HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Asrama TPB IPB Setiap tahun tidak kurang dari 3000 mahasiswa dari seluruh wilayah di Indonesia masuk menjadi mahasiswa baru IPB melalui berbagai jalur seleksi. Jalur seleksi mahasiswa baru IPB antara lain Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), Ujian Talenta Mandiri (UTMI), Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Beasiswa Utusan Daerah (BUD), serta Beasiswa Prestasi Olahraga dan Seni. Dengan berbagai jalur seleksi tersebut, mahasiswa baru yang tersaring masuk IPB sangat plural, berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar belakang keilmuan dan budaya yang beragam. Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun pertama diwajibkan menjalani kegiatan perkuliahan dasar yang dinamakan Tingkat Persiapan bersama (TPB) selama dua semester atau satu tahun. Jumlah satuan kredit semester (SKS) yang diambil selama masa TPB adalah 36 SKS. Khusus mahasiswa dari jalur masuk USMI, UTMI, dan BUD (sebagian) diwajibkan juga menjalani perkuliahan matrikulasi yang diselenggarakan satu bulan lebih awal, sebelum perkuliahan reguler berlangsung. Selain menjalani perkuliahan, mahasiswa TPB juga diwajibkan menjalani Program Pengembangan Akademik dan Multibudaya (PPAMB) dan tinggal di asrama. Program tersebut memberikan kesempatan berinteraksi dengan berbagai latar belakang bidang ilmu, budaya, agama, dan suku bangsa. Asrama mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB IPB) terdiri atas asrama putra dan asrama putri. Asrama putra terdiri atas empat gedung, yaitu gedung C1, C2, C3 dan C4 (Asrama Sylvalestari). Adapun asrama putri terdiri dari lima gedung, yaitu A1, A2, A3, A4 (Rusunawa), dan A5 (Asrama Sylvasari). Setiap gedung asrama berbentuk hampir sama (kecuali Rusunawa, Sylvasari, dan Sylvalestari yang merupakan gedung tambahan). Setiap gedung terbagi atas beberapa lorong yang dikepalai oleh seorang Senior Residence (SR) untuk mempermudah pengawasan dan pengelolaan. Satu lorong terdiri sekurang-kurangnya 40 orang (10 kamar, masing-masing kamar diisi oleh empat orang). Fasilititas kamar tidur asrama TPB IPB memiliki ukuran 16m2 (4mx4m). Dalam setiap kamar tersedia dua ranjang tidur bertingkat, empat buah lemari, empat buah meja belajar (lengkap dengan lampu), kapstok, tempat sampah, dan lain-lain. Satu kamar diisi oleh empat orang (kecuali Asrama Sylvalestari dan
Sylvalestari, satu kamar diisi oleh tiga orang). Di setiap lorong disediakan toilet, ruang setrika, dan pantry. Tempat cuci tidak terdapat di setiap lorong. Toilet yang disediakan di setiap lorong asrama, terdiri atas enam unit kamar mandi dan empat unit WC. Disediakan satu buah dispenser di pantry yang letaknya satu ruangan dengan ruang setrika. Air yang digunakan di toilet asrama adalah air tanah yang telah melalui proses penjernihan terlebih dahulu. Kantin asrama putra berada di dalam masing-masing gedung, sedangkan kantin asrama putri berada di luar gedung. Di dalam lingkungan asrama juga terdapat toko koperasi dan jasa fotokopi (asrama putri) yang menginduk kepada Koperasi Mahasiswa IPB. Di luar gedung, tidak jauh dari asrama putri, terdapat minimarket (Agrimart IPB). Dengan adanya toko
dan minimarket tersebut,
mahasiswa TPB akan lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang yang dibutuhkan tanpa harus keluar terlalu jauh dari lingkungan asrama. Mahasiswa TPB menjalani perkuliahan di berbagai gedung fakultas yang terdapat di berbagai wilayah kampus Dramaga (terdapat sembilan fakultas di IPB, dengan lokasi yang berbeda-beda). Untuk mempermudah akses ke lokasi perkuliahan, diberikan fasilitas bus IPB yang akan menjemput dan mengantarkan mahasiswa ke halte-halte terdekat dengan lokasi kuliah. Bus kampus ini tidak memungut biaya dari mahasiswa. Selain bus kampus, disediakan juga sepeda sebagai alternatif alat transportasi di dalm kampus. Fasilitas lainnya adalah ambulance asrama yang selalu siap selama 24 jam.
Karakteristik Contoh Mahasiswa yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah yang sudah tinggal di asrama sekurang-kurangnya satu bulan dan pernah menjalani perkuliahan matrikulasi. Contoh pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok, yaitu kelompok kasus (contoh yang sedang atau pernah mengalami gangguan lambung) dan kelompok kontrol (contoh tanpa gangguan lambung). Karakteristik contoh diidentifikasi untuk mengetahui sebaran umur dan jenis kelamin contoh. Karakteristik Hasil sebaran masing-masing variabel dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut karakteristik contoh Kasus
Variabel n Jenis Kelamin Putra Putri Umur (Tahun) Remaja madya (15-18 tahun) Remaja akhir (18-19 tahun)
%
n
Kontrol %
Total n
%
24 36
40 60
24 36
40 60
48 72
40 60
17 43
28,3 71,7
17 43
28,3 71,7
34 86
28,3 71,7
Lebih dari separuh contoh (60%) berjenis kelamin perempuan (putri), sedangkan 40% sisanya laki-laki (putra). Jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan, contoh pada kelompok kontrol adalah pasangan yang berjenis kelamin sama dengan contoh yang terdapat pada kelompok kasus. Proporsi contoh berdasarkan jenis kelamin disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Sebanyak 40,2% mahasiswa TPB IPB angkatan 2010/2011 berjenis kelamin laki-laki, sedangkan 59,8% sisanya berjenis kelamin perempuan. Monks (1999) mengklasifikasikan remaja dalam tiga kelompok umur, yaitu: remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan atau madya (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Penelitian ini membatasi usia contoh pada rentang 12-19 tahun untuk memudahkan pengolahan data. Contoh yang didapatkan untuk penelitian ini berada dalam kisaran umur 15-19 tahun atau remaja madya dan remaja akhir. Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagian besar contoh (71,7%) terdapat pada kelompok umur remaja akhir (1819) tahun. Rata-rata umur contoh pada kelompok kasus adalah 17,73±0,48 tahun. Adapun rata-rata umur contoh pada kelompok kontrol adalah 17, 68±0,50 tahun. Umur merupakan salah satu variabel yang digunakan sebagai acuan dalam pemilihan contoh. Pemilihan contoh untuk kelompok kasus dan kontrol menggunakan cara berpasangan (matching), contoh pada kelompok kasus dicarikan pasangan yang umurnya relatif sama untuk kontrolnya. Karakteristik Sosial-Ekonomi Karakteristik sosial-ekonomi dapat digolongkan dalam unsur lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kejadian gastritis dan tukak peptik (Riccardi dan Rotter 2004). Karakteristik sosial ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah uang saku, suku/etnis, dan wilayah domisili contoh sebelum
tinggal di asrama. Hasil sebaran jumlah uang saku dapat dilihat pada Tabel 6, sebaran suku/etnis pada Tabel 7, dan sebaran wilayah domisili pada Tabel 8. Tabel 6 Sebaran contoh menurut jumlah uang saku Jumlah Uang Saku Rendah Sedang Tinggi
Kasus n 13 34 13
% 21,7 56,7 21,7
n 18 32 10
Kontrol %
Total n 30,0 53,3 16,7
% 31 65 24
25,8 54,2 20,0
Variabel jumlah uang saku dapat menggambarkan keadaan ekonomi contoh. Lebih dari separuh contoh (56,7% pada kelompok kasus dan 53,3% pada kelompok kontrol) berada pada kategori sedang. Jumlah contoh yang berada pada kategori rendah, lebih banyak yang berasal dari kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok kasus. Rata-rata jumlah uang saku contoh pada kelompok kasus adalah Rp 647.166±256.390 , sedangkan pada kelompok kontrol adalah Rp 640.000± 307.091. Analisis uji Independent-T menunjukkan bahwa p>0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata jumlah uang saku contoh antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (Lampiran 3). Suku/etnis dan wilayah domisili contoh sebelum tinggal di asrama diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai latar belakang budaya dan kebiasaan contoh. Suku/etnis contoh diidentifikasi berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh. Wilayah domisili contoh adalah wilayah atau provinsi yang paling lama ditinggali oleh contoh, sebelum contoh menjalani perkuliahan dan tinggal di asrama. Pengelompokan suku/etnis dan wilayah domisili contoh didasarkan pada suku/etnis yang banyak muncul pada data. Sebaran contoh berdasarkan suku/etnis ayah dan ibu contoh dapat dilihat pada Tabel 7. Suku/etnis contoh dibagi menjadi kategori Sunda, Jawa, Betawi, Batak, Sulawesi, Melayu, dan Bali. Secara umum, sebagian besar contoh pada kelompok kasus dan kontrol, berasal dari suku Jawa, baik ayah maupun ibu contoh. Persentase terbesar setelah suku Jawa adalah suku Sunda. Analisis uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata suku/etnis ayah dan ibu contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).
Tabel 7 Sebaran suku/etnis menurut ayah dan ibu contoh Suku Sunda Jawa Betawi Batak Sulawesi Melayu Bali
Ayah Kasus n % 20 33,3 25 41,7 1 1,7 5 8,3 2 3,3 6 10,0 1 1,7
Kontrol n
% 33,3 43,3 3,3 8,3 3,3 6,7 1,7
20 26 2 5 2 4 1
n 19 25 0 6 2 6 2
Ibu Kasus Kontrol % n % 31,7 20 33,3 41,7 28 46,7 0,0 2 3,3 10,0 4 6,7 3,3 1 1,7 10,0 4 6,7 3,3 1 1,7
Sebaran contoh berdasarkan wilayah domisili dapat dilihat pada Tabel 8. Wilayah domisili contoh dibagi menjadi delapan kategori, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Banten, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Secara umum, contoh banyak berasal dari Pulau Jawa. Sebagian besar contoh (kasus maupun kontrol) berasal dari wilayah Jawa Barat (wilayah dengan persentase sebaran contoh terbesar). Persentase sebaran contoh berikutnya adalah Sumatera, yang terdiri atas Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Analisis uji Chi Square menunjukkan nilai p<0,05, artinya tidak ada perbedaan yang nyata wilayah domisili pada kelompok kasus dan kontrol (Lampiran 3). Tabel 8 Sebaran wilayah domisili contoh Kasus Wilayah Domisili Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jakarta Banten Bali Sumatera Sulawesi Total
n
Kontrol %
27 7 6 2 2 1 12 3 60
45,0 11,7 10,0 3,3 3,3 1,7 20,0 5,0 100,0
n
Total %
22 8 6 5 4 2 12 1 60
36,7 13,3 10,0 8,3 6,7 3,3 20,0 1,7 100,0
n
%
49 15 12 7 6 3 24 4 120
40,8 12,5 10,0 5,8 5,0 2,5 20,0 3,3 100
Gangguan Lambung Penyakit pencernaan yang sering dikeluhkan adalah gangguan lambung. Lambung adalah reservoir pertama makanan dalam tubuh dan di organ tersebut makanan melalui proses pencernaan dan penyerapan sebagian zat gizi. Gangguan lambung yang umum terjadi antara lain gastritis dan tukak peptik.
