rata sebesar 0,8 ton per hektar per tahun dengan ratarata jumlah tanaman sebanyak 2.500 batang per hektar (Pekon Ngarip 2010).
38 38
Tabel 9 Jenis tanaman pilihan masyarakat Jenis Tanaman Nama Lokal Kopi Lada Cengkeh Kakao Pala Alpukat Durian Pisang Cabai Kayu
Nama Botani Coffea robusta*** Piper nigrum *** Eugenia aromatica *** Theobroma cacao *** Myristica fragrans *** Persea americana Durio zibethinus Musa spp. Capsicum frustescens Kayu
Harga(Rp/kg) (Rp/bh)* (Rp/tandan)** 16.500 50.000 50.000 18.000 3.000 2.000 3.000 2.000 5.000 0
Rata-rata Produktivitas (kg/btg/th) (buah/btg/th)* (tandan/btg/th)** 0,32 0,375 1 1,5 100 10 20 4 0,1 0
Harga komoditas (Rp/btg) 5.280 9.375 50.000 27.000 300.000 20.000 60.000 8.000 500 0
Usia panen (th) (bln)* 3 3 5 4 7 7 7 6 5 -
Frekuensi panen rata-rata (dalam setahun) (dalam sebulan)* 1x 1x 1x 1x 1x 1x 1x 4x 2x -
Sumber: hasil perhitungan penulis Keterangan: *) Rata-rata produktivitas buah durian dihitung dalam satuan buah/btg/th. Satuan usia panen tanaman pisang dan cabai adalah bulan. Frekuensi panen rata-rata tanaman cabai dihitung dalam sebulan **) Harga buah pisang dinilai dalam satuan Rp/tandan dan rata-rata produktivitas dinilai dalam satuan tandan/btg/th ***) Produktivitas buah kopi,lada,cengkeh,dan kakao dinilai dalam kondisi buah kering, produktivitas pala dinilai dalam kondisi buah segar
39
Tanaman Piper nigrum Tanaman lada (P. nigrum) adalah tanaman yang diminati oleh masyarakat desa Ngarip sebagai tanaman sela. Tanaman ini sebagian besar belum berproduksi. Produktivitas lada nasional yaitu 800 kilogram per hektar (Suprapto dan Yani 2008). Produktivitas tumpang sari tanaman lada adalah 250 - 500 gram per tanaman per tahun (Zaubin dan Yufdi 1996). Rata-rata produktivitas tumpang sari tanaman adalah 375 gram buah kering per tanaman per tahun. Pada umumnya lada memerlukan tanaman penegak atau tajar untuk rambatannya. Tanaman penegak yang digunakan sebagai rambatan lada adalah tanaman G. sepium, L. leucocephala, M. fragrans, Erythrina sp. dan C. pentandra.
Tanaman Eugenia aromatica E. aromatica atau cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang diminati karena bernilai ekonomi tinggi. Manfaat tanaman ini cukup banyak sebagai rempah-rempah, bahan campuran rokok kretek atau bahan dalam pembuatan minyak atsiri. Tanaman ini sudah pernah ditanam di Desa Ngarip. Harga yang tidak menguntungkan pada saat itu menyebabkan tanaman cengkeh ditebang. Penanaman mulai dilakukan kembali saat ini. Tanaman cengkeh memiliki struktur perakaran yang dalam hingga mencapai kedalaman 3 meter.
Tinggi pohon mencapai 15 - 40 meter. Tajuk tanaman
cengkeh umumnya berbentuk kerucut, piramid atau piramid ganda, dengan batang utama menjulang keatas. Tanaman cengkeh cukup baik ditanam di lahan-lahan miring sehingga mampu melindungi tanah dari bahaya longsor. Lahan miring akan memberikan drainase yang lebih baik dan kecil kemungkinan terjadinya penggenangan
air
yang
berpengaruh
buruk
pada
pertumbuhan
akar
(Hadipoentyanti 1997). Produksi yang dihasilkan tanaman cengkeh dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Produksi tanaman cengkeh tidak sama dari tahun ke tahun. Produksi masih sedikit pada saat awal panen, semakin lama produksi semakin meningkat. Tanaman cengkeh mengalami panen raya dalam 3 4 tahun sekali (Bintoro 1986). Berdasarkan pengalaman petani, cengkeh masih dapat tumbuh di Desa Ngarip meskipun produksinya kurang optimal. Produktivitas tanaman cengkeh di daerah penelitian bervariasi berdasarkan hasil wawancara. Produktivitas tanaman cengkeh semakin baik sejalan dengan semakin tuanya umur tanaman. Produktivitas tanaman mencapai 6 - 8 kilogram
40
cengkeh kering per pohon per tahun pada umur 11 - 20 tahun. Produktivitas hanya 1 kilogram cengkeh kering per pohon per tahun pada umur 6 - 7 tahun. Tanaman Theobroma cacao Tanaman T. cacao atau tanaman kakao tumbuh ideal pada ketinggian kurang dari 800 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.100 - 3.000 milimeter per tahun dan suhu 18o - 32oC (Siregar, Riyadi, Nuraeni 1988). Wilayah penelitian masih sesuai untuk penanaman kakao ditinjau dari faktor iklim. Produktivitas tanaman kakao di Desa Ngarip sebesar 600 kilogram per hektar per tahun (Profil Pekon 2010). Produktivitas tumpang sari tanaman kakao dengan tanaman kelapa yang ditanam pada tahun 1983 menghasilkan 700 kilogram per hektar biji kakao kering pada tahun 2002 dengan jarak tanam 2 m × 3 m. Hal ini berarti
produktivitas biji kakao kering adalah 0,6 kilogram per tanaman per tahun. Produksi biji kakao dengan beberapa jenis tanaman penaung disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil wawancara, produktivitas rata-rata kakao cukup baik di wilayah penelitian yaitu 1,5 kilogram biji kakao kering per tanaman per tahun. Tabel 10 Produksi biji kakao dengan beberapa jenis tanaman penaung Produksi kakao (kg/ha/th) 897 1.143 1.095 982 1.129
Spesies tanaman penaung G. maculate P. javanica C. pentandra P. speciosa G. robusta dan Mahagony sp. Sumber: Lim 1978 diacu dalam Zaenuddin 2010
Tanaman
kakao
memerlukan
pohon
pelindung
untuk
mengurangi
pencahayaan matahari penuh. Pohon pelindung yang baik adalah pohon yang tidak menghasilkan biji, cepat tumbuh, percabangan dan daunnya memberikan perlindungan yang baik, tidak mengalami masa gugur daun pada musim tertentu, perakaran kokoh, dan bebas dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Jenis pohon yang sering menjadi pelindung tanaman kakao adalah L. leucocephala, M. fragrans, Erythrina sp., dan Musa sp. (Siregar, Riyadi, Nuraeni 1988). Tanaman Myristica fragrans Tanaman M. fragrans atau tanaman pala banyak diminati karena produktivitas dan bernilai ekonomi tinggi. Tanaman pala memiliki ketinggian mencapai hingga 16 m dan membentuk akar tunggang yang cukup dalam.
