24
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Geografis Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa. Koordinatnya adalah 6°11′ LS 106°50′ BT. Jakarta berlokasi di pesisir utara pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter d.p.l. Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal dengan daerah Puncak. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta berbatasan dengan propinsi Jawa Barat dan disebelah barat berbatasan dengan propinsi Banten. Kemudian di sebelah utara Jakarta terdapat Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten administratif, terletak di Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah utara kota. Kependudukan Jumlah Penduduk Provinsi DKI tahun 2006 sebesar 7.523.591 jiwa. Luas wilayah DKI adalah 650 km2, sehingga kepadatan penduduk rerata adalah 11.365 jiwa per km2. Apabila diperinci dari informasi profil kesehatan maka daerah yang memiliki kepadatan penduduk terbesar adalah Jakarta Pusat sebesar 18.309 jiwa per km2 dan wilayah paling jarang adalah Jakarta Utara yaitu 8.598 jiwa per km2 (Kependudukan 2006 diacu dalam Depkes 2008). Tabel 6 Jumlah penduduk, luas wilayah, kepadatan penduduk tahun 2006 Deskripsi
Kecamatan
Kelurahan
Jumlah Penduduk 881.592
Luas (Km2) 48
Kepadatan
Jakarta 8 44 Pusat Jakarta 7 35 1.181.295 137 Utara Jakarta 8 56 1.576.899 125 Barat Jakarta 10 65 1.725.079 146 Selatan Jakarta 10 65 2.139.073 197 Timur Kepulauan 19.653 9 Seribu DKI 43 265 7.523.591 662 Jakarta *Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan DKI (2006) diacu dalam Depkes (2008)
18.309 8.598 12.59 11.838 10.836 2.259 11.365
25
Ternyata proporsi usia produktif wanita (71,6%) lebih besar dari proporsi usia produktif laki-laki (71%) dan usia tidak produktif laki-laki (29%) lebih besar dari wanita (28,4). Kesimpulan diatas bahwa jumlah wanita lebih banyak di DKI dan proporsi usia aktif lebih dominan wanita. Tabel 7 menunjukkan komposisi penduduk di DKI Jakarta perkelompok umur pada tahun 2004 dan jumlah terbanyak adalah penduduk berusia 21-25 tahun (11.73%). Sebagian besar masyarakat berpendidikan SMA/Aliyah/SMEA yaitu sebesar 21.9 persen dan SMP/MTs sebesar 18.1 persen. Ternyata sebesar 11.5 persen yang tidak sekolah dan 2.6 persen berpendidikan S2/S3. Apabila diperinci per jenis kelamin maka pendidikan SMU mayoritas pada kelompok laki-laki dan perempuan hanya seperempatnya (Tabel 8). Tabel 7 Proporsi penduduk di DKI Jakarta (perkelompok usia) tahun 2004 Umur Responden Frekuensi Persentase (Tahun) 0-4 2,329 8.10 5-10 2,840 9.87 11-15 2,335 8.12 16-20 3,000 10.43 21-25 3,375 11.73 26-30 3,177 11.04 31-35 2,692 9.36 36-40 2,241 7.79 41-45 1,851 6.43 46-50 1,612 5.60 51-55 1,152 4.00 56-60 869 3.02 61-65 622 2.16 >65 670 2.33 Total 28,765 100 *Data Susenas 2004 yang diolah diacu dalam Depkes (2008)
Kumulatif 8.10 17.97 26.09 36.52 48.25 59.29 68.65 76.44 82.88 88.48 92.49 95.51 97.67 100.00 -
Tabel 8 Tingkat pendidikan penduduk masyarakat di DKI Jakarta tahun 2004 Pendidikan Tertinggi yang Pernah Diduduki Tidak Sekolah (<5 th) Tidak Sekolah-2 (>5 thn) SD/Ibtidaiyah SMP/MTs SMA/Aliyah/SMEA D1/D2/D3/Sarmud D4/S1 S2/S3 Total *Susenas KOR 2004 yang diolah diacu dalam diacu dalam Depkes (2008)
Persentase 11,5 16,05 18,68 18,07 20,94 7,18 0,79 2,63 100
26
Tabel 9 Prevalensi anemia menurut kelompok umur di DKI Jakarta pada tahun 2007 No
Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah n (%)
1.
Balita (1-5)
27 (11.6)
2.
Anak (6-9)
12 (5.2)
3.
Remaja (10-19)
33 (14.2)
4.
Dewasa (20-59)
137 (59.1)
5.
Lansia (>60)
14 (6)
6.
Wanita hamil
9 (3.9) Total
232 (100)
*Hasil studi RISKESDAS 2007 dalam Depkes (2008).
Prevalensi kejadian anemia merupakan alat ukur frekuensi suatu penyakit terhadap populasi yang mungkin beresiko terkena penyakit anemia. Tabel 9 menunjukkan bahwa prevalensi anemia tertinggi terdapat pada kelompok dewasa (59.%) dan tertinggi kedua terdapat pada kelompok remaja (14.2%). Selanjutnya prevalensi anemia terendah adalah terdapat pada kelompok wanita hamil (3.9%). Karakteristik Umum Contoh Jenis Kelamin Remaja menurut WHO (1995) berada pada kisaran umur 10-19 tahun, sedangkan dewasa menurut Ge K et al. (1994) diacu dalam WHO (1995) berada pada kisaran umur 20-59 tahun. Berikut adalah sebaran contoh menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan status anemia. Tabel 10 Sebaran contoh menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
1.