Gastritis adalah peradangan pada mukosa lambung, sedangkan tukak peptik adalah ulserasi (perlukaan) pada saluran pencernaan bagian atas, terutama pada lambung dan duodenum. Patogenesis tukak peptik berkaitan dengan asam lambung dan pepsin. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya gastritis dan tukak peptik maupun yang menimbulkan gejala-gejala dispepsia
yang
menyertai
penyakit
tersebut.
Faktor
risiko
yang
mempengaruhinya antara lain kebiasaan makan atau diet, merokok, alkohol, stres (fisik dan psikologis), herediter atau genetik atau bawaan, konsumsi obatobatan (obat anti inflamasi non sterodi, beberapa antibiotik, suplemen besi, dll), lingkungan (sosial-ekonomi), dan infeksi bakteri Helicobacter pylori. Yanti (2009) menyatakan dalam penelitiannya bahwa insiden gastritis di Indonesia sebesar 115/100.000 penduduk. Prevalensi tukak peptik ditemukan antara 6-15%. Dalam penelitian, data riwayat penyakit gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik), pertama-tama digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelompok kasus dan kontrol. Jumlah contoh untuk kedua kelompok (kasus dan kontrol) sama besar, yaitu 60 orang, yang terdiri atas 24 putra (40%) dan 36 putri (60%). Riwayat muncul atau kambuhnya gejala gangguan lambung diteliti menggunakan metode retrospektif dengan referensi waktu sejak contoh tinggal di asrama hingga sebelum contoh menjalani ibadah puasa (sebelum tanggal 11 Agustus 2010). Dalam rentang waktu tersebut, contoh sekurangkurangnya telah tinggal di asrama selama satu bulan (contoh tinggal asrama sejak tanggal 26 Juni 2010) dan telah menjalani perkuliahan (kuliah matrikulasi dan reguler). Gejala-gejala gastritis dan tukak peptik, yang lebih dikenal dengan sindrom dispepsia (sekumpulan gejala berupa ketidaknyamanan pada perut bagian atas) dirasakan cukup mengganggu penderitanya. Sekitar 30% penderita dispepsia tidak masuk kerja atau sekolah ketika gejala dispepsia menyerang. Hal tersebut mengganggu produktivitas penderitanya dan menimbulkan kerugian. Penyakit tersebut berkaitan erat dengan kebiasaan makan dan gaya hidup sehari-hari sehingga apabila kebiasaan makan dan gaya hidup yang dijalani penderitanya kurang baik, penderita rawan mengalami frekuensi munculnya gejala. Perubahan lingkungan dan kebiasaan sehari-hari bagi mahasiswa baru seringkali menimbulkan stres. Kondisi lingkungan asrama, padatnya jadwal kegiatan, dan berkurangnya pengawasan keluarga dapat menyebabkan perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi lebih buruk. Seseorang yang
telah mengalami masalah pencernaan sebelumnya akan rentan mengalami gejala dispepsia karena perubahan kebiasaan yang tidak sehat. Bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, perilaku hidup yang kurang baik akan memicu munculnya gangguan lambung yang diawali dengan sindrom dispepsia. Gejala-gejala khas dari gangguan lambung (gastritis maupun tukak peptik) adalah sakit/nyeri/rasa tidak enak di daerah epigastrum (ulu hati) atau perut di bagian atas, rasa panas terbakar/tidak nyaman di bagian dada/bawah tulang dada, kembung (bloating) setelah makan, perut penuh dan cepat kenyang, mual (nausea), muntah (vomitting), dan sering bersendawa. Sekumpulan gejala tersebut sering disebut dengan sindrom dispepsia. Adanya gangguan lambung yang dialami dicirikan oleh seberapa sering (frekuensi) gejala gangguan lambung yang dialami oleh contoh. Frekuensi munculnya gejala dispepsia ditentukan berdasarkan data subyektif contoh, bukan data pemeriksaan. Data frekuensi dispepsia pada awalnya dikategorikan berdasarkan informasi dari contoh mengenai berapa kali munculnya masingmasing gejala dispepsia dalam seminggu. Gejala-gejala yang dialami contoh tersebut kemudian diskor dan ditotal untuk menentukan kategori frekuensi dispepsia. Terdapat dua kategori frekuensi dispepsia, dengan pengklasifikasian sebagai berikut: frekuensi dispepsia termasuk kategori “jarang” apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh kurang dari sama dengan tujuh koma lima (≤7,5) dan frekuensi dispepsia termasuk kategori “sering” apabila skor frekuensi munculnya gejala yang diperoleh lebih dari tujuh koma lima (>7,5). Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan frekuensi gejala gangguan lambung yang dialami selama tinggal di asrama dapat dilihat pada Gambar 3. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dispepsia Frekuensi Gejala* Jarang Sering
n 49 11
Kasus % 81,7 18,3
n 60 0
Kontrol % 100 0,0
Total n % 109 90,8 11 9,2
* signifikan/nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney
Secara umum, sebagian besar contoh berada pada kategori frekuensi jarang (90,8%). Seluruh contoh pada kelompok kontrol berada pada kategori jarang, sedangkan pada kelompok kasus sebanyak 18,3% contoh termasuk kategori sering. Analisis perbedaan kedua kelompok contoh menggunakan uji
beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi dispepsia pada kelompok kasus dan kontrol (p>0,05) (Lampiran 3).. Riwayat penyakit atau gangguan lambung contoh berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05). Contoh yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis dan tukak peptik) cenderung lebih sering mengalami dispepsia dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (OR: 1,224; 95% CI: 0,086-1,380). Contoh dengan riwayat gangguan lambung sebelumnya (kasus) memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 1,224 kali dibandingkan contoh tanpa riwayat gangguan lambung (kontrol).
Sering bersendawa
Muntah Kontrol ">4 kali/minggu"
Mual
Kontrol "3-4 kali/minggu" Kontrol "1-2 kali/minggu"
Perut penuh, cepat kenyang
Kontrol "Tidak Pernah" Kasus ">4 kali/minggu" Kasus "3-4 kali/minggu"
Kembung setelah makan
Kasus "1-2 kali/minggu" Kasus "Tidak Pernah"
Rasa panas terbakar di dada
Nyeri epigastrum
0%
20%
40%
60%
80%
100% 120%
Gambar 3 Sebaran contoh pada kelompok kasus berdasarkan frekuensi dispepsia lambung yang dialami Sebagian contoh yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung (kontrol), tidak seratus persen bebas dari dispepsia yang gejala-gejala khas gangguan lambung. Beberapa gejala dispepsia juga dialami oleh contoh pada kelompok kontrol, tetapi frekuensinya tidak sesering contoh pada kelompok kasus. Dispepsia dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh kelainan organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena sebab-sebab yang lain seperti kebiasaan dan faktor psikologis (stres). Gejala-gejala gangguan lambung atau sering disebut sindrom dispepsia (sekumpulan gejala gangguan lambung berupa
ketidaknyamanan perut bagian atas) dapat timbul bukan hanya karena kelainan organik, melainkan dapat pula bersifat fungsional. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan penggunaan zat makanan. Status gizi dapat diketahui dengan menggunakan metode antropometri (Gibson 2005). WHO merekomendasikan penggunaan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak dan remaja. Dengan z-score, anak atau remaja yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Indeks yang digunakan dalam menentukan status gizi pada contoh adalah IMT/U (indeks massa tubuh terhadap umur). Sebaran contoh berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan status gizi Kasus
Status Gizi
n
Normal Tidak normal
Kontrol %
50 10
n 83,3 16,7
49 11
Total % 81,7 18,3
n 99 21
% 82,5 17,5
Sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) berada pada status gizi normal. Hanya sedikit contoh (total kasus dan kontrol) yang berada pada status gizi tidak normal (overweight atau underweight) yaitu sebesar 16,7% (kasus) dan18,3% (kontrol). Sebaran status gizi secara lebih rinci dapat dilihat pada gambar 4, terdapat 0,8-9,2% contoh yang status gizinya sangat kurus, kurus, dan overweight. Tidak ada contoh yang status gizinya obesitas. Rata-rata berat dan tinggi badan contoh pada kelompok kasus adalah 52,6±9,76 kg dan 161,3±6,7 cm, sedangkan pada kelompok kontrol 51,8±10,2 kg dan 160,0±8,9. Indeks Massa Tubuh (IMT) contoh memiliki rataan
20,14±2,9 kg/m 2 untuk
kelompok kasus dan 20,16±3,2 kg/m2 untuk kelompok kontrol. 2% 10% 7%
8% 8% Sangat kurus Kurus
83%
82%
Gambar 4 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan status gizi
Analisis statistik menggunakan uji beda Independent T-test menyatakan bahwa status gizi antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menghubungkan status gizi dengan frekuensi dispepsiamenunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata. Hubungan antara status gizi dengan tingkat frekuensi dispepsia tidak signifikan pada taraf nyata 5% (p>0,05). Hal ini berarti semakin baik status gizi contoh maka tidak berhubungan dengan penurunan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Carvalho et al. (2008), yang menyatakan status gizi tidak berpengaruh pada pederita dispepsia (gejala gastritis dan tukak peptik). Kebiasaan Makan Kebiasaan makan merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia. Kebiasaan makan sangat erat kaitannya dengan sekresi asam lambung, yang merupakan faktor agresif pada lambung. Kebiasaan makan terdiri atas dua aspek, yaitu cara makan dan makanan itu sendiri. Kebiasan makan teratur akan membantu lambung beradaptasi terhadap waktu makan sehingga sekresi asam lambung terkontrol. Jenis-jenis makanan tertentu juga berperan dalam timbulnya gangguan lambung. Kebiasaan makan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah frekuensi makan, keteraturan makan, jeda waktu makan, kebiasaan sarapan (makan pagi), kebiasaan mengkonsumsi makanan selingan (snacking), kebiasaan melakukan diet, serta frekuensi konsumsi makanan dan minuman tertentu (kopi, teh, soda, makanan pedas, makanan asam, dan suplemen). Selain itu diperhitungkan juga tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, lemak, natrium, dan kalium. Tabel 11 dan 12 menjelaskan sebaran contoh berdasarkan kebiasaan
makannya.
