IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 POLA PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS BEKATUL PASCA PENGGILINGAN Kerusakan hidrolitik pada bekatul mulai terjadi ketika proses penyosohan beras berlangsung, dimana terjadi kontak langsung antara minyak bekatul yang terdapat pada lapisan aleuron dan lembaga dengan enzim lipase yang secara endogenus terdapat di dalam lapisan testa atau selubung biji (Champagne, 2008). Lipase dengan segera menghidrolisis ikatan ester pada trigliserida yang menyebabkan terbentuknya asam lemak bebas (Free Fatty Acid) dan gliserol (Ramezanzadeh et al.,1999). Proses hidrolisis tersebut akan terus berlangsung dan menjadikan bekatul tidak lagi layak untuk dikonsumsi manusia maupun sebagai bahan baku produksi minyak bekatul. Asam lemak bebas (ALB) akan meningkatkan keasaman, menghasilkan karakteristik fungsional dan organoleptik yang tidak dapat diterima (Barnes dan Gilliard, 1991). Secara umum, kadar ALB bekatul maksimum 10%, jika lebih dari itu, bekatul tidak layak untuk konsumsi manusia (Tao et al., 1993). Peningkatan kadar asam lemak bebas diamati pada empat varietas yang berbeda, yaitu IR 64, ciherang, pandan wangi dan sintanur. Pola peningkatan kadar asam lemak bebas pasca penggilingan dari keempat varietas padi dapat dilihat pada Gambar 5.
Pola peningkatan ALB 20
ALB (%)
15 10 5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
Waktu (jam) IR 64
Ciherang
Pandan wangi
Sintanur
Gambar 5. Pola peningkatan kadar ALB empat varietas padi pasca penggilingan Kecepatan pembentukan asam lemak bebas dari keempat varietas tersebut berbeda, varietas IR 64 mencapai kadar ALB 10% setelah 20 jam penyimpanan pada suhu ruang, ciherang 16 jam, pandan wangi 12 jam, dan sintanur 10 jam. Penyimpanan selama 24 jam menunjukkan kadar ALB terendah pada varietas IR 64 sebesar 11.46% dan kadar ALB tertinggi sebesar 19.03% pada varietas sintanur (Lampiran 1). Menurut Orthoefer dan Eastman (2004), kandungan asam lemak bebas akan meningkat sebesar 5-10% per hari dan dapat mencapai 70% dalam sebulan. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh bahwa terdapat perbedaan kecepatan pembentukan ALB
pada varietas padi yang berbeda, hasil ini selaras dengan penelitian Tsuzuki (1994) dan Goffman (2003) yang menyatakan perbedaan varietas menyebabkan kerusakan hidrolitik dan aktivitas lipase yang berbeda. Varietas yang memiliki aktivitas lipase tinggi memiliki tingkat kerusakan minyak yang lebih tinggi, namun aktivitas lipase tidak dipengaruhi oleh kadar lemak yang terdapat pada bekatul. Tingkat kerusakan hidrolitik yang lebih rendah dapat pula dihubungkan dengan efek penghambatan oleh kandungan tannin pada bekatul terhadap aktivitas lipase (Goffman, 2003). Bekatul yang berasal dari padi varietas aromatik dalam penelitian ini pandan wangi dan sintanur memiliki kecepatan kerusakan hidrolitik yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan bekatul dari padi varietas non-aromatik, yaitu IR 64 dan ciherang. Penyebab dari perbedaan ini belum diketahui secara pasti, namun diduga karena perbedaan aktivitas lipase terhadap komponen asam lemak tertentu yang dimiliki bekatul dari varietas aromatik. Prabhu (1999) menyatakan lipase dari bekatul merupakan enzim regioselektif yang memotong rantai lemak pada molekul tertentu dan memiliki kecenderungan terhadap substrat dengan berat molekul rendah. Berdasarkan hasil pada Tabel 6, pandan wangi dan sintanur cenderung memiliki asam lemak dengan berat molekul rendah yang lebih tinggi daripada IR 64 dan ciherang. Namun belum dapat menunjukkan secara jelas hubungan antara kadar asam lemak dengan berat molekul rendah dan pola pembentukan ALB, diduga terdapat faktor lain yang mempengaruhi pembentukan