HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Ransum Ransum penelitian disusun berdasarkan rekomendasi Leeson dan Summers (2005) dan dibagi dalam dua periode, yakni periode starter (0-18 hari) dan periode finisher (19-35 hari). Kandungan protein pada periode starter dan finisher adalah 21,57% dan 19,99% dengan kandungan energi pada periode starter dan finisher adalah 4113 kkal/kg dan 4413 kkal/kg. Kandungan protein dan energi ransum tersebut sesuai dengan standar kandungan nutrien ransum ayam broiler periode starter dan finisher yang telah ditetapkan oleh SNI, yakni kandungan protein dan energi periode starter adalah minimal 19% dan 2900 kkal/kg (SNI, 2006a) serta kandungan protein dan energi periode finisher adalah minimal 18% dan 2900 kkal/kg (SNI, 2006b). Selain itu, kadar air yang terkandung dalam ransum juga berada dalam kisaran normal kadar air ransum yang telah ditetapkan oleh SNI, yakni periode starter 11,94% dan periode finisher 6,67 % dimana kadar air ransum menurut SNI adalah maksimal 14% (SNI, 2006a dan SNI, 2006b). Suhu dan Kelembaban Kandang Suhu dan kelembaban kandang penelitian dicatat setiap hari pada pagi hari (07.00 WIB), siang hari (14.00 WIB) dan sore hari (17.00 WIB) selama lima minggu. Rataan suhu dan kelembaban kandang disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. 35 30 Suhu (°C)
25 20 15
pagi
10
siang
5
sore
0 1
2
3
4
5
Minggu ke‐
Gambar 3. Rataan Suhu Kandang Selama Penelitian 21
Kelembaban (%)
100 80 60 pagi
40
siang
20
sore
0 1
2
3
4
5
Minggu ke‐
Gambar 4. Rataan Kelembaban Kandang Selama Penelitian Umumnya pada anak ayam umur 1-2 minggu memerlukan suhu lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan ayam broiler umur lebih dari tiga minggu. Pada minggu 1-2 suhu lingkungan telah sesuai dengan suhu kandang yang dibutuhkan oleh anak ayam yakni 29-32 ºC (Charoen Pokphand, 2011). Sedangkan pada ayam broiler umur 3-5 minggu suhu kandang berfluktuatif dimana pada pagi hari 25,2 ºC, siang hari 30,77 ºC dan pada sore hari 27,4 ºC. Suhu yang berfluktuatif tidak sesuai dengan suhu kandang yang dibutuhkan ayam broiler pada usia 3-5 minggu yakni 23-28 ºC (Charoen Pokphand, 2011). Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Ayam Broiler Rataan konsumsi ransum, bobot badan awal, bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, konversi ransum dan mortalitas ayam broiler setelah lima minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 11. Konsumsi Ransum Rataan konsumsi ransum ayam broiler selama lima minggu pemeliharaan berkisar antara 2605 sampai 2718 gram/ekor. Konsumsi ransum ayam broiler pada penelitian ini lebih rendah dari standar konsumsi ransum ayam broiler strain CP 707 yang dipelihara pada suhu 19–27 ºC selama lima minggu yaitu 3297 gram/ekor
(Charoen Pokphand, 2011). Lebih rendahnya konsumsi ransum
penelitian dari standar diduga karena perbedaan ransum yang digunakan serta lingkungan pemeliharaan yang berbeda. 22
Tabel 11. Rataan Konsumsi Ransum, Bobot Badan Awal, Bobot Badan Akhir, Pertambahan Bobot Badan, Konversi Ransum, dan Mortalitas Selama Penelitian Peubah R0 R1 R2 R3 R4 Konsumsi ransum (gram/ekor)