Adapun
Tabel
14
menjelaskan
sebaran
berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A, C, lemak, natrium, dan kalium.
contoh
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan makan. Variabel
n
Kasus %
Keteraturan Makan* Teratur 25 Tidak teratur 35 Frekuensi Makan* tidak tentu atau ≤2 kali per hari 14 tertentu dan > 2kali per hari 46 Jeda Waktu Makan tidak tentu atau ≥ 6 jam 26 tertentu dan < 6 jam 34 Kebiasaan Sarapan Ya 28 Tidak 32 Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Ya 24 Tidak 36 Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Ya 13 Tidak 47
n
Kontrol %
Total n
%
41,7 58,3
37 23
61,7 38,3
62 58
51,7 48,3
23,3 76,7
5 55
8,3 91,7
19 101
15,8 84,2
43,3 56,7
22 38
36,7 63,3
48 72
40,0 60,0
46,7 53,3
36 24
60,0 40,0
64 56
53,3 46,7
40,0 60,0
22 38
36,7 63,3
39 81
61,7 38,3
21,7 78,3
8 52
13,3 86,7
21 99
32,5 67,5
*Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square
Keteraturan Makan Keteraturan makan sangat berkaitan dengan produksi asam lambung, dimana asam lambung merupakan faktor agresif penyebab gastritis dan tukak peptik. Jadwal makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit beradaptasi sehingga produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol kemudian menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Bagi orang yang memiliki riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), makan tidak teratur akan memicu kekambuhan gangguan lambung yang ditandai dengan munculnya gejala dispepsia. Adapun bagi orang yang tidak memiliki riwayat gangguan lambung, bila kebiasaan makan tidak teratur terus berlanjut, hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan organik pada lambung akibat meningkatnya faktor agresif terutama asam lambung. Sebaran keteraturan makan contoh menunjukkan bahwa contoh pada kelompok kontrol cenderung makan lebih teratur dibandingkan kelompok kasus (Tabel 11). Lebih dari separuh contoh (58,3%) pada kelompok kasus makan tidak teratur setiap hari, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sebaliknya (61,7% contoh makan teratur, 38,3% contoh makan tidak teratur). Secara keseluruhan, terdapat 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan makan tidak teratur. Bila dibandingkan dengan data frekuensi makan, walaupun sebagian besar contoh menjawab frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari, tetapi dilihat dari
keteraturan makan, sebagian contoh tidak menunjukkan pola yang sesuai. Sebagian contoh hanya makan ketika sudah merasa lapar. Contoh pada kelompok kontrol cenderung memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur dibandingkan kelompok kasus. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Hasil uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara keteraturan makan dan frekuensi makan contoh dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Keteraturan makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,312 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah. Kebiasaan makan teratur dapat mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,810; 95% CI: 0,715-0,918). Contoh yang memiliki kebiasaan makan teratur memiliki risiko 0,810 kali (lebih rendah) untuk sering mengalami dispepsia dibandingkan dengan contoh yang tidak terbiasa makan teratur. Frekuensi Makan Frekuensi makan yang dilihat dalam penelitian adalah berapa kali contoh makan dengan menu makanan berat (meal), di luar snack atau cemilan seharihari. Frekuensi makan dapat dijadikan sebagai indikator keteraturan makan. Seseorang yang frekuensi makannya tidak tentu, dapat dikatakan bahwa pola makannya tidak teratur. Makan tidak teratur menyebabkan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Untuk mengurangi rasa mual atau tidak nyaman pada lambung sebaiknya makan dalam porsi kecil tetapi sering (small frequent meal). Makan dengan porsi kecil tetapi sering merupakan salah satu cara membantu dan meringankan kerja lambung dan produksi asam lambung juga tidak berlebihan karena harus mengakomodasi makanan yang masuk dalam jumlah terlalu banyak. Data frekuensi makan contoh pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (kelompok kasus dan kontrol) memiliki kebiasaan makan dua sampai tiga kali sehari. Pada kelompok kasus, terdapat 23,3% contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari itu. Hampir seluruh contoh pada kelompok kontrol makan lebih dari dua kali sehari. Contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, biasanya hanya makan ketika sudah merasa lapar. Analisis statistik berdasarkan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata frekuensi makan contoh pada kelompok kasus
dan kelompok kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang frekuensi makannya kurang dari dua kali sehari. Dengan kata lain, contoh pada kelompok kasus cenderung makan lebih jarang dibandingkan kelompok kontrol.
Uji hubungan
menggunakan
Chi Square
tabel 2x2
menunjukkan bahwa frekuensi makan memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,319 dan dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Frekuensi makan lebih dari dua kali sehari mengurangi risiko munculnya gejala dispepsia (OR: 0,113; 95% CI: 0,030-0,423). Contoh yang memiliki kebiasaan makan lebih dari dua kali sehari berisiko 0,113 kali (lebih rendah) untuk mengalami dispepsia dibandingkan dengan yang contoh yang frekuensi makannya tidak tentu, dua kali sehari, atau kurang dari dua kali sehari. Jeda Waktu Makan Jeda waktu makan yang lama berkaitan dengan munculnya dispepsia. Semakin panjang jeda waktu makan berarti membuat frekuensi makan semakin berkurang, sehingga membuat seseorang cenderung makan dalam jumlah banyak ketika makan. Makan dalam jumlah banyak tiba-tiba membuat beban lambung menjadi lebih berat dan produksi asam lambung menjadi tidak terkontrol. Makan tiba-tiba dalam jumlah banyak atau membiarkan lambung dalam keadaan kosong terlalu lama dapat membuat lambung memproduksi asam lambung secara berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa lambung dan menimbulkan peradangan. Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari, meskipun dalam kondisi tidur. Pada fase sefalik, asam lambung akan diproduksi walaupun makanan belum memasuki lambung. Sekedar memikirkan atau merasakan makanan sudah cukup untuk membuat saraf bekerja mempengaruhi kelenjar memproduksi asam lambung. Data penelitian pada Tabel 11 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, terdapat 40,0 % contoh yang memiliki jeda waktu makan lebih dari enam jam atau tidak tertentu jeda waktu makannya. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang tidak tentu atau lebih dari enam jam waktu makannya. Uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok contoh tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0,05) antara jeda waktu makan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4).
Kebiasaan Sarapan Salah satu isi dari tiga belas Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) adalah membiasakan sarapan pagi. Sarapan atau makan pagi memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi esensial. Selain memberikan sumbangan energi, sarapan juga memiliki manfaat lain seperti memberikan kekuatan metabolisme sepanjang malam tubuh tidak mendapat asupan, meningkatkan konsentrasi dan kemampuan berpikir, dan menghindari makan tidak terkontrol. Setelah delapan jam dalam kondisi tidur tanpa asupan, di pagi hari tubuh akan memberikan sinyal kekurangan energi dengan timbulnya rasa lapar. Dalam kondisi tersebut, energi diperoleh dari pemecahan cadangan glukosa yang terdapat pada hati dan otot, efisiensi penggunaan energi pun meningkat. Sarapan memberikan energi bagi otak sehingga meningkatkan konsentrasi, kemampuan berpikir, dan menjaga tubuh berada pada performa terbaik. Melewatkan sarapan akan membuat tubuh dalam kondisi kelaparan sehingga memicu untuk makan berlebihan pada siang hari. Menahan lapar dalam waktu lama juga memicu produksi asam lambung berlebihan sehingga dapat menimbulkan dispepsia. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) tidak memiliki kebiasaan sarapan, sedangkan pada kelompok kontrol justru sebaliknya (60% contoh terbiasa sarapan). Contoh pada kelompok kontrol lebih banyak yang memiliki kebiasaan sarapan dibandingkan kelompok kasus. Namun demikian, analisis statistik menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kelompok kasus dan kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan nilai p< 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan sarapan dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 4). Contoh yang memiliki kebiasaan
sarapan sejak tinggal bersama
keluarga, biasanya masih membawa kebiasaan tersebut ketika tinggal di asrama. Sebagian contoh melakukan sarapan hanya jika merasa lapar atau pada saat akan menjalani aktivitas kuliah (ketika hari aktif kuliah) agar tidak mengganggu konsentrasi ketika kuliah. Ketika ditanyakan alasan melewatkan sarapan kepada contoh yang tidak terbiasa sarapan, sebagian menjawab bahwa contoh masih dalam tahap adaptasi terhadap aktivitas kuliah dan tinggal tanpa keluarga sehingga belum dapat mengatur waktu dan gaya hidup dengan baik.
Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Selingan Mengkonsumsi makanan selingan (snacking) atau cemilan dapat menambah asupan energi dan zat gizi. Disamping itu, bagi penderita gangguan lambung, mengkonsumsi makanan selingan digunakan untuk mengisi lambung sementara (tidak terlalu lama membiarkan perut dalam keadaan kosong) sehingga dapat mengatasi kelebihan asam lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 60,0% dan kontrol 63,3%) tidak terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang terbiasa mengkonsumsi makanan selingan. Namun, uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi
makanan
selingan
dengan
frekuensi
dispepsia
(p>0,05)
(Lampiran 4). Kebiasaan Membatasi Asupan Makanan Penyebab ketidakteraturan makan adalah multifaktorial, tetapi salah satunya adalah perubahan pola makan pada remaja. Remaja seringkali terlalu ketat dalam mengatur pola makan demi menjaga penampilan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi. Dalam jurnal penelitiannya, Robert dan William (2000) menyatakan bahwa 44% remaja perempuan di sekolah menengah atas mencoba untuk menurunkan berat badan dan 26% lainnya menjaga agar berat badannya tidak bertambah. Terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan membatasi konsumsi makanan untuk menurunkan berat badan dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan dengan kontrol (kelompok kasus 21,7% dan kontrol 13,3%). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan membatasi asupan makanan dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Contoh yang melakukan pembatasan asupan makanan, sebagian besar melakukannya dengan membatasi konsumsi jenis makanan tertentu saja (makanan tinggi lemak), sebagian lagi menghindari makan atau mengurangi frekuensi makan, atau kombinasi keduanya (Gambar 5).
