HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan. Analisis proksimat yang dilakukan pada buah sirih hutan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference). Hasil analisis proksimat buah sirih hutan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil analisis proksimat buah sirih hutan Peubah
Kandungan (%)
Kadar air
11.32
Kadar abu
6.38
Kadar protein
11.42
Kadar lemak
4.98
Kadar karbohidrat
65.90
Sampel yang akan dianalisis sering mengandung air sehingga diperlukan penetapan kadar air untuk mengetahui jumlah bahan (bobot kering) yang terdapat dalam ekstrak. Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap daya simpannya, karena erat kaitannya dengan aktivitas mikrobiologi yang terjadi selama bahan tersebut disimpan. Kadar air yang tinggi menyebabkan mikroba lebih mudah mengalami pertumbuhan. Selain rentan terhadap kerusakan oleh mikroba dan jamur, kadar air yang tinggi juga berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan. Sampel yang baik disimpan dalam jangka panjang adalah sampel yang memiliki kadar air kurang dari 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung dalam buah sirih hutan adalah 11.32%. Dengan demikian buah sirih hutan ini memiliki kadar air lebih besar dari 10%, artinya buah sirih hutan ini diramalkan akan memiliki waktu simpan yang relatif singkat dan mudah rusak oleh mikroba. Menurut Hernani & Nurdjanah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan
adalah waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembapan udara di sekitarnya, kelembapan bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan. Pertumbuhan mikroba pada buah sirih hutan dapat dihambat dengan cara menyimpan serbuk kering buah sirih hutan dalam wadah dan tempat yang kering serta tidak lembap, atau dengan mengeringkan kembali sehingga kadar airnya dapat berkurang. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada suatu bahan yang tidak terbakar selama pengabuan. Mineral sebagai senyawa anorganik akan tertinggal dalam bentuk abu yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Kandungan mineral yang cukup besar diperlukan untuk keseimbangan osmosis dalam mempertahankan sistem biologinya (Bidwel 1974). Kadar abu buah sirih hutan yang diperoleh adalah 6.38%. Nilai tersebut cukup besar karena buah sirih hutan kaya akan mineral. Kandungan mineral pada buah sirih hutan di antaranya nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, sulfur, boron, tembaga, mangan, dan seng (Hartemink 2001). Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein dibentuk oleh asam-asam amino yang mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen (beberapa asam amino juga mengandung fosfor, besi, dan yodium) melalui ikatan peptida (Tejasari 2003). Kadar protein pada buah sirih hutan yang diperoleh adalah 11.42%. Lemak merupakan bagian jaringan tubuh yang dapat digunakan sebagai sumber energi setelah dicerna. Menurut bobotnya, energi yang diperoleh dari lemak dua kali lebih banyak dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Helper et al. 1988). Kadar lemak yang didapatkan dari buah sirih hutan adalah 4.98%. Lemak dalam tubuh umumnya disimpan sebesar 45% di sekeliling organ dan rongga perut (Almatsier 2006). Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi kehidupan manusia dan hewan. Karbohidrat dalam ilmu gizi dibagi dalam dua golongan, yaitu karbohidrat sederhana (monosakarida, disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida dan serat) (Almatsier 2006). Kadar karbohidrat dapat ditentukan dengan perhitungan by difference yaitu hasil
pengurangan 100% dengan kadar air, abu, protein, dan lemak, sehingga kadar karbohidrat bergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat dipengaruhi oleh faktor kandungan zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat pada buah sirih hutan adalah 65.90%. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan kandungan gizi yang lainnya.
Hasil Ekstraksi Buah Sirih Hutan Ekstraksi merupakan proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari suatu campuran dengan bantuan pelarut. Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada sampel uji dan jenis pelarut yang digunakan. Pemilihan pelarut berdasarkan prinsip kelarutan like dissolves like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa yang polar, sedangkan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar. Suatu senyawa akan menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda pula. Sampel buah sirih hutan diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu praktis, efektif, aman, dan ekonomis dalam penggunaannya serta menghindari rusaknya senyawa aktif pada sampel yang tidak tahan panas. Maserasi dilakukan dengan cara merendam sampel dalam pelarut organik, kemudian ekstrak cair dibebaskan dari pelarutnya dengan menggunakan rotavapor. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dalam ekstraksi bertahap berturutturut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Penggunaan berbagai jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda dilakukan untuk mendapatkan ekstrak dengan hasil yang optimal dari senyawa yang belum diketahui jenisnya. Pelarut nheksana merupakan pelarut yang bersifat nonpolar yang diharapkan dapat mengekstrak atau mengambil senyawa-senyawa yang bersifat nonpolar, pelarut etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semipolar yang diharapkan mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat semipolar, sedangkan pelarut metanol merupakan pelarut yang bersifat polar yang diharapkan dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat polar. Berdasarkan hasil ekstraksi buah sirih hutan, rendemen yang diperoleh dari ekstrak n-heksana, etil asetat, dan metanol masing-masing sebesar 6.93% dengan
10 kali ekstraksi, 2.07% dengan 9 kali ekstraksi, dan 5.81% dengan 1 kali ekstraksi (Tabel 2). Ekstrak n-heksana yang diperoleh berupa minyak yang berwarna kuning kehitaman, sedangkan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol dalam bentuk pasta dengan warna masing-masing hijau pekat dan cokelat pekat. Tabel 2 Rendemen ekstrak buah sirih hutan dengan ekstraksi bertahap Bobot ekstrak (g)
Rendemen (%)
Warna ekstrak
n-Heksana
55.3311
6.93
Kuning kehitaman
Etil asetat
16.5343
2.07
Hijau pekat
Metanol
46.3564
5.81
Cokelat pekat
Pelarut
Hasil Analisis Fitokimia Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu sampel. Analisis ini bertujuan menguji keberadaan golongan senyawa seperti alkaloid, flavonoid, hidrokuinon, saponin, tanin, triterpenoid, dan steroid. Golongan senyawa dalam sampel buah sirih hutan dapat ditentukan dengan melihat perubahan warna setelah ditambahkan pereaksi yang spesifik untuk setiap uji kualitatif. Uji fitokimia ini dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa buah sirih hutan yang kemungkinan dapat berperan sebagai insektisida. Senyawa-senyawa kimia dari tumbuhan dapat menimbulkan pengaruh yang merugikan pada kehidupan serangga antara lain mematikan, mengganggu pertumbuhan, menghambat pembentukan kulit, mengganggu penemuan inang, menghambat perkembangan serangga, menurunkan fertilitas, dan membunuh telur (Dadang & Prijono 2008). Hasil uji fitokimia buah sirih hutan menunjukkan bahwa sampel yang diuji tidak semuanya memberikan respons positif terhadap pereaksi yang digunakan (Tabel 3). Simplisia yang diuji memberikan respons positif terhadap uji alkaloid, flavonoid, tanin, dan steroid. Keberadaan senyawa-senyawa ini sesuai dengan beberapa laporan yang menyatakan bahwa sirih hutan mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, flavanon, flavon, seskuiterpena, monoterpena, kalkon,
Tabel 3 Hasil uji fitokimia buah sirih hutan Respons pada Golongan senyawa Simplisia
Ekstrak n-Heksana
Ekstrak etil asetat
Ekstrak metanol
Alkaloid
+
+
+
+
Flavonoid
+
+
TD
+
Hidrokuinon
TD
TD
TD
TD
Saponin
TD
+
TD
TD
+
+
TD
TD
TD
TD
TD
TD
+
+
+
+
Tanin Triterpenoid Steroid TD: tidak terdeteksi.