41
Tanaman ini sangat baik sebagai tanaman pelindung selain memiliki produktivitas yang tinggi. Tajuknya berbentuk kerucut dan berdaun rimbun. Tanaman ini bermanfaat sebagai tanaman rempah-rempah dan penghasil minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri pengalengan, minuman dan kosmetik (Drazat 2007). Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 5 - 6 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun hasilnya mulai meningkat. Peningkatan optimum dicapai pada umur rata-rata 25 tahun. Produksi optimum bertahan hingga tanaman berumur 60 - 70 tahun dan kemudian produksi menurun hingga mencapai umur lebih dari 100 tahun. Produktivitas buah pala per pohon tercatat 320 - 1.679 buah di daerah Ungaran (Rismunandar 1992).
Purseglove JW menyatakan bahwa
sebatang pohon pala yang sudah cukup dewasa dapat menghasilkan 1.500 - 2.000 buah. Produktivitas pala berkisar antara 112 - 224 kilogram per hektar dan 560 1.120 kilogram biji kering per hektar. Pada tahun 1983 di Maluku tercatat tanaman pala yang sudah menghasilkan seluas 10.266 hektar dengan produksi sekitar 4.620 ton biji kering. Ini berarti produksi per hektar di Maluku mencapai 450 kilogram biji pala kering dengan jarak tanam rata-rata 10 m × 10 m,
sehingga dapat ditaksir produksi per tahun adalah 4,5 kilogram biji pala kering per pohon atau sekitar 600 kilogram buah pala segar per pohon. Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 7 tahun di daerah penelitian. Semakin tua umur tanaman, produktivitas semakin tinggi. Berdasarkan pengalaman petani di daerah sekitar wilayah penelitian (Gisting), tanaman pala bisa menghasilkan buah sebanyak 1 ton per batang dengan umur diatas 20 tahun. Produksi tanaman pala pada umur 7 tahun adalah 1 kuintal buah pala segar per pohon per tahun di wilayah penelitian. Produktivitas tanaman pala sangat dipengaruhi ketinggian tempat tumbuh dan iklim. Ketinggian tempat yang optimal adalah 500-700 meter di atas permukaan laut, suhu sekitar 20o - 30oC dan curah hujan merata sepanjang tahun (Sunanto 1988). Produktivitas pala akan rendah bila tidak memenuhi persyaratan optimal. Tanaman Persea americana Tanaman P. americana atau tanaman alpukat diminati masyarakat sebagai sumber makanan dan pakan ternak. Tanaman ini sudah lama ditanam di Desa
42
Ngarip. Manfaat yang diambil dari tanaman ini berupa buah dan daun. Bentuk tajuk tanaman alpukat menjorong ke atas, sistem perakarannya berakar tunggang dan tinggi tanaman mencapai 15 meter (Kemenristek 2011). Tanaman dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, curah hujan minimum 1.5003.000 milimeter per tahun dan suhu optimal 12,8o - 28,3oC. Tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi, sehingga bisa mentolerir suhu udara 15o - 30o C atau lebih. Ketinggian tempat optimum yaitu 200 - 1.000 meter di atas permukaan laut. Produktivitas varietas alpukat unggul nasional, yaitu varietas hijau panjang dan varietas hijau bundar mencapai 40 - 80 kilogram per pohon per tahun atau rata-rata 50 kilogram dan 20 - 60 kilogram per pohon per tahun atau rata-rata 30 kilogram (Agromedia 2009). Produktivitas cukup rendah jika dibandingkan dengan produktivitas alpukat di wilayah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara, produktivitas buah alpukat rata-rata sebesar 10 kilogram per tanaman per tahun. Tanaman Durio zibethinus Tanaman D. zibethinus atau durian diminati sebagai sumber makanan untuk dikonsumsi dan dijual. Tanaman durian tumbuh optimal pada ketinggian kurang 400 - 600 meter di atas permukaan laut, tetapi ada juga tanaman durian yang cocok ditanam di berbagai ketinggian. Waktu berbunganya lebih lambat dibandingkan dengan durian yang ditanam di dataran rendah jika ditanam di dataran tinggi. Curah hujan maksimum 3.000 - 3.500 milimeter per tahun dan minimal 1.500 - 2.500 milimeter per tahun. Intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan adalah 40% - 50%. Tanaman durian cocok pada suhu rata-rata 22o 29o C. Durian dapat tumbuh tetapi pertumbuhan tidak optimal pada suhu 15o C (Agromedia 2009). Tanaman durian memiliki tajuk berbentuk kerucut (Anonim 2011). Tanaman ini bisa dikembangkan di wilayah penelitian berdasarkan persyaratan optimal. Produktivitas tanaman dipengaruhi oleh umur tanaman. Lebih dari 50 varietas durian unggul nasional dari berbagai daerah sudah dilepas di Indonesia. Produktivitas varietas tanaman durian unggul nasional berkisar antara 50 - 800 buah per pohon per tahun. Produktivitas cukup rendah jika dibandingkan dengan produktivitas rata-rata buah di sekitar wilayah penelitian. Berdasarkan hasil
43
wawancara, produktivitas tanaman pada saat mulai berbuah (umur 7 tahun) adalah 20 buah per pohon per tahun sedangkan pada umur tanaman lebih dari 15 tahun, produktivitas mencapai 100 buah per pohon per tahun. Tanaman Musa sp. Tanaman Musa sp. atau tanaman pisang diminati masyarakat sebagai tanaman sela. Tanaman ini banyak manfaatnya sebagai sumber makanan, pakan ternak dan pembungkus makanan. Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian tidak lebih dari 1.600 meter di atas permukaan laut. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27oC, dan suhu maksimumnya 38oC. Curah hujan 2.000 - 2.500 milimeter per tahun atau paling tidak 100 milimeter per bulan (BPTP 2008). Berdasarkan persyaratan tumbuh optimal, tanaman cocok dikembangkan di wilayah penelitian. Hasil wawancara menyatakan bahwa produktivitas tanaman pisang rata-rata sebanyak 4 tandan per tanaman per tahun. Tanaman Capsicum frustescens C. frustescens atau cabai rawit merupakan tanaman tajuk rendah yang banyak diminati masyarakat karena mampu tumbuh di bawah naungan dan memiliki harga jual yang cukup tinggi saat ini. Tanaman cabai yang ditanam secara intensif pada lahan 1 hektar rata-rata sebanyak 16.000 - 17.000 tanaman. Produktivitas mencapai 1 kilogram per tanaman per tahun dengan keuntungan sekitar 45 juta rupiah (Agromedia 2008). Produktivitas cabai rawit hibrida mencapai 14 ton per hektar per tahun atau ditaksir sekitar 0,8 - 0,9 kilogram per tanaman per tahun (Agromedia 2007). Hasil penelitian Harisetijono et al. (2005) di Pulau Lombok menemukan rata-rata produktivitas tumpang sari tanaman cabai berkisar antara 50 – 1.400 kilogram per hektar per tahun. Berdasarkan hasil wawancara, penanaman tanaman di bawah naungan akan menurunkan produktivitas tanaman, tetapi tanaman mampu bertahan hidup lebih lama (2 tahun) dibandingkan bila ditanam tanpa naungan (1 tahun). Cabai rawit mencapai usia panen pada umur 5 bulan. Pemanenan selanjutnya dilakukan setiap 10 sampai 20 hari sekali atau 2 kali dalam sebulan. Produktivitas tanaman di bawah naungan cukup rendah, yaitu rata-rata 0,1 kilogram per tanaman per tahun. Jarak tanam