80,0% 70,0% 60,0% 50,0% 40,0% 30,0% 20,0% 10,0% 0,0%
Kasus Kontrol total
Membatasi konsumsi Menghindari makan Membatasi makanan makanan tertentu seminimal mungkin (kombinasi keduanya)
Gambar 5 Kebiasaan membatasi asupan contoh untuk menurunkan berat badan Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum kopi, teh, soda, makan makanan pedas, asam, dan konsumsi suplemen. Kasus Kontrol n % n % Kebiasaan Minum Teh, Kopi, dan Minuman berkarbonasi Teh 10 16,7 15 25,0 Kopi* 3 5,0 1 1,7 Minuman berkarbonasi* 6 10,0 4 6,7 Teh + Kopi* 6 10,0 5 8,3 Teh + Minuman berkarbonasi * 8 13,3 8 13,3 Kopi + Minuman berkarbonasi 1 1,7 4 6,7 Teh + Kopi+ Minuman berkarbonasi * 16 26,7 5 8,3 Bukan ketiganya 10 16,7 18 30,0 Kebiasaan Makan Pedas* Ya 51 85,0 43 71,7 Tidak 9 15,0 17 28,3 Kebiasaan Makan Asam* Ya 42 70 24 40 Tidak 18 30 36 60 Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Ya 23 38,3 17 28,3 Tidak 37 61,7 43 71,7 Variabel
Total n % 25 4 10 11 16 5 21 28
20,8 3,3 8,3 9,2 13,3 4,2 17,5 23,3
94 26
78,3 21,7
66 54
55 45
40 80
33,3 66,7
*Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,001
Kebiasaan Minum Teh, Kopi, Minuman berkarbonasi, dan Kombinasinya Minuman dari seduhan daun teh (Camelia sinensis) merupakan salah minuman alami yang
sangat populer di masyarakat. Beberapa kandungan
senyawa kimia dalam teh dapat memberikan kesan warna, rasa, dan aroma khas yang dapat memberikan efek relaksasi pada peminumnya. Senyawa utama yang dikandung teh adalah katekin, yaitu suatu kerabat tanin terkondensasi yang juga sering disebut polifenol. Selain itu, teh juga mengandung alkaloid kafein yang bersama-sama dengan polifenol teh akan membentuk rasa yang pahit, sepat,
dan aroma segar. Teh juga mengandung kafein dalam jumlah lebih sedikit daripada kopi. Polifenol merupakan antioksidan yang dapat mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Akan tetapi, tanin mudah teroksidasi (karena panas, udara, senyawa asam, dan lainnya) dan berubah menjadi asam tanat. Tanin yang bercampur dengan asam lambung akan teroksidasi dan berubah menjadi asam tanat. Asam tanat dapat membekukan protein sehingga menimbulkan efek negatif pada mukosa lambung sehingga menyebabkan berbagai gangguan lambung seperti gastritis atrofi atau tukak lambung. Minum teh pada saat perut kosong dapat menimbulkan tekanan berlebih pada lambung. Lebih dari separuh contoh (kelompok kasus 66,7% dan kontrol 55%) memiliki kebiasaan minum teh dengan kecenderungan kelompok kasus lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik dengan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa antara kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum teh tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Jenis teh yang dikonsumsi oleh contoh adalah minuman teh dalam kemasan (tetra pak atau botol) dan minuman teh racikan (es teh). Alasan contoh menggemari minuman teh adalah karena rasanya yang familiar dan minuman tersebut mudah didapatkan dimana saja. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh, tidak mengkonsumsi teh setiap hari atau hanya mengkonsumsi teh kurang dari lima gelas per minggu. Sebagian besar contoh yang terbiasa minum teh masih mengkonsumsi teh dalam jumlah yang wajar dan sesuai anjuran (membatasi minum teh 2-3 cangkir saja per hari). Selain teh, kopi (Coffea arabica atau Coffea canephora) juga merupakan bahan penyegar yang populer di masyarakat dan sudah menjadi bagian dari budaya. Kopi biasanya dikonsumsi dalam bentuk minuman (diseduh), baik hanya kopi saja dengan gula maupun dicampur dengan bahan lainnya (susu atau krimer). Biji kopi mengandung senyawa kafein dalam jumlah 1-1,5% dan senyawa polifenol (antioksidan). Kafein merupakan senyawa alkaloid yang memiliki efek merangsang otak dan saraf simpatis, meningkatkan aktivitas jantung, serta bersifat diuretik (Lelyana 2009). Efek kafein pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung karena kafein mengandung senyawa asam diantaranya caffeic acid dan chlorogenic acid. Tingginya asam menyebabkan peradangan
hingga luka pada mukosa lambung serta duodenum, serta menngkatkan tekanan di dalam lambung. Selain itu, kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan gejala heartburn, mulut terasa asam, dan sendawa (Harahap 2009). Lebih dari separuh contoh tidak terbiasa minum kopi (kelompok kasus 56,7% dan kontrol 75%) dengan kecenderungan contoh pada kelompok kasus lebuh
banyak yang
memiliki
kebiasaan
minum
kopi.
Analisis
statistik
menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum kopi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Jenis kopi yang banyak dikonsumsi contoh adalah kopi instan (kopi dengan campuran susu atau krimer). Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan minum kopi, masih mengkonsumsi minuman tersebut dalam jumlah yang wajar sebanyak kurang dari satu cangkir per hari atau kurang dari lima cangkir per minggu. Minuman berkarbonasi atau minuman bersoda adalah minuman yang dibuat dengan mengabsorbsikan karbon dioksida (CO 2) ke dalam air minum. Penginjeksian gas-gas CO2 akan menghasilkan gelembung-gelembung (buih) yang akan memberi kesan segar pada minuman dan efek rasa menggigit di lidah ketika diminum (Zentimer 2009). Proses karbonasi biasanya menggunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) atau dikenal juga dengan nama soda kue (baking soda). Oleh karena itu, minuman berkarbonasi juga sering disebut sebagai minuman
bersoda
(Zentimer
2007).
Terdapat
banyak
jenis
minuman
berkarbonasi berupa cola, sari buah berkarbonasi, teh berkarbonasi, kopi berkarbonasi, dan lainnya. Diantara berbagai jenis minuman berkarbonasi, yang paling banyak diminati mahasiswa TPB adalah cola (Dewi 2008). Beberapa merk minuman berkarbonasi yang familiar di kalangan remaja antara lain Coca Cola, Pepsi Cola, Fanta, dan Sprite. Dalam minuman berkarbonasi, selain terkandung CO2 juga mengandung zat pemberi rasa (flavor), pemanis, pengemulsi, penstabil, dan pengawet. Minuman
berkarbonasi
mengandung
gula
(karbohidrat)
tinggi
sehingga
memberikan asupan kalori yang tinggi. Minuman berkarbonasi bersifat asam, memiliki pH sangat rendah (3-4). Makanan asam dapat menyebabkan iritasi dan mengikis mukosa lambung. Selain itu, kandungan CO 2 dalam minuman
berkarbonasi dapat menghambat sekresi enzim pencernaan, bila soda dikonsumsi bersama dengan makanan akan menghambat proses pencernaan dan penyerapan zat gizi. Dalam minuman berkarbonasi juga ditambahkan kafein untuk memberikan rasa pahit. Kafein tersebut memiliki efek yang sama dengan kafein yang terdapat dalam kopi. Efeknya pada sistem gastrointestinal adalah meningkatkan sekresi gastrin sehingga merangsang produksi asam lambung, mengandung senyawa asam yang iritatif terhadap mukosa lambung. Efek lainnya adalah kafein dapat mengendurkan lower esophageal sphinchter atau LES, katup antara lambung dan kerongkongan, sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan. Tabel 12 menunjukkan, lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (51,7%) memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar contoh (65%) tidak terbiasa minum minuman berkarbonasi. Sebagian besar contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi (kelompok kasus dan kontrol), mengkonsumsi minuman tersebut sebanyak kurang dari satu botol (ukuran 500 ml) per hari atau kurang dari lima botol per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasan minum minuman berkarbonasi berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p<0,05). Koefisien kontingensi kebiasaan minum kopi dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,240 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). Kebiasaan minum minuman berkarbonasi meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 6,907; 95% CI: 1,423-33,519). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi minuman berkarbonasi memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 6,907 kali dibandingkan contoh
yang tidak terbiasa mengkonsumsi minuman
berkarbonasi. Kombinasi kebiasaan minum minuman iritatif terhadap mukosa lambung diduga lebih berisiko terhadap frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Sebagian contoh memiliki kebiasaan mengkonsumsi teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, kopi dan minuman berkarbonasi, serta teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Bagian terbesar sebaran contoh pada kelompok kasus adalah yang terbiasa mengkonsumsi kombinasi teh, kopi, dan minuman berkarbonasi, sedangkan pada kelompok kontrol adalah yang tidak terbiasa
mengkonsumsi ketiganya (Tabel 12). Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kebiasaan minum teh dan kopi, teh dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi ketiganya (teh, kopi, dan minuman berkarbonasi) contoh pada kelompok kasus dan kontrol (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan kombinasi kebiasaan minum teh dan kopi, kebiasaan minum teh dan minuman berkarbonasi, kebiasaan minum kopi dan minuman berkarbonasi, serta kombinasi kebiasaan minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05). Kebiasaan Makan Pedas dan Asam Makanan asam dan pedas seperti cabai, merica, dan bumbu-bumbu tajam merupakan makanan yang merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat merusak dinding lambung. Asam dan pedas merangsang sekresi asam lambung berlebihan, sehingga menimbulkan dispepsia. Disamping itu, asam dan pedas juga dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan (Harahap 2009). Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (85%) memilki kebiasaan makan makanan pedas, demikian juga pada kelompok kontrol (71,7%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih sering mengkonsumsi makanan pedas dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas, sebanyak 20% contoh pada kelompok kasus, mengkonsumsi makanan pedas lebih dari tiga kali sehari (hampir di setiap waktu makan), sedangkan pada kelompok kontrol hanya sejumlah 5%. Contoh lainnya (sebanyak 31,7%-33,33%) biasa mengkonsumsi makanan pedas <1 kali per hari atau 1-2 kali per hari (Gambar 6). Analisis statistik mengunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan yang nyata (p>0,05) pada kedua kelompok (kasus dan kontrol). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan
bahwa
kebiasaan
mengkonsumsi
makanan
pedas
berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Tabel 6).
