46
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Eksisting Kualitas Air Sungai Ciujung Evaluasi kualitas air Sungai Ciujung dilakukan dengan cara membandingkan hasil kualitas air dari contoh air sungai yang diambil dengan kriteria mutu air yang berlaku dengan mengacu pada PP No 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan PP tersebut, Klasifikasi dan kriteria mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas, (1) Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, (2) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, (3) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut, dan (4) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut (Pemerintah RI 2001). Sehubungan Sungai Ciujung belum ditetapkan kelasnya, maka berdasarkan PP tersebut air sungai mengacu pada kriteria mutu air sungai kelas II Sehingga dalam penelitian ini untuk mengkaji kualitas Sungai Ciujung pada saat kondisi eksisting digunakan kriteria mutu air kelas II sebagai pembanding. Kualitas air Sungai Ciujung pada musim kemarau dan musim hujan dapat dilihat pada Tabel 5.1. a. Dissolve Oxygen (DO) Analisis oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen) bertujuan untuk melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Kehadiran DO di dalam badan air sungai, merupakan indikator kesehatan (sanitasi) badan air sungai, semakin tingggi kandungan DO menunjukkan sungai tersebut semakin sehat (Harsono 2010). Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah banyak tergantung pada cukup tidaknya kadar oksigen terlarut. Oksigen terlarut berasal dari udara dan proses fotositensis tumbuh tumbuhan air. Kelarutan oksigen dalam air tergantung pada temperatur, tekanan, atmosfer dan kandungan mineral dalam air. Nilai DO pada saat debit tinggi (94.47 m3/detik) berkisar antara 3.75 mg/L - 5.76 mg/L dengan nilai DO rata-rata 5.0 mg/L. Nilai DO rata-rata tersebut masih memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan nilai DO minimum 4 mg/L.
47 Pada saat debit rendah (14.55 m3/detik), nilai DO berkisar antara 2.47 mg/L-7.25 mg/L dengan nilai DO rata-rata 3.9 mg/L. Nilai DO rata-rata pada saat debit Sungai Ciujung rendah tidak memenuhi kriteria mutu air kelas II. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa terjadi penurunan nilai DO dari wilayah hulu (Nagara) ke arah hilir. Hal ini dapat terjadi karena banyaknya limbah organik yang dapat mempengaruhi ekosistem perairan tersebut. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan tersebut. Hal ini disebabkan oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan zat organik menjadi zat anorganik semakin banyak (Simanjuntak 2007). Turunnya oksigen terlarut di Sungai Ciujung seiring dengan bau busuk dan warna air sungai yang berwarna hitam semakin ke hilir. 8
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
7
DO (mg/L)
6 5 4 3 2 1 0
Lokasi
Gambar 5.1 Nilai DO di Sungai Ciujung Nilai DO paling rendah terjadi di lokasi Tirtayasa baik pada saat debit rendah maupun tinggi, hal ini terjadi karena wilayah ini merupakan wilayah hilir Sungai Ciujung yang telah dilewati zat pencemar baik dari aktivitas industri, pemukiman, pertanian dan peternakan. Menurut Astono (2007), adanya pembebanan terhadap sungai akan menyebabkan defisit DO semakin tinggi ke arah hilir sungai. Sementara nilai DO tertinggi terjadi di lokasi Nagara dan Muara. Lokasi Nagara merupakan wilayah hulu di mana belum terjadi aktivitas industri sehingga beban pencemaran masih rendah dibandingkan wilayah hilir, sementara Muara adalah lokasi hilir yang dipengaruhi oleh backwater.
Tabel 5.1 Kondisi eksisting perairan Sungai Ciujung Parameter No
Lokasi
DO (mg/L)
pH
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
NO2 (mg/L)
NO3 (mg/L)
Fenol (mg/L)
AOX (mg/L)
3
Debit Sungai (m /detik) 14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
14.55
94.47
1
Nagara
5.34
5.76
7.34
7.75
3.9
1.1
13.9
18.9
0.037
0.065
2.13
2.20
0.002
0.001
0.010
2 3
Cijeruk 2
4.97
5.74
7.36
7.70
1.3
1.6
12.8
5.1
0.141
0.128
0.60
1.70
0.007
0.003
0.010
0.010 0.014
Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1
4.60 4.23 3.86 3.58 3.30
5.71 5.69 5.66 5.42 5.19
7.38 7.39 7.41 7.38 7.35
7.91 7.91 7.61 7.61 7.61
2.2 2.8 14.9 3.6 2.4
2.6 3.3 2.2 2.1 2.5
17.6 4.8 64.0 46.4 89.6
62.6 92.2 162.0 79.4 192.0
0.139 1.696 0.017 0.022 0.025
0.124 0.129 0.126 0.111 0.119
0.70 3.30 1.30 0.60 1.10
4.80 4.10 3.80 1.70 1.70
0.007 0.008 0.010 0.007 0.008
0.001 0.001 0.001 0.001 0.004
0.010 0.010 0.010 0.022 0.136
0.010 0.010 0.010 0.010 0.010
Ragas masigit 2 Ragas masigit 1 Karang jetak Pegandikan Laban
3.03 2.92 2.80 2.69 2.58
4.95 4.71 4.47 4.23 3.99
7.33 7.30 7.27 7.35 7.43
7.61 7.61 7.49 7.29 7.39
35.8 49.2 23.8 12.0 11.9
4.7 3.8 3.2 3.9 4.0
33.6 52.8 128.0 144.0 256.0
262.0 221.0 146.0 311.0 229.0
0.018 0.011 0.005 0.01 0.013
0.121 0.094 0.089 0.097 0.093
0.80 1.00 0.80 0.90 0.90
1.70 2.00 2.10 1.50 1.80
0.121 0.007 0.008 0.006 0.003
0.005 0.005 0.003 0.004 0.007
0.140 0.076 0.055 0.039 0.042
0.010 0.010 0.030 0.010 0.010
Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1
2.47 4.06 5.66
3.75 4.38 5.01
7.52 7.60 7.68
7.64 7.74 7.85
89.4 89.6 59.7
5.2 4.7 4.5
219.2 396.8 334.4
71.9 66.3 25.3
0.007 0.015 0.011
0.104 0.101 0.098
0.80 1.10 0.90
3.00 2.00 1.50
0.009 0.008 0.017
0.003 0.008 0.005
0.077 0.481 0.103
0.010 0.010 0.010
16
Muara Kelas I
7.25 6
5.64
7.76 7.85 6–9
59.7
3.3
0.034 0.085 0.06
0.010 0.002 0.01
0.131
0.010
2
564.8 13.0 10
Kriteria Mutu Air
Kelas II
4
6–9
3
25
0.06
10
0.01
0.025
Kelas III
3
6–9
6
50
0.06
20
0.01
0.1
Kelas IV
0
5–9
12
100
0.06
20
0.01
0.2
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
1.60 1.60 10
0
48 8
48
49 Nilai DO paling rendah terjadi di lokasi Tirtayasa baik pada saat debit rendah maupun tinggi, hal ini terjadi karena wilayah ini merupakan wilayah hilir Sungai Ciujung yang telah dilewati zat pencemar baik dari aktivitas industri, pemukiman, pertanian dan peternakan. Menurut Astono (2007), adanya pembebanan terhadap sungai akan menyebabkan defisit DO semakin tinggi ke arah hilir sungai. Sementara nilai DO tertinggi terjadi di lokasi Nagara dan Muara. Lokasi Nagara merupakan wilayah hulu di mana belum terjadi aktivitas industri sehingga beban pencemaran masih rendah dibandingkan wilayah hilir, sementara Muara adalah lokasi hilir yang dipengaruhi oleh backwater. b. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD) BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik untuk menguraikan hampir semua zat organik yang terlarut maupun yang tersuspensi di dalam air. Pengukuran BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk ataupun industri sehingga dapat mengindikasikan terjadinya suatu pencemaran organik di perairan. Semakin banyak bahan organik yang terdapat dalam perairan, maka makin besar jumlah oksigen yang dibutuhkan, sehingga harga BOD semakin besar yang mengindikasikan tingginya tingkat pencemaran. Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa nilai BOD antar titik pengamatan dan pada debit sungai berbeda sangat beragam. Nilai BOD Sungai Ciujung pada enam belas titik pengamatan pada saat debit Sungai Ciujung 14.55 m 3/detik berkisar antara 1.3 mg/L dan 89.6 mg/L dengan rata-rata 28.9 mg/L. Nilai BOD tertinggi terdapat pada km 29 di segmen tengkurak 2 dan terendah terdapat pada km 4.25 di lokasi Cijeruk 2. Nilai BOD pada saat debit sungai 94.47 m 3/detik berkisar antara 1.6 mg/L dan 5.2 mg/L dengan nilai BOD rata-rata 3.3 mg/L. Sementara nilai BOD tertinggi terdapat pada Km 27.25 di lokasi Tirtayasa (5.2 mg/L) dan terendah terdapat pada km 1.75 di lokasi Nagara (1.6 mg/L). Pada saat debit sungai 14.55 m3/detik nampak bahwa nilai BOD di setiap lokasi hampir seluruhnya tidak memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan maksimum 3 mg/L, kecuali di lokasi Cijeruk 1, Cijeruk 2, Kragilan dan Kamaruton masih memenuhi. Begitupun pada saat debit 94.47 m3/detik, hanya beberapa lokasi yang memenuhi kriteria mutu air kelas II yakni di lokasi Nagara, Cijeruk 1, Cijeruk 2, Kragilan 1, Kamaruton 1 dan Kamaruton 2. Data pengukuran nilai BOD di perairan Sungai Ciujung disajikan pada Gambar 5.2. Adanya perbedaan nilai BOD di setiap lokasi karena kandungan limbah pada masing-masing lokasi berbeda, sehingga oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk dapat mengurai limbah tersebut berbeda pula. Nilai BOD yang paling tinggi baik pada saat debit sungai kecil maupun besar terdapat pada daerah Tengkurak 2 dan Tirtayasa, hal ini diduga terjadi karena senyawa organik pencemar yang berasal dari limbah industri terakumulasi pada daerah tersebut, sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk mengurainyapun semakin banyak.
50 100
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
BOD (mg/L)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Lokasi
Gambar 5.2 Nilai BOD di Sungai Ciujung Sebagian besar nilai BOD dari beberapa lokasi sampling telah melebihi kriteria mutu air kelas II (3 mg/l) terutama di wilayah tengah sampai hilir Sungai Ciujung. Nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. Sumber penyebab tingginya nilai BOD akibat dari buangan limbah industri kertas dengan debit yang cukup besar 41,600 m3/detik dan berbagai industri lainnya baik yang langsung maupun tidak langsung membuang limbahnya ke Sungai Ciujung . Proses air di pabrik kertas dan karton mengandung banyak gula dan lignoselulosa, yang mendukung pertumbuhan beberapa bakteri, jamur dan ragi. Terjadinya mikroba ini dalam limbah menyebabkan beban kebutuhan oksigen yang berlebihan dan juga mengganggu keseimbangan ekologi perairan yang ditunjukkan dengan hilangnya banyak kehidupan aquatik (Kanu, Ijeoma dan Achi 2011). Pada bagian hulu Sungai Ciujung, beberapa nilai BOD hasil pengukuran tidak selalu meningkat dari setiap titik dan dari setiap musimnya, karena di setiap titik dan di setiap musimnya dapat terjadi pemasukan buangan organik ke sungai dengan konsentrasi dan debit tertentu yang dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan BOD sungai. Hal tersebut diperkuat oleh Abowei & George dalam Suwari (2009) yang menyatakan bahwa nilai BOD secara umum tidak berbeda secara signifikan antar musim dan antara hulu – hilir. Selain disebabkan limbah industri, pertumbuhan penduduk juga berkontribusi terhadap peningkatan bahan organik di Sungai dalam jumlah yang melebihi kapasitas pemurnian alami mereka (daya asimilasi). Bahan pencemar organik sekunder yang didefinisikan sebagai surplus bahan organik, merupakan jumlah bahan organik undecomposed yang masuk ke dalam badan air dengan bahan pencemar primer dan dari bahan yang dihasilkan dari bioproductivity yang sangat meningkat dalam ekosistem tercemar itu sendiri. Limbah organik dengan mineral dalam badan air penerima dan unsur-unsur nutrien yang dihasilkan merangsang produksi tanaman, menyebabkan eutrofikasi. Dalam situasi ini, biomassa jauh meningkat dan melampaui batas asimilasi oleh herbivora. Bahan
51 pencemar organik sekunder jauh lebih besar daripada beban organik primer. Produksi berlebihan bahan organik mengarah pada terbentuknya "lumpur" dan proses mineralisasi sehingga mengkonsumsi semua oksigen terlarut dalam air, yang menyebabkan kematian ikan. Akibatnya, polutan organik yang disebut oksigen menuntut limbah. Suhu yang relatif tinggi di daerah Negara tropis mempercepat proses ini. Kualitas air sungai dapat dinilai dengan analisis nutrisi, kimia, dan biologi. Kriteria untuk sebuah sungai yang sehat adalah minimal mengandung 5 mg/L oksigen terlarut dan sekitar 3 mg/L BOD. c. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang diperlukan untuk mengurai atau mengoksidasi seluruh bahan organik yang terkandung dalam 1 (satu) liter air. Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah terurai maupun yang kompleks dan sulit terurai akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit terurai yang ada di perairan. COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada (Kustiasih 2011). COD merupakan salah satu parameter indikator pencemar di dalam air yang disebabkan oleh limbah organik, baik yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri (industrial waste). Rumah tangga dan industri adalah sumber utama limbah organik dan merupakan penyebab utama tinggi rendahnya nilai COD. Jika parameter ini melebihi batas yang diijinkan maka menjadi indikator adanya polutan organik dan anorganik dalam badan air (Misra 2010) Mutu air yang baik untuk standar kualitas air limbah adalah 40 mg/L (Allaert dan Sri 2000). Sedangkan nilai COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 m/L, dan untuk kebutuhan mandi dan renang lebih kecil dari 30 mg/L (Monoarfa 2002). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa nilai COD perairan Sungai Ciujung pada enam belas titik pengamatan ketika debit kecil (14.55 m3/detik) berkisar antara 4.8 – 564.8 mg/L dengan nilai rata-rata keseluruhan 148.7 mg/L. Nilai COD pada saat debit sungai kecil di setiap titik lokasi sampling berbeda dan mengalami peningkatan. Peningkatan terlihat pada daerah Kragilan 1 (km 11.25) hingga daerah muara (hilir) seluruhnya melebihi ambang batas yang ditentukan untuk kelas II (25 mg/L). Tingginya nilai COD di lokasi tersebut akibat adanya aktivitas industri disamping aktivitas masyarakat setempat yang menyebabkan pencemaran limbah kimiawi cukup besar, sehingga kebutuhan oksigen untuk proses penguraian limbah secara kimiawi pun ikut meningkat seiring peningkatan pencemaran yang terjadi. Nilai COD paling tinggi terdapat pada bagian hilir meskipun sudah jauh dari lokasi outlet industri. Hal ini diduga akibat adanya senyawa organik pencemar terakumulasi di hilir. Terakumulasinya senyawa organik pencemar ini disebabkan kedalaman sungai yang tidak merata akibat adanya penambang pasir liar masyarakat setempat. Hasil pengukuran kedalaman Sungai di daerah Tirtayasa (km 27.25) adalah 3.11 m sedangkan di daerah Tengkurak 2 (km 29) dan Tengkurak 1 (km 30.75) berturut- turut adalah 6.5 m dan 7.6 m. Kemudian di
52 daerah muara (km 31.75) kembali dangkal dengan kedalaman 5.3 m. Hal ini menyebabkan air sungai yang membawa bahan pencemar kembali terdorong ke arah Muara tidak masuk ke laut. Keadaan ini terus berlangsung sehingga senyawa pencemar terakumulasi di lokasi hilir. Nilai COD air Sungai Ciujung pada enam belas titik pengamatan ketika debit besar (94.47 m3/detik) berkisar antara 12.6 mg/l sampai 311.0 mg/L dengan nilai COD rata-rata 129.4 mg/L. Nilai COD paling tinggi pada saat debit besar terdapat di lokasi Pegandikan (km 23.25) yang berada 8.25 km setelah outlet industri yang terakhir di Kamaruton 1. Nilai COD di seluruh lokasi tidak memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan maksimum 25 mg/L, kecuali pada lokasi Nagara di mana lokasi ini belum terdapat aktivitas industri. Data pengukuran nilai COD perairan Sungai Ciujung disajikan pada Gambar 5.3. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin ke hilir nilai COD semakin tinggi terutama pada musim kemarau. Pada saat musim kemarau, debit sungai sangat rendah namun buangan limbah cair dari industri yang nilai COD nya tinggi tetap masuk ke badan air yang menyebabkan air sungai tidak mampu melakukan self purification sehingga terakumulasi. 600
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
COD (mg/L)
500 400 300 200 100 0
Lokasi
Gambar 5.3 Nilai COD di Sungai Ciujung d. Nitrat dan Nitrit Nitrat adalah salah satu bentuk senyawa nitrogen dan nutrien penting bagi pertumbuhan, reproduksi, dan kehidupan organisme. Senyawa nitrat dan nitrit bersumber dari limbah pertanian, peternakan, limbah domestik dan tempat penimbunan sampah (Suprihatin dan Suparno 2013). Senyawa ini juga dapat terbentuk sebagai produk akhir oksidasi biokimia amonia yang dihasilkan dari pemecahan protein. Kandungan nitrat dan nitrit dalam air sungai sangat bergantung pada transformasi secara mikrobial yang juga bergantung pada nilai DO. Kontaminasi nitrat pada air permukaan secara signifikan ditemukan pada daerah dengan tekanan penduduk tinggi dan daerah pengembangan pertanian (Adedokun et al. dalam Suwari 2008). Pada konsentrasi yang cukup tinggi, senyawa ini dapat menyebabkan penyakit blue baby (Suprihatin dan Suparno 2013).
53
12
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
NO3- (mg/L)
10 8 6 4 2
0
Lokasi
Gambar 5.4 Konsentrasi nitrat di Sungai Ciujung Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi nitrat rata-rata di perairan Sungai Ciujung di 16 titik pengamatan pada saat debit kecil (14.55 m 3/detik) adalah 1.158 mg/L, dengan konsentrasi nitrat tertinggi terjadi pada km 9.25 di Kragilan 2 (3.3 mg/L ). Sementara pada saat debit sungai besar (94.47 m3/detik), konsentrasi nitrat rata-rata adalah 2.325 mg/L, dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada km 6 di Cijeruk 1 (4.8 mg/L). Hasil analisis nitrat dari ke enam belas titik pengamatan seluruhnya memenuhi kriteria mutu air kelas II baik pada saat debit sungai kecil maupun besar. Nilai rata-rata konsentrasi nitrat tertinggi saat debit kecil ditemukan di lokasi Cijeruk 1 sedangkan nilai terendah ditemukan di daerah Cijeruk 2 dan Kamaruton 2, hal ini terjadi karena adanya perbedaan aktivitas dan kondisi alam yang berbeda serta adanya lahan pertanian pada daerah tersebut. Profil penyebaran konsentrasi nitrat Sungai Ciujung di enam belas titik lokasi pada saat debit sungai kecil dan besar disajikan pada Gambar 5.4. Keberadaan nitrat tersebut diduga berasal dari penggunaan pupuk pada lahan pertanian dekat sungai. Dugaan tersebut didasarkan atas beberapa laporan tentang kontaminasi nitrat pada air sungai akibat limbah pertanian, buangan domestik, dan limbah peternakan. Fakta lain yang teramati adalah nilai rata-rata konsentrasi nitrat pada saat musim hujan lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konsentrasi nitrat pada musim hujan lebih tinggi dari musim kemarau karena air hujan dapat membilas deposit nitrat yang terdapat pada permukaan tanah, namun konsentrasi nitrat juga dapat menurun drastis jika terjadi musim hujan berkepanjangan. Selain itu tingginya kadar nitrat pada musim hujan disebabkan meningkatnya nilai DO, sebaliknya penurunan konsentrasi nitrat pada musim kemarau kemungkinan diakibatkan oleh penyerapan fitoplankton.
54 1.800
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
1.600
NO2- (mg/L)
1.400 1.200 1.200 1.000 1.000 0.800 0.800 0.600 0.600
0.400 0.400 0.200 0.200 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.5 Konsentrasi Nitrit di Sungai Ciujung Hasil pengukuran konsentrasi nitrit (N-NO2) perairan Sungai Ciujung pada musim kemarau saat debit kecil rata-rata berkisar 0.005 – 1.696 mg/L, dengan nilai rata-rata keseluruhan 0.138 mg/L. Nilai rata-rata konsentrasi nitrit tertinggi ditemukan di lokasi Kragilan 2 dan nilai rata-rata konsentrasi nitrit terendah ditemukan di lokasi Karang Jetak. Konsentrasi nitrit perairan Sungai Ciujung pada saat debit besar rata-rata berkisar 0.065 – 0.129 mg/L, dengan nilai rata-rata keseluruhan 0.138 mg/L. Nilai rata-rata konsentrasi nitrit tertinggi di musim hujan ditemukan di lokasi Kragilan 2, hal ini diduga akibat adanya aktivitas penduduk yang berada di sekitar 500 m bantaran sungai. Jumlah penduduk di lokasi ini paling tinggi dibandingkan lokasi lainnya yaitu 1,513 jiwa sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab konsentrasi nitrit di lokasi ini tinggi. Konsentrasi nitrit rata-rata terendah di musim hujan ditemukan di lokasi Nagara, hal ini terjadi karena adanya perbedaan aktivitas dan kondisi alam disamping tingginya jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut. Nitrit di dalam air dapat berasal dari nitrifikasi bahan organik yang mengandung nitrogen seperti protein. Selain itu dapat juga dari proses reduksi nitrat pada kondisi anaerob. Fakta lain yang teramati adalah nilai rata-rata kadar nitrit pada saat musim hujan lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau, hal tersebut dapat terjadi karena perubahan dari ammonia menjadi nitrit yang akan dipercepat dengan adanya air, oksigen, dan organisme yang disebut nitrosomonas. Beberapa jenis limbah seperti limbah industri kertas adalah sumber utama dari pencemaran nitrit di dalam air. Nitrit bersifat tidak stabil di dalam air sehingga pada kondisi tertentu dapat berubah menjadi amonia atau dioksidasikan menjadi nitrat. Karena itu, nitrit disebut sebagai senyawa intermediate antara amonia dan nitrat. Nitrit dapat menjadi salah satu sumber nitrogen bagi tumbuhtumbuhan dan menjadi salah satu penyebab utama eutrofikasi. Eutrofikasi mempengaruhi estetika di danau, sungai dan menyebabkan bau dan masalah penampilan (Kanu et al. 2011).
55 e. Fenol Fenol berada di lingkungan karena proses alam maupun aktivitas manusia. Kehadiran fenol dalam ekosistem berhubungan dengan produksi dan degradasi berbagai pestisida dan limbah industri. Senyawa ini beracun, mutagenik dan karsinogen terhadap manusia dan organisme hidup lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi fenol di Sungai Ciujung saat debit kecil berkisar 0.002 – 0.121 mg/L, dengan rata-rata 0.015 mg/L. Konsentrasi fenol tertinggi ditemukan di lokasi Ragas Masigit 2 dan terendah saat debit sungai kecil terdapat di lokasi Nagara. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan aktivitas warga pada daerah tersebut. Daerah Ragas Masigit 2 dilewati oleh seluruh outlet limbah industri, terdapat aktivitas pencucian karung yang dilakukan masyarakat setempat serta adanya lahan pertanian seluas 55.5 ha. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap konsentrasi fenol pada perairan Sungai Ciujung. Sedangkan pada daerah Nagara belum terdapat aktivitas industri, namun terdapat lahan pertanian seluas 16.3 ha. Konsentrasi fenol perairan Sungai Ciujung pada saat debit tinggi berkisar 0.001 – 0.008 mg/L, dengan nilai rata-rata 0.003 mg/l. Konsentrasi fenol tertinggi terdapat di lokasi Pegandikan dan terendah di lokasi Nagara. Hal ini diduga terjadi karena senyawa fenol terbawa ke lokasi Pegandikan dari lokasi sebelumnya pada saat debit sungai naik dan adanya perbedaan aktivitas serta kondisi alam yang berbeda. Hasil pengukuran konsentrasi fenol Sungai Ciujung di enam belas titik lokasi pada saat debit rendah dan tinggi disajikan pada Gambar 5.6. 0.140 0.140
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
Fenol (mg/L)
0.120 0.120 0.100 0.100 0.080 0.080 0.060 0.060 0.040 0.040 0.020 0.020 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.6 Konsentrasi fenol di Sungai Ciujung Senyawa fenol di lingkungan dapat berasal dari limbah rumah tangga maupun industri. Sumber fenol dapat berasal dari desinfektan dan antiseptik dan obat kumur yang dibebaskan ke lingkungan melalui limbah rumah tangga. Senyawa fenol juga merupakan zat yang penting dalam industri seperti industri farmasi, industri resin fenolat dan berbagai industri kimia lainnya yang menjadi sumber cemaran fenol di lingkungan.
56 f. Senyawa AOX Senyawa AOX pada umumnya berasal dari tempat pembuangan sampah dan limbah industri pulp dan kertas. Senyawa ini bersifat racun dan sulit terdegradasi secara biologis (Suprihatin dan Suparno 2013). Hasil analisis senyawa AOX dalam sampel air Sungai Ciujung disajikan pada Gambar 5.7 Kandungan senyawa AOX pada 16 titik lokasi berkisar antara 0 mg/L sampai 0.0481 mg/L dengan rata-rata pada saat debit sungai kecil adalah 0.0814 mg/L (81.4 µg/L) . Hasil ini lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang umumnya terkandung dalam air permukaan yang berkisar antara 10 - 30 µg/L (Mohammed 2007). Adanya buangan Senyawa AOX ke lingkungan dari sumber tertentu menunjukkan adanya ancaman yang signifikan terhadap manusia dan biota yang ada diperairan. Senyawa AOX merupakan organohalogen yang bersifat karsinogenik, mutagenik, dan persisten (Asplund dan Grimvall 1991).
0.600
Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
AOX (mg/L)
0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.7 Konsentrasi senyawa AOX di Sungai Ciujung Negara Indonesia belum menetapkan baku mutu untuk parameter senyawa AOX baik untuk badan air maupun effluent limbah cair industri, sehingga baku mutu mengacu pada baku mutu untuk air permukaan kelas II Negara Jerman yang mempersyaratkan maksimum 0.025 mg/L (Frąckiewicz 2010). Gambar 5.7 di atas menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa AOX pada musim kemarau, di lokasi hulu sampai km 13.75 (Kamaruton 2) memenuhi baku mutu, namun setelah lokasi tersebut (Kamaruton 1) sampai ke hilir tidak memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan. Peningkatan konsentrasi senyawa AOX di lokasi ini disebabkan karena adanya buangan limbah cair dari 2 (dua) industri kertas yang berada di Kragilan 2 dengan debit 40,600 m3/hari dan di Kamaruton 2 dengan debit 40,000 m3/hari, dimana beban pencemaran yang berasal dari industri tersebut untuk parameter senyawa AOX berturut-turut sebesar 8.9 x 10-5 kg/hari dan 7.2 kg/hari. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Erhardt dan Prüeß (2001), bahwa salah satu sumber utama senyawa AOX adalah industri pulp dan kertas, dan industri ini di Finlandia bertanggung jawab sekitar 50% dari emisi halogen organik total ke lingkungan.
