HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia merupakan negara tropis yang mempunyai suhu dan kelembaban lingkungan hariannya tinggi, suhu mencapai 27,7-34,6 °C dan kelembaban antara 55,8%-86,6% (Badan Pusat Statistik, 2003). Rataan suhu di wilayah Dramaga, Bogor berkisar antara 30,45±1,22 °C (maksimum) dan 21,04±1,48 °C (minimum) (Badan Pusat Statistik, 2007). Pengamatan suhu selama pemeliharaan lima minggu dilakukan tiga kali setiap harinya yaitu pada pagi hari (pukul 07.00), siang hari (pukul 14.00) dan malam hari (pukul 18.00). Rataan suhu kandang selama pemeliharaan disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Rataan Suhu Kandang Selama Penelitian Waktu Pengamatan (Pukul)
Suhu ( oC)
7.00
22,76
14.00
31,97
18.00
26,12
Dari hasil pengamatan, rataan suhu harian kandang menunjukkan terdapat perubahan suhu yang cukup besar dari pagi hari ke siang hari sebesar 9,21 °C. Hal ini akan memberikan cekaman panas pada pemeliharaan ayam broiler. Dengan demikian energi yang didapatkan ayam tidak hanya untuk pertumbuhannya tetapi digunakan juga untuk mengatasi cekaman suhu terutama pada siang hari. Suhu nyaman untuk broiler adalah 19–27 oC (Charoen Pokphand, 2004). Untuk ayam broiler umur 3-6 minggu, lingkungan yang panas adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap penyebab stres pada ayam broiler. Stres panas pada ayam broiler dihasilkan oleh adanya interaksi antara suhu udara, kelembaban, sirkulasi panas serta kecepatan udara, dimana suhu lingkungan menjadi faktor yang utama (European Comission, 2000). Suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan broiler yang memasuki umur tiga minggu adalah antara 20-25 °C (Borges et al., 2004). Data rataan suhu mingguan selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Suhu Mingguan Selama Pemeliharaan Minggu ke-
Suhu (°C)
Minggu 3
26,04
Minggu 4
26,33
Minggu 5
26,24
Pada minggu ketiga suhu yang didapatkan yaitu 26,04 °C di atas kisaran suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan broiler. Hal ini dapat mengakibatkan broiler terkena cekaman panas saat pemeliharaan. Cekaman panas merupakan kondisi tubuh yang kepanasan karena suhu dan kelembaban lingkungan yang melebihi kisaran zona nyaman pertumbuhan (Austic, 2000). Menurut Kusnadi (2009), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan produksi dan konsumsi pakan serta meningkatkan konsumsi air minum yang dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh. Konsumsi pakan akan berubah sekitar 1,5% untuk setiap 1°C di atas atau di bawah 20-21 °C (Gillespie, 2004). Pada suhu lingkungan yang tinggi, broiler akan lebih banyak mengkonsumsi air minum. Konsumsi pakan menurun pada suhu lingkungan yang tinggi dan meningkat pada suhu lingkungan yang rendah. Penyusunan ransum yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan standar zat makanan untuk setiap periode dan produksi menjadi faktor yang sangat penting. Bentuk fisik ransum juga harus disesuaikan, sehingga tidak mengganggu nafsu makan dan pencernaan. Bentuk ransum yang diberikan adalah crumble. Ayam lebih menyukai bentuk tekstur seperti biji-bijian atau crumble dibanding tekstur tepung. Tekstur tepung memiliki sifat berdebu, dan lengket yang menyebabkan konsumsi pakan menurun. Menurut Scanes (2004), konversi ransum untuk unggas pada pakan berbentuk crumble memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan pakan yang berbentuk tepung karena akan mengurangi jumlah kehilangan pakan ke dalam litter dibandingkan dengan pemberian pakan dalam bentuk tepung. Pembuatan dan bahan baku ransum diperoleh dari Indofeed, Bogor. Bahan baku pakan yang digunakan dalam penelitian adalah jagung, dedak padi, tepung ikan, bungkil kedelai, CPO, kapur, premiks, L-lysin, dan DL-methionin. Premiks yang
19
digunakan yaitu Feedmix B yang diproduksi oleh PT Kalbe Farma, Tbk. Penggunaan biji ketumbar yaitu dengan digiling halus seperti tepung atau mash dan langsung dicampur dengan bahan lain dalam mesin.
Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang
cukup untuk membantu reaksi-reaksi metabolik, pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu ayam broiler membutuhkan protein selama tahap permulaan hidupnya. Pakan perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode starter (0-21 hari) dan grower (22-35 hari). Menurut Lesson dan Summer (2005), standar kebutuhan kandungan protein kasar pakan untuk broiler strain Cobb pada periode starter adalah 22% dan pada periode grower 20%, sedangkan untuk kebutuhan energi metabolisme pakan pada pemeliharaan periode starter mencapai 3032 kkal/kg dan 3166 kkal/kg pada periode grower. Energi dalam ransum harus diberikan mencukupi kebutuhan ternak karena energi digunakan untuk aktifitas dan menghasilkan daging (Widodo, 2002). Pada fase starter kebutuhan protein lebih tinggi dikarenakan untuk ayam muda protein digunakan untuk membentuk jaringan tubuh. Menurut Widodo (2002), agar jaringan tubuh tumbuh lebih cepat maka protein dalam ransum harus diberikan secara maksimal. Kandungan protein pakan yang digunakan dalam penelitian ini berada di bawah standar kebutuhan yaitu sebesar 20,23% pada periode starter dan 19,40% pada periode grower. Kandungan protein pakan penelitian lebih rendah dibandingkan dengan standar karena perbedaan bahan baku yang digunakan dan juga perbedaan pada proses pengolahan. Perbedaannya yaitu pada penelitian ini proses pengolahan bahan baku tidak menggunakan metode pemanasan (Steam Pelleting). Keunggulan penggunaan metode pemanasan (Steam Pelleting) ini yaitu dapat memperbaiki daya cerna ternak terhadap pakan yang dikonsumsi. Kandungan protein pakan penelitian yang lebih rendah dari standar kebutuhan broiler dapat mengakibatkan keterlambatan tumbuh broiler pada permulaan hidup yang mempengaruhi perkembangan pada periode berikutnya. Kandungan lemak pakan penelitian yaitu sebesar 6,06% pada fase starter dan 6,03% pada fase grower. Komposisi zat makanan ransum penelitian disajikan dalam Tabel 10.
20
Tabel 10. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian (As Fed) Zat Makanan (%)
Starter
Grower
Kadar Air
10,35
10,64
Abu
7,96
8,15
Protein
20,23
19,40
Lemak
6,06
6,03
Keterangan : Hasil analisa Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB.
Kandungan serat kasar biji ketumbar tergolong tinggi, namun kandungan serat kasar ransum starter dan grower masih dalam batas aman untuk broiler. Komposisi nutrien biji ketumbar yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Komposisi Nutrien Biji Ketumbar (As Fed) Komposisi Nutrien
Jumlah
Bahan Kering (%)
89,19
Protein Kasar (%)
17,30
Lemak Kasar (%)
11,59
Serat Kasar (%)
31,26
Beta-N
22,89
Kalsium (%)
1,01
Fosfor (%)
0,82
Energi Bruto (Kkal/kg)
5052,00
Keterangan: Komposisi nutrien biji ketumbar hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2011).
Serat kasar ransum starter berkisar antara 2,97%-3,98% dan grower 2,81%3,87%. Serat kasar pada pakan broiler maksimal 5%. Semakin tinggi kandungan serat kasar efisiensi pakan semakin rendah (Direktorat Bina Produksi, 1997). Bobot badan awal ayam akan mempengaruhi performa ayam pada periode berikutnya. Bobot badan awal broiler yang digunakan dalam penelitian sudah di atas persyaratan mutu standar bobot badan bibit ayam broiler minimal menurut SNI (2005). Data rataan bobot badan awal dapat dilihat pada Tabel 12.