tidak
35,0% 30,0% 25,0% 20,0%
Kasus
15,0%
Kontrol
10,0%
Total
5,0% 0,0% Tidak mengkonsumsi
<1 kali/hari
1-2 kali/hari
≥ 3 kali/hari
Gambar 6 Frekuensi konsumsi makanan pedas contoh Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh pada kelompok kasus (70%) memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, sedangkan pada kelompok kontrol sebaliknya (60% contoh tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam). Baik pada kelompok kasus maupun kontrol, contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan asam, sebagian besar (kasus 70,0% dan kontrol 40,0%) mengkonsumsi makanan atau minuman asam kurang dari satu kali per hari atau kurang dari lima kali per minggu dan tidak ada yang mengkonsumsi makanan atau minuman asam lebih dari tiga kali per hari. Contoh pada kelompok kasus lebih sering mengkonsumsi makanan atau minuman asam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menyatakan bahwa antara kedua kelompok (kasus dan kontrol) berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia (p<0,05) (Lampiran 4). Koefisien kontingensi kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam dengan frekuensi dispepsia sebesar 0,219 yang dinyatakan dengan tingkat hubungan rendah (Lampiran 4). kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 9,123; 95% CI: 1,129-73,735). Contoh yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam memiliki peluang lebih sering mengalami dispepsia sebesar 9,123 kali dibandingkan contoh yang tidak terbiasa mengkonsumsi makanan atau minuman asam. Kebiasaan Mengkonsumsi Suplemen Suplemen kesehatan atau diebut juga dietary supplement adalah produk kesehatan yang mengandung satu jenis atau lebih zat-zat gizi atau obat. Zat-zat
gizi yang dimaksud adalah vitamin, mineral, dan asam-asam amino, sedangkan yang bersifat obat umumnya diambil dari jaringan tubuh hewan atau dari tanaman (Thomson 2008). Pada umumnya suplemen mengandung zat gizi, enzim, serta herbal yang meningkatkan antioksidan dan imunitas tubuh, serta mengendalikan kolesterol, gula darah, dan tekanan darah. Terdapat beberapa kondisi yang melatarbelakangi pengunaan suplemen makanan, diantaranya pola makan yang tidak seimbang yang berpengaruh pada asupan gizi ke dalam tubuh. Alasan mengkonsumsi suplemen diantaranya adalah ingin tetap dalam kondisi gizi yang baik, memulihkan tenaga, mengurangi stres, dan mencegah terjadinya penyakit. Hanya sebagian kecil contoh
pada kedua kelompok, yang memiliki
kebiasaan mengkonsumsi suplemen (kelompok kasus 38,3% dan kontrol 28,3%). Contoh pada kelompok kasus cenderung lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen dibandingkan kelompok kontrol. Hasil analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata konsumsi suplemen diantara kedua kelompok (p>0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara kebiasaan mengkonsumsi suplemen dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Sebaran contoh berdasarkan jenis suplemen yang dikonsumsi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jenis suplemen yang dikonsumsi contoh Suplemen Vitamin C Multivitamin Madu dan Herbal Lainnya
Kasus n (18)
% 6 5 4 3
33,3 27,8 22,2 16,7
Kontrol n (12) % 7 58,3 2 16,7 0 0,0 3 25,0
Total n (30) 13 7 4 6
% 43,3 23,3 13,3 20,0
Jenis suplemen yang paling banyak dikonsumsi contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) adalah vitamin C. Pada kelompok kasus, selain vitamin C suplemen yang juga banyak dikonsumsi adalah multivitamin (merek suplemen yang dikonsumsi adalah Sangobion, Enervon-C, Calcium D Redoxon, dan Cerebrovit). Suplemen herbal yang banyak dikonsumsi adalah klorofil cair, sedangkan suplemen lainnya adalah vitamin E (merek Natur-E) dan vitamin B kompleks (merek IPI dan Neurobion). Frekuensi konsumsi suplemen contoh paling sering dua kali per hari dan yang paling jarang satu kali per minggu. Contoh terutama mengkonsumsi vitamin C sebanyak satu kali per hari dengan
dosis 500 mg, sesuai dengan vitamin C yang ada di pasaran (merek Xon Ce atau Vitacimin). Tabel 14 Tingkat kecukupan vitamin A, vitamin C, konsumsi lemak, natrium, dan kalium contoh Variabel
n
Kasus %
Tingkat Kecukupan Vitamin A* Normal (>77% AKG) 40 Defisit (< 77% AKG) 20 Tingkat Kecukupan Vitamin C Normal (>77% AKG) 12 Defisit (< 77% AKG) 48 Konsumsi Lemak** Cukup (≤30% AKE) 23 Lebih (> 30% AKE) 37 Konsumsi Natrium Cukup (<2400 mg/hari) 59 Lebih (> 2400 mg/hari) 1 Konsumsi Kalium Cukup (>2000mg/hari) 1 Defisit (<2000 mg/hari) 59 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 ** Signifikan atau nyata pada p<0,01 AKE = Angka Kecukupan Energi, digunakan energi sehari contoh (WKNPG 2004).
n
Kontrol %
Total n
%
67,7 33,3
45 15
75,0 25,0
85 35
70,8 28,2
20,0 80,0
7 53
11,7 88,3
19 101
15,8 84,2
95,0 5,0
54 6
90,0 10,0
77 43
64,2 35,8
98,3 1,7
59 1
98,3 1,7
118 1
98,3 0,8
1,7 98,3
2 58
3,3 96,7
3 117
2,5 97,5
sebagai pendekatan jumlah kebutuhan
Tingkat Kecukupan Vitamin A dan C Karotenoid (bahan pembentuk vitamin A) berinteraksi dengan vitamin C, vitamin E, dan Selenium sebagai zat anti oksidan yang melawan efek radikal bebas. Karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh melalui efek anti oksidan. Vitamin A menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran mukosa, kelenjar thymus dan jaringan lymphoid, dan semua hal yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Dapat dikatakan bahwa vitamin A membantu menjaga membran mukosa lambung atau menjadi faktor protektif atau defensif mukosa lambung. Vitamin C bersama dengan vitamin E dapat melindungi sel dari perlawanan peroksidasi lemak didalam sel. Vitamin C juga dapat berfungsi sebagai pencegah kanker. Akan tetapi, vitamin C atau asam askorbat merupakan senyawa yang bersifat asam. Dengan demikian, asam tersebut dapat bersifat agresif terhadap mukosa lambung. Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C dapat dilihat pada Tabel 14. Tingkat kecukupan vitamin A contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) sebagian besar berada pada kategori normal. Contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengalai defisit vitamin A dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji Mann
Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin A dan vitamin C tidak berhubungan nyata terhadap frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat kecukupan vitamin C pada sebagian besar contoh berada pada kategori defisit (kelompok kasus 80% dan kontrol 88,3%). Angka kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa tingkat kecukupan vitamin C pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05). Tingkat kecukupan vitamin C contoh pada kelompok kasus cenderung lebih baik dibandingkan kelompok kontrol karena contoh pada kelompok kasus lebih banyak yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Konsumsi Lemak Terlalu sering mengkonsumsi makanan yang berminyak dan berlemak membuat makanan tinggal di lambung lebih lama. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang pada akhirnya membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter, LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan menimbulkan sendawa dan heartburn. Lamanya pengosongan lambung berhubungan dengan tukak lambung dan munculnya gejala perut terasa penuh. Akan tetapi, konsumsi lemak dalam jumlah yang cukup dapat menekan sekresi asam lambung dengan cara memperlambat pengosongan lambung dan menstimulasi aliran getah pankreas serta empedu. Dengan demikian lemak turut memfasilitasi proses pencernaan agar berlangsung lebih optimal (Thomson 2008). Jenis lemak tertentu, yaitu asam lemak rantai pendek (C4-C6) dan rantai sedang (C8-C10) dapat diabsorbsi langsung ke dalam vena porta dan dibawa ke hati untuk segera dioksidasi (diubah menjadi energi). Medium Chain Triglycerides (MCT) dengan panjang 6-12 karbon, cukup larut dalam air, hanya membutuhkan garam empedu dalam jumlah sedikit untuk mencernanya, tidak membutuhkan reseterifikasi pada enterosit, dan ditransportasikan sebagai asam lemak bebas
pada sistem porta. MCT dapat dicerna dengan cepat dan tidak terpengaruh oleh faktor intestinal yang menghambat absorbsi lemak (Thomson 2008). Lemak rantai pendek dan sedang (MCT) berkontribusi positif dalam mengurangi frekuensi munculnya gejala gangguan lambung atau dispepsia. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada Tabel 14.
Bagian
terbesar
sebaran
contoh
pada
kelompok
kasus
(61,7%)
mengkonsumsi lemak dalam jumlah > 30% AKE, sedangkan pada kelompok kontrol, hampir seluruh contoh (90%) mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup ≤ 30% AKE. Konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi lemak contoh pada kelompok kasus dan kontrol berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi lemak berhubungan sangat nyata terhadap frekuensi dispepsiapada contoh (p<0,01) (Lampiran 4). Konsumsi lemak memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,237 (p=0,007) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Konsumsi lemak ≥30% kecukupan energi sehari berhubungan dengan semakin rendahnya frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Mengkonsumsi lemak kurang dari 30% AKE meningkatkan risiko sering munculnya gejala dispepsia (OR: 5,683; 95% CI : 1,409-22,557). Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar pada konsumsi lemak contoh adalah susu dan lauk hewani berupa telur. Susu merupakan pangan yang mengandung MCT, baik susu maupun telur adalah pangan hewani yang memiliki daya cerna tinggi. Konsumsi Natrium dan Kalium Natrium
dan
kalium
merupakan
mineral
yang
berperan
dalam
keseimbangan elektrolit cairan tubuh. Namun, disisi lain kedua mineral tersebut memiliki peran lain yang bertolak belakang.
Diet tinggi garam dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan proliferasi epitel lambung sehingga menyebabkan gastritis. Konsumsi NaCl dalam jumlah berlebihan akan meningkatkan kolonisasi Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori yang predominan di antrum dapat meningkatkan kadar gastrin sehingga meningkatkan sekresi asam lambung dan menyebabkan tukak lambung. Asupan garam berlebihan dan terus menerus dapat
menyebabkan
hiperplasia
sel
sehingga
meningkatkan
kolonisasi
Helicobacter pylori serta menimbulkan kerusakan mukosa lambung (gastritis).
Gastritis ringan dapat berubah menjadi gastritis kronis yang merupakan prekursor perlukaan lambung (tukak lambung) yang dapat berakhir pada kanker lambung. Kalium yang kebanyakan berasal dari sayur-sayuran dan buah-buahan, merupakan antioksidan yang dapat memberikan perlindungan pada tubuh sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya tukak lambung dan meringankan gejala pada saat tukak mulai terbentuk. Kalium sebagai antioksidan mampu menghambat
kerusakan
kromosom,
transformasi
sel,
dan
rangsangan
pembentukan kanker. Sebaran contoh berdasarkan konsumsi natrium dan kalium dapat dilihat pada Tabel 14. Hampir keseluruhan contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) mengkonsumsi natrium dalam jumlah
cukup, tidak berlebihan.