Remaja (10-19)
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki
Total 2.
Dewasa (20-59)
Perempuan Laki-laki
Total
Anemia n (%) 22 (15.7)
Tidak Anemia n (%) 52 (37.1)
Total n (%) 74 (52.9)
14 (10)
52 (37.1)
66 (47.1)
36 (25.7)
104 (74.3)
140 (100)
98 (15.6)
281 (44.8)
379 (60.4)
35 (5.6)
213 (34)
248 (39.6)
133 (21.2)
494 (78.8)
627 (100)
Secara keseluruhan jumlah perempuan yang anemia lebih banyak dibandingkan laki-laki baik remaja maupun dewasa. Namun jumlah remaja putri yang anemia tidak jauh berbeda dengan remaja putra (15.7% dan 10%),
27
sedangkan jumlah wanita dewasa yang anemia tiga kali lebih banyak dibandingkan pria dewasa (Tabel 10). Jumlah remaja putri yang anemia hampir sama dengan remaja putra dikarenakan remaja putri mengalami pertumbuhan dan semakin meningkat dengan adanya menstruasi, sedangkan pada remaja putra terjadi peningkatan jumlah simpanan besi pada massa otot (Dallman 1992 diacu dalam Allen & Sabel 2001). Sementara pada orang dewasa, wanita lebih banyak menderita anemia dibandingkan laki-laki dikarenakan wanita mengalami kehilangan besi lebih banyak dibanding pria akibat menstruasi setiap bulannya. Selain itu, frekuensi melahirkan pada wanita juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anemia (Baliwati & Sunarti 1995). Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. BKKBN (1997) membagi keluarga menjadi dua, yakni keluarga besar (berjumlah >4 orang) dan keluarga kecil (berjumlah <4 orang). Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (70.7%) memiliki anggota keluarga besar. Persentase tertinggi remaja baik yang anemia maupun tidak anemia adalah remaja yang memiliki anggota keluarga besar (19.3% dan 51.4%). Selanjutnya kelompok dewasa yang memiliki anggota keluarga besar persentasenya lebih sedikit (45.8%) dibandingkan orang dewasa yang memiliki anggota keluarga kecil (54.2%). Persentase tertinggi kelompok dewasa yang anemia terdapat pada kelompok dewasa yang memiliki anggota keluarga besar (11.2%), sedangkan persentase tertinggi kelompok dewasa yang tidak anemia terdapat pada kelompok dewasa yang memiliki anggota keluarga kecil (44.2%). Tabel 11 Sebaran contoh menurut kelompok umur, besar keluarga, dan status anemia No
1.
Kelompok Umur (Tahun) Remaja (10-19)
Besar Keluarga Besar Kecil
Total 2.
Dewasa (20-59)
Besar Kecil
Total *Kecil = <4 orang; besar = >4 orang
Anemia n (%) 27 (19.3)
Tidak Anemia n (%) 72 (51.4)
Total n (%) 99 (70.7)
9 (6.4)
32 (22.9)
41 (29.3)
36 (25.7)
104 (74.3)
140 (100)
70 (11.2)
217 (34.6)
287 (45.8)
63 (10)
277 (44.2)
340 (54.2)
133 (21.2)
494 (78.8)
627 (100)
28
Tingkat Pendidikan Depkes (2008) membagi tingkat pendidikan contoh menjadi 6 golongan, yakni tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat Perguruan Tinggi. Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 35.7 persen remaja berpendidikan tidak tamat SD, namun remaja dengan persentase anemia tertinggi terdapat pada remaja berpendidikan tamat SLTP (10.7%), sedangkan remaja yang tidak anemia memiliki persentase tertinggi dengan pendidikan tidak tamat SD (28.6%). Selanjutnya sebanyak 40.4 persen orang dewasa berpendidikan tamat SLTA. Kelompok dewasa dengan persentase anemia tertinggi terdapat pada kelompok dewasa berpendidikan tamat SLTA (9.7%). Demikian pula pada kelompok dewasa tidak anemia memiliki persentase tertinggi dengan pendidikan tamat SLTA (30.6%). Tabel 12 Sebaran contoh menurut kelompok umur, tingkat pendidikan, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
1.
Remaja (10-19)
2.