57 Konsentrasi senyawa AOX yang paling tinggi terdapat di km 29 pada segmen Tengkurak 2 yang berada di dekat Muara. Tingginya konsentrasi senyawa ini, selain disebabkan limbah industri kertas, bisa juga disebabkan sumber alami seperti sejumlah tumbuhan laut, hewan atau bakteri dalam air ( Gribble dalam Mohammed 2007). g. Logam Berat Logam berat adalah logam yang mempunyai berat 5 gram atau lebih untuk setiap 5 cm3, atau dengan kata lain beratnya 5 kali lipat berat air. Logam berat pada umumnya bersifat racun terhadap makhluk hidup meskipun beberapa diantaranya diperlukan dalam jumlah kecil. Logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh manusia dan sebagian akan terakumulasikan. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus, dalam jangka waktu lama dapat mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, akumulasi logam berat di perairan akan mengakibatkan bioakumulasi pada biota yang ada di dalamnya dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada struktur komunitas yang ada pada ekosistem perairan tersebut sehingga keseimbangn ekosistem terganggu (Riani 2012, Budiman et al. 2012). Hasil analisis terhadap logam kadmium (Cd) pada sampel air sungai Ciujung yang diambil dari 16 lokasi pada saat debit sungai berbeda disajikan dalam Gambar 5.8. Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
Cd (mg/L)
0.010 0.010 0.008 0.008
0.006 0. 006 0.004 0.004 0.002 0. 002 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.8 Konsentrasi kadmium di Sungai Ciujung Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi logam Cd pada saat debit sungai kecil berkisar antara 0 mg/L - 0.009 mg/L dengan rata-rata 0.0015 mg/L. Konsentrasi logam Cd tertinggi terdapat pada lokasi Nagara. Sedangkan pada saat debit tinggi, konsentrasi kadmium tidak terdeteksi hampir pada seluruh lokasi kecuali di lokasi Nagara yaitu 0.007 mg/L. Logam Cd pada konsentrasi yang sangat kecil dapat bersifat racun dan berbahaya untuk kehidupan. Namun dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa konsentrasi logam kadmium di sepanjang lokasi pengambilan sampel baik pada saat debit tinggi maupun rendah masih
58 memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan maksimum 0.01 mg/L. Konsentrasi logam krom pada sampel air sungai Ciujung yang diambil dari 16 lokasi pada saat debit sungai berbeda disajikan dalam Gambar 5.9. Pada saat debit tinggi, konsentrasi logam krom berkisar antara 0.0117 mg/L - 1.2145 mg/L dengan rata-rata 0.4849 mg/L. Konsentrasi logam krom tertinggi terdapat pada lokasi Karang jetak (km 21.75) dan Laban (Km 25). Sementara pada saat debit sungai kecil, konsentrasi krom berkisar 0.0037 mg/L - 0.0156 mg/L dengan ratarata 0.0091 mg/L dan konsentrasi krom tertinggi terdapat pada lokasi Kamaruton 2. Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
1.400 1.400
Cr (mg/L)
1.200 1.200 1.000 1. 000 0.800 0.800 0.600 0. 600 0.400 0.400 0.200 0.200 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.9 Konsentrasi krom di Sungai Ciujung Pada saat debit sungai tinggi, konsentrasi logam krom di lokasi Nagara, Cijeruk 2 dan Pegandikan memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan logam krom maksimum 0.05 mg/L, sedangkan di lokasi lainnya tidak memenuhi. Tingginya logam Cr di perairan dapat menyebabkan alergi dermatitis. Pada saat debit kecil, konsentrasi logam krom diseluruh lokasi masih memenuhi baku mutu. Hal ini terjadi karena pada saat debit kecil, logam krom terendapkan di bagian bawah (sedimen) sehingga pada saat pengambilan sampel logam krom tidak terbawa. Konsentrasi Logam Cu di Sungai Ciujung pada saat debit tinggi lebih tinggi dibandingkan pada saat debit sungai kecil. Hasil analisis konsentrasi Cu dari 16 titik lokasi disajikan pada Gambar 5.10. Gambar 5.10 di atas menunjukkan bahwa konsentrasi logam Cu pada saat debit sungai tinggi berkisar 0.0119 mg/L - 1.3418 mg/L dengan rata-rata 0.9252 mg/L. konsentrasi Cu tertinggi pada saat debit tinggi terdapat pada lokasi Tengkurak 2 (1.3418 mg/L), Karang Jetak (1.268 mg/L) dan Kamaruton 1 (1.149 mg/L). Pada saat debit sungai kecil, konsentrasi Cu berkisar antara 0.0135 mg/L sampai 0.2768 mg/L dengan rata-rata 0.2344 mg/L. Konsentrasi logam Cu tertinggi pada saat debit kecil terdapat pada daerah Ragas Masigit 2.
59 Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
Cu (mg/L)
1.400 1.400 1.200 1.200 1.000 1. 000 0.800 0.800 0.600 0. 600 0.400 0.400 0.200 0.200
0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.10 Konsentrasi tembaga di Sungai Ciujung Konsentrasi logam Cu baik pada saat debit besar maupun kecil, hampir seluruhnya tidak memenuhi kriteria mutu air sungai kelas II di seluruh lokasi. Logam Cu merupakan logam berat yang diperlukan dalam jumlah sedikit untuk proses fisiologis dalam tubuh makhluk hidup dan pembawa elektron pada proses fotosintesis. Logam ini diperlukan dalam jumlah kecil sebagai pigmen pernapasan untuk hewan avertebrata air yang pigmen pernapasannya hemosianin, namun dalam jumlah berlebih akan bersifat racun yang dapat mengganggu proses fisiologis yang terjadi dalam tubuhnya serta mengganggu proses reproduksi (Riani 2012). Logam Cu dalam konsentrasi yang tinggi pada jangka pendek akan berpengaruh pada pencernaan dan dalam jangka panjang mengakibatkan kerusakan hati atau ginjal (Suprihatin dan Suparno 2013). Kemarau
Hujan
25
Fe (mg/L)
20 15 10 5 0
Lokasi
Gambar 5.11 Konsentrasi Fe di Sungai Ciujung
60 Logam besi (Fe) yang terkandung dalam sampel air sungai Ciujung dari 16 lokasi sampling pada saat debit sungai tinggi umumnya lebih tinggi dibandingkan ketika debit sungai rendah. Gambar 5.11 di atas menunjukkan bahwa kandungan Fe pada 16 titik lokasi pada saat debit tinggi berkisar 0.2950 mg/L - 20.1000 mg/L dengan rata-rata 7.9022 mg/L. Kandungan Fe tertinggi terdapat pada lokasi Kragilan 2 (20.1 mg/L) dan Tengkurak 2 (19.23 mg/L). Sedangkan pada saat debit rendah berkisar 0.3585 mg/L - 2.4383 mg/L dengan rata-rata 0.8620 mg/L. Kandungan Fe tertinggi pada saat debit rendah terdapat pada lokasi Muara (2.4383 mg/L) dan Ragas Masigit 2 (1.829 mg/L). Logam Fe tidak dipersyaratkan untuk kriteria mutu air sungai kelas II, namun dipersyaratkan maksimum 0.3 mg/L untuk kriteria mutu air kelas I yang peruntukannya untuk air minum. Tingginya kandungan Fe dalam air akan menyebabkan rasa minuman menyimpang dan berwarna coklat. Kemarau
Hujan
KMA Kelas II
0.080 0.080 0.070 0.070
Pb (mg/L)
0.060 0.060 0.050 0.050 0.040 0.040
0.030 0.030 0.020 0.020 0.010 0.010 0.000 0.000
Lokasi
Gambar 5.12 Konsentrasi Pb di Sungai Ciujung Konsentrasi logam Pb pada saat debit sungai tinggi berkisar 0.0037 mg/L 0.0948 mg/L, dengan rata-rata 0.0415 mg/L. Pada saat debit tinggi, kandungan logam Pb di seluruh lokasi memenuhi kriteria mutu air kelas II yang mempersyaratkan maksimum 0.03 mg/L. Pada saat debit sungai kecil, Kandungan logam Pb pada sebagian besar lokasi tidak memenuhi kriteria mutu air kelas II. kandungan logam Pb berkisar 0.000 mg/L - 0.0141 mg/L dengan rata-rata 0.033 mg/L. Logam ini bersifat bioakumulaif, dapat merusak jaringan syaraf bahkan mengakibatkan kematian, keterlambatan perkembangan fisik dan mental pada anak-anak Status Mutu Air Sungai Ciujung Status mutu air merupakan tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan. Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan (1) kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air dan (2) kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air (Pemerintah RI 2001).
61 Status mutu air Sungai Ciujung dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) yang mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air (KLH 2003). Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Evaluasi terhadap nilai IP adalah (1) 0 ≤ PIj ≤ 1.0 maka memenuhi baku mutu (kondisi baik), (2) 1.0 < IP ≤ 5.0 maka cemar ringan, (3) 5.0 < PIj ≤ 10 maka cemar sedang, dan (4) IP > 10 maka cemar berat. a. Indeks Pencemaran Tanpa Parameter Senyawa AOX Indeks pencemaran tanpa memasukan parameter senyawa AOX diperoleh dengan membandingkan data kualitas air Sungai Ciujung pada beberapa lokasi sampling dengan baku mutu yang ditetapkan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 yang membagi kelas sungai menjadi 4 (empat) kelas. Tabel 5.2 di bawah ini menunjukkan bahwa indeks pencemaran rata-rata Sungai Ciujung dari 16 lokasi sampling berturut turut adalah 5.0424 untuk kriteria mutu air kelas I, 4.5181 untuk kelas II, 3.8168 untuk kelas III dan 1.9478 untuk kelas IV. Secara keseluruhan, Sungai Ciujung sudah tercemar mulai dari lokasi hulu (Nagara) sampai ke hilir (Muara) dengan status cemar ringan sampai sedang kecuali jika dibandingkan dengan kelas III dan IV untuk lokasi Nagara masih dalam kondisi baik (memenuhi baku mutu). Hasil yang lebih jelas disajikan dalam Gambar 5.13 di bawah ini. Tabel 5.2. Nilai indeks pencemaran Sungai Ciujung tanpa parameter AOX No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lokasi Nagara Cijeruk 2 Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas masigit 2 Ragas masigit 1 Karang jetak
Jarak (km)
Indeks Pencemaran (Pij) Kelas 1
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
1.75 4.25 6.00
1.7862 * 4.6788 * 3.2678 *
3.2837 * 4.6647 * 3.2404 *
0.7561 # 4.6593 * 3.2307 *
0.7114 # 1.0645 * 0.3231 #
9.25 11.25
5.9799 **
5.9669 **
5.9582 **
0.5100 #
3.9733 *
3.3289 *
3.2538 *
1.0917 *
13.75 16.25
3.3044
*
3.2554 *
3.2229 *
1.4205 *
4.2000
*
3.3595 *
3.3347 *
1.3003 *
18.25 20.00
5.2762 **
4.6367 *
3.5738 *
2.4277 *
5.7211 **
5.0966 **
4.0346 *
2.9170 *
21.75 23.25
4.7745 *
4.0298 *
3.2672 *
1.8114 *
4.9615 *
3.5690 *
3.2637 *
1.3047 *
11 Pegandikan 5.8469 ** 4.4474 * 3.3843 * 12 Laban 25.00 6.7509 ** 6.1060 ** 5.0309 ** 27.25 13 Tirtayasa 14 Tengkurak 2 29.00 6.7754 ** 6.1303 ** 5.0565 ** 30.75 15 Tengkurak 1 6.2844 ** 5.4758 ** 4.4086 * 16 Muara 31.75 7.0976 ** 5.6987 ** 4.6331 * # : memenuhi baku mutu (kondisi baik), * : Cemar ringan, ** : Cemar sedang
2.1987 * 3.4615 * 3.9135 * 3.2473 * 3.4615 *
62
10
Indeks Pencemaran
Kelas 1
8
Kelas II Kelas III
6
Kelas IV
4 Kondisi Baik
2
Cemar Ringan
0
Cemar Sedang Cemar Berat
Lokasi
Gambar 5.13 Sebaran indeks pencemaran di Sungai Ciujung Gambar 5.13 menunjukkan bahwa sungai Ciujung tidak bisa digolongkan pada kelas 1 maupun II karena nilai indeks pencemarannya melebihi 5 (lima) sehingga masuk ke dalam status cemar ringan dan cemar sedang. Namun Jika mengacu pada kelas III dan IV maka hanya lokasi Nagara yang memenuhi, sedangkan lokasi Cijeruk I dan Kragilan 2 hanya memenuhi kelas IV yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanian dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Status pencemaran rata-rata sungai Ciujung jika mengacu pada kelas I maka termasuk status cemar sedang, sementara jika mengacu pada II, III dan IV termasuk dalam status cemar ringan. Jika mengacu pada kelas 1 maka indeks pencemaran tertinggi terjadi pada km 31.75 di lokasi Muara dengan Indeks Pencemaran 7.0976, sementara indeks pencemaran terendah 1.7862 adalah pada km 0 karena di lokasi tersebut belum ada aktivitas industri sehingga beban pencemaran hanya dari limbah domestik dan pertanian. Tingkat pencemaran ini kemudian meningkat di lokasi Cijeruk 2 meskipun masih dalam status tercemar ringan, hal ini disebabkan adanya beban pencemaran yang masuk dari anak Sungai Cikambuy, dimana beberapa industri yang berada di Kawasan Industri Modern membuang limbah cairnya ke sungai Cikambuy. Pada lokasi Cijeruk 1 pencemaran semakin meningkat karena adanya buangan limbah industri kertas dengan debit yang cukup besar. Tingginya pencemaran di lokasi ini karena adanya buangan limbah dari industri kertas yang cukup besar dengan debit berkisar kurang lebih 40,000 m3/hari. Semakin ke hilir tingkat pencemaran kembali menurun, namun pada lokasi Tirtayasa sampai Tengkurak 2 kembali meningkat padahal sudah cukup jauh dari aktivitas industri. Terjadinya peningkatan pencemaran di lokasi ini karena adanya perbedaan kedalaman sungai, dimana rata-rata kedalaman di lokasi Tirtayasa (4.01 m) lebih tinggi dari lokasi sebelumnya yang hanya 2 m sampai 3 m, begitupun untuk lokasi Muara hanya 2.86 m, hal ini terjadi akibat adanya aktivitas tambang pasir liar yang dilakukan oleh masyarakat sehingga senyawa pencemar banyak terakumulasi di lokasi ini. Selain itu meningkatnya pencemaran ke arah hilir karena adanya aktivitas pemukiman, peternakan dan pertanian.
63 Indeks pencemaran di Muara kembali menurun karena adanya pencampuran air laut yang masuk ke Muara terutama pada saat pasang. Hasil status mutu air sungai Ciujung pada setiap lokasi dapat dilihat pada Gambar 5.14 dan 5.15.
Gambar 5.14.
Status mutu Sungai Ciujung tanpa parameter senyawa AOX dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas I
64
Gambar 5.15.
Status mutu Sungai Ciujung tanpa parameter senyawa AOX dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II
(b). Indeks Pencemaran Dengan Memasukkan Parameter AOX Parameter AOX merupakan senyawa yang berbahaya yang umumnya terdapat pada leacheate dan buangan limbah industri kertas (Noma et al. 2001). Sungai Ciujung dilalui oleh buangan limbah cair dari industri tersebut, sehingga
65 dalam penelitian ini dilakukan analisis indeks pencemaran dengan memasukan parameter AOX dengan mengacu pada baku mutu Negara Jerman seperti yang disajikan dalam Tabel 5.3. Tabel 5.3 Nilai indeks pencemaran Sungai Ciujung tanpa dan dengan parameter AOX No
Lokasi
Tanpa AOX
Pij Kls I Dengan AOX
1
Nagara
1.7862 *
2
Cijeruk 2
3
Cijeruk 1
4
Pij Kls II Tanpa Dengan AOX AOX
Pij Kls III Tanpa Dengan AOX AOX
Pij Kls IV Tanpa Dengan AOX AOX
1.8823
*
3.2837 *
1.8450
*
0.7561 #
1.8187 *
0.7114 #
4.6788 *
4.7057
*
4.6647
*
4.6869
*
4.6593 *
4.6802 *
1.0645 *
3.7700 *
3.2678 *
3.8095
*
3.2404
*
3.7791
*
3.2307 *
3.7687 *
0.3231 #
3.7135
Kragilan 2
5.9799 **
5.9858
**
5.9669 **
5.9700 **
5.9582 **
5.9608 **
0.5100 #
5.9085 **
5
Kragilan 1
3.9733 *
4.4027
*
3.3289
*
4.3454
*
3.2538 *
4.3016 *
1.0917 *
4.2202
*
6
Kamaruton 2
3.3044 *
9.1911 **
3.2554
*
3.8587
*
3.2229 *
3.8158 *
1.4205 *
3.7540
*
7
Kamaruton 1
4.2000 *
11.9923 ***
3.3595
*
4.0862
*
3.3347 *
3.9990 *
1.3003
3.9060
*
8
Ragas masigit 2
5.2762 **
12.1532 ***
4.6367
*
8.2890 **
3.5738 *
8.2202 **
2.4277 *
8.1426 **
Ragas masigit 1
5.7211 **
11.1400 ***
5.0966 **
5.2090 **
4.0346 *
4.0929 *
2.9170 *
3.7165
*
10
Karang jetak
4.7745 *
10.6600 ***
4.0298
*
4.2413
*
3.2672 *
4.1400 *
1.8114 *
4.0326
*
11
Pegandikan
4.9615 *
10.1071 ***
3.5690
*
3.7837
*
3.2637 *
3.6985 *
1.3047 *
3.5989
*
12
Laban
5.8469 **
10.2292 ***
4.4474
*
4.4781
*
2.1987 *
2.6018
*
11.2194 ***
3.4615 *
4.0941
* *
9
3.3843 *
3.3767 *
6.1060 **
6.1639 **
5.0309 **
5.0472 **
*
1.8025
*
*
13
Tirtayasa
6.7509 **
14
Tengkurak 2
6.7754 **
6.8944 **
6.1303 **
6.1324 **
5.0565 **
5.0573 **
3.9135 *
3.9771
15
Tengkurak 1
6.2844 **
14.0404 ***
5.4758 **
5.6858 **
4.4086 *
5.3690 **
3.2473 *
5.2153 **
16
Muara
7.0976 **
12.0883 ***
5.6987 **
5.8430 **
4.6331 *
4.7150 *
3.4615 *
4.3161
# : Kondisi baik,
* : Cemar ringan, ** : Cemar sedang,
*** : Cemar berat
Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa ada perubahan status mutu pencemaran mulai dari lokasi Kamaruton 2 ketika parameter AOX dimasukkan, dari status cemar ringan menjadi cemar sedang jika dibandingkan terhadap kriteria mutu air sungai kelas I. Jika dibandingkan dengan kriteria mutu air sungai kelas II, perubahan status cemar ringan menjadi cemar sedang terjadi di lokasi Ragas masigit 2. Hasil yang lebih jelas disajikan pada Gambar 5.16 di bawah ini.
*
66
Indeks Pencemaran
Tanpa AOX Cemar Ringan
Dengan AOX Cemar Sedang
Kondisi Baik Cemar Berat
12 10 8 6 4 2 0
Indeks Pencemaran
Lokasi (a) Tanpa AOX Cemar Ringan
Dengan AOX Cemar Sedang
Kondisi Baik Cemar Berat
10 8
6 4 2 0
Indeks Pencemaran
Lokasi (b) Tanpa AOX
Dengan AOX
Kondisi Baik
Cemar Ringan
Cemar Sedang
Cemar Berat
10 8 6 4 2 0
Indeks Pencemaran
Lokasi (c) Tanpa AOX Cemar Ringan
Dengan AOX Cemar Sedang
Kondisi Baik Cemar Berat
12 10 8 6 4 2 0
Lokasi (d)
Gambar 5.16
Nilai indeks pencemaran sungai Ciujung dengan memasukan parameter AOX dibandingkan dengan kriteria mutu air sungai (a) kelas I, (b) kelas II, (c) kelas III, dan (d) kelas IV
67 Hasil status kualitas air Sungai Ciujung pada setiap lokasi dapat dilihat pada Gambar 5.17 dan 5.18.
Gambar 5.17.
Status mutu Sungai Ciujung dengan memasukkan parameter senyawa AOX dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas I
68
Gambar 5.18.
Status mutu Sungai Ciujung dengan memasukkan parameter senyawa AOX dibandingkan dengan kriteria mutu air kelas II
69 Beban Pencemaran a. Beban Pencemaran dari Non Point Source (1). Beban Pencemaran dari Pemukiman Beban Pencemaran dari pemukiman (limbah domestik) yang berasal dari aktivitas penduduk dihitung dengan mengalikan jumlah penduduk yang berada 500 m dari tepi kiri dan kanan Sungai Ciujung di setiap lokasi dengan masingmasing faktor emisi. Jumlah penduduk ditentukan dari hasil estimasi luas pemukiman dikalikan kepadatan penduduk setiap km2. Jumlah beban pencemaran untuk masing-masing parameter pencemar dari aktivitas pemukiman dalam kg/hari pada setiap lokasi dan persentase beban pencemarnya untuk seluruh parameter disajikan pada Tabel 5.4. Beban pencemaran sungai Ciujung yang disebabkan oleh aktivitas domestik tertinggi berturut-turut adalah COD 39.30% (569.86 kg/hari), BOD 28.58% (414.44 kg/hari) dan TSS 27.15% (393.72 kg/hari). (2). Beban Pencemaran dari Aktivitas Pertanian Beban pencemaran dari aktivitas pertanian sepanjang bantaran Sungai Ciujung diestimasi dengan mengalikan luas lahan pertanian sepanjang bantaran Sungai Ciujung dikalikan emisi masing-masing parameter untuk aktivitas pertanian setiap hari. Dari hasil perhitungan diperoleh beban pencemaran untuk parameter BOD, N, P, TSS dan pestisisda pada 16 segmen disajikan pada Tabel 5.5. Aktivitas pertanian pada lokasi penelitian terdapat pada daerah Nagara sampai Tengkurak 2 (14 Segmen). Beban pencemaran rata-rata dari aktivitas pertanian dari 14 segmen tersebut untuk parameter BOD, Nitrogen, Pospor, TSS dan pestisida berturut-turut adalah 216 kg/hari, 19 kg/hari, 10 kg/hari, 0.2 kg/hari dan 0.2 kg/hari. Beban pencemaran dari aktivitas pertanian tertinggi terdapat di daerah Kamaruton 2, Cijeruk 2 dan Kamaruton 1. Tingginya beban pencemaran pada lokasi tersebut karena luas lahan pertaniannya lebih luas yakni 102.71 ha untuk daerah Kamaruton 2, 95.33 Ha untuk Cijeruk 2 dan 93.14 ha untuk Kamaruton1. Secara keseluruhan beban pencemaran dari aktivitas pertanian pada semua lokasi untuk BOD 88.1% (3,031 kg/hari), Nitrogen 7.8% (269 kg/hari), posfor 3.9% (135 kg/hari), TSS 0.1% (2 kg/hari) dan pestisida 0.1% (2 kg/hari).
70
70
Tabel 5.4 Beban pencemaran dari aktivitas domestik Jumlah Lokasi
Fenol
S
Penduduk
Total P
PO4
Total N
OranikN
NO3
NO2
Detergen
Minyak/ Lemak
10.15 0.26 0.09
1.07 0.03 0.01
NH4
COD
BOD
TSS
6.88 0.18 0.06
310.09 8.03 2.86
225.52 5.84 2.08
214.24 5.55 1.98
(jiwa) 5,638 146 52
0.01 0.00 0.00
7.33 0.19 0.07
1.18 0.03 0.01
0.96 0.02 0.01
10.99 0.28 0.10
0.62 0.02 0.01
(kg/hari) 0.06 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00
Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas Masigit 2
1,513 515 143 308 616
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1.97 0.67 0.19 0.40 0.80
0.32 0.11 0.03 0.06 0.13
0.26 0.09 0.02 0.05 0.10
2.95 1.00 0.28 0.60 1.20
0.17 0.06 0.02 0.03 0.07
0.02 0.01 0.00 0.00 0.01
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2.72 0.93 0.26 0.55 1.11
0.29 0.10 0.03 0.06 0.12
1.85 0.63 0.17 0.38 0.75
83.22 28.33 7.87 16.94 33.88
60.52 20.60 5.72 12.32 24.64
57.49 19.57 5.43 11.70 23.41
Ragas Masigit 1 Karang Jetak Pegandikan Laban Tirtayasa Tengkurak 2
354 299 545 187 0 45
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Tengkurak 1
0
0.00
Muara
0
0.00
0.46 0.39 0.71 0.24 0.00 0.06 0.00 0.00
0.07 0.06 0.11 0.04 0.00 0.01 0.00 0.00
0.06 0.05 0.09 0.03 0.00 0.01 0.00 0.00
0.69 0.58 1.06 0.36 0.00 0.09 0.00 0.00
0.04 0.03 0.06 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.64 0.54 0.98 0.34 0.00 0.08 0.00 0.00
0.07 0.06 0.10 0.04 0.00 0.01 0.00 0.00
0.43 0.36 0.66 0.23 0.00 0.05 0.00 0.00
19.47 16.45 29.98 10.29 0.00 2.48 0.00 0.00
14.16 11.96 21.80 7.48 0.00 1.80 0.00 0.00
13.45 11.36 20.71 7.11 0.00 1.71 0.00 0.00
Jumlah (kg/hari)
0.01
13.47
2.18
1.76
20.20
1.14
0.10
0.02
18.65
1.96
12.64
569.86
414.44
393.72
Persentase (%)
0.00
0.93
0.15
0.12
1.39
0.08
0.01
0.00
1.29
0.14
0.87
39.30
28.58
27.15
Nagara Cijeruk 2 Cijeruk 1
71 Tabel 5.5 Beban pencemaran dari aktivitas pertanian (kg/hari) Lokasi
BOD
N
P (kg/hari)
TSS
Pestisida
Nagara Cijeruk 2
61.23 357.49
5.44 31.78
2.72 15.89
0.44 0.06
0.01 0.25
Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas Masigit 2 Ragas Masigit 1 Karang Jetak
157.98 327.46 142.47 385.16 349.26 212.45 201.89 217.85
14.04 29.11 12.71 34.24 31.05 18.90 17.97 19.37
7.02 14.55 6.35 17.12 15.52 9.45 8.99 9.68
0.03 0.06 0.65 0.07 0.06 0.25 0.42 0.08
0.11 0.23 0.10 0.27 0.25 0.15 0.14 0.15
Pegandikan Laban Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1 Muara
97.07 189.21 274.08 56.98 0.00 0.00
8.63 16.82 24.36 5.06 0.00 0.00
4.31 8,41 12.18 2.53 0.00 0.00
0.02 0.03 0.05 0.01 0.00 0.00
0.07 0.13 0.19 0.04 0.00 0.00
3,030.59
269.47
134.74
2.22
2.12
88.12
7.84
3.92
0.06
0.06
Jumlah (kg/hari) Persentase (%)
(3). Beban Pencemaran dari Aktivitas Peternakan Beban pencemaran dari aktivitas peternakan sepanjang bantaran Sungai Ciujung diestimasi dengan mengalikan jumlah masing-masing ternak yang berada di wilayah bantaran dengan emisi masing-masing parameter untuk aktivitas peternakan setiap hari. Dari hasil perhitungan diperoleh beban pencemaran untuk parameter BOD, NO 3, NH4, Total N, dan Total P pada 16 segmen disajikan pada Tabel 5.6. Beban pencemaran rata-rata dari aktivitas peternakan untuk parameter BOD 27 kg/hari, COD 69 kg/hari, NO3 0.03 kg/hari, Total NH4 0.7 kg/hari, Total N 0.01 kg/hari dan Total P 0.2 kg/hari. Beban pencemaran dari aktivitas peternakan tertinggi terdapat di daerah Kragilan 2. Tingginya beban pencemaran pada lokasi tersebut karena jumlah ternaknya lebih banyak dibandingkan daerah lainnya. Secara keseluruhan jumlah beban pencemaran dari aktivitas peternakan pada semua lokasi untuk BOD 28.2% (384 kg/hari), COD 70.8% (965 kg/hari), NO3 0.03% (0.4 kg/hari), NH4 0.8% (10 kg/hari), N-Total 0.01% (0.2 kg/hari) dan PTotal 0.2% (2 kg/hari).
72 Tabel 5.6 Beban pencemaran dari aktivitas peternakan Lokasi
BOD
COD
NO3
NH4
N-Total
P-Total
(kg/hari)
Nagara (Hulu) Cijeruk 2
40.43 7.19
101.59 18.02
0.04 0.01
5.54 0.09
0.02 0.00
1.40 0.01
Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas Masigit 2 Ragas Masigit 1 Karang Jetak
0.00 73.41 46.69 6.86 23.31 45.15 51.82 34.39
0.00 183.90 116.94 17.34 58.92 114.11 130.96 86.02
0.00 0.07 0.04 0.01 0.03 0.05 0.06 0.03
0.00 0.90 0.57 0.11 0.39 0.76 0.87 0.46
0.00 0.04 0.02 0.00 0.01 0.02 0.02 0.02
0.00 0.15 0.09 0.02 0.06 0.11 0.12 0.07
Pegandikan Laban Tirtayasa
46.54 7.10 0.00
116.43 18.09 0.00
0.05 0.01 0.00
0.60 0.12 0.00
0.02 0.00 0.00
0.09 0.01 0.00
Tengkurak 2 Tengkurak 1
1.11 0.00
2.83 0.00
0.00 0.00
0.01 0.00
0.00 0.00
0.00 0.00
Muara (Hilir) Jumlah (kg/hari)
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Persentase (%)
384.00
965.15
0.40
10.41
0.19
2.13
28.2
70.8
0.03
0.8
0.01
0.2
b. Beban Pencemaran dari Point Source Beban Pencemaran dari Point Source adalah beban pencemaran yang berasal dari aktivitas Industri. Menurut BLH (2011), ada 14 Industri yang berada di Kawasan Industri modern yang membuang limbah cairnya ke sungai Cikambuy yang merupakan anak sungai Ciujung, sedangkan yang langsung membuang limbah cair terolahnya ke sungai Ciujung ada 3 (tiga) industri, sehingga dalam penelitian ini, ada 4 sumber pencemaran dari aktivitas industri yakni pada lokasi Cijeruk 2, Kamaruton 1, Kragilan 1 dan Kragilan 2. Hasil analisis terhadap potensi beban pencemaran dari masing-masing lokasi disajikan dalam Tabel 5.7. Beban pencemaran BOD dari aktivitas industri pada lokasi Cijeruk 2, Kragilan 2, Kragilan 1 dan Kamaruton1 berturut-turut adalah 32.45 kg/hari, 531.81 kg/hari, 0.11 kg/hari dan 13,440 kg/hari. Beban pencemaran BOD tertinggi terdapat pada daerah Kamaruton 1. Beban pencemaran parameter senyawa AOX yang diduga berasal dari 2 (dua) industri kertas yang berada di Kragilan 2 dan Kamaruton 1 berturut-turut adalah 0.03 kg/hari dan 7.2 kg/hari.
