46
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Ekstraktif Kandungan zat ekstraktif dari pohon faloak pada penelitian ini diperoleh melalui metode maserasi bertingkat menggunakan aseton sebagai pelarut awal, dan dilanjutkan dengan fraksinasi secara bertingkat mulai dari heksan, dietil eter, dan etil asetat. Maserasi dengan menggunakan aseton dapat mengekstraksi senyawa polar, semi polar maupun senyawa non polar. Hal ini disebabkan sifat dari aseton itu sendiri sebagai pelarut semi polar yang tidak hanya mengekstraksi komponen polar, tetapi juga komponen semi polar dan non polar. Berdasarkan sifat tersebut, maka aseton digolongkan ke dalam pelarut standar untuk mengekstraksi komponen zat ekstraktif kayu yang direkomendasikan oleh CPPA dan ISO untuk pengujian yang berhubungan dengan pengujian metode uji TAPPI (Stenius 2000). Table 1. Kandungan zat ekstraktif dari ekstrak aseton kulit, daun, dan biji faloak Kandungan Zat Ekstraktif Jenis Fraksi
Kulit Berat Rendemen (g) (%)
Daun Berat Rendemen (g) (%)
Biji Berat Rendemen (g) (%)
Heksan
8,51
0,47
37,59
2,07
46,14
2,55
Dietil eter
2,50
0,14
4,59
0,25
2,52
0,14
Etil asetat
17, 95
0,98
9,55
0,52
9,83
0,54
Residu
20,51
1,12
16,70
0,92
20,31
1,12
Aseton (Jml)
49,47
2,71
68,43
3,76
78,80
4,35
Hasil pengukuran rendemen masing-masing sampel (Lampiran 3), baik zat ekstraktif
aseton kulit, zat ekstraktif
aseton daun maupun zat ekstraktif
aseton biji faloak pada penelitian ini, menunjukkan persentase kandungan zat ekstraktif yang berbeda pada kondisi berat kering sampel dengan kadar air yang berbeda pula. Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan zat ekstraktif yang terdapat
47
pada biji lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan zat ekstraktif kulit dan daun. Perbedaan jumlah zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi sangat ditentukan oleh sifat pelarut dan komposisi senyawa yang terkandung dalam bahan baku. Hal ini terbukti bahwa kandungan zat ekstraktif dalam biji adalah yang tertinggi diantara zat ekstraktif daun dan kulit faloak. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian lanjutan terhadap penggunaan pelarut yang sesuai untuk memperoleh kemungkinan jumlah zat ekstraktif yang lebih tinggi. Houghton dan Raman (1998), menguraikan bahwa pelarut non polar akan secara selektif mengekstraksi senyawa kelompok lipofilik, demikian pula pelarut semi polar akan mengekstraksi sejumlah senyawa polar. Tabel 1 memperlihatkan bahwa zat ekstraktif biji dan daun faloak pada fraksi heksan lebih tinggi dibandingkan zat ekstraktif fraksi semi polar. Hasil ini memperlihatkan bahwa biji dan daun faloak lebih dominan mengandung senyawa lipofilik daripada senyawa hidrofilik, sedangkan kulit lebih dominan mengandung senyawa hidrofilik. Hasil Uji Fitokimia Uji fitokimia merupakan metode umum yang dilakukan untuk mendeteksi adanya senyawa metabolit sekunder
yang terdapat dalam suatu tumbuhan.
Metode ini sangat bermanfaat dalam menentukan golongan utama dari senyawa aktif zat ekstraktif kulit, daun dan biji faloak yang memiliki senyawa yang bersifat antimikroba. Tabel 2 menunjukkan bahwa zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dibandingkan dengan
zat
ekstraktif aseton dari daun dan kulit pohon faloak. Senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam biji memiliki jenis senyawa utama alkaloid, steroid, dan triterpenoid. Senyawa utama yang terdapat di dalam ekstrak aseton kulit hanya mengandung saponin yang tinggi dan sedikit triterpenoid. Berbeda dengan zat ekstraktif aseton kulit dan biji, zat ekstraktif aseton daun meskipun hanya mengandung steroid, namun tergolong positif kuat (positif +++).