44
cabai rawit diwilayah penelitian rata-rata cukup rapat (0,5 m × 0,3 m), sehingga dalam satu baris tanaman kopi terdapat 150 - 200 tanaman cabai rawit. Tanaman kayu Tanaman kayu terdiri dari jenis M. azedarach, P. falcataria, L. leucocephala, Michelia sp., G. sepium, Erhytrina sp. C. calothyrsus dan M. eminii. Tanaman kayu di lahan HKm berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi tanaman di bawahnya khususnya tanaman kopi. Tanaman pelindung berfungsi mengatur intensitas matahari sesuai dengan yang dibutuhkan, menghasilkan bahan organik berupa daun-daunan yang dapat menyuburkan tanah, menyerap unsur hara dari tanah bagian dalam, menahan erosi, menahan kencangnya angin, menahan tumbuhnya beberapa jenis gulma sehingga mengurangi biaya pemeliharaan, mengurangi terjadinya kekeringan dan sebagai pakan ternak (Najiyati dan Danarti 1999). Pola Tanam Optimal Hasil identifikasi pola tanam ditemukan adanya rencana perubahan pola tanam berdasarkan jenis-jenis tanaman pilihan petani. Tiga puluh enam pola tanam aktual mengalami perubahan pola menjadi enam belas pola tanam. Pola tanam aktual dengan komposisi sederhana yaitu 1 - 6 kombinasi tanaman dikembangkan menjadi pola tanam yang komposisinya lebih beragam, yaitu 6 10 kombinasi tanaman. Pola tanam yang paling banyak ingin dikembangkan masyarakat adalah pola tanam 4, 7, 12, 14 dan 15 sedangkan pola tanam yang paling sedikit ingin dikembangkan masyarakat adalah pola tanam 16. Beberapa pola tanam aktual yang sama mengalami perubahan pola tanam yang berbeda tergantung preferensi petani dalam mengembangkan jenis tanaman, misalnya pola tanam 1. Beberapa pola tanam aktual yang berbeda berubah menjadi pola tanam yang sama sesuai dengan jenis-jenis tanaman yang ingin dikembangkan, misalnya pola tanam 2 dan pola tanam 12. Petani-petani yang menerapkan pola tanam 1 ingin menambah jenis tanaman lada, kakao, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu tetapi ada juga petani yang ingin mengembangkan jenis tanaman yang berbeda, seperti tanaman lada, cengkeh, kakao, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu.
Petani-petani yang menerapkan pola tanam yang berbeda seperti pola
45
tanam 2 dan pola tanam 12 ingin mengembangkan jenis tanaman yang sama, yaitu tanaman kopi, lada, cengkeh, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu. Perubahan tiga puluh enam pola tanam aktual menjadi enam belas pola tanam disajikan pada Lampiran 2. Enam belas pola tanam yang direncanakan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Pola tanam yang direncanakan di wilayah penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Rencana pola tanam kopi + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + cengkeh + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + cengkeh + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + cengkeh + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + cengkeh + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + cengkeh + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + cengkeh + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + cengkeh + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu kopi + lada + cengkeh + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu
Hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa petani memiliki kecenderungan menanam tanaman kopi, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayukayuan sehingga tanaman-tanaman tersebut selalu ada di setiap rencana pola tanam sedangkan tanaman lada, cengkeh, kakao dan pala menempati 50% dari pola tanam yang direncanakan petani. Kecenderungan ini didasarkan pada pengalaman masing-masing petani dalam membudidayakan jenis tanaman tersebut. Pengalaman yang baik dalam membudidayakan suatu jenis akan meningkatkan minat petani untuk menanam jenis itu. Enam belas pola tanam dihitung jumlah tanaman dan keuntungannya untuk pola tanam aktual dan pola tanam yang direncanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1
Perhitungan jumlah tanaman dan keuntungan pada pola tanam aktual berdasarkan tanaman-tanaman yang ada di lapangan sedangkan tanaman yang belum ada (belum ditanam) tidak dihitung.
2
Perhitungan jumlah tanaman dan keuntungan pada pola tanam yang direncanakan berdasarkan tanaman-tanaman yang ada di lapangan dan yang
46
direncanakan. Jumlah tanaman tersebut dioptimalkan melalui analisis optimalisasi. Tabel 12 menunjukkan rata-rata jumlah tanaman aktual dan hasil optimalisasi untuk setiap strata. Tabel 12 Jumlah tanaman aktual dan hasil optimalisasi setiap strata Pola tanam 1 2-5 6-11 12-15 16
Aktual (btg/ha) Strata Tinggi Sedang Rendah 70 1.831 584 100 2.371 1.047 105 2.264 232 117 2.231 547 241 2.200 100
Hasil optimalisasi (btg/ha) Strata Tinggi Sedang Rendah 150 1.600 2.500 150 1.600 2.500 150 1.600 2.400 150 1.600 2.400 150 1.600 2.500
Pola tanam aktual memiliki jarak tanam cukup rapat. Jarak tanam ditentukan berdasarkan kerapatan tanaman tajuk sedang. Jarak tanam tanaman kopi pada pola tanam aktual adalah 2 m × 2 m kecuali pola tanam 1 yang mendekati kombinasi
optimal dengan jarak tanam 2,75 m × 2 m. Tanaman tajuk tinggi ditanam diantara
baris tanaman kopi sebagai tanaman sela secara acak sedangkan tanaman tajuk rendah ditanam di bawah tanaman kopi. Tanaman ini mampu tumbuh di bawah naungan sampai umur 2 tahun. Pola tanam hasil optimalisasi memiliki jarak tanam ideal, yaitu 2,5 m × 2,5 m (Najiyati dan Danarti 1999).