73 Tabel 5.7 Beban pencemaran dari aktivitas industri BOD
COD
Lokasi Nagara Cijeruk 2 Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas Masigit 2 Ragas Masigit 1 Karang Jetak Pegandikan Laban Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1 Muara Jumlah (kg/hari) Persentase (%) - : tidak ada industri
TSS (kg/hari) -
AOX
Cr
-
-
0.03 -
-
32.45
86.49
531.81 0.11 -
1,049.47 1.22 -
13,440.00 -
39,320.00 -
6,240.00 -
-
38.19 -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14,004.37
40,457.17
6,391.46
7.23
38.26
23.00
66.43
10.50
0.01
0.06
58.96 90.72 1.78 -
0.07
7.2
Secara umum, beban pencemaran dari aktivitas industri untuk parameter BOD, COD, TSS dan AOX paling tinggi terdapat pada lokasi Kamaruton 1. Tingginya pencemaran pada lokasi ini diakibatkan adanya buangan limbah cair dari 2 (dua) industri kertas yang cukup besar dengan debit total rata-rata 41,600 m3/hari dan beberapa industri lain yang membuang limbah cairnya baik langsung maupun tidak langsung ke Sungai Ciujung, sedangkan debit sungai kecil sehingga tingkat pengenceran sangat rendah. Adanya aktivitas tambang pasir yang dilakukan oleh masyarakat setempat juga ikut berperan dalam tingginya pencemaran karena menyebabkan profil dasar sungai yang tidak merata sehingga mengganggu aliran sungai ke arah hilir. Beban pencemaran BOD secara keseluruhan berasal dari aktivitas domestik 2.58% (462 kg/hari), peternakan 2.15% (384 kg/hari), pertanian 16.95% (3,031 kg/hari) dan industri 78.32% (14,004 kg/hari). Sementara beban pencemaran COD secara keseluruhan berasal dari aktivitas domestik 1.35% (566 kg/hari), peternakan 2.30% (965 kg/hari) dan industri 96.35% (40,457 kg/hari). Persentase beban pencemaran BOD dan COD dari berbagai sumber disajikan dalam Gambar 5.19.
74 BP BOD
BP COD
100
%
80 60 40 20 0 Domestik
Peternakan
Pertanian
Industri
Aktivitas
Gambar 5.19. Beban pencemaran BOD dari berbagai aktivitas Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) Sungai Ciujung a. Kondisi Hidrolika dan Debit Air Sungai Ciujung Debit andalan merupakan debit yang diharapkan dengan probabilitas tertentu. Pengukuran debit di Sungai Ciujung telah dilakukan di beberapa tempat dan bersifat fluktuatif, pada musim kemarau alirannya relatif kecil dan pada musim hujan sering mendatangkan banjir bagi daerah sepanjang sungai. Untuk keperluan studi ini dilakukan penghitungan data debit andalan sungai dengan mengambil data dari stasiun PDA (Pos Duga Automatik) yang berada di D e s a Undar andir di Kabupaten Serang selama 15 tahun dengan probabilitas 70%, 80% dan 90%. Hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 5.8 dan Gambar 5.20. Tabel 5.8 Debit andalan Sungai Ciujung tahun 1997-2011 Probabilitas
Bulan (m3/detik) Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
70%
41.2
43.5
36.7
20.5
21.2
11.5
7.6
6.8
10
19.8
35.6
27.4
80%
29.4
29.9
26.4
12.2
12.2
4
2.4
1.9
2
11.2
18.9
8.5
90%
11.5
10.3
15
2.5
6.8
0.7
0.4
0.6
0.2
6.6
6.3
2.5
Debit andalan pada probabilitas 70% dan 80% terdapat pada Bulan Agustus berturut-turut 6.8 m3/detik dan 1.9 m3/detik, sedangkan untuk probablilitas 90% ada pada Bulan September, yaitu 0.2 m3/detik.
75 Prob 90%
Prob 80%
Prob 70%
45
Debit (m3/detik)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 5.20 Debit andalan Sungai Ciujung tahun 1997-2011 Aspek hidrolika sungai yang paling penting dalam model kualitas air adalah kecepatan air, kedalaman air dan waktu tempuh massa air dalam ruas sungai. Ketiga nilai tersebut secara langsung maupun tidak langsung digunakan pada model dalam perhitungan. Sungai Ciujung merupakan sungai yang berkelok dengan genangan, sehingga harga kekasaran dasar sungai (bilangan manning) berkisar antara 0.030 – 0.045 dan diasumsikan bagian hulu nilainya lebih kecil daripada bagian hilir.
76
76 Tabel 5.9 Data hidrolika Sungai Ciujung Segmen
Volume (L)
velocity multiplier
velocity exponent
depth multiplier (m)
depth exponent
segment type
bottom segment
Length (m)
Width (m)
minimum depth
Slope
Bottom Roughness
Nagara Cijeruk 2 Cijeruk 1 Kragilan 2
2.94 . 105 3.47 . 106 2.48 . 105 4.74 . 105
0.650 0.650 0.650 0.650
0.4300 0.4300 0.4300 0.4300
2.83 2.83 2.83 2.83
0.4500 0.4500 0.4500 0.4500
surface surface surface surface
none none none none
1,750 2,500 1,750 3,250
60.0 49.0 50.0 53.0
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0004 0.0004 0.0004 0.0003
0.0300 0.0300 0.0300 0.0300
Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas masigit 2 Ragas masigit 1
2.55. 105 5.40 . 105 5.40 . 105 3.17 . 105 3.17 . 105
0.650 0.650 0.650 0.650 0.650
0.4300 0.4300 0.4300 0.4300 0.4300
none none none none none
1,750 2,500 2,500 2,000 2,000
53.0 83.0 83.0 71.2 72.0
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
3.07 . 105 2.42 .105 3.62 . 105 5.15 . 105 3.53 . 105 3.53 . 105
0.650 0.650 0.650 0.650 0.650 0.650
0.4300 0.4300 0.4300 0.4300 0.4300 0.4300
0.4500 0.4500 0.4500 0.4500 0.4500 0.4500
surface surface surface surface surface
Karang jetak Pegandikan Laban Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1
2.83 2.60 2.60 2.83 2.83 2.83
0.4500 0.4500 0.4500 0.4500 0.4500
none none none none none none
1,750 1,500 1,750 2,250 1,750 1,750
73.0 78.7 62.0 57.2 70.5 71.0
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
0.0350 0.0350 0.0350 0.0400 0.0400 0.0400
2.83 2.83 2.83 2.83 2.83
surface surface surface surface surface surface
0.0003 0.0002 0.0001 0.0001 0.0001 0.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001
0.0400 0.0400 0.0400 0.0450 0.0530
Muara
2.09 . 105
0.650
0.4300
2.83
0.4500
surface
none
1,000
73.0
0.0000
0.0001
0.0550
77 b. Pembagian Segmen Sungai Ciujung Pemodelan bertujuan untuk memperoleh profil cemaran sungai dengan penyederhanaan kondisi sungai di lapangan ke dalam bentuk model (Priono 2004). Untuk penyederhanaan maka Sungai Ciujung dibagi menjadi 16 segmen seperti yang disajikan pada Gambar 5.21
3 Cijeruk 1
2 Cijeruk 2
1 Nagara
0
Sungai Cikambuy
6 Kamaruton 2
5 Kragilan 1
4 Kragilan 2
3
Intercipta Ciptapaeria
9 Ragas masigit 1
8 Ragas masigit 2
7 Kamaruton 1
6 IKPP
13 Trtayasa
12 Laban
11 Pegandikan
16 Muara
15 Tengkurak 1
10 Karangjetak
9
14 Tengkurak 2
13
Gambar 5.21 Skema Sungai Ciujung dalam bentuk segmen Dengan terbatasnya data yang berkaitan dengan hidrolika dan hidrologi Sungai Ciujung, pemodelan kualitas air dilakukan dalam keadaan steady. Dengan asumsi debit sungai konstan dan aliran limbah cair dalam keadaan konstan dalam aspek debit dan konsentrasi constituent. c. Kalibrasi Model Kualitas Air Sungai Ciujung dengan Metoda WASP Kalibrasi model adalah proses mencari nilai-nilai parameter kinetik untuk mencapai kecocokan yang terbaik (goodness of fit) antara hasil pemodelan dan hasil pengukuran kualitas air di badan sungai atau mempunyai kecenderungan yang sama dengan kondisi di lapangan (Yusuf 2004). Di dalam studi ini, proses kalibrasi sesuai dengan anggapan steady state menggunakan sistem satu saat dengan variasi tempat (spatial variation at one time). Kalibrasi dilakukan pada berbagai aspek, yaitu aspek hidrolika sungai dan aspek nilai konstanta biologi dan kimia model. Kalibrasi model yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kalibrasi terhadap debit dan semua parameter kimia. Parameter BOD merupakan indikator yang umum digunakan untuk melihat adanya pencemaran di sungai khususnya pencemaran senyawa organik dan logam Cr mewakili untuk melihat adanya pencemaran logam berat. Berdasarkan hal
78 tersebut, maka hasil kalibrasi yang dibahas dalam kajian ini adalah hasil kalibrasi terhadap parameter BOD, senyawa AOX dan Logam Cr seperti yang disajikan pada Gambar 5.22 Model
Model
Pengukuran
Pengukuran
Q : 14.55 m3/dtk
20 BOD (mg/L)
Debit (m3/dtk)
25
15 R2 : 0.9991
10 5 0 0
10
20
30
80 70 60 50 40 30 20 10 0
40
R2 : 0.9565
0
5
Jarak (km) (a) Model
30
Model
Q : 14.55 m3/dtk
70
140 120 100 80 60 40 20 0
25
Pengukuran
Pengukuran
Q : 14.55 m3/dtk
R2 : 0.991
60
R2 : 0.9283
50 Cr (mg/L)
AOX (mg/L)
10 15 20 Jarak (km) (b)
40 30 20 10 0
0
5
Gambar 5.22
10 15 20 Jarak (km) (c)
25
30
0
10
20 Jarak (km) (d)
30
Grafik Kalibrasi (a) Debit, (b) BOD, (c) senyawa AOX dan (d) logam Cr
Kalibrasi terhadap debit dilakukan terlebih dahulu sebelum kalibrasi parameter lain. Proses kalibrasi ini secara umum dilakukan dengan mengestimasi parameter debit hasil perhitungan model dengan kondisi eksisting pada tempat tempat tertentu. Kalibrasi debit lebih ke arah water balance yang memperhitungkan penambahan dan/atau pengurangan dengan menambahkan debit incremental atau debit aliran yang masuk secara random dari samping-samping sungai baik air permukaan atau ground water seepage (BLK 2004). Hasil kalibrasi debit (Gambar 5.22a) memperlihatkan hasil yang cukup baik dengan tingkat kehandalan di atas 90% (R2= 0.9991; p < 0.01), artinya model terkalibrasi bermakna tinggi. Pada saat melakukan kalibrasi parameter BOD, hal yang harus diperhatikan adalah koefisien decay BOD, reaerasi, settling BOD dan kebutuhan oksigen dasar sungai, yang mana penghitungan parameter kinetik model dimulai dari hasil besaran laboratorium untuk masing-masing ruas sungainya. Kalibrasi yang dilakukan terhadap parameter BOD (Gambar 5.22b) menunjukkan hasil yang baik, mencapai tingkat kehandalan lebih dari 90% (R2= 0.9565; p < 0.01) yang artinya model untuk parameter ini terkalibrasi bermakna tinggi. Begitupun kalibrasi yang dilakukan pada parameter untuk senyawa AOX dan logam Cr
79 menunjukkan hasil yang baik, (R2= 0.9283; p < 0.01) untuk AOX dan (R2= 0.991; p < 0.01) Untuk Cr (Gambar 5.22c dan 5.22d). Hasil kalibrasi secara keseluruhan terhadap debit, parameter BOD, AOX dan Cr menunjukkan bahwa terdapat kesesuain trend yang cukup baik antara data hasil perhitungan model dan hasil pengukuran di lapangan dari hulu ke hilir, sehingga model dapat digunakan untuk melakukan pengembangan berbagai skenario simulasi selanjutnya. d. Simulasi Daya Tampung Beban Pencemaran BOD Salah satu aplikasi model kualitas air adalah untuk menghitung daya tampung beban pencemaran (DTBP). Model kualitas air Streeter – Phelps hanya dapat digunakan untuk meramal pengaruh sumber polusi yang berasal dari sumber polusi tunggal. Namun pada kenyataannya dilapangan terdapat banyak sumber polusi yang bersifat terpusat maupun tersebar di sungai, sehingga metode Streeter – Phelps sulit diaplikasikan. Diperlukan suatu model kualitas air yang komprehensif untuk dapat mendekati besarnya daya tampung beban pencemaran pada suatu sungai. Model kualitas air WASP dipilih untuk menghitung besarnya DTBP karena lebih fleksibel dan data yang tersedia pada aspek hidrologi dan hidrolika DAS Ciujung . (1) Simulasi Kualitas Air Sungai Berdasarkan Parameter BOD pada berbagai Debit Konsentrasi BOD eksisting disimulasikan pada berbagai debit andalan dan dibandingkan dengan kriteria mutu air sungai kelas I sampai IV seperti yang ditetapkan PP nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air (Gambar 5.23).
BOD (mg/L)
Agst, Q 1.9 m3/det Juni, Q 4 m3/det Apr & Mei, Q 12.2 m3/det Jan, Q 29.4 m3/det BML II
Sep, Q 2.0 m3/det Des, Q 8.5 m3/det Nov, Q 18.9 m3/det Feb, Q 29.9 m3/det BML III
Juli, Q 2.4 m3/det Okt, Q 11.2 m3/det Mar, Q 26.4 m3/det BML I BML IV
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Lokasi
Gambar 5.23 Nilai BOD hasil simulasi pada berbagai debit andalan Hasil simulasi pada Gambar 5.23 memperlihatkan bahwa semakin besar debit sungai, maka nilai BOD semakin menurun. Nilai rata-rata BOD di Sungai Ciujung pada debit andalan minimum (1.9 m 3/detik) adalah 24.14
80 mg/L dan pada debit andalan maksimum (29.9 m 3/detik) adalah 8.23 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan debit di sungai sangat berpengaruh terhadap penurunan nilai BOD, yang mana penurunan nilai BOD pada musim hujan mencapai 193.2% dari musim kemarau. (2) Simulasi DTBP BOD pada Debit Minimum Sungai Ciujung mengalami debit andalan minimum pada bulan Agustus sebesar 1.9 m3/detik. Debit andalan tersebut dihitung dari debit harian perbulan selama 15 tahun pada probabilitas 80%. Debit ini selanjutnya disebut sebagai debit minimum dan digunakan dalam simulasi untuk mendapatkan nilai BOD sepanjang Sungai Ciujung pada kondisi debit minimum (Gambar 5.24). Hasil simulasi pada debit minimum nampak bahwa nilai BOD yang memenuhi kriteria mutu air sungai kelas II adalah sepanjang 4.25 km di bagian hulu (Cijeruk 1 dan Cijeruk 2). Nilai BOD dari hasil simulasi ini selanjutnya digunakan untuk menetapkan beban pencemaran dan daya tampung beban pencemaran, hasilnya tercantum dalam Tabel 5.10.
[BOD]
BML I
BML II
BML III
BML IV
90
Q : 1.9 m3/dtk 80 70
BOD (mg/L)
60 50 40 30 20 10 0
Lokasi
Gambar 5.24 Nilai BOD pada debit minimum, BML : baku mutu lingkungan BP BOD Sungai Ciujung pada debit minimumnya berkisar antara 220 kg/hari – 13,184 kg/hari, sedangkan BP yang diijinkan untuk sungai kelas I, II, III dan IV berturut-turut adalah 328 kg/hari, 492 kg/hari, 949 kg/hari dan 1,970 kg/hari. Jika dibandingkan dengan BP yang diijinkan untuk sungai kelas I dan II, lokasi Sungai Ciujung yang memiliki DTBP adalah sepanjang 4.25 km (Cijeruk 2 dan Cijeruk 1) dengan DTBP rata-rata di lokasi tersebut 80 kg/hari untuk sungai kelas I dan 244 kg/hari untuk sungai kelas II. Lokasi yang memenuhi kelas III terdapat di lokasi Nagara sampai Kamaruton 2 kecuali kragilan 1 sepanjang 11.75 km dengan DTBP rata-rata pada lokasi tersebut 2,376 kg/hari. Sementara jika dibandingkan dengan BP sungai kelas IV, lokasi yang memiliki DTBP sepanjang
81 13.75 km ( Nagara-Kamaruton 2) dengan DTBP rata-rata di lokasi tersebut 1,292 kg/hari. Jika dilihat berdasarkan DTBP rata-rata secara keseluruhan, Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP untuk parameter BOD baik sebagai sungai kelas I (-3,634 kg/hari), sungai kelas II (-3,470 kg/hari), sungai kelas III (-2,977 kg/hari) maupun sungai kelas IV (-1,992 kg/hari). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau sungai mengalami debit kritis, sehingga sudah tidak mampu menerima beban pencemaran BOD baik dari point source maupun non point source. Hasil yang lebih jelas untuk melihat DTBP jika dibandingkan dengan semua kelas sungai pada debit minimum (1.9 m 3/detik) disajikan pada Tabel 5.10 dan Gambar 5.25. Tabel 5.10 Jarak (km)
Daya tampung beban pencemaran BOD pada debit minimum Lokasi
Beban Pencemaran (kg/hari)
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari) Kelas I
Kels II
Kelas III
Kelas IV
1.75
Nagara
607.84
-279.52
-115.36
377.12
1,362.08
4.25
Cijeruk 2
219.93
108.39
272.55
765.03
1,749.99
6.00
Cijeruk 1
276.43
51.89
216.05
708.53
1,693.49
9.25
Kragilan 2
545.57
-217.25
-53.09
439.39
1,424.35
11.25
Kragilan 1
1,520.29
-1,191.97
-1,027.81
-535.33
449.63
13.75
Kamaruton 2
899.43
-571.11
-406.95
85.53
1,070.49
16.25
Kamaruton 1
3,920.30
-3,591.98
-3,427.82
-2,935.34
-1,950.38
18.25
Ragas masigit 2
4,220.14
-3,891.82
-3,727.66
-3,235.18
-2,250.22
20.00
Ragas masigit 1
6,400.35
-6,072.03
-5,907.87
-5,415.39
-4,430.43
21.75
Karang jetak
5,065.19
-4,736.87
-4,572.71
-4,080.23
-3,095.27
23.25
Pegandikan
3,190.66
-2,862.34
-2,698.18
-2,205.70
-1,220.74
25.00
Laban
2,104.14
-1,775.82
-1,611.66
-1,119.18
-134.22
27.25
Tirtayasa
10,575.37
-10,247.05
-10,082.89
-9,590.41
-8,605.45
29.00
Tengkurak 2
13,184.15
-12,855.83
-12,691.67
-12,199.19
-11,214.23
30.75
Tengkurak 1
6,113.76
-5,785.44
-5,621.28
-5,128.80
-4,143.84
31.75
Muara
4,550.89
-4,222.57
-4,058.41
-3,565.93
-2,580.97
Beban Pencemaran yang diijinkan untuk sungai (kg/hari)
Kelas I
328.32
Kelas II
492.48
Kelas III
984.96
Kelas IV
1,969.92
82 BMBP Kls I
BMBP Kls II
Bp
BMBP Kls III
BMBP Kls IV
Q : 1.9 m3/dtk 14000 12000
BP BOD (kg/hari)
10000 8000 6000 4000
2000 0
Lokasi
Gambar 5.25 Beban pencemaran BOD Sungai Ciujung pada debit minimum, BMBP kls : baku mutu beban pencemaran kelas (3) Simulasi DTBP BOD pada Debit Maksimum Sungai Ciujung mengalami debit andalan maksimumnya pada bulan Februari sebesar 29.9 m3/detik. Debit maksimum tersebut dihitung dari debit harian perbulan selama 15 tahun pada probabilitas 80%. Debit ini digunakan untuk simulasi DTBP pada debit maksimum. Hasil simulasi pada debit maksimum (Gambar 5.26) nampak bahwa nilai BOD yang memenuhi kriteria mutu air sungai kelas II sepanjang 12 km, memenuhi kriteria mutu air kelas III sepanjang 13.75 km dan yang memenuhi kriteria mutu air kelas IV sepanjang 25 km mulai dari hulu sampai Laban, sehingga yang tidak memenuhi kelas IV sepanjang 6.75 km dari Tirtayasa sampai Muara. Berdasarkan hasil simulasi ini, BP dan DTBP dihitung, dan hasilnya tercantum dalam Tabel 5.11. [BOD]
BML I
BML II
BML III
BML IV
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
BOD (mg/L)
Q : 29.9 m3/dtk
Lokasi
Gambar 5.26 Nilai BOD pada debit maksimum,
83
BP
Bmbp I
Bmbp II
Bmbp III
Bmbp IV
60000 Q : 29.9 m3/dtk 50000
BP BOD (kg/hari)
40000 30000 20000 10000 0
Lokasi
Gambar 5.27 BP BOD Sungai Ciujung pada debit maksimum Tabel 5.11 DTBP BOD pada debit maksimum Jarak (km)
Lokasi
Beban Pencemaran (kg/hari)
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari) Kelas I
Kels II
Kelas III
Kelas IV
1.75
Nagara
9,943.35
-4,776.63
-2,193.27
5,556.81
21,056.97
4.25
Cijeruk 2
6,632.78
-1,466.06
1,117.30
8,867.38
24,367.54
6.00
Cijeruk 1
6,387.62
-1,220.90
1,362.46
9,112.54
24,612.70
9.25
Kragilan 2
6,386.07
-1,219.35
1,364.01
9,114.09
24,614.25
11.25
Kragilan 1
6,125.92
-959.20
1,624.16
9,374.24
24,874.40
13.75
Kamaruton 2
5,779.75
1,970.33
9,720.41
25,220.57
16.25
Kamaruton 1
19,380.37
-11,630.29
-3,880.21
11,619.95
18.25
Ragas masigit 2
19,753.66
-12,003.58
-4,253.50
11,246.66
20.00
Ragas masigit 1
20,381.16
-12,631.08
-4,881.00
10,619.16
21.75
Karang jetak
21,203.70
-13,453.62
-5,703.54
9,796.62
23.25
Pegandikan
22,037.87
-14,287.79
-6,537.71
8,962.45
25.00
Laban
24,626.91
-16,876.83
-9,126.75
6,373.41
27.25
Tirtayasa
33,584.71
-25,834.63
-18,084.55
-2,584.39
29.00
Tengkurak 2
42,271.00
-34,520.92
-26,770.84
-11,270.68
30.75
Tengkurak 1
46,580.05
-38,829.97
-31,079.89
-15,579.73
31.75
Muara
49,086.42
-613.03 14,213.65 14,586.94 15,214.44 16,036.98 16,871.15 19,460.19 28,417.99 37,104.28 41,413.33 43,919.70
-41,336.34
-33,586.26
-18,086.10
Kelas I Beban Pencemaran yang diijinkan untuk sungai (kg/hari)
5,166.72
Kelas II
7,750.08
Kelas III
15,500.16
Kelas IV
31,000.32
84 BP BOD Sungai Ciujung pada debit maksimumnya berkisar antara 6,386 kg/hari – 49,086 kg/hari, sedangkan BP yang diijinkan untuk sungai kelas I, II, III dan IV berturut-turut adalah 5,167 kg/hari; 7,750 kg/hari; 15,500 kg/hari dan 31,000 kg/hari. Gambar 5.27, menunjukkan bahwa Sungai Ciujung sepanjang 12 km (Cijeruk 2 – Kamaruton 2) dapat memenuhi sungai kelas II dengan DTBP ratarata di lokasi tersebut 1,488 kg/hari, memenuhi sungai kelas III sepanjang 13.75 km (Nagara-Kamaruton 2) dengan DTBP rata-rata pada lokasi tersebut 8,624 kg/hari. Sementara jika dibandingkan dengan sungai kelas IV, maka yang dapat memenuhi adalah sepanjang 25 km (Nagar – Laban) dengan DTBP rata-rata pada lokasi tersebut 16,947 kg/hari. Sehingga lokasi yang tidak memiliki DTBP adalah Tirtayasa sampai Muara sepanjang 6.75 km. Peningkatan debit berdampak pada peningkatan kualitas Sungai Ciujung. Pada saat debit minimum (1.9 m 3/detik) dinaikan menjadi debit maksimum (29.9 m3/detik), lokasi sungai yang memenuhi sungai kelas II meningkat 182.35% dari 4.25 km menjadi 12 km, yang memenuhi sungai kelas III meningkat 17.02% dari 11.75 km menjadi 13.75 km dan yang memenuhi sungai kelas IV meningkat 81.82% dari 13.75 km menjadi 25 km. Jika dilihat berdasarkan DTBP rata-rata secara keseluruhan pada debit maksimum, Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP untuk parameter BOD sebagai sungai kelas I (-16,043 kg/hari), sungai kelas II (-13,510 kg/hari), dan sungai kelas III (-9,740 kg/hari). Namun sungai tersebut masih memiliki DTBP sebagai sungai kelas IV (9,740 kg/hari). e. Simulasi DTBP Senyawa AOX Konsentrasi senyawa AOX yang diperoleh dari hasil analisis sampel air Sungai Ciujung selanjutnya disimulasikan dengan program WASP7.3 pada debit andalan. Hasilnya dibandingkan dengan baku mutu senyawa AOX Negara Jerman yang mensyaratkan untuk sungai kelas 1 adalah 0 mg/L, sungai kelas II maksimum 0.025 mg/L, sungai kelas III maksimum 0.100 mg/L dan untuk sungai kelas IV maksimum 0.200 mg/L. (1) Simulasi Kualitas Air Sungai Berdasarkan Parameter Senyawa AOX pada Debit Andalan Alternatif lain untuk meningkatkan kualitas Sungai Ciujung berdasarkan parameter senyawa AOX, yaitu dengan melakukan simulasi dengan cara merubah debit sungai, sedangkan debit limbah dan konsentrasi senyawa AOX dari point source yang masuk ke Sungai Ciujung tetap. Debit yang diinputkan adalah debit andalan Sungai Ciujung harian pada probabilitas 80%.
