28
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara merupakan satu dari 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomi, Kabupaten Banjarnegara terletak diantara 7º12’-7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’-109º45’50” Bujur Timur dengan luas wilayah sebesar 106 970.997 ha (3.29% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah). Secara geografis, Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan di sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas. Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 meter diatas permukaan laut (m dpl) sebesar 37.04 persen, kemudian antara 500-1000 m dpl sebesar 28.74 persen, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24.4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9.82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya, dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan. Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis dengan bulan basah umumnya lebih banyak daripada bulan kering. Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2007 sebanyak 910 513 orang, dengan kepadatan penduduk 851 orang/km 2. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Kabupaten Banjarnegara terdiri dari laki-laki sebanyak 454 986 orang dan perempuan sebanyak 455 527 orang. Jumlah KK di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2007 sebanyak 253 729 KK, dan 98 096 KK diantaranya merupakan keluarga prasejahtera. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, meliputi 266 desa dan 12 kelurahan. Penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan. Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran, Kecamatan Punggelan dan Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Pejawaran (1.64% dan 11.01%) lebih tinggi daripada di Kecamatan Punggelan (0.65% dan 6.06%).
29
Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran, Kecamatan Punggelan dan Kabupaten Banjarnegara Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Pejawaran 1.64 11.01 Punggelan 0.65 6.06 Banjarnegara 0.56 8.6 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008)
Gizi Baik (%) 85.96 91.27 89.68
Gizi Lebih (%) 1.39 2.02 1.16
Kecamatan Pejawaran Kecamatan Pejawaran berada pada ketinggian 1320 m dpl. Batas wilayah Kecamatan Pejawaran sebelah Utara adalah Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Luas wilayah Kecamatan Pejawaran sekitar 55.25 km 2. Jumlah penduduk Kecamatan Pejawaran pada tahun 2007 sebanyak 41 829 orang yang tersebar di 17 desa. Jumlah KK di Kecamatan Pejawaran sebesar 11 366 KK, dan 5 229 KK diantaranya merupakan keluarga prasejahtera. Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk (Orang) Pejawaran 5.03 4 252 Sidengok 3.67 2 883 Giritirta 2.48 2 672 Total 55.25 41 829 Sumber: Kecamatan Pejawaran dalam Angka Tahun 2007 (diolah)
Kepadatan (Orang/km2) 845.32 785.56 1077.41 757.08
Sektor pendidikan di Kecamatan Pejawaran masih rendah. Kecamatan Pejawaran belum memiliki bangunan SLTA/sederajat. Penduduk yang buta aksara di Kecamatan Pejawaran masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 1 806 orang dengan usia antara 15-44 tahun. Pendidikan akhir yang dicapai sebagian besar penduduk Kecamatan Pejawaran adalah tamat SD/sederajat (80.98%), sisanya tamat SLTP/sederajat (12.29%), SLTA/sederajat (5.29%) dan Perguruan Tinggi/Akademi (1.43%). Mata
pencaharian
utama
sebagian
besar
penduduk
Kecamatan
Pejawaran adalah petani (65.94%) dan buruh tani (29.5%). Mata pencaharian lainnya, antara lain pedagang, buruh bangunan, dan sebagainya. Demikian pula di Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta, mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah petani dan buruh tani.