Total Dewasa (20-59)
Total
Tingkat Pendidikan -Tidak pernah sekolah -Tidak tamat SD -Tamat SD -Tamat SLTP -Tamat SLTA -Tamat Perguruan Tinggi -Tidak pernah sekolah -Tidak tamat SD -Tamat SD -Tamat SLTP -Tamat SLTA -Tamat Perguruan Tinggi
Anemia n (%) 0 (0)
Tidak Anemia n (%) 1 (0.7)
Total n (%) 1 (0.7)
10 (7.1) 8 (5.7) 15 (10.7) 3 (2.1) 0
40 (28.6) 24 (17.1) 29 (20.7) 10 (7.1) 0
50 (35.7) 32 (22.9) 44 (31.4) 13 (9.3) 0
36 (25.7) 2 (0.3)
104 (74.3) 16 (2.6)
140 (100) 18 (2.9)
13 (2.1) 28 (4.5) 22 (3.5) 61 (9.7) 7 (1.1)
38 (6.1) 112 (17.9) 103 (16.4) 192 (30.6) 33 (5.3)
51 (8.1) 140 (22.3) 125 (19.9) 253 (40.4) 40 (6.4)
133 (21.2)
494 (78.8)
627 (100)
Pekerjaan Pekerjaan contoh dalam penelitian ini dibagi menjadi 7 kelompok, yakni tidak bekerja/ibu rumah tangga, sekolah, PNS, Pegawai BUMN/Swasta, wiraswasta/pedagang/pelayanan jasa, petani/nelayan/buruh, dan lainnya. Tabel 13 menunjukkan bahwa separuh total remaja (52.9%) berstatus pelajar atau
29
sekolah. Persentase tertinggi remaja baik yang anemia maupun tidak anemia adalah remaja yang berstatus pelajar atau sekolah (14.3% dan 38.6%). Selanjutnya hampir separuh total kelompok dewasa (48.6%) tidak bekerja. Hal ini dikarenakan sebagian besar contoh adalah seorang ibu rumah tangga. Persentase tertinggi kelompok dewasa baik yang anemia maupun tidak anemia adalah kelompok dewasa yang tidak bekerja (12.4% dan 36.2%). Tabel 13 Sebaran contoh menurut kelompok umur, pekerjaan, dan status anemia No
1.
2.
Kelompok Umur (Tahun) Remaja (10-19)
Total Dewasa (20-59)
Anemia n (%) 9 (6.4)
Tidak Anemia n (%) 37 (26.4)
n (%) 46 (32.9)
20 (14.3) 0 (0) 0 (0) 3 (2.1)
54 (38.6) 0 (0) 2 (1.4) 4 (2.9)
74 (52.9) 0 (0) 2 (1.4) 7 (5)
0 (0) 4 (2.9) 36 (25.7) 78 (12.4)
2 (1.4) 5 (3.6) 104 (74.3) 227 (36.2)
2 (1.4) 9 (6.4) 140 (100) 305 (48.6)
3 (0.5) 5 (0.8) 16 (2.6) 18 (2.9)
3 (0.5) 9 (1.4) 78 (12.4) 104 (16.6)
6 (1) 14 (2.2) 94 (15) 122 (19.5)
10 (1.6) 3 (0.5) 133 (21.2)
55 (8.8) 18 (2.9) 494 (78.8)
65 (10.4) 21 (3.3) 627 (100)
Pekerjaan -Tidak kerja/Ibu rumah tangga -Sekolah -PNS -Pegawai BUMN/Swasta -Wiraswasta/Pedagang/ Pelayanan Jasa -Petani/Nelayan/Buruh -Lainnya -Tidak kerja/Ibu rumah tangga -Sekolah -PNS -Pegawai BUMN/Swasta -Wiraswasta/Pedagang/ Pelayanan Jasa -Petani/Nelayan/Buruh -Lainnya
Total
Total
Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2001). Status gizi ditentukan dengan menggunakan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks berat badan seseorang dalam hubungannya dengan tinggi badan, yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam satuan kilogram dengan kuadrat tinggi dalam satuan meter kuadrat (Riyadi 2003). Klasifikasi IMT yang digunakan untuk usia 10-14 tahun adalah klasifikasi menurut WHO 2007, sedangkan klasifikasi IMT yang digunakan untuk usia >15 tahun adalah klasifikasi menurut Depkes (1998) diacu dalam Depkes (2008). Berikut adalah sebaran contoh menurut kelompok umur, status gizi, dan jenis kelamin.
30
Tabel 14 Sebaran contoh menurut kelompok umur, status gizi, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
Status Gizi
1.
Remaja (10-19)
Kurus Normal Gemuk
2.
Total Dewasa (20-59)
Kurus Normal Gemuk
Total
Anemia n (%) 9 (6.4) 23 (16.4) 4 (2.9) 36 (25.7) 13 (2.1) 83 (13.2) 37 (5.9) 133 (21.2)
Tidak Anemia n (%) 26 (18.6) 73 (52.1) 5 (3.6) 104 (74.3) 57 (9.1) 246 (39.2) 191 (30.5) 494 (78.8)
Total n (%) 35 (25) 96 (68.5) 9 (6.5) 140 (100) 70 (11.2) 329 (52.4) 228 (36.4) 627 (100)
Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh total remaja (68.5%) tergolong berstatus gizi normal. Persentase tertinggi baik remaja anemia maupun tidak anemia adalah remaja berstatus gizi normal (16.4% dan 52.1%). Demikian pula pada kelompok dewasa, lebih dari separuh kelompok dewasa tergolong berstatus gizi normal (52.4%) dan persentase tertinggi baik kelompok dewasa yang anemia maupun tidak anemia adalah tergolong berstatus gizi normal (13.2% dan 39.2%). Riwayat Diare Riwayat penyakit dalam analisis ini adalah penyakit menular (diare) yang diderita oleh contoh selama 1 bulan terakhir. Menurut UNICEF (1998), diare dapat memperberat kejadian anemia. Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih (Yayasan Spiritia 2008). Berikut adalah sebaran contoh menurut kelompok umur, riwayat diare, dan jenis kelamin. Tabel 15 Sebaran contoh menurut kelompok umur, riwayat diare, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
1.