48
Tabel 2. Hasil analisis fitokimia zat ekstraktif aseton kulit, biji, dan daun faloak Senyawa Metabolit Sekunder
Jenis zat ekstraktif
Alkaloid
Flavonoid
Steroid
Triterpenoid
Fenolik
Saponin
Kulit
-
-
-
+
-
+++
Biji
+++
-
+++
+++
+
-
Daun
-
-
+++
-
+
-
Keterangan: (-) = Tidak Terdeteksi; (+) = Positif lemah; (++) = Positif;
Secara umum zat ekstraktif
(+++) = Positif Kuat.
yang mengandung steroid, alkaloid, tanin,
polifenol pada level yang tinggi (positif kuat), memiliki aktivitas antimikroba yang cukup tinggi pula.
Anjaneyulu et al. (2010), melaporkan bahwa zat
ekstraktif dari kulit Acacia leucophloea L. pada kosentrasi MIC 25 mg/ml dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri patogen pada diameter zona hambat 6 – 9 mm. Paiva (2010), dan Coolborn dan Bolatito (2010), melaporkan bahwa zat ekstraktif yang bersumber dari tumbuhan yang mengandung senyawa metabolit sekunder
seperti
steroid,
alkaloid, tanin,
polifenol
dapat
menghambat
pertumbuhan sejumlah mikroba patogen. Berdasarkan hal tersebut, zat ekstraktif aseton kulit, daun, dan biji berpotensi sebagai antimikroba.
Aktivitas Antimikroba Hasil uji tapis untuk mengetahui kemampuan antimikroba menunjukkan bahwa zat
ekstraktif kulit , daun dan biji faloak serta fraksi-fraksinya
menghasilkan berbagai tingkatan zona hambat (mm) yang dibentuk, bahkan beberapa fraksi tidak membentuk zona hambat. Zona hambat (mm) yang dibentuk oleh zat ekstraktif kulit , daun, dan biji faloak disajikan pada Tabel 3, 4 dan 5. Fraksi aseton, dietil eter, etil asetat dan residu (fraksi polar) dari zat ekstraktif kulit pohon faloak memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri aureus, S. agalactiae dan B. cereus, dan hanya
S.
fraksi heksan yang dapat
menghambat pertumbuhan B. cereus (Tabel 3). Dari keempatnya, fraksi dietil eter menunjukkan hasil yang sangat baik karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan diameter zona hambat dari 14,67-17,00 mm. Hanya fraksi aseton
49
dan dietil eter saja yang menghambat pertumbuhan S. typhii dan E. coli. Fraksi dietil eter memberikan hasil penghambatan yang lebih baik dibandingkan fraksi aseton. C. albicans hanya mampu dihambat oleh fraksi aseton dengan diameter zona hambat yang relatif rendah. Tabel 3.Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari kulit pohon faloak (ukuran dalam millimeter).