21
Tabel 12. Rataan Bobot Badan Awal Ayam Broiler Perlakuan
Bobot Badan (gram/ekor)
R0
42,16±0,08
R1
41,70±0,21
R2
42,13±0,06
R3
42,00±0,06
Keterangan : R0 (ransum kontrol); R1 (ransum dengan biji ketumbar 1%); R2 (ransum dengan biji ketumbar 2%); R3 (ransum dengan biji ketumbar 3%). Superskrip non-kapital pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil analisa statistik bobot badan awal broiler tidak menunjukan perbedaan yang nyata (P>0,05). Persyaratan mutu bibit ayam broiler (DOC) menurut SNI (2005) yaitu berat badan DOC per ekor minimal 37 gram dengan kondisi fisik sehat, kaki normal, dapat berdiri tegak, tampak segar dan aktif, tidak ada kelainan bentuk, sekitar pusar dan dubur kering, dan jaminan kematian DOC maksimal 2%. Performa Broiler pada Fase Starter Pada penelitian ini broiler dipelihara di lingkungan tropis dengan sistem perkandangan terbuka, yang secara alami akan mengalami stres lingkungan seperti kedinginan, kepanasan dan kecepatan angin/aliran udara. Stres yang diterima oleh ayam broiler akan menyebabkan rendahnya produktifitas. Data rataan performa broiler pada fase starter disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Rataan Performa Broiler Fase Starter (umur 0-21 hari) Perlakuan
Bobot Badan (gram) b
R0
462,07±17,50
R1
413,43±6,79
R2
498,11±15,69
R3
a c
bc
471,41±19,06
Konsumsi Pakan
PBB (gram)
(gram) b
ab
419,91±17,50
815,74±14,27
a
691,87±40,54
371,73±6,79
c
455,99±15,69
bc
429,41±19,06
a
b
835,81±78,89 773,36±29,5
ab
Konversi Pakan 1,94±0,07 1,86±0,12 1,83±0,11 1,80±0,13
Keterangan : R0 (pakan tanpa biji ketumbar/kontrol); R1 (pakan dengan biji ketumbar 1%); R2 (pakan dengan biji ketumbar 2%); R3 (pakan dengan biji ketumbar 3%). Superskrip non-kapital pada kolom (bobot badan dan pbb) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01), Superskrip non-kapital pada kolom (konsumsi pakan) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
22
Pada fase starter, hasil sidik ragam (ANOVA) penambahan biji ketumbar dalam ransum sebesar 1%, 2% dan 3% sangat berbeda nyata (P<0,01) mempengaruhi bobot badan dan pertambahan bobot badan. Menurut Lohakare (2006) herbal mempunyai pengaruh terhadap pencernaan dan efisiensi pemanfaatan zat makanan sehingga akan berpengaruh pada bobot badan ayam broiler. Grafik uji lanjut polinomial hubungan penambahan biji ketumbar sebanyak 1%, 2% dan 3% dalam ransum terhadap bobot badan broiler disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Hubungan Taraf Penambahan Biji Ketumbar 1%, 2% dan 3% dalam Ransum terhadap Bobot Badan Broiler pada Fase Starter Bobot badan memiliki keterkaitan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan adalah proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dan bagian tubuh lainnya yang terjadi sebelum dan sesudah lahir sampai mencapai bobot dewasa (Ensminger, 1991). Perhitungan pertambahan bobot badan broiler yaitu dengan cara mengurangi bobot badan broiler pada akhir minggu dikurangi dengan bobot badan broiler pada minggu sebelumnya. Selisih bobot badan yang besar akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang besar pula. Grafik uji lanjut polinomial hubungan penambahan biji ketumbar sebanyak 1%, 2% dan 3% dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan broiler disajikan pada Gambar 5.
23
Gambar 5. Grafik Hubungan Taraf Penambahan Biji Ketumbar dengan Pertambahan Bobot Badan Broiler Hasil uji lanjut bobot badan broiler pada fase starter menghasilkan persamaan kubik Y = -40,78x3+189x2-196,8x+462,0 dan untuk pertambahan bobot badan broiler menghasilkan persamaan
Y = -40,54x3+187,8x2-195,4x+419,9.