Remaja (10-19)
2.
Total Dewasa (20-59) Total
Riwayat Diare Ya Tidak Ya Tidak
Anemia n (%) 3 (2.1) 33 (23.6) 36 (25.7) 13 (2.1) 120 (19.1) 133 (21.2)
Tidak Anemia n (%) 8 (5.7) 96 (68.6) 104 (74.3) 41 (6.5) 453 (72.2) 494 (78.8)
Total n (%) 11 (7.9) 129 (92.1) 140 (100) 54 (8.6) 573 (91.4) 627 (100)
Tabel 15 menunjukkan bahwa remaja yang anemia maupun tidak anemia tidak menderita diare selama 1 bulan terakhir (23.6% dan 68.6%). Demikian
31
halnya dengan kelompok dewasa baik yang anemia maupun tidak anemia tidak menderita diare selama 1 bulan terakhir (19.1% dan 72.2%). Gaya Hidup Perilaku Minum Alkohol Salah satu faktor gaya hidup adalah perilaku minum alkohol. Perilaku minum alkohol yang dianalisis adalah perilaku contoh selama 12 bulan terakhir. Minum alkohol secara berlebihan dapat menurunkan penyerapan asam folat dan kekurangan asam folat juga menjadi salah satu penyebab anemia (Anonim 2007). Berikut adalah sebaran contoh menurut kelompok umur, perilaku minum alkohol, dan jenis kelamin. Tabel 16 Sebaran contoh menurut kelompok umur, perilaku minum alkohol, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
1.
Remaja (10-19)
2.
Total Dewasa (20-59)
Perilaku Minum Alkohol Ya Tidak Ya Tidak
Total
Anemia n (%)
Tidak Anemia n (%)
Total n (%)
1 (0.7) 35 (25) 36 (25.7) 4 (0.6) 129 (20.6) 133 (21.2)
6 (4.3) 98 (70) 104 (74.3) 26 (4.1) 468 (74.6) 494 (78.8)
7 (5) 133 (95) 140 (100) 30 (4.8) 597 (95.2) 627 (100)
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (95%) tidak mengonsumsi alkohol selama 12 bulan terakhir. Persentase terbesar kelompok remaja baik yang anemia maupun tidak anemia adalah tidak mengonsumsi alkohol (25% dan 70%). Begitu pula dengan kelompok dewasa, sebagian besar kelompok dewasa (95.2 persen) tidak pernah mengonsumsi alkohol. Persentase terbesar kelompok dewasa baik yang anemia maupun tidak anemia adalah tidak mengonsumsi alkohol (20.6% dan 74.6%). Perilaku Mengonsumsi Minuman Berkafein (Kopi, kratingdeng, coca-cola) Faktor gaya hidup selain perilaku minum alkohol adalah perilaku konsumsi
minuman
berkafein
(kopi,
kratingdeng,
coca-cola).
Perilaku
mengonsumsi minuman berkafein diperoleh dengan metode frekuensi makanan. Metode tersebut memiliki beberapa kelebihan, yaitu relatif murah dan sederhana; dapat dilakukan sendiri oleh responden; serta cepat dalam pelaksanaannya (Supariasa et al. 2001). Perilaku konsumsi minuman berkafein dibagi menjadi dua kategori, yakni sering bila mengonsumsi >1 kali/hari dan jarang bila konsumsi <1 kali/hari atau tidak mengonsumsi. Berikut adalah sebaran contoh
32
menurut kelompok umur, perilaku konsumsi minuman berkafein, dan jenis kelamin. Tabel 17 Sebaran contoh menurut kelompok umur, perilaku konsumsi minuman berkafein (kopi, kratingdeng, coca-cola), dan status anemia No
Anemia n (%)
Tidak Anemia n (%)
Total n (%)
25 (17.9)
90 (64.3)
115 (82.1)
11 (7.9) 36 (25.7) 118 (18.8)
14 (10) 104 (74.3) 418 (66.7)
25 (17.9) 140 (100) 536 (85.5)
15 (2.4) Total 133 (21.2) *Sering : konsumsi >1 kali/hari; Jarang : <1 kali/hari.
76 (12.1) 494 (78.8)
91 (14.5) 627 (100)
1.
Kelompok Umur (Tahun) Remaja (10-19)
Perilaku Konsumsi Minuman Berkafein Sering Jarang
2.