S. typhii
7,00
-
Fraksi Dietil eter 10,00
E. coli
8,50
-
11,33
-
10,33
-
31,67
S. aureus
15,17
-
16,17
14,67
13,33
-
29,00
B. cereus
16,17
10,67
17,00
15,33
13,33
-
29,00
S. agalactiae
7,00
-
14,67
11,33
13,33
-
34,00
C. albicans
7,00
-
-
-
-
30,67
Mikroba yang diuji
Aseton Heksan
Kontrol Etil asetat -
Residu
Negatif
Positif
-
-
28,00
-
Data dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh fraksi zat ekstraktif dari daun faloak mampu menghambat pertumbuhan B. cereus dengan kisaran diameter zona hambat 7–13 mm, sedangkan S. aureus hanya mampu dihambat oleh fraksi etil asetat dan residu (fraksi polar). Hanya fraksi aseton dan fraksi etil asetat yang mampu menghambat S. typhii dan E. coli. Fraksi etil asetat memberikan hasil zona hambat yang lebih baik dibandingkan aseton. Seluruh fraksi dari zat ekstraktif daun faloak tidak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans. Tabel 4. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari daun pohon faloak (ukuran dalam millimeter) Mikroba yang diuji S. typhii
Fraksi Dietil Aseton Heksan eter -
Kontrol Etil Residu Negatif Negatif asetat 9,00 28,00
E. coli
9,33
-
-
9,00
S. aureus
-
-
-
9,00
7,00
7,00
B. cereus
10,00
13,00
-
-
31,67
10,33
-
29,00
10,33
-
29,00
S. agalactiae
-
-
-
-
-
-
34,00
C. albicans
-
-
-
-
-
-
30,67
50
Dari data dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa hanya fraksi dietil eter dari zat ekstraktif biji faloak yang memberikan hasil zona hambat yang baik. Fraksi ini mampu menghambat seluruh bakteri dan cendawan yang digunakan dalam penelitian ini. Fraksi aseton hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus dan S. aureus. Fraksi heksan hanya mampu menghambat pertumbuhan bakteri B. cereus. Tabel 5. Pembentukan zona hambat hasil uji tapis aktivitas antimikroba zat ekstraktif dari biji pohon faloak (ukuran dalam millimeter) Mikroba yang diuji
Aseton Hexan
Fraksi Dietil Etil eter asetat
Kontrol Residu
Negatif
Positif
S. typhii
-
-
9,33
-
-
-
28,00
E. coli
-
-
16,33
-
-
-
31,67
S. aureus
8,33
-
16,67
-
-
-
29,00
B. cereus
9,67
10,67
22,33
-
-
-
29,00
S. agalactiae
-
-
22,67
-
-
-
34,00
C. albicans
-
-
14,33
-
-
-
30,67
Diameter zona hambat yang dibentuk pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan zat ekstraktif berdifusi, keberadaan senyawa yang terdapat dalam zat ekstraktif, kandungan zat ekstraktif yang digunakan, serta tingkat ketahanan mikroba terhadap zat ekstraktif yang diterima. Berdasarkan hasil uji fitokimia, jenis senyawa metabolit sekunder dalam zat ekstraktif aseton biji faloak lebih banyak daripada daun dan kulit faloak. Hasil uji aktivitas antimikroba dari ketiga jenis zat ekstraktif beserta fraksi-fraksinya juga memperlihatkan bahwa fraksi dietil eter biji memberikan hasil yang lebih baik dengan spektrum zona hambat yang lebih luas. Oleh karena itu, fraksi dietil eter biji akan dipakai untuk uji penentuan MIC/MFC yang didahului dengan fraksinasi dan isolasi melalui KLT dan KK, sehingga diperoleh sub fraksi teraktif.
51
Penentuan MIC dan MFC Zat ekstraktif yang digunakan untuk mengukur nilai MIC dan MFC adalah zat ekstraktif biji
fraksi dietil eter yang telah difraksinasi dan diisolasi dengan
KLT dan KK. Nilai MIC dari sub fraksi dimaksud sebagaimana tertera pada Tabel 6, dan nilai MFC seperti yang ditampilkan pada Tabel 7 dan selengkapnya tertuang pada Lampiran dan 6. Tabel 6. Nilai MIC (mg/mL) zat ekstraktif dietil eter biji Sterculia comosa Wallich. Sub Fraksi Dietil Eter Biji
Bakteri DE 1
DE 2
E. coli
> 16
>1
> 16
> 16
> 16
> 16
16
> 16
2
S. typhi
> 16
1
> 16
> 16
> 16
> 16
16
> 16
0,5
B. cereus
8
0,5
8
8
8
8
4
8
2
S. aureus
>16
0,25
8
8
8
8
8
8
4
8
0,0625
1
2
2
8
4
4
8
S.