dihidrokalkon, kromena, fenilpropanoid, dan benzenoid (Parmar et al.1997; Taylor 2006). Ekstrak n-heksana memberikan respons positif terhadap uji alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan steroid. Perbedaan terlihat dari kandungan saponin yang tidak terdeteksi pada simplisia. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan fitokimia yang terdapat dalam simplisia sangat rendah sehingga tidak terdeteksi. Ekstrak etil asetat memberikan respons positif terhadap uji alkaloid dan steroid, sedangkan ekstrak metanol memberikan respons positif terhadap uji alkaloid, flavonoid, dan steroid. Tidak adanya triterpenoid pada sampel yang diuji sesuai dengan beberapa laporan yang menyatakan bahwa buah sirih hutan mengandung senyawa terpenoid kelompok monoterpena dan seskuiterpena (Jamal et al. 2003; Navickiene et al. 2006). Di antara ketiga ekstrak yang diuji, ekstrak n-heksana memberikan respons positif paling banyak dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Hal ini karena pelarut n-heksana digunakan paling awal dan menunjukkan bahwa pelarut tersebut dapat menarik berbagai senyawa nonpolar dalam buah sirih hutan. Beberapa alkaloid dilaporkan bersifat toksik dan menghambat perkembangan serangga. Guininsin, pelitorin, piperisida, piperin, piperlonguminin, dan retrofraktamida A merupakan contoh senyawa alkaloid yang umumnya terdapat dalam tumbuhan famili Piperaceae dan telah dilaporkan bersifat insektisida
(Miyakado et al. 1989; Parmar et al. 1997; Scott et al. 2008). Cara kerja sejumlah alkaloid mempengaruhi kinerja asetilkolin dalam sistem saraf serangga (Panda & Khush 1995). Tanin memainkan peranan penting dalam sistem pertahanan tumbuhan dalam menghadapi serangan herbivora. Keberadaan tanin dalam tanaman dapat mempengaruhi pencernaan makanan dalam tubuh serangga (Harborne 1988). Flavonoid dan tanin dapat menurunkan kemampuan mencerna makanan pada serangga dengan menurunkan aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pertumbuhan serangga menjadi terganggu (Arbaningrum 1998). Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim protease dalam saluran pencernaan serta mengganggu penyerapan makanan. Aktivitas lain dari saponin adalah mengikat sterol bebas dalam pencernaan makanan. Sterol merupakan prekursor dari hormon ekdison sehingga menurunnya persediaan sterol akan mengganggu proses ganti kulit pada serangga (Ishaaya 1986). Shashi & Ashoke (1991) menyatakan bahwa saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa saluran pencernaan larva sehingga dinding saluran pencernaan menjadi korosif.
Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana Pengaruh Ekstrak terhadap Mortalitas Larva C. pavonana Hasil
pengujian
pendahuluan
dengan
metode
residu
pada
daun
menunjukkan bahwa tidak semua ekstrak buah sirih hutan yang diuji memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana (Tabel 4). Ekstrak nheksana menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana. Perlakuan dengan ekstrak n-heksana buah sirih hutan pada konsentrasi 0.5% menyebabkan mortalitas larva instar II mencapai 100% pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) sehingga konsentrasinya perlu diturunkan, sedangkan pada konsentrasi 0.1% hanya menyebabkan mortalitas larva sebesar 22.2%. Perlakuan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol pada konsentrasi 0.1% dan 0.5% menyebabkan mortalitas larva kurang dari 50% sehingga kedua ekstrak tersebut dianggap kurang toksik terhadap larva C. pavonana. Oleh karena itu, kedua ekstrak tersebut tidak diuji lebih lanjut karena untuk meningkatkan mortalitas serangga uji akan diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi. Menurut
Tabel 4 Pengaruh ekstrak buah sirih hutan terhadap mortalitas larva C. pavonana Perlakuan Ekstrak n-heksana
Konsentrasi (%, b/v)
Instar II
Instar II + III
0.1
17.8
22.2
0.5 Ekstrak etil asetat
100
100
0.1
6.7
13.3
0.5
22.2
22.2
0.1
0
2.2
0.5
2.2
4.4
Kontrol aseton
0
6.7
6.7
Kontrol metanol
0
0
2.2
Ekstrak metanol
a
Mortalitas kumulatif (%) a
Jumlah larva yang digunakan adalah 45 ekor instar II dalam tiga ulangan.
Prijono (1999) penggunaan ekstrak di lapangan pada konsentrasi lebih besar dari 0.5% untuk ekstrak suatu bahan tumbuhan dengan pelarut organik biasanya kurang layak secara ekonomi maupun ekologi seperti fitotoksik dan bersifat racun terhadap musuh alami. Di antara ketiga ekstrak buah sirih hutan yang diuji terhadap larva C. pavonana, ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol tidak aktif dibandingkan dengan ekstrak n-heksana. Hal ini kemungkinan karena sebagian besar komponen aktifnya sudah terekstrak oleh pelarut sebelumnya (n-heksana). Hal tersebut diperkuat dengan hasil pengujian fitokimia yang menunjukkan bahwa ekstrak nheksana memberikan respons positif lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Faktor lain kemungkinan juga disebabkan oleh senyawa yang terkandung dalam kedua ekstrak tersebut kurang aktif atau senyawa tersebut sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah (Prijono 1999). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Silva et al. (2009) dengan menggunakan daun sirih hutan yang menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana lebih aktif dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan ekstrak etanol yang diuji terhadap caplak lembu R. microplus. Bernard et al. (1995) melaporkan juga bahwa fraksi n-heksana sirih hutan memiliki aktivitas insektisida yang cukup
tinggi terhadap larva nyamuk A. atropalpus dibandingkan dengan fraksi etil asetat dan fraksi metanol. Pada famili yang sama fraksi n-heksana buah P. retrofractum lebih aktif dibandingkan dengan fraksi etil asetat dan fraksi metanol. Perlakuan fraksi n-heksana pada konsentrasi 0.5% mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana 100%, sedangkan perlakuan dengan fraksi etil asetat dan metanol mengakibatkan mortalitas masing-masing 6.6% dan 2.2% (Ferdi 2008). Nugroho (2008) melaporkan juga bahwa fraksi n-heksana buah P. cubeba lebih aktif dibandingkan dengan fraksi etil asetat dan fraksi metanol. Perlakuan dengan fraksi n-heksana pada konsentrasi 0.5% mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana lebih dari 90%, sedangkan perlakuan dengan fraksi etil asetat dan metanol mengakibatkan mortalitas masing-masing 0% dan 6.7%. Kematian larva hampir semuanya terjadi pada instar II, yaitu instar yang diberi perlakuan, sedangkan pada instar III peningkatan persentase mortalitas larva sangat rendah atau tidak ada kematian larva lagi (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak yang diuji lebih bersifat insektisida daripada sebagai penghambat perkembangan. Pada beberapa perlakuan terjadi kematian larva pada instar III. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya residu ekstrak yang masih tertinggal di dalam tubuh larva. Perlakuan dengan ekstrak yang paling aktif, yaitu ekstrak n-heksana, sudah mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana pada 24 jam setelah perlakuan (JSP) (Gambar 2). Pada 48 JSP, perlakuan dengan ekstrak n-heksana pada konsentrasi tertinggi (0.20%) mengakibatkan mortalitas larva 81.1% dan meningkat pada 72 JSP menjadi 95.6%. Penambahan mortalitas larva uji yang tinggi terjadi antara 48 dan 72 JSP, sedangkan pada pengamatan berikutnya sudah tidak terjadi penambahan mortalitas yang tinggi. Hal ini disebabkan setelah 72 JSP residu ekstrak yang tertinggal dalam tubuh larva uji sudah tidak dapat meningkatkan mortalitas secara nyata. Pola perkembangan mortalitas tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak n-heksana buah sirih hutan memiliki cara kerja yang relatif cepat dalam mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana. Senyawa piperamida dari famili Piperaceae seperti guininsin dan piperisida bekerja sebagai racun saraf dengan menghambat aliran impuls saraf pada akson sehingga mengakibatkan ketidakteraturan gerakan dan kejang, yang
Mortalitas kumulatif (%)
100 Kontrol
80
0.05% 0.08%
60
0.11% 40
0.14% 0.17%
20
0.20%
0 0
24
48
72
96
120
144
168
Waktu pengamatan (JSP) Gambar 2 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan ekstrak n-heksana buah sirih hutan selama 48 jam pada berbagai konsentrasi dengan metode residu pada daun akhirnya dapat mengakibatkan kematian pada serangga sasaran (Miyakado et al. 1989; Morgan & Wilson 1999). Selain itu, senyawa piperamida juga dapat menghambat fungsi enzim polysubstrate monooxygenase (PSMO) yang mampu mengoksidasi senyawa asing termasuk insektisida (Matsumura 1985; Scott et al. 2008). Perlakuan dengan ekstrak n-heksana pada konsentrasi 0.05%-0.14% mengakibatkan mortalitas larva uji kurang dari 50% baik untuk larva instar II maupun instar II+III, sedangkan pada konsentrasi 0.17% mengakibatkan mortalitas larva instar II lebih dari 65% dan peningkatan mortalitas pada instar III 6.6%. Mortalitas larva uji pada konsentrasi tertinggi (0.20%) mencapai lebih dari 95% (Tabel 5). Hal ini dapat dikatakan bahwa ekstrak buah sirih hutan cukup potensial untuk digunakan sebagai insektisida botani. Dadang & Prijono (2008) menyatakan bahwa insektisida botani yang diekstrak dengan pelarut organik dikatakan memiliki potensi yang baik bila pada konsentrasi ≤ 1% sudah dapat mengakibatkan mortalitas serangga uji ≥ 80%. Berdasarkan pengamatan secara visual, aktivitas makan larva C. pavonana pada daun yang diberi perlakuan ekstrak n-heksana lebih rendah dibandingkan dengan daun kontrol. Peningkatan konsentrasi ekstrak uji menyebabkan aktivitas
Tabel 5 Pengaruh ekstrak n-heksana buah sirih hutan terhadap mortalitas larva C. pavonana Mortalitas kumulatif (%) a Konsentrasi (%, b/v)
a
Instar II
Instar II + III
Kontrol
0
0
0.05
4.4
4.4
0.08
7.8
14.4
0.11
16.7
28.9
0.14
41.1
47.8
0.17
65.6
72.2
0.20
95.6
95.6
Jumlah larva yang digunakan adalah 90 ekor instar II dalam enam ulangan.
makan makin terhambat. Daun yang diberi perlakuan ekstrak uji dengan konsentrasi rendah lebih banyak dimakan oleh larva dibandingkan dengan daun yang diberi perlakuan ekstrak uji dengan konsentrasi lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah sirih hutan memiliki komponen yang bersifat antimakan. Larva uji yang mati akibat perlakuan ekstrak n-heksana buah sirih hutan menunjukkan gejala tubuh mengerut dan berwarna cokelat kehitaman yang mencerminkan terjadinya kematian sel dan jaringan. Kematian larva rendah pada saat larva telah mencapai instar III, tetapi menunjukkan gejala keracunan yang sama dengan larva yang mati pada saat instar II. Hal ini menunjukkan bahwa kematian larva disebabkan oleh toksisitas senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak n-heksana buah sirih hutan. Pada perlakuan dengan ekstrak n-heksana, mortalitas larva meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi yang diuji, sehingga analisis probit dapat dilakukan terhadap data mortalitas larva yang diperoleh. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana buah sirih hutan memiliki LC50 terhadap instar II 0.14% dan terhadap instar II+III 0.13%, sedangkan LC95 masing-masing 0.27% dan 0.26% (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa mortalitas larva instar II tidak berbeda nyata dengan mortalitas instar II+III.
Tabel 6 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak n-heksana buah sirih hutan terhadap larva C. pavonana a LC50 (SK 95%) b (%)
LC95 (SK 95%) b (%)
a ± GB b
b ± GB b
II
4.97 ± 0.41
5.82 ± 0.46
0.140 ( - ) c
0.269 ( - ) c
II + III
4.76 ± 0.38
5.34 ± 0.42
0.129 (0.106-0.157)
0.262 (0.199-0.540)
Instar
a
Jumlah larva instar II yang diberi perlakuan 540 ekor dan kontrol 90 ekor. a = intersep, b = kemiringan garis regresi, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan. c Tingkat kepercayaan berada di bawah 95%. b
Toksisitas ekstrak buah sirih hutan terhadap larva C. pavonana hampir sama dengan toksisitas ekstrak buah P. retrofractum terhadap serangga dan metode ekstraksi yang sama (Ferdi 2008). Hal tersebut terlihat dari nilai LC50 ekstrak buah sirih hutan (0.13%) yang tidak berbeda nyata dengan ekstrak buah P. retrofractum (0.12%), sedangkan LC95 ekstrak buah sirih hutan (0.26%) lebih kecil dibandingkan dengan LC95 ekstrak buah P. retrofractum (0.32%). Toksisitas ekstrak buah sirih hutan lebih toksik daripada ekstrak buah P. cubeba terhadap serangga yang sama (Nugroho 2008). Nilai LC50 (0.34%) dan LC95 (0.54%) ekstrak buah P. cubeba lebih besar dibandingkan dengan ekstrak buah sirih hutan dan ekstrak buah P. retrofractum.
Pengaruh Ekstrak terhadap Lama Perkembangan Larva C. pavonana Perlakuan dengan ekstrak uji tidak hanya berpengaruh terhadap mortalitas larva akibat toksisitas ekstrak uji, namun berpengaruh juga terhadap perkembangan larva. Perkembangan larva tersebut berkaitan dengan kemampuan larva menuju tahap instar berikutnya. Lama perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV yang mendapat perlakuan ekstrak n-heksana buah sirih hutan pada konsentrasi 0.5% tidak dapat ditentukan karena tidak ada satu pun larva uji yang mampu hidup dan berkembang hingga instar III akibat sifat insektisida ekstrak tersebut, sedangkan perlakuan pada konsentrasi 0.1% mengakibatkan perpanjangan perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV masingmasing selama 0.39 dan 1.32 hari dibandingkan dengan kontrol (Tabel 7).