85 Q 1.9 Q 11.2 BML I
Q2 Q 12.2 BML II
Q 2.4 Q 18.9 BML III
Q4 Q 26.4 BML IV
Q 8.5 Q 29.4 Q 29.9
0.3000
AOX (mg/L)
0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000
Lokasi
Gambar 5.28 Konsentrasi senyawa AOX hasil simulasi pada berbagai debit andalan Hasil simulasi pada Gambar 5.28 memperrlihatkan bahwa semakin besar debit sungai maka konsentrasi senyawa AOX semakin menurun. Konsentrasi ratarata senyawa AOX di Sungai Ciujung pada debit andalan minimum (1.9 m3/detik) adalah 0.0574 mg/L dan pada debit andalan maksimum (29.9 m 3/detik) adalah 0.0175 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan debit di sungai sangat berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi senyawa AOX, yang mana penurunan senyawa AOX pada musim hujan mencapai 69.6% dari musim kemarau. (2) Simulasi DTBP Senyawa AOX pada Debit Minimum (1.9 m3/detik) [AOX]
BML I
BML II
BML III
BML IV
0.3000
AOX (mg/L)
0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000
Lokasi
Gambar 5. 29 Konsentrasi senyawa AOX pada debit minimum
86 Hasil simulasi pada debit minimum, nampak bahwa konsentrasi senyawa AOX meningkat tajam di Kamaruton 1 pada km 16.25 sampai ke Muara (Gambar 5.29). Berdasarkan hasil simulasi tersebut, selanjutnya BP dihitung untuk menetapkan DTBP dan hasilnya disajikan dalam Tabel 5.12 BP senyawa AOX di Sungai Ciujung pada debit minimumnya berkisar antara 0.1 kg/hari – 40.7 kg/hari, sedangkan BP yang diijinkan untuk sungai kelas I 0 kg/hari, sungai kelas II 4.1 kg/hari, sungai kelas III 16.4 kg/hari dan sungai kelas IV 32.8 kg/hari. Sehingga berdasarkan Tabel 5.12, dapat dilihat bahwa BP senyawa AOX di Sungai Ciujung tidak ada yang memenuhi untuk sungai kelas I, sedangkan yang memenuhi sungai kelas II, III dan IV berturut-turut adalah sepanjang 13.75 km, 27.25 km dan 30 km. Hasil yang lebih jelas untuk BP dan DTBP jika dibandingkan dengan BP yang diijinkan pada debit 1.9 m3/detik disajikan pada Gambar 5.30. Gambar 5.30 menunjukkan bahwa BP senyawa AOX tidak ada yang memenuhi untuk sungai kelas I. Sementara yang memenuhi sungai kelas II adalah sepanjang 13.75 km (Nagara-Kamaruton 2) dengan DTBP rata-rata yang masih bisa diterima lokasi tersebut adalah 3.73 kg/hari, yang memenuhi air sungai kelas III sepanjang 28.25 km (Tirtayasa dan Muara) dengan DTBP rata-rata pada lokasi tersebut 10.29 kg/hari dan yang memenuhi kelas IV sepanjang 30 km (seluruh lokasi kecuali Tengkurak I) dengan DTBP rata-rata pada lokasi tersebut 25.49 kg/hari. Lokasi yang tidak memiliki DTBP adalah Tengkurak 1 sepanjang 1.75 km. Tabel 5.12 Jarak (km) 1.75 4.25 6.00
DTBP AOX pada debit minimum Lokasi
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari) Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
0.30 0.11 0.11
-0.30 -0.11 -0.11
3.81 3.99 3.99
16.12 16.30 16.30
32.53 32.72 32.72
21.75 23.25
Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas masigit 2 Ragas masigit 1 Karang jetak Pegandikan
0.11 0.11 1.48 12.10 15.72 14.22 8.33 6.43
-0.11 -0.11 -1.48 -12.10 -15.72 -14.22 -8.33 -6.43
3.99 3.99 2.63 -8.00 -11.62 -10.11 -4.23 -2.33
16.30 16.30 14.94 4.31 0.69 2.20 8.08 9.98
32.72 32.72 31.36 20.73 17.11 18.61 24.50 26.40
25.00 27.25 29.00 30.75 31.75
Laban Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1 Muara
8.32 7.00 24.34 40.69 11.42
-8.32 -7.00 -24.34 -40.69 -11.42
-4.22 -2.90 -20.23 -36.58 -7.31
8.09 9.41 -7.92 -24.27 5.00
24.51 25.83 8.49 -7.86 21.41
9.25 11.25 13.75 16.25 18.25 20.00
Nagara Cijeruk 2 Cijeruk 1
Beban Pencemaran (kg/hari)
Beban Pencemaran yang diijinkan untuk (kg/hari)
Kelas I Kelas II
0.00 4.10
Kelas III Kelas IV
16.42 32.83
87
BP AOX
Bmbp I
Bmbp II
Bmbp III
Bmbp IV
BP AOX (kg/hari)
45.00 Q : 1.9 m3/dtk 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Lokasi
Gambar 5.30. BP senyawa AOX pada debit minimum, bmbp : baku mutu beban pencemaran Jika dilihat berdasarkan DTBP rata-rata secara keseluruhan pada debit minimum, Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP untuk senyawa AOX sebagai sungai kelas I (-9.4 kg/hari) dan sungai kelas II (-5.3 kg/hari). Namun masih memiliki DTBP untuk sungai kelas III (7 kg/hari) dan sungai kelas IV (23.4 kg/hari). (3) Simulasi DTBP AOX pada Debit Maksimum (29.9 m3/detik) Konsentrasi senyawa AOX sepanjang sungai yang diperoleh dari hasil simulasi pada debit maksimum disajikan pada Gambar 5.31. BML I
BML II
BML III
BML IV
[AOX]
Q :0.25 29.9 m3/dtk
AOX (mg/L)
0.2 0.15 0.1 0.05
0
Lokasi
Gambar 5.31 Konsentrasi senyawa AOX pada debit maksimum
88 Hasil simulasi pada debit maksimum (29.9 m 3/detik) menunjukkan bahwa senyawa AOX tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I di semua lokasi. Namun dapat memenuhi sungai kelas II sepanjang 25 km (Nagara-Laban) dan memenuhi sungai kelas III pada semua lokasi. Konsentrasi senyawa AOX hasil simulasi ini selanjutnya digunakan untuk menetapkan BP guna mengetahui DTBP AOX, dan hasilnya tercantum dalam Tabel 5.13. BP AOX Sungai Ciujung pada debit maksimumnya berkisar antara 3 kg/hari – 173 kg/hari dengan BP rata-rata 55 kg/hari, sedangkan BP yang diijinkan untuk sungai kelas I sampai IV berturut-turut adalah 0 kg/hari, 65 kg/hari, 258 kg/hari dan 517 kg/hari. Pada saat debit maksimum, Sungai Ciujung tidak memenuhi sungai kelas I sehingga tidak memiliki DTBP (-45 kg/hari). Namun Sungai Ciujung dapat memenuhi sungai kelas II sepanjang 25 km (Nagara-Laban) dengan DTBP rata-rata yang masih bisa diterima lokasi tersebut adalah 52 kg/hari, dan seluruh lokasi dapat memenuhi sungai kelas III dengan DTBP rata-rata 213 kg/hari. Hasil yang lebih jelas untuk perbedaan BP dan DTBP sepanjang sungai jika dibandingkan dengan BP yang diijinkan disajikan pada Gambar 5.32. Tabel 5.13 DTBP AOX pada debit maksimum Jarak (km)
Segmen
Beban Pencemaran (kg/hari)
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari)
Kelas I
Kelas III
Kelas IV
57.09
250.84
509.18
-4.28
60.31
254.06
512.39
4.05
-4.05
60.54
254.29
512.63
3.60
-3.60
60.99
254.74
513.08
Kragilan 1
3.35
-3.35
61.23
254.98
513.32
Kamaruton 2
2.94
-2.94
61.65
255.40
513.73
Kamaruton 1
10.39
-10.39
54.20
247.95
506.29
Ragas masigit 2
11.33
-11.33
53.26
247.01
505.34
20.00
Ragas masigit 1
13.89
-13.89
50.70
244.45
502.78
21.75
Karang jetak
19.24
-19.24
45.34
239.09
497.43
23.25
Pegandikan
26.30
-26.30
38.29
232.04
490.38
25.00
Laban
47.71
-47.71
16.87
210.62
468.96
27.25
Tirtayasa
98.12
-98.12
-33.53
160.22
418.55
29.00
Tengkurak 2
134.89
-134.89
-70.30
123.45
381.78
30.75
Tengkurak 1
162.26
-162.26
-97.67
96.08
354.41
31.75
Muara
172.66 Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
-172.66
-108.08
85.68
344.01
1.75
Nagara
7.49
-7.49
4.25
Cijeruk 2
4.28
6.00
Cijeruk 1
9.25
Kragilan 2
11.25 13.75 16.25 18.25
Beban Pencemaran yang diijinkan untuk (kg/hari)
Kelas II
0.00 65 258 517
Peningkatan debit berdampak pada peningkatan kualitas air Sungai Ciujung sehingga meningkatkan DTBP. Pada saat debit minimum (1.9 m 3/detik) dinaikan menjadi debit maksimum (29.9 m3/detik), lokasi sungai yang memenuhi sungai kelas II berdasarkan parameter AOX meningkat sebesar 81.82%, dari 13.75 km menjadi 25 km dengan peningkatan DTBP rata-rata sebesar 3.73 kg/hari menjadi 52 kg/hari. Peningkatan lokasi yang memenuhi sungai kelas III sebesar 12.39%
89 dari 28.25 km menjadi 31.75 km dengan peningkatan DTBP rata-rata 10 kg/hari menjadi 213 kg/hari. Sementara peningkatan DTBP rata-rata untuk memenuhi baku mutu sungai kelas IV adalah 446 kg/hari dari 26 kg/hari menjadi 472 kg/hari.
BP AOX
Bmbp I
Bmbp II
Bmbp III
Bmbp IV
Q : 29.9 m3/dtk 600.00
BP AOX (kg/hari)
500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
Lokasi
Gambar 5.32. BP senyawa AOX pada debit maksimum f.
Simulasi DTBP Logam Cr
(1) Simulasi Kualitas Air Sungai Berdasarkan Parameter Logam Cr pada Berbagai Debit Konsentrasi logam Cr sepanjang sungai hasil simulasi disajikan pada Gambar 5.33. Q 1.9 Q 8.5 Q 26.4 BML II 1.5000
Q2 Q 11.2 Q 29.4 BML III
Q 2.4 Q 12.2 Q 29.9 BML IV
Q4 Q 18.9 BML I
Q 1.9 Q 8.5 Q 26.4 BML II
Q2 Q 11.2 Q 29.4 BML III
Q 2.4 Q 12.2 Q 29.9
Q4 Q 18.9 BML I
0.1000
[Cr] mg/L
[Cr] mg/L
0.0800 1.0000 0.5000 0.0000
Lokasi
0.0600 0.0400 0.0200 0.0000
Lokasi
Gambar 5.33 Konsentrasi Cr hasil simulasi Hasil simulasi pada Gambar 5.33 memperlihatkan bahwa semakin besar debit sungai maka konsentrasi logam Cr rata-rata pada setiap lokasi semakin meningkat. Konsentrasi rata-rata Cr di sungai Ciujung pada debit andalan minimum (1.9 m3/detik) adalah 0.0150 mg/L dan pada debit andalan
90 maksimum (29.9 m3/detik) adalah 0.0154 mg/L. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan debit di sungai berpengaruh terhadap peningkatan kandungan Cr, yang mana peningkatan Cr pada musim hujan mencapai 2.34% dari musim kemarau. (2) Simulasi DTBP Logam Cr pada Debit Minimum (1.9 m3/detik) Hasil simulasi pada debit minimum nampak bahwa konsentrasi Cr meningkat tajam di Kamaruton 1 (0.0841 mg/L) pada km 16.25 dan menurun kembali di Ragas masigit 2 sampai ke hilir (Gambar 5.34). Dari hasil simulasi ini, BP dihitung untuk menetapkan DTBP dan hasilnya disajikan dalam Tabel 5.14. [Cr]
BML I
BML II
BML III
[Cr] mg/L
Q : 1.9 m3/dtk 0.0900 0.0800 0.0700 0.0600 0.0500 0.0400 0.0300 0.0200 0.0100 0.0000
Lokasi
Gambar 5. 34 Konsentrasi logam Cr pada debit minimum BP logam Cr di Sungai Ciujung pada debit minimumnya berkisar antara 0.57 kg/hari – 13.80 kg/hari. BP yang diijinkan untuk kelas I, II dan III adalah 8 kg/hari, sedangkan untuk kelas IV 164 kg/hari. Sehingga berdasarkan Tabel 5.14, dapat dilihat bahwa BP Cr di sepanjang Sungai Ciujung (27.5 km) memenuhi kriteria mutu air kelas I-III kecuali lokasi Nagara dan Kamaruton dengan DTBP rata-rata di lokasi tersebut adalah 7 kg/hari. Jika dibandingkan dengan BP yang diijinkan untuk sungai kelas IV, maka seluruh lokasi dapat memenuhi dengan DTBP rata-rata 162 kg/hari (Gambar 5.35). Secara keseluruhan, DTBP rata-rata di seluruh lokasi yang memenuhi sungai kelas I pada saat debit minimum adalah 6 kg/hari.
91 Tabel 5.14 Jarak (km) 1.75 4.25 6.00 9.25 11.25 13.75 16.25 18.25 20.00 21.75 23.25 25.00 27.25 29.00 30.75 31.75
DTBP Cr pada debit minimum Segmen
Beban Pencemaran (kg/hari)
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari) Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Nagara Cijeruk 2
8.33
-0.12
-0.12
-0.12
155.83
1.68
6.53
6.53
6.53
162.48
Cijeruk 1 Kragilan 2 Kragilan 1 Kamaruton 2 Kamaruton 1 Ragas masigit 2 Ragas masigit 1
0.57
7.64
7.64
7.64
163.59
0.86
7.35
7.35
7.35
163.30
1.14
7.07
7.07
7.07
163.02
2.03
6.18
6.18
6.18
162.13
13.80
-5.60
-5.60
-5.60
150.36
2.05
6.16
6.16
6.16
162.11
1.78
6.43
6.43
6.43
162.38
1.53
6.68
6.68
6.68
162.63
1.31
6.90
6.90
6.90
162.85
0.69
7.52
7.52
7.52
163.47
0.84
7.36
7.36
7.36
163.32
0.98
7.23
7.23
7.23
163.18
0.92
7.29
7.29
7.29
163.24
0.88
7.32
7.32
7.32
163.28
Karang jetak Pegandikan Laban Tirtayasa Tengkurak 2 Tengkurak 1 Muara
Kelas I Beban Pencemaran yang diijinkan untuk (kg/hari)
Bmbp I
8.21
Kelas II Kelas III Kelas IV
Bmbp II
8.21 8.21 164.16
Bmbp III
Bmbp IV
BP Cr
BP Cr (kg/hari)
180.00 Q : 1.9 m3/dtk 160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
Lokasi
Gambar 5.35. BP Logam Cr pada debit minimum
92 (3) Simulasi DTBP Logam Cr pada Debit Maksimum (29.9 m3/detik) Konsentrasi logam Cr sepanjang sungai yang diperoleh dari hasil simulasi pada debit maksimum disajikan pada Gambar 5.36. [Cr] mg/L
BML I
BML II
BML III
Q : 29.9 m3/dtk
0.0600 [Cr] mg/L
0.0500 0.0400 0.0300 0.0200 0.0100 0.0000
Lokasi
Gambar 5.36 Konsentrasi Logam Cr pada debit maksimum Tabel 5.17 Jarak (km)
DTBP Logam Cr pada debit maksimum Segmen
1.75
Nagara
4.25 6.00 9.25 11.25
Beban Pencemaran (kg/hari)
Daya Tampung Beban Pencemaran (kg/hari)
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
0.00
129.17
129.17
129.17
2583.36
Cijeruk 2
18.62
110.55
110.55
110.55
2564.74
Cijeruk 1
20.05
109.12
109.12
109.12
2563.31
Kragilan 2
23.07
106.10
106.10
106.10
2560.29
Kragilan 1
24.74
104.43
104.43
104.43
2558.62
13.75
Kamaruton 2
26.97
102.19
102.19
102.19
2556.39
16.25
Kamaruton 1
63.94
65.22
65.22
65.22
2519.42
18.25
Ragas masigit 2
62.25
66.92
66.92
66.92
2521.11
20.00
Ragas masigit 1
59.91
69.26
69.26
69.26
2523.45
21.75
Karang jetak
57.68
71.49
71.49
71.49
2525.68
23.25
Pegandikan
56.27
72.89
72.89
72.89
2527.09
25.00
Laban
54.82
74.35
74.35
74.35
2528.54
27.25
Tirtayasa
50.11
79.06
79.06
79.06
2533.25
29.00
Tengkurak 2
44.79
84.37
84.37
84.37
2538.57
30.75
Tengkurak 1
37.84
91.32
91.32
91.32
2545.52
31.75
Muara
33.42 Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
95.75
95.75
95.75 129.17 129.17 129.17 2,583.36
2549.94
Beban Pencemaran yang diijinkan untuk (kg/hari)
93 Hasil simulasi pada debit maksimum (29.9 m 3/detik) menunjukkan bahwa Logam Cr di semua lokasi dapat memenuhi kriteria mutu air sungai kelas I dengan konsentrasi rata-rata 0.0154 mg/L. Konsentrasi Cr hasil simulasi ini selanjutnya digunakan untuk menetapkan BP guna mengetahui DTBP Cr, (Tabel 5.17). BP Cr Sungai Ciujung pada debit maksimumnya berkisar antara 0 kg/hari – 64 kg/hari dengan BP rata-rata 40 kg/hari, sedangkan BP yang diijinkan untuk kelas I sampai III adalah 129 kg/hari dan untuk kelas IV adalah 2,583 kg/hari. Pada saat debit maksimum, seluruh lokasi memenuhi kelas I dengan DTBP rata-rata 90 kg/hari. Jika dibandingkan dengan beban pencemaran yang dijinan untuk sungai kelas IV, maka DTBP rata-rata yang dimiliki adalah 2,544 kg/hari. Hasil yang lebih jelas untuk perbedaan BP dan DTBP sepanjang sungai jika dibandingkan dengan BP yang diijinkan disajikan pada Gambar 5.37. Bmbp I
Bmbp II
Bmbp III
BP Cr
m3/dtk
Q : 29.9 0,140 0,120
BP Cr (kg/hari)
0,100 0,080 0,060 0,040
0,020 0,000
Lokasi
Gambar 5.37 BP senyawa Cr pada debit maksimum Peningkatan debit berdampak pada peningkatan kualitas air Sungai Ciujung sehingga meningkatkan DTBP. Pada saat debit minimum (1.9 m3/detik) dinaikan menjadi debit maksimum (29.9 m3/detik), lokasi sungai yang memenuhi sungai kelas I meningkat sebesar 15.45%, dari 27.5 km menjadi 31.75 km dengan peningkatan DTBP rata-rata sebesar 6 kg/hari menjadi 90 kg/hari.
Persepsi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengendalian Pencemaran (1) Karakteristik Responden di Sekitar Sungai Ciujung Sebagian besar masyarakat di sepanjang Sungai Ciujung masih memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih dalam kehidupan sehariharinya seperti mandi, mencuci pakaian maupun peralatan dapur bahkan membersihkan kendaraan dan memandikan ternaknya. Tingkat pendidikan masyarakatnya sebagian besar adalah pendidikan SLTP dan pendidikan dasar sebesar 38% dan 34%, sedangkan yang berpendidikan SLTA hanya 19% dan
94 yang tidak sekolah 8%. Sementara masyarakat yang berpendidikan tinggi hanya 1%.
Gambar 5.38 Karakteristik responden berdasarkan (a) jenis kelamin, (b) pendidikan, (c) pekerjaan, (d) pendapatan, (e) jarak rumah dari Sungai Ciujung dan (f) lama penggunaan air Sungai Ciujung Pada Gambar 5.38 nampak bahwa pekerjaan responden sebagian besar adalah pedagang/wiraswasta (42%) dan petani/nelayan (41%). Pendapatan ratarata responden per bulan di atas Rp 1,000,000 (55%) dan Rp 500,000 – Rp 1,000,000 (3.0%) sedangkan sisanya berpenghasilan kurang dari Rp 500,000. Jarak rumah responden terhadap Sungai Ciujung sebagian besar sekitar 100 meter dari Sungai Ciujung (58%) dan sekitar 50 meter dari Sungai Ciujung (24%). Responden yang menggunakan air Sungai Ciujung untuk kebutuhan seharihari sebagian besar sudah lebih dari 20 tahun (49%) dan 10 – 20 tahun (42%).
95 Sedangkan responden lainnya menggunakan air Sungai Ciujung 5-10 tahun (9%) dan kurang dari 5 tahun (1%). (2) Perilaku Masyarakat dalam Pengendalian Air Sungai Ciujung Perubahan perilaku masyarakat dalam pengendalian pencemaran sungai dapat dilakukan dengan memberikan informasi mengenai cara pengendalian pencemaran sungai yang melibatkan peran serta masyarakat. Pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Persepsi pada hakekatnya merupakan pandangan individu terhadap suatu objek atau stimulus. Persepsi yang benar terhadap lingkungannya sangat diperlukan karena persepsi merupakan dasar pembentukkan sikap dan perilaku yang akan menentukan tindakan individu selanjutnya. Menurut Sasanti (2003), Persepsi merupakan suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera. Kesan yang diterima individu sangat bergantung pada seluruh pengalaman yang telah diperoleh melalui proses berpikir dan belajar, serta dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri individu. Menurut Hartley (2006), persepsi individu terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh informasi, ketidakpastian atau ketidaklengkapan informasi dapat menyebabkan persepsi yang tidak benar. Lebih lanjut Hartley (2006) menyatakan bahwa informasi berkaitan dengan ilmu pengetahun dan teknologi, pengetahuan lokal, karakteristik daerah, tata nilai, kontek lokal dan informasi lain terkait faktor politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Interpretasi individu terhadap kualitas, pemanfaatan dan kelayakan sungai untuk peruntukan dapat mempengaruhi persepsi dan sikapnya terhadap upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air sungai. Berdasarkan hasil kuesioner dapat dilihat bahwa responden yang mengetahui pengertian air bersih sebesar 99.5% di mana pada umumnya mereka hanya menjawab tidak berwarna. Hal ini menunjukkan bahwa responden menganggap air yang tidak berwarna sudah termasuk air bersih. Hal ini tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 416/Menkes/PER/IX/1990 yang menyatakan air bersih adalah air yang jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak mengandung mineral/kuman-kuman yang membahayakan tubuh. Menurut Kusnoputranto (2000), air bersih merupakan air yang tidak menyebabkan penyakit bagi manusia. Oleh karena itu, air tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan kesehatan, sekurang-kurangnya mendekati persyaratan air yang telah ditentukan. Dengan demikian air yang tidak berwarna belum tentu memenuhi persyaratan kesehatan. Masyarakat seluruhnya telah mengetahui (100%) mengenai pemanfaatan air sungai. Pengetahuan mengenai pencemaran dan sumber pencemaran Sungai Ciujung adalah 94.5% dan 99.5%. Responden yang menjawab tahu, sebagian besar menjawab bahwa sumber pencemaran adalah dari limbah pabrik kertas. Hal ini menunjukkan bahwa responden secara umum tidak mengetahui bahwa limbah yang bersifat non point source juga dapat menyebabkan pencemaran air bersih. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 77.5% responden mengetahui waktu terjadinya pencemaran di Sungai Ciujung sehingga mereka sudah merasakan dan mengetahui dampak dari pencemarannya yang sudah berlangsung cukup lama (96%). Namun sebagian besar responden belum mengetahui cara
96 pengendalian pencemaran yang terjadi di Sungai Ciujung, responden yang mengetahui cara pengendalian sungai hanya 38%. Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat bertahan lama apabila didasari oleh pengetahuan yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan masyarakat mengenai cara pengendalian pencemaran air sungai khususnya Sungai Ciujung perlu ditingkatkan sehingga masyarakat memungkinkan untuk ikut berpartisipasi dan berperan serta dalam pengendalian pencemaran di Sungai Ciujung. Dengan demikian pencemaran di Sungai Ciujung dapat diminimalisir. (3) Persepsi Masyarakat tentang Pengendalian Pencemaran Hasil pengumpulan data melalui kuesioner menunjukkan bahwa masyarakat sekitar bantaran Sungai Ciujung pada umumnya memiliki persepsi yang tinggi terhadap pemanfaatan Sungai Ciujung dan kelayakan air Sungai Ciujung, namun persepsi masyarakat terhadap masalah kualitas air Sungai Ciujung umumnya masih tergolong sedang dan perlu ditingkatkan. Hasil analisis persepsi ditunjukkan pada Gambar 5.39. Tahu
Tidak tahu
120.00 100.00 80.00
%
60.00 40.00 20.00 0.00
Pengetahuan
Gambar 5.39 Persepsi masyarakat terhadap pencemaran air Sungai Ciujung. Gambar di atas menunjukkan bahwa persepsi masyarakat sekitar Sungai Ciujung terhadap pencemaran sudah baik dan tinggi. Tingginya persepsi responden terhadap pencemaran sungai diharapkan dapat menjadi dasar yang mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat untuk tidak mencemari sungai dan ikut berpartisipasi melakukan upaya-upaya perbaikan kualitas air Sungai Ciujung dalam rangka pengendalian pencemaran, sehingga di masa yang akan datang kualitas air Sungai Ciujung akan memenuhi standar kualitas air untuk bahan baku air minum. Persepsi masyarakat yang benar terhadap upaya pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung merupakan faktor penting karena akan menentukan peran dan partisipasi masyarakat selanjutnya. Hasil analisis data kuesioner menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat sekitar bantaran Sungai Ciujung memiliki persepsi yang tinggi terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran air Sungai Ciujung , namun hal tersebut tidak sejalan dengan kondisi
97 Sungai Ciujung yang masih tetap tercemar. Hal ini diduga akibat kurangnya kesadaran industri dalam pengelolaan limbahnya dengan baik dan benar serta kurangnya peran serta masyarakat dalam pengendalian pencemaran sungai. Hasil penelitian JICA dan KLH tahun 2007 (KLH 2008) menunjukkan bahwa 15% orang yang tinggal dalam jarak 100 m dengan tempat penampungan sampah melakukan pembuangan sampah ke sungai, sementara sebanyak 70% orang yang tinggal dengan jarak antara 100 m hingga 200 m dengan TPS melakukan pembuangan sampah ke sungai. Menurut Harihanto (2001), ada tiga faktor yang menyebabkan perilaku individu tidak sesuai dengan sikap dan tindakannya, yaitu: motivasi, pandangan mengenai perilaku panutan, dan pandangan mengenai konsekuensi dari perilaku tertentu terhadap air sungai. (4) Sikap Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 5.40 dapat dilihat bahwa 92% responden menyatakan setuju air sungai Ciujung digunakan sebagai sumber air bersih. Namun air Sungai Ciujung telah mengalami pencemaran, sehingga perlu diolah terlebih dahulu sebelum dipergunakan untuk keperluan rumah tangga. Pengolahan (purifikasi) air ini dapat dibagi dalam dua golongan yaitu, purifikasi alami dan purifikasi buatan. setuju
Tidak setuju
120 100
%
80 60 40 20 0
Sikap
Gambar 5.40 Sikap masyarakat terhadap pencemaran Sungai Ciujung Dalam purifikasi buatan ini air mengalami tiga proses secara bertahap, yaitu proses koagulasi, filtrasi dan desinfeksi. Setelah mengalami ketiga proses tadi barulah air sungai dapat dipergunakan untuk kepentingan rumah tangga. Masyarakat sebanyak 97% tidak setuju sampah dibuang ke sungai namun 94.5% setuju jika air Sungai Ciujung dimanfaatkan untuk mandi dan 93% setuju digunakan untu mencuci piring dan pakaian. Sebaliknya, masyarakat tidak setuju jika air sungai Ciujung digunakan untuk BAB sebesar 83.5%, untuk memandikan ternak 78.5% dan untuk memandikan kendaraan 92%. Hal ini menunjukkan sikap responden masih buruk sehingga menganggap mandi dan mencuci di sungai adalah hal yang wajar sedangkan untuk mencuci kendaraan dan memandikan ternak tidak wajar. Seharusnya untuk keperluan hidup manusia sehari-hari
98 termasuk mandi, air harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berdasarkan kepentingan kesehatan manusia. Dengan demikian ini menunjukkan sikap responden dalam hal pemeliharaan kebersihan sungai masih kurang. Hal ini tidak sesuai dengan sikap responden di mana seluruh responden menyatakan setuju bila kebersihan sungai harus dijaga dan sumber air bersih harus terhindar dari bahan pencemar. Sikap masyarakat dalam hal menjaga kebersihan sungai dan sungai terhindar dari pencemar cukup tinggi, di mana yang menyatakan setuju masingmasing 98.5% dan 100%. Namun responden yang setuju bahwa masyarakat ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan hanya 70.5%. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang setuju bahwa sungai Ciujung terhindar dari pencemar namun tidak setuju untuk terlibat berpartisipasi dalam hal menjaga kebersihan sebanyak 29.5%. Kurangnya keinginan masyarakat berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sungai sebagai salah satu cara pengendalian pencemaran Sungai Ciujung menunjukkan sikap yang kurang baik. Sikap yang kurang baik akan mempengaruhi tindakan yang kurang baik pula. Menurut Ajzen dalam Azwar (2005), sikap terbentuk dari adanya informasi secara formal maupun informal yang diperoleh oleh setiap individu. Berarti sikap sejalan dengan pengetahuan, apabila pengetahuan seseorang baik maka sikap juga baik. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa sikap terdiri atas beberapa tingkatan yaitu menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa sikap masyarakat yang kategori sedang dapat dikatakan masih pada tingkatan menghargai namun belum dapat bertanggung jawab sehingga memungkinkan masyarakat melakukan tindakan yang kurang baik. Sikap masyarakat yang baik belum tentu menghasilkan tindakan yang baik. Dalam penerapannya sikap terkadang tidak sejalan dengan tindakan, sehingga untuk mewujudkan sikap menjadi suatu tindakan nyata perlu ada faktor pendukung, di antaranya fasilitas ataupun dukungan dari pihak lain. (5) Tindakan Partisipasi (participation) adalah suatu tindakan mengambil bagian atau memberi sumbangan pada aktivitas atau peristiwa. Tindakan itu dapat dilakukan oleh perorangan atau oleh sejumlah orang yang terorganisasi ataupun tidak. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung adalah keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas pengendalian pencemaran. Menurut Benjathikul (1986), partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, budaya, dan faktor sosio-psikologi. Hasil analisis data kuesioner partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran ditunjukkan pada Gambar 5.41. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 5.41 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden menggunakan air sungai sebagai air bersih (93%) dan untuk MCK (89.5%) . Hal ini menunjukkan tindakan responden masih kurang baik dalam hal perilaku hidup bersih dan sehat di mana masih menggunakan air sungai untuk kebersihan dirinya. Masyarakat terpaksa menggunakan air sungai untuk keperluan rumah tangga dan kebersihan dirinya karena tidak memiliki sumber air bersih selain air Sungai Ciujung. Dari hasil wawancara dengan
99 masyarakat sekitar Sungai Ciujung yang 90.5% di antaranya telah menggunakan sungai Ciujung lebih dari 10 tahun, seluruhnya menyatakan bahwa sebelum ada industri kertas, kondisi sungai bersih dan masih layak untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Namun sejak ada dua industri kertas yang cukup besar dengan debit buangan 41,600 m3/hari ke Sungai Ciujung secara terus menerus dan telah berlangsung cukup lama membuat kualitas sungai menurun dan tercemar. Bantuan berupa air bersih yang diberikan pihak perusahaan tidak pernah mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain tetap memanfaatkan air sungai Ciujung meskipun sudah dalam kondisi tercemar. Ya
Tidak
120 100
%
80 60 40 20 0
Tindakan
Gambar 5.41 Tindakan masyarakat terhadap pengendalian pencemaran Sungai Ciujung Responden menyatakan tidak melakukan buang sampah ke sungai (99%) dan tidak memandikan ternak (80%) atau mencuci kendaraanya di Sungai Ciujung (92%). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kesadaran untuk memelihara kebersihan sungai. Masyarakat sekitar Sungai Ciujung 80% tidak memanfaatkan air Sungai Ciujung untuk perikanan, namun 54% masyarakat memanfaatkannya untuk pertanian dan peternakan. Hasil wawancara dengan masyarakat, sejak terjadi pencemaran di Sungai Ciujung, tidak ada perusahaan tambak yang beroperasi. Saat ini hanya beberapa rumah tangga petambak yang berasal dari masyarakat biasa saja yang masih bertahan menjalankan usahanya meskipun dengan hasil panen yang rendah baik secara kualitas maupun kuantitas. Masyarakat yang memanfaatkan air sungai untuk industri hanya 15% sedangkan yang ikut berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sungai sebanyak 94.5%. Bentuk partisipasi yang umumnya mereka lakukan adalah dengan tidak membuang sampah ke sungai. Masyarakat yang memanfaatkan air sungai sebagai pendapatan sehari-hari sebanyak 37%. Menurut Notoatmodjo (2003), suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavioral). Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
100 memungkinkan yaitu berupa fasilitas. Di samping itu ada faktor dukungan (support) dari pihak lain di dalam praktek atau tindakan. Dalam hal ini pengetahuan dan sikap responden tentang penggunaan air sungai Ciujung masih kurang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa persepsi yang benar tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran air tidak selalu diikuti tindakan nyata dalam pengendalian Faktor pendukung seperti penghasilan keluarga, pendidikan responden merupakan faktor pendukung yang memungkinkan responden masih menggunakan air sungai Ciujung dalam keperluan sehari-hari. Hal tersebut sesuai hasil penelitian Pimon (2004) yang menyatakan bahwa selain adanya persepsi yang benar, partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh faktor gender, pengetahuan, tingkat pendapatan, status sosial dan pesan persepsi (message perception), namun tidak berkaitan dengan usia, pekerjaan, dan lama tinggal dalam komunitas. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil penelitian Mulyanto (2003), yang menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengendalian pencemaran berbeda-beda sesuai situasi setempat (sosial, ekonomi, kultural). Aspek ekonomi mempunyai pengaruh kecil terhadap partisipasi masyarakat, namun kondisi sosial dan budaya masyarakat berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengendalian pencemaran, terutama menyangkut penanggulangan limbah domestik. (6) Dampak Air Sungai Ciujung Terhadap Kesehatan Masyarakat Tabel 5.18 Distribusi responden berdasarkan keluhan kesehatan kulit setelah menggunakan air sungai Ciujung No
Keluhan Kesehatan Kulit
Frekuensi
Persentase (%)
1
Responden yg mengalami keluhan kesehatan kulit a. ada b. Tidak ada Jumlah Responden yang memiliki anggota keluarga yang mengalami keluhan kesehatan kulit
179 21 200
89.50 10.50 100.00
a. Ada b. Tidak ada
178 22
89.00 11.00
Jumlah Jumlah anggota keluarga responden yang mengalami keluhan kesehatan kulit
200
100.00
a. ≤ 4 orang
35
19.66
b. ≥ 4 orang
143
80.34
178
100.00
2
3
Jumlah
Berdasarkan hasil penelitian pada masyarakat sepanjang Sungai Ciujung diperoleh bahwa dari 200 responden yang menggunakan air sungai terdapat 179 responden yang mengalami keluhan kesehatan kulit (89.5%) dan yang tidak ada keluhan sebanyak 21 orang (10.5%). Responden yang memiliki anggota keluarga yang mengalami keluhan sakit kulit sebanyak 178 orang (89%) dan yang tidak sebanyak 22 orang (11%). Responden yang memiliki jumlah anggota keluarga ≤
101 4 orang yang mengalami keluhan kesehatan kulit, yaitu sebanyak 35 orang (19.66%) dan > 4 orang sebanyak 143 orang (80.34%). Keluhan kesehatan kulit yang dirasakan oleh responden dan anggota keluarga umumnya adalah gatal-gatal (90%), bintik-bintik merah (89.5%), nyeri (80.5%), panas/hangat (77.5%) dan kulit bersisik (90.5%), sedangkan yang mengalami diare sebanyak 84%.