DE 3 DE 4 DE 5 DE 6 DE 7 DE 8
CL
agalactiae Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8) CL = Cloramfenikol untuk bakteri
Zat ekstraktif dari biji pohon faloak memiliki spektrum hambatan yang cukup luas karena semua mikroba uji yang digunakan di dalam penelitian ini terhambat pertumbuhannya, walaupun dengan kadar MIC yang sangat beragam (Tabel 6). Zat ekstraktif
biji
pohon faloak lebih berpotensi menghambat
pertumbuhan bakteri B. cereus, S. aureus dan S. agalactiae. Sub fraksi DE2 memiliki kemampuan menghambat bakteri S. agalactiae lebih baik karena MIC yang dihasilkan hanya berkisar pada 0,0625 - 0,5 mg/mL. Hasil yang sedikit berbeda diperoleh bila menggunakan bakteri E. coli dan S. typhii. Zat ekstraktif dietil eter biji pohon faloak menghambat pertumbuhan kedua bakteri tersebut dengan nilai MIC yang lebih besar dibandingkan untuk menghambat ketiga bakteri negatif Gram yang digunakan. Nilai MIC dari zat ekstraktif biji
faloak yang diperoleh dari hasil uji terhadap negatif Gram pun
52
beragam. Nilai MIC yang dihasilkan dari uji zat ekstraktif dietil eter biji terhadap bakteri E. coli lebih besar daripada nilai MIC yang dihasilkan terhadap bakteri S. typhii. Ada perbedaan komposisi komponen dinding sel antara bakteri negatif Gram dan positif gram. Walaupun dinding sel bakteri positif Gram memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dibandingkan lapisan yang sama di dinding sel bakteri negatif Gram, tetapi komposisi penyusun dinding sel bakteri negatif Gram lebih beragam seperti yang digambarkan dalam skema pada Gambar 5 di bawah ini. Dinding Sel Bakteri Positif Gram Asam Lipoteikoat
Peptidoglikan - asam teikoat
Positif Gram Membran Sitoplasma Peptidoglikan
Membran Luar Peptidoglikan
Dinding Sel Bakteri Negatif Gram Membran Luar
Membran Plasma Positif Gram
Lipopolisakarida
Ruang Periplasma Membran Plasma
Membran Sitoplasma
Sumber: Alvin Fox, 2009
Gambar 5. Diagram ilustrasi dinding sel bakteri positif Gram dan negatif Gram. Kepekaan bakteri dalam menanggapi penetrasi senyawa aktif dari sub fraksisub fraksi
dietil eter yang dihadapinya sangat tergantung pada kemampuan
senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel bakteri (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa bioaktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis bakteri, serta tingkat resistensi bakteri terhadap senyawa bioaktif yang diterima. Pada umumnya, bakteri positif Gram lebih peka terhadap antibiotik daripada negatif Gram. Struktur dinding sel bakteri negatif Gram yang dilapisi membran luar, peptidoglikan, ruang plasma, dan membran plasma, sedangkan bakteri positif Gram hanya dilapisi oleh peptidoglikan dan membran plasma (Gambar 8). Hal ini yang menyebabkan bakteri negatif Gram lebih resisten
53
dibandingkan dengan positif gram, sehingga untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri negatif Gram membutuhkan antibiotik yang tingkat toksisitasnya lebih tinggi, dan volume yang lebih banyak. Diharapkan sebagian antibiotik dapat menembus dinding sel dan menghambat sintesis protein dalam rangka mengganggu struktur dan fungsi molecular membran sel (Pelczar dan Chan 2009). Hal yang menarik terlihat pada hasil percobaan terhadap cendawan C. albicans (Tabel 7).