Tabel 7 Pengaruh ekstrak buah sirih hutan terhadap lama perkembangan larva C. pavonana Perlakuan
Konsentrasi (%, b/v)
Instar II ke IV
0
2.02 ± 0.15 (42) b
3.45 ± 0.50 (42) c
Kontrol metanol
0
2.02 ± 0.15 (45) b
3.48 ± 0.51 (44) c
Ekstrak n-heksana
0.1
2.41 ± 0.55 (37) a
4.77 ± 0.60 (35) a
Ekstrak etil asetat Ekstrak metanol
b
Instar II ke III
Kontrol aseton
0.5
a
Rata-rata perkembangan ± SD (hari) (n) a
-b
-b
0.1
2.07 ± 0.26 (42) b
4.26 ± 0.50 (39) b
0.5
2.20 ± 0.47 (35) b
4.63 ± 0.55 (35) a
0.1
2.09 ± 0.29 (45) b
3.52 ± 0.70 (44) c
0.5
2.11 ± 0.32 (44) b
3.81 ± 0.93 (43) c
SD: standar deviasi. n: jumlah larva yang bertahan hidup. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05). Semua larva mati sebelum mencapai instar III.
Pada perlakuan dengan ekstrak etil asetat buah sirih hutan pada konsentrasi 0.1% dan 0.5%, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan perpanjangan perkembangan instar II ke IV masingmasing selama 0.81 dan 1.18 hari dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan dengan ekstrak metanol buah sirih hutan pada konsentrasi 0.1% dan 0.5%, lama perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak metanol pada konsentrasi tersebut tidak cukup mempengaruhi proses perkembangan larva. Di antara ketiga ekstrak yang diuji pada konsentrasi 0.1%, perlakuan ekstrak n-heksana buah sirih hutan mengakibatkan perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke III dan II ke IV paling lama dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif pada ekstrak n-heksana buah sirih hutan memiliki sifat penghambat perkembangan larva C. pavonana yang paling kuat dibandingkan ekstrak etil asetat dan ekstrak metanol. Hambatan perkembangan tersebut kemungkinan disebabkan oleh sifat penghambat makan dari ekstrak n-heksana buah sirih hutan karena larva makan
daun perlakuan hanya sedikit dan setelah diganti dengan daun tanpa perlakuan larva aktif makan kembali sehingga dapat melanjutkan perkembangan. Selain itu, juga dapat disebabkan oleh pengaruh gabungan dari sifat penghambat dan peracunan oleh senyawa aktif ekstrak tersebut pada sel-sel atau jaringan yang terlibat dalam proses pencernaan makanan dan pertumbuhan serangga. Pada perlakuan dengan ekstrak yang paling aktif yaitu ekstrak n-heksana, lama perkembangan larva instar II ke III berkisar 2-4 hari, sedangkan lama perkembangan larva kontrol 2 hari. Perkembangan larva instar II ke IV berkisar 3.57-6.50 hari, sedangkan pada kontrol 3.17 hari (Tabel 8). Pada perlakuan dengan ekstrak n-heksana konsentrasi 0.05%-0.14%, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, akan tetapi perkembangan larva instar II ke IV mengalami perpanjangan masing-masing selama 0.95, 1.22, dan 1.7 hari dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada konsentrasi 0.05% tidak
Tabel 8
Pengaruh ekstrak n-heksana buah sirih hutan pada berbagai konsentrasi terhadap lama perkembangan larva C. pavonana Rata-rata lama perkembangan larva ± SD (hari) (n) a
Konsentrasi (%, b/v) Instar II ke III
a
Instar II ke IV
Kontrol
2.00 ± 0
(90) c
3.17 ± 0.37 (90) d
0.05
2.00 ± 0
(86) c
3.57 ± 0.52 (86) d
0.08
2.07 ± 0.26 (83) c
4.12 ± 0.69 (77) c
0.11
2.09 ± 0.29 (75) c
4.39 ± 0.68 (64) c
0.14
2.15 ± 0.36 (53) c
4.87 ± 1.01 (47) b
0.17
2.52 ± 0.68 (31) b
4.92 ± 0.57 (25) b
0.20
4.00 ± 0
6.50 ± 0.58 ( 4) a
( 4) a
SD: standar deviasi. n: jumlah larva yang bertahan hidup. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05).
berbeda nyata. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak n-heksana buah sirih hutan di bawah nilai LC50 tidak cukup mempengaruhi proses perkembangan larva instar II ke III. Pada konsentrasi tersebut serangga uji menyerap senyawa asing
dari ekstrak uji, namun tubuh serangga masih mampu mengatasi senyawa tersebut tanpa mengganggu kemampuannya untuk ganti kulit. Hasil berbeda nyata terlihat pada konsentrasi 0.17% dan 0.20%, baik pada perkembangan larva instar II ke III maupun instar II ke IV. Pada konsentrasi tersebut perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke III masing-masing selama 0.52 dan 2 hari, dan perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke IV masing-masing selama 1.75 dan 3.33 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0.17% dan 0.20% ekstrak n-heksana, tubuh serangga mampu mendetoksifikasi senyawa yang telah terserap dalam tubuh dan sebagai kompensasinya perkembangan larva akan lebih lama daripada keadaan normal (Nenotek 2010). Kemungkinan lain terjadi karena adanya gangguan terhadap aktivitas sel yang menghasilkan hormon perkembangan serangga selain gangguan terhadap metabolisme secara umum dan hambatan terhadap aktivitas makan larva tersebut. Terkait dengan hambatan metabolisme, beberapa senyawa piperamida dari tanaman famili Piperaceae telah dilaporkan dapat menghambat enzim pengoksidasi yang biasanya berperan mengoksidasi berbagai jenis senyawa racun dari luar tubuh atau limbah metabolisme di dalam tubuh serangga (Scott et al. 2008).
Fraksinasi Ekstrak Teraktif Buah Sirih Hutan Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan ekstrak teraktif (n-heksana) buah sirih hutan yang memiliki potensi sebagai insektisida. Ekstrak tersebut dipisahkan dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebelum dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom, terlebih dahulu dilakukan pencarian eluen terbaik yang mampu memisahkan senyawa yang terdapat dalam ekstrak n-heksana dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) G 60 F254 dari Merck. Beberapa eluen tunggal dan eluen campuran dengan polaritas yang berbeda telah dicoba dalam KLT untuk memisahkan komponen-komponen kimia pada ekstrak nheksana.
Eluen
tunggal
yang
digunakan
ialah
n-heksana,
etil
asetat,
diklorometana, kloroform, aseton, etanol, dan metanol. Eluen yang menghasilkan pemisahan terbaik kemudian dikombinasikan satu dengan yang lainnya dengan berbagai perbandingan, yaitu n-heksana-aseton (9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 1:1), n-heksana-
diklorometana (9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 1:1), n-heksana-etil asetat (9:1, 8:2), dan etil asetat-diklorometana (2:8) (Lampiran 4). Berdasarkan analisis dengan KLT diperoleh eluen n-heksana-aseton (7:3) yang memberikan pola pemisahan terbaik karena mampu memisahkan tujuh noda yang terkandung dalam ekstrak n-heksana dengan nilai Rf 0.05, 0.15, 0.24, 0.48, 0.56, 0.75, dan 0.85 (Gambar 3). Dengan demikian, eluen tersebut digunakan untuk analisis penentuan jumlah fraksi hasil pemisahan ekstrak n-heksana buah sirih hutan dengan menggunakan kromatografi kolom.