ALB. Menurut Fox (1991), laju hidrolisis enzim lipase dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, suhu reaksi, kadar air, jenis substrat, konsentrasi substrat dan pH. Lemak merupakan salah satu komponen yang paling penting pada bekatul. Kadar lemak bekatul mulai dari yang tertinggi hingga terendah yaitu pandan wangi, sintanur, IR 64, dan ciherang. Kadar lemak tersebut sesuai dengan penelitian Luh (1991) yang menyatakan kadar lemak bekatul sekitar 15-19.7% pada kadar air 14%. Menurut hasil penelitian Goffman (2003), kadar lemak tidak secara signifikan berpengaruh terhadap kerusakan hidrolitik. Hasil yang diperoleh turut mendukung pernyataan Goffman tersebut dimana kadar lemak memiliki hubungan yang lemah dengan kadar asam lemak bebas bekatul. Hal ini diduga terjadi karena enzim lipase hanya menghidrolisis substrat (lipid) yang berbentuk misel, agregat kecil atau partikel emulsi (Macrae, 1983) sehingga jika bentuk lipid tidak sesuai, tidak terjadi proses hidrolisis lipid walaupun kadar lemaknya tinggi. Kadar air bekatul dari keempat varietas berkisar antara 12.36-13.68% (Tabel 5), dengan kadar air tertinggi pada IR 64 dan terendah pada pandan wangi. Kadar air bekatul yang masih cukup tinggi menyebabkan kerusakan hidrolitik mudah terjadi. Menurut Randall et al. (1985), pengeringan kadar air bekatul menjadi 2-3% dapat mencegah terjadinya aktivitas enzim lipase, namun jika kadar airnya kembali meningkat hingga ekuilibrium dengan atmosfer pada 10-13%, seringkali aktivitas lipase kembali aktif. Pemanasan dengan adanya kandungan air pada bahan lebih efektif dalam mendenaturasi enzim sehingga tidak mudah aktif kembali.
Tabel 5. Kadar air dan kadar lemak bekatul dari empat varietas Varietas
Kadar air (%b/b)
Kadar lemak (%b/b)
IR 64
13.6827
15.4227
Ciherang
13.4550
15.1872
Pandan wangi
12.3572
18.0439
Sintanur
12.5780
16.6602
18
Berdasarkan data pada Gambar 5 dan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa kadar air dan kadar asam lemak bebas tidak menunjukkan suatu hubungan yang kuat. Diduga kadar air pada bekatul melebihi kadar air minimum yang dibutuhkan oleh enzim lipase dalam melakukan proses hidrolisis. Fox (1991) menyatakan kadar air minimum yang diperlukan untuk reaksi hidrolisis lipid secara enzimatis sebesar 6%. Michaelis-Menten mendefinisikan suatu tetapan yang menyatakan hubungan diantara konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi enzimatik yang dinyatakan dengan nilai KM (Lehninger, 1982). Nilai KM didefinisikan sebagai tetapan enzim bagi substrat tertentu. Reaksi dasar dari pembentukan dan penguraian kompleks enzim- substrat, yaitu k1 k2 E+S ES E+P k-1 Reaksi tersebut kemudian diturunkan menjadi sebuah persamaan dimana kecepatan pembentukan ES = k1 ([E] – [ES]) [S] dan kecepatan penguraian ES = k-1 [ES] + k2 [ES] Pada keadaan seimbang maka diperoleh persamaan : Kecepatan pembentukan = kecepatan penguraian k1 ([E] – [ES]) [S] = k-1 [ES] + k2 [ES] k1 [E][S] – k1[ES][S] = (k-1 + k2) [ES] k1 [E][S] = (k1[S] + k-1 + k2) [ES] [ES]
=
Vo
=
, jika Vo = k2 [ES] /
jika Vmaks sebagai k2 [E] dan KM sebagai (k2+k-1)/k1 maka akan diperoleh persamaan MichaelisMenten, persamaan kecepatan bagi suatu reaksi enzimatik suatu substrat sebagai berikut : (4.1) Nilai KM dalam persamaan tersebut bersifat khas bagi enzim tertentu, dengan substrat spesifik pada kondisi pH dan suhu tertentu. Nilai KM yang semakin besar, maka semakin rendah kecepatan reaksi enzim (Vo) tersebut. Nilai KM yang tinggi berarti konsentrasi substrat yang diperlukan untuk memperoleh setengah kecepatan maksimum katalisisnya relatif tinggi. Bekatul dari varietas yang berbeda dimungkinkan memiliki nilai KM yang berbeda-beda, sehingga menentukan kecepatan pembentukan asam lemak bebas.