Delapan sub fraksi
zat ekstraktif yang digunakan
memberikan daya hambat pertumbuhan C. albicans yang berbeda. Hasil yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan hasil yang dilakukan terhadap bakteri. Hanya ada satu sub fraksi yang memiliki nilai MFC lebih dari 16 mg/mL, yakni sub fraksi DE4. Dua sub fraksi , yaitu DE6 dan DE7, memiliki nilai MIC dan MFC yang paling kecil, yakni nilai MIC sebesar 0,25 mg/mL dan nilai MFC sebesar 0,5 mg/mL. Komposisi dinding sel C. albicans berbeda dengan dinding sel bakteri. Dinding sel C. albicans terdiri dari tiga bagian besar yaitu 1) senyawa β (1-3) glukan (bagian paling dalam dari dinding sel), 2) senyawa α (1-6) manan (bagian paling dalam dari dinding sel), dan 3) senyawa lipid yang terdapat pada lapisan permukaan bagian dalam dinding sel (Gandjar 2006). Tabel 7. MIC dan MFC sub fraksi dietil eter biji faloak terhadap cendawan C. albicans No
Sub fraksi
MIC
MFC
1
DE 1
1
2
2
DE 2
0,5
1
3
DE 3
2
4
4
DE 4
16
>16
5
DE 5
1
2
6
DE 6
0,25
0,5
7
DE 7
0,25
0,5
8
DE 8
1
2
9
KK
0,25
0,5
Keterangan: DE = Sub fraksi dietil eter biji (sub fraksi 1 – 8) KK = Ketoconazole untuk cendawan.
54
Kepekaan dari cendawan C albicans terhadap zat ekstraktif dietil eter biji faloak sangat tergantung pada kemampuan senyawa aktif berpenetrasi terhadap dinding sel cendawan (berhubungan dengan tingkat toksisitas senyawa aktif), konsentrasi zat ekstraktif yang digunakan, jenis cendawan, serta tingkat resistensi cendawan terhadap senyawa
aktif yang diterima. Untuk dapat menghambat
pertumbuhan C. albicans, senyawa aktif harus mampu; 1) merusak sistem manan yakni merusak ikatan antara manan dengan protein dan fosfat (manan paling luar), 2) merusak sistem glukan yakni merusak jaringan mikrofibril sehingga sistem pertahanan bentuk sel cendawan tergganggu, dan 3) merusak sistem senyawa lipid yang berfungsi mencegah kekeringan (Gandjar 2006). Bakteri negatif Gram dan positif gram lebih sensitif terhadap sub fraksi DE2, sedangkan C. albicans lebih sensitif terhadap sub fraksi DE 6 dan DE7. Meskipun sub fraksi DE6 memiliki nilai MIC dan MFC yang sama dengan subfraksi DE7, dan sub fraksi DE2 lebih aktif terhadap bakteri, namun hanya sub fraksi DE7 yang diidentifikasi dengan FT-IR, LC-MS, dan NMR. Subfraksi DE7 diuji lebih lanjut karena subfraksi ini lebih potensial sebagai sub fraksi yang memiliki
sifat
anti
cendawan
dan
aktivitas
antibakteri
Teridentifikasinya senyawa yang terdapat dalam zat
yang
ekstraktif biji
tinggi. faloak,
diharapkan dapat mendukung penggunaan faloak oleh masyarakat selama ini sebagai obat penyakit-penyakit yang disebabkan oleh cendawan C. albicans seperti keputihan, peluruh haid, peluruh sisa-sisa kotoran, pemulih stamina setelah melahirkan, dan penyakit lainnya.
Identifikasi Senyawa Identifikasi senyawa yang terkandung dalam sub fraksi
DE7 dilakukan
dengan menggunakan alat bantu berdasarkan spektrum inframerah FT-IR, LC-MS dan NMR proton dan karbon untuk mengetahui gugus fungsi, bobot molekul, dan struktur senyawa yang ada di dalam sub fraksi . Spektrum infra merah dari sub fraksi DE7 terpapar pada Gambar 6 di bawah ini.