Total Dewasa (20-59)
Sering Jarang
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (82.1%) sering mengonsumsi minuman berkafein. Persentase terbesar baik yang anemia maupun tidak anemia adalah remaja yang sering mengonsumsi minuman berkafein (17.9% dan 64.3%). Demikian pula pada kelompok dewasa, sebagian besar sering mengonsumsi minuman berkafein (85.5%). Persentase terbesar baik yang anemia maupun tidak anemia adalah kelompok dewasa yang sering mengonsumsi minuman berkafein (18.8 % dan 66.7%). Perilaku Konsumsi Buah Buah-buahan merupakan pangan sumber vitamin C yang baik digunakan sebagai faktor pemicu penyerapan zat besi non hem (UNICEF 1998). Selain itu, bila kekurangan mengonsumsi vitamin C dapat menyebabkan terjadinya anemia (Almatsier 2000). Sebagian besar remaja mengonsumsi buah kurang dari 2 porsi per hari (95.7%). Persentase terbesar pada kelompok remaja baik yang anemia maupun tidak anemia adalah tidak cukup mengonsumsi buah (25.7% dan 70%). Sebagian besar kelompok dewasa (93.6 persen) mengonsumsi buah kurang dari 2 porsi per hari. Persentase terbesar pada kelompok dewasa baik yang anemia maupun tidak anemia adalah tidak cukup mengonsumsi buah (19.9% dan 73.7%) (Tabel 18). Hal ini berarti sebagian besar kelompok remaja maupun dewasa belum mengikuti anjuran PUGS untuk mengonsumsi buah >2 porsi setiap harinya (Almatsier 2000). Berikut adalah sebaran contoh menurut kelompok umur, perilaku konsumsi buah, dan jenis kelamin.
33
Tabel 18 Sebaran contoh menurut kelompok umur, perilaku konsumsi buah, dan status anemia No
Kelompok Umur (Tahun)
1.
Remaja (10-19)
Perilaku Konsumsi Buah Tidak Cukup Cukup
Anemia n (%)
Tidak Anemia n (%)
Total n (%)
36 (25.7) 98 (70) 134 (95.7) 0 (0) 6 (4.3) 6 (4.3) Total 36 (25.7) 104 (74.3) 140 (100) 2. Dewasa(20-59) Tidak Cukup 125 (19.9) 462 (73.7) 587 (93.6) Cukup 8 (1.3) 32 (5.1) 40 (6.4) Total 133 (21.2) 494 (78.8) 627 (100) *Tidak cukup : <2 porsi/hari dalam seminggu; cukup : >2 porsi/hari dalam seminggu.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Kelompok Remaja Tabel 19 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada kelompok remaja (Hasil analisis Chi Square) Variabel
Anemia n (%)
Tidak anemia n (%)
Sig.
OR
95%Cl
Jenis Kelamin Perempuan 22 (15.7) 52 (37.1) Laki-laki 14 (10) 52 (37.1) Pekerjaan Tidak bekerja 29 (20.7) 91 (65) Bekerja 7 (5) 13 (9.3) Riwayat Diare Ya 3 (2.1) 8 (5.7) Tidak 33 (23.6) 96 (68.6) Minum Alkohol Ya 1 (0.7) 6 (4.3) Tidak 35 (25) 98 (70) Minuman Berkafein Sering 25 (17.9) 90 (64.3) Jarang 11 (7.9) 14 (10) *Bermakna pada p<0.05; **Bermakna pada p<0.01.
0.338
1.571
0.726-3.402
0.453
0.592
0.216-1.624
1.000
1.091
0.273-4.356
0.677
0.467
0.054-4.014
0.040
0.354*
0.143-0.874
Hubungan Karakteritik Umum Contoh dengan Kejadian Anemia Jenis Kelamin. Hasil analisis Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok remaja (Tabel 19). Berbeda dengan penelitian Permaesih dan Herman (2005) yang menunjukkan terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian anemia pada kelompok remaja. Hubungan tidak bermakna dalam penelitian ini disebabkan pada masa remaja baik remaja putri maupun remaja putra memiliki risiko yang sama terkena anemia (Dallman 1992 diacu dalam Allen & Sabel 2001).
34
Besar Keluarga. Menurut Prihartini (1996) besar keluarga sangat berpengaruh terhadap jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota
keluarga
atau
sebaliknya.
Hasil
analisis
korelasi
Spearman
menunjukkan korelasi positif antara besar keluarga dengan kadar hemoglobin (r = 0.156, p<0.05) pada kelompok remaja, artinya semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin tinggi kadar hemoglobin pada kelompok remaja (Lampiran 1). Hasil ini berbeda dengan pernyataan Prihartini (1996) diduga terkait dengan faktor pekerjaan, karena dengan memiliki keluarga besar akan lebih banyak yang mencari nafkah, pendapatan keluarga tidak hanya tergantung pada kepala keluarga sehingga dapat memenuhi konsumsi pangan zat gizi di dalam suatu keluarga dan kemungkinan terkena anemia semakin kecil. Tingkat Pendidikan. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif antara tingkat pendidikan dengan kadar hemoglobin (r = 0.177, p<0.05) pada kelompok remaja (Lampiran 1). Hal ini sesuai dengan pernyataan Permaesih dan Herman (2005) bahwa faktor pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang sehubungan dengan pemilihan makanan yang dikonsumsi.