0.85 0.75 0.56 0.48
0.24 0.15 0.05
Gambar 3 Pola KLT gel silika dan nilai Rf ekstrak n-heksana buah sirih hutan dengan eluen n-heksana-aseton (7:3) Ekstrak n-heksana dipisahkan dengan kromatografi kolom menggunakan fase diam Silica Gel 60 dari Merck. Gel silika merupakan fase diam yang bersifat menahan sampel (adsorben), sehingga sampel yang memiliki kepolaran yang mirip dengan eluen akan keluar terlebih dahulu, sedangkan yang sifatnya berbeda akan tertahan pada kolom. Fase geraknya menggunakan pelarut n-heksanametanol dengan metode step gradient (peningkatan kepolaran) agar dengan peningkatan polaritas sistem eluen semua komponen akan terbawa lebih cepat dan pemisahan dapat berlangsung dengan baik. Mula-mula sampel dielusi dengan nheksana,
kemudian
secara
bertahap
ditingkatkan
kepolarannya
dengan
menambahkan aseton dengan berbagai perbandingan dan diakhiri dengan metanol.
Hasil dari pemisahan dengan kromatografi kolom diperoleh 303 tabung reaksi dengan volume 5 mL tiap tabung reaksi. Setiap tabung diperiksa dengan menggunakan KLT. Noda dengan nilai Rf yang sama disatukan menjadi satu fraksi sehingga diperoleh 10 fraksi (Tabel 9). Fraksi 1 memiliki rendemen yang paling besar, yaitu 66.32% dengan bobot 3.3159 g, sedangkan rendemen yang terkecil yaitu fraksi 9 (rendemen 1.70%, bobot 0.0848 g). Tabel 9 Fraksi-fraksi hasil kromatografi kolom ekstrak n-heksana buah sirih hutan dengan fase diam gel silika dan eluen n-heksana-aseton (7:3) Fraksi
Bobot (g)
Rendemen (%)
Jumlah noda
1
3.3159
66.32
5
0.29, 0.38, 0.53, 0.71, 0.85
2
0.1268
2.54
3
0.38, 0.51, 0.70
3
0.1198
2.40
5
0.15, 0.23, 0.26, 0.31, 0.39
4
0.1346
2.69
4
0.15, 0.26, 0.31, 0.38
5
0.4461
8.92
7
0.09, 0.15, 0.21, 0.33, 0.38, 0.70, 0.84
6
0.2572
5.14
6
0.08, 0.14, 0.21, 0.34, 0.70, 0.83
7
0.1240
2.48
6
0.09, 0.14, 0.21, 0.31, 0.70, 0.83
8
0.1425
2.85
7
0.09, 0.15, 0.20, 0.26, 0.31, 0.71, 0.83
9
0.0848
1.70
7
0.10, 0.15, 0.19, 0.25, 0.35, 0.73, 0.83
10
0.2483
4.97
1
0.19
Nilai Rf
Pada KLT 10 fraksi hasil kromatografi kolom memiliki noda (spot) lebih dari satu (Gambar 4). Fraksi yang memiliki noda terbanyak adalah fraksi 5, 8, dan 9 masing-masing 7 noda, sedangkan fraksi yang memiliki 3 dan 1 noda berturutturut fraksi 2 dan 10. Fraksi 1 yang rendemennya paling besar memiliki 5 noda dengan nilai Rf 0.29, 0.38, 0.53, 0.71, dan 0.85.
E 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 4 Profil KLT hasil kromatografi kolom ekstrak n-heksana buah sirih hutan dengan eluen n-heksana-aseton (7:3)
Aktivitas Insektisida Fraksi Buah Sirih Hutan terhadap Larva C. pavonana Pengaruh Fraksi-fraksi terhadap Mortalitas Larva C. pavonana Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan bahwa tidak semua fraksi yang diuji memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana (Tabel 10). Fraksi 1 menunjukkan aktivitas yang paling tinggi terhadap larva C. pavonana. Pada konsentrasi 0.1% fraksi tersebut menyebabkan mortalitas larva instar II mencapai 100%, sedangkan pada konsentrasi 0.05% hanya menyebabkan mortalitas 13.3%. Perlakuan dengan fraksi 2 pada konsentrasi 0.1% menyebabkan mortalitas larva instar II 57.8%, dan peningkatan mortalitas larva pada instar III 15.6%, sedangkan pada konsentrasi 0.05% menyebabkan mortalitas larva kurang dari 50%. Perlakuan dengan fraksi 3-10 pada konsentrasi 0.15% menyebabkan mortalitas larva instar II berkisar 2.2%-57.8% dan instar II + III berkisar 4.4%62.2%, sedangkan pada konsentrasi 0.08% menyebabkan mortalitas larva instar II berkisar 0%-6.7% dan instar II + III berkisar 0%-11.1%.
Tabel 10 Pengaruh fraksi-fraksi buah sirih hutan terhadap mortalitas larva C. pavonana Perlakuan Fraksi 1
Konsentrasi (%, b/v)
Instar II
Instar II + III
0.05
11.1
13.3
0.1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Kontrol aseton a
Mortalitas (%) a
100
100
0.05
4.4
6.7
0.1
57.8
73.3
0.08
2.2
4.4
0.15
6.7
13.3
0.08
2.2
4.4
0.15
2.2
8.9
0.08
4.4
11.1
0.15
57.8
62.2
0.08
2.2
2.2
0.15
6.7
8.9
0.08
2.2
2.2
0.15
4.4
4.4
0.08
0
0
0.15
11.1
13.3
0.08
6.7
8.9
0.15
11.1
15.6
0.08
0
0
0.15
4.4
8.9
0
0
0
Jumlah larva yang digunakan adalah 45 ekor instar II dalam tiga ulangan.
Di antara fraksi-fraksi yang diuji, fraksi 1 lebih aktif dibandingkan dengan fraksi-fraksi yang lain. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh senyawa aktif yang terkandung fraksi 1 lebih kuat dalam mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana dibandingkan dengan fraksi-fraksi yang lain dan atau kandungan senyawa
aktifnya paling tinggi dibandingkan dengan fraksi-fraksi yang lain. Oleh karena itu, fraksi yang diuji lebih lanjut adalah fraksi 1. Menurut Prijono (1999) fraksi dari ekstrak kasar bahan tumbuhan pada konsentrasi lebih besar dari 0.1% kurang efisien digunakan sebagai insektisida karena dalam penyiapannya akan dibutuhkan sumber bahan tumbuhan yang cukup banyak. Perlakuan dengan fraksi yang paling aktif, yaitu fraksi 1, sudah mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana pada 24 JSP (Gambar 5A). Pada 48 JSP, perlakuan dengan fraksi 1 pada konsentrasi tertinggi (625 ppm) mengakibatkan mortalitas larva 93.3%, dan meningkat pada 72 JSP menjadi lebih dari 95%. Penambahan mortalitas larva uji yang tinggi terjadi antara 48 dan 72 JSP, sedangkan pada pengamatan berikutnya sudah tidak terjadi penambahan mortalitas yang tinggi. Pola perkembangan mortalitas tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif yang terkandung dalam fraksi 1 buah sirih hutan memiliki cara kerja yang relatif cepat dalam mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana. Larva yang mati akibat perlakuan dengan fraksi 1 buah sirih hutan menunjukkan gejala tubuh hitam dan kering. Setelah mengonsumsi daun perlakuan, gerakan larva lamban dan tidak makan daun perlakuan kembali, dan akhirnya mati. Pelakuan dengan fraksi 1 pada konsentrasi 125-325 ppm mengakibatkan mortalitas larva kurang dari 50% baik untuk larva instar II maupun instar II+III, sedangkan pada konsentrasi 425 dan 525 ppm mengakibatkan mortalitas larva instar II masing-masing 61.1% dan 70%, dan peningkatan mortalitas pada instar III 6.7% dan 11.1%. Perlakuan fraksi 1 pada konsentrasi tertinggi (625 ppm) mengakibatkan mortalitas larva instar II lebih dari 95%, dan tidak ada lagi larva yang mati pada instar berikutnya (Tabel 11). Pengujian aktivitas insektisida juga dilakukan terhadap insektisida abamektin sebagai kontrol positif dengan enam taraf konsentrasi. Abamektin merupakan salah satu homolog dari avermektin yang diperoleh dari hasil fermentasi bakteri tanah, Streptomyces avermitilis. Insektisida tersebut efektif terhadap sejumlah hama penting seperti tungau, semut, kecoa, dan spesies hama Lepidoptera (Lasota & Dybas 1991). Insektisida abamektin telah terdaftar di Indonesia untuk mengendalikan hama tanaman sayuran (Komisi Pestisida 2000).
Mortalitas kumulatif (%)
100
A Kontrol 125 ppm 225 ppm 325 ppm 425 ppm 525 ppm 625 ppm
80 60 40 20 0 0
24
48
72
96
120
144
168
Mortalitas kumulatif (%)
100 B
80
Kontrol 2.76 ppm
60
5.52 ppm 8.28 ppm
40
11.04 ppm 13.80 ppm
20
16.56 ppm
0 0
24
48
72
96
120
144
168
Waktu pengamatan (JSP) Gambar 5 Perkembangan mortalitas larva C. pavonana yang diberi perlakuan fraksi 1 buah sirih hutan (A) dan abamektin (B) selama 48 jam pada berbagai konsentrasi dengan metode residu pada daun Perlakuan dengan abamektin sudah mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana pada 24 JSP (Gambar 5B). Perlakuan dengan abamektin pada konsentrasi tertinggi (16.56 ppm) mengakibatkan mortalitas larva 94.4% pada 72 JSP dan meningkat menjadi lebih dari 95% pada 92 JSP. Perlakuan pada konsentrasi 11.04 dan 13.8 ppm mengakibatkan mortalitas larva instar II masingmasing 63.3% dan 80%, dan mortalitas larva instar III 6.7% dan 8.9%. Perlakuan pada konsentrasi 2.76-8.28 ppm hanya mengakibatkan mortalitas larva kurang dari 50% baik untuk larva instar II maupun instar II+III (Tabel 11).
Tabel 11 Pengaruh fraksi 1 buah sirih hutan dan abamektin terhadap mortalitas larva C. pavonana Perlakuan
Konsentrasi (ppm)
Fraksi 1
Abamektin
a
Kontrol
Mortalitas (%) a Instar II
Instar II + III
0
0
125
5.6
7.8
225
17.8
17.8
325
27.8
30
425
61.1
67.8
525
70
81.1
625
97.8
97.8
Kontrol
0
0
2.76
4.4
5.6
5.52
7.8
8.28
27.8
45.6
11.04
63.3
75.6
13.80
80
88.9
16.56
94.4
96.7
20
Jumlah larva yang digunakan adalah 90 ekor instar II dalam enam ulangan.
Pada perlakuan dengan fraksi 1 buah sirih hutan, mortalitas larva meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi yang diuji, sehingga analisis probit dapat dilakukan terhadap data mortalitas larva yang diperoleh. Hasil analisis probit menunjukkan bahwa fraksi 1 buah sirih hutan memiliki nilai LC50 terhadap instar II 364.67 ppm dan terhadap instar II+III 339.35 ppm, sedangkan nilai LC95 terhadap instar II 843.96 ppm dan terhadap instar II+III 768.72 ppm (Tabel 12). Nilai LC50 dan LC95 terhadap instar II+III lebih rendah dibandingkan terhadap instar II. Hal ini menunjukkan bahwa pada instar III masih terjadi peningkatan mortalitas serangga uji.
Tabel 12 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas fraksi 1 buah sirih hutan dan abamektin terhadap larva C. pavonana a Perlakuan, instar
a ± GB b
b ± GB b
LC50 (SK 95%) b (ppm)
LC95 (SK 95%) b (ppm)
Fraksi 1 II II + III
-11.56 ± 0.91 4.51 ± 0.35 364.672 (272.482480.194) -11.72 ± 0.89 4.63 ± 0.35 339.347 (245.082447.259)
843.958 (592.9332594.753) 768.725 (545.0712285.967)
Abamektin
a b
II
-4.79 ± 0.38
4.90 ± 0.38
II + III
-4.10 ± 0.33
4.58 ± 0.34
9.475 (6.04613.680) 7.851 (6.4329.256)
20.510 (14.041125.545) 17.947 (14.17428.035)
Jumlah larva instar II yang diberi perlakuan 540 ekor dan kontrol 90 ekor. a = intersep, b = kemiringan garis regresi, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.
Aktivitas fraksi 1 lebih kuat daripada ekstrak kasarnya. Berdasarkan nilai LC50 terhadap instar II+III, fraksi 1 sekitar 3.8 kali lebih toksik terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak kasarnya, sedangkan berdasarkan nilai LC95 fraksi 1 tersebut sekitar 3.4 kali lebih toksik. Hal ini mungkin disebabkan karena komponen senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak n-heksana buah sirih hutan masih campuran berbagai senyawa sehingga aktivitasnya rendah, sedangkan pada fraksi kemungkinan komponen senyawa aktifnya telah terpisahkan sehingga aktivitasnya sangat kuat. Bila dibandingkan dengan abamektin, toksisitas fraksi 1 pada LC50 sekitar 43.2 kali lebih rendah dan pada LC95 sekitar 42.8 kali lebih rendah. Menurut Mrozik (1997) insektisida abamektin bersifat racun perut dan racun kontak, yaitu apabila diaplikasikan melalui daun insektisida tersebut akan mematikan serangga baik akibat adanya racun yang termakan maupun akibat kontak dengan residu yang terdapat pada daun.