55
Gambar 6. Spektrum IR dari sub fraksi DE7. Spektrum FT-IR dari sub fraksi
DE7
zat
ekstraktif biji
faloak
menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 3099,61 cm-1 – 3298,28 cm-1, 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 , 2601,97 – 2650,19 cm-1, 1720,50 cm-1. Serapan yang dihasilkan pada bilangan 3099,61 cm-1 – 3298,28
cm-1
menunjukkan adanya gugus O-H, adanya serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 menunjukkan adanya gugus H-C-H, serapan pada bilangan 2601,97 – 2650,19 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-H, sedangkan gugus C=O ditunjukkan oleh adanya serapan pada 1720,50 cm-1. Gugus – gugus fungsi berdasarkan hasil FT-IR ini menegaskan bahwa senyawa tersebut merupakan golongan senyawa asam lemak, yang diperkuat oleh adanya gugus CH2 pada serapan bilangan gelombang 2854,65 cm-1 – 2927,94 cm-1 yang menggambarkan adanya golongan alifatik.
56
BPI=>NR(2.00)=>SM3
T3.4
100
589.1
90
80
70
% Intensity
60
50
40
30
20
10
0
0
4
8
12
16
20
0
Retention Time (Min)
Mariner Spec /69:70 (T /3.38:3.43) -58:61 (T -3.38:3.43) ASC=>NR(5.00)[BP = 300.3, 639]
300.25
100
639.5
90
80
70
% Intensity
60
50
40
30
301.24
20
245.29 10
0 99.0
213.30
322.20 285.24 319.2
598.84 387.15
526.90
622.57
539.4
697.27
768.33 759.6
979.8
0 1200.0
Mass (m/z)
Gambar 7. Kromatogram LC-MS sub fraksi DE7. Hasil kromatografi LC-MS sub fraksi DE7 dengan menggunakan eluen methanol : air (9:1) menampilkan beberapa puncak dengan berat molekul yang berbeda. Meskipun demikian, sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 7 diperoleh satu puncak yang dominan, yang teridentifikasi memiliki berat molekul 300 (m/z) dengan waktu retensi 3,4 menit. Hasil pengukuran Proton NMR yang ditampilkan Tabel 8 serta didukung oleh hasil estimasi menggunakan ChemDraw menunjukkan nilai pergeseran Proton (-H) dengan adanya puncak-puncak pergeseran 0,8529 – 4,1397 ppm yang teridentifikasi dengan ChemDraw pada pergeseran 0,88 – 4,81 ppm. Sebagai pergeseran Proton terdapat puncak-puncak yang menunjukkan bahwa pada pergeseran 0,8529 – 0,8658 ppm sebagai pergeseran Proton gugus metil (CH3), adanya gugus karboksilat (C-OH) pada pergeseran 3,6857 – 4,1397 ppm, dan adanya gugus hidroksi (-OH) pada pergeseran 1,1810 – 2,7064 ppm.