Jarak tanam ideal
memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman sela. Semua pola tanam hasil optimalisasi memiliki jumlah tanaman tajuk tinggi sebanyak 150 pohon per hektar dengan jarak tanam 8 m × 8 m.
Jumlah tanaman tajuk tinggi yang disarankan oleh pemerintah sebanyak 400
batang per hektar. Jumlah ini terlalu padat sehingga akan mengganggu produktivitas tanaman kopi menurut petani. Kemungkinan tanaman kopi tidak berproduksi karena terganggu oleh tanaman tajuk tinggi pada saat izin HKm berakhir. Penelitian sistem agroforestry kopi oleh Helton et al. (2010) yang melibatkan petani dalam penelitiannya menggunakan kerapatan pohon sekitar 100 batang per hektar. Pemangkasan tajuk yang rutin disarankan dalam penelitian ini agar tanaman kopi mendapatkan sinar matahari yang cukup sehingga produksi tanaman tetap baik. Hairiah et al. (2000) menyebutkan bahwa untuk mengurangi
47
persaingan cahaya antara pohon dan tanaman semusim perlu dilakukan pemangkasan daun dan ranting pohon tanaman pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam aktual memiliki keuntungan yang lebih rendah dari pada pola tanam hasil optimalisasi (Gambar 6). Keuntungan pola tanam hasil optimalisasi berkisar antara Rp 6.000.000 - Rp 36.300.000 per hektar per tahun. Keuntungan pola tanam aktual berkisar antara Rp 3.000.000 - Rp 10.000.000 per hektar per tahun. Keuntungan pola tanam aktual dihitung berdasarkan keuntungan rata-rata setiap pola tanam.
36.133 ( j K u e t u a n t r u u n p g i a a n h
36.347 35.704
34.048
35.000 29.965
30.000
26.246
25.000
15.000 10.000
19.856
18.370
20.000 12.355 7.238 6.976 6.981 6.223
12.201
12.210
7.297
)
5.000 0 1
2
3
4
5
keuntungan aktual (Rp/ha)
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
Pola Tanam keuntungan hasil optimalisasi (Rp/ha)
Gambar 6 Perbandingan keuntungan pola tanam aktual dan hasil optimalisasi. Keuntungan pola tanam yang berbeda-beda dipengaruhi oleh tingkat komersial tanaman penyusun pola tanam dan keragaman jenis. Pola tanam yang direncanakan terdiri dari jenis-jenis komersial dan memiliki keragaman yang tinggi. Pola tanam aktual kurang komersial dan memiliki keragaman jenis yang rendah. Jenis tanaman komersial berdasarkan harga komoditas dari yang paling tinggi sampai paling rendah adalah tanaman pala, durian, cengkeh, kakao, alpukat, pisang, kopi dan cabai. Jenis tanaman paling komersial di setiap strata adalah tanaman pala, kakao dan cabai. Harga relatif komoditas yang dikembangkan disajikan pada Tabel 13.
48
Tabel 13 Harga relatif komoditas yang dikembangkan X1 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
0,56
0,1
0,2
0,02
0,26
0,09
0,66
10,56
-
0,19
0,35
0,03
0,47
0,16
1,17
18,75
-
1,85
0,17
2,5
0,8
6,25
100
-
0,09
1,35
0,45
3,375
54
-
15
5
37,5
600
-
0,3
2,5
40
-
7,5
120
-
60
-
X8 X9
-
X10 Keterangan: X1 : tanaman kopi, X2 : tanaman lada, X3 : tanaman cengkeh, X4 : tanaman kakao, X5 : tanaman pala, X6 : tanaman durian, X7 : tanaman alpukat, X8 : tanaman pisang, X9 : tanaman cabai, X10 : tanaman kayu
Rentang nilai komersial tanaman pala yang cukup tinggi dengan tanaman lain menyebabkan keberadaan tanaman pala sangat menentukan tingkat keuntungan pola tanam. Tanaman-tanaman yang selalu ada di setiap pola tanam seperti tanaman kopi, alpukat, durian, pisang dan cabai ternyata tidak menentukan keuntungan pola tanam meskipun tanaman kopi mendominasi sebesar 81% dan tanaman cabai mendominasi 100% di setiap strata pola tanam. Komposisi masingmasing jenis pola tanam hasil optimalisasi disajikan pada Tabel 14. Pola tanam 5, 8, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16 memiliki tanaman pala sebanyak 65%. 79%, 36%, 62%, 55%, 51% , 68% dan 26% sehingga pola tanam tersebut memperoleh keuntungan yang tinggi dibandingkan pola tanam lainnya. Pola tanam 8 memiliki tanaman pala paling banyak sehingga keuntungannya cukup besar tetapi keuntungan pola tanam ini lebih rendah dari pola tanam 15. Pola tanam 15 memperoleh keuntungan tertinggi sebesar Rp 36.300.000. Keuntungan tertinggi disebabkan karena pola tanam ini terdiri dari tanaman komersial di setiap strata, memiliki keragaman jenis yang tinggi dan komposisi jenis yang tepat.
49
Analisis optimalisasi menunjukkan bahwa jenis-jenis yang kurang komersial akan dikalahkan oleh pilihan jenis-jenis komersial sehingga jenis paling komersial akan dipilih lebih dulu. Hal ini berbeda dengan pola tanam 11, 14 dan 16 yang juga terdiri dari tanaman komersial di setiap strata. Jenis tanaman komersial yang seharusnya diperbanyak menjadi berkurang jumlahnya karena ada tanaman lain yang harus ditanam, seperti adanya tanaman cengkeh yang menyebabkan jumlah tanaman pala menjadi berkurang. Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Arrunglangi (2004) yang menyatakan bahwa pola tanam yang memberikan hasil optimal adalah pola tanam dengan keragaman jenis tanaman yang besar dan bernilai ekonomi tinggi. Tabel 14 Komposisi jenis pola tanam hasil optimalisasi Pola tanam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Komposisi hasil optimalisasi 1300X1 + 9X6 + 96X7 + 300X8 + 2500X9 + 45X10 1300X1 + 23X2+ 7X6+ 98X7 + 300X8 + 2500X9 + 22X10 1300X1+ 2X3 + 9X6 + 94X7+ 300X8 + 2500X9 + 45X10 1300X1 + 42X4 + 3X6 + 60X7 + 300X8 + 2500X9 + 45X10 1300X1 + 97X5 + X6 + 7X7 + 300X8 + 2500X9 + 45X10 1300X1 + 23X2 + 10X3 + 5X6 + 90X7+ 300X8 + 2500X9 + 22X10 1300X1 + 23X2 + 296X4 + 5X6+ 100X7 + 4X8 + 2500X9 + 22X10 1300X1 + 23X2 + 118X5 + 4X6+ 5X7 + 300X8 + 2500X9 + 22X10 1300X1 + X3 + 54X4 + 41X6 + 9X7 + 300X8 + 2500X9 + 45X10 1300X1 + 2X3 + 298X4 + 5X6 + 98X7 + 2X8 + 2400X9 + 45X10 1300X1 + 297X4 + 94X5 + 8X6 + 3X7 + 3X8 + 2400X9 + 45X10 1300X1 + 23X2 + 2X3 + 297X4 + 9X6 + 94X7 + 3X8 + 2400X9 + 22X10 1300X1 + 23X2 + 3X3 + 82X5 + 11X6 + 9X7 + 300X8 + 2500X9 + 22X10 1300X1 + 289X3 + 11X4 + 77X5 + 10X6 + 7X7 + 11X8 + 2400X9 + 45X10 1300X1 + 23X2 + 298X4 + 102X5 + 2X6 + X7 + 2X8 + 2400X9 + 23X10 1300X1 + 23X2 + 5X3 + 290X4 + 40X5 + 50X6 + 10X7 + 10X8 + 2400X9 + 22X10
Peningkatan pola tanam hasil optimalisasi tertinggi terhadap pola tanam aktual terdapat pada pola tanam 13 dengan peningkatan sebesar 1.000%. Peningkatan keuntungan pola tanam hasil optimalisasi terhadap pola tanam aktual tidak terjadi di semua pola tanam hasil optimalisasi.