Tingkat
pendidikan
yang
lebih
tinggi
akan
mempengaruhi
pengetahuan dan informasi tentang gizi yang lebih baik dibandingkan seseorang yang berpendidikan lebih rendah. Pekerjaan. Pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan sehingga mempengaruhi kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi (Khumaidi 1989). Hasil analisis Chi Square menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok remaja (Tabel 19). Hubungan yang tidak bermakna ini diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada kelompok remaja, seperti menstruasi, penyakit infeksi, dan pola konsumsi pangan yang kurang beragam (UNICEF 1998). Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia Hasil penelitian Permaesih dan Herman (2005) menunjukkan terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian anemia pada remaja. Meski demikian,
hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat
hubungan bermakna antara IMT dengan kadar hemoglobin (r = -0.065, p>0.05) pada kelompok remaja (Lampiran 1). Diduga pada penelitian ini, sebaran contoh anemia tidak merata karena remaja yang memiliki status gizi normal paling
35
banyak terkena anemia dibandingkan remaja berstatus gizi lainnya yang diduga berkaitan dengan citra tubuh keliru terutama pada remaja putri (Santy 2006). Selain itu, diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja seperti pola konsumsi pangan yang kurang beragam, menstruasi, dan penyakit infeksi (cacing tambang) (UNICEF 1998). Hubungan Riwayat Diare dengan Kejadian Anemia Menurut UNICEF (1998), status kesehatan dapat memperberat kejadian anemia dan salah satunya adalah diare. Meski demikian, hasil analisis Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat diare dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok remaja (Tabel 19). Hal ini diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja yakni pola konsumsi pangan yang jarang mengonsumsi makanan sumber hewani dan lebih sering melakukan diet terkait dengan citra tubuh yang negatif terutama pada remaja putri (Santy 2006). Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Anemia Perilaku Minum Alkohol. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara perilaku minum alkohol dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok remaja (Tabel 19). Hal ini diduga sebagian besar remaja yang anemia tidak minum alkohol sehingga diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada remaja, seperti menstruasi dan pola konsumsi pangan remaja yang kurang beragam (Wirakusumah 1998). Perilaku Mengonsumsi Minuman Berkafein (kopi, kratingdeng, coca-cola). Kopi merupakan minuman yang dapat menghambat penyerapan besi karena kopi mengandung polifenol (tanin) (UNICEF 1998). Konsumsi kopi setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 39 persen (Morck et al. 1983). Hasil analisis Chi Square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara perilaku mengonsumsi minuman berkafein dengan kejadian anemia (p<0.05) pada kelompok remaja (OR 0.354), artinya remaja yang sering mengonsumsi minuman berkafein memiliki peluang terkena anemia sebesar 64.6 persen lebih rendah dibandingkan remaja yang jarang mengonsumsi minuman berkafein (Tabel 19) sehingga dengan kata lain, remaja yang sering mengonsumsi minuman berkafein lebih sedikit terkena anemia dibandingkan remaja yang jarang mengonsumsi minuman berkafein. Hal ini diduga karena remaja sering mengonsumsi kopi sebelum makan atau pada waktu “break” sehingga tidak menurunkan penyerapan besi yang berakibat tidak menyebabkan
36
terjadinya anemia pada remaja (Morck et al. 1983). Selain itu, tidak diketahui pula jenis, jumlah, dan waktu mengonsumsi minuman berkafein yang dikonsumsi oleh para remaja. Perilaku Konsumsi Buah. Buah merupakan sumber vitamin C yang dapat meningkatkan
penyerapan
zat
besi
non-hem
sampai
empat
kali
lipat
(Wirakusumah 1998). Zat besi diangkut melalui dinding usus dalam senyawa dengan asam amino atau dengan vitamin C (Almatsier 2000). Namun, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda karena hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara perilaku konsumsi buah dengan kadar hemoglobin (r = -0.065, p>0.05) pada kelompok remaja (Lampiran 1). Hal ini diduga karena terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan kejadian anemia pada remaja yakni pola konsumsi pangan remaja yang kurang beragam, seperti menu makanan yang hanya terdiri dari nasi dan kacang-kacangan (Husaini 1989). Apabila makanan yang dikonsumsi setiap hari tidak cukup banyak mengandung zat besi atau absorpsinya rendah, maka ketersediaan zat besi untuk tubuh tidak cukup memenuhi kebutuhan akan zat besi. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Kelompok Dewasa Tabel 20 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada kelompok dewasa (Hasil analisis Chi Square) Variabel
Anemia n (%)
Tidak anemia n (%)
Sig.
OR
Perempuan Laki-laki Pekerjaan
98 (15.6) 35 (5.6)
Tidak bekerja Bekerja Riwayat Penyakit Ya Tidak Minum Alkohol Ya Tidak Minuman Berkafein Sering Jarang
95%Cl
281 (44.8) 213 (34)
0.001
2.122**
1.388-3.247
81 (12.9) 52 (8.3)
230 (36.7) 264 (42.1)
0.005
1.788**
1.210-2.642
13 (2.1) 120(19.1)
41 (6.5) 453 (72.2)
0.716
1.197
0.621-2.305
4 (0.6) 129 (20.6)
26 (4.1) 468 (74.6)
0.394
0.558
0.191-1.628
118 (18.8) 15 (2.4)
418 (66.7) 76 (12.1)
0.292
1.430
0.793-2.581
Jenis Kelamin
*Bermakna pada p<0.05; **Bermakna pada p<0.01.