57
Tabel 8. Nilai pengukuran H-NMR, C-NMR dan nilai pendugaan berdasarkan interpretasi menggunakan ChemDraw. No
H-NMR Hasil Pengukuran (ppm)
C-NMR
Chem Draw
1
4,1397
4,81
2
2,2589
3
Hasil Pengukuran (ppm)
Chem Draw
179,3461
176,2
2,52 ; 2,27
46,3151
44,8
3,6857
3,54
65,1056
67,5
4
1,6039
1,44
34,1728
34,5
5
1,2809
1,25
24,7681
25,1
6
1,2809
1,25
29,8138
29,9
7
1,2809
1,29
29,4799
29,6
8
1,2809
1,26
29,4799
29,6
9
1,2809
1,26
29,4799
29,6
10
1,2809
1,26
29,4799
29,6
11
1,2809
1,26
29,4799
29,6
12
1,2809
1,26
29,4799
29,6
13
1,2809
1,26
29,4799
29,6
14
1,2809
1,26
29,4799
29,6
15
1,2809
1,29
29,4799
29,3
16
1,2809
1,29
32,0457
31,8
17
1,2809
1,31
22,8126
22,7
18
0,8658
0,88
14,2472
14,1
Spektrum Karbon NMR yang disajikan pada Tabel 8 menunjukkan pergeseran Karbon NMR (13C) yang secara lengkap disajikan pada Lampiran 8, bahwa terdapat tiga kelompok gugus utama mulai dari pergeseran 14,2472 – 179,3461 ppm. Nilai pergeseran pada 14,2472 – 34,1728 ppm menunjukkan adanya gugus metil (CH3), dan gugus hidroksi (-OH) ditunjukan oleh nilai pergeseran pada 63,4173 – 71,1624 ppm.
58
Berdasarkan hasil pengukuran H-NMR dan C-NMR, diduga bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH). Hal ini didukung pula oleh hasil pengukuran LC-MS, bahwa senyawa tersebut mempunyai berat molekul 300 (m/z). Di samping itu adanya gugus hidroksi dan gugus karboksilat berdasarkan hasil pengukuran spektrum FT-IR semakin memperkuat pendugaan bahwa senyawa tersebut merupakan turunan asam lemak yang terhidroksilasi (hidroksi –OH).
Dengan demikian diduga senyawa tersebut
adalah 3-hydroxyoctadecanoic acid. Hasil prediksi tersebut didukung dengan nilai pergeseran kimia hasil prediksi menggunakan ChemDraw, maka struktur senyawa yang memiliki berat molekul 300 (m/z), diidentifikasi sebagai
senyawa 3-
hydroxyoctadecanoic acid. O
3-hydroxyoctadecanoic acid
OH
OH
Gambar 8. Struktur molekul senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid. Senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid (C18H36O3) seperti yang ditampilkan pada Gambar 8 telah diisolasi sebelumnya dari zat ekstraktif bunga Hypericum lysimachioides var. lysimachioides. Spesies ini adalah salah satu flora yang tumbuh di Turki yang banyak digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka, antigastritis, efek antiseptik, memiliki aktivitas anti depresi, anti kanker dan antimikroba.
Selain
terdapat
dalam
Hypericum
lysimachioides
var.
lysimachioides, senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid juga merupakan bagian penting dari lipid mikroba. Senyawa ini telah digunakan secara luas sebagai salah satu senyawa penciri untuk membantu karakterisasi bakteri negatif Gram dan positif gram. Senyawa ini merupakan salah satu komponen penyusun membran sitoplasma (Özen et al. 2004). Teridentifikasinya senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid yang terdapat dalam zat ekstraktif sub fraksi DE 7 dari biji faloak, serta didukung oleh hasil uji MIC dan MFC yang ditampilkan pada Tabel 6 dan Tabel 7, mengindikasikan
59
bahwa senyawa 3-hydroxyoctadecanoic acid adalah senyawa yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Hal ini menunjukkan bahwa biji faloak “berpotensi” digunakan sebagai sumber obat untuk mencegah dan mengobati penyakit, antara lain: 1) penyakit yang disebabkan oleh C. albicans, seperti; kandidiasis (penyakit yang terjadi pada selaput lendir, mulut, vagina dan saluran pencernaan), infeksi yang menyerang jantung (endokarditis), pneumonia, septisemia (darah); 2) penyakit yang disebabkan oleh bakteri, seperti: disentri, gagal ginjal, diare dan diare dengan tinja berdarah, gastroenteritis (mual, muntah, buang air besar secara terus menerus), tipus (demam tifoid), sacroirilitis (peradangan sendi penghubung tulang belakang dengan panggul), tekanan darah, gangguan fungsi hati.