Pola tanam 3 dan 4
mengalami penurunan keuntungan sebesar 18% dan 9%. Hal ini disebabkan karena analisis keuntungan yang dilakukan dalam jangka pendek. Analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari sesungguhnya dan hasilnya seolah-olah tidak ekonomis (Suharjito et al. 2003). Analisis dilakukan hanya sampai tahun ke-7 sedangkan biaya produksi harus dikeluarkan
50
pada awal pelaksanaan sehingga terjadi penundaan keuntungan, tetapi keuntungan ini akan terus meningkat sejalan dengan umur tanaman. Keuntungan pola tanam hasil optimalisasi masih dalam tahap wajar jika dibandingkan dengan keuntungan dari penggunaan lahan lainnya. Keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit rakyat monokultur, karet monokultur, agroforestry karet dan agroforestry kopi multistrata dengan pohon buah-buahan, yaitu Rp 8.300.000 per hektar per tahun (Rubiansyah 2004), Rp 4.800.000 (Joshi et al. 2001), Rp 18.254.211 per hektar per tahun (Rodgers 2008) dan Rp 15.342.000 per hektar per tahun (Budidarsono dan Wijaya 2003). Hasil perbandingan keuntungan-keuntungan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan dengan sistem agroforestry lebih menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya (monokultur). Suharjito et al. (2003) menyebutkan bahwa agroforestry mampu mencegah penurunan output dan meningkatkan produktivitas dari sistem produksi masa kini. Keberadaan pohon dalam agroforestry dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi dan menahan daya perusak air dan angin dan memberikan hasil ekonomi bagi rumah tangga petani. Hasil penelitian Marwah (2008) menyebutkan bahwa sistem agroforestry menghasilkan laju erosi yang lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan dengan produksi dan pendapatan yang dapat memenuhi KHL keluarga petani dan secara sosial budaya dapat diterima. Buana, Suyanto dan Hairiah (2005) menunjukkan bahwa kebun lindung kopi multistrata memiliki nilai jasa lingkungan yang lebih tinggi daripada kopi monokultur, mampu menekan erosi sampai level terendah dan mampu meningkatkan pendapatan petani sampai level tertinggi Banuwa (2008). Agroforestry multistrata kopi dan shaded coffee system juga mampu menurunkan erosi dan run off dibandingkan kopi monokultur. Hal ini mengindikasikan bahwa pepohonan berperan penting dalam perbaikan permukaan tanah terutama kontribusinya dalam memproduksi seresah dan melindungi tanah (Hairiah et al. 2005). Pola tanam yang direncanakan membutuhkan dimensi waktu dan ruang dalam penerapannya.
Dimensi waktu berdasarkan kombinasi permanen dan
51
kombinasi sementara. Jangka waktu dan proses kesinambungan penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agroforestry. Kombinasi berdasarkan tata ruang memperhatikan penyebaran berbagai komponen khususnya tanaman kehutanan dan pertanian. Penyebaran bersifat merata atau tidak merata (Sardjono et al. 2003). Tanaman kopi dan kakao memerlukan naungan atau pelindung selama hidupnya sehingga tanaman-tanaman yang dipersiapkan sebagai tanaman pelindung dari jenis kayu-kayuan maupun MPTS ditanam lebih dulu. Penanaman tanaman pelindung dilakukan 1 atau 2 tahun sebelum penanaman tanaman kopi dan kakao (Najiyati dan Danarti 1999). Penanaman tanaman cabai dilakukan pada saat tanaman kopi belum ditanam dan dapat terus ditanam di bawah naungan kopi. Berdasarkan hasil wawancara, tanaman cabai dapat bertahan hidup selama 6 tahun di bawah tanaman kopi. Penyebaran tanaman pada kondisi aktual tidak merata (acak). Penyebaran pada pola tanam yang direncanakan bisa dilakukan secara merata atau acak. Penyebaran dilakukan secara merata apabila pohon-pohon tumbuh secara merata berdampingan dengan tanaman pertanian, baik sifatnya sementara ataupun permanen dengan memperhatikan jarak tanamnya. Penyebaran dilakukan secara acak apabila tanaman berkayu ditempatkan secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan. Jenis pohon yang cepat tumbuh dan cepat menyebar (umumnya dari suku Leguminosae atau Fabaceae) bisa ditanam di sepanjang garis kontur pada daerah-daerah lereng untuk menghindarkan erosi (shelterbelt). Faktor Penentu Implementasi Optimalisasi Pola Tanam Faktor ketersediaan modal dan HOK sangat penting dalam menerapkan pola tanam optimal. Pola tanam yang direncanakan tidak dapat diterapkan apabila modal yang dibutuhkan untuk membangun pola tanam yang direncanakan tidak tersedia. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa petani memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp 18.300.000 (Lampiran 3) dan pengeluaran rata-rata sebesar Rp 18.000.000 (Lampiran 4). Modal minimal yang harus disediakan petani adalah Rp 6.400.000 sedangkan modal yang tersedia sebesar Rp 300.000, sehingga secara finansial petani kekurangan modal. Petani bisa mencari sumber-sumber modal dari dalam dan luar petani. Sumber modal dari dalam berasal dari milik
52
petani sendiri seperti tabungan, kerja petani, ternak, alat-alat pertanian dan emas. Kekayaan yang semula tidak produktif dapat digerakkan menjadi produktif. Petani bisa menggunakan tabungan untuk menambah modal usahatani. Petani yang memiliki kelebihan waktu kerja memanfaatkan waktunya dengan usaha lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Petani juga bisa memanfaatkan ternak dan emas dengan menguangkannya untuk menambah modal. Penyediaan modal dari luar petani berasal dari pinjaman atau kredit. Petani bisa memperoleh kredit dari lembaga keuangan (bank) atau pemilik modal swasta yang berada di wilayah sekitarnya. Kredit digunakan petani untuk pembelian sarana produksi dan biaya hidup. Kendala yang sering dihadapi adalah petani sering tidak memiliki
surat bukti pemilikan tanah sebagai jaminan sehingga
menyulitkan petani untuk memperoleh kredit dari bank. Petani lebih banyak menggunakan fasilitas kredit dari pemilik modal (perseorangan) karena prosedurnya lebih mudah, akibatnya mereka terjerat dalam sistem ijon yang merugikan petani. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas kredit yang mudah dicapai, prosedur mudah dan suku bunga yang relatif rendah kepada petani agar menguntungkan kedua belah pihak. Dukungan pemerintah juga dapat dalam bentuk pemberian barang modal. Modal yang dibutuhkan berupa modal bergerak seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan sebagainya. Bantuan berupa bibit yang berkualitas, pupuk dan alat-alat pertanian akan mempercepat penerapan pola tanam optimal. Bantuan bibit yang selama ini diterima petani belum sesuai dengan harapan petani. Bibit yang diperoleh dari pemerintah sering tidak berkualitas sehingga mengalami kegagalan hidup. Bibit yang diberikan juga sering tidak kompatibel dengan tanaman kopi. Bantuan pupuk juga sangat diharapkan selain bantuan bibit. Rata-rata petani di Desa Ngarip melakukan pemupukan 1 kali dalam setahun bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan pemupukan. Frekuensi pemupukan yang dianjurkan adalah 2 kali dalam setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan (Najiyati dan Danarti 1999).
Harga pupuk yang tinggi menyebabkan petani tidak mampu
membeli pupuk. Faktor penentu lainnya untuk menerapkan pola tanam optimal adalah ketersediaan HOK. Rata-rata tenaga kerja yang tersedia di Desa Ngarip terdiri dari satu orang tenaga kerja pria dan satu orang tenaga kerja wanita.
53
Curahan waktu kerja pria untuk mengelola lahan HKm rata-rata adalah 7 jam dalam sehari atau 200 HOK dalam setahun, sisa waktunya digunakan untuk mengerjakan pekerjaan lain seperti mengurus ternak, mengikuti kegiatan kelompok HKm, kerja sampingan, kegiatan sosial dan lain-lain. Curahan waktu kerja wanita untuk mengelola lahan HKm rata-rata adalah 4 jam dalam sehari atau 100 HOK dalam setahun. Pekerja wanita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Total curahan waktu kerja yang tersedia di Desa Ngarip adalah 300 HOK. Jumlah HOK yang dibutuhkan untuk mengelola pola tanam optimal yaitu 148 HOK per hektar sehingga kebutuhan HOK untuk mengelola pola tanam optimal dapat dipenuhi dengan bekerja sendiri. Petani masih mampu mengerjakan lahan maksimal seluas 2 hektar dengan jumlah HOK yang tersedia di Desa Ngarip. Hasil penelitian Budidarsono dan Wijaya (2003) menunjukkan bahwa budidaya kopi monokultur dengan pengelolaan semi intensif membutuhkan tenaga kerja paling besar (184 HOK/ha/th) diantara sistem lainnya sedangkan budidaya kopi multistrata rata-rata menyerap tenaga kerja 107 - 166 HOK per hektar per tahun. Faktor lain yang menjadi penentu penerapan pola tanam optimal adalah ketersediaan pasar komoditas dan sarana penyuluhan bagi petani. Komoditas yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat seperti kopi, lada, kakao dan alpukat lebih mudah dipasarkan daripada komoditas yang baru akan dkembangkan. Komoditas yang menjadi pilihan masyarakat Desa Ngarip adalah komoditas komersial yang memiliki permintaan dan harga jual yang tinggi sehingga petani tidak merasa kesulitan dalam memasarkan produknya. Kendala yang sering petani hadapi adalah harga komoditas yang tidak stabil. Informasi pasar berupa perkembangan harga, permintaan pasar, karakteristik produk yang diinginkan, alternatif saluran distribusi dan harga komoditas yang diusahakan perlu diketahui agar petani tidak dirugikan.
Pemasaran yang efektif dapat membantu petani
memaksimalkan dan menstabilkan pendapatan dalam periode jangka panjang. Pengetahuan tentang pemasaran juga dapat menurunkan risiko kelebihan pasokan yang menyebabkan menurunnya harga produk. Pemasaran dapat mengidentifikasi permintaan-permintaan baru dan melalui diversifikasi produk dan jasa dapat memuaskan konsumen. Masyarakat di perdesaan dapat mempelajari penyesuainpenyesuaian yang harus mereka lakukan untuk mempertemukan permintaan pasar.
54
Banyak petani subsisten memiliki akses dan informasi pasar yang terbatas. Petani dapat meningkatkan pilihan-pilihan mereka dan memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar melalui pemasaran (Harcharik 1996). Petani juga harus menguasai pengetahuan teknis selain pengetahuan pasar.
Pengetahuan teknis sangat menentukan keberhasilan
penerapan pola tanam optimal terutama pengetahuan tentang teknik budidaya tanaman. Peran penyuluh sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan petani. Penyuluhan dapat berupa pengenalan cara-cara produksi yang baru, pengenalan teknologi baru, demonstrasi usahatani dan sebagainya. Pada umumnya petani mengelola jenis-jenis yang sudah mereka kenal. Penguasaan teknis terhadap jenis-jenis yang baru dikenal seperti tanaman pala dan durian mereka ketahui dari orang lain yang sudah berpengalaman. Kendala teknis yang sering petani hadapi adalah masalah hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman kopi, seperti penyakit jamur upas dan karat daun. Penyuluhan dan pendampingan tentang teknik budidaya tanaman yang diusahakan sangat diperlukan agar petani memperoleh informasi yang benar. Dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi sangat diharapkan dalam meningkatkan usahatani di Desa Ngarip. Ukuran Garis Kemiskinan Total pendapatan aktual petani Desa Ngarip berkisar antara Rp 68.000 - Rp 1.570.000 per kapita per bulan. Ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia adalah Rp 130.000 - Rp 173.000, Rp 195.000 dan Rp 267.000 - Rp 534.000 per kapita per bulan. Berdasarkan standar tersebut,
sebanyak 8%
pendapatan petani desa Ngarip berada di bawah garis kemiskinan Sajogyo, 15% berada di bawah garis kemiskinan BPS, 22% berada di bawah garis kemiskinan Bank Dunia US$1 dan 77% berada di bawah garis kemiskinan Bank Dunia US$. sedangkan sebanyak 23% pendapatan petani desa Ngarip berada di atas garis kemiskinan Bank Dunia US$2. Sebagian besar pendapatan petani berada di antara garis kemiskinan Bank Dunia US$1 dan garis kemiskinan Bank Dunia US$2. Gambar 7 menunjukkan perbandingan ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia terhadap total pendapatan aktual.