Sebaliknya, hampir keseluruhan contoh defisit konsumsi kalium. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium antara kedua kelompok (kelompok kasus dan kontrol) tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi natrium dan kalium tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (Lampiran 4). Kebiasaan Merokok Dalam sebatang rokok, terkandung berbagai zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Gas karbon monoksida, nitrogen oksida, ammonia, benzene, methanol, perylene, hydrogen sianida akrolein, asetilen, bensaldehida, arsen, n-nitrosamine, urethane, nikotin, dan tar adalah beberapa gas yang terdapat dalam asa rokok. Zat-zat kimia dalam asap rokok akan terserap ke dalam aliran darah dari paru-paru lalu beredar ke seluruh tubuh dan mempengaruhi setiap sel tubuh. Merokok adalah salah satu faktor risiko bagi munculnya dispepsia. Penelitan-penelitian terdahulu menyebutkan bahwa merokok merupakan faktor yang berkontribusi nyata terhadap munculnya gastritis
dan
tukak
peptik,
terutama
tukak
lambung,
serta
proses
penyembuhannya. Tar dalam asap rokok dapat melemahkan katup lower esophageal sphincter (LES), katup antara lambung dan kerongkongan. Melemahnya LES dapat mengakibatkan naiknya asam lambung dan gas ke kerongkongan sehingga muncul heartburn dan sering bersendawa. Merokok juga mengganggu faktor defensif lambung dengan cara mengurangi sekresi bikarbonat dan aliran
darah di mukosa lambung. Berkurangnya faktor defensif lambung dapat memperburuk peradangan lambung dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena infeksi H. pylori (Beyer 2004). Selain berpengaruh terhadap perokok aktif secara langsung, asap rokok juga dapat berpengaruh kepada perokok pasif (orang ang terkena asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif). Hanya terdapat sebagian kecil contoh yang memiliki kebiasaan merokok, 10% pada kelompok kasus dan 3,3% pada kelompok kontrol. Sebaran kebiasaan merokok contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Keseluruhan contoh yang memiliki kebiasaan merokok berjenis kelamin pria (mahasiswa). Jumlah rokok yang dihisap per hari antara 1-9 batang. Usia awal merokok contoh antara 12-18 tahun, sebagian besar merokok sejak usia 15 tahun, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Contoh telah merokok rata-rata selama 2,75 tahun atau dua tahun sembilan bulan, dengan kisaran satu hingga enam tahun. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan merokok aktif dan pasif Variabel Perokok aktif Ya Tidak Total Perokok pasif Sering Jarang Total
n
Kasus %
n
Kontrol %
Total n
%
6 54 60
10,0 90,0 100,0
2 58 60
3,3 96,7 100,0
8 112 120
6,7 93,3 100,0
3 51 54
5,6 94,4 100,0
6 54 58
6,9 93,1 100,0
15 105 120
6,3 93,8 100,0
Selain perokok aktif, sebagian kecil contoh yang tidak memiliki kebiasaan merokok juga sering terpapar asap rokok (menjadi perokok pasif). Jumlah contoh pada kelompok kontrol yang menjadi perokok pasif, lebih banyak dibandingkan jumlah perokok pasif pada kelompok kasus. Sebanyak 5,6% contoh pada kelompok kasus dan 6,9% pada kelompok kontrol. Contoh dikategorikan sering menjadi perokok pasif apabila terpapar asap rokok lebih dari tiga kali sehari. Hasil penelitian mengenai perokok aktif dan pasif hanya dianalisis secara deskriptif, tidak diuji secara statistik karena jumlah contoh yang positif (perokok aktif maupun pasif) hanya sedikit dan keseluruhan berjenis kelamin pria Berkarakteristik khusus), sehingga diduga tidak proporsional diuji bersamaan dengan contoh yang lain.
Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol Alkohol dalam makanan atau minuman terkandung dalam bentuk etil alkohol atau etanol. Minuman yang mengandung alkohol antara lain bir, arak, anggur, wine, dan minuman keras lainnya. Pencernaan alkohol dilakukan oleh enzim alkohol dehidrogenase di dalam organ lambung dan hati. Apabila jumlah alkohol yang dikonsumsi melebihi kemampuan mencerna enzim alkohol dehidrogenase, maka alkohol akan dikeluarkan dari hati dan masuk ke dalam sirkulasi darah dan ikut beredar ke bagian-bagian tubuh yang lain sehinga menyebabkan mabuk. Seseorang dikatakan mabuk bila darahnya mengandung setidaknya 0,1% alkohol (Almatsier 2002). Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati. Alkohol merangsang produksi asam lambung secara berlebihan (meningkatkan faktor agresif), sehingga berakibat negatif pada mukosa lambung (menurunkan faktor defensif). Selain itu, sama seperti rokok, alkohol dapat mengendurkan katup lower esophageal sphincter (LES) sehingga menyebabkan refluks atau berbaliknya aliran asam lambung dan gas ke kerongkongan (Harahap 2009). Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan mengganggu penyembuhan tukak peptik. Menurut Khomsan (2004) alkohol dapat menurunkan nafsu makan sehingga tubuh akan terhalang untuk memperoleh asupan gizi seimbang. Keseluruhan contoh tidak ada yang pernah mengkonsumsi minuman beralkohol selama tinggal di asrama. Akan tetapi, sebenarnya terdapat beberapa contoh putra yang penah bahkan terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol sebelum tinggal di asrama TPB IPB (ketika masih duduk di bangku SMA). Keseluruhan dari contoh yang pernah atau terbiasa mengkonsumsi minuman beralkohol termasuk dalam kelompok kasus. Informasi tersebut dieroleh dari wawancara mendalam terhadap contoh, meliputi kebiasaan sebelum contoh tinggal di asrama. Akivitas Fisik dan Kebiasaan Berolahraga Aktivitas fisik adalah gerakan yang dlakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. selama melakukan aktivitas fisik otot membutuhkan energi di luar metabolisme
basal
untuk
bergerak,
sedangkan
jantung
dan
paru-paru
memerlukan tambahan energi untuk Pengaruh diet dan olahraga pada status kesehatan berhubungan dekat satu sama lain. Olahraga yang teratur membantu
menguatkan
jantung,
meningkatkan
peristaltik
saluran
gastrointestinal,
menurunkan stres, dan mengontrol berat badan (Bredbenner et al 2009). Peranan olahraga yang terbesar adalah menurunkan rsiko terjadinya penyakit dan kematian dini. kebiasaan dan aktivitas fisik sedentary dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan. Rajin berolahraga akan membantu memanajemen stres dan akan menurunkan risiko terjadinya dispepsia. Manajemen stres yang baik akan membantu mengontrol sekresi asam lambung. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa olahraga secara nyata dapat mengurangi risiko tukak duodenum dan perdarahan gastrointestinal pada penderita gastritis. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktvitas fisik Variabel
Kasus n
%
Kontrol n
%
Total n
% Kebiasaan olah raga Ya 40 66,7 29 48,3 69 57,5 Tidak 20 33,3 31 51,7 51 42,5 Tingkat aktivitas fisik* Tidak aktif 15 25,0 31 51,7 45 37,5 Aktif 45 75,0 29 48,3 57 47,5 *Signifikan atau nyata pada p<0,05 dengan uji beda Mann Whitney dan korelasi Chi Square
Kebiasaan olahraga contoh dinilai berdasarkan informasi atau pengakuan contoh mengenai kebiasaan olahraga yang dilakukan selama tinggal di asrama TPB IPB. Tingkat aktifitas fisik contoh dinilai berdasarkan akumulasi durasi aktivitas sedang (moderate activity) termasuk olahraga yang yang dilakukan contoh selama seminggu. Pengkategorian tingkat aktivitas fisik menggunakan kriteria U.S. Department of Health and Human Services (USDHHS) tahun 2008. Sebaran contoh beradasarkan kebiasaan olahraga dan tingkat aktivitas fisik dapat dilihat pada Tabel 16. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (66,7%) memiliki kebasaan melakukan olahraga, sedangkan pada kelompok kontrol hanya 48,3% contoh yang memiliki kebiasaan melakukan olahraga. Data kebiasaan olahraga diperoleh berdasarkan pengakuan contoh sehingga lebih bersifat subjektif atau dipengaruhi oleh persepsi contoh. Analisis statistika menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kasus tidak berbeda nyata dengan kebiasaan olahraga contoh pada kelompok kontrol (p<0,05). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 kebiasaan olahraga tidak berhubungan nyata (p>0,05) dispepsia (Lampiran 4).
menunjukkan
dengan frekuensi
Sebaran contoh berdasarkan tingkat aktivitas fisik pada kelompok kasus berbeda dengan pada kelompok kontrol. Sebagian besar contoh pada kelompok kasus (75%) berada pada kategori aktif, sedangkan pada kelompok kontrol lebih separuh contoh berada pada kategori tidak aktif. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) pada kedua kelompok tersebut (Lampiran 3). Uji hubungan dengan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa tingkat aktivitas fisik berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (p>0,05) (Lampiran 4). Tingkat aktivitas fisik memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 (p=0,036) dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami dispepsia lebih sering dibandingkan yang aktif (OR: 7,031; 95%CI: 0,869-56,886). Contoh yang termasuk kategori tidak aktif memiliki risiko mengalami
dispepsia
dengan
frekuensi
sering
7,031
kali
lebih
tinggi
dibandingkan yang aktif. Jenis olahraga yang dilakukan contoh berbeda-beda satu sama lain. Pada umumnya contoh putra lebih banyak melakukan olahraga futsal, sedangkan contoh putri jenis olahraga sepeda. Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan oleh contoh baik putra maupun putri adalah lari. Selain olahraga yang dilakukan, dilihat transportasi yang dilakukan contoh dari asrama menuju tempat kuliah. Jika contoh terbiasa berjalan kaki dari dan menuju tempat kuliah, hal tersebut turut berkontribusi pada aktivitas fisik sehari-hari contoh. Konsumsi Obat-Obatan Jenis obat-obatan tertentu dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Obat anti nyeri (misalnya: aspirin, neuralgin, parasetamol, dll), obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik, kortikosteroid (hormon), tablet besi, suplemen kalium, dan obat kemoterapi kanker adalah beberapa jenis obat yang memiliki efek samping menyebabkan gastritis. Di Indonesia obat-obatan banyak yang dijual secara bebas. Obat-obatan daftar G (obat yang memerlukan resep dokter) dapat dengan mudah dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Pemakaian obat-obatan yang luas ini menyebabkan kejadian efek samping obat meningkat. Dilaporkan 10-20% pasien yang menggunakan aspirin dan OAINS mengalami dispepsia, yang merupakan gejala gastritis (Santoso 2008). Obat pengurang rasa sakit atau antinyeri diduga berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Rasa sakit atau nyeri sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari bagi penderitanya, sehingga
penderita lebih suka bertindak cepat mengatasinya dengan obat anti nyeri (analgesik). Santoso 2008 menyatakan, terdapat dua mekanisme kerja obatobatan yang dapat menyebabkan iritasi secara langsung maupun tidak langsung pada saluran cerna. Pertama, molekul-molekul obat yang bersifat asam akan langsung mengiritasi mukosa lambung. Kedua, inhibisi atau hambatan terhadap pengeluaran prostaglandin akan menurunkan faktor defensif mukosa lambung. Prostaglandin bersifat protektif terhadap mukosa lambung, senyawa tersebut dihambat karena dianggap bertanggungjawab terhadap munculnya respon inflamasi dan rasa nyeri. Penderita gastritis dan tukak peptik sering menggunakan obat-obatan yang menekan sekresi asam lambung untuk mengatasi gejala yang muncul. Antasida merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi gejala gastritis dan tukak peptik. Antasida diberikan secara oral untuk mengurangi rasa perih akibat suasana lambung yang terlalu asam dengan cara menetralkan asam lambung. Umumnya antasida merupakan basa lemah, terdiri dari zat aktif yang mengandung alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida, kadang-kadang disertai simetikon untuk mengurangi kelebihan gas. Efek samping antasida, obat tersebut dapat berinteraksi dengan senyawa logam lain yang terdapat pada makanan atau obat tertentu. Zat aktif pada antasida (magnesium dan alumunium) akan bersaing dengan mineral lainnya yang memiliki valensi sama untuk diabsorbsi. Magnesium (Mg), kalsium (Ca), besi (Fe), dan tembaga (Cu) sama-sama memiliki valensi +2 sehingga jika dikonsumsi bersamaan akan saling menghambat absorbsi (Almatsier 2002). Sering mengkonsumsi antasida akan meningkatkan risiko defisiensi vitamin dan mineral tertentu. Jika defisiensi besi dan vitamin B12 yang terjadi, maka dapat berdampak pada anemia. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida Variabel
n Kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan* Pengguna harian 28 Bukan pengguna harian 32 Konsumsi antasida** Ya 19 Tidak 41 **Signifikan atau nyata pada p<0,01
Kasus %
n
Kontrol %
n
Total %
46,7 53,3
8 52
36,0 84,0
36 84
30,0 70,0
31,7 68,3
1 59
1,7 98,3
21 99
17,5 82,5
Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan dan antasida dipaparkan pada Tabel 17, Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus (53,3%) dan sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (84,0%) termasuk dalam kategori bukan pengguna harian. Bukan pengguna harian artinya contoh mengkonsumsi obat kurang dari atau sama dengan tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0,01) antara
kelompok
kasus
dengan
kontrol
(Lampiran
3).