30
Kecamatan Punggelan Kecamatan Punggelan terletak diantara 7º-12º Lintang Utara dan 7º-31º Lintang Selatan, dan diantara 2º-33º Bujur Barat dan 3º-81º Bujur Timur. Kecamatan
Punggelan
sebelah
Utara
berbatasan
dengan
Kecamatan
Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga. Luas wilayah Kecamatan Punggelan sekitar 102.84 km2. Jumlah penduduk Kecamatan Punggelan pada tahun 2007 sebanyak 70 877 orang dengan kepadatan penduduk sebesar 689 orang/km 2 yang tersebar di 17 desa. Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk (Orang) Punggelan 8.98 6 000 Karangsari 5.62 3 867 Kecepit 4.88 5 246 Total 102.84 70 877 Sumber: Kecamatan Punggelan dalam Angka Tahun 2007 (diolah)
Kepadatan (Orang/km2) 668.15 688.08 1075.00 689.20
Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Punggelan tergolong masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang didominasi oleh tamatan SD dan SLTP yang mencapai 55.85 persen, sedangkan tamatan SLTA dan tamatan Perguruan Tinggi/Akademi masing-masing hanya sebesar 7.7 persen dan 1.37 persen. Hal yang sama juga ditunjukkan pada ketiga desa lokasi penelitian, yaitu didominasi oleh tamatan SD. Angka tingkat pendidikan yang paling tinggi diantara ketiga desa lokasi penelitian adalah di Desa Punggelan. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43.8 persen, sektor jasa 5.5 persen, sektor perdagangan 3.96 persen, sektor transportasi 0.97 persen, sektor industri 2.19 persen, dan yang bekerja di sektor lainnya mencapai 41.08 persen. Persentase terbesar penduduk Desa
Punggelan dan
Desa Karangsari
bermatapencaharian sebagai petani, sedangkan persentase terbesar penduduk Desa Kecepit bermatapencaharian sebagai buruh tani. Tingkat kesejahteraan penduduk di Kecamatan Punggelan tergolong rendah. Hal ini terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang mencapai 11 426
31
KK dari 21 779 KK. Jumlah keluarga di Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit menurut tingkat kesejahteraannya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Jumlah keluarga di Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit menurut tingkat kesejahteraannya Tahapan Keluarga Sejahtera
Desa
Prasejahtera
KS 2, KS 3 dan KS 3+ 377 392 456
Sejahtera 1
Punggelan 1 057 518 Karangsari 657 294 Kecepit 759 422 Sumber: Kecamatan Punggelan dalam Angka Tahun 2007
Karakteristik Anak Balita Karakteristik anak balita dalam penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa persentase tertinggi (55.0%) jenis kelamin anak balita adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan data penduduk Kabupaten Banjarnegara dimana proporsi penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umur anak balita pada penelitian ini berkisar antara 24-60 bulan dengan rata-rata 41.1 bulan. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, umur anak pada kedua kecamatan berkisar antara 24-35 bulan. Jumlah anak yang berumur 24-35 bulan di Kecamatan Pejawaran adalah 38.0 persen dan di Kecamatan Punggelan adalah 35.3 persen. Rata-rata umur anak di Kecamatan Pejawaran dan Punggelan adalah 40.1 bulan dan 42.1 bulan (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan umur dan jenis kelamin Karakteristik Anak Balita Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (Bulan) 24-35 36-47 48-60 Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 71 79 150
47.3 52.7 100.0
57 38.0 56 37.3 37 24.7 150 100.0 40.1 ± 9.8
64 86 150
42.7 57.3 100.0
53 35.3 43 28.7 54 36.0 150 100.0 42.1 ± 10.6
Total n
%
135 165 300
45.0 55.0 100.0
110 36.7 99 33.0 91 30.3 300 100.0 41.1 ± 10.2
Karakteristik Keluarga Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga.
32
Besar keluarga Jumlah anggota keluarga menggambarkan besar kecilnya keluarga. Sebanyak 59.3 persen keluarga di daerah penelitian memiliki jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sisanya 5-7 orang (36.7%) dan ≥8 orang (4.0%), dengan ratarata 4.6 orang. Berdasarkan kriteria Hurlock (1998), maka sebagian besar keluarga di daerah penelitian termasuk kategori keluarga kecil. Rata-rata jumlah anggota keluarga di Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan adalah 4.6 orang dan 4.5 orang (Tabel 10). Pada masyarakat miskin, besar keluarga dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga. Keluarga akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit (Suhardjo 2003). Tabel 10 Sebaran jumlah anggota keluarga anak balita Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Keluarga kecil (≤4) Keluarga sedang (5-7) Keluarga besar (≥8) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 87 58.0 91 60.7 56 37.3 54 36.0 7 4.7 5 3.3 150 100.0 150 100.0 4.6 ± 1.4 4.5 ± 1.4
Total n % 178 59.3 110 36.7 12 4.0 300 100.0 4.6 ± 1.4
Umur Orangtua Seluruh ayah berumur diatas 20 tahun. Persentase tertinggi (63.7%) umur ayah berada pada selang 31-50 tahun, dengan rata-rata 34.7 tahun. Keadaan yang sama juga terlihat pada kedua kecamatan, yaitu sebanyak 61.2 persen ayah di Kecamatan Pejawaran dan sebanyak 66.2 persen ayah di Kecamatan Punggelan berumur 31-50 tahun. Rata-rata umur ayah di Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan adalah sekitar 35 tahun (Tabel 11). Berbeda dengan umur ayah, rata-rata umur ibu adalah 30.0 tahun, dengan persentase tertinggi (55.3%) umur ibu berada pada selang 20-30 tahun. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, persentase tertinggi umur ibu di Kecamatan Pejawaran (54.0%) dan di Kecamatan Punggelan (56.7%) berada pada selang 20-30 tahun (Tabel 11). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar umur orangtua berada pada kisaran usia yang masih produktif, yaitu antara 30-40 tahun. Pada usia produktif, orangtua akan mempunyai kecenderungan untuk lebih giat bekerja dan mempunyai perhatian yang cukup bagi keluarganya. Hal ini dapat mempengaruhi dukungan ayah terhadap ibu dalam menerapkan pola asuh makan dan kesehatan anak balita.