Strategi Pengendalian Pencemaran Sungai Ciujung Strategi pengendalian pencemaran air merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan terjadinya pencemaran air serta pemulihan kualitas air sesuai kondisi alaminya sehingga kualitas air sungai terjaga sesuai dengan peruntukkannya. Strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung dirumuskan berdasarkan hasil Analitycal Hierarchy Process (AHP). Alternatif kegiatan, tujuan pengendalian, aktor (stakeholders) yang berperan, dan kriteria dalam rangka menentukan strategi pengendalian pencemaran di Sungai Ciujung dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam dengan pakar (expert judgement) dan pengisian kuesioner untuk menjaring berbagai informasi tentang alternatif, tujuan, stakeholders dan kriteria terkait strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Analisis AHP dalam strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung ditetapkan menjadi 5 (lima) level. Level pertama adalah goal atau fokus kegiatan, yaitu pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Level kedua adalah kriteria, level ketiga adalah aktor atau pelaku yang berperan dalam pengendalian pencemaran, level keempat adalah tujuan pengendalian pencemaran dan level kelima adalah alternatif strategi pengendalian pencemaran. Skala prioritas disusun berdasarkan pada bobot (eigen value) yang dihasilkan pada matriks perbandingan, di mana bobot yang lebih tinggi diletakkan sebagai faktor utama, sedangkan semakin kecil bobot akan semakin rendah dalam prioritas penentuan strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber yang berasal dari Perguruan Tinggi, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Serang, Dinas Pemukiman dan Sumber Daya Air Propinsi Banten, LSM Lingkungan dan Masyarakat Forum Komunikasi DAS Ciujung serta industri. Berdasarkan hasil wawancara, alternatif strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung yang berhasil diidentifkasi adalah: (1) Penerapan pajak limbah industri (A-1) (2) Pemantauan kualitas air limbah dan air sungai (A-2) (3) pengetatan perijinan dan kuota pembuangan limbah (A-3) (4) penetapan kelas sungai dan daya tampung beban pencemaran (DTBP) (A-4) (5) Relokasi industri (A-5) Kriteria yang digunakan untuk menentukan strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung adalah: (1) Efektivitas (K-1), (2) Efisiensi (K-2), Keberlanjutan (K-3), Kemudahan manajemen (K-4), Partisipasi masyarakat (K-5) dan Keadilan (K-6). Sedangkan penentuan stakeholder yang berperan dalam pengendalian pencemaran adalah: Pemerintah (S-1), Industri (S-2), Masyarakat
102 (S-3), LSM (S-4) dan Perguruan Tinggi (S-5). Adapun tujuan dalam pengendalian pencemaran Sungai Ciujung antara lain: Mereduksi beban pencemaran (T-1), Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (T-2), dan Menjaga kualitas air sungai (T-3). Seluruh hirarki yang terkait dalam pengendalian pencemaran Sungai Ciujung tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut. Level 1 Fokus
Pengendalian Pencemaran Sungai Ciujung
Level 2 Kriteria
Efektivitas
Level 3 Aktor
Pemerintah
Level 4 Tujuan
Level 5 Alternatif
Efisiensi
Keberlanjutan
Industri
Mereduksi Beban Pencemaran
Penerapan pajak limbah industri
Gambar 5.42
Pemantauan Kualitas Air
Kemudahan Manajemen
Masyarakat
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Pengetatan Perijinan dan Kuota Limbah
Partisipasi Masyarakat
LSM
Keadilan
Perguruan Tinggi
Menjaga Kualitas Air Sungai
Penetapan Kelas Sungai dan DTBP
Relokasi Industri
Struktur proses hirarki analitik (AHP) dalam pengendalian pencemaran Sungai Ciujung
Proses hirarki analitik ini digunakan dalam mengevaluasi semua hal yang terkait dengan proses penentuan prioritas alternatif strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Proses ini juga digunakan untuk melihat dinamika berbagai hal yang terkait dengan pencapaian fokus pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Penentuan dinamika ini dilakukan menggunakan preferensi berbagai pakar yang memahami dinamika pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Preferensi dari masing-masing pakar diuji konsistensinya dan dianggap memadai jika rasio konsistensinya (consistency ratio) memiliki indeks konsistensi (consistency index, CI) kurang dari 0.1. Hasil AHP menunjukan penilaian gabungan seluruh elemen pada setiap level yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR) rata-rata 0.063, sehingga memenuhi batas CR maksimum yang diperbolehkan sebesar 0.1. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut. Kontribusi tiap level hirarki dalam AHP pengendalian pencemaran Sungai Ciujung menjelaskan besarnya pengaruh dari setiap elemen dalam sebuah level hirarki terhadap setiap elemen lainnya dalam level hirarki yang berbeda.
103
Gambar 5.43 Kontribusi level kriteria terhadap level fokus pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Hasil analisis AHP (Gambar 5.43) menggunakan aplikasi program Criterium decision Plus (CDP), menunjukkan bahwa kriteria keberlanjutan (eigen value 0.298) menjadi kriteria yang paling prioritas dalam rangka menentukan strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung, kemudian diikuti oleh kriteria efektivitas (eigen value 0.160), partisipasi masyarakat (eigen value 0.159), efisiensi (eigen value 0.158), keadilan (eigen value 0.115), dan terakhir kemudahan manajemen (eigen value 0.111). Urutan kriteria disusun berdasarkan pada bobot prioritas yang dihasilkan pada matriks perbandingan, di mana bobot yang lebih tinggi diletakkan sebagai kriteria utama, sedangkan semakin kecil bobot akan semakin rendah kriterianya dalam penentuan strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Hasil analisis matriks perbandingan berpasangan untuk penentuan stakeholder yang paling berperan dalam pencapaian fokus dari level aktor adalah industri (eigen value 0.314), kemudian diikuti oleh pemerintah (eigen value 0.298), masyarakat (eigen value 0.238), perguruan tinggi (eigen value 0.076), dan LSM (eigen value 0.074) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.44 berikut.
Gambar 5.44
Kontribusi level aktor terhadap level fokus pengendalian pencemaran Sungai Ciujung.
104 Kontribusi elemen dalam level tujuan terhadap level fokus (Gambar 5.45) menunjukkan bahwa kontribusi terbesar yang berpengaruh terhadap penentuan setiap elemen pada pencapaian fokus dari level hirarki tujuan adalah mereduksi beban pencemaran (eigen value 0.496), kemudian diikuti dengan menjaga kualitas air sungai (eigen value 0.304), dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (eigen value 0.201).
Gambar 5.45 Kontribusi level tujuan terhadap level fokus pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Selain bobot di setiap level, diperoleh juga agregat yang dapat menggambarkan bobot kepentingan tiap elemen dalam setiap level hirarki. Agregat bobot ini menunjukan skala kepentingan tiap elemen dalam tiap level hirarkinya secara sistemik terkait keseluruhan struktur AHP yang telah dibangun. Hasil pembobotan struktur AHP ini dapat dilihat pada Gambar 5.46. Fokus
Gambar 5.46
Kriteria
Aktor
Tujuan
Agregat pembobotan dalam struktur AHP pencemaran Sungai Ciujung
Alternatif
pengendalian
Hasil analisis AHP menggunakan aplikasi program Criterium Decision Plus (CDP), menunjukkan kriteria yang paling penting dalam menentukan strategi
105 pengendalian pencemaran Sungai Ciujung adalah keberlanjutan (eigen value 0.298), efektivitas (eigen value 0.160) dan partisipasi masyarakat (eigen value 0.159). Hal ini menunjukkan bahwa segala upaya dan kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran harus mendukung kepada keberlanjutan sehingga fungsi sungai akan kembali sesuai peruntukannya tanpa mengabaikan ekositem yang ada. Menurut Arifin (2007), berkelanjutan secara ekonologi mengandung arti bahwa kegiatan pembangunan harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi SDA termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) serta penggunaan teknologi ramah lingkungan. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2003). Pengendalian pencemaran merupakan upaya perlindungan terhadap lingkungan. Dalam melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan UU no 32/2009, masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berupa pengawasan sosial, pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau serta penyampaian informasi dan/atau laporan. Masih adanya persepsi masyarakat yang menganggap sungai dan bantaran sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah cair maupun limbah padat akan meningkatkan beban pencemaran ke Sungai Ciujung. Kondisi ini dapat terjadi karena kurang dilibatkannya masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran dan pengawasan pengelolaan Sungai Cujung. Pendekatan penyelesaian masalah pencemaran Sungai Ciujung yang hanya menggunakan pendekatan teknis dan penegakan hukum serta mengabaikan peran masyarakat yang seringkali aktif berinteraksi dengan sumber pencemar menjadi tidak efektif. Faktor partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam mengembalikan kualitas air Sungai Ciujung (Suwari 2010). Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dapat dilakukan dengan sering dilakukannya sosialisasi dan penyuluhan masalah pencemaran lingkungan kepada masyarakat sehingga memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup merupakan langkah pelestarian lingkungan yang perlu dilaksanakan oleh semua pihak, dan partisipasi masyarakat ikut memberi peran dalam meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Kegiatan ini bisa dilakukan sejalan dengan kegiatan lain yang sudah berjalan di masyarakat. Untuk meningkatkan partisipasi serta mendinamisasikan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup diperlukan komunikator yang mampu menyampaikan informasi dan dorongan motivasi tentang pengertian pentingnya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Komunikator yang selama ini masih diperankan oleh pihak pemerintah harus mulai dialihkan kepada masyarakat setempat (lurah, ketua RT/RW, tokoh masyarakat/pemuda) yang dapat dijadikan sebagai local exspert. Selain itu, penyampaian pesan lingkungan kepada masyarakat akan lebih optimal jika disampaikan oleh kelompoknya dan pesan masalah lingkungan harus ditentukan berdasarkan kepada hal yang masih memerlukan perubahan sikap dan
106 prilaku. Sehingga komunikasi lingkungan hidup diharapkan dapat mengubah sikap dan prilaku negatif menjadi positif selain menambah tingkat pengetahuan (Mulyanto 2003). Peran masyarakat dilakukan untuk (1) meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (2) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan, (3) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat, (4) menumbuhkembangkan ketanggap segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial, dan (5) mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Aktor yang paling berperan dalam keberhasilan pengendalian pencemaran di Sungai Ciujung adalah industri (eigen value 0.314) dan pemerintah (eigen value 0.298). Industri yang berada di Kabupaten Serang berjumlah 483 industri, di mana terdapat 14 industri yang membuang limbah cairnya melalui Sungai Cikambuy (anak Sungai Ciujung), dan yang membuang langsung limbahnya ke Sungai Ciujung ada 3 industri, yaitu 2 industri kertas dan 1 industri bahan kimia untuk kertas (BLH 2012). Industri-industri ini mengambil peran yang cukup berarti dalam menambah tumpukan persoalan terjadinya pencemaran di Sungai Ciujung terutama pada musim kemarau dan saat debit Sungai Ciujung kritis. Hal ini terjadi, akibat masih adanya beberapa industri yang menjalankan usahanya tanpa memiliki sarana instalasi pengolah limbah (IPAL), dan masih rendahnya tingkat kesadaran para pelaku usaha dalam mengelola limbah cairnya. Oleh karena itu untuk membantu meningkatkan daya dukung Sungai Ciujung sebagai Sungai kelas II, peran industri adalah yang paling utama. Kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah daerah Kabupaten Serang dalam rangka pengendalian pencemaran Sungai Ciujung adalah dengan mengeluarkan SK Bupati yang mewajibkan seluruh industri yang berada di Kawasan Industri Modern Cikande dan bantaran Sungai Ciujung untuk membuat lagoon sebagai tempat penampungan air limbah pada saat debit Sungai Ciujung kritis dan larangan membuang limbah cairnya ke Sungai Cikambuy dan Ciujung selama debit kritis tersebut. Industri yang sudah menunjukkan ketaatan terhadap kebijakan tersebut hanya terbatas kepada beberapa industri yang menghasilkan limbah cairnya dalam volume yang rendah. Sementara 2 (dua) industri kertas yang menghasilkan limbah cairnya dengan total lebih dari 40,600 m3/hari dan yang diduga sebagai perusahaan yang paling berkontribusi terjadinya peningkatan pencemaran di Sungai Ciujung belum menunjukkan komitmen untuk mentaati kebijakan tersebut sehingga pencemaran di Sungai Ciujung terus berlangsung dan akibatnya salah satu industri kertas telah mendapatkan sanksi berupa audit lingkungan wajib dari KLH. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran industri masih rendah dalam pengelolaan limbahnya sehingga berdampak pada pencemaran Sungai Ciujung, sehingga pihak pemerintah sebagai legulator harus ketat dalam pengawasan dan lebih tegas dalam menegakan peraturan. Mereduksi beban pencemaran (eigen value 0.496) adalah menjadi tujuan paling utama yang ingin dicapai dalam rangka menentukan strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap sampel air Sungai Ciujung yang menunjukkan bahwa kualitasnya tidak dapat memenuhi kriteria mutu air sungai kelas II, bahkan telah melampaui kelas IV.
107 Begitupun dengan hasil analisis terhadap kualitas effluent limbah cair sebagian besar menunjukkan tidak memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan dalam KepMen LH Nomor 51/1995. Rendahnya kualitas air Sungai Ciujung diakibatkan tingginya beban pencemaran yang masuk ke sungai dari aktivitas industri (Point Source) di samping aktivitas pertanian, domestik dan peternakan (Non Point Source) sehingga harus ada upaya untuk mereduksi beban pencemaran tersebut. Beberapa upaya yang direkomendasikan untuk dilakukan oleh industri dalam rangka mengendalikan pencemaran di Sungai Ciujung adalah (1) memanfaatkan kembali air limbahnya sehingga dapat mengefisienkan penggunaan air sekaligus mengurangi masalah pencemaran, (2) membangun kolam penampungan limbah cair sebagai emergency wastewater pond/emergency plan untuk keadaan darurat dengan kapasitas minimal sesuai debit buangan limbah cair terolah aktual maksimum ke Sungai Ciujung dan masa tinggal disesuaikan ketika debit Sungai Ciujung 0 , (3) melengkapi SOP dengan rencana tindakan darurat terhadap kejadian pencemaran air serta melengkapi dengan prasarana keadaan darurat yang memadai untuk menyimpan air limbah yang dihasilkan, dan (4) Peningkatan kinerja IPAL untuk menurunkan beban limbah cair pada musim kemarau (debit sungai 0 – 10 m3/detik). Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan komitmen yang tinggi dari para pelaku usaha di samping perangkat manajemen, sumber daya manusia yang memadai dan dukungan pembiayaan perawatan IPAL (Wibowo 2012). Terdapatnya senyawa AOX dalam sampel effluent limbah cair industri kertas dan tingginya kandungan senyawa AOX dalam sampel air sungai, menuntut upaya peningkatan kinerja IPAL harus didasarkan kepada upaya penurunan kandungan senyawa ini di samping menurunkan nilai parameter BOD dan COD. Hal ini harus dilakukan karena menurut Savant (2006), sejumlah proses pengolahan limbah yang efektif mereduksi COD dan BOD menunjukkan tidak mampu secara efektif mengurangi AOX dari air limbah. Tetapi proses gabungan antara proses kimia dan biologi serta dengan kondisi anaerobik secara efisien dapat mereduksi AOX. Upaya penurunan konsentrasi senyawa AOX ini harus dilakukan karena senyawa ini berdampak negatif terhadap lingkungan akibat sulit terdegradasi oleh bakteri dan beberapa senyawa ini diduga sebagai penyebab kanker dan kerusakan hati. Selain itu, senyawa ini dikhawatirkan terbioakumulasi dalam ikan dan dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia jika mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi dalam jumlah besar (UNEP 2008, US EPA 1997) Hasil analisis berdasarkan matriks perbandingan berpasangan antar elemen level lima (alternatif) dengan memperhatikan keterkaitannya dengan level empat (tujuan) diperoleh hasil penilaian (skor) tingkat kepentingan antar masing-masing alternatif dalam pengendalian pencemaran Sungai Ciujung berdasarkan prioritas masing-masing tujuan yang telah ditetapkan. Prioritas alternatif strategi pengendalian pencemaran Sungai Ciujung berdasarkan level tujuan yang mempunyai bobot tertinggi adalah pengetatan perijinan dan kuota limbah (eigen value 0.309), diikuti dengan pemantauan kualitas air (eigen value 0.228), penetapan kelas air dan daya tampung beban pencemaran (eigen value 0.195), penerapan pajak limbah (eigen value 0.141) dan relokasi industri (eigen value 0.127) seperti ditunjukkan pada Gambar 5.47.
108 Penerapan pajak limbah
0.141
Pemantauan kualitas air
0.228
Pengetatan perijinan & kuota
0.309
Penetapan kelas air & DT
0.195
Relokasi industri
0.127
Gambar 5. 47 Prioritas alternatif strategi pengendalian pencemaran Alternatif upaya yang paling utama dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah daerah Kabupaten Serang berdasarkan hasil analisis AHP untuk mereduksi beban pencemaran adalah dengan memperketat ijin pembuangan limbah cair dan memperketat kuota limbah yang boleh di buang ke sungai setelah memenuhi baku mutu limbah cair. Tujuan pengetatan perijinan pembuangan limbah adalah sebagai upaya pencegahan pencemaran dari sumber pencemar, upaya penanggulangan dan atau pemulihan mutu air pada sumber air serta untuk mewujudkan kelestarian fungsi air agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai peruntukannya. Setiap industri yang mengajukan ijin pembuangan limbah cair ke Kabupaten melalui BLH harus diseleksi ketat dan memenuhi persyaratan sesuai PP No 82/2001 dan KepMen No 51/1995 dengan melaporkan desain IPAL, debit limbah, peta lokasi pembuangan dan area pembuangan limbah (Suwari 2010). Dalam ijin pembuangan limbah yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk industri, harus didasarkan kepada kondisi Sungai Ciujung, dimana pada saat kondisi debit Sungai Ciujung normal (50 m3/detik), industri boleh membuang limbah cairnya yang telah memenuhi baku mutu sesuai ijin, tetapi pada saat kondisi debit sungai kritis maka kualitas dan kuantitas limbah industri yang dibuang ke sungai harus menyesuaikan dengan kualitas air sungai saat itu.
Pemodelan Dinamis Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahap awal untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku/stakeholders. Bila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak akan menjalankan fungsi secara optimal sehingga mengakibatkan kinerja sistem terganggu dan sebaliknya (Hartrisari 2007). Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang terhadap jalannya sistem (Marimin 2007). Analisis kebutuhan sistem pengendalian pencemaran Sungai Ciujung melibatkan beberapa stakeholder yang terlibat dalam sistem tersebut. Stakeholder yang terlibat dalam sistem pengendalian pencemaran Sungai Ciujung serta kebutuhan masing-masing stakeholders dapat dilihat pada Tabel 5.19.
109
Tabel 5.19 Analisis Kebutuhan pada sistem pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung No
1
Stakeholder
Pemerintah
2
Industri
3
Petani
4
Pengusaha Tambak
5
Masyarakat
6
LSM
-
Kebutuhan Peningkatan pendapatan daerah Kabupaten serang Retribusi tinggi Iklim investasi baik Lingkungan terjaga Kesadaran dan ketaatan terhadap pengelolaan lingkungan dari pelaku kegiatan usaha tinggi Kualitas air Sungai Ciujung baik Iklim usaha baik Biaya retribusi rendah Birokrasi mudah Keuntungan lebih tinggi Kualitas air Sungai Ciujung baik Hasil panen tinggi Kualitas hasil panen baik Pendapatan meningkat Kualitas air Sungai Ciujung baik Kualitas air Sungai Ciujung baik Kualitas Ikan baik Hasil Panen meningkat Pendapatan meningkat Kualitas air meningkat Kesehatan meningkat Kesempatan kerja lebih banyak Pendapatan meningkat Penerapan CSR Kualitas air sungai meningkat Sosial ekonomi masyarakat tidak terganggu
Formulasi Masalah Terjadinya konflik kepentingan antar stakeholders merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan analisis kebutuhan dan adanya perbedaan kepentingan antar pelaku dalam sistem pengendalian pencemaran Sungai Ciujung, permasalahan yang sering muncul dalam upaya pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung adalah: - Belum ada koordinasi antar sektor dan masih lemahnya penegakan hukum - Kurangnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelestarian sumber daya air sungai - Belum ada data parameter senyawa AOX - Belum ditetapkannya kelas dan daya tampung beban pencemaran Sungai Ciujung - Belum ada proyeksi resiko dampak pencemaran air Sungai Ciujung terhadap kesehatan - Belum tersedia strategi pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung - Mendesaknya kebutuhan masyarakat terhadap air bersih sering memicu konflik antar masyarakat dengan industri
110
Identifikasi Sistem Diagram lingkar sebab akibat adalah pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab akibat (causal relationship) ke dalam bahasa gambar tertentu. Bahasa gambar tersebut dibuat dalam bentuk garis panah yang saling mengkait, sehingga membentuk sebuah diagram sebab akibat. Pangkal panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat. Hubungan digambarkan dengan tanda positif (+) atau negatif (-). Sungai Ciujung sebagai salah satu sumber daya air yang vital bagi wilayah Kabupaten Serang, memiliki interaksi sistem sosial, ekonomi, dan ekologi. Ketiga sistem dan interaksinya tersebut disimplifikasi menjadi Model Pengendalian Pencemaran Sungai Ciujung (MPPSC) yang mencakup sub-model sosial, sub-model ekologi, dan sub-model nilai ekonomi. Guna memahami sistem tersebut dilakukan simplifikasi awal melalui diagram lingkar sebab-akibat (causal loop), seperti disajikan pada Gambar 5.48. (+) (+)
Regulasi
Biaya pengelolaan
(+) pengendalian
(-)
(+) Jumlah Penduduk
(+)
(+)
Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat
(+)
(-) (-) (-)
Limbah Pertanian
Limbah Industri
Limbah Ternak
Limbah Pemukiman
(+)
(+)
(+)
(+)
(+) (+)
Kualitas Air Sungai
Beban Pencemaran (-)
(+)
DTBP
Debit Air Sungai
(-) (+)
(+)
Gambar 5.48 Causal loop MPPSC. Causal loop pada gambar di atas menunjukkan bahwa limbah pemukiman, limbah pertanian, limbah ternak dan limbah dari industri mempengaruhi beban pencemaran di Sungai Ciujung. Peningkatan beban pencemaran limbah pemukiman sangat dipengaruhi oleh peningkatan volume limbah yang besarnya sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang beraktivitas dan tinggal di sekitar Sungai Ciujung. Sementara itu, beban pencemaran akibat limbah pertanian dipengaruhi oleh luas lahan pertanian di sepanjang Sungai Ciujung, dan untuk beban pencemaran limbah industri dipengaruhi oleh debit limbah dari setiap industri yang membuang limbahnya ke badan Sungai Ciujung baik langsung maupun tidak langsung. Secara keseluruhan total potensi beban pencemaran Sungai Ciujung akan sangat mempengaruhi kemampuan Sungai Ciujung
111 mereduksi beban pencemaran akibat pembuangan limbah pemukiman, industri, pertanian dan peternakan sehingga kualitas air sungai dan daya tampung beban pencemaran menurun. Menurunnya kualitas air sungai akan mengganggu kesehatan masyarakat, untuk mengatasi hal ini perlu adanya pengendalian beban pencemaran pada sumber pencemar Sungai Ciujung. Regulasi berupa biaya pengelolaan diterapkan guna perbaikan kualitas air sungai sehingga pencemaran Sungai Ciujung dapat dikendalikan. Oleh karena itu, dalam melakukan analisis sistem pengendalian pencemaran membutuhkan beberapa informasi yang dapat digolongkan menjadi beberapa variabel, yaitu variabel input, variabel output dan parameter yang membatasi susunan sistem. Di samping itu, hubungan antara input (masukan) dan output (keluaran) dalam suatu sistem digambarkan dalam sebuah diagram input output (masukan-keluaran) seperti disajikan pada Gambar 5.49.
Input Lingkungan UU RI No. 32 Tahun 2009 UU RI No. 19 Tahun 2009 PP No. 82 Tahun 2001 KepMen LH No 51/1995 Perda Kab Serang No 8 Tahun 2012
Input Tidak Terkontrol 1. Iklim 2. Debit Air 3. Limbah non point
Output Diinginkan 1. Kualiatas air sungai meningkat 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat 3.
Model Pengendalian Pencemaran di Sungai Ciujung
Input Terkontrol 1. Jumlah industri 2. Potensi Beban Pencemaran
Parameter Kinerja : Baku Mutu Air
Output Tidak Diinginkan 1. Menurunnya investor 2. Terjadinya konflik 3. Kualitas air menurun 4. Penurunan kesehatan masyarakat
Feed back Manajemen pengendalian pencemaran sungai ciujung
Gambar 5.49 Diagram input-output sistem pengendalian pencemaran di Sungai Ciujung
112 Variabel input model terdiri atas input lingkungan (input tidak langsung) serta input terkendali dan tak terkendali (input langsung). Input lingkungan merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi sistem secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan. Input ini berada di luar batasan sistem sehingga sering disebut sebagai input lingkungan (Mandra 2012). Input lingkungan pada model pengendalian pencemaran Sungai Ciujung adalah kebijakan pemerintah yang akan mempengaruhi kinerja sistem walaupun tidak secara langsung. Kebijakan pemerintah yang dimaksud antara lain UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran air dan pengelolaan kualitas air dan Perda No. 8 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Input terkendali dan input tak terkendali merupakan input langsung yang mempengaruhi kinerja sistem secara langsung. Input terkontrol (controlled input) adalah input yang secara langsung mempengaruhi kinerja sistem dan bersifat dapat dikendalikan, sedangkan input tak terkontrol (uncontrolled input) merupakan input yang diperlukan agar sistem dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dikendalikan. Jumlah industri merupakan input terkendali karena pemerintah dapat membuat kebijakan untuk mengendalikan jumlah industri begitu pula dengan potensi beban pencemaran dari sumbernya. Iklim dan debit air sungai merupakan input yang tidak dapat dikendalikan, namun berpengaruh bagi pencapaian tujuan sistem. Menurunnya investor merupakan output yang tidak diinginkan karena akan menurunkan pendapatan masyarakat dan pemerintah daerah. Begitu pula dengan menurunnya kualitas air sungai yang akan berdampak pada menurunnya kesehatan masyarakat dan meningkatkan konflik adalah output yang tidak diinginkan. Sehingga memerlukan tindak lanjut melalui umpan balik manajemen pengendalian pencemaran Sungai Ciujung supaya menghasilkan output yang diinginkan, karena menurut Hartrisari (2007), pengendalian merupakan proses pengaturan terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan output yang dikehendaki
Model Pengendalian Pencemaran Sungai Ciujung (MPPSC) Model pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung disusun oleh beberapa sub-sub model, yaitu sub-model sosial, sub-model ekologi, dan submodel ekonomi. Ketiga sub-model tersebut kemudian diintegrasikan menjadi satu model pengendalian pencemaran air Sungai Ciujung. Seluruh sub-model tersebut ditransformasi menjadi stock flow diagram (SFD) sebagai penjabaran causal loop. Prilaku sub-model dijabarkan dalam aliran energi dan informasi dalam SFD dengan pendekatan matematis. Penyusunan SFD dan pendekatan matematisnya dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Powersim Studio 2005E. SFD secara keseluruhan disajikan dalam Gambar 5.50.