4.2 ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK BEKATUL Komposisi asam lemak bekatul dianalisis menggunakan alat gas kromatografi (GC-MS) di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Subang (Lampiran 5a, 5b, 5c, 5d). Secara umum, kandungan asam lemak yang dominan pada bekatul adalah asam palmitat (C16:0), asam oleat (C18:1), dan asam linoleat (C 18:2). Tabel 6 memperlihatkan komposisi asam lemak bekatul dari keempat varietas. Pada bekatul varietas IR 64 dan ciherang kandungan asam oleat (C18:1) paling dominan, sedangkan pada varietas pandan wangi dan sintanur kandungan tertinggi adalah asam linolenat (C18:2). Selain itu pada bekatul dari pandan wangi dan sintanur yang termasuk varietas aromatik memiliki asam lemak C20:1, yang tidak dimiliki oleh bekatul dari IR 64 dan ciherang. Belum diketahui secara pasti penyebab dari perbedaan tersebut.
19
Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kandungan asam palmitat dari varietas IR 64 dan ciherang berbeda nyata dengan pandan wangi, sedangkan sintanur tidak berbeda nyata dengan IR 64 dan ciherang maupun pandanwangi pada taraf 0.05 (Lampiran 6). Asam linoleat pandanwangi dan sintanur berbeda nyata dengan IR 64 maupun ciherang, sedangkan kandungan asam linolenat tidak berbeda nyata pada keempat varietas yang diujikan. Berdasarkan hasil yang diperoleh bekatul memiliki kandungan asam lemak yang berbeda pada varietas yang berbeda. Menurut Resurrecction dan Juliano (1975), varietas padi mempengaruhi komposisi asam lemak bekatul.
Tabel 6. Komposisi asam lemak bekatul pada empat varietas varietas IR 64
komposisi asam lemak (% dari total) C14:0 0.70
a
1.16
b
Pandanwangi
1.06
b
Sintanur
0.90ab
Ciherang
C16:0 21.68
a
22.36
a
28.35
b
26.49ab
C16:1 0.20 0.22
a
ab
0.29
b
0.25ab
C18:0
C18:1
C18:2
C18:3
C20:0
C20:1
b
c
32.80
1.31
0.64
-
b
34.29
1.32
0.68
-
a
33.97
1.38
0.50
0.33a
33.12a
34.98
1.47
0.59
0.35a
2.18
1.95
a
1.84
a
1.85a
40.49 38.01
32.29
Keterangan : Nilai a, b, c pada taraf 0.05
Data ini memberikan konfirmasi bahwa bekatul kaya akan asam lemak tidak jenuh, kurang lebih 70% dari total lemak yang terkandung pada bekatul. Kandungan asam lemak tidak jenuh tertinggi terdapat pada varietas IR 64 yaitu sebesar 74.80%, dan yang paling rendah adalah pandanwangi sebesar 68.26%. Kandungan asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat dapat memberikan manfaat kesehatan seperti menurunkan kolesterol (Grundy, 1987) sehingga bekatul dan minyak bekatul sangat potensial untuk dikonsumsi sebagai sumber asam lemak tidak jenuh. Minyak bekatul dengan kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi sebaiknya tidak digunakan sebagai minyak goreng, tetapi sebagai minyak makan seperti halnya minyak kedelai yang memiliki kandungan oleat dan linoleat tinggi. Pemanasan yang terjadi selama proses menggoreng akan merusak asam lemak tidak jenuh sehingga tidak lagi mampu memberikan efek kesehatan yang diharapkan ketika dikonsumsi. Kandungan asam lemak bekatul yang kaya akan asam lemak tidak jenuh dapat meningkatkan kecepatan oksidasi bekatul yang menyebabkan kerusakan. Selain itu PUFA yang berbeda juga akan menghasilkan senyawa volatil yang berbeda saat terjadi oksidasi. Umumnya asam lemak yang memiliki struktur n-3 seperti asam linolenat akan menghasilkan off flavor yang lebih lemah dibanding zat volatil yang dihasilkan oleh asam lemak n-6 seperti asam linoleat. Tabel 7 menyatakan komposisi asam lemak pada minyak bekatul berbagai varietas lain. Berdasarkan tabel tersebut secara umum minyak bekatul kaya akan asam palmitat (C16:0), asam oleat (C18:1), dan asam linoleat (C18:2). Walaupun demikian tetap terdapat perbedaan komposisi pada setiap varietas. Gilirang dan Inpari 7 memiliki kandungan asam linoleat yang lebih tinggi daripada asam oleat seperti pandanwangi dan sintanur, sedangkan inpari 8 dan varietas U.S. sama seperti IR 64 dan ciherang yang lebih tinggi pada kandungan asam oleat. Komposisi asam lemak bekatul yang berbeda dari empat varietas padi yang diamati serta empat varietas lainnya diduga disebabkan oleh perbedaan genetika pada setiap varietas dan perbedaan kondisi tanam. Taira (1989) membandingkan komposisi asam lemak bekatul varietas indica dan varietas japonica menyatakan bahwa varietas indica memiliki proporsi yang lebih
20
tinggi dibandingkan varietas japonica pada asam lemak palmitat, stearat, linolenat, dan arakidat sedangkan lebih rendah pada kadar asam oleat, linoleat, dan eicosanoat.