37
Hubungan Karakteritik Umum Contoh dengan Kejadian Anemia Jenis Kelamin. Hasil analisis Chi Square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian anemia (p<0.01) pada kelompok dewasa (OR 2.122), artinya wanita memiliki risiko terkena anemia sebesar 2.12 kali lebih tinggi dibandingkan pria atau wanita memiliki peluang terkena anemia sebesar 112 persen lebih tinggi dibandingkan pria (Tabel 20). Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan Depkes (1998) yang menyatakan bahwa wanita memiliki risiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan pria karena wanita mengalami kehilangan besi lebih banyak dibanding pria akibat menstruasi setiap bulannya yakni sebesar 40-50 ml setiap bulannya karena menstruasi. Selain itu, frekuensi melahirkan pada wanita juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anemia (Baliwati & Sunarti 1995). Besar Keluarga. Menurut Prihartini et al. (1996), besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga atau sebaliknya. Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan terdapat korelasi negatif antara besar keluarga dengan kadar hemoglobin (r=-0.199, p<0.01) pada kelompok dewasa (Lampiran 2), artinya semakin banyak anggota keluarga maka semakin rendah kadar hemoglobin pada kelompok dewasa (semakin banyak anggota keluarga maka semakin tinggi kejadian anemia pada kelompok dewasa). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Prihartini (1996) yang menyatakan bahwa dengan memiliki keluarga besar maka akan mempengaruhi konsumsi pangan zat gizi di dalam suatu keluarga sehingga pemenuhan akan kebutuhan zat gizi akan berkurang yang berakibat semakin tingginya kejadian anemia. Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status anemia seseorang
sehubungan
dengan
pemilihan
makanan
yang
dikonsumsi
(Permaesih & Herman 2005). Namun hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dengan kadar hemoglobin (r = 0.037, p>0.05) pada kelompok dewasa (Lampiran 2). Hubungan yang tidak bermakna ini diduga terdapat faktor lain seperti menstruasi dan pola konsumsi pangan orang dewasa yang kurang beragam (UNICEF 1998). Pekerjaan. Hasil analisis Chi Square menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kejadian anemia (p<0.01) pada kelompok dewasa (OR
38
1.778), artinya kelompok dewasa yang tidak bekerja memiliki peluang terkena anemia sebesar 77.8 persen lebih tinggi dibandingkan kelompok dewasa yang bekerja (Tabel 20). Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Khumaidi (1989) yang menyatakan bahwa pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi besarnya pendapatan. Seseorang yang tidak bekerja cenderung tidak memiliki uang untuk membeli pangan atau mendapatkan pangan dengan gizi yang baik sehingga seseorang yang tidak bekerja lebih cenderung terkena anemia dibandingkan seseorang yang bekerja. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Anemia Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara IMT dengan kadar hemoglobin (r = 0.023, p>0.05) pada kelompok dewasa (Lampiran 2). Hal ini diduga terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian anemia pada orang dewasa, seperti menstruasi pada wanita dan pola konsumsi pangan yang kurang beragam (Wirakusumah 1998). Hubungan Riwayat Diare dengan Kejadian Anemia Hasil analisis Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat diare dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok dewasa (Tabel 20). Hasil penelitian ini berbeda dengan UNICEF (1998) yang menyatakan bahwa diare dapat memperberat kejadian anemia. Hal ini dikarenakan sebagian besar kelompok dewasa tidak mengalami diare (91.4%) sehingga diduga terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya kejadian anemia pada kelompok dewasa, seperti pola konsumsi pangan yang kurang beragam dan menstruasi (Wirakusumah 1998). Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Anemia Perilaku Minum Alkohol. Hasil analisis Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara perilaku minum alkohol dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok dewasa (Tabel 20). Hal ini dikarenakan sebagian besar kelompok dewasa tidak mengonsumsi alkohol (91.4%) sehingga diduga terdapat faktor lain yang terkait seperti menstruasi dan frekuensi kelahiran pada wanita serta pola konsumsi pangan yang kurang beragam (Depkes 1998). Perilaku Mengonsumsi Minuman Berkafein. Kopi merupakan minuman yang dapat menghambat penyerapan besi karena kopi mengandung polifenol (tanin) (UNICEF 1998). Konsumsi kopi setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 39 persen sehingga bila sering mengonsumsi setelah makan maka akan menyebabkan anemia (Morck et al. 1983). Namun demikian hasil analisis Chi
39
Square menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara perilaku mengonsumsi minuman berkafein dengan kejadian anemia (p>0.05) pada kelompok dewasa (Tabel 20). Hal ini diduga karena tidak diketahui jenis dan jumlah minuman berkafein yang dikonsumsi oleh kelompok dewasa. Selain itu, dapat diduga terdapat faktor lain yang terkait yakni pola konsumsi pangan contoh yang kurang beragam (Husaini 1989). Perilaku Konsumsi Buah. Buah merupakan sumber vitamin C yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi nonhem sampai 4 kali lipat (Wirakusumah 1998). Namun hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara perilaku konsumsi buah dengan kadar hemoglobin (r = 0.026, p>0.05) pada kelompok dewasa (Lampiran 2). Hal ini diduga terdapat faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya anemia, seperti menstruasi pada wanita dan pola konsumsi pangan orang dewasa yang kurang beragam (UNICEF 1998). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Anemia pada Remaja dan Dewasa Kelompok Remaja Tabel 21 menunjukkan hanya ada satu variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian anemia pada kelompok remaja yakni perilaku mengosumsi minuman berkafein (kopi, kratingdeng, coca-cola). Tabel 21 Hasil regresi logistik faktor risiko anemia pada kelompok remaja Variabel
B
Sig.