2718±86,25
Bobot badan awal (gram/ekor)
48 ± 2,44
2605±130,36 2620±65,18
47 ± 2,38
48 ± 2,68
2650±86,42
48± 1,95
2675±77,24
50 ± 1,00
Bobot badan 1521±90,67 1468±106,04 1474±22,26 akhir (gram/ekor)
1490±70,43 1481±35,04
Pertambahan 1473±91,38 1421±107,96 1427±23,59 bobot badan (gram/ekor)
1442±70,09 1431±34,18
Konversi ransum (gram/ekor)
1,85 ± 0,10
1,84 ± 0,05
1,84 ± 0,04
1,84 ± 0,04
1,87 ± 0,04
Mortalitas (ekor)
8 (2,13%)
3 (0,8%)
1 (0,27%)
6 (1,6%)
7 (1,9%)
Keterangan : R0 (ransum kontrol tanpa asam fulvat), R1 (R0 + 0,25% FA), R2 (R0 + 0,50% FA), R3 (R0 + 0,75% FA), R4 (R0 + 1,0% FA)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan asam fulvat dalam ransum tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap konsumsi ransum (P>0,05). Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyati (2006) dimana penambahan asam fulvat dalam air minum mampu meningkatkan kinerja ayam pedaging, bobot hidup dan rasio konversi ransum. Perbedaan ini diduga akibat perbedaan media pemberian asam fulvat serta perbedaan asam fulvat yang digunakan. Rataan konsumsi ransum ayam broiler setiap minggu selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 5. Konsumsi ransum ayam broiler meningkat pada setiap minggunya selama pemeliharaan. Namun, pada minggu ke-lima konsumsi ransum ayam broiler tidak mengalami kenaikan yang signifikan dan bahkan konsumsi ransum ayam broiler pada perlakuan R2 mengalami penurunan. Penurunan konsumsi ransum ini diduga
23
Konsumsi Ransum (g/ekor)
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
R0 R1 R2 R3 R4 1
2
3
4
5
Minggu ke‐
Gambar 5. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Selama Penelitian Keterangan : R0 (ransum kontrol tanpa asam fulvat), R1 (R0 + 0,25% FA), R2 (R0 + 0,50% FA), R3 (R0 + 0,75% FA), R4 (R0 + 1,0% FA)
akibat tingginya suhu kandang pada minggu ke-lima. Suhu kandang pada minggu ke-lima berkisar antara 24,9 – 30,5 ºC, sedangkan suhu kandang optimum yang baik untuk broiler pada minggu ke-lima adalah 23 ºC (Charoen Pokphand, 2011). Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan naiknya suhu tubuh ayam. Emmans dan Charles (1977) memperkirakan penurunan konsumsi ransum adalah 1,5% setiap 1 ºC kenaikan suhu lingkungan di atas 18 ºC pada ayam di daerah tropis. Penurunan konsumsi ransum antara lain disebabkan oleh meningkatnya konsumsi air minum yang digunakan untuk mempertahankan suhu tubuh akibat lingkungan yang bertambah panas. Selain karena suhu lingkungan yang relatif tinggi, faktor lain yang menyebabkan konsumsi ransum yang lebih rendah adalah manajemen pemeliharaan. Manajemen pemeliharaan yang kurang baik menyebabkan lingkungan yang kurang nyaman bagi ayam broiler dan menurunnya performa ayam broiler. Dalam penelitian ini penimbangan ayam broiler per ekor yang dilakukan setiap minggu dan banyaknya aktivitas manusia di lingkungan sekitar kandang menyebabkan lingkungan yang kurang nyaman dan berdampak pada menurunnya konsumsi ransum yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap performa ayam broiler.