Tabel 7. Komposisi asam lemak dari minyak bekatul berbagai varietas Jenis asam lemak
Komposisisi asam lemak (%) Giliranga
Inpari 7a
Inpari 8a
Varietas U.S.b
C 14:0
0.66
0.75
0.89
0.20
C 16:0
24.13
21.86
22.82
15.00
C 16:1
0.26
0.19
0.25
-
C 18:0
1.99
2.13
2.10
1.90
C 18:1
32.24
35.23
41.54
42.50
C 18:2
37.90
36.79
29.99
39.10
C 18:3
1.40
1.36
1.25
1.10
C 20:0
0.71
0.81
0.42
0.50
C 20:1
0.31
0.36
0.16
-
C 22:0
-
-
-
0.20
a b
(Ubaidillah, 2010) (McCaskill dan Zhang, 1999)
4.3 KONDISI MAKSIMUM STABILISASI BEKATUL DENGAN TEKNIK EKSTRUSI ULIR GANDA TANPA DIE Stabilisasi bekatul pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan ekstruder ulir ganda tanpa die merk Berto. Pada penelitian ini, parameter yang diamati adalah kecepatan ulir dan kecepatan umpan. Kombinasi dari kedua parameter tersebut diperoleh dari program JMP sehingga diperoleh 13 kombinasi perlakuan. Pada parameter X1 (kecepatan ulir), nilai -1 adalah 12 hz, nilai 0 adalah 17 hz, dan nilai +1 adalah 22 hz. Nilai -1 sebesar 12 hz ditentukan berdasarkan batas minimum dari ekstruder yang digunakan untuk berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak sebesar 5 hz dari nilai -1. Pada parameter X2 (kecepatan umpan), nilai -1 adalah 10 hz, nilai 0 adalah 20 hz dan nilai +1 adalah 30 hz. Nilai -1 sebesar 10 hz juga merupakan batas minimum dari kecepatan umpan ekstruder agar dapat berfungsi dengan baik. Nilai 0 dan +1 ditentukan dengan jarak 10 hz, hal ini ditujukan agar perbedaan kecepatan umpan cukup signifikan. Bekatul yang digunakan dalam proses stabilisasi adalah bekatul segar yang baru digiling. Penggilingan dilakukan dengan rice huller sebanyak dua kali hingga sekam terlepas, kemudian beras pecah kulit disosoh dengan rice polisher. Pada tahap penyosohan, terjadi gesekan pada bulir beras sehingga diperoleh bekatul. Gesekan-gesekan yang terjadi menyebabkan peningkatan suhu dari beras sosoh dan bekatul yang dihasilkan. Pada tahap ini terjadi kontak langsung antara minyak bekatul dengan enzim lipase. Kondisi suhu yang meningkat tersebut turut mendorong aktivitas lipase dalam menghidrolisis lemak. Tahap penggilingan dan penyosohan beras harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat agar kerusakan bekatul minimum.
21
Bekatul yang telah dihomogenkan dengan dry mixer, kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder tanpa die. Stabilisasi dilakukan pada berbagai kombinasi kecepatan umpan dan ulir sehinggga diperoleh 13 sampel bekatul terstabilisasi. Bekatul terstabilisasi tersebut diayak dengan ayakan 40 mesh agar diperoleh ukuran partikel bekatul yang sama serta memisahkan bekatul dari dedak kasar dan sekam. Stabilisasi bekatul pada penelitian ini tidak dilakukan dengan penambahan air, karena kadar air bekatul awal yang sudah cukup tinggi yaitu 12-13%. Analisis asam lemak bebas awal dilakukan pada 13 sampel bekatul terstabilisasi dari masing-masing varietas dan sampel bekatul tanpa stabilisasi untuk mengamati pengaruh dari stabilisasi. Analisis asam lemak bebas selanjutnya dilakukan setelah penyimpanan bekatul selama 15 hari dalam inkubator suhu 37°C. Suhu ini dipilih karena merupakan suhu optimum dari lipase bekatul menurut Luh et al.(1991). Kenaikan asam lemak bebas dari bekatul setelah 15 hari merupakan nilai Y yang digunakan dalam penentuan kondisi maksimum dengan metode RSM. Tabel 8 menunjukkan persamaan dan nilai R2 dari model respon permukaan pada keempat varietas.
Varietas
Tabel 8. Persamaan model dari keempat varietas Persamaan model
R2
IR 64
Y= 96.587 - 1.157 X1 - 0.437 X2 - 0.064 X12 + 0.271 X2X1 + 0.353 X22
0.58
Ciherang
Y= 87.496 – 3.445 X1– 0.923 X2 + 0.176 X12+ 0.849 X2X1 + 1.501 X22
0.68
Pandan
Y= 75.645 – 4.240 X1 – 2.576 X2 + 1.488 X12+ 2.606 X2X1 + 2.640 X22
0.69
Y= 73.676 – 2.894 X1 – 1.381 X2 + 1.075 X12+ 0.920 X2X1 + 0.765 X22
0.48
wangi Sintanur
Model respon permukaan pada varietas IR 64 ditunjukkan pada Gambar 6. Pada varietas IR 64 nilai R2 sebesar 0.58, artinya model hanya menggambarkan 58% dari total perlakuan pada taraf 0.05, sedangkan 42% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain diluar variabel yang digunakan. Nilai P dari model tersebut sebesar 0.1919 lebih besar dari taraf 0.05, artinya model yang diperoleh pada IR 64 belum tepat (Lampiran 4a). IR 64
8
-4 -2 0 2 4 6 8
4 2 0 1.0
-2
0.5 0.0
-4 1.0
0.5
X1
% Kenaikan
6
-0.5 0.0
X2
-0.5
-1.0 -1.0
Gambar 6. Model respon permukaan varietas IR 64
22
Nilai R2 untuk varietas ciherang sebesar 0.68, artinya model menggambarkan 68% dari total perlakuan pada taraf 0.05. Lampiran 2a menunjukkan model respon varietas ciherang. Nilai P dari model adalah 0.011 < taraf 0.05, sehingga model cocok untuk menggambarkan kondisi perlakuan (Lampiran 4b). Lampiran 2b menunjukkan model respon permukaan varietas pandanwangi dengan nilai R2 sebesar 0.69, artinya model menggambarkan 69% dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0875 > nilai F 0.05, sehingga model yang diperoleh belum tepat (Lampiran 4c). Nilai R2 pada model respon permukaan varietas sintanur (Lampiran 2c) sebesar 0.48, artinya model tersebut hanya menggambarkan 48% dari total perlakuan. Nilai P sebesar 0.0043 < nilai F 0.05 yang berarti model yang dihasilkan cukup tepat (Lampiran 4d). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari setiap varietas, maka kombinasi X1 dan X2 yang menghasilkan kenaikan asam lemak bebas paling rendah berada pada nilai 12 hz dan 10 hz. Walaupun demikian hasil analisis statistika terhadap faktor kecepatan ulir dan kecepatan umpan menunjukkan bahwa faktor kecepatan ulir tidak secara signifikan mempengaruhi stabilisasi bekatul pada taraf 5% (nilai P X2 lebih besar dari 0.05). Pengaruh faktor kecepatan umpan yang tidak signifikan menunjukkan bahwa dalam proses stabilisasi bekatul yang dilakukan hanya kecepatan ulir ekstruder yang memiliki pengaruh terhadap nilai Y. Kecepatan ulir yang lebih tinggi akan menghasilkan panas lebih tinggi, namun akan menurunkan resident time bekatul di dalam laras ekstruder jika kecepatan umpan konstan sehingga waktu pemanasan bekatul menurun. Kecepatan umpan yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penumpukan bahan di dalam laras, sehingga pemanasan kurang merata. Pada umumnya resident time pada ekstruder adalah 30 detik. Waktu pemanasan yang kurang dapat menyebabkan inaktivasi lipase kurang sempurna dan reversibel. Kecepatan ulir (12 hz) dan kecepatan umpan (10 hz) yang digunakan merupakan batas minimum dari ekstruder agar tidak mengalami kerusakan, oleh karena itu untuk meningkatkan waktu pemanasan bekatul dapat dilakukan proses ekstrusi bekatul lebih dari satu kali. Peningkatan suhu ekstrusi tidak disarankan karena suhu yang digunakan sudah tinggi, jika ditingkatkan berpotensi merusak komponen nutrisi bekatul. Selain itu suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya case hardening, sehingga hanya bagian luar bekatul yang mengalami pemanasan sedangkan bagian dalamnya kurang memperoleh panas. Bekatul hasil stabilisasi yang disimpan selama 15 hari pada suhu 37°C menunjukkan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas, walaupun demikian jika dibandingkan dengan bekatul tanpa stabilisasi yang disimpan dalam kondisi yang sama, terdapat penurunan yang signifikan pada bekatul terstabilisasi (Tabel 9). Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan stabilisasi dengan teknik ekstrusi ulir ganda dapat menghambat kerusakan hidrolitik pada bekatul.
Tabel 9. Kenaikan kadar ALB bekatul pada kondisi tanpa dan dengan stabilisasi Varietas
1
IR 64 ciherang pandanwangi sintanur
kenaikan kadar ALB (%) tanpa stabilisasi
stabilisasi1
36.73 51.48 53.94 54.28
0.43 1.42 4.73 13.55
stabilisasi pada kondisi nilai X1=12 hz dan X2=10 hz
23
4.4 VERIFIKASI KONDISI STABILISASI BEKATUL Verifikasi kondisi stabilisasi bekatul dilakukan dengan proses ekstrusi pada suhu bagian awal ulir 130 oC, suhu bagian tengah 180 oC, suhu bagian akhir 230°C, kecepatan ulir 12 hz dan kecepatan umpan 10 hz dengan tiga ulangan. Tujuan verifikasi adalah untuk mengetahui model prediksi dengan kenyataan di lapangan. Berdasarkan perhitungan dari model varietas IR 64, diperoleh prediksi kadar kenaikan ALB sebesar 1.259%. Hasil verifikasi pada IR 64 menghasilkan kenaikan kadar ALB sebesar 3,825%. Perbedaan antara nilai prediksi dengan kenyataan sebesar 203.81%, hasil ini jauh diatas batas penerimaan. Murad (2005) menyatakan bahwa perbedaan prediksi dengan verifikasi dibawah 10% model yang didapat dari percobaan yang dilakukan masih bisa diterima. Hasil prediksi kenaikan kadar ALB dari varietas ciherang sebesar 5.61%, dan kenaikan kadar ALB pada kondisi lapang sebesar 4.09%. Perbedaan antara keduanya sebesar 37.16%, hasilnya masih jauh si atas batas penerimaan. Pada pandan wangi, prediksi berdasarkan persamaan model sebesar 10.80%, sedangkan pada verifikasi di lapang sebesar 8.49%. Terdapat perbedaan 27.21% antara keduanya. Untuk varietas sintanur, hasil prediksi dari model sebesar 19.29% dan hasil verifikasi sebesar 9.00%. Terjadi perbedaan sebesar 114.33%. Perbedaan yang besar antara hasil verifikasi pada lapang dan hasil prediksi menunjukkan bahwa persamaan model yang diperoleh belum dapat menggambarkan kenaikan kadar ALB di lapangan. Peningkatan kadar asam lemak bebas masih terjadi pada bekatul yang telah distabilisasi, walaupun kenaikan yang terjadi jauh lebih rendah dibandingkan dengan bekatul tanpa stabilisasi dengan kondisi penyimpanan yang sama. Kondisi ini menjelaskan bahwa lipase pada bekatul belum seluruhnya berdenaturasi. Hal ini dapat disebabkan oleh waktu pemanasan bekatul di dalam laras yang terlalu singkat namun terjadi keterbatasan pada alat ekstruder yang digunakan dan kurang meratanya distribusi panas pada bekatul. Kandungan air yang masih tinggi juga dapat menyebabkan proses hidrolisis lemak oleh lipase tetap berlangsung. Stabilisasi dengan teknik ekstrusi ulir ganda dapat diaplikasikan pada industri, karena ekstruder dapat disambungkan dengan mesin penggiling gabah sehingga kerusakan awal bekatul sebelum stabilisasi dapat minimum dan kerusakan lebih lanjut dapat dicegah. Bekatul hasil stabilisasi sebaiknya disimpan pada kondisi yang kering, dan suhu penyimpanan rendah agar tidak terjadi kenaikan kadar air yang dapat mendorong hidrolisis, serta suhu penyimpanan rendah menghambat aktivitas lipase yang tidak terdenaturasi dengan sempurna.
24