Pengaruh Fraksi terhadap Lama Perkembangan Larva C. pavonana Perlakuan dengan fraksi buah sirih hutan tidak hanya berpengaruh terhadap mortalitas larva akibat toksisitas fraksi, namun berpengaruh juga terhadap perkembangan larva. Lama perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV
yang mendapat perlakuan fraksi 1 pada konsentrasi 0.1% tidak dapat ditentukan karena tidak ada satu pun larva uji yang mampu hidup dan berkembang hingga instar III akibat sifat insektisida fraksi tersebut, sedangkan perlakuan pada konsentrasi 0.1% mengakibatkan perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV masing-masing selama 0.28 dan 0.88 hari dibandingkan dengan kontrol (Tabel 13). Pada perlakuan dengan fraksi 2 konsentrasi 0.05% dan 0.1%, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke IV masing-masing selama 0.69 dan 1.17 hari dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan dengan fraksi 3 dan 4 konsentrasi 0.08% dan 0.15%, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke IV pada konsentrasi 0.15% masing-masing selama 0.46 dan 0.3 hari, sedangkan pada konsentrasi 0.08% tidak berbeda nyata dengan kontrol. Pada perlakuan dengan fraksi 5-10 konsentrasi 0.08% dan 0.15%, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan perpanjangan lama perkembangan larva instar II ke IV berkisar selama 0.14-1.32 hari. Semua fraksi yang diuji mengakibatkan penghambatan pertumbuhan larva C. pavonana. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual terhadap gejala larva yang keracunan pada hari-hari pertama, selain tidak langsung mengakibatkan kematian, perlakuan fraksi juga menurunkan aktivitas larva uji, larva tidak makan atau sedikit makannya dan akhirnya larva mati. Pada perlakuan dengan fraksi yang paling aktif yaitu fraksi 1, lama perkembangan larva instar II ke III berkisar 2-4 hari, sedangkan lama perkembangan larva kontrol 2 hari. Perkembangan larva instar II ke IV berkisar 3.98-6 hari, sedangkan pada kontrol 3.46 hari (Tabel 14). Pada perlakuan fraksi 1 buah sirih hutan pada konsentrasi 125 ppm, lama perkembangan larva instar II ke III dan instar II ke IV tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut menandakan bahwa fraksi 1 di bawah nilai LC50 tidak cukup mempengaruhi proses perkembangan larva. Pada konsentrasi tersebut serangga uji menyerap senyawa asing dari fraksi, namun tubuh serangga masih mampu mengatasi senyawa tersebut tanpa mengganggu kemampuannya untuk ganti kulit.
Tabel 13
Pengaruh fraksi-fraksi buah sirih hutan terhadap lama perkembangan larva C. pavonana
Bahan uji Fraksi 1
Konsentrasi (%, b/v) 0.05 0.1
Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8 Fraksi 9 Fraksi 10 Kontol aseton a b
Rata-rata perkembangan ± SD (hari) (n) a Instar II ke III
Instar II ke IV
2.28 ± 0.55 (40) a
4.21 ± 0.73 (39) b
-b
-b
0.05
2.02 ± 0.15 (43) b
4.02 ± 0.47 (42) bc
0.1
2.00 ± 0
(19) b
4.50 ± 0.67 (12) a
0.08
2.00 ± 0
(44) b
3.35 ± 0.48 (43) e
0.15
2.00 ± 0
(42) b
3.79 ± 0.52 (39) cd
0.08
2.00 ± 0
(44) b
3.37 ± 0.49 (43) e
0.15
2.02 ± 0.15 (44) b
3.63 ± 0.49 (41) de
0.08
2.05 ± 0.21 (43) b
4.05 ± 0.45 (40) bc
0.15
2.05 ± 0.23 (19) b
4.65 ± 0.79 (17) a
0.08
2.00 ± 0
(44) b
3.52 ± 0.51 (44) de
0.15
2.02 ± 0.15 (42) b
4.00 ± 0.45 (41) bc
0.08
2.00 ± 0
(44) b
3.48 ± 0.55 (44) de
0.15
2.00 ± 0
(43) b
3.63 ± 0.58 (43) de
0.08
2.02 ± 0.15 (45) b
3.49 ± 0.51 (45) de
0.15
2.00 ± 0
(40) b
3.49 ± 0.64 (39) de
0.08
2.02 ± 0.15 (42) b
3.49 ± 0.60 (41) de
0.15
2.03 ± 0.16 (40) b
3.47 ± 0.56 (38) de
0.08
2.02 ± 0.15 (45) b
3.49 ± 0.69 (45) de
0.15
2.00 ± 0
(43) b
3.49 ± 0.75 (41) de
0
2.00 ± 0
(45) b
3.33 ± 0.48 (45) e
SD: standar deviasi. n: jumlah larva yang bertahan hidup. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05). Semua larva mati sebelum mencapai instar III.
Hasil berbeda nyata terlihat pada selang konsentrasi 225-625 ppm, baik pada perkembangan larva instar II ke III maupun instar II ke IV. Pada konsentrasi tersebut perpanjangan lama perkembangan instar II ke III berkisar 0.26-2 hari, dan perpanjangan lama perkembangan instar II ke IV berkisar selama 1.13-2.54 hari.
Tabel 14 Pengaruh fraksi 1 buah sirih hutan terhadap lama perkembangan larva C. pavonana Bahan uji Fraksi 1
Abamektin
a
Konsentrasi (ppm)
Rata-rata perkembangan ± SD (hari) (n) a Instar II ke III
Instar II ke IV
Kontrol
2.00 ± 0
(90) c
3.46 ± 0.50 (90) c
125
2.00 ± 0
(85) c
3.98 ± 0.44 (83) c
225
2.26 ± 0.53 (74) bc
4.61 ± 0.84 (74) b
325
2.38 ± 0.70 (65) bc
4.59 ± 0.85 (63) b
425
2.61 ± 0.61 (33) b
5.14 ± 0.92 (29) b
525
2.67 ± 1.05 (24) b
5.18 ± 0.88 (17) b
625
4.00 ± 1.41 ( 2) a
6.00 ± 0
Kontrol
2.00 ± 0
(90) c
3.86 ± 0.46 (90) d
2.76
2.00 ± 0
(86) c
3.98 ± 0.46 (85) d
5.52
2.00 ± 0
(83) c
4.53 ± 0.92 (72) c
8.28
2.03 ± 0.17 (65) c
4.45 ± 0.71 (49) c
11.04
2.00 ± 0
(33) c
4.45 ± 0.67 (22) c
13.80
2.22 ± 0.73 (18) b
5.80 ± 1.14 (10) b
16.56
2.60 ± 1.34 ( 5) a
6.67 ± 0.58 ( 3) a
( 2) a
SD: standar deviasi. n: jumlah larva yang bertahan hidup. Rataan pada lajur yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan (α = 0.05).
Hal ini menunjukkan bahwa pada selang konsentrasi 225-625 ppm fraksi 1, tubuh serangga mampu mendetoksifikasi senyawa yang telah terserap dalam tubuh dan sebagai kompensasinya perkembangannya akan lebih lama daripada keadaan normal. Pada perlakuan dengan insektisida abamektin, lama perkembangan larva instar II ke III berkisar 2-2.6 hari, sedangkan lama perkembangan larva kontrol 2 hari. Perkembangan larva instar II ke IV berkisar 3.98-6.67 hari, sedangkan pada kontrol 3.86 hari (Tabel 14). Pada perlakuan abamektin pada selang konsentrasi 2.76-11.04 ppm, lama perkembangan larva instar II ke III tidak berbeda nyata dengan kontrol, perpanjangan lama perkembangan instar II ke IV masing-masing selama 0.67, 0.59, dan 0.59 hari, kecuali pada konsentrasi 2.76 ppm. Hasil
berbeda nyata terlihat pada konsentrasi 13.80 dan 16.56 ppm, baik pada perkembangan larva instar II ke III maupun instar II ke IV. Pada konsentrasi tersebut perpanjangan lama perkembangan instar II ke III masing-masing selama 0.22 dan 0.6 hari, dan perpanjangan lama perkembangan instar II ke IV masingmasing selama 1.94 dan 2.81 hari.
Identifikasi Komponen Aktif Fraksi yang teraktif sebagai insektisida yaitu fraksi 1 selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan kromatografi gas-spektrometer massa (GCMS) dan spektrofotometer inframerah (FTIR) untuk mengetahui komponen senyawa aktif dalam fraksi tersebut. Kondisi GC-MS sebagai berikut: injector split mode 101:1, suhu 250 ˚C, waktu alir 37.14 menit, kolom yang digunakan adalah Agilent 19091S-436 HP-5MS, panjang 60 m, diameter 0.25 mm, suhu maksimum kolom 350 ˚C, aliran pertama 1 mL/menit, dan kecepatan rata-rata 26 cm/s. Gas pembawa helium, suhu detektor 250 ˚C dengan jenis pengionan electron impact (EI). Hasil analisis GC-MS menunjukkan adanya beberapa puncak yang mengindikasikan bahwa fraksi 1 yang diperoleh belum murni (Gambar 6). Namun demikian, dalam fraksi 1 mengandung beberapa puncak senyawa yang kelimpahannya relatif cukup besar seperti puncak yang memiliki waktu retensi 6.05, 8.54, 9.54, dan 25.61 menit. A bundance TIC :S A M P E LC .D 9.54 6.5e+07 6e+07 5.5e+07 5e+07 4.5e+07 4e+07 3.5e+07 8.54
3e+07 2.5e+07
14.04
6.05 2e+07 1.5e+07 1e+07
5.26
11.24 9.91 9.14 12.83 7.98 1 2.78 11.6 1
25.61
5000000
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Tim e-->
Gambar 6 Kromatogram fraksi 1 buah sirih hutan hasil GC-MS
35.00
Spekktum massaa dari punccak-puncak k tersebut dibandingka d an kemiripaannya dengan sppektrum maassa dari senyawa yang telah diketahui yangg terdapat dalam d database Wiley7n dan d Wileyy8th. Dalam m databasee tersebut terdapat empat e y memiliki kemirippan lebih dari d 95% (T Tabel 15) ddengan spek ktrum senyawa yang massa padda fraksi 1, yaitu piperiton, miristiisin, dilapiool, dan β-sittosterol (Gaambar 7). Tabel 15 Komponenn senyawa akktif dalam fraksi f 1 buah sirih hutaan Waktu reetensi (menit)
Keemungkinann senyawa
Kelimppahan (% %)
n Kemiripan (%)
6.05
Piiperiton
2.53
97
8.54
M Miristisin
4.87
98
9.54
Diilapiol
68.80
96
3.224
99
25.61
β--Sitosterol
B
A
C
D
Gambar 7 Struktur dilapiol (A A), miristisin (B), β-siitosterol (C C), dan pipeeriton (D).
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil pada minyak atsiri buah sirih hutan. Komponen terbesar pada minyak atsiri buah sirih hutan adalah apiol dengan kelimpahan 51.03%, yang merupakan isomer dari dilapiol yang juga termasuk golongan fenilpropanoid (Jamal et al. 2003). Navickiene et al. (2006) melaporkan juga bahwa komponen terbesar pada minyak atsiri buah sirih hutan adalah linalool dengan kelimpahan 41.2%, yang merupakan golongan terpenoid kelompok monoterpena. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan galur tanaman, tempat tumbuh, dan teknik ekstraksi. Sementara itu, komponen senyawa yang terdapat pada daun sirih hutan yang dilaporkan Parmar et al. (1998) tidak berbeda jauh dengan buah sirih hutan pada penelitian ini. Bernard et al. (1995) juga mengisolasi senyawa dari daun sirih hutan dan diperoleh senyawa dilapiol sebagai senyawa aktif yang bersifat insektisida terhadap larva nyamuk A. atropalpus. Keberadaan senyawa-senyawa di atas, didukung oleh data spektum FTIR (Gambar 8). Hasil analisis FTIR menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang 2934.61 cm-1 yang diduga adanya vibrasi regangan C-H olefin, yang diperkuat oleh adanya serapan pada bilangan gelombang 1626.31 cm-1 diduga adanya vibrasi regangan C=C olefin. Kedua gugus tersebut merupakan gugus alil. Selain itu, adanya pita serapan pada bilangan gelombang 1499.21 cm-1 dan 1463.94 cm-1 yang menunjukkan terdapatnya kerangka aromatik, serta adanya pita serapan pada bilangan gelombang 1050.55 cm-1 menunjukkan adanya gugus C-OC. Menurut Ahmad & Rahmani (1993) gugus-gugus tersebut menunjukkan adanya senyawa dilapiol. Adanya gugus karbonil (C=O) diindikasikan dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 1667.90 cm-1. Gugus tersebut kemungkinan menunjukkan adanya senyawa piperiton. Adanya gugus O-H diindikasikan dengan munculnya serapan pada bilangan gelombang 3517.03 cm-1, namun intensitasnya rendah. Adanya gugus fungsi tersebut kemungkinan menunjukkan adanya senyawa β-sitosterol, intensitas rendah karena kelimpahan senyawa tersebut rendah. Dilapiol dilaporkan bersifat insektisida terhadap beberapa serangga di antaranya kumbang C. tingomarianus, kumbang S. zeamais, caplak lembu R. microplus, dan nyamuk A. atropalpus (Bernard et al. 1995; Fazolin et al. 2005;
8 5.0
L aborato ry T es t Re s ul t
80
s i rih hutan F 1 2242.39 2480.25 2126.78 1974.49
70
491.81 552.93
60
1838.57 3517.03
50 40 %T
30
733.80 661.50 776.53 694.32 631.00
2782.10 1667.90 3077.80
20
1715.52
885.10 837.49
10 1626.31
0
1499.21
1240.96 1375.18
1050.55 942.69 973.30
2934.61
998.90 1463.94 1279.90 1415.47 1195.82
-10 -14 .0 4 00 0.0
3 00 0
2 00 0
1 50 0
915.97
1 00 0
4 50 .0
cm-1
Gambar 8 Spektrum FTIR fraksi 1 buah sirih hutan menggunakan pelet KBr
Estrela et al. 2006; Silva et al. 2009). Selain itu, dilapiol juga bersifat toksik terhadap larva dan pupa nyamuk A. aegypti, serta dapat menyebabkan menurunnya produksi telur sehingga cukup potensial digunakan sebagai sarana pengendalian alami (Rafael et al. 2006). Kombinasi dilapiol dan miristisin memiliki kerja sama yang sinergis dengan insektisida karbamat dan organofosfat terhadap beberapa jenis serangga (Duke 1998). Kedua senyawa tersebut memiliki gugus metilendioksifenil yang merupakan ciri penting dari sejumlah sinergis insektisida, yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 yang dapat menurunkan daya racun senyawa asing termasuk insektisida (Matsumura 1985; Usia et al. 2005; Scott et al. 2008). Sementara itu, piperiton dan β-sitosterol belum ada yang melaporkan aktivitasnya sebagai insektisida.