33
Tabel 11 Sebaran umur ayah dan ibu pada keluarga anak balita Kecamatan Umur (Tahun) Ayah Remaja (13-19) Dewasa muda (20-30) Dewasa madya (31-50) Dewasa lanjut (51-75) Total Rata-rata ± SD Ibu Remaja (13-19) Dewasa muda (20-30) Dewasa madya (31-50) Dewasa lanjut (51-75) Total Rata-rata ± SD
Total
Pejawaran n %
Punggelan n %
0 0.0 54 36.7 90 61.2 3 2.0 147 100.0 34.7 ± 7.2
0 0.0 47 31.8 98 66.2 3 2.0 148 100.0 34.8 ± 7.4
0 0.0 101 34.2 188 63.7 6 2.0 295 100.0 34.7 ± 7.3
3 2.0 81 54.0 66 44.0 0 0.0 150 100.0 29.9 ± 6.6
2 1.3 85 56.7 61 40.7 2 1.3 150 100.0 30.0 ± 7.0
5 1.7 166 55.3 127 42.3 2 0.7 300 100.0 30.0 ± 6.8
n
%
Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua anak balita tergolong masih rendah. Hal ini terlihat pada persentase tertinggi pendidikan ayah (60.3%) dan ibu (62.0%) adalah tamat SD/sederajat, dengan rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu adalah 6.4 tahun dan 6.8 tahun. Pada Tabel 12 masih dijumpai 4.7 persen ayah yang tidak sekolah dan hanya 2.7 persen ayah yang berpendidikan Perguruan Tinggi/Akademi. Rata-rata lama pendidikan ayah di Kecamatan Pejawaran (5.6 tahun) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (7.1 tahun). Tabel 12 Sebaran tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga anak balita Jenjang Pendidikan (Tahun) Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD
Kecamatan
Total
Pejawaran n %
Punggelan n %
9 6.1 23 15.6 102 69.4 8 5.4 3 2.0 2 1.4 147 100.0 5.6 ± 2.4
5 3.4 19 12.8 76 51.4 26 17.6 16 10.8 6 4.1 148 100.0 7.1 ± 3.2
14 4.7 42 14.2 178 60.3 34 11.5 19 6.4 8 2.7 295 100.0 6.4 ± 2.9
6 4.0 12 8.0 113 75.3 18 12.0 1 0.7 0 0.0 150 100.0 6.0 ± 1.8
1 0.7 16 10.7 73 48.7 38 25.3 16 10.7 6 4.0 150 100.0 7.6 ± 2.8
7 2.3 28 9.3 186 62.0 56 18.7 17 5.7 6 2.0 300 100.0 6.8 ± 2.5
n
%
34
Seperti halnya pendidikan ayah, masih terdapat 2.3 persen ibu yang tidak sekolah dan hanya 2.0 persen ibu yang berpendidikan PT/Akademi. Rata-rata lama pendidikan ibu di Kecamatan Pejawaran (6.0 tahun) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (7.6 tahun) (Tabel 12). Berdasarkan data tersebut, maka lama pendidikan ibu relatif lebih tinggi daripada pendidikan ayah. Menurut Sukarni (1994), pendidikan orangtua akan menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga, seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, pengetahuan, sikap dan tindakan dalam menangani masalah gizi akan lebih terbatas pada keluarga dengan tingkat pendidikan yang rendah daripada pendidikan yang tinggi. Pekerjaan Orangtua Tabel 13 menunjukkan bahwa seluruh ayah telah memiliki pekerjaan tetap. Persentase tertinggi pekerjaan ayah adalah petani/peternak/berkebun (52.9%), sedangkan sebagian besar (45.7%) ibu tidak bekerja atau berstatus sebagai ibu rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa persentase tertinggi tingkat pendidikan orangtua adalah tamat SD/sederajat dan secara tidak langsung akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang dimilikinya. Tabel 13 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu pada keluarga anak balita Kecamatan Jenis Pekerjaan
Pejawaran n %
Punggelan n %
Total
n % Ayah Petani/ternak/kebun 118 80.3 38 25.7 156 52.9 Buruh tani 16 10.9 36 24.3 52 17.6 Buruh bangunan/industri 2 1.4 13 8.8 15 5.1 Pedagang 5 3.2 19 12.8 24 8.1 Supir 2 1.4 7 4.7 9 3.1 Guru 3 2.0 5 3.4 8 2.7 Tukang ojek 0 0.0 7 4.7 7 2.4 Wirausaha 1 0.7 10 6.8 11 3.7 Lainnya* 0 0.0 13 8.8 13 4.4 Total 147 100.0 148 100.0 295 100.0 Ibu Tidak bekerja 34 22.7 103 68.7 137 45.7 Petani/peternak/kebun 89 59.3 9 6.0 98 32.7 Buruh tani 21 14.0 5 3.3 26 8.7 Buruh bangunan/industri 3 2.0 12 8.0 15 5.0 Pedagang 2 1.3 7 4.7 9 3.0 Guru 1 0.7 5 3.3 6 2.0 Wirausaha 0 0.0 4 2.7 4 1.3 Lainnya* 0 0.0 5 3.3 5 1.6 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Keterangan: *lainnya = penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, karyawan swasta, PNS, pembantu rumah tangga
35
Ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Waktu yang digunakan untuk mengasuh anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak (Satoto 1990). Status Sosial Ekonomi Keluarga Keadaan ekonomi keluarga akan menentukan pengeluaran yang dialokasikan bagi pengasuhan dan perawatan anak-anak. Kemiskinan di tingkat keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi makanan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan. Status sosial ekonomi keluarga ditinjau dari total pengeluaran per kapita dengan pendekatan pengeluaran pangan dan nonpangan per kapita dalam satu bulan. Total pengeluaran per kapita per bulan minimum sebesar Rp 29 363.0 dan maksimum sebesar Rp 1 876 462.0 dengan rata-rata sebesar Rp 231 851.5. Rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan sebesar Rp 114 756.3 dan nonpangan sebesar Rp 117 095.2. Berdasarkan total pengeluaran diketahui bahwa persentase pengeluaran pangan (49.5%) dan nonpangan (50.5%) hampir seimbang (Tabel 14). Tabel 14 menunjukkan rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan di Kecamatan Pejawaran (Rp 81 752.3) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (Rp 147 760.3). Seperti halnya pengeluaran pangan, rata-rata pengeluaran nonpangan per kapita per bulan di Kecamatan Pejawaran (Rp 103 262.9) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (Rp 130 927.7). Tabel 14 Sebaran alokasi pengeluaran pada keluarga anak balita Jenis Rata-Rata (Rp/kapita/bulan) Pengeluaran pangan Pengeluaran nonpangan Total pengeluaran
Kecamatan Pejawaran Punggelan 81 752.3 147 760.3 103 262.9 130 927.7 185 015.2 278 687.9
Rata-Rata
%
114 756.3 117 095.2 231 851.5
49.5 50.5 100.0
Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan Kabupaten Banjarnegara, yakni sebesar Rp 146 531, maka diperoleh persentase keluarga miskin sebesar 39.0 persen (Tabel 15). Persentase ini jauh lebih tinggi daripada kondisi pedesaan di Jawa Tengah pada umumnya dengan persentase penduduk miskin sebesar 21.96 persen (BPS 2008). Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pejawaran (59.3%) lebih tinggi daripada Kecamatan Punggelan (18.7%). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penduduk di Kecamatan Punggelan lebih sejahtera daripada Kecamatan Pejawaran.
36
Tabel 15 Sebaran keluarga anak balita berdasarkan kategori kemiskinan BPS Status Sosial Ekonomi Keluarga Miskin (≤146 531) Tidak miskin (>146 531) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 89 59.3 28 18.7 61 40.7 122 81.3 150 100.0 150 100.0 185 015.2 278 687.9 ± 170 956.9 ± 204 287.3
Total n % 117 39.0 183 61.0 150 100.0 231 851.5 ± 193 809.4
Akses Ibu terhadap Informasi dan Pelayanan Gizi dan Kesehatan Akses terhadap informasi gizi dan kesehatan dilihat dari keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan sarana pelayanan gizi dan kesehatan, terutama Posyandu, Puskesmas dan media massa. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan ditentukan oleh pendidikan ibu serta motivasi ibu untuk mendapatkan layanan gizi dan kesehatan. Pada umumnya terdapat hubungan antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan (Engle, Menon & Haddad 1997). Keragaan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 2. Akses ibu terhadap Posyandu di daerah penelitian sudah sangat baik. Jika dilihat berdasarkan informasi gizi dan kesehatan, lebih dari 75.0 persen ibu menyatakan pernah mendapat informasi gizi dan kesehatan. Dari sejumlah ibu yang terpapar oleh informasi, diketahui bahwa Posyandu/bidan merupakan sumber informasi utama. Namun, kegiatan Posyandu di daerah penelitian hanya menekankan pada aspek imunisasi dan penimbangan anak. Jarang dilakukan penyuluhan tentang gizi dan kesehatan keluarga, terutama bagi anak balita. Sebanyak 44.0 persen ibu menyatakan tidak pernah mendapat penyuluhan gizi dan kesehatan di Posyandu. Kader merupakan ujung tombak keberhasilan program Posyandu. Rendahnya akses ibu terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, di daerah penelitian menyebabkan ibu cenderung mengandalkan informasi gizi dan kesehatan yang diberikan oleh kader Posyandu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kader sering mengajak dan mengingatkan ibu datang ke Posyandu (83.3%). Fasilitas kesehatan lain, seperti Puskesmas dan Polindes juga dapat diakses dengan mudah. Hampir seluruh (98.3%) ibu pernah mengunjungi dan menggunakan jasa fasilitas kesehatan tersebut. Seperti halnya Posyandu, kegiatan Puskesmas dan Polindes dominan pada aspek pelayanan kesehatan,
37
terutama pengobatan. Sebanyak 93.3 persen ibu menyatakan biaya pengobatan di Puskesmas terjangkau, yakni berkisar antara Rp 5 000-Rp 10 000. Jarak kelahiran yang berdekatan akan berakibat buruk terhadap perkembangan psikologis anak yang apabila terus berlanjut akan mempengaruhi status gizi anak. Program Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan anak-anak dan keluarga. Hampir seluruh (95.0%) ibu menyatakan pernah menjadi akseptor KB. Program KB paling banyak diakses melalui bidan desa (47.7%), diikuti oleh Puskesmas (37.2%), Posyandu (9.1%), dokter (5.3%), rumah sakit (2.1%), dan mantri (2.1%). Tabel 16 Sebaran ibu berdasarkan akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada keluarga anak balita Akses Ibu Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 12 8.0 18 12.0 50 33.3 34 22.7 88 58.7 98 65.3 150 100.0 150 100.0 80.8 ± 13.8 81.6 ± 14.2
Total n % 30 10.0 84 28.0 186 62.0 150 100.0 81.2 ± 14.0
Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada umumnya termasuk dalam kategori baik (62.0%), sisanya termasuk dalam kategori sedang (28.0%) dan kurang (10.0%), dengan rata-rata skor sebesar 81.2 persen. Rata-rata skor akses ibu di Kecamatan Pejawaran (80.8%) sedikit lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (81.6%) (Tabel 16). Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu dalam penelitian ini menggambarkan tingkat pemahaman terhadap zat gizi, bahan makanan yang mengandung zat gizi, ciri anak balita dengan status gizi baik, serta makna garis dalam KMS-balita. Berdasarkan Lampiran 3, terlihat bahwa lebih dari 60.0 persen ibu mengetahui pengertian makanan yang bergizi dan ciri anak balita dengan status gizi baik. Namun, pemahaman ibu tentang bahan makanan yang bergizi dan makna garis dalam KMS masih kurang. Selain itu, kurang dari separuh (48.3%) ibu mengenal golongan yang rawan gizi. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak balita. Sebagai gate keeper, ibu sangat menentukan pangan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan hanya sekitar separuh ibu
38
yang mengetahui bahan makanan sumber protein hewani (41.0%), zat besi dan vitamin A (42.7%), vitamin C (57.3%), dan iodium (51.7%). Bahkan, ibu yang mengetahui bahan makanan sumber protein nabati hanya 17.3 persen. Kurangnya pengetahuan ibu tentang bahan makanan yang bergizi dapat mengakibatkan rendahnya konsumsi pangan dan mempengaruhi status gizi anak balita. Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 17 tampak bahwa sebagian besar (58.0%) ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori kurang, dengan rata-rata skor sebesar 44.1 persen. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Pejawaran (30.3%) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (57.9%). Tabel 17 Sebaran ibu berdasarkan tingkat pengetahuan gizi pada keluarga anak balita Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 120 80.0 54 36.0 25 16.7 70 46.7 5 3.3 26 17.3 150 100.0 150 100.0 30.3 ± 26.3 57.9 ± 29.2
Total n % 174 58.0 95 31.7 31 10.3 150 100.0 44.1 ± 31.0
Rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan dan akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan. Hasil uji Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan tingkat pendidikan ibu (p<0.01) dan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan (p<0.01) (Lampiran 7). Kondisi ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan akses ibu, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan gizi ibu tersebut. Menurut Sukarni (1994),
tingkat
pendidikan
seseorang
erat
kaitannya
dengan
tingkat
pengetahuan. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang yang akan berdampak terhadap status kesehatan dan status gizi keluarga. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap status gizi anak balita (Soekirman 2000). Tingkat ketahanan pangan rumah tangga pada penelitian ini diukur secara kuantitatif dengan menggunakan cut off point jumlah kalori (energi) rumah tangga menurut Zeitlin dan Brown (1990).
39
Tabel 18 Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat tidak tahan pangan (<70%) Tidak tahan pangan (70-90%) Tahan pangan (>90%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 75 50.0 37 24.7 40 26.7 55 36.7 35 23.3 58 38.7 150 100.0 150 100.0 75.4 ± 30.0 92.2 ± 33.1
Total n % 112 37.3 95 31.7 93 31.0 150 100.0 83.8 ± 32.6
Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (37.3%) rumah tangga termasuk dalam kategori sangat tidak tahan pangan. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, jumlah rumah tangga sangat tidak tahan pangan di Kecamatan Pejawaran (50.0%) dua kali lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan (24.7%). Hal ini berarti penduduk di Kecamatan Pejawaran memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam memenuhi kebutuhan energi keluarga daripada Kecamatan Punggelan. Faktor penyebab tingginya resiko ketidaktahanan pangan penduduk di Kecamatan Pejawaran, antara lain akses terhadap pangan yang terbatas karena kondisi alam pegunungan serta rendahnya daya beli terhadap pangan, khususnya pangan sumber lemak dan protein hewani. Pola Pengasuhan Anak Balita Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaikbaiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pola asuh yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola Asuh Makan Pola asuh makan dalam penelitian ini meliputi riwayat menyusui dan penyapihan serta praktek pemberian makan kepada anak balita. Keragaan pola asuh makan ibu pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 4. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebanyak 75.7 persen ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya tradisi untuk memberikan madu atau gula merah kepada bayi sesaat setelah bayi lahir. WHO (2001) menjelaskan bahwa ASI eksklusif berarti hanya memberikan ASI kepada bayi, tidak ditambah makanan atau minuman lain, bahkan air putih sekalipun. Selain itu, lebih dari separuh (59.0%) ibu sudah memberikan makanan saat bayi berumur dua bulan.
40
Jenis makanan yang diberikan, antara lain pisang, bubur saring dan bubur tepung. Menurut ibu, bayi akan menjadi lebih tenang dan kuat jika diberikan makanan sejak dini. Pada Tabel 19 terlihat bahwa 21.0 persen ibu tidak memberikan kolostrum kepada anaknya. Menurut ibu kolostrum kotor dan tidak sehat, padahal kolostrum dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi (Krisnatuti & Yenrina 2000). Hampir seluruh (98.3%) ibu memberikan ASI sesuai dengan permintaan anak dan lebih dari separuh (57.0%) ibu memberikan ASI sampai anak berusia dua tahun. Tabel 19
Sebaran anak balita berdasarkan keragaan riwayat menyusui dan penyapihan
Riwayat Menyusui dan Penