HASIL DAN PEMBAHASAN Kebugaran Parasitoid Acerophagus papayae Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kualitas inang, umur inang dan kepadatan inang nimfa instar II KPP yang dibiakkan pada tanaman jarak pagar mempengaruhi parameter kebugaran parasitoid A. papayae. Berdasarkan
mumi
yang
berhasil
memunculkan
parasitoid
baru
menunjukkan persentase lebih tinggi pada nimfa instar 2 (92.16%) dibandingkan pada instar 3 yaitu 85.96%. Namun pada instar 2 terjadi superparasitisme sebesar 14.89%, sehingga optimal pemunculan 77.26%. Hasil penelitian Amarasekare (2007) menunjukkan persentase parasitisme A. papayae pada instar 2 sebesar 82.8±2.1 sedangkan pada instar 3 sebesar 71.2±26. Tabel 1 Lama hidup dan persentase pemunculan parasitoid Instar Inang Instar 2 (n=15) Instar 3 (n=6)
Lama Hidup (hari) 13.57±2.69a 12.66±5.32a
Pemunculan parasitoid (%) 92.16 85.96
Superparasitisme (%) 14.89% -
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t (α=0.05), *
Rerata superparasitisme pada nimfa instar II yaitu 3.13±1.25 berdasarkan jenis kelamin 1.86±1.25 adalah jantan artinya dari satu inang dapat memunculkan 2 sampai 4 keturunan parasitoid jantan sekaligus, sedangkan rerata pemunculan keturunan betina 1.43±1.27 (Gambar 5).
Rataan pemunculan parasitoid
3.5 Jantan
3
betina
2.5 2 1.5 1 0.5 0 4
5
2
superparasitisme
Gambar 5 Rataan pemunculan keturunan pada superparasitisme Menurut Godfray (1994) superparasitisme seharusnya tidak terjadi pada keadaan inang tak terparasit berada dalam jumlah banyak. Lebih lanjut Godfray (1994) juga menyatakan bahwa parasitoid pada awalnya akan memarasit inang yang belum terparasit, kemudian jika inang belum terparasit sulit ditemukan parasitoid akan memarasit inang yang sudah terparasit satu kali; demikian seterusnya hingga inang dapat terparasit berkali-kali. Dalam superparasitisme telur diletakkan oleh betina yang sama dan ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan inang yang tepat (Godfray 1994). Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh ketersediaan inang dan kualitas inang yang terbatas dalam waktu lama pada nimfa instar 2, parasitoid mengalami perubahan perilaku untuk melakukan superparasitisme. Dengan demikian perilaku seleksi inang parasitoid A. papayae dan pemunculan keturunan berkaitan erat dengan kualitas inang dan umur inang pada nimfa instar 2 yang dibiakkan pada tanaman jarak pagar.
a
b
c
d
Gambar 5 Imago A. papayae; imago jantan (a) Ovipositor pada imago betina (b) Parasitoid yang gagal pemunculan pada superparasitisme (c) dan Mumi (d) Kapasitas Reproduksi, Lama Perkembangan dan Nisbah Kelamin Tabel 2. Parameter biologi parasitoid Acerophagus papayae Parameter Lama perkembangan Jantan Betina Keperidian betina Nisbah Kelamin (% Betina)
Intar 2
Instar 3
12.52±2.64 13.55±2.24 3.46±2.07 48.08±29.93
13. 21±2.12 14.0±1.78 8.0±3.22 71.43±21.15
Peningkatan proporsi keturunan betina A. papayae pada berbagai ukuran inang mendukung teori ‘inang-terpaut alokasi keturunan’ parasitoid Hymenoptera (Charnov et al. 1981). Hal ini juga menunjukkan pada kondisi lapang umur inang memainkan peran penting rasio betina parasitoid
A. papayae.
Sequera dan
Mackauer (1993) menyatakan bahwa parasitoid soliter Aphidius ervi Haliday akan
cenderung bias jantan pada aphid pada awal musim ketika sebaran inang instar muda. Perilaku superparasitisme pada nimfa instar 2 dapat lebih disebabkan oleh preferensi parasitoid A. papayae pada nimfa instar 2 KPP,
perilaku
superparasitisme menggambarkan strategi reproduksi parasitoid A. papayae selain pengaruh pemberian nimfa dalam jumlah sedikit dan dalam waktu lama juga ditentukan oleh kualitas inang, umur inang dan ukuran inang pada nimfa instar 2 KPP. Hasil penelitian Amarasekare et al. (2010) menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki tingkat parasitisasi terbaik pada nimfa instar 2 Paracoccus marginatus atau kutu putih pepaya.
Tanggap Fungsional Hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan persamaan kubik menghasilkan nilai parameter kubik yang tidak nyata, begitu pula dengan model kuadratik. Oleh karena itu, parameter P3 dan P2 dikeluarkan dari persamaan dan kemudian dilakukan pengujian ulang terhadap parameter sisanya. Hasil analisis dengan menggunakan model tereduksi disajikan pada Tabel 3. Koefisien linear (P1) yang bernilai negatif dan secara nyata <0 menunjukkan bahwa proporsi inang terparasit menurun dengan kerapatan inang (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa tanggap fungsional parasitoid A. papayae terhadap nimfa KPP tergolong tipe II seperti terlihat pada gambar 8. Tabel 3 Hasil analisis regresi logistik proporsi nimfa KPP yang terparasit oleh A. papayae Parameter Titik potong (Po) Linear P1
Nilai Penduga
Galat Baku
χ2
P
0.000803 -0.1168
0.340 0.28
0 17.39
<0.0001 <0.0001
0. 50 0. 48 0. 46 0. 44 0. 42 0. 40 0. 38 0. 36 0. 34 0. 32 0. 30 0. 28 0. 26 0. 24 0. 22 0. 20 0. 18 0. 16 0. 14 0. 12 0. 10 0. 08 0. 06 0
10
20
30
40
50
Banyaknya i nang yang t er sedi a
Gambar 7 Rataan nilai pengamatan inang yang diparasit (tanda bulat), dan penduga (garis) berdasarkan hasil analisis regresi logistik.
8
7
6
5
4
3
2
1
0 0
10
20
30
40
50
Banyaknya i nang yang t er sedi a
Gambar 8 Kurva tanggap fungsional A. papayae terhadap peningkatan kerapatan inang Dalam penelitian ini tanggap fungsional tipe II didekati dengan persamaan cakram dan persamaan acak. Berdasarkan kriteria R2 pada table 4, tampak bahwa persamaan cakram maupun persamaan acak memperlihatkan kesesuaian yang sama untuk digunakan memerikan hubungan antara kerapatan nimfa KPP dengan rataan banyaknya nimfa terparasit oleh A. papayae. Walaupun demikian, kedua persamaan ini menghasilkan penduga a dan Th yang berbeda. Persamaan acak menghasilkan nilai penduga parameter tanggap fungsional yang lebih tinggi daripada persamaan cakram. Tabel 4 Nilai Penduga parameter laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th) berdasarkan model tanggap fungsional tipe II Model Tipe II Persamaan Cakram Persamaan Acak
a (jam-1) 0.026 ±0.0098 0.033±0.749
Th (Jam) 6.36±0.0098 6.57±0.75
Laju pencarian seketika (a) untuk parasitoid A.papayae yang memarasit nimfa KPP menurut persamaan cakram 0.026±0.0098 dan menurut persamaan acak 0.033±0.75. Laju pencarian seketika (a) menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi parasitoid per unit waktu jelajah, dalam hal ini adalah jam. Laju pencarian seketika ini menentukan seberapa cepat kurva tanggap fungsional mencapai plato atas, dan merupakan fungsi (1) jarak terjauh parasitoid mampu
mendekati mendeteksi inang, (2) kecepatan pergerakan dari parasitoid dan inang, dan (3) proporsi serangan yang berhasil. Nilai penduga Th pada persamaan cakram adalah 6.36±0.0098 jam dan pada persamaan acak 6.57±0.75 jam. Berdasarkan nilai Th baik pada persamaan cakram dan persamaan acak, A.papayae memiliki kemampuan memarasit 5-8 nimfa KPP dalam sehari. Kemampuan parasitisasi ini perlu diketahui dalam rangka mengevaluasi potensi suatu spesies parasitoid sebagai agens pengendalian hayati. Namun demikian, hasil yang diperoleh di laboratorium tidak secara langsung dapat diterapkan pada kondisi lapang. Di lapang banyak faktor yang mempengaruhi tanggap fungsional seperti temperatur dan kompetisi dengan serangga lain (Legaspi et al. 1996).
Menurut Rogers (1972), persamaan cakram dan persamaan acak dapat digunakan untuk memerikan seperangkat data yang sama, tapi akan menghasilkan nilai penduga a dan Th yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan asumsi dari kedua persamaan tersebut. Persamaan cakram mengasumsikan banyaknya inang selalu tetap, dan pola pencarian inang dilakukan secara sistematik yaitu inang yang sudah diparasit tidak akan dikunjungi lagi oleh parasitoid. Persamaan acak mengasumsikan jumlah inang berkurang sejalan dengan waktu karena sebagian telah diparasit, serta pola pencarian inang dilakukan secara acak. Sebagai akibatnya, nilai penduga a dan Th yang dihitung dengan persaman acak lebih tinggi daripada yang dihitung dengan persamaan cakram. Dalam penelitian ini parasitoid A. papayae menunjukkan adanya perilaku selfsuperparasitisme dengan demikian maka persamaan acak lebih sesuai dibandingkan dengan persamaan cakram. Pengaturan populasi hama di alam dapat terjadi karena adanya mekanisme terpaut kerapatan yang bersumber dari tanggap fungsional dan tanggap numerik. Tanggap fungsional tipe III terpaut kerapatan pada selang kerapatan inang tertentu sehingga diperkirakan mampu memelihara kesetimbangan populasi. Sementara tanggap fungsional tipe II bersifat terpaut kerapatan berkebalikan (inverse densitydependent), yaitu proporsi inang yang terparasit menurun dengan meningkatnya kerapatan inang. Keadaan ini dapat menciptakan ketidakstabilan populasi.
Pengaruh kerapatan inang mempengaruhi persentase pemunculan, rasio keturunan dan alokasi keturunan. Rerata persentase pemunculan
parasitoid
terendah pada kerapatan 2 nimfa KPP per arena (86.6%) dan persentase rerata keseluruhan pemunculan parasitoid 92.3±4.6. Proporsi parasitoid betina meningkat dari kerapatan 30 sampai 50/cawan petri, sedangkan jantan menurun dari kerapatan 20 sampai kerapatan rendah 5 nimfa KPP per arena. Demikian pula perilaku selfsuperparasitisme menurun seiring dengan kenaikan kerapatan inang. A. papayae menghasilkan rerata pemunculan keturunan betina 2.75±2.38 per mumi pada superparasitisme sedangkan jantan 1.63±1.06 per mumi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae dapat mengatur strategi peletakan telur seiring dengan kerapatan inang dan pemunculan keturunan betina serta penurunan superparasitisme. Meskipun demikian rerata parasitisasi menurun kembali pada kerapatan 50/cawan petri, rerata harian pada percobaan kerapatan 50 menunjukkan bahwa perilaku A. papayae konsisten dengan tipe II respon tanggap fungsional Holling.
Model Simulasi Dinamika Populasi Inang Kutu Putih Pepaya dan Parasitoid Acerophagus papayae A. Deskripsi Model Sistem dinamik populasi KPP dimodelkan berdasarkan fase perkembangan kutu putih pepaya (Gambar 9). P. marginatus atau kutu putih pepaya merupakan serangga yang mengalami metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina. Betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap), yaitu terdiri dari stadium telur, nimfa instar I, nimfa instar II, nimfa instar III dan imago.
Serangga
jantan
mengalami
metamorfosis
holometabola,
yaitu
metamorfosis sempurna yang terdiri dari fase telur, nimfa instar I, nimfa instar II, pra pupa, pupa dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk,hanya saja terjadi pertambahan ukuran tubuh. Imago betina tidak memiliki sayap sedangkan imago jantan bersayap.
Gambar 9 Fase perkembangan kutu putih pepaya Untuk memudahkan memodelkan life table KPP, maka model dibagi ke dalam sejumlah kohort berdasarkan ambang perkembangan setiap fase perkembangan instar KPP dengan basic time unit dalam hari perkembangan. Pengelompokkan didasarkan pada sistem kohort yang dibentuk (telur, nimfa, pupa dan imago). Untuk memudahkan memodelkan struktur menggunakan fungsi Built-in dan array pada model layering Stella versi 9.02, sedangkan conveyor digunakan untuk menyimpan tranfer materi berdasarkan perilaku model. Analisis potensi dan perilaku parasitoid Acerophagus papayae dan interaksinya dengan
inang KPP menggunakan parameter biologi hasil penelitian Maharani (2011), sedangkan model life table parasitoid didasarkan pada setiap fase perkembangan (Gambar 10). Untuk memahami kompleksitas dinamika populasi inang-parasitoid dalam keadaan alami, pada pemodelan ini menggunakan pendekatan tanaman inang sebagai salah satu sub model. Model simulasi dinamika populasi kutu putih pepaya-A. papayae dengan melibatkan tanaman inang dibangun secara sederhana untuk menggambarkan inang-parasitoid tidak terisolasi dari sistem dinamika populasi.
Gambar 10 Fase perkembangan parasitoid Acerophagus papayae Asumsi digambarkan (1) bila keadaan temperature merupakan keadaan konstan dan (2) perkembangan KPP merupakan keadaan sebaran umur stabil. (3) Parasitoid mengikuti kaidah simulasi model Nicholson Bailey secara diskrit, (4) Dinamika sistem digambarkan secara siklus dengan sistem tertutup tanpa mempertimbangkan emigrasi dan migrasi populasi.
Gambar 11 Interaksi antar sub model Persamaan model matematika untuk menggambarkan interaksi dan perilaku parasitoid A. papayae dan KPP dalam pemodelan ini dilakukan dengan menggunakan kerangka umum dalam pemodelan inang-parasitoid berdasarkan model diskrit dinamika interaksi inang-parasitoid (Mills dan Getz 1996) yakni pertumbuhan populasi secara kontinu pada keadaan struktur umur yang overlapping pada setiap generasi perkembangan. Pendekatan tanggap
fungsional pada
model ini dilakukan untuk
mendapatkan keadaan kestabilan sistem dinamika inang-parasitoid dengan pendekatan terhadap model spasial Hassell (2000). Waktu penanganan inang berdasarkan data percobaan laboratorium diasumsikan (0 ≤ 1). Pemodelan KPPparasitoid A. papayae dilakukan dengan teknik clumping parameter k dengan aproksimasi Euler’s =1. Asumsi dasar yang terimplisit pada persamaan interaksi KPP-A. papayae : 1. Pertumbuhan generasi KPP dan parasitoid A. papayae secara diskrit dan sepenuhnya disinkronkan pada setiap generasi.
2. Rerata kontak dengan inang merupakan kejadian acak antara individuindividu kedua spesies dengan demikian searching parasitoid (a) secara random. 3. Telur parasitoid tidak terbatas 4. Maka proporsi inang terparasit terpaut kepadatan parasitoid. Salah satu asumsi penting dalam pemodelan ini, bahwa parasitoid proovigenic (parasitoid yang pada saat pemunculan telah memiliki telur matang) memiliki keterbatasan absolut pada jumlah inang yang dapat diparasit, dan parasitoid synovigenik (memiliki produksi telur terus menerus). Walaupun memiliki keterbatasan jumlah telur matang pada kurun waktu tertentu, parasitoid synovigenik dibatasi pertimbangan parasitoid betina untuk effisiensi pencarian inang pada kepadatan inang yang tinggi (Mills dan Getz 1996). B. Spesifikasi Matematika Model Simulasi pemodelan dinamika populasi pada model dinamika populasi KPP menggunakan phenology umur perkembangan dalam insisial waktu hari perkembangan KPP. Persamaan matematika model menggunakan kerangka model Gutierrez AP et al. (1989), dan distribusi Erlang dalam Spolia SK (1980) dan Hassell ( 2000). Untuk memudahkan dalam pemodelan sistem dinamik dilakukan notasi persamaan berdasarkan fase perkembangan KPP. Notasi tersebut ; Tlri (t), Crawi (t), Ninangi (t), Ninstar3 i (t), PPi (t), Imagoi (t) menyatakan waktu ke t, dari setiap fase telur, instar 1(crawler), nimfa instar 2, instar 3, pupa dan imago pada setiap kohort pada hari ke i. Tlri (t) menggambarkan jumlah telur yang menetas pada waktu ke t. Notasi PPi.j (t) menyatakan jumlah pupa pada waktu t yang terbentuk dari nimfa instar 1 (Craw i.j). Demikian pula Imago
i.j,k
(t) menyatakan jumlah
populasi imago pada hari k dari fase instar 3 dan pupa. Dalam pemodelan ekologi dan evolusi umumnya menggunakan fungsi waktu tunda (time delay). Hal ini untuk menggambarkan bahwa individu-individu dalam populasi mengalami rerata pematangan pada setiap fase perkembangan berbeda-beda. Beberapa proses biologi yang melibatkan stadium pertumbuhan,
keadan lingkungan yang berubah-ubah mengakibatkan pertumbuhan akan mengalami penundaan. Waktu tunda ini menyebabkan penurunan populasi tetapi kemudian terjadi peningkatan sehingga terjadi osilasi pada pertumbuhan populasi (Hassell 2000). Kutu putih pepaya atau P. marginatus mengalami proses pematangan dari satu fase perkembangan ke fase berikutnya. Untuk mendapatkan keadaan yang dinamik fluktuasi lingkungan disimulasikan dengan menambahkan penyimpangan acak dari mean data lama perkembangan (δ) dan standar deviasi pada Tabel 6. Untuk menentukan agar parameter tetap konsisten dengan fungsi waktu maka dilakukan notasi (•): ( •) = 0, Argumentasi ,
,
(•) = 0 , komputasi ,
,
( •) = 0, dilakukan
(•) = 0,
dengan
(•)=0
menggunakan
notasi;
, merupakan waktu tunda (time delay) pada setiap
fase perkembangan ambang hari fase telur, nimpha instar 1(crawler), nimfa instar 2, pupa dan imago, berturut-turut. Notasi mean ambang perkembangan
(t)
merupakan notasi yang digunakan untuk jumlah hari yang dibutuhkan setiap fase perkembangan instar KPP. Notasi persamaan matematika model ditampilkan pada model interaksi inang-parasitoid. Telur yang menetas pada setiap selang kohort dinyatakan dengan persamaan model Telur i(t)=∑∑
∈
( )
i,j,k (t)
Tabel 5 Simbol dan deskripsi parameter Simbol
Deskripsi
satuan
τ
Selang waktu fase perkembangan pada setiap fase
hari
perkembangan δ
Hubungan kerapatan inang dan parasitoid
Inang/parasitoid
γ
Inaktivasi tingkat telur parasitoid per pohon (patch)
telur/parasitoid
k
Clumping parameter k
-
a
Searching parasitoid
-
T(t)
Ambang perkembangan
hari
Waktu tunda pada setiap fase perkembangan KPP; fase
-
tlr = telur, craw = nimfa instar 1, nim = nimfa pp =pupa, imago=imago AP Fly (t)
Parasitoid betina pada t berturut-turut
-
cAP
Keperidian
Telur/parasitoid
Total jumlah inang yang mati terparasit pada setiap
Inang/parasitoid
( t)
selang kohort
MTRi(t)
Rerata mortalitas inang terparasit
Inang/parasitoid
TNIT
Inang terparasit pada waktu t berturut-turut
Inang/parasitoid
AP Fly max
Lama hidup parasitoid betina
hari
Formulasi Model Interaksi Inang-Parasitoid Model simulasi interaksi kutu putih pepaya dan parasitoid
A. papayae
didasarkan pada siklus hidup kutu putih pepaya. Model life table KPP dimodifikasi untuk mendapatkan interaksi yang dinamis dengan life table parasitoid. Bentuk umum model adalah deterministik dan stokastik dengan menggunakan distribusi waktu tunda ambang perkembangan KPP (Tabel 6). Modifikasi kerangka model life table dilakukan pada model life table inang KPP untuk melakukan pendekatan pemodelan spasial.
Tabel 6 Parameter Biologi kutu putih pepaya Lama
Mortalitas
survival
Fase Perkembangan Imago Betina Imago jantan Telur Nimfa Instar 1 Nimfa Instar 2 betina Nimfa Instar 2 jantan Nimfa Instar 3 Betina Pupa jantan
Perkembangan 14,92 ± 0,59 2,74 ± 0,17 7,23 ± 0,18 5,23 ± 0,12 6,61 ± 0,33 5,09 ± 0,27 7,63 ± 0,47 6,93 ± 0,23
alami 0.49 0.3 0.17 0.17 0.02 0.1 0.2 0.3
0.51 0.7 0.83 0.83 0.98 0.9 0.8 0.7
Lama Hidup imago betina Nisbah Betina Keperidian Betina
33,19 ± 0,67 0.5-0.8 48.5-365
*Sumber Maharani (2011) ** Mortalitas nimfa instar 1 pengaruh CH 0.70
Sektor parasitoid Model life table parasitoid A. papayae tidak jauh berbeda dengan struktur life table pada kutu putih pepaya. Parasitoid A. papayae termasuk parasitoid soliter koinobion perbedaan perkembangan antar fase perkembangan ditentukan berdasarkan lama perkembangan pradewasa pada inang nimfa instar 2 KPP sampai pemunculan parasitoid baru. Penggunaan ambang hari perkembangan parasitoid digunakan untuk membedakan fase perkembangan life table kutu putih pepaya. Untuk mendapatkan keadaan dinamis notasi model dilakukan terhadap fase perkembangan parasitoid terdiri dari telur, larva, pupa dan imago parasoid betina. Mmi(t), Pupai (t), APi(t) menyatakan jumlah hari pada waktu t setiap fase perkembangan pada life table parasitoid. Penggunaan notasi Mumii(t), digunakan pada fase larva parasitoid untuk memudahkan menentukan mortalitas pada inang karena terparasit. Keadaan dinamis dengan waktu tunda (time delay) didasarkan pada model inang KPP. Notasi ambang perkembangan, Ti tlr (t ) , Ti pupa (t ) , Ti ApFly (t ) berturut-turut pada waktu t menyatakan ambang perkembangan fase parasitoid. mumi id (t ) ,
pupa id (t ) , ApFly id (t ) , menunjukkan fraksi mortalitas larva, pupa dan imago
parasitoid selama waktu ke t. Notasi mumi im (t ) ,
pupa im (t ) ,
ApFly im (t ) ,
menyatakan jumlah populasi larva, pupa dan parasitoid yang survival pada fase perkembangan berikutnya. Untuk tujuan notasi indeks, seperangkat notasi persamaan serupa juga digunakan pada model life table KPP, karena pemodelan dinamika inangparasitoid merupakan dua keadaan populasi yang sama. Smm(t)
mm mm mm = {t,t-1,t-2,….., t mummi : T mm ≤ T mm < T mm
Spupa(t)
= {t,t-1,t-2,….., t
Sap (t)
= {t,t-1,t-2,….., t APFly
max
1
pupa pupa pupa : T pupa ≤ T pupa < T pupa
pupa
(t) }
1
(t) }
: AP= ApFly max ,(t)}
ApFly
adalah maksimum jumlah waktu (hari) parasitoid betina dapat
hidup, hal ini untuk menjamin parasitoid tetap berada pada sistem model kohort KPP pada waktu t berturut-turut. Sebagai contoh jika mumi yang terbentuk pada fase larva pada ambang hari ke t akan terdiskritisasi pada keadaan waktu
mm.
Perkembangan dalam hari kalender KPP sebagai fungsi waktu tunda (
(t))
merupakan kronologis dari umur ambang hari t-
mm.
Dengan demikian kohort
pada selang umur perkembangan parasitoid akan terbentuk t-
mm
+1 dan mulai
mengalami pematangan sebelum memasuki fase pupa. Dengan demikian sistem notasi persamaan, populasi pada semua selang kohort parasitoid dinyatakan dengan persamaan : Mumii(t+1)
=
Mumii(t) x (1-
Pupai(t+1) APi(t+1)
= =
pupai(t) x (1APi(t) x (1-
( )( )( ))),
( )) ( ))
Є Є Є
(t(•)) (t(•)) (t(•))
Untuk memudahkan memahami persamaan diatas maka sebelumnya dilakukan pendekatan terhadap perilaku parasitoid soliter dapat membedakan inang yang terparasit dan tidak terparasit pada keadaan alami maka persamaan model dinotasikan : Mumii(t)= ∑ ∈ Pupai(t)= ∑ ∈ APi(t)= ∑ ∈
( ) ( ) ( )
( )
, () ()
( )
( ) ( )
( ) pada persamaan diatas menyatakan rerata instar 2 betina terparasit mengkonversi banyaknya jumlah mumi yang terbentuk (mumi/nimfa instar 2) dan , ( ) adalah proporsi jumlah instar 2 betina Ninang i (t) pada setiap kohor KPP yang terparasit pada waktu t berturut-turut. Persamaan ini menunjukkan jika parasitisasi terjadi pada semua selang kohort inang. Rerata mortalitas pada setiap fase siklus hidup parasitoid dilakukan sama dengan pada life table KPP dengan persamaan : ( ) , ( )
Mumi (t)= (t)= AP (t)=
()
Notasi
,
,
, adalah rerata mortalitas harian pada setiap ( ) ,
ambang hari perkembangan fase parasitoid.
( )
adalah
fungsi dari multiflikasi yang digunakan untuk menyatakan waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan. Lama perkembangan Rerata survival atau pematangan umur parasitoid merupakan akumulasi jumlah hari perkembangan inang pada nimfa instar 2 betina KPP. ,
dan
merupakan mean atau umur perkembangan larva dan pupa
parasitoid berturut-turut. Fenologi umur pada setiap perkembangan pada selang kohort pradewasa parasitoid dinyatakan dengan persamaan: (t) =
( )+
{0,
( )−
(t) =
( )+
0,
( )−
}, Є , Є
( ) ( )
Fenologi umur menyatakan jumlah waktu (hari) yang dibutuhkan untuk perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengikuti fase perkembangan inang termasuk fase metamorfosis sampai fase berikutnya. Parasitisme Proporsi inang instar 2 betina pada setiap kohort KPP yang terparasit pada hari ke t dinyatakan dalam persamaan : , ( )=
TNIT (t) =∑ ∈
( )
()
( ) ( )
( ),
( )
( ) x Ov(APi(t)), Tmumi (t) =∑ ∈ ( ) , menyatakan proporsi inang instar 2 KPP terparasit dan total jumlah
mumi yang terbentuk sebagai akumulasi peletakan telur parasitoid betina pada waktu ke t. Fungsi
dan
merupakan multiflikasi terpaut kepadatan ()
sebagai pengaruh sebaran kepadatan inang () ,
terbentuk
dan kerapatan mumi yang
berturut-turut. cAP menyatakan keperidian harian
parasitoid, sedangkan notasi SPR digunakan untuk menyatakan proporsi inang terparasit per mumi yang terbentuk per hari (satuan: Ninang/mumi/hari). Catatan ; TNIT (t) inang terparasit pada waktu t berturut turut. ( ) pada kondisi
Pencarian inang oleh individu parasitoid betina
alami akan semakin meningkat dengan kenaikan kerapatan jumlah parasitoid yang terbentuk pada kerapatan inang yang tinggi. Nilai sex rasio parasitoid ditentukan berdasarkan nilai agregasi searching (‘a’) parasitoid betina Nicholson Bailey (1935) dalam Gutierrez et al. (1993) dengan parameter ditentukan oleh keadaan ≤1.SE, ( =0.05). Dengan demikian nilai parameter
0≤SE=1-
kepadatan inang
(
terpaut
) . Rerata oviposisi parasitoid Ov(APi(t)), pada kohort
imago parasitoid APi(t) ditentukan oleh jumlah hari APFly (parasitoid betina) hidup pada keadaan (t-i). Sub Model Inang Kutu Putih Pepaya Pada model life table KPP hanya nimfa instar 2 betina yang diparasit oleh parasitoid A. papayae, modifikasi model life table pada nimfa instar dibutuhkan untuk mendapatkan hubungan interaksi inang-parasitoid. Persamaan pada modifikasi model dibatasi oleh sejumlah argument persamaan model tanpa melakukan perubahan pada persamaan lainnya. Model Interaksi inang-parasitoid, di gambarkan oleh persamaan model : Ninang i(t+1)=(NInang i (t)-MORPARi(t))x(1-
(t)-
(t)))
Untuk setiap I Є Sninang (t), Mortalitas Terparasit (MORPARi(t)) adalah total jumlah inang terparasit pada cohort, mortalitas terparasit ditentukan dengan persamaan : MORPARi(t) = ∑
, ( )
( ),
MTRi(t)
adalah mortalitas yang disebabkan parasitisasi parasitoid, Rerata
mortalitas MTR j(t) tergantung pada jumlah hari yang dibutuhkan oleh parasitoid pada inang (Ninang i(j)) pada waktu ke t. Dengan demikian waktu tunda (time delay) digunakan untuk menyatakan fungsi waktu yang digunakan parasitoid untuk proses parasitisasi kemudian menyebabkan mortalitas pada inang karena terparasit. MTRj(t)= MRTi(t,j) MTR
= =
0, ()
if
( )<
if
( )≥
(t) (t)
Persamaan diatas menyatakan bahwa tidak hanya mortalitas alami yang menyebabkan kematian pada inang tetapi juga mortalitas terparasit. Jika inang tidak terparasit maka akan tetap survive mencapai instar 3 betina dan berkembang menjadi imago betina. Dengan kata lain dinamika populasi inang-parasitoid sebenarnya hanya dibentuk pada persamaan inang instar 2 betina. Lokasi pengumpulan mumi di lapang pada penelitian ini adalah pertanaman pepaya var. California pada Fakultas Perikanan, IPB. Lokasi tersebut merupakan lokasi pertama kali parasitoid A. papayae diperoleh dalam penelitian ini. Luas lahan 0.25 ha (±400 pohon) dengan jarak tanam (±3 mx 3 m). Metode pengumpulan mumi selama penelitian dilakukan secara acak, 2-3 lembar daun pepaya yang terserang KPP pada satu blok tanaman pepaya dimasukkan ke dalam kantung plastik kemudian dibawah ke laboratorium untuk identifikasi.
Kalibrasi dan Hasil Sensitivitas Model Kalibrasi model merupakan tahapan untuk mengetahui sejauhmana parameter
masukan
pada
model
ketika
dilakukan
perubahan
mampu
menggambarkan keadaan data lapang. Salah satu kesulitan untuk menentukan ukuran populasi pada setiap fase perkembangan KPP, model dinamika populasi KPP mengikuti trend musim kemarau selama penelitian berlangsung, sedangkan kerapatan populasi ditentukan oleh tanaman inang dan faktor lingkungan, diantaranya adalah curah hujan dan mortalitas alami lainnya. Demikian pula pada parasitoid, pada bulan Nopember dijumpai parasitoid sekunder (Hyperparasitoid) pada sampel mumi. Sensitivitas pengaruh hyperparasitoid ditentukan dengan pendekatan data literatur, karena tidak cukup data untuk menentukan besaran mortalitas parasitoid pada penelitian ini. Tabel 7 Parameter sensitivitas model Deskripsi
simbol
Input nilai
satuan
sumber
Lama hidup Ap
AP Fly
14
Hari
Data
Keperidian
cAP
3
Data
Mortalitas Ap
µAP
0.28
Telur/parasitoid betina Kohort AP/hari
Nisbah AP
FEM
0.5
Kohort AP/hari
N. Bailey dalam Gutierrez et al. 1993
0 dan 1
Mills & Getz (1996)
(konstan) Clumping parameter k
K
Tak terhingga
Guttierez et al. 1993
Hasil sensitivitas model Gambar 14, menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki tipe tanggap fungsional berubah-ubah. Parasitoid A. papayae pada percobaan laboratorium menunjukkan tanggap fungsional tipe II disebabkan percobaan pada arena yang kecil dan tertutup. Tanggap fungsional tipe III memiliki interaksi inang-parasitoid yang lebih stabil dibandingkan dengan tipe I dan II. Pada tipe III, terdapat kecenderungan parasitoid memarasit menurun mengikuti kerapatan inang dengan R2 = 0.39.
Respon fungsional terhadap kepadatan inang
25000 20000 R² = 0.399 15000 ••• KPP ----Parasitoid
10000 5000 0
Gambar 14 Model hasil induksi tanggap fungsional KPP dan parasitoid Perubahan tipe tanggap fungsional dari satu tipe ke tipe lainnya dapat disebabkan oleh perubahan perilaku parasitoid dalam penerimaan inang pada keadaan lingkungan yang berubah, kemampuan reproduksi dan lama hidup parasitoid betina. Menurut Wang & Ferro (1998) fluktuasi hujan dan intensitas cahaya di lapang dapat mempengaruhi aktifitas dan perilaku parasitoid yang kemudian juga mempengaruhi tingkat parasitisasi. Keragaman fisik dari suatu habitat mempengaruhi tanggap fungsional terhadap kepadatan inang. Hal ini berkaitan dengan habitat sebagai tempat berlindung dan sumber makanan parasitoid. Perubahan bentuk dan ukuran tanaman juga mempengaruhi laju pencarian dan kemampuan bertahan parasitoid di tanaman tersebut. Faktor kimia seperti senyawa kimia yang dikeluarkan tanaman dapat menjadi tanda bagi parasitoid dalam menemukan inangnya.
Parasitoid
1.5 1 0.5 0
-5000-0.5 0 -1
5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 Kepadatan inang (m2)
Gambar 15 Grafik scatterplot hubungan antara kerapatan inang dan parasitoid betina A. papayae Hasil analisis model dengan asumsi pendekatan teoritis perkembangan inangparasitoid disinkronkan pada setiap generasi perkembangan, menunjukkan bahwa
tingkat parasitisasi dan pemencaran parasitoid per pohon pepaya dipengaruhi oleh rasio inang-parasitoid 0.5. Hal ini ditunjukkan dengan kemiringan (slope) pada garis paralel -1 dan koefisien regresi >-1 (Gambar 15). Realitas nilai parameter dan tidak adanya cukup data yang akurat dari lapang menyebabkan kesulitan untuk melakukan analisis potensi. Model prediksi sederhana dengan pendekatan tanaman inang lebih digunakan untuk untukmemahami proses dinamika populasi inang-parasitoid. Menurut Berstein (2000), hasil model teoritis dapat membantu untuk menganalisis data kadang-kadang bertolak belakang dengan sketsa model teori. Perpindahan parasitoid di pertanaman dipengaruhi oleh pergerakan angin dan kemampuan terbang. Parasitoid biasanya bergerak secara bebas diantara patch dalam lingkungan patch, sehingga penting untuk mempertimbangkn waktu yang dihabiskan parasitoid dalam patch dengan kepadatan inang yang berbeda. Berdasarkan pengamatan, terdapat tanaman inang lain yang terserang KPP antara lain
dari
beberapa
famili
seperti
Caricaceae,
Fabaceae,
Solanaceae,
Euphorbiaceae, Arecaceae, Cucurbitaceae, Malvaceae, Moraceae, Rubiaceae, dan Apocynaceae. Pada umumnya tanaman yang terserang KPP tumbuh di sekitar Tanaman pepaya sebagai tanaman tumpang sari dan tanaman pagar. Sehingga parasitoid diperkirakan terbang terbatas menuju tempat dimana terdapat inang, pakan dan perlindungan untuk dapat bertahan. Selain parasitoid terdapat pula predator dari kelompok kumbang (Coleoptera: Coccinelidae) yaitu, Scymnus sp., Cryprolaemus montrouzieri, dan Curinus coeruleus, larva Neuroptera (Chrysopha sp.) dan Diptera (Syrphidae). Predator dan musuh alami merupakan catatan yang teramati di lapang. Hasil survey Meyerdirk et al. (2004) di Guam, menyatakan bahwa predator yang dijumpai berasosiasi dengan P. marginatus umumnya merupakan predator generalis, kehadiran predator generalis tampaknya tidak mampu menekan populasi P. marginatus. Hal ini disebabkan predator generalis memiliki jenis inang kutu yang banyak selain P. marginatus. Selain predator, mortalitas KPP yang teramati pada sampel disebabkan cendawan Entomophthorales. Menurut laporan akhir survei Dadang et al. (2008), musuh alami yang ditemukan di
pertanaman pepaya di Kota dan Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Tangerang memiliki tingkat infeksi yang beragam. Musuh alami tersebut adalah Neozygytes fumosa (Entomophthorales: Neozygytaceae) dengan stadia cendawan yang tertinggi yakni hypal bodies, kemudian stadia konidiofor, dan konidia primer, dan stadia cendawan saprofitik. Populasi KPP berdasarkan sampling tentatif sejak bulan oktober 2010 sampai bulan Februari 2011, pada lokasi pertanaman pepaya (±15 pohon sampling), menunjukkan adanya peningkatan jumlah mumi sejak penelitian berlangsung. Namun terjadi penurunan pada bulan Desember, hal ini dapat disebabkan faktor curah hujan, dan tidak adanya penggunaan insektisida oleh petani pada lokasi pengamatan. Demikian pula pemunculan hyperparasitoid yang teridentifikasi diantaranya Marieta leopardi (Hymenopetara: Aphelinidae) pada beberapa sampel mumi dari lapang menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi parasitoid A. papayae dapat dipengaruhi keberadaan hyperparasitoid di lapang.Berdasarkan hasil observasi Muniappan et al. (2006) dalam pengendalian hayati P. marginatus di Republik Palau menyatakan pengaruh hyperparasitoid termasuk rendah, diantaranya hyperparasitoid Eunotus sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) 0.4% and Procheiloneurus dactylopii (Hymenoptera: Encyrtidae) 0.8%. Namun terjadi peningkatan retata jumlah mumi pada sampling bulan Februari, 3-5 parasitoid A. papayae dapat ditemukan pada beberapa lembar daun pepaya. Hal ini menunjukkan bahwa secara alami parasitoid A. papayae memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi serta perilaku pengaturan populasinya sendiri di lapang. Beberapa Negara yang melakukan pengendalian hayati KPP dengan parasitoid A. papayae diantaranya Republik Dominika, Puerto Rico, Guam, Florida dan Hawai, dilaporkan setahun setelah pelepasan mampu menekan populasi kutu putih pepaya hingga 97% (Amarasekare et al. 2010). Di Srilanka setelah melakukan introduksi musuh alami dari Negara asal pada tahun 2009 mampu menekan populasi dan tingkat penyebarannya (Muniappan 2010).
Validasi Model Data hasil pengumpulan mumi selama penelitian yang diperoleh dari lapang digunakan untuk pengujian terhadap hasil model. Namun demikian simulasi model sederhana ini hanya untuk menggambarkan potensi parasitoid A. papayae dan memahami perilaku parasitoid terkait dengan pengaturan populasi di lapang. Menurut Driesche & Bellows (1996) validasi model dapat juga dilakukan dengan menggambarkan pertumbuhan populasi hama tanpa musuh alami dan adanya musuh alami, dengan demikian model dapat dikatakan telah menangkap elemen penting dari interaksi biologis antara populasi.
Validasi model dapat
disempurnakan lebih lanjut dengan memeriksa out put model dan mengevaluasi lebih lanjut terkait struktur model.
KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum Acerophagus papayae merupakan parasitoid soliter. Namun pada keadaan jumlah inang yang terbatas, parasitoid dapat memperlihatkan superparasitisme. Nimfa instar II kutu putih papaya lebih sesuai bagi kehidupan parasitoid, yang ditunjukkan oleh masa perkembangan pradewasa parasitoid yang lebih singkat dan persentase sintasan yang lebih tinggi. Parasitoid A. papayae memperlihatkan tanggap fungsional tipe II terhadap peningkatan kerapatan inang. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki pengaturan populasi inang yang baik di lapang. Simulasi pemodelan berdasarkan ambang perkembangan KPP merupakan pendekatan pemodelan teoritis inang-parasitoid. Untuk memahami proses dinamika populasi dan perilaku parasitoid A. papayae dalam pengendalian hayati KPP kiranya perlu dilakukan kajian lebih lanjut.