Artinya, penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum menghasilkan nilai yang paling tinggi dan peningkatan taraf penambahan biji ketumbar selanjutnya menurunkan bobot badan dan pertumbuhan bobot badan broiler. Kemungkinan pada taraf 3% dosis yang diberikan sudah terlalu tinggi untuk broiler pada fase starter. Bobot badan berfungsi sebagai ukuran produksi dan penentu nilai ekonomi (Jaya, 1982). Penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum (R2) menghasilkan bobot badan dan pertambahan bobot badan ayam terbesar. Hal ini dikarenakan kandungan minyak atsiri pada biji ketumbar memiliki sifat antimikroba terhadap spesies patogen seperti Salmonella (Isao et al., 2004) sehingga sistem pencernaan broiler dapat lebih efisien dalam mencerna dan menyerap nutrient. Minyak atsiri berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Parwata et al., 2008). Efek ekstrak tanaman yang mengandung senyawa antibakteri dapat meningkatkan efisiensi ransum dan membantu penyerapan nutiren pada saluran pencernaan (Kamel, 2001).
24
Dalam perhitungannya, bobot badan dan pertambahan bobot badan berkaitan erat dengan konsumsi, sehingga apabila konsumsi rendah maka pertambahan bobot badan yang dicapai akan rendah. Konsumsi pakan broiler pada perlakuan R1 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada fase starter, hasil sidik ragam (ANOVA) penambahan biji ketumbar sebesar 1%, 2% dan 3% dalam ransum berbeda nyata (P<0,05) dalam mempengaruhi konsumsi pakan broiler. Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut. dapat optimal. Grafik hasil uji lanjut konsumsi pakan broiler dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik Hubungan Taraf Penambahan Biji Ketumbar dengan Konsumsi Pakan Broiler Hasil uji lanjut konsumsi pakan broiler pada fase starter menghasilkan persamaan Y=-79,03x3+371,0x2-415,8x+815,7. Artinya, penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum menghasilkan nilai optimum dan peningkatan taraf penambahan biji ketumbar selanjutnya akan menurunkan konsumsi pakan broiler. Dari grafik polinomial kubik dapat dilihat bahwa penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum (R2) menunjukkan hasil yang tertinggi dalam meningkatkan konsumsi pakan broiler
25
dan respon kembali menurun ketika taraf penambahan biji ketumbar dalam ransum ditambahkan menjadi 3%. Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, tingkat cekaman, suhu lingkungan, dan aktivitas ternak. Selain itu, konsumsi dipengaruhi besar tubuh ayam, aktivitas sehari-hari, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum (NRC, 1994). Konsumsi pakan broiler pada penelitian ini rendah dikarenakan adanya cekaman panas selama pemeliharaan sehingga broiler mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan air minum untuk mempertahankan suhu tubuhnya. Namun, taraf penggunaan biji ketumbar 2% mampu memberikan efek positif terhadap peningkatan konsumsi ransum starter. Hal ini sangat diperlukan dalam mengurangi penurunan konsumsi yang merupakan dampak dari faktor penyebab stres. Mekanisme minyak atsiri dalam meningkatkan konsumsi yakni dengan merangsang sistem pencernaan dengan sekresi enzim pencernaan (Hermandez et al., 2004). Komponen utama minyak atsiri pada biji ketumbar adalah linalool yang jumlahnya sekitar 60%-70%. Cabuk et al. (2003) menyatakan bahwa linalool dapat meningkatkan selera ternak terhadap pakan (palatabilitas) dan meningkatkan stimulasi sistem pencernaan sehingga ternak akan mengkonsumsi makanan lebih banyak. Hasil analisa statistik pada fase starter menunjukkan penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum dapat meningkatkan bobot badan, pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan broiler (P<0,05). Hasil yang sama disebutkan pula dalam beberapa penelitian lainnya. Sunbul et al. (2010) menerangkan penggunaan biji ketumbar 2% dalam ransum meningkatkan bobot badan broiler strain Ross saat pemeliharaan musim dingin. Hasil yang sama dilaporkan oleh Guler et al. (2005) yang menyatakan bahwa suplementasi biji ketumbar taraf 2% dapat meningkatkan bobot badan puyuh Jepang. Pada fase starter, penambahan biji ketumbar tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam mempengaruhi konversi pakan. Faktor utama yang mempengaruhi nilai konversi adalah kualitas ransum, penerangan, faktor pemberian ransum, dan faktor eksternal seperti suhu dan kelembaban lingkungan. James (1992) menjelaskan
26
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi pakan adalah dasar genetik, tipe pakan yang digunakan, penyakit, temperature, feed additive yang digunakan dalam ransum dan manajemen pemeliharaan. Angka konversi yang tinggi pada fase starter disebabkan pertambahan bobot badan ayam broiler yang rendah. Menurut Ensminger (1992) untuk menghasilkan efisiensi pakan dengan pertumbuhan yang baik, temperature yang disarankan adalah 22,78 °C sedangkan suhu rataan kandang selama pemeliharaan dalam kisaran 26 °C. Nilai konversi pakan broiler pada suhu yang tinggi di atas suhu nyaman akan mengalami kenaikan. Hasil penelitian Al-Batshan dan Hussein (1998) menyatakan bahwa nilai konversi pakan broiler akan lebih rendah jika dipelihara pada suhu rendah. Jika diihat secara keseluruhan pada fase starter, penambahan biji ketumbar sebanyak 1%, 2% dan 3% dalam ransum menunjukkan angka konversi yang lebih rendah daripada kontrol (R0). Namun penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum (R2) adalah perlakuan yang paling optimum karena dapat menghasilkan bobot badan, pertambahan bobot badan dan konsumsi tertinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan biji ketumbar 2% dalam ransum dapat digunakan sebagai growth promotor alami dalam menghilangkan dampak cekaman panas karena dapat meningkatkan palatabilitas, merangsang sekresi enzim pencernaan dan mengabsorbsi nutrient lebih efisien karena ada reaksi antibakteri sehingga kekebalan broiler meningkat (Sunbul, 2010). Performa Broiler pada Fase Grower Pada fase grower, kebutuhan nutrient dan konsumsi pakan meningkat seiring dengan bertambah besar tobot badan ternak. Menurut Tamminga dan Van Vuuran (1988), secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah yang lebih banyak. Rataan performa broiler pada fase grower disajikan pada Tabel 14.
27
Tabel 14. Rataan Performa Broiler Fase Grower (umur 22-35 hari) Perlakuan
Bobot Badan (gram)
PBB (gram)
Konsumsi Pakan
Konversi
(gram)
Pakan
R0
1.216,90±34,08
754,83±25,98
1.383,30±87,53
1,84±0,18
R1
1.214,87±15,54
801,44±9,72
1.338,77±92,33
1,67±0,10
R2
1.255,96±83,52
757,85±67,84
1.387,70±126,91
1,84±0,18
R3
1.308,17±108,41
836,76±89,37
1.298,93±84,01
1,56±0,20
Ket : R0 (pakan tanpa biji ketumbar/kontrol); R1 (pakan dengan biji ketumbar 1%); R2 (pakan dengan biji ketumbar 2%); R3 (pakan dengan biji ketumbar 3%). Superskrip non- kapital pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Berdasarkan hasil analisa statistik pada fase grower penambahan biji ketumbar dalam ransum tidak berbeda nyata (P>0,05) dalam meningkatkan bobot badan, pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi pakan broiler. Taraf penambahan biji ketumbar yang tadinya hanya 2% pada fase starter kini menjadi 3%. Hal ini disebabkan semakin besar ternak maka kebutuhan nutriennya akan semakin meningkat. Menurut Amrullah (2004), tubuh ayam yang semakin besar akan lebih banyak membutuhkan zat-zat makanan yang dikonsumsinya untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Minyak atsiri berkhasiat mencegah gerak peristaltik usus yang terlalu kuat (Purseglove et al., 1981) sehingga ransum yang dikonsumsi akan lebih lama tinggal di usus halus dan absorpsi zat-zat makanan dalam ransum akan lebih sempurna. Komponen utama penyusun minyak atsiri adalah linalool. Kandungan minyak atsiri dan linalool yang terdapat di dalam biji ketumbar dapat meningkatkan stimulasi sistem pencernaan broiler (Cabuk et al., 2003) dengan cara mensekresikan enzimenzim pencernaan seperti amilase, lipase dan protease sehingga daya cerna ternak akan lebih baik. Performa Kumulatif Broiler Selama Pemeliharaan Pada penelitian ini ayam broiler dipelihara selama lima minggu. Data performa kumulatif ayam broiler selama pemeliharaan lima minggu disajikan pada Tabel 15.
28
Tabel 15. Performa Kumulatif Selama Pemeliharaan (umur 1-35 hari) Peubah
Bobot Badan (gram)
PBB (gram)
Konsumsi (gram)
Konversi pakan
R0
1.216,90±34,08
1.174,74±34,08
2.199,03±99,09
1,87±0,15
R1
1.214,87±15,54
1.173,17±15,81
2.030,64±88,75
1,73±0,07
R2
1.255,96±83,52
1.213,83±77,53
2.223,51±217,76
1,83±0,15
R3
1.308,17±108,41
1.266,17±109,07
2.072,28±102,99
1,64±0,23
Ket : R0 (pakan tanpa biji ketumbar/kontrol); R1 (pakan dengan biji ketumbar 1%); R2 (pakan dengan biji ketumbar 2%); R3 (pakan dengan biji ketumbar 3%). Superskrip non- kapital pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil pemeliharaan kumulatif selama lima minggu taraf penambahan biji ketumbar 2% dan 3% dalam ransum menghasilkan bobot badan, pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan yang lebih besar dengan nilai konversi pakan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan penambahan biji ketumbar dalam taraf 2%-3% dalam ransum mampu mengatasi dampak cekaman panas yang dialami broiler selama pemeliharaan lima minggu. Minyak atsiri dan linalool dalam biji ketumbar berperan dalam merangsang proses pencernaan pada hewan. Linalool dapat meningkatkan stimulasi sistem pencernaan broiler (Cabuk et al., 2003) sehingga daya cerna ayam broiler yang diberi pakan dengan penambahan biji ketumbar 2% dan 3% akan lebih baik. Namun, taraf penambahan biji ketumbar 1% dalam ransum menghasilkan bobot badan, pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan di bawah kontrol. Hal ini disebabkan pencapaian performa pada fase sebelumnya. Pada fase starter (umur 0-21 hari) performa broiler pada perlakuan R1 lebih rendah dibandingkan kontrol dan perlakuan lainnya. Tahap permulaan awal broiler akan mempengaruhi perkembangan broiler pada fase selanjutnya. Kondisi bobot badan dan konsumsi pakan yang rendah pada minggu awal menyebabkan keterlambatan pertumbuhan organ-organ penting termasuk sistem kekebalan dan bersifat irreversible (tidak dapat diperbaiki kembali).
29
Mortalitas Mortalitas atau angka kematian yaitu angka yang menunjukkan jumlah ayam yang mati selama pemeliharaan. Mortalitas dipengaruhi oleh berat badan, bangsa, tipe ayam, iklim, kebersihan dan suhu (North dan Bell, 1990). Kematian ayam pada penelitian ini disebabkan oleh stress panas pada siang hari dan stress lingkungan yang terjadi pada ayam. Stres tersebut dapat mengurangi daya tahan tubuh ayam sehingga ayam mudah terserang penyakit. Nilai mortalitas diukur melalui perbandingan antara jumlah seluruh ternak yang mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara selama pemeliharaan. Data mortalitas dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Grafik Mortalitas Ayam Broiler Selama Pemeliharaaan
Ket: R0= Kontrol, R1= Pakan dengan penambahan biji ketumbar 1%, R2=Pakan dengan penambahan biji ketumbar 2%, R3= Pakan dengan penambahan biji ketumbar 3%. Mortalitas tertinggi pada fase starter yaitu perlakuan R2 sedangkan pada fase grower yaitu perlakuan R3. Minggu ketiga dan keempat merupakan periode dimana peluang terjadinya kematian lebih tinggi karena pada periode tersebut antibodi bawaan telah berkurang. Kematian ayam broiler selama pemeliharaan lebih banyak disebabkan oleh penyakit (Amrullah, 2003). Dampak dari tingginya produktivitas broiler menjadi lebih rentan terhadap perubahan suhu lingkungan yang ekstrim dan
30
ancaman penyakit sehingga mudah terserang penyakit Gumboro dan sudden death syndrome. Tanda broiler yang terkena gumboro adalah lemas dan nafsu makan turun. Pada penelitian ini mortalitas paling banyak ditemukan pada fase grower. Pada fase grower kematian ayam paling banyak di siang hari dengan posisi punggung di bawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amrullah (2004), mortalitas kebanyakan mencapai puncaknya sekitar umur 3-4 minggu ketika laju pertumbuham maksimum yang sering ditemukan mati dengan posisi punggung di bawah. Ayam lahap makan di pagi hari namun tiba-tiba mati di siang hari. Sindrom kematian mendadak pada broiler (Sudden Death Syndrome) adalah kegagalan penyakit jantung akut terutama pada ayam jantan yang tumbuh cepat yang tampaknya berada dalam kondisi baik (Ononiwu et al., 1979). Bowes dan Julian (1988) menyimpulkan bahwa kematian mendadak (Sudden Death Syndrome) pada broiler sebabkan oleh beberapa jenis kerusakan pada jantung yang kemudian menyebabkan edema pada paru-paru sehingga ayam menjadi sulit bernafas dan akhirnya mati. Penyebab lain dari Sudden Death Syndrome termasuk kontinuitas pencahayaan (Ononiwu et al., 1979b), penyimpangan kandungan kalsium dan fosfor dalam pakan (Scheideler et al., 1995), dan frekuensi makan (Bowes dan Julian, 1988). Tujuan akhir dari usaha peternakan ayam broiler adalah mendapatkan keuntungan ekonomi yang maksimal. Jika ditinjau dari segi ekonomi ayam broiler lebih efisien dalam pemanenan dengan periode pemeliharaan yang singkat dan sistem pemeliharaan all in all out maka akan lebih menguntungkan secara ekonomis (Kartasudjana, 2005). Pakan memiliki peran penting dalam kaitannya dengan aspek ekonomi yaitu sebesar 65%-70% dari total biaya produksi yang dikeluarkan (Fadilah, 2004). Efesiensi usaha peternakan broiler dapat dilihat melalui indikator pendapatan setelah dikurangi biaya pakan. Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan salah satu parameter keberhasilan suatu usaha peternakan. Menurut Kasim (2002) faktor yang mempengaruhi nilai perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) antara lain harga Day Old Chick (DOC), pertambahan bobot badan, bobot akhir, harga jual per kg
31
bobot hidup, konsumsi pakan, dan harga pakan saat pemeliharaan. Hasil perhitungan IOFC (Income Over Feed Cost) dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) Variabel
Jenis Pakan R0
R1
R2
R3
5.000
5.000
5.000
5.000
- Konsumsi Starter (kg/ekor)
0,816
0,692
0,836
0,773
- Konsumsi Grower (kg/ekor)
1,383
1,339
1,388
1,299
Total Konsumsi (kg/ekor)
2,199
2,031
2,224
2,072
- Starter (Rp/kg)
6.350
6.500
6.700
6.850
- Grower (Rp/kg)
6.200
6.400
6.550
6.700
- Starter (Rp/ekor)
5.180
4.497
5.600
5.298
- Grower (Rp/ekor)
8.576
8.568
9.089
8.703
Total Biaya Pakan (Rp/ekor)
13.756
13.065
14.689
14.001
Biaya Pakan dan DOC (Rp/ekor)
18.756
18.065
19.689
19.001
Rataan Bobot Panen (kg/ekor)
1,217
1,215
1,256
1,308
Harga Jual Bobot Hidup (Rp/kg)
16.000
16.000
16.000
16.000
Penjualan (Rp/ekor)
19.472
19.440
20.096
20.928
716
1.375
407
1.928
Pengeluaran Harga (DOC/ekor) Konsumsi Pakan
Harga Pakan
Biaya Pakan
Penerimaan
Pendapatan (Rp/ekor)
Ket : Pendapatan (Rp) dihitung dengan cara hasil penjualan ayam (Rp/ekor) – biaya pakan dan DOC (Rp)
Menurut hasil perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC), penambahan biji ketumbar 3% dalam ransum (R3) memiliki keuntungan terbesar jika dibandingkan perlakuan yang lainnya. Keuntungan yang didapatkan lebih besar karena pada pemeliharaan selama 35 hari angka konversi untuk perlakuan R3 lebih rendah dibandingkan dengan R0, R1 dan R2. Rasio konversi pakan yang rendah berarti
32
untuk menghasilkan satu kilogram daging ayam dibutuhkan pakan dalam jumlah yang semakin sedikit (Wahju, 2004). Semakin rendah angka atau nilai konversi maka memberikan indikasi bahwa ternak tersebut efisien dalam penggunaan ransum.
33