24
Bobot Badan Akhir 1550
1521
1500
1468
1474
R1
R2
1490
1481
1450 1400 R0
R3
R4
Gambar 6. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama Penelitian Keterangan : R0 (ransum kontrol tanpa asam fulvat), R1 (R0 + 0,25% FA), R2 (R0 + 0,50% FA), R3 (R0 + 0,75% FA), R4 (R0 + 1,0% FA)
Rataan bobot badan akhir ayam broiler selama lima minggu pemeliharaan berkisar antara 1468–1521 gram/ekor. Bobot badan akhir tertinggi dicapai oleh perlakuan R0 yakni sebesar 1521 gram/ekor. Hasil ini didukung dengan konsumsi ransum perlakuan R0 (kontrol) tertinggi dibanding dengan konsumsi ransum perlakuan yang lain. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan asam fulvat dalam ransum tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap bobot badan akhir ayam broiler (P>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa asam fulvat tidak mengganggu proses pertumbuhan ayam broiler. Karaoglu et al. (2004) menyampaikan bahwa suplementasi asam humat dalam ransum hingga 0,30% tidak mempengaruhi bobot badan akhir ayam broiler. Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan (PBB) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur laju pertumbuhan seekor ternak. Menurut Tillman et al. (1991), pertambahan bobot badan diperoleh melalui pengukuran kenaikan bobot badan dengan melakukan penimbangan ayam broiler secara berulang-ulang dalam kurun waktu tiap hari, tiap minggu atau tiap bulan. Dalam penelitian ini penimbangan ayam broiler per ekor dilakukan setiap minggu.
25
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor)
500 400 R0
300
R1
200
R2
100
R3
0
R4 1
2
3
4
5
Minggu ke-
Gambar 7. Rataan PBB Ayam Broiler Selama Penelitian Keterangan : R0 (ransum kontrol tanpa asam fulvat), R1 (R0 + 0,25% FA), R2 (R0 + 0,50% FA), R3 (R0 + 0,75% FA), R4 (R0 + 1,0% FA)
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan ayam broiler pada perlakuan yang diberi penambahan asam fulvat dalam ransum tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kontrol (P>0,05). Kocabagli et al. (2002), Karaoglu et al. (2004) dan Yalcin et al. (2005) telah melaporkan bahwa penambahan humat sebesar 0,1%-0,25% tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam broiler. Konversi Ransum Rataan nilai konversi ransum yang diperoleh selama lima minggu pemeliharaan adalah 1,85 (R0); 1,84 (R1); 1,84 (R2); 1,84 (R3); 1,87 (R4). Nilai konversi ransum ayam broiler yang dipelihara selama lima minggu dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai konversi ransum ayam broiler strain CP 707 yang dipelihara selama lima minggu yaitu 1,61 (Charoen Pokphand, 2011). Tingginya nilai konversi ransum diduga akibat tingginya mortalitas yang disebabkan oleh serangan penyakit dan tingginya suhu lingkungan selama penelitian sehingga mempengaruhi konsumsi ransum.
26
Konversi Ransum
2.7 2.4 2.1 1.8 1.5 1.2 0.9 0.6 0.3 0
R0 R1 R2 R3 R4 1
2
3
4
5
Minggu ke-
Gambar 8. Rataan Konversi Ransum Ayam Broiler Selama Penelitian Keterangan : R0 (ransum kontrol tanpa asam fulvat), R1 (R0 + 0,25% FA), R2 (R0 + 0,50% FA), R3 (R0 + 0,75% FA), R4 (R0 + 1,0% FA)
Berdasarkan hasil analisa ragam menunjukkan bahwa penambahan asam fulvat dalam ransum ayam broiler tidak menunjukkan hasil yang berbeda terhadap konversi ransum (P>0,05). Gambar 7 dapat dilihat bahwa angka konversi ransum meningkat pada setiap minggunya. Faktor utama yang mempengaruhi konversi ransum adalah temperatur, kualitas ransum, kualitas air, pengafkiran, penyakit, manajemen pemeliharaan dan juga faktor pemberian ransum, penerangan dan faktor sosial (Anggorodi, 1979). Mortalitas Laju mortalitas atau mortality rate didapatkan berdasarkan perbandingan antara jumlah ayam yang mati selama pemeliharaan dengan total ayam yang dipelihara (Bell dan Weaver, 2002). Mortalitas selama lima minggu pemeliharan berjumlah 25 ekor (6,67%) dengan mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan tanpa penambahan asam fulvat (R0) yakni sebanyak 8 ekor (2,13%) dan mortalitas terendah pada perlakuan dengan penambahan asam fulvat 0,50% (R2) sebanyak 1 ekor (0,27%). Bell dan Weaver (1990) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas pada ayam adalah bobot badan, bangsa ternak, tipe ayam, iklim, kebersihan lingkungan dan penyakit. Puncak mortalitas ayam broiler selama pemeliharaan terjadi pada minggu ke-lima. Pada periode finisher (3-5 minggu) mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan periode starter (0-3 27
minggu). Demikian didukung oleh Bell dan Weaver (2002) bahwa angka mortalitas dipengaruhi oleh umur, dimana ayam broiler umur lima hingga delapan minggu memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dibandingkan umur dua hingga empat minggu. Mortalitas yang tinggi pada minggu ke-lima juga diduga diakibatkan karena kekebalan tubuh yang rendah. Pada periode ayam berumur lebih dari tiga minggu merupakan periode dimana peluang terjadinya kematian lebih tinggi karena pada periode tersebut antibodi bawaan telah berkurang (Amrullah, 2003). Kekebalan tubuh yang rendah pada minggu ke-lima diduga diakibatkan karena bobot badan yang tinggi pada minggu tersebut dan tingginya suhu lingkungan. Pada minggu ke-lima suhu kandang berkisar antara 24,9-30,5 ºC. Ayam broiler kurang toleran terhadap suhu lingkungan yang tinggi, terutama setelah ayam berumur lebih dari tiga minggu (Gunawan dan Sihombing, 2004). Pada ayam broiler yang berumur di atas tiga minggu, keadaan suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan berkisar antara 20-25 ºC dengan kelembaban berkisar antara 50%-70% (Borges et al., 2004). Sedangkan di Indonesia yang merupakan negara tropis mempunyai suhu dan kelembaban lingkungan harian yang tinggi, dimana suhu mencapai 27,7-34,6 ºC dan kelembaban antara 55,8%86,6% (Badan Pusat Statistik, 2003). Peningkatan suhu lingkungan juga dapat diakibatkan karena kepadatan kandang yang tinggi (Jahja, 2000) dan kecepatan laju pertumbuhan (Bonnet et al., 1997). Peningkatan kepadatan kandang didukung dengan tingginya bobot badan pada minggu ke-lima atau minggu akhir pemeliharaan. Peningkatan suhu kandang mendukung terjadinya cekaman panas (heat stres). Cekaman panas (heat stres) terjadi akibat ketidakseimbangan antara jumlah panas yang dilepaskan dari tubuh ke lingkungan dengan jumlah panas yang dihasilkan tubuh sehingga terjadi perubahan fisiologis dan metabolisme dalam upaya mempertahankan diri dengan pengembangan sistem homeostasis yang ada. Cekaman panas berdampak pada terganggunya pembentukan sel-sel darah putih serta terjadinya pelepasan glukokortikoid yang dapat mengganggu kekebalan (imunitas) tubuh (Sugito, 2007). Cekaman panas yang berdampak pada menurunnya kekebalan tubuh akibat terganggunya fungsi kerja hati dan ginjal 28
yang mengakibatkan semakin beratnya ginjal dan hati bekerja dalam detoksifikasi (Aengwanich dan Simaraks, 2004). Mortalitas yang terjadi dalam penelitian ini diduga disebabkan oleh Sudden Death Syndroem (SDS) dan gangguan pernafasan (Chronic Respiratory Disease / CRD). Sudden Death Syndrome ditunjukkan dengan gejala ayam mati dengan posisi punggung di bawah (Onowiwu et al., 1979) dan bobot badan mortalitas yang tinggi. Demikian juga yang terjadi pada ayam broiler yang mati dalam penelitian ini, dimana Sudden Death Syndrome (SDS) ditunjukkan dengan gejala ayam mati mendadak dengan posisi punggung di bawah. SDS terjadi akibat ayam mengalami gagal kerja jantung ketika terjadi cekaman panas akibat turunnya tekanan darah (Tony, 2001). Selain itu, kepadatan kandang yang tinggi juga meningkatkan resiko terinfeksi penyakit SDS (Bolton et al., 1972). Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya Sudden Death Syndrome adalah kontinuitas pencahayaan (Onowiwu et al., 1979), penyimpangan kandungan kalsium dan fosfor dalam pakan (Scheideler et al., 1995), dan frekuensi makan (Bowes dan Julian, 1988). Selain disebabkan oleh SDS, mortalitas ayam broiler dalam penelitian ini juga disebabkan karena Chronic Respiratory Disease (CRD). Mortalitas akibat Chronic Respiratory Disease (CRD) dicirikan dengan adanya kesulitan bernafas seperti bersin dan nafas yang bersuara atau mengorok (Bell dan Weaver, 2002). Dalam penelitian ini, CRD ditunjukkan dengan terdengarnya ayam yang bersuara atau mengorok. Chronic Respiratory Disease disebabkan karena infeksi dari bakteri Mycoplasma gallisepticum yang menyerang saluran pernafasan di bagian kantong udara. Menurut Amer et al. (2009), pemeliharaan ayam broiler dalam kandang dengan kepadatan tinggi dan sirkulasi udara yang kurang baik dapat menyebabkan ayam broiler terinfeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa cekaman panas berdampak pada terganggunya pembentukan sel-sel darah putih (leukosit). Leukosit merupakan sel darah yang memiliki inti sel dan memiliki kemampuan gerak yang independen (Frandson, 1992). Leukosit berperan dalam merespon kekebalan tubuh. Hasil penelitian Wulandari (2012) menunjukkan bahwa rataan jumlah leukosit ayam broiler yang mendapat perlakuan suplementasi asam fulvat 29
0,25-1% dalam ransum berkisar antara 17,2-21,20 x 103/mm3 sedangkan perlakuan tanpa suplementasi asam fulvat jumlah leukosit berada di bawah kisaran normal yakni 9,12 x 103/mm3. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa leukosit ayam broiler berkisar antara 16.000 – 40.000/mm3. Jumlah leukosit yang lebih tinggi pada perlakuan dengan penambahan asam fulvat menunjukkan bahwa perlakuan tersebut memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik. Selain dari jumlah leukosit, kekebalan tubuh ayam broiler dapat dilihat pada bobot bursa fabrisius. Bursa fabrisius merupakan salah satu organ limfoid primer yang fungsinya sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi bagi sel dari sistem pembentukan antibodi (Scanes et al., 2004). Wirapati (2008) melaporkan bahwa persentase bobot bursa fabrisius ayam broiler umur lima minggu yaitu sekitar 0,04% - 0,12% dari bobot hidup. Wulandari (2012) melaporkan bahwa bobot bursa fabrisius ayam broiler yang mendapat tambahan asam fulvat 0,25% – 1% dalam ransum relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pada perlakuan yang tidak mendapat tambahan asam fulvat. Unggas yang mempunyai bobot relatif bursa fabrisius lebih besar akan lebih tahan terhadap berbagai penyakit (Heckert et al., 2002). Dengan demikian terlihat bahwa ayam broiler yang mendapat perlakuan penambahan asam fulvat dalam ransum memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik terhadap serangan penyakit dan stres yang ditunjukkan dengan jumlah leukosit yang berada dalam kisaran normal, bobot bursa fabrisius yang lebih tinggi serta mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan ayam broiler yang mendapat perlakuan tanpa penambahan asam fulvat. Hal ini diduga karena asam fulvat yang memiliki berat dan bentuk molekul yang sangat ringan dan kecil mampu masuk ke dalam jaringan dan sel sehingga mampu membantu dalam proses pembentukan sel darah putih serta karena asam fulvat mampu menyediakan elektrolit penting yang dibutuhkan oleh tubuh (Senesi, 1990) sehingga asam fulvat mampu meningkatkan kekebalan tubuh.
30