113 MPPSC diwakili oleh lokasi Kamaruton 1. Lokasi ini diasumsikan dapat menggambarkan kondisi Sungai Ciujung karena terdapat aktivitas pemukiman, pertanian dan industri. Beban pencemaran yang masuk ke Sungai Ciujung diestimasi dari seluruh aktivitas yang berada di sepanjang bantaran sungai dengan jarak 500 m dari Sungai Ciujung sepanjang 31.75 km mulai dari lokasi Nagara sampai ke Muara. Secara umum, banyaknya penduduk dan ternak yang terdapat pada pemukiman penduduk akan memberikan beban limbah terhadap badan Sungai Ciujung. Sumber pencemar lainnya adalah dari aktivitas pertanian dan industri yang ada di sepanjang Sungai Ciujung. Berbagai beban pencemar yang dimodelkan dari berbagai aktivitas tersebut adalah parameter BOD, COD, Cr, dan senyawa AOX. Setiap beban pencemar tersebut akan masuk ke badan sungai dan menjadi pencemar yang tercampur dengan air sungai. Besarnya beban pencemar di badan sungai dan debit air sungai akan menentukan kualitas air sungai dan daya tampung beban pencemaran. Selain itu, khusus untuk senyawa AOX yang diprediksi bisa masuk ke dalam ikan dan tubuh manusia ditetapkan, dan hasilnya dibandingkan dengan TDI (Tolerable Daily Intake) yang bisa diterima dalam tubuh manusia. Prediksi besarnya kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia dapat menggambarkan dampak pencemar terhadap kesehatan penduduk yang berinteraksi dengan Sungai Ciujung. Pengendalian pencemaran yang terjadi di Sungai Ciujung perlu dilakukan dengan mengurangi beban pencemar yang berpotensi masuk ke badan air sungai. Pengendalian yang dilakukan di daerah industri dan pemukiman bisa dilakukan dengan membangun IPAL (instalasi pengolah air limbah) yang disesuaikan dengan kapasitas limbahnya. Besarnya limbah yang harus diolah dan biaya pembangunan IPAL bisa menunjukkan besarnya nilai ekonomi dalam pengendalian pencemaran.
114 Sub-Model Ekologi
Peternakan
BP BOD Bebek
FEmigrasi Pddk
Batas AME
LEmigrasi
Pemukiman
Industri
BP BOD Sapi
BP COD Industri _stock
F_Pert JmlSapiWil
Jumlah Bebek Wilayah_stock
BP BOD Peternakan Jumlah Sapi Wilayah_stock
LPert Pddk
COD Industri-NT
114
Sub-Model Sosial_Penduduk
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
COD-TLA Industri
BP BOD Kerbau BP COD Industri
Jumlah Penduduk_stock LMati Pddk
FLahir Pddk
Jumlah Penduduk
AME Penduduk
BP BOD Pemukiman _stock
FMati Pddk
FImigrasi Pddk
Jumlah Bebek
FPert Pemukiman
Sub-Model Sosial_Dampak Pencemaran Senyawa AOX
BCF TCDD
BP COD Bebek
L_BP COD Pemukiman
Tingkat Konsumsi
Kelebihan TCDF Manusia
BCF TCDF PCP Manusia
F_Pert BP COD pemukiman
BP COD Ayam
Kelebihan PCP Manusia
BCF PCP
BCF CHCl3
Sub-Model Ekonomi
CH3Cl Ikan
Harga Pengelolaan Air Limbah Pemukiman
Debit limbah pemukiman _stock Debit limbah pemukiman_e
F_Luas Kebun
F_Pert JmlAyamWil
BP BOD Ayam Emisi BOD Ayam
F_Pert JmlKambingWil
Debit Ciujung
BP BOD Kebun
Faktor Musim Kemarau
Faktor Limbah Sawah
Debit Limbah Sawah
Batas AME
COD Sungai Aktual
Debit Limbah Pertanian
DT AOX Kelas 1
BP AOX total Sungai
BM AOX Kelas 2
Debit Ciujung
DT AOX Kelas 2
BM AOX Kelas 3
BP COD total sungai BMBP COD Kelas 2
BM BOD Kelas 3
Luas Sawah_stock
BM Cr Kelas 2
BMBP AOX Kelas 2
BMBP COD Kelas 1
BP BOD Peternakan
BP Cr Sungai BP Cr Industri Eksisting
DT Cr Kelas 2
Debit Limbah Pemukiman
DT BOD Kelas 4
Debit Ciujung BM Cr Kelas1
DT COD Kelas 1
BMBP BOD Kelas 3
Debit Ciujung
Faktor Musim Hujan
BMBP Cr Kelas 1
COD Sungai
Potensi BP COD Total
BOD Sungai
DT Cr Kelas 1
BP AOX Industri
Debit Limbah BP COD Industri Pertanian BM COD Kelas1
Kadar Cr Sungai Eksisting Cr Sungai
Debit Limbah Industri BM AOX Kelas 1
BP COD Peternakan
BM COD Kelas 2
Faktor Limbah kebun
AME Cr
Debit Limbah Pemukiman Debit Ciujung
BM BOD Kelas 2
DT BOD Kelas 3
Batas AME
Debit Limbah Industri
BOD Sungai Aktual AME BOD
BP BOD Total sungai
Cr Sungai Aktual
Debit Limbah Peternakan AME COD
Debit Limbah Peternakan
Cr-TRO Industri
BP BOD Kambing
BP COD Pemukiman
BP BOD Sungai eksisting DT BOD Kelas 1
DT BOD Kelas 2
BP Cr Industri
F_Pert BP Cr Industri
Debit Limbah Industri
BMBP BOD Kelas 2
Emisi COD Kambing
Manusia
BP BOD Total sungai
Cr-TLA Industri
L_Pert Cr Industri
BMBP AOX Kelas 1 Faktor Musim Peralihan
Harga Pengelolaan Air Limbah Industrie-LA
Cr Industri_NT
Emisi BOD Kambing
BM BOD Kelas 1
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
BP Cr Industri _stock
Luas Wilayah
L_Pert JmlKambingWil
BMBP BOD Kelas 1
BP BOD Kebun debit limbah Industri _stock
BP COD Kambing
Jumlah Kambing
Luas Kebun_stock
Debit Limbah kebun
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
L_debit limbah F_Pert debit limbah pemukiman pemukiman
BP COD Kerbau
AOX-TLA Industri Debit Limbah Industri
Emisi COD Kerbau
Emisi BOD Kebun
L_Pert Luas Kebun
Biaya Pengelolaan Air Limbah Pemukiman
Jumlah Kerbau
F_Pert BP AOX Industri
Jumlah Kambing Wilayah_stock
Nilai BOD Sungai eksisting
Pertanian
Kelebihan CH3Cl Manusia
BP COD Kambing
Emisi BOD Kerbau
PCP Ikan
CH3Cl Manusia
TDI CH3Cl
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
L_BP AOX Industri
BP COD Ayam
Jumlah Ayam Wilayah_stock
AOX-TRO Industri
BP AOX Industri
L_Pert JmlAyamWil
Jumlah Penduduk
AOX Industri-NT BP AOX Industri_stock
BP COD Peternakan
Emisi COD Ayam
TDI PCP
BOD-TLA Industri
F_Pert BP BOD Industri
L_Pert JmlKerbau F_Pert JmlDomba F_Pert JmlKerbauWil
Emisi BOD Domba
Jumlah Ayam AOX Sungai
L_Pert JmlDomba
BP BOD Domba BP COD Pemukiman _stock
BP BOD Industri
L_BP BOD Industri
BP BOD Kerbau Luas Wilayah
BOD-TRO Industri
BP COD Kerbau
Emisi COD Domba
COD Pemukiman-NT
TCDF Ikan
TCDF Manusia
BOD Industri-NT
Luas_Pemukiman
BP COD Sapi
BP COD Domba
BP COD Domba
BOD Pemukiman-T
TCDD Manusia
TDI TCDF
Emisi COD Sapi
Jumlah Kerbau Wilayah_stock
Jumlah Domba
Kelebihan TCDD Manusia
BP BOD Industri_stock
BP COD Bebek
Luas_Pemukiman
COD Pemukiman-T
TDI TCDD
Emisi COD Bebek
Jumlah Domba Wilayah_stock
TCDD Ikan
BP BOD Kambing
BP BOD Ayam
BP BOD Sapi
Luas Wilayah Debit Limbah BP COD Pemukiman Pemukiman
Luas_Pemukiman Luas Pemukiman LPert Pemukiman Asal
Jumlah Penduduk_stock
Jumlah Sapi
Emisi BOD Sapi
COD-TRO Industri
Debit Limbah Industri
F_Pert BP COD Industri
BP COD Sapi BP BOD Pemukiman
BOD Pemukiman-NT
Kepadatan Penduduk
Luas Wilayah
BP BOD Bebek Emisi BOD Bebek
F_Pert BP BOD pemukiman
penduduk
F_Pert JmlBebekWil
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
L_BP COD Industri
BP BOD Domba
Copy of F_Pert JmlBebekWil
L_BP BOD Pemukiman LImigrasi
L_Pert JmlSapiWil
L_Pert JmlBebekWil
DT COD Kelas 2
BMBP Cr Kelas2
BMBP AOX Kelas 3 BMBP Cr Kelas 3
Debit Ciujung
DT AOX Kelas 3
BM COD Kelas 3
Debit Ciujung
BP AOX Sungai Eksisting
Debit Ciujung
BP Cr total Sungai DT Cr Kelas 3
L_debit limbah Industri F_Pert debit limbah Industri
BP BOD Industri
Debit limbah industri_e Harga Pengelolaan Air Limbah Industrie-RO
BMBP BOD Kelas 4
DT COD Kelas 3
L_Pert Luas Sawah F_Luas Sawah Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
BP BOD Sawah Emisi BOD Sawah
BMBP COD Kelas 3
BP BOD Pertanian
BM BOD Kelas 4 Potensi BP BOD Total
BP BOD Pemukiman
DT AOX Kelas 4 BP COD Sungai eksisting
BM COD Kelas 4 BMBP COD Kelas 4
Gambar 5.50 Stock-flow diagram MPPSC
DT COD Kelas 4
Kadar COD Sungai eksisting
BM AOX Kelas 4 BMBP AOX Kelas 4
Debit Limbah Industri
Kadar AOX Sungai Eksisting
BM Cr Kelas 3
BMBP Cr Kelas 4 AOX Industri-NT AOX Sungai
BM Cr Kelas 4
DT Cr Kelas 4
115 Sub-Model Sosial (1) Sub Model Kependudukan Sub model sosial kependudukan dalam MPPSC merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel sosial, seperti jumlah penduduk, kelahiran, kematian, imigrasi, emigrasi, dan luas pemukiman. (+)
Kelahiran Kematian (+)
(-)
(+) (+) Imigrasi
(+) Jumlah penduduk
(+)
(+) Emigrasi
Kepadatan penduduk
(+) (+)
(-)
(-) Luas pemukiman
Gambar 5.51 Diagram sub model sosial kependudukan Berdasarkan diagram sub model sosial kependudukan (Gambar 5.51), pengendalian pencemaran Sungai Ciujung dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jumlah penduduk akan mengalami pertambahan apabila terjadi peningkatan jumlah kelahiran dan imigrasi atau mengalami penurunan jika terjadi peningkatan tingkat kematian dan jumlah emigrasi. Dalam MPPSC, peningkatan jumlah penduduk berdampak pada peningkatan jumlah beban pencemaran pemukiman dan untuk mengimbanginya dapat dilakukan melalui pembuatan IPAL komunal untuk mengolah limbah domestik sebelum dibuang ke sungai. MPPSC sub model sosial yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model. Penduduk (auxilarry) adalah jumlah penduduk di wilayah bantaran sungai yang terdapat di lokasi Kamaruton 1 diestimasi dari perkalian antara luas pemukiman dan kepadatan penduduk di wilayah tersebut, dan penduduk akan menjadi initial untuk jumlah penduduk (level) yang merupakan jumlah penduduk prediksi. Laju pertumbuhan penduduk dan laju imigrasi merupakan laju masukan untuk jumlah penduduk, sedangkan laju emigrasi dan laju kematian merupakan keluaran. Stock flow diagram sub-model sosial kependudukan disajikan dalam Gambar 5.52.
116 Sub-Model Sosial_Penduduk Batas AME
FEmigrasi Pddk LEmigrasi LPert Pddk
Jumlah Penduduk LMati Pddk
FLahir Pddk AME Penduduk
FMati Pddk LImigrasi
FImigrasi Pddk
penduduk
Kepadatan Penduduk
FPert Pemukiman
Luas_Pemukiman Luas Pemukiman LPert Pemukiman Asal
Gambar 5.52 Stock-flow diagram sub-model sosial Hasil simulasi pertumbuhan penduduk pada bantaran Sungai Ciujung memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2009 sampai 2020. Jumlah petumbuhan penduduk di sekitar Sungai Ciujung dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk di Kabupaten Serang. Pertumbuhan penduduk rata-rata di Kabupaten Serang adalah sebesar 1.77% per tahun atau sekitar 0.15% per bulan (BPS 2013). (2) Sub Model Dampak Pencemaran Senyawa AOX Terhadap Akuatik dan Manusia Sub model dampak pencemaran dalam MPPSC merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui dampak penurunan kualitas air sungai terhadap akuatik (ikan) dan manusia. Dampak pencemaran yang ditentukan dalam model ini adalah dampak dari senyawa AOX yang berasal dari aktivitas industri terhadap ikan dan manusia. Hubungan sebab akibat antara variabel di dalam sub model dampak pencemaran disajikan dalam Gambar 5.53. Berdasarkan diagram sub model dampak pencemaran (Gambar 5.53), nampak bahwa meningkatnya kandungan senyawa AOX disebabkan oleh meningkatnya beban pencemaran dari limbah industri. Senyawa ini akan terbioakumulasi dalam ikan. Maka tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan diprediksi akan meningkatkan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia sehingga akan berdampak pada penurunan kesehatan.
117
Limbah Industri
(+)
(+) Beban Pencemaran industri (AOX)
Tingkat Kebutuhan
(+) (+)
Tingkat konsumsi
Jumlah penduduk Kadar AOX di Sungai
(+) (-)
(+) (+)
Gambar 5.53
Kandungan AOX dalam tubuh manusia
Diagram sub model dampak pencemaran senyawa AOX di Sungai Ciujung
Sub-Model Sosial_Dampak Pencemaran Senyawa AOX
TDI TCDD
(+)
Kandungan AOX_Ikan
Kelebihan AOXTCDD Manusia
BCF TCDD
Jumlah Penduduk
AOX-TCDD Ikan
AOX-TCDD Manusia AOX-TCDF Ikan
AOX-TCDF Manusia TDI TCDF
AOX Sungai Tingkat Konsumsi
Kelebihan AOXTCDF Manusia
BCF TCDF AOX-PCP Manusia
TDI PCP Kelebihan AOX-PCP Manusia
BCF PCP
AOX-PCP Ikan
AOX-CH3Cl Manusia
TDI CH3Cl Kelebihan AOXCH3Cl Manusia
BCF CHCl3
AOX-CH3Cl Ikan
Gambar 5.54 Stock flow diagram sub-model sosial-dampak pencemaran senyawa AOX dalam MPPSC MPPSC sub model sosial yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model dampak pencemaran senyawa AOX. Senyawa AOX yang diprediksi akan berdampak pada kesehatan didasarkan pada senyawa yang umumnya ada dalam limbah industri kertas dan pulp, yaitu senyawa 2,3,7,8 –TCDD; 2,3,7,8-TCDF; PCP dan kloroform (Yasmidi, 2008). Prediksi kandungan senyawa AOX dalam tubuh ikan (g/kg) yang
118 terdapat di Sungai Ciujung dihitung dengan mengalikan konsentrasi senyawa AOX dalam air Sungai (mg/L) dengan nilai BCF (bioconcentration factor) masing-masing senyawa AOX nya. Kandungan Senyawa AOX yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia (g/hari) ditentukan oleh besaran kandungan senyawa AOX yang terdapat dalam ikan dan tingkat konsumsi ikan penduduk Kabupaten Serang (0.0493 kg/hari/kapita). Berdasarkan sub model dampak pencemaran senyawa AOX tampak bahwa kandungan senyawa AOX dalam ikan (TCDD, TCDF, PCP dan CH3Cl) berfungsi sebagai auxiliary dan besarannya ditentukan oleh kandungan senyawa AOX yang terdapat di sungai sebagai laju masukan dengan nilai BCF sebagai konstanta. Kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia berfungsi sebagai auxiliary dan besarannya ditentukan oleh kandungan senyawa AOX dalam tubuh ikan sebagai laju masukan dan tingkat konsumsi ikan sebagai konstanta. Kandungan senyawa AOX dalam tubuh dibandingkan dengan nilai Total Daily Intake (TDI) masing-masing jenis senyawa AOX yang diperkenankan terdapat dalam tubuh. Jika kandungan senyawa AOX dalam tubuh melebihi nilai TDI, menunjukkan bahwa kandungan senyawa AOX yang terdapat di Sungai Ciujung akan membahayakan kesehatan masyarakat sekitar dan terganggunya kehidupan akuatik (ikan) di sungai. Berdasarkan diagram sub model dampak pencemaran (Gambar 5.54), nampak bahwa meningkatnya kandungan senyawa AOX disebabkan oleh meningkatnya beban pencemaran dari aktivitas industri. Senyawa ini akan terbioakumulasi dalam ikan. Maka tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap ikan diprediksi akan meningkatkan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia sehingga akan berdampak pada penurunan kesehatan. Sub-model Ekologi Sub model ekologi dalam sistem pengendalian pencemaran Sungai Ciujung merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui variabelvariabel lingkungan, seperti permasalahan beban pencemaran yang disebabkan oleh limbah pemukiman, peternakan, pertanian dan industri yang berdampak pada kualitas dan daya tampung beban pencemaran Sungai Ciujung. Pengaruh variabel-variabel lingkungan tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat, seperti yang disajikan pada Gambar 5.55. Berdasarkan diagram sub model ekologi (Gambar 5.55) diketahui bahwa beban pencemaran di Sungai Ciujung merupakan akumulasi dari beban pencemaran industri, pemukiman, peternakan dan pertanian. Peningkatan beban pencemaran limbah pemukiman sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berada di bantaran sungai. Beban pencemaran pertanian dipengaruhi oleh luas lahan pertanian sepanjang sungai, sedangkan beban pencemaran peternakan dipengaruhi oleh jumlah ternak di bantaran sungai. Sementara beban pencemaran industri dipengaruhi oleh debit dan kualitas limbah industri yang dibuang ke sungai. Diagram stock flow masing-masing sumber pencemar dapat
119 dilihat pada Gambar 5.56 - 5.59. Daya tampung beban pencemaran
(+) Debit Limbah industri Beban Pencemaran industri
Kualitas limbah industri (-)
Emisi limbah domestik
Beban Pencemaran pertanian
(+)
Beban Pencemaran Sungai
(+) Jumlah Penduduk
(-)
(+)
Emisi limbah pertanian (+)
Jumlah Ternak
(+)
(-)
(+)
Beban Pencemaran Pemukiman
Luas lahan pertanian
(+)
(+) Kualitas air sungai Ciujung
(+) Debit Sungai
Beban Pencemaran peternakan
(+)
(+)
Emisi limbah ternak
Gambar 5.55 Sub model ekologi Pemukiman Emisi BOD Pemukiman
BP BOD Pemukiman
Debit Limbah Pemukiman
Nilai BOD-NT Pemukiman
Faktor Limbah
Jumlah Penduduk
BP COD Pemukiman
Nilai COD-NT Pemukiman
Emisi COD Pemukiman
Biaya Pengelolaan Air Limbah Pemukiman Nilai COD-T Pemukiman
Nilai COD-NT Pemukiman Nilai BOD-T Pemukiman Nilai BOD-NT Pemukiman
Gambar 5.56 Stock flow Sub model ekologi - pemukiman MPPSC Sub model ekologi - pemukiman yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model. Asumsi-asumsi tersebut adalah debit kebutuhan air 115 L/orang/hari dan yang dibuang 80% dari kebutuhan air, sedangkan yang sampai disungai diasumsikan 50% (faktor limbah). Untuk mendapatkan debit limbah dalam satuan L/detik dibagi dengan 24 jam , 60 menit dan 60 detik. Faktor konversi yang digunakan untuk mengestimasi beban pencemaran akibat limbah pemukiman (domestik) untuk BOD adalah 40 gram/orang/hari dan COD adalah 55
120 gram/orang/hari (Yusuf 2012). Beban pencemaran BOD dan COD diperoleh dari hasil perkalian antara emisi masing-masing dengan jumlah penduduk. Nilai BOD dan COD ditetapkan dengan membagi beban pencemaran masing-masing dengan debit limbah pemukiman. Untuk mendapatkan nilai BOD dan COD dalam satuan mg/L maka dikalikan dengan 1000.000 dibagi 86.400 (24 jam x 60 menit x 60 detik). Berdasarkan sub model ekologi-pemukiman, tampak bahwa besarnya beban pencemaran BOD dan COD yang berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil perkalian antara jumlah penduduk yang berfungsi sebagai level dengan emisi BOD dan COD masing-masing yang berfungsi sebagai konstanta. Sementara, nilai parameter BOD dan COD yang berfungsi sebagai auxiliary merupakan hasil bagi antara beban pencemarannya masing-masing dengan debit limbah pemukiman yang berfungsi sebagai auxiliary. Peternakan
BP BOD Bebek
BP BOD Sapi
F_Pert JmlSapiWil
Jumlah Bebek Wilayah_stock
BP BOD Peternakan Jumlah Sapi Wilayah_stock
BP BOD Kerbau
L_Pert JmlSapiWil
L_Pert JmlBebekWil
BP BOD Domba
F_Pert JmlBebekWil
Luas Wilayah
Jumlah Bebek BP BOD Bebek Emisi BOD Bebek
Jumlah Sapi
Emisi BOD Sapi
BP BOD Kambing
BP BOD Ayam
BP COD Sapi BP BOD Sapi
BP COD Bebek
Emisi COD Bebek
BP COD Bebek
Emisi COD Sapi
BP COD Sapi
Luas_Pemukiman
Jumlah Kerbau Wilayah_stock
Luas Wilayah Luas_Pemukiman Jumlah Domba Wilayah_stock
L_Pert JmlDomba
BP COD Peternakan L_Pert JmlKerbau F_Pert JmlDomba F_Pert JmlKerbauWil
BP COD Domba
Jumlah Domba
BP COD Kerbau BP COD Domba
BP COD Ayam
Emisi COD Domba
BP COD Kambing
BP BOD Kerbau Luas Wilayah
Jumlah Kerbau
Emisi BOD Kerbau
BP BOD Domba
BP COD Kambing
Emisi BOD Domba
Jumlah Ayam
Jumlah Ayam Wilayah_stock
BP COD Kerbau Jumlah Kambing Wilayah_stock
Emisi COD Ayam
Jumlah Kambing
L_Pert JmlAyamWil
BP COD Ayam
Luas Wilayah
Emisi COD Kerbau
F_Pert JmlAyamWil
BP BOD Ayam Emisi BOD Ayam
F_Pert JmlKambingWil
Emisi COD Kambing
L_Pert JmlKambingWil Emisi BOD Kambing
BP BOD Kambing
Gambar 5.57 Stock flow Sub model ekologi – peternakan Beban pencemaran BOD dan COD dari peternakan merupakan akumulasi dari beban pencemaran masing-masing jenis ternak. Dalam model, Asumsi yag digunakan dalam sub model ekologipeternakan adalah fraksi pertumbuhan masing-masing ternak setiap tahun, yaitu untuk bebek 20.93%, domba 0.54%, ayam 90%, sapi -19.54%, kerbau 41.43% dan kambing 0.46% (BPS 2012). Untuk mendapatkan data pertumbuhan ternak setiap bulan maka dibagi 12. Emisi BOD dan COD untuk masing-masing ternak tercantum dalam Tabel 5.20.
121 Tabel 5.20 Emisi berbagai jenis ternak Emisi (gram/ekor/hari) No Jenis Ternak BOD COD 1 Kerbau 206.71 529.19 2 Sapi 292.00 716.50 3 Domba 55.68 136.23 4 Kambing 34.10 92.91 5 Ayam 2.36 5.59 6 Bebek 0.88 2.22 Sumber : Yusuf, (2012)
Jumlah bebek, domba, ayam, sapi, kerbau dan kambing masingmasing berfungsi sebagai auxiliary dan merupakan hasil perkalian dari luas pemukiman dengan jumlah masing-masing ternak di wilayah dibagi luas wilayah sebagai konstanta. Beban pencemaran BOD dan COD dari masing-masing ternak berfungsi sebagai auxiliary, yang merupakan hasil perkalian dari jumlah masing-masing ternak sebagai laju masukan dengan emisi COD dan BOD dari masing-masing ternak sebagai konstanta. Beban pencemaran BOD dan COD peternakan berfungsi sebagai auxiliary dan merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing beban pencemaran BOD dan COD dari masing-masing ternak sebagai laju masukan. Industri BP COD Industri _stock
COD Industri-NT
COD-TLA Industri
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriLA
BP COD Industri L_BP COD Industri Debit Limbah Industri
F_Pert BP COD Industri
BP BOD Industri_stock
COD-TRO Industri
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
BOD Industri-NT BOD-TRO Industri BP BOD Industri
L_BP BOD Industri
BOD-TLA Industri
F_Pert BP BOD Industri
AOX Industri-NT BP AOX Industri_stock
AOX-TRO Industri Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
BP AOX Industri L_BP AOX Industri AOX-TLA Industri
F_Pert BP AOX Industri
Debit Limbah Industri
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriLA
BP Cr Industri _stock
Cr Industri_NT L_Pert Cr Industri F_Pert BP Cr Industri
BP Cr Industri
Cr-TLA Industri
Cr-TRO Industri
Gambar 5.58 Stock flow Sub model ekologi – industri Fraksi pertumbuhan beban pencemaran BOD, COD, Cr dan AOX dari industri berdasarkan pertumbuhan industri di Kabupaten Serang
122 1.74% pertahun dan berfungsi sebagai konstanta. Untuk mendapatkan data pertumbuhan industri setiap bulan maka dibagi 12. Beban pencemaran COD, BOD, AOX dan Cr industri berfungsi sebagai auxiliary dan merupakan beban pencemaran masing-masing parameter yang terdapat dalam limbah seluruh industri yang dikaji, yang membuang limbah cairnya ke Sungai Ciujung sebagai laju masukan. Nilai BOD, nilai COD, kadar AOX dan kadar Cr non treatment (NT) berfungsi sebagai auxiliary dan merupakan hasil bagi dari beban pencemaran dibagi debit limbah industri. Limbah industri yang melalui proses pengolahan teknologi lumpur aktif (TLA) dan reverse osmosis (TRO), diasumsikan akan ada biaya pengelolaan (> 0) dan akan menurunkan nilai masing-masing paramater (BOD, COD, AOX, Cr) 40% untuk TLA dan 90% untuk TRO. Jika tidak ada pengolahan maka nilai masing-masing parameter tetap (IKPP 2012). Pertanian Emisi BOD Kebun Luas Kebun_stock
L_Pert Luas Kebun
BP BOD Kebun Faktor Musim Kemarau
F_Luas Kebun
Faktor Limbah Saw ah
Debit Limbah kebun
Faktor Limbah kebun
Debit Limbah Pertanian
Debit Limbah Saw ah BP BOD Pertanian
BP BOD Saw ah
Luas Saw ah_stock Emisi BOD Saw ah L_Pert Luas Saw ah F_Luas Saw ah
Gambar 5.59 stock flow Sub model ekologi – pertanian Luas lahan pertanian mengalami penurunan 0.143% pertahun. Debit limbah pertanian sebagai auxiliary merupakan hasil penjumlahan antara debit kebun dan sawah. Beban pencemaran BOD sawah dan kebun masing-masing sebagai auxiliary dan merupakan hasil perkalian antara masing-masing luas lahan sawah dan kebun dengan emisi BODnya masing-masing. Emisi BOD dari sawah dan kebun diasumsikan masing-masing 225 kg/musim dan 32.5 kg/musim. Beban pencemaran pertanian berfungsi sebagai auxiliary, diperoleh dari hasil penjumlahan antara beban pencemaran BOD kebun dan sawah. Beban pencemaran dari pemukiman, peternakan, industri dan pertanian di sekitar bantaran Sungai Ciujung akan mengalir masuk ke
123 sungai. Setiap beban pencemar tersebut akan masuk ke badan sungai dan menjadi pencemar yang tercampur dengan air sungai di masing-masing bagian (lokasi). Besarnya beban pencemar di badan sungai menjadi dasar penentuan kualitas air sungai dan daya tampung beban pencemaran Sungai Ciujung. Stock flow diagram sub-model ekologi secara lengkap disajikan dalam Gambar 5.60. Beban pencemaran total masing-masing parameter (BOD, COD, AOX dan Cr) di sungai, nilai dan daya tampung beban pencemarannya berfungsi sebagai auxiliary. Beban pencemaran total masing-masing parameter di sungai merupakan hasil penjumlahan antara potensi beban pencemaran total masing-masing parameter dari sumber pencemar dengan beban pencemaran eksisting yang sudah ada di sungai. Nilai masing-masing parameter di sungai merupakan hasil bagi antara beban pencemaran total di sungai di bagi dengan jumlah total debit. Daya tampung beban pencemaran diperoleh dari pengurangan antara baku mutu beban pencemaran masing-masing kelas dengan beban pencemaran total sungai. Secara keseluruhan total potensi beban pencemaran dari berbagai sumber pencemar akan mempengaruhi beban pencemaran sungai yang berdampak pada kualitas air sungai dan daya tampung beban pencemaran sungai. Peningkatan jumlah penduduk dan luas pemukiman, serta aktifitas peternakan, pertanian dan industri di bantaran sungai akan mendorong peningkatan limbah yang masuk ke badan air Sungai Ciujung.
124 Peternakan
BP BOD Bebek
Pemukiman
BP COD Industri _stock
BP BOD Peternakan Jumlah Sapi Wilayah_stock
Jumlah Penduduk_stock
COD Industri-NT
BP COD Industri
BP BOD Pemukiman _stock
Jumlah Bebek
Luas Wilayah Jumlah Sapi
Emisi BOD Sapi
BP BOD Bebek Emisi BOD Bebek
COD-TRO Industri
Debit Limbah Industri
F_Pert BP COD Industri
BP BOD Kambing
BP BOD Ayam
BP BOD Industri_stock
BOD Industri-NT
BP COD Sapi BP BOD Sapi
BP COD Bebek
BP BOD Pemukiman
Emisi COD Bebek
Luas Wilayah Debit Limbah BP COD Pemukiman Pemukiman
BP COD Kerbau
L_Pert JmlDomba
BP COD Peternakan
COD Pemukiman-T BP COD Pemukiman _stock
BP COD Kambing Jumlah Kerbau
Emisi BOD Kerbau
Jumlah Ayam Wilayah_stock
BP COD Kerbau
BP COD Ayam Jumlah Penduduk
Cr Industri_NT
Jumlah Kambing
F_Pert JmlAyamWil
BP BOD Ayam Emisi BOD Ayam
Nilai BOD Sungai eksisting
Pertanian
F_Pert JmlKambingWil
Debit Ciujung
F_Luas Kebun
BP BOD Kebun
Faktor Musim Kemarau
Faktor Limbah Sawah
Debit Limbah Sawah
COD Sungai Aktual BP COD Pemukiman
BP BOD Sungai eksisting DT BOD Kelas 1
DT BOD Kelas 2
Faktor Musim Peralihan
Debit Limbah Pertanian
Debit Limbah Pertanian
BP BOD Kebun
Debit Ciujung
DT AOX Kelas 2
BM AOX Kelas 3
BP COD total sungai BMBP COD Kelas 2
BM BOD Kelas 3
Luas Sawah_stock
BM Cr Kelas 2
DT Cr Kelas 2
Debit Limbah Pemukiman
DT BOD Kelas 4
BP Cr Sungai BP Cr Industri Eksisting
BMBP AOX Kelas 2
BMBP COD Kelas 1
BP BOD Peternakan
Debit Ciujung BM Cr Kelas1
BP AOX total Sungai
BM AOX Kelas 2
BM COD Kelas 2
Faktor Musim Hujan
BMBP Cr Kelas 1
DT COD Kelas 1
Debit Ciujung
Faktor Limbah kebun
DT Cr Kelas 1
COD Sungai
Potensi BP COD Total
BOD Sungai
Kadar Cr Sungai Eksisting Cr Sungai
BP AOX Industri
BP COD Industri
BM COD Kelas1
BMBP BOD Kelas 3
DT BOD Kelas 3
DT AOX Kelas 1
Debit Limbah Pemukiman Debit Ciujung
BM BOD Kelas 2
BP BOD Total sungai
AME Cr
Debit Limbah Industri BM AOX Kelas 1
BP COD Peternakan
BMBP AOX Kelas 1
Debit Limbah kebun
Batas AME
Debit Limbah Industri
BOD Sungai Aktual AME BOD
BMBP BOD Kelas 2
Cr-TRO Industri
Cr Sungai Aktual
Debit Limbah Peternakan AME COD
Debit Limbah Peternakan
BMBP BOD Kelas 1
BP Cr Industri
BP BOD Kambing
Batas AME
Debit Limbah Industri
Luas Kebun_stock
Emisi COD Kambing F_Pert BP Cr Industri
Emisi BOD Kambing BP BOD Total sungai
Cr-TLA Industri
L_Pert Cr Industri
Manusia
L_Pert JmlKambingWil
BM BOD Kelas 1
Emisi BOD Kebun
L_Pert Luas Kebun
BP Cr Industri _stock
Luas Wilayah
Jumlah Kambing Wilayah_stock L_Pert JmlAyamWil
F_Pert BP COD pemukiman
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
Debit Limbah Industri
Emisi COD Kerbau
Emisi COD Ayam L_BP COD Pemukiman
AOX-TLA Industri
F_Pert BP AOX Industri
BP COD Kambing
Emisi BOD Domba
Jumlah Ayam
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
L_BP AOX Industri
BP COD Ayam
BP BOD Domba
AOX-TRO Industri
BP AOX Industri
BP BOD Kerbau
Biaya Pengelolaan Air Limbah Pemukiman
AOX Industri-NT BP AOX Industri_stock
L_Pert JmlKerbau F_Pert JmlDomba F_Pert JmlKerbauWil Emisi COD Domba
Luas Wilayah
BOD-TLA Industri
F_Pert BP BOD Industri
BP COD Domba
BP COD Domba
Jumlah Domba
BP BOD Industri
L_BP BOD Industri
Jumlah Kerbau Wilayah_stock
BOD Pemukiman-T COD Pemukiman-NT
Luas_Pemukiman
BP COD Sapi
Luas_Pemukiman Jumlah Domba Wilayah_stock
BOD-TRO Industri
BP COD Bebek
Emisi COD Sapi
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
L_BP COD Industri
BP BOD Domba
F_Pert JmlBebekWil Copy of F_Pert JmlBebekWil
L_BP BOD Pemukiman F_Pert BP BOD pemukiman
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
COD-TLA Industri
BP BOD Kerbau
L_Pert JmlSapiWil
L_Pert JmlBebekWil
Jumlah Penduduk
BOD Pemukiman-NT
Industri
BP BOD Sapi
F_Pert JmlSapiWil
Jumlah Bebek Wilayah_stock
124
Sub-Model Ekologi
DT COD Kelas 2
BMBP Cr Kelas2
BMBP AOX Kelas 3 BMBP Cr Kelas 3
Debit Ciujung
DT AOX Kelas 3
BM COD Kelas 3
Debit Ciujung
BP AOX Sungai Eksisting
Debit Ciujung
BP Cr total Sungai DT Cr Kelas 3
BP BOD Industri
BMBP BOD Kelas 4
DT COD Kelas 3
L_Pert Luas Sawah F_Luas Sawah
BP BOD Sawah Emisi BOD Sawah
BMBP COD Kelas 3
BP BOD Pertanian
BM BOD Kelas 4 Potensi BP BOD Total
BP BOD Pemukiman
DT AOX Kelas 4 BP COD Sungai eksisting
BM COD Kelas 4 BMBP COD Kelas 4
DT COD Kelas 4
Kadar COD Sungai eksisting
Gambar 5.60 Stock-flow sub model ekologi
BM AOX Kelas 4 BMBP AOX Kelas 4
Debit Limbah Industri
Kadar AOX Sungai Eksisting
BM Cr Kelas 3
BMBP Cr Kelas 4 AOX Industri-NT AOX Sungai
BM Cr Kelas 4
DT Cr Kelas 4
125 Sub-model Ekonomi Sub model ekonomi dalam MPPSC merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh varibel- variabel ekonomi berupa besarnya nilai biaya pengelolaan limbah melalui IPAL baik dari pemukiman maupun industri. Berdasarkan diagram causa loop sub model ekonomi, diketahui bahwa beban pencemaran dari limbah pemukiman dan industri yang masuk ke badan sungai akan menurunkan kualitas air sungai. Rendahnya kualitas air akan meningkatkan biaya pengelolaan limbah.
Biaya pengelolaan limbah Pemukiman Beban Pencemaran Pemukiman
Harga pengolahan limbah Pemukiman
(-)
(-)
Beban Pencemaran Industri
(+)
Kualitas air
(-)
Harga pengolahan limbah industri
(-)
Biaya pengelolaan limbah industri
(+)
Gambar 5.61 Sub model ekonomi Diagram Stock flow sub-model nilai ekonomi disajikan dalam Gambar 5.62. Sub-Model Ekonomi
Harga Pengelolaan Air Limbah Pemukiman Biaya Pengelolaan Air Limbah Pemukiman
Debit limbah pemukiman _stock Debit limbah pemukiman_e
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriTLA
L_debit limbah F_Pert debit limbah pemukiman pemukiman
Harga Pengelolaan Air Limbah Industrie-LA
debit limbah Industri _stock
L_debit limbah Industri F_Pert debit limbah Industri
Debit limbah industri_e Harga Pengelolaan Air Limbah Industrie-RO
Biaya Pengelolaan Air Limbah IndustriRO
Gambar 5.62 Stock-flow sub-model ekonomi. MPPSC sub model ekonomi yang telah dirumuskan dapat digunakan dengan
126 beberapa asumsi yang akan membatasi keberlakuan model khususnya sub model ekonomi. Asumsi dibuat berdasarkan hasil wawancara dengan penanggung jawab IPAL salah satu industri kertas (2011), bahwa pengelolaan harga pengelolaan limbah pemukiman Rp 500,-/m3, limbah industri dengan TLA Rp 1,000,-/m3 dan limbah industri dengan TRO Rp 5,000,-/m3. Biaya pengelolaan berfungsi sebagai auxiliary, merupakan perkalian antara debit dengan harga pengelolaan limbah. Debit limbah pemukiman dan limbah industri dipengaruhi fraksi pertumbuhan debit limbahnya. Kondisi Eksisting Model (1) Simulasi Sub-Model Sosial Simulasi model sosial menggambarkan perkembangan populasi penduduk dan dampak pencemaran senyawa AOX terhadap kesehatan. Hasil simulasi sub-model sosial-penduduk disajikan pada Gambar 5.63
Jumlah Penduduk (jiwa)
400
300
200
100
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Tahun
Gambar 5.63 Simulasi pertumbuhan penduduk Tabel 5.21 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Jumlah Penduduk (jiwa) 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319
Gambar 5.63 memperlihatkan bahwa prediksi peningkatan jumlah penduduk yang landai. Pada tahun 2009 jumlah penduduk di daerah tersebut 308 jiwa dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 310 jiwa. Hasil simulasi, pada akhir tahun 2020 jumlah penduduk mencapai 319 orang. Pertumbuhan penduduk tidak begitu tinggi, peningkatan penduduk dari tahun 2011 sampai 2020 mencapai 2.9% (Tabel 5.21).
127 Pada model pengendalian pencemaran Sungai Ciujung, pertambahan penduduk berdampak terhadap peningkatan beban pencemaran pemukiman. Peningkatan kandungan senyawa AOX dalam tubuh dipengaruhi oleh tingkat konsumsi ikan dan besarnya kandungan senyawa AOX dalam ikan. Ikan yang sudah terkontaminasi senyawa AOX jika dikonsumsi manusia maka akan berdampak pada menurunnya kesehatan. Hasil simulasi kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia jika mengkonsumsi ikan yang sudah tercemar senyawa AOX disajikan dalam Gambar 5.64 – 5.67. 0,0017
0,0016
AOX-PCP Manusia 0,0015
PCP_Manusia (g/hari)
PCP_Manusia (g/hari)
0,0015
0,0010 AOX-PCP Manusia TDI PCP 0,0005
0,0000
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a) Gambar 5.64
(b)
(a) Simulasi kandungan senyawa PCP dalam tubuh manusia dan (b) Senyawa PCP dalam tubuh dibandingkan dengan nilai TDI PCP
0,033
0,031
0,030 AOX-TCDD Manusia 0,029
TCDD_Manusia (g/hari)
TCDD_Manusia (g/hari)
0,03 0,032
0,02
AOX-TCDD Manusia TDI TCDD
0,01
0,00
0,028
-0,01 2009 2010 2011 2012 2013
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
(a)
Gambar 5.65
2009 2010 2011 2012
2013 2014 2015 2016
2017 2018 2019 2020
Tahun
(b)
(a) Simulasi kandungan senyawa TCDD dalam tubuh manusia dan (b) Senyawa TCDD dalam tubuh dibandingkan dengan nilai TDI TCDD
128
0,03
0,025
0,024 AOX-TCDF Manusia
0,023
TCDF_Manusia (g/hari)
TCDF_Manusia (g/hari)
0,026
0,02
0,01
AOX-TCDF Manusia TDI TCDF
0,00
-0,01 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a) Gambar 5.66
(b)
(a) Simulasi kandungan senyawa TCDF dalam tubuh manusia dan (b) Senyawa TCDF dalam tubuh dibandingkan dengan nilai TDI TCDF
0,000027
0,000026
0,000025
AOX-CH3Cl Manusia
0,000024
CHCl3_Manusia (g/hari)
CHCl3_Manusia (g/hari)
0,000028
0,0006
AOX-CH3Cl Manusia TDI CH3Cl
0,0003
0,000023 0,0000 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a) Gambar 5.67
(b)
(a) Simulasi kandungan senyawa CHCl 3 dalam tubuh manusia dan (b) Senyawa CHCl3 dalam tubuh dibandingkan dengan nilai TDI CHCl3
Gambar di atas menunjukkan bahwa kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia tiap tahun semakin bertambah. Senyawa AOX yang diprediksi terdapat dalam tubuh manusia, seluruhnya telah melebihi nilai TDI yang diperkenankan ada dalam tubuh kecuali untuk senyawa CH3Cl masih berada di bawah nilai TDInya. Tabel 5.22 memperlihatkan bahwa kenaikan senyawa AOX dalam tubuh manusia dari tahun 2011 sampai akhir tahun simulasi (2020) untuk senyawa PCP 4.33%, senyawa 2,3,7,8-TCDD 4.59% ; senyawa 2,3,7,8- TCDF 4.51% dan senyawa CH3Cl 4.25%.
129 Tabel 5.22 Kandungan senyawa AOX dalam tubuh Kandungan Senyawa AOX dalam Tubuh (g/hari) PCP 2,3,7,8-TCDD 2,3,7,8-TCDF CH3Cl 0.001559 0.0303 0.0242 0.0000249 0.001572 0.0305 0.0244 0.0000259 0.001640 0.0319 0.0255 0.0000270 -4 -10 -10 2.1 x 10 1.5 x 10 1.5 x 10 5 x 10-4
Tahun 2009 2011 2020 TDI
(2) Simulasi Sub-Model Ekologi Simulasi model ekologi menggambarkan tingkat pencemaran Sungai Ciujung yang ditunjukkan oleh parameter kualitas air. Parameter yang digunakan dalam simulasi model ini adalah BOD, COD, AOX dan Cr. Hasil simulasi sub model ekologi berdasarkan beban pencemaran di sungai disajikan pada Gambar 5.68
Beban Pencemaran (kg/hari)
250.000
200.000
150.000 BP BOD Total sungai BP COD total sungai BP Cr total Sungai BP AOX total Sungai
100.000
50.000
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Tahun
Gambar 5.68
Hasil simulasi beban pencemaran parameter BOD, COD, AOX dan Cr di Sungai Ciujung
Hasil simulasi sub model ekologi berdasarkan parameter BOD, COD, AOX dan Cr, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan beban pencemaran di Sungai Ciujung untuk seluruh parameter. Peningkatan beban pencemaran di sungai disebabkan adanya peningkatan beban pencemaran dari potensi beban pencemaran yang berasal dari pemukiman, peternakan, pertanian dan industri. Pada tahun 2009, beban pencemaran di sungai untuk parameter BOD, COD, AOX dan Cr berturut-turut adalah 20,389.48 kg/hari, 252,252.19 kg/hari, 358.56 kg/hari dan 1,260.49 kg/hari. Peningkatan beban pencemaran terus berlangsung hingga akhir tahun simulasi (2020) yaitu 257,739.16 kg/hari untuk BOD, 23,580.66 kg/hari untuk COD, 360.09 kg/hari untuk AOX dan 1,268.62 kg/hari untuk Cr. Di dalam model, beban pencemaran akan berdampak pada penurunan kualitas air sungai dan DTBP pencemaran air sungai.
100
250
80
200
60 BOD Sungai BM BOD Kelas 1 BM BOD Kelas 2 BM BOD Kelas 3 BM BOD Kelas 4
40
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
130
20
150 COD Sungai BM COD Kelas1 BM COD Kelas 2 BM COD Kelas 3 BM COD Kelas 4
100
50
0
0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a)
(b)
0,3
2,0
AOX Sungai BM AOX Kelas 1 BM AOX Kelas 2 BM AOX Kelas 3 BM AOX Kelas 4
0,1
Cr (mg/L)
AOX (mg/L)
1,5 0,2
Cr Sungai BM Cr Kelas1 BM Cr Kelas 2 BM Cr Kelas 3 BM Cr Kelas 4
1,0
0,5
0,0
0,0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(c) Gambar 5.69
(d)
Hasil simulasi kualitas air Sungai Ciujung berdasarkan parameter (a) BOD, (b) COD, (c) AOX dan (d) Cr
Hasil simulasi kualitas air Sungai Ciujung (Gambar 5.69) memperlihatkan bahwa nilai BOD dan COD tidak memenuhi kriteria mutu air kelas IV pada musim kemarau, sementara konsentrasi senyawa AOX dan logam Cr memenuhi. Pada tahun 2009, nilai BOD dan COD di musim hujan masing-masing 7.75 mg/L dan 95.97 mg/L, sedangkan di musim kemarau masing-masing nilai BOD dan COD adalah 70.07 mg/L dan 170.54 mg/L. Konsentrasi senyawa AOX dan logam Cr pada musim hujan masing-masing 0.1367 mg/L dan 0.1450 mg/L, sementara konsentrasi senyawa AOX dan logam Cr di musim kemarau masing-masing adalah 0.1450 mg/L dan 0.5696 mg/L. Kualitas air Sungai Ciujung mengalami penurunan setiap tahun seiring meningkatnya beban pencemaran, sehingga pada akhir tahun simulasi (2020) Nilai BOD dan COD di musim kemarau meningkat masing-masing 2.66% (71.90 mg/L) dan 5.66% (180.19 mg/L). Sementara peningkatan konsentrasi senyawa AOX dan logam Cr pada musim kemarau di akhir tahun simulasi masing-masing adalah 3.24% (0.1497 mg/L) dan 2.83% (0.5857 mg/L). Penurunan kualitas air Sungai Ciujung seiring dengan penurunan DTBP sebagai salah satu dampak peningkatan beban pencemaran dari sejumlah aktivitas pemukiman, peternakan, pertanian dan industri. Hasil simulasi DTBP di Sungai Ciujung disajikan pada Gambar 5.70
131
0
0 DT BOD Kelas 1 DT BOD Kelas 2 DT BOD Kelas 3 DT BOD Kelas 4 -10.000
DT COD (kg/hari)
DT BOD (kg/hari)
10.000
-20.000
-100.000 DT COD Kelas 1 DT COD Kelas 2 DT COD Kelas 3 DT COD Kelas 4 -200.000
-300.000 2009 2010
2011 2012
2013 2014
2015 2016
2017 2018
2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a)
(b) 2.000
1.000 0 DT AOX Kelas 1 DT AOX Kelas 2 DT AOX Kelas 3 DT AOX Kelas 4
-200
DT Cr (kg/hari)
DT AOX (kg/bulan)
200
DT Cr Kelas 1 DT Cr Kelas 2 DT Cr Kelas 3 DT Cr Kelas 4
0
-1.000 -400 -2.000 2009
2010
2011 2012
2013 2014
2015 2016
Tahun
(c)
2017
2018 2019
2020
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Tahun
(d)
Gambar 5.70 Simulasi DTBP untuk parameter (a) BOD, (b) COD, (c) AOX dan (d) Cr Gambar 5.70 di atas menunjukkan bahwa Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP terhadap parameter BOD, COD, AOX dan Cr jika dibandingkan dengan beban pencemaran yang diijinkan (BMBP) untuk sungai kelas III. Pada Tahun 2009, Sungai Ciujung memiliki DTBP jika dibandingkan dengan BMBP kelas IV pada musim hujan, yaitu 10,610.84 kg/hari untuk BOD, 6,083.81 kg/hari untuk COD, 158.11 kg/hari untuk AOX dan 1,322.87 kg/hari untuk Cr. Namun pada musim kemarau, terjadi penurunan DTBP sehingga Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP untuk parameter BOD (-12,754.19 kg/hari) dan COD (-19,257.48 kg/hari), sedangkan DTBP untuk parameter AOX dan Cr masing-masing yaitu 3.22 kg/hari dan 47.86 kg/hari. DTBP di Sungai Ciujung semakin menurun setiap tahun seiring dengan meningkatnya beban pencemaran. Sehingga pada akhir tahun simulasi (2020) penurunan DTBP Sungai Ciujung di musim hujan 33.49% (7,057.24 kg/hari) untuk BOD, 95.80% (255.31 kg/hari) untuk COD, 2.71% (153.83 kg/hari) untuk AOX dan 2.33% (1,292.04 kg/hari) untuk Cr. Pada musim kemarau Sungai Ciujung tidak memiliki DTBP untuk parameter BOD (-15,719.82 kg/hari) dan COD (-24,740.23 kg/hari), sedangkan penurunan DTBP untuk senyawa AOX 48.14% (1.67 kg/hari) dan Cr 17.15% (39.65 kg/hari).
132 (3) Sub-model Nilai Ekonomi Simulasi model ekonomi (Gambar 5.71) menggambarkan biaya pengelolaan limbah industri dan limbah pemukiman yang memiliki pengaruh terhadap MPPSC, yaitu dapat menurunkan nilai parameter pencemar dalam limbah yang pada akhirnya dapat menurunkan beban pencemaran dan meningkatkan kualitas air sungai. Pada Tahun 2009, biaya pengelolaan limbah pemukiman setiap bulan mencapai Rp 623,760 dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 665,460. Pada akhir tahun simulasi (2020) biaya pengelolaan limbah pemukiman menjadi Rp 890,413.
Biaya (Rp)
10.000.000.000
5.000.000.000 Biaya Pengelolaan Air Limbah Industri-TLA Biaya Pengelolaan Air Limbah Industri-RO
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
(a)
Biaya (Rp)
1.000.000
Biaya Pengelolaan Air Limbah Pemukiman
500.000
0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
(b) Gambar 5.71 Simulasi biaya pengelolaan air limbah (a) industri (b) pemukiman Biaya pengelolaan limbah industri setiap bulan dengan menggunakan teknologi lumpur aktif (TLA) dan teknologi reverse osmosis (TRO) pada tahun 2009 masing-masing sebesar Rp 1,200,000,000 dan Rp 6,000,000,000. Pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 1,242,463,809 untuk TLA dan Rp 6,212,319,046 untuk TRO. Sehingga pada akhir tahun simulasi (2020), biaya pengelolaan dengan TLA mencapai 1,452,931,044 dan dengan menggunakan TRO mencapai Rp 7,264,655,220.
133 Adanya biaya pengelolaan maka kualitas limbah akan meningkat dengan menurunnya nilai parameter pencemar (Gambar 5.72). Pada tahun 2009, nilai BOD dan COD tanpa pengelolaan (BOD dan COD industri NT) masing-masing 336 mg/L dan 517.6 mg/L. Dengan adanya pengelolaan dengan TLA maka nilai BOD dan COD masing-masing menurun menjadi 201.6 mg/L dan 310.6 mg/L, sementara yang diolah dengan TRO adalah 33.60 mg/L untuk nilai BOD dan 51.76 mg/L untuk nilai COD. Nilai parameter pencemar akan terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2011 nilai BOD dan COD masing-masing menjadi 208.7 mg/L dan 321.5 mg/L untuk limbah yang dikelola dengan TLA, sementara yang dikelola dengan TRO 34.8 mg/L untuk BOD dan 53.6 mg/L untuk COD. Pada akhir tahun simulasi (2020), terjadi peningkatan nilai BOD dan COD untuk limbah industri yang dikelola TLA masing-masing 244.1 mg/L dan 376.0 mg/L. Sementara nilai BOD dan COD dari limbah industri yang dikelola dengan TRO masing-masing adalah 40.7 mg/L dan 62.7 mg/L . Nilai BOD dan COD limbah pemukiman yang melalui pengelolaan, pada tahun 2009 masing-masing 4.93 mg/L dan 6.78 mg/L. Pada akhir tahun simulasi (2020), terjadi peningkatan nilai BOD dan COD untuk limbah pemukiman yang dikelola masing-masing 7.0 mg/L dan 9.7 mg/L. 450
700
400
600
350
250 BOD Industri-NT BOD-TLA Industri BOD-TRO Industri
200 150
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
500 300
400 COD Industri-NT COD-TLA Industri COD-TRO Industri
300 200
100 100
50 0
0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a) 20
30
25
10
BOD Pemukiman-NT BOD Pemukiman-T
COD (mg/L)
BOD (mg/L)
15 20
15
COD Pemukiman-NT COD Pemukiman-T
10
5 5
0
0 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(b) Gambar 5.72
Simulasi kualitas air limbah berdasarkan parameter BOD dan COD setelah melalui pengolahan (a) limbah industri dan (b) limbah pemukiman
134 Validasi Model Validitas atau keabsahan merupakan salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Keobyektifan tersebut dalam pekerjaan pemodelan ditunjukkan dengan sejauh mana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al 2001). Sehingga validasi model ditujukan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas bila model dijalankan dengan data yang lain untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan (Hartrisari 2007). Validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Hal ini dilakukan dengan memvalidasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris (Muhammadi et al. 2001). Validasi perilaku model yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan AME (absolute mean error), yakni penyimpangan antara nilai ratarata simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah kurang dari 10%. Persamaan AME adalah membandingkan antara besar dan sifat S A Si Ai kesalahan dengan persamaan : AME = x100% ; S A N N A S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan. Menurut Handoko (2005), teknik untuk memeriksa konsistensi keluaran model terhadap data aktual dapat dilakukan dengan uji statistik dan perbandingan secara visual keluaran model dengan data aktual. Perbandingan visual pola keluaran simulasi dan pola data aktual terhadap parameter BOD, COD dan Cr disajikan pada Gambar 5.73
BOD (mg/L)
60
40 BOD Sungai BOD Sungai Aktual 20
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2009 2010
Tahun
Gambar 5.73 Perbandingan nilai BOD aktual dan simulasi.
135 250
COD (mg/L)
200
150 COD Sungai COD Sungai Aktual
100
50
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2009 2010 Tahun
Gambar 5.74 Perbandingan nilai COD aktual dan simulasi
0,6 0.6
Cr (mg/L)
0,5 0.5 0,4 0.4 0,3 0.3 Cr Sungai Cr Sungai Aktual
0,2 0.2 0,1 0.1 0,0 0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2009 2010
Tahun
Gambar 5.75 Perbandingan nilai Cr aktual dan simulasi. Hasil uji validasi berdasarkan nilai BOD, COD dan konsentrasi Cr menunjukkan bahwa secara visual pola output simulasi sudah mengikuti pola data aktual, maka untuk memperoleh keyakinan dilakukan uji statistik. Hasil uji (Tabel 5.23) menunjukkan bahwa penyimpangan AME dari data aktual tahun 2009 dan 2010 untuk nilai BOD, COD dan Cr masing-masing 3%, 1% dan 2%. Batas penyimpangan variabel tersebut pada parameter AME menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan setiap bulan.