55
( U k u r a n g a r i s
k e m i s k i n a n
)
R p / k a p i t a / b l n
1.700.000 1.600.000 1.500.000 1.400.000 1.300.000 1.200.000 1.100.000 1.000.000 900.000 800.000 700.000 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64 Responden Totap pendapatan ( Rp/kapita/bln) Sajogyo 240 kg Sajogyo 320 kg
BPS Bank Dunia US$1 Bank Dunia US$2
Gambar 7 Perbandingan ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia terhadap total pendapatan aktual. Kebutuhan Hidup Layak Hasil perhitungan ukuran garis kemiskinan diperoleh bahwa standar garis kemiskinan tertinggi adalah garis kemiskinan Bank Dunia US$2, sehingga ukuran ini yang dijadikan standar dalam menghitung KHL. Berdasarkan standar tersebut, KHL petani adalah Rp 1.335.000 per kapita per bulan atau Rp 16.020.000 per kapita per tahun. Rata-rata jumlah orang dalam satu kepala keluarga (KK) di Desa Ngarip adalah empat orang sehingga KHL adalah Rp 64.080.000 per KK per tahun. Hasil perhitungan KHL aktual adalah Rp 3.800.000 per kapita per tahun atau Rp 15.000.000 per KK per tahun. Hal ini berarti bahwa KHL di wilayah penelitian lebih rendah dari standar KHL dan membutuhkan 4,7 kali KFM untuk mencapai standar KHL. Jumlah KHL aktual yang jauh di bawah standar KHL menunjukkan bahwa pendapatan petani di desa Ngarip sangat rendah sehingga petani harus menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup terbesar adalah kebutuhan pokok yang merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi setiap orang. Pendapatan yang rendah mengharuskan petani mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan yang lain agar dapat bertahan hidup. Kebutuhan
56
selanjutnya yang menjadi perhatian petani adalah pendidikan anak, tabungan, sosial dan pakaian (Lampiran 5).
Sardjono et al. (2003) menyatakan bahwa
keterbatasan investasi yang dimiliki, jangkauan pemasaran produk yang belum meluas dan pola hidup yang masih subsisten, maka jaminan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetap menjadi dasar pertimbangan terpenting. Kebutuhan Luas Lahan untuk Pemenuhan KHL Analisis luas lahan minimal menggunakan standar KHL tertinggi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semua keuntungan dari pola tanam aktual dan hasil optimalisasi tidak dapat memenuhi standar KHL sehingga petani perlu menambah luas lahan untuk memenuhi KHL. Kebutuhan luas lahan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Kebutuhan luas lahan setiap pola tanam berdasarkan standar KHL Pola tanam 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Standar KHL (Rp/th) 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000 64.080.000
Pendapatan aktual (Rp/th) 8.197.500 6.996.000 8.526.667 6.134.200 6.695.000 6.984.800 8.436.000 6.656.100 9.449.300 7.088.333 6.946.875 8.085.000 4.534.667 6.545.000 8.125.833 15.900.000
Luas lahan aktual (ha) 1,75 1,4 1 0,9 0,95 1,3 1 1,1 1,2 1 0,7 0,75 1,2 1,1 0,9 2
Kebutuhan luas lahan (ha) Hasil Aktual optimalisasi 13,7 9,2 12,8 8,9 7,5 9,2 9,4 10,3 9,1 2,1 11,9 8,8 7,6 5,2 10,6 1,8 8,1 3,5 9,0 5,3 6,5 1,9 5,9 5,2 17,0 2,4 10,8 1,8 7,1 1,8 8,1 3,2
Pola tanam hasil optimalisasi mencapai optimal dengan mengelola lahan seluas 1,8 - 10 hektar sedangkan pola tanam aktual membutuhkan luas lahan 6 17 hektar untuk memenuhi standar KHL. Kebutuhan luas lahan paling minimal terdapat pada pola tanam 8, 11, 14 dan 15 sedangkan luas lahan yang dikelola petani berkisar antara 0,7 - 2 hektar. Petani yang dapat memenuhi standar KHL dengan mengoptimalkan lahannya tanpa menambah luas lahan adalah petani pada
57
pola tanam 16. Luas lahan yang dimiliki mencapai 2 hektar sehingga petani dapat memanfaatkan lahan dengan pola tanam 8, 11, 14 dan 15 untuk memenuhi KHL. Petani yang lain memiliki luas lahan yang sempit sehingga penambahan luas lahan sangat diperlukan untuk memenuhi KHL mereka. Pendapatan Petani berdasarkan Luas Lahan HKm Pendapatan aktual dari lahan HKm sebesar Rp 850.000 - Rp 34.000.000 berdasarkan perbedaan luas lahan (Tabel 16). Tabel 16 Pendapatan petani berdasarkan luas lahan Pendapatan aktual (Rp) Minimum Maksimum Pendapatan rata-rata
0,25-1 850.000 13.797.000 6.188.241
Luas lahan (ha) 1,5-2 3.450.000 34.040.000 12.245.282
2,5-3,5 8.868.420 19.092.000 18.096.000
Pendapatan petani HKm di desa Ngarip dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas lahan yang dimiliki, harga komoditas, jumlah tanaman yang sudah menghasilkan dan jenis tanaman komersial yang ditanam pada lahan tersebut. Pendapatan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman yang berada di atasnya. Pendapatan petani dari lahan yang sempit tetapi sudah banyak yang menghasilkan akan lebih besar daripada lahan garapan yang luas namun belum ditanami (belum menghasilkan). Harga komoditas juga mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Komoditas yang diusahakan dari jenis-jenis tanaman komersial akan memberikan pendapatan lebih tinggi daripada tanaman dengan komoditas bernilai ekonomi rendah. Awang (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dari lahan HKm lebih disebabkan oleh jumlah tanaman di lahan HKm, jumlah jenis tanaman, jenis tanaman yang sudah menghasilkan dan jenis tanaman yang memberikan pendapatan tertinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat pendapatan petani HKm perlu diperhatikan terutama dengan menanam tanaman komersial yang cocok atau sesuai dengan kondisi lahan.