Uji
hubungan
menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa konsumsi obat-obatan tidak berhubungan nyata (p>0,05) dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Antasida dikonsumsi untuk mengurangi gejala dispepsia yang dialami penderita gastritis atau tukak peptik. Terdapat 31,7% contoh pada kelompok kasus memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Sebagian besar dari mereka adalah pengguna harian, contoh yang mengkonsumsi obat lebih dari tujuh takaran (tablet/kapsul/kaplet) per minggu. Terdapat 1,7% contoh pada kelompok kontrol yang juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida. Contoh pada kelompok kontrol tersebut juga mengalami gejala dispepsia (gejala gangguan lambung), tetapi tidak mengalami gastritis atau tukak peptik. Hal tersebut dapat terjadi karena gejala dispepsia tidak hanya timbul karena adanya masalah organik (gastritis atau tukak peptik), melainkan karena masalah fungsional. Analisis perbandingan secara statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata pada konsumsi antasida antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,01). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara konsumsi antasida dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p<0,01), dengan koefisien kontingensi sebesar 0,307 dan dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah (Lampiran 4). Semakin sering contoh mengalami dispepsia, maka cenderung memiliki kebiasaan mengkonsumsi antasida untuk mengatasi gejalanya (OR: 8,143; 95% CI 2,191-30,263). Tingkat Stres Stres erat kaitannya dengan berbagai rangkaian reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Gangguan psikis atau konflik emosi akan menimbulkan gangguan psikosomatik yang diikuti perubahan fisiologis dan biokemis
seseorang. Stres akan memicu hormon kortisol, dimana hormon tersebut akan menimbulkan reaksi pada seluruh sistem dalam tubuh, termasuk jantung, paruparu, peredaran darah, metabolisme, dan sistem imun. Hormon lainnya, yaitu hormon kotekolamin yang terdiri atas zat aktif dopamin, norepinefrin, dan epinefrin atau yang lebih dikenal dengan adrenalin turut berperan dalam menekan ingatan jangka pendek seseorang. Hal tersebut menyebabkan seseorang yang sedang mengalami stres akan sulit untuk berpikir secara rasional. Proses tersebut juga memicu terjadinya penyakit psikosomatik dengan gejala dispepsia, diare, pusing, sakit otot dan sendi. Berbagai mekanisme hormonal (penurunan serotonin dan katekolamin, peningkatan asetilkolin) akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus, dan sebagian besar gejala gastritis dan tukak peptik. Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami ketika tinggal di asrama dipaparkan pada Tabel 18 berikut ini. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat stres yang dialami Tingkat stres** Rendah Sedang
n 17 43
Kasus % 28,3 63,3
n 29 31
Kontrol % 48,3 51,7
n 46 74
Total % 38,3 61,7
**Signifikan atau nyata pada p<0,01
Tingkat stres contoh diukur melalui delapan belas pertanyaan mengenai gejala stres yang dialami contoh ketika tinggal di asrama. Masing-masing pertanyaan diberikan pilihan jawaban yang skornya berbeda-beda. Lebih dari separuh contoh pada kelompok kasus dan kontrol (63,3% dan 51,7%) berada pada tingkat stres kategori sedang. Contoh pada kelompok kasus cenderung berada pada tingkat stres lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Analisis statistik menggunakan Independent T-Test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres contoh pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol (p<0,05). Contoh pada kelompok kasus cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan contoh pada kelompok kontrol. Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 antara skor gejala stres dengan frekuensi dispepsia contoh menunjukkan adanya hubungan yang nyata (p<0,05). Tingkat stres memiliki koefisien kontingensi sebesar 0,188 yang dinyatakan dengan tingkat keeratan hubungan rendah. Semakin tinggi tingkat stres contoh maka berhubungan dengan semakin sering muncul dispepsia yang dialami contoh (OR: 7,031; 95% CI: 0,869-56,886). Contoh dengan kategori stres
lebih tinggi berpeluang mengalami dispepsia lebih sering sebesar 7,031 kali dibandingkan dengan yang kategori stresnya lebih rendah. Secara umum, stres dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres fisik dan stres psikologis. Stres fisik terjadi misalnya karena luka bakar, infeksi yang sampai masuk ke pembuluh darah atau sepsis, adanya trauma, sedang dalam perawatan setelah pembedahan, adanya henti napas, gagal ginjal, dan kerusakan saraf. Semua keadaan di atas menimbulkan stres fisik yang cukup serius sehingga secara tidak langsung dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Berbeda dengan stres fisik, stres psikologis lebih bersifat ketegangan atau tekanan mental yang dirasakan internal di dalam diri (Santoso 2008). Penelitian yang dilakukan untuk menentukan tingkat stres contoh, lebih dititikberatkan untuk menggali stres psikologis yang dialami oleh contoh. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengeksklusi contoh yang memiliki riwayat penyakit degeneratif kronis (diabetes, jantung, gagal ginjal, epilepsi, kanker, dll). Berbagai reaksi gangguan psikosomatik dapat timbul akibat stres. Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami oleh contoh dipaparkan pada Tabel 19. Sebagian besar gejala stres (12 dari 18 gejala yang dipaparkan) didominasi dengan jawaban jarang atau kadang-kadang oleh contoh. Tiga gejala stres yang paling sering dialami contoh adalah merasa pegal-pegal pada leher/punggung/bahu (sering dialami oleh 23,3% contoh), mengalami perubahan nafsu makan (sering dialami oleh 18,3% contoh), dan merasa pusing/sakit kepala tanpa alasan yang jelas (sering dialami oleh 14,2% contoh). Dalam kondisi tertekan atau stres, nafsu makan sering berubah-ubah karena berbagai reaksi hiperasimtomatik
pada
sistem
gastrointestinal.
Hiperasiditas
lambung
menyebabkan berkurangnya nafsu makan. Di samping itu, sekresi adrenalin membuat cadangan gula darah meningkat sehingga turut mempengaruhi penurunan nafsu makan yang juga berakibat pada pola makan menjadi tidak teratur. Perubahan nafsu makan merupakan salah penyebab timbulnya gastritis maupun tukak peptik dan frekuensi munculnya gejalanya.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan gejala stres yang dialami. Gejala Stres Merasa pusing/ sakit kepala tanpa alasan yang jelas Merasa pegal-pegal pada leher/ punggung/ bahu Mengalami kejang otot dan tangan gemetaran Perut terasa kembung/mulas/diare pada saat akan melakukan sesuatu Sering menjatuhkan barang/ tersandung/ memecahkan barang Jantung berdebar dengan cepat Merasa tidak tenang/ tegang/ cemas/ terancam Merasa sukar berkonsentrasi pada saat melakukan kegiatan Mengalami sulit tidur/ tidak dapat tidur nyenyak seperti biasa Mudah tersinggung Mengalami perubahan nafsu makan Merasa sangat lelah/ lesu/ lemas/ tidak bertenaga Merasa tidak sabar dan cepat marah tanpa sebab Merasa tak memiliki harapan/ putus asa Merasa bingung/ takut bertemu orang lain Merasa sedih sekali dan ingin menangis Merasa dipaksa dengan sangat oleh orang lain/ keadaan, tertekan Mengalami mimpi buruk
Tidak Pernah (%) 15,8 9,2 60,0 43,3
Jarang dan Kadang-kadang (%) 70,0 67,5 35,8 49,2
65,8
25,0
9,2
45,8 49,2 20,8
50,8 45,0 70,8
3,3 5,8 8,3
32,5
56,7
10,8
36,7 20,0 17,5 38,3 57,5 60,0 36,7 65,8
55,0 61,7 70,0 53,3 39,2 37,5 54,2 29,2
8,3 18,3 12,5 8,3 3,3 2,5 9,2 5,0
35,0
59,2
5,8
Sering (%) 14,2 23,3 4,2 7,5
Herediter Hampir semua penyakit yang terjadi pada manusia memiliki unsur genetik atau bawaan. Faktor genetik pada setiap orang dapat mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh dalam kondisi normal dan ketika sakit. Setiap penyakit, satu atau lebih faktor genetik menentukan karakter, gejala, dan tingkat keparahan penyakit. Pada penyakit tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung, faktor genetik berkontribusi pada kerentanan dan konsekuensi infeksi. Dalam penelitian ini, dianalisis dua pengaruh herediter atau bawaan, yaitu riwayat penyakit keluarga dan golongan darah.