OR
Perilaku Konsumsi Minuman Berkafein (Sering=1, Jarang=0) Konstanta
-1.040 -0.241
0.024* 0.549
0.354 0.786
95% CI for Exp (B) 0.143-0.874
*Bermakna pada p<0.05
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku mengonsumsi minuman berkafein merupakan faktor protektif terjadinya anemia pada kelompok remaja (OR 0.354), artinya remaja yang sering mengonsumsi minuman berkafein memiliki peluang terkena anemia sebesar 64.6 persen lebih rendah dibandingkan remaja yang jarang mengonsumsi minuman berkafein (Tabel 21). Salah satu minuman berkafein yang dapat menghambat penyerapan zat besi adalah kopi, kopi merupakan salah satu penghambat yang cukup penting dan tidak diragukan lagi karena mengandung polifenol (tanin) (Thankachan et al. 2008). Konsumsi kopi setelah makan dapat menurunkan absorpsi besi hingga 39 persen (Morck et al. 1983). Namun hasil penelitian ini menunjukkan hasil
40
berbeda, diduga remaja sering mengonsumsi kopi tidak setelah makan atau mengonsumsi kopi sebelum makan atau pada waktu ”break” karena menurut Morck et al. (1983) mengonsumsi kopi sebelum makan tidak berdampak mengurangi penyerapan besi sehingga tidak berdampak terhadap anemia. Selain itu, tidak diketahui jenis, jumlah, dan waktu mengonsumsi minuman berkafein yang dikonsumsi oleh remaja. Kelompok Dewasa Tabel 22 menunjukkan bahwa ada dua variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian anemia pada kelompok dewasa yaitu jenis kelamin dan status gizi gemuk. Hasil analisis regresi logistik untuk variabel jenis kelamin merupakan faktor risiko kejadian anemia pada kelompok dewasa (OR 2.332), artinya wanita memiliki risiko terkena anemia 2.33 kali lebih besar dibandingkan pria atau wanita memiliki peluang terkena anemia sebesar 133 persen lebih tinggi dibandingkan pria (Tabel 22). Hal ini tidak jauh berbeda dengan Depkes (1998) bahwa wanita memiliki risiko lebih tinggi terkena anemia dibandingkan pria karena perempuan mengalami haid setiap bulannya yang menyebabkan kehilangan besi sebanyak 40-50 ml setiap bulannya. Selain itu, frekuensi melahirkan pada wanita juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan anemia (Baliwati & Sunarti 1995). Hasil analisis regresi logistik untuk variabel kedua adalah status gizi gemuk. Status gizi gemuk merupakan faktor protektif terjadinya anemia pada kelompok dewasa (OR 0.504), artinya kelompok dewasa berstatus gizi gemuk memiliki peluang terkena anemia sebesar 49.6 persen lebih rendah dibandingkan kelompok dewasa berstatus gizi normal (Tabel 22). Hal ini diduga berkaitan dengan citra tubuh terutama pada wanita (Santy 2006). Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 42.9 persen kelompok dewasa yang anemia berstatus gizi normal adalah wanita (Lampiran 5). Ketidakpuasan mengenai bentuk tubuh akan menyebabkan wanita melakukan diet untuk menurunkan berat badan sehingga tidak jarang wanita mengalami anemia. Selain itu, menurut Depkes (1998), wanita lebih jarang mengonsumsi sumber makanan hewani dan sering melakukan diit pengurangan makan karena ingin langsing sehingga dapat menyebabkan anemia.
41
Tabel 22 Hasil regresi logistik faktor risiko anemia pada kelompok dewasa Variabel Jenis Kelamin (Perempuan=1, Laki-laki =0) Status Gizi 1.Status Gizi kurus (status gizi kurus=1, status gizi normal=0) 2.Status Gizi gemuk (status gizi gemuk=1, status gizi normal=0) Konstanta **Bermakna pada p<0.01.
B
Sig.
OR
95% CI for Exp (B)
0.847
0.000**
2.332
1.512-3.596
-0.356
0.291
0.701
0.362-1.356
-0.686 -1.602
0.002** 0.000**
0.504 0.202
0.324-0.783