58
Prospek Pengembangan HKm Prospek pengembangan HKm cukup baik di Desa Ngarip. Prospek pengembangan HKm ditentukan berdasarkan persepsi dan perspektif petani terhadap HKm. Pengalaman hidup petani selama berusahatani di lahan HKm telah menimbulkan persepsi yang baik terhadap HKm. Data menunjukan bahwa HKm memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar terhadap total pendapatan petani. Lebih dari separuh (53%) pendapatan petani berasal dari usaha HKm (Tabel 17). Tabel 17 Perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran petani Rata-raat pendapatan dan pengeluaran (Rp/th) Pengeluaran Pendapatan -HKm -Lahan milik -Usaha lain Total pendapatan
Rp 18. 000.000 Rp 9.819.563 Rp 6.214.689 2.310.665 Rp 18.344.917
Persepsi yang baik terhadap peranan HKm dalam meningkatkan kesejahteraan ditunjukkan oleh beberapa variabel persepsi (Lampiran 23). Variabel persepsi terdiri dari pengetahuan tentang HKm (definisi HKm, definisi hutan, manfaat ekologi HKm dan hutan dan perbedaan keduanya), tujuan mengikuti program HKm, keuntungan dan kerugian mengikuti program HKm dan kendala-kendala dalam menjalankan program HKm. Masyarakat sebagian besar mengetahui informasi tentang HKm (definisi HKm, definisi hutan, manfaat ekologi HKm dan hutan dan dapat membedakan keduanya) dari sosialisasi yang terus dilakukan oleh pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan pihak terkait lainnya. Masyarakat mengikuti program ini untuk mendapatkan ketenangan dan kesejahteraan. Izin Hkm memberikan ketenangan kepada 87% masyarakat, sedangkan sisanya masih merasa tidak tenang. Petani khawatir terjadi pengusiran seperti yang dulu pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1990-an. Petani juga khawatir sewaktu-waktu izin HKm dicabut. Izin HKm memberikan dampak yang baik bagi kehidupan petani. HKm telah menciptakan lapangan kerja, kesempatan berusaha dan meningkatkan kesadaran akan fungsi hutan sehingga petani merasa diuntungkan. Banyak pemuda desa yang menganggur sebelum mendapat izin
59
HKm. Kekurangan tenaga kerja terutama pada saat musim panen sering dialami petani setelah mendapat izin HKm. Ada beberapa kendala yang dihadapi petani dalam melaksanakan program ini, yaitu kendala modal (pupuk, obat-obatan, harga bibit, transportasi dan sebagainya), harga jual yang tidak stabil, faktor iklim, kekurangan tenaga kerja, keterbatasan pengetahuan (bercocok tanam dan pengetahuan pasar) dan hama penyakit. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala terutama kendala yang terkontrol, sedangkan kendala yang tidak terkontrol tidak bisa diatasi petani. Kendala modal diatasi dengan upaya mencari pinjaman atau menjual barang investasi (ternak dan emas). Kendala tenaga kerja diatasi dengan mencari tenaga kerja dari desa lain. Kendala pengetahuan dilakukan dengan aktif mengikuti kegiatan kelompok HKm. Kendala hama dan penyakit dilakukan dengan upaya pemberantasan hama dan penyakit. Petani ingin mengembangkan HKm berdasarkan perspektif petani terhadap 5 hal, yaitu perpektif ekonomi, lingkungan, teknis, kepentingan investasi dan keberlanjutan izin HKm. Petani ingin mengembangkan HKm untuk meningkatkan pendapatan,
meningkatkan
meningkatkan
pengetahuan
kualitas teknis,
lingkungan pendidikan
agar anak
produksi dan
lestari,
mendapatkan
perpanjangan izin HKm. Kepentingan-kepentingan ini direalisasikan petani melalui beberapa cara: 1) Peningkatan pendapatan dilakukan melalui peningkatan produktivitas tanaman dan lahan, peningkatan kualitas produk, perbaikan pemasaran dan diversifikasi usahatani. Peningkatan produktivitas dimulai dari pemilihan bibit yang berkualitas,
pemeliharaan
(okulasi,
pemupukan,
penyiangan
rumput,
pemangkasan cabang, pemberantasan hama penyakit, konservasi tanah), pemberantasan hama penyakit dan sebagainya. Peningkatan kualitas produk kopi dilakukan dengan pemanenan yang tepat dan perlakuan pasca panen yang benar. Upaya pemasaran dilakukan dengan memasarkan produk kopi kepada pedagang yang memiliki harga jual tinggi. Diversifikasi usahatani dilakukan dengan membuka usaha penggilingan kopi, usaha penjualan bibit dengan membuat persemaian secara berkelompok, menjadi pedagang pengumpul dan pedagang besar, memproduksi kopi luwak dan sebagainya.
60
2) Peningkatan kualitas lingkungan dilakukan melalui konservasi tanah (pembuatan teras dan rorak), penggunaan pupuk alami dan pengurangan bahan kimia (pupuk dan obat-obatan). 3) Prinsip-prinsip teknik dilakukan petani melalui pemilihan jenis tanaman pelindung yang tepat, penerapan teknologi yang tepat, perbaikan cara budidaya, pemberantasan hama penyakit dan sebagainya. Pengetahuan teknis bisa diperoleh dari kegiatan kelompok seperti kegiatan pelatihan dan sekolah lapangan yang ada di Desa Ngarip. 4) Kepentingan investasi dilakukan melalui investasi alat-alat pertanian untuk meningkatkan produksi, penanaman pohon-pohonan yang hasilnya bisa dinikmati dalam jangka panjang dan melalui upaya pendidikan. Upaya pendidikan dilakukan dengan membekali anak dengan pendidikan yang cukup. Sebagian besar petani ingin menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi (71%), SLTA (11%), SLTP (3%) dan lainnya (15%). Mereka menginginkan anak mendapatkan pekerjaan lebih baik seperti pegawai, dokter, bidan, karyawan dan sebagainya. 5) Upaya mendapatkan perpanjangan izin dilakukan dengan mematuhi semua aturan pemerintah dalam ber-HKm. Petani ingin mengembangkan HKm sebanyak 96%, sedangkan sisanya (4%) tidak tertarik mengembangkan HKm. Petani tidak tertarik mengembangkan HKm karena beberapa alasan yaitu: faktor usia, pekerjaan lain dan keterbatasan pengetahuan. Dampak dan manfaat yang dirasakan masyarakat
menunjukkan bahwa
HKm memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Pengembangan HKm akan semakin meningkatkan kontribusi HKm
terhadap pendapatan petani terutama bagi petani yang hidupnya hanya mengandalkan dari lahan HKm. Peningkatan pengetahuan dengan penyuluhan diperlukan untuk mendukung peningkatan dan pengembangan usaha HKm.