Riwayat Penyakit Keluarga Faktor genetik berkaitan erat dengan herediter atau keturunan. Gen tertentu akan diwariskan pada keturunan. Beberapa studi menunjukkan bahwa kedekatan keluarga, kembar, golongan darah yang sejenis, dan abnormalitas fisiologis (misalnya: level serum pepsinogen berlebih) berkaitan dengan tukak peptik, gastritis, dan kanker lambung. Penyakit tukak peptik (ulkus) terjadi 2-3 kali
lebih sering pada keluarga yang terdapat riwayat tukak peptik dibanding populasi normal. Sebaran contoh berdasarkan riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik dipaparkan dalam Tabel 19 berikut ini. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan riwayat gangguan lambung keluarga Kasus n % 24 40,0 12 20,0 21 35,0 2 3,3 1 1,7
Riwayat Tidak ada Ayah Ibu Kakek Nenek
n 46 5 7 1 1
Kontrol %
Total n % 70 58,3 17 14,2 28 23,3 3 2,5 2 1,7
76,7 8,3 11,7 1,7 1,7
Garis keluarga yang diambil dalam penelitian ini adalah ayah, ibu, kakek, dan nenek. Sebagian besar contoh pada kelompok kontrol (76,7%) tidak memiliki riwayat penyakit gangguan lambung berupa gastritis maupun tukak peptik di keluarganya, sedangkan pada kelompok kasus hanya sebesar 40% (Tabel 20). Riwayat penyakit gastritis paling banyak ditemukan pada ibu. Riwayat penyakit gastritis pada ibu contoh lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus. Analisis statistik menggunakan uji beda Mann Whitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) riwayat penyakit ibu pada kelompok kasus dan kelompok kontrol (Lampiran 3). Riwayat penyakit gastritis dan tukak peptik pada ayah, kakek, dan nenek tidak berbeda nyata (p>0,05)
antara
kelompok
kasus
dengan
kontrol.
Hasil
uji
hubungan
menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa riwayat penyakit ayah, ibu, kakek, dan nenek tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh. Golongan Darah Hasil penelitian mengindikasikan bahwa golongan darah berhubungan dengan risiko penyakit. Golongan darah mempengaruhi sistem metabolisme dan daya tahan tubuh serta keadaan mental. Hal ini dikarenakan adanya hubungan secara genetik antara gen pada golongan darah dengan gen lain yang berpengaruh terhadap kesehatan dan sistem metabolisme secara keseluruhan. Pada golongan darah O didapatkan 30-40% lebih sering mengalami tukak peptik dibandingkan
golongan
darah
lainnya.
Golongan
darah
O
memiliki
kecenderungan untuk terkena insiden penyakit pencernaan, yaitu gastritis, duodenitis, dan tukak peptik (ulkus) lebih tinggi dibandingkan dengan golongan darah lainnya karena produksi asam lambungnya lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain.
Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan golongan darah Golongan Darah O Selain O
n 26 34
Kasus % 43,3 56,7
A 22%
O 43%
AB 8%
n 23 37
Kontrol %
Total n 38,3 61,7
40,8 59,1
A 20%
O 38%
B 27%
% 49 71
AB 10%
B 32%
Gambar 7 Sebaran contoh pada kelompok kasus (kiri) dan kontrol (kanan) berdasarkan golongan darah Sebaran contoh berdasarkan golongan darah dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 7. Sebagian contoh pada kedua kelompok (kasus dan kontrol) memiliki golongan darah O (43,3% dan 38,3%). Penelitian Mulyani (2007) pada mahasiswa TPB IPB menunjukkan bahwa golongan darah O mempunyai risiko sebesar 1,96 kali lebih besar untuk mengalami penyakit peptik dibandingkan golongan darah yang lain (A, B, dan AB). Namun analisis statistik menggunakan uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara kelompok kasus dan kontrol (p>0,05). Uji hubungan menggunakan Chi Square tabel 2x2 menunjukkan bahwa golongan darah tidak berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia yang dialami contoh (p>0,05). Faktor Risiko Frekuensi Dispepsia Analisis multivariat menggunakan regresi logistik ordinal dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang paling berkaitan dengan frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Analisis dilakukan terhadap seluruh variabel independen yang berhubungan nyata dengan variabel dependen berdasarkan analisis bivariat. Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar interaksi variabel yang diduga menjadi faktor risiko terhadap frekuensi munculnya dispepsia. Pada penelitian ini, terdapat sembilan variabel independen yang diduga menjadi faktor risiko frekuensi munculnya dispepsia, yaitu: riwayat gangguan lambung (gastritis atau tukak peptik), keteraturan makan, frekuensi makan,
kebiasaan minum minuman berkarbonasi (minuman berkarbonasi atau bersoda), kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman asam, konsumsi lemak, kebiasaan mengkonsumsi antasida, aktivitas fisik, dan tingkat stres. Variabel dependen (frekuensi dispepsia) merupakan peubah respon terdiri atas dua ketegori (jarang dan sering). Analisis statistika menggunakan uji regresi logistik biner dengan metode bertartar (stepwise) yang dilakukan sebanyak tujuh tahap. Uji regresi logistik tahap satu memasukkan seluruh variabel independen yang berhubungan nyata dengan frekuensi dispepsia (Lampiran 5). Uji regresi logistik berikutnya memasukkan seluruh variabel dikurangi dengan satu variabel yang nilai signifikansinya (p-value) paling besar (Lampiran 6-9). Regresi tahap berikutnya ,mengurangi satu demi satu variabel yang nilai signifikansinya (p-value) paling besar hingga diperoleh hasil regresi logistik yang keseluruhan variabel independennya berpengaruh signifikan (Lampiran 31). Omnimbus Test of Model Coefficient menghasilkan nilai signifikansi lebih kecil dari dari α (p<0,05). Model dikatakan fit atau layak apabila nilai signifikansi omnimbus test-nya lebih kecil dari α. Nagelkerke R2 menjelaskan seberapa besar kemungkinan
respon
(frekuensi
munculnya
gejala
gangguan
lambung)
dipengaruhi oleh faktor risiko (variabel independen) terhadap yang termasuk dalam model, kemungkinan respon sisanya dipengaruhi oleh faktor risiko atau variabel independen lainnya di luar model (Tabel 22). Tabel 22 menjelaskan kesesuaian model hasil regresi logistik yang dilakukan untuk menemukan faktor risiko yang paling berpengaruh pada frekuensi munculnya gejala gangguan lambung. Nilai Hosmer and Lemeshow Test digunakan untuk melihat kecocokan data empiris dengan model. Model dinyatakan cocok apabila nilai signifikansi di atas 0,05 atau -2 Log Likelihood di bawah Chi Square tabel. Dilihat dari nilai signifikasi Omnimbust Test (p<0,05) dan Hosmer and Lemeshow Test (p>0,05), keseluruhan model tahap 1 hingga 7 dapat dinyatakan sebagai model yang fit atau layak.
Tabel 22 Kesesuaian model hasil regresi logistik stepwise faktor risiko gejala gangguan lambung Model regresi Model Tahap 1
Model Tahap 2
Model Tahap 3
Model Tahap 4
Model Tahap 5
Model Tahap 6
Model Tahap 7
26,196
Signifikansi Omnimbus Test 0,000
Signifikansi Hosmer & Lemeshow Test 1,000
0,711
34,700
0,00
0,991
0,603
34,777
0,000
0,990
0,549
34,500
0,000
0,998
0,545
33,848
0,000
0,997
0,536
39,993
0,000
0,993
0,532
29,327
0,000
0,897
0,473
-2 Log likelihood
Variabel Riwayat penyakit Keteraturan makan Frekuensi makan Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak Konsumsi antasida Aktivitas fisik Stres Riwayat penyakit Frekuensi makan Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak Konsumsi antasida Aktivitas fisik Stres Frekuensi makan Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak Konsumsi antasida Aktivitas fisik Stres* Frekuensi makan* Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak Aktivitas fisik Stres* Frekuensi makan* Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Konsumsi lemak Stres* Frekuensi makan* Keb.Minum Soda Keb. Mengkonsumsi asam Stres* Frekuensi makan* Keb.Minum Soda* Stres*
2
R
* signifikan atau nyata pada p<0,05 Keb. : kebiasaan
Model
tahap
7
menghasilkan
variabel-variabel
independen
yang
seluruhnya berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (frekuensi dispepsia). Nilai R2 model tahap 7 sebesar 0,473 atau 47,3%. Hal ini berarti model dapat menjelaskan 47,3% kemungkinan respon dipengaruhi oleh faktor risiko (variabel) yang termasuk dalam model, kemungkinan respon sisanya (52,7%) dipengaruhi oleh faktor risiko atau variabel lain di luar model. Hasil regresi logistik tahap akhir (tahap 7) dipaparkan pada Tabel 23.
Tabel 23 Hasil regresi logistik faktor risiko frekuensi dispepsia(tahap akhir) Faktor Risiko
B
OR (Exp. B)
Frekuensi Makan Tidak tentu / ≤2 kali/hari -2,500 0,082 > 2 kali/hari Kebiasaan Minum Minuman Berkarbonasi Tidak (0) 2,192 8,954 Ya (1) Tingkat Stres Rendah (0) 0,194 1,215 Sedang (1) Konstanta -8,535 0,000
Signifikasi (p)
Confidence Interval 95% Batas Batas terendah tertinggi
0,004
0,015
0,446
0,028
1,268
63,225
0,006
1,057
1,396
0,001
-
-
* signifikansi atau p-value bermakna (p<0,05)
Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa pada taraf nyata 5%, diketahui bahwa faktor risiko yang secara nyata (signifikan) berpengaruh terhadap frekuensi dispepsia adalah frekuensi makan (OR 0,082; 95% CI: 0,0150,446), kebiasaan minum minuman berkarbonasi (OR 8,954; 95% CI: 1,26863,225) dan tingkat stres (OR 1,215; 95% CI: 1,057-1,369) (Tabel 21). Semakin sering frekuensi makan contoh, semakin berkurang risiko untuk sering mengalami gejala gangguan lambung. Contoh yang frekuensi makannya lebih dari dua kali sehari berpeluang 0,082 kali (lebih rendah) untuk mengalami gejala gangguan lambung. Contoh yang memiliki kebiasaan minum minuman berkarbonasi berisiko 8,954 kali lebih sering mengalami gejala gangguan lambung. Semakin tinggi tingkat stres contoh semakin berisiko mengalami gejala gangguan lambung. Contoh yang memiliki tingkat stres setingkat lebih tinggi, berisiko sering mengalami dispepsia 1,215 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tingkat stresnya lebih rendah.