136 Tabel 5.23 Data validasi MPPSC BOD (mg/L) Waktu
Model
Aktual
COD (mg/L) Model
Aktual
Cr (mg/L) Model
Aktual
Januari 2009 Februari 2009
20.4 7.8
19.1 6.9
111.0 96.1
109.7 94.6
0.498 0.481
0.487 0.458
Maret 2009 April 2009 Mei 2009 Juni 2009 Juli 2009 Agustus 2009 September 2009
7.8 8.5 15.3 15.3 38.6 58.4 70.0
6.6 7.9 14.5 13.9 35.6 61.7 74.3
96.0 96.8 104.9 104.9 132.8 156.6 170.5
93.8 103.6 106.9 103.7 135.0 156.4 166.2
0.481 0.482 0.491 0.491 0.524 0.553 0.570
0.49 0.473 0.484 0.502 0.601 0.598 0.626
Oktober 2009 November 2009 Desember 2009 Januari 2010 Februari 2010 Maret 2010 April 2010 Mei 2010
67.5 16.5 10.9 20.7 7.9 7.8 8.6 15.5
65.4 12.8 11.8 18.7 7.1 6.93 7.9 14.9
167.5 106.4 99.8 111.0 96.1 96.0 96.8 104.9
158.3 100.0 101.3 110.7 98.5 99.9 104.6 103.2
0.566 0.493 0.485 0.499 0.481 0.481 0.482 0.492
0.600 0.491 0.46 0.481 0.479 0.467 0.477 0.484
Juni 2010 Juli 2010 Agustus 2010 September 2010 Oktober 2010 November 2010
15.5 39.2 59.3 71.1 68.5 16.7
13.6 38.7 55.8 70.7 68.3 15.8
104.9 132.8 156.6 170.5 167.5 106.4
131.7 136.1 160.4 161.7 154.0 109.3
0.492 0.526 0.555 0.573 0.569 0.493
0.531 0.558 0.580 0.586 0.574 0.536
Desember 2010
11.0
10.4
99.8
101.3
0.485
0.521
rata-rata
28.3
27.5
120.3
120.9
0.510
0.523
AME
0.03
0.01
0.02
Penerapan Skenario Model Sebagai tindak lanjut hasil analisis kondisi eksisting dan pemodelan dinamik pengendalian pencemaran di Sungai Ciujung adalah penyusunan skenario atau intervensi model berupa alternatif rancangan kebijakan yang dapat dilaksanakan berdasarkan kondisi eksisting yang ada. Melalui intervensi, perilaku sistem yang diinginkan dapat diperoleh sedangkan perilaku sistem yang tidak diinginkan dapat dihindari (Avianto 2010). Penerapan skenario model melalui simulasi model untuk melihat kecenderungan perilaku sistem yang dianalisis. Model simulasi yang diperlukan adalah suatu model yang dapat memberikan pemahaman tentang sebab terjadinya persoalan manajemen (perilaku yang tidak dikehendaki), dan melalui pemahaman ini dapat dirancang suatu kebijakan untuk memperbaiki persoalan tersebut (policy directions) (DSF 2011). Skenario pengendalian didasarkan pada hasil analisis prioritas strategi reduksi beban pencemaran berdasarkan hasil penilaian pakar menggunakan
137 metode Analytical Hierarchy Process pada sub-bab sebelumnya. Simulasi model dilakukan dengan beberapa skenario dan dianalisis. Skenario yang diterapkan yaitu: 1) berdasarkan skenario dasar (kondisi eksisting) sebelumnya dengan asumsi tidak ada pengendalian yang dilakukan (perubahan teknologi) dan tidak ada perubahan kebijakan selama periode perencanaan. Skenario pertama merupakan skenario dasar dimana tidak dilakukan intervensi terhadap model sehingga kondisi model merupakan kondisi saat ini tanpa adanya upaya atau strategi untuk perbaikan sistem, 2) skenario 2 merupakan skenario moderat dengan merancang kebijakan untuk mengurangi beban pencemaran melalui penerapan perijinan pembuangan limbah yang lebih ketat serta penerapan pajak limbah berdasarkan hasil pemantauan kualitas air, penetapan kelas sungai dan daya tampung beban pencemaran. Kebijakan ini baru dalam tahap sosialisasi dan belum dapat berjalan sepenuhnya, 3) skenario 3 merupakan skenario optimis, dimana kebijakan untuk mengurangi beban pencemaran melalui penerapan perijinan pembuangan limbah yang lebih ketat serta penerapan pajak limbah berdasarkan hasil pemantauan kualitas air, penetapan kelas sungai dan daya tampung beban pencemaran sudah dapat diimplementasikan. Hasil wawancara dengan pihak penanggung jawab pengelolaan limbah IKPP pada tahun 2012, menyatakan bahwa kinerja IPAL yang ada dengan menggunakan teknologi lumpur aktif dapat menurunkan nilai BOD dan COD rata-rata 40 %. Sementara hasil penelitian Titiresmi (2007), menunjukkan bahwa penggunaan teknologi lumpur aktif dapat menurunkan nilai COD pada air limbah sampai 90%. Menurut Suwari (2011), bahwa dengan mengimplementasikan peraturan pengendalian pencemaran air Kali Surabaya dari 43.2% menjadi 62.1%, diprediksikan pada tahun 2030 dapat menurunkan beban pencemaran BOD sampai 48.58%. Berdasarkan hal tersebut, maka diasumsikan penerapan skenario moderat dapat mendorong reduksi potensi beban pencemaran sampai 50%, dan penerapan skenario optimis dapat mendorong reduksi beban pencemaran hingga 75%. Penerapan skenario model ditunjukkan pada Tabel 5.24.
138
Tabel 5.24 penerapan skenario model No 1.
Faktor Pesimis Pemantauan - pemantauan kualitas kualitas air air sungai sudah rutin dilakukan - pemantauan air limbah industri belum rutin dilakukan
Skenario Moderat Pemantauan kualitas air sungai dan air limbah sudah rutin dilakukan
2.
Daya tampung beban pencemaran
Daya tampung beban pencemaran belum ditetapkan
Daya tampung beban pencemaran sudah ditetapkan
3.
Kelas sungai
Kelas sungai belum ditetapkan
4.
Peraturan daerah yang memuat tentang ijin pembuangan limbah, baku mutu air limbah, dan kuota limbah
Peraturan daerah yang memuat ketentuan teknis pengelolaan air limbah, perijinan pembuangan limbah, kuota limbah, dan baku mutu air limbah belum ada
Peraturan daerah yang memuat ketentuan teknis pengelolaan air limbah, perijinan pembuangan limbah, kuota limbah, dan baku mutu air limbah sudah disusun dan disosialisasikan
5
Peraturan daerah tentang pajak air limbah
Peraturan mengenai pajak air limbah belum ada
Peraturan mengenai pajak air limbah sudah disusun dan disosialisasikan
Kelas sungai sudah ditetapkan
Optimis pemantauan kualitas air sungai dan air limbah sudah rutin dilakukan
Daya tampung beban pencemaran sudah ditetapkan secara berkala Kelas sungai sudah ditetapkan secara berkala Peraturan daerah yang memuat ketentuan teknis pengelolaan air limbah, perijinan pembuangan limbah, kuota limbah, dan baku mutu air limbah sudah diimplementasikan Peraturan daerah yang memuat ketentuan teknis pengelolaan air limbah, perijinan pembuangan limbah, kuota limbah, dan baku mutu air limbah sudah diimplementasikan
Perbandingan Penerapan antar Skenario (1) Kualitas Air Sungai Ciujung a. Nilai BOD Hasil simulasi model untuk nilai dan DTBP BOD pada tiap skenario, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai diantara ketiga skenario (pesimis, moderat dan optimis) yang diterapkan seperti terlihat pada Gambar 5.76. Kecenderungan peningkatan beban pencemaran BOD yang dimulai pada tahun 2011 hingga akhir tahun simulasi pada tahun 2020 terlihat pada ketiga skenario yang diterapkan.
139 100
BOD (mg/L)
80
BOD Sungai BOD Sungai_M BOD sungai_O BM BOD Kelas 1 BM BOD Kelas 2 BM BOD Kelas 3 BM BOD Kelas 4
60
40
20
0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Tahun
Gambar 5.76
Prediksi nilai BOD hasil simulasi skenario tahun 2009 hingga 2020 di Sungai Ciujung
Gambar 5.76 menunjukkan bahwa tahun 2011 pada kondisi eksisting (skenario pesimis) menghasilkan nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 72.2 mg/L dan 7.9 mg/L pada musim hujan. Nilai BOD semakin meningkat sehingga pada akhir tahun simulasi (2020) menjadi 86.4 mg/L pada musim kemarau dan 9.1 mg/L pada musim hujan. Sedangkan pada skenario moderat dan optimis pada akhir tahun simulasi di musim kemarau terjadi penurunan nilai BOD berturutturut sebesar 46.21% (46.5 mg/L) dan 69.8% (26.1 mg/L) . Sementara penurunan di musim hujan untuk masing-masing skenario moderat dan optimis masing-masing sebesar 32.04% (6.2 mg/L) dan 48.4% (4.7 mg/L) Nilai BOD yang dihasilkan pada skenario optimis lebih rendah jika dibandingkan pada skenario pesimis disebabkan oleh adanya penerapan ijin membuangan limbah yang lebih ketat dan adanya penerapan pajak limbah sehingga beban pencemar yang masuk ke sungai dapat direduksi. Namun skenario ini belum sesuai dengan harapan karena nilai BOD di Sungai Ciujung pada musim kemarau masih melebihi kriteria mutu air kelas IV yang mensyaratkan maksimum 12 mg/L meskipun pada musim hujan sudah dapat memenuhi kelas III yang mensyaratkan maksimum 6 mg/L. b. Nilai COD Hasil simulasi model pengendalian pencemaran yang menggambarkan nilai COD pada penerapan skenario model selama periode simulasi hingga tahun 2020 dapat dilihat pada Gambar 5.77.
140 250
COD (mg/L)
200
COD Sungai COD Sungai_M COD sungai_O BM COD Kelas1 BM COD Kelas 2 BM COD Kelas 3 BM COD Kelas 4
150
100
50
0 2009
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
2018 2019 2020
Tahun
Gambar 5.77
Prediksi nilai COD hasil simulasi skenario tahun 2009 hingga 2020 di Sungai Ciujung
Gambar 5.77 menunjukkan bahwa penerapan skenario moderat dan optimis menghasilkan nilai COD yang lebih rendah jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Pada akhir tahun simulasi di musim hujan, terjadi penurunan nilai COD sebesar 4.48% (93. 8 mg/L) untuk skenario moderat dan 6.82% (91.5 mg/L) untuk skenario optimis. Sementara pada musim kemarau penurunan nilai BOD yang dilakukan pada skenario moderat 27.60% (130.4 mg/L) dan pada skenario optimis 41.7% (105.0 mg/L). Hasil simulasi nilai COD memperlihatkan bahwa pada akhir tahun simulasi, nilai COD pada musim hujan memenuhi kriteria mutu air kelas IV yang mensyaratkan maksimum 100 mg/L untuk seluruh skenario, sementara pada musim kemarau tidak memenuhi. c. Konsentrasi Senyawa AOX Hasil simulasi model yang menggambarkan nilai konsentrasi senyawa AOX pada penerapan skenario model dapat dilihat pada Gambar 5.78. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa AOX yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis). Konsentrasi senyawa AOX akan terus meningkat, sehingga pada akhir tahun simulasi mencapai 0.1391 mg/L di musim hujan dan 0.1394 mg/L di musim kemarau. Penurunan konsentrasi senyawa AOX pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 2.88% (0.1351 mg/L) dan skenario optimis 4.39% (0.1330 mg/L). Sementara pada musim kemarau penurunan konsentrasi senyawa AOX untuk skenario moderat sebesar 2.87% (0.1354 mg/L) dan skenario optimis 4.16% (0.1336 mg/L). Konsentrasi senyawa AOX di Sungai Ciujung tersebut tidak memenuhi kriteria mutu air sungai kelas II yang mempersyaratkan maksimum 0.02 mg/L. Jika tidak ada upaya pengendalian, maka senyawa ini akan terbioakumulasi dalam ikan dan dan akan membahayakan kesehatan manusia jika mengkonsumsinya.
141
0,25
AOX (mg/L)
0,20
AOX Sungai AOX Sungai_M AOX Sungai_O BM AOX Kelas 1 BM AOX Kelas 2 BM AOX Kelas 3 BM AOX Kelas 4
0,15
0,10
0,05
0,00 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Gambar 5.78 Prediksi konsentrasi senyawa AOX hasil simulasi skenario tahun 2011 hingga 2020 di Sungai Ciujung. d. Konsentrasi logam krom (Cr) Hasil simulasi model yang menggambarkan nilai Cr pada penerapan skenario model dapat dilihat pada Gambar 5.79 berikut. 1,0
Cr (mg/L)
0,8
Cr Sungai Cr Sungai_M Cr Sungai_O BM Cr Kelas1 BM Cr Kelas 2 BM Cr Kelas 3 BM Cr Kelas 4
0,6
0,4
0,2
0,0 2009 2010 2011 2012 2013 2014
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Gambar 5.79 Prediksi konsentrasi logam Cr hasil simulasi skenario tahun 2011 hingga 2020 di Sungai Ciujung. Gambar 5.79 menjelaskan bahwa konsentrasi Cr yang terjadi pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis). Konsentrasi logam Cr akan terus mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2020 mencapai 1.1559 mg/L di musim hujan dan 1.1643 mg/L di musim kemarau.
142 Hasil simulasi skenario moderat pada akhir tahun simulasi, menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan konsentrasi Cr 47.56% (0.6062 mg/L) di musim hujan dan 72.64% (0.3162 mg/L) di musim kemarau. Sementara pada penerapan skenario optimis, penurunan konsentrasi Cr sebesar 44.95% (0.6410 mg/L) di musim hujan dan 67.91% (0.3736 mg/L) di musim kemarau. Hasil perbandingan penerapan antar skenario seluruh parameter yang dinyatakan dalam persentase konsentrasi terhadap kondisi eksisting (skenario pesimis), disajikan pada Tabel 5.25. Tabel 5.25
Parameter
Perbandingan konsentrasi parameter pencemar antar skenario terhadap skenario pesimis pada akhir tahun simulasi Musim
Konsentrasi (mg/L) Pesimis
Optimis
9.1
6.2
4.7
Kemarau
86.4
46.5
26.1
46.18
69.79
Hujan
98.2
93.8
91.5
180.1
130.4
105.0
4.48 27.60
6.82 41.70
Hujan
0.1391
0.1351
0.133
2.88
4.39
Kemarau
0.1394
0.1354
0.1336
2.87
4.16
Hujan
1.1559
0.6062
0.3162
47.56
72.64
Kemarau 1.1643 Sumber: Hasil Analisis (2011)
0.6410
0.3736
44.95
67.91
BOD COD
Hujan
Moderat
Penurunan konsentrasi terhadap skenario pesimis (%) Moderat Optimis 31.87 48.35
Kemarau AOX Cr
Dari Tabel 5.25 terlihat bahwa pada kondisi eksisting (skenario pesimis) secara umum berdampak terhadap semakin memburuknya kondisi kualitas air di Sungai Ciujung jika dibandingkan terhadap kedua skenario lainnya, yaitu skenario moderat dan optimis. Pada musim hujan, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 31.87% nilai BOD, 4.48% nilai COD, 2.88% konsentrasi senyawa AOX dan 47.56% konsentrasi logam Cr jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 46. 81% nilai BOD, 27.60% nilai COD, 2.87% konsentrasi senyawa AOX dan 44.95% konsentrasi logam Cr. Penerapan skenario optimis di musim hujan dapat mereduksi 48.35% nilai BOD, 6.82% nilai COD, 4.39% konsentrasi senyawa AOX dan 72.64% konsentrasi logam Cr jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario optimis dapat mereduksi 69.79% nilai BOD, 41.70% nilai COD, 4.16% konsentrasi senyawa AOX dan 67.91% konsentrasi logam Cr. Secara keseluruhan parameter pencemar yang memiliki nilai konsentrasi terendah, yaitu pada penerapan skenario optimis sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan skenario optimis dapat meningkatkan kualitas air di Sungai Ciujung.
143 (2) Dampak Pencemaran Senyawa AOX a. Dampak terhadap ikan Hasil simulasi model yang menggambarkan kandungan senyawa AOX dalam ikan pada penerapan skenario model dapat dilihat pada Gambar 5.80. 0,65
PCP Ikan PCP Ikan_M PCP Ikan_O
0,030
TCDD_Ikan (g/kg)
PCP_Ikan (g/kg)
0,033
0,60
TCDD Ikan TCDD Ikan_M TCDD Ikan_O 0,55
0,027
0,50 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a)
(b) 0,00060
0,50
TCDF Ikan TCDF Ikan_M TCDF Ikan_O 0,45
CHCl3_Ikan (g/kg)
TCDF_Ikan (g/kg)
0,55
0,00055
0,00050
CH3Cl Ikan CH3Cl Ikan_M CH3Cl Ikan_O
0,00045
0,40 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(c)
(d)
Gambar 5.80 Prediksi kandungan senyawa AOX dalam ikan hasil simulasi skenario tahun 2011 hingga 2020 (a) PCP, (b) 2,3,7,8-TCDD, (c) 2,3,7,8-TCDF, (b) CHCl3 Gambar 5.80 memperlihatkan bahwa kandungan senyawa PCP dalam ikan yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 0.02982 g/kg di musim hujan dan 0.03189 g/kg di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.37% (0.02993 g/kg) dan di musim kemarau 2.32% (0.03263 g/kg). Penurunan kandungan senyawa PCP dalam ikan pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.07% (0.02961 g/kg) dan skenario optimis 1.64% (0.02944 g/kg). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa PCP dalam ikan untuk skenario moderat sebesar 11.12% (0.02900 g/kg) dan skenario optimis 16.79% (0.02715 g/kg). Kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam ikan yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario
144 lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 0.5792 g/kg di musim hujan dan 0.6196 g/kg di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.38% (0.5814 g/kg) dan di musim kemarau 2.29% (0.6338 g/kg). Penurunan kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam ikan pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.07% (0.5752 g/kg) dan skenario optimis 1.62% (0.5720 g/kg). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam ikan untuk skenario moderat sebesar 11.11% (0.5634 g/kg) dan skenario optimis 16.79% (0.5274 g/kg). Kandungan senyawa 3,7,8-TCDF dalam ikan yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 0.4634 g/kg di musim hujan dan 0.4956 g/kg di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.37% (0.4651 g/kg) dan di musim kemarau 2.32% (0.5071 g/kg). Penurunan kandungan senyawa 3,7,8- TCDF dalam ikan pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.08% (0.4601 g/kg) dan skenario optimis 1.61% (0.4576 g/kg). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa 3,7,8- TCDF dalam ikan untuk skenario moderat sebesar 11.12% (0.4507 g/kg) dan skenario optimis 16.80% (0.4219 g/kg). Kandungan senyawa CHCl3 dalam ikan yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 4.91 x 10-4 g/kg di musim hujan dan 5.252 x10-4 g/kg di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.37% (4.928 x10-4 g/kg) dan di musim kemarau 2.30% (5.373 x10-4 g/kg). Penurunan kandungan senyawa CHCl3 dalam ikan pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.06% (4.876 x10-4 g/kg) dan skenario optimis 1.60% (4.849 x10-4 g/kg). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa CHCl3 dalam ikan untuk skenario moderat sebesar 11.11% (4.776x10-4 g/kg) dan skenario optimis 16.79% (4.471x10-4 g/kg). Tabel 5.26 Musim
Hujan
Perbandingan penurunan kandungan senyawa AOX dalam ikan antar skenario Parameter
Pesimis
Moderat
% Penurunan
Optimis
Moderat
Optimis
2,3,7,8-TCDD
0.5814
0.5752
0.572
1.07
1.62
2,3,7,8-TCDF
0.4651
0.4601
0.4576
1.08
1.61
PCP
0.0299
0.0296
0.0294
1.07
1.64
-4
-4
-4
1.06
1.60
CHCl3
Kemarau
Kandungan AOX dalam Ikan (g/kg)
4.928x10
4.876 x10
4.849 x10
2,3,7,8-TCDD
0.6338
0.5634
0.5274
11.11
16.79
2,3,7,8-TCDF
0.5071
0.4507
0.4219
11.12
16.80
PCP
0.0326
0.0290
0.0272
11.12
16.79
-4
-4
-4
11.11
16.79
CHCl3 5. 373 x10 Sumber: Hasil Analisis (2011)
4.776 x10
4.471 x10
Tabel 5.26 memperlihatkan bahwa pada kondisi eksisting (skenario pesimis) secara umum berdampak terhadap semakin besarnya kandungan senyawa
145 AOX dalam ikan jika dibandingkan terhadap kedua skenario lainnya, yaitu skenario moderat dan optimis. Pada musim hujan, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 1.07% kandungan PCP dan 2, 3,7,8-TCDD, 1.08% kandungan 2,3,7,8-TCDF dan 1.06% kandungan CH3Cl jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 11.12% kandungan PCP dan 3,7,8-TCDF serta menurunkan 11.11% kandungan 2,3,7,8-TCDD dan CH3Cl. Penerapan skenario optimis di musim hujan dapat mereduksi 1.64% kandungan PCP, 1.62% kandungan 2,3,7,8-TCDD, 1.61% kandungan 2,3,7,8TCDF dan 1.60% kandungan CH3Cl jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario optimis dapat mereduksi 16.79% kandungan PCP, 2,3,7,8-TCDD dan CH3Cl, serta menurunkan 16.80% kandungan 2,3,7,8-TCDF. Secara keseluruhan kandungan senyawa AOX dalam ikan yang paling rendah, yaitu pada penerapan skenario optimis sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan skenario optimis dapat menurunkan kandungan senyawa AOX dalam ikan. b. Dampak terhadap manusia Hasil simulasi model yang menggambarkan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia pada penerapan skenario model dapat dilihat pada Gambar 5.81 berikut. 0,04
0,0010 PCP Manusia PCP Manusia_M PCP Manusia_O TDI PCP 0,0005
TCDD_Manusia (g/hari)
PCP_Manusia (g/hari)
0,0015
0,0000
0,03
0,02 TCDD Manusia TCDD Manusia_M TCDD Manusia_O TDI TCDD
0,01
0,00
-0,01 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(a)
(b)
0,04
0,03
0,02 TCDF Manusia TCDF Manusia_M TCDF Manusia_O TDI TCDF
0,01
0,00
CHCl3_Manusia (g/hari)
TCDF_Manusia (g/hari)
0,0006
0,0005
0,0004 CH3Cl Manusia CH3Cl Manusia_M CH3Cl Manusia_O TDI CH3Cl
0,0003
0,0002
0,0001
0,0000
-0,01 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
Tahun
(c)
(d)
Gambar 5.81 Prediksi kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia hasil simulasi skenario tahun 2011 hingga 2020 (a) PCP, (b) 3,7,8-TCDD, (c) 3,7,8-TCDF, (b) CHCl3
146 Gambar 5.81 memperlihatkan bahwa kandungan senyawa PCP dalam tubuh manusia yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 1.47x10-3 g/hari di musim hujan dan 1.55x10-3 g/hari di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0,37% (1.48 x10-3 g/hari) dan di musim kemarau 2.32% (1.61x10-3 g/hari). Penurunan kandungan senyawa PCP dalam tubuh manusia pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1,06% (1.46x10-3 g/hari) dan skenario optimis 1.61% (1.45x10-3 g/hari). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa PCP dalam tubuh manusia untuk skenario moderat sebesar 11.12% (1.43 x10-3 g/hari) dan skenario optimis 16.79% (1.34 x10-3 g/hari). Kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam tubuh manusia yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 0.0286 g/hari di musim hujan dan 0.0305 g/hari di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.35% (0.0287 g/hari) dan di musim kemarau 2.32% (0.0313 g/hari). Penurunan kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam tubuh manusia pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.05% (0.0284 g/hari) dan skenario optimis 1.61% (0.0282 g/hari). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDD dalam tubuh manusia untuk skenario moderat sebesar 11.14% (0.0278 g/hari dan skenario optimis 16.80% (0.0260 g/hari). Kandungan senyawa 2,3,7,8-TCDF dalam tubuh manusia yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 0.0229 g/hari di musim hujan dan 0.0244 g/hari di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.35% (0.0229 g/hari) dan di musim kemarau 2.29% (0.0250 g/hari). Penurunan kandungan senyawa 3,7,8- TCDF dalam tubuh manusia pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.09% (0.0227 g/hari) dan skenario optimis 1.61% (0.0226 g/hari). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa 3,7,8- TCDF dalam tubuh manusia untuk skenario moderat sebesar 11.12% (0.0222 g/hari) dan skenario optimis 16.80% (0.0208 g/hari). Kandungan senyawa CHCl3 dalam tubuh manusia yang dihasilkan pada kondisi eksisting (skenario pesimis), lebih tinggi dibandingkan kedua skenario lainnya (moderat dan optimis), yaitu sebesar 2.42 x10 -5 g/hari di musim hujan dan 2.59 x10-5 g/hari di musim kemarau pada tahun 2011. Pada tahun 2020 mengalami peningkatan di musim hujan 0.28% (2.43 x10-5 g/hari) dan di musim kemarau 2.30% (2.65x10-5 g/hari). Penurunan kandungan senyawa CHCl3 dalam tubuh manusia pada akhir tahun simulasi di musim hujan untuk skenario moderat 1.07% (2.40 x10-5g/hari) dan skenario optimis 1.61% (2.39 x10-5 g/hari). Sementara pada musim kemarau penurunan kandungan senyawa CHCl 3 dalam tubuh manusia untuk skenario moderat sebesar 11.11% (2.35 x10 -5 g/hari) dan skenario optimis 16.79% (2.20 x10-5 g/hari). Hasil perbandingan penerapan antar skenario seluruh parameter yang dinyatakan dalam persentase kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia terhadap kondisi eksisting (skenario pesimis), disajikan pada Tabel 5.27.
147 Tabel 5.27
Musim
Perbandingan penurunan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia antar skenario Parameter 2,3,7,8-TCDD
Hujan
2,3,7,8-TCDF
PCP CHCl3
Kandungan AOX dalam Manusia (g/kg) Pesimis Moderat Optimis 0.0287
0.0284
% Penurunan Moderat
Optimis
0.0282
1.05
1.61
0.0229
0.0227
0.0226
1.09
1.61
1.48 x10-3
1.46 x10-3
1.45 x10-3
1.06
1.61
-5
-5
-5
1.07
1.61
2.43 x10
2.40 x10
2.39 x10
2,3,7,8-TCDD
0.0313
0.0278
0.0260
11.14
16.80
2,3,7,8-TCDF
0.0250
0.0222
0.0208
11.12
16.80
1.61 x10
-3
-3
1.34 x10
-3
11.12
16.79
CHCl3 2.65 x10 Sumber: Hasil Analisis (2011)
-5
2.20 x10
-5
11.11
16.79
Kemarau
PCP
1.43 x10 2.35 x10
-5
Tabel 5.27 memperlihatkan bahwa pada kondisi eksisting (skenario pesimis) secara umum berdampak terhadap semakin besarnya kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia jika dibandingkan terhadap kedua skenario lainnya, yaitu skenario moderat dan optimis. Pada musim hujan, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 1.06% kandungan PCP, 1.05% kandungan 2,3,7,8-TCDD, 1.09% kandungan 2,3,7,8-TCDF dan 1.07% kandungan CH3Cl jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario moderat dapat mereduksi 11.12% kandungan PCP, 11.14% kandungan 2,3,7,8-TCDD, 11.12% kandungan 2,3,7,8-TCDF dan 11.11% kandungan CH3Cl. Penerapan skenario optimis di musim hujan dapat mereduksi seluruh kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia masing-masing sebesar 1.61% jika dibandingkan terhadap skenario pesimis. Sementara pada musim kemarau, penerapan skenario optimis dapat mereduksi 16.79% kandungan PCP dan CH3Cl serta dapat mereduksi 16.80% kandungan 2,3,7,8-TCDD dan 2,3,7,8-TCDF. Secara keseluruhan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia yang paling rendah yaitu pada penerapan skenario optimis, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan skenario optimis dapat menurunkan kandungan senyawa AOX dalam tubuh manusia. Implikasi Kebijakan Pada dasarnya kebijakan lingkungan bertujuan untuk mengubah perilaku manusia agar aktivitas yang dilakukan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan atau dapat meminimalkan kerusakan lingkungan. Menurut Soleiman dalam Mandra (2012), kebijakan pengendalian pencemaran pada umumnya menggunakan instrumen yang berbasis pasar (market based) atau berupa perintah dan pengendalian (command and control / CAC). Kebijakan CAC melakukan perubahan perilaku masyarakat menggunakan sistem pengawasan yang ketat dan adanya sanksi hukum agar kebijakan dapat dipatuhi oleh masyarakat. Sedangkan kebijakan menggunakan instrumen ekonomi mengubah perilaku masyarakat menggunakan penerapan nilai ekonomi di mana masyarakat akan mengubah perilakunya sesuai dengan pertimbangan meningkatnya pengeluaran biaya akibat aktivitas yang dilakukan. Dengan
148 demikian apabila pengawasan pelaksanaan kebijakan tidak dapat atau sulit dilakukan atau tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan maka suatu kebijakan CAC tidak dapat melakukan fungsinya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu pada umumnya kedua kebijakan tersebut dilakukan bersamaan. (1) Skenario Pesimis Berdasarkan hasil simulasi model diketahui bahwa skenario pesimis secara umum berdampak terhadap semakin memburuknya kualitas air Sungai Ciujung. Hal ini terjadi karena masih lemahnya kegiatan pemantauan kualitas air dan belum ditetapkannya kelas sungai serta DTBP. Lemahnya sistem pemantauan terhadap kualitas limbah industri dan sumber air oleh BLHD Provinsi Banten dan BLH Serang serta instansi terkait lainnya menyebabkan ketaatan industri untuk membangun IPAL dan mengoperasikan IPAL nya secara optimal masih rendah. Menurut BLH (2012), kegiatan usaha yang dapat diawasi pada tahun 2012 adalah 298 kegiatan usaha dari 580 kegiatan usaha yang ada di Kabuapten Serang. Kegiatan usaha yang sudah memiliki IPAL sesuai ketentuan teknis dan telah mengoperasikannya secara optimal sebanyak 33 kegiatan usaha, padahal IPAL merupakan instrumen yang penting dalam mengurangi beban pencemar yang diakibatkan oleh kegiatan industri. Belum adanya status kelas sungai, tidak jelasnya beban sungai serta belum ditetapkannya DTBP menyebabkan penegakan hukum sulit dilaksanakan. Sehingga penetapan kelas air Sungai Ciujung menjadi hal yang mendesak dalam rangka penegakan hukum lingkungan dan pengendalian pencemaran Sungai Ciujung. (2) Skenario Moderat Tujuan dari penerapan skenario moderat, yaitu untuk mereduksi beban pencemaran yang masuk ke Sungai Ciujung sehingga kualitas air sungai meningkat. Skenario ini dapat diterapkan dengan meningkatkan pemantauan kualitas air limbah industri dan ditetapkannya kelas Sungai Ciujung serta DTBP nya. Peningkatan pemantauan terhadap limbah industri dapat dilakukan dengan sering mengadakan inspeksi mendadak tanpa pemberitahuan ke industri oleh lembaga pemerintah yang berwenang serta pemberian sanksi administratif berupa denda hingga penutupan bagi industri pencemar. Lembaga lingkungan hidup harus memiliki wewenang yang kuat dalam mengawasi dan memberi sanksi kepada industri yang mencemari Sungai Ciujung. Penetapan DTBP adalah penetapan kemampuan air Sungai Ciujung dalam menerima masukan beban pencemaran tanpa menyebabkan air tersebut tercemar. Besarnya beban pencemar yang dapat diterima oleh Sungai Ciujung untuk semua parameter kualitas air termasuk senyawa AOX dapat diketahui dari besarnya DTBP di setiap segmen sungai. Hasil penetapan DTBP Sungai Ciujung pada kondisi eksisting menunjukkan bahwa Sungai Ciujung sudah tidak memiliki daya tampung. Hasil ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pemberian ijin lokasi, pengeloaan air dan sumber air, pemetaan rencana tata ruang, pemberian ijin pembuangan limbah dan penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air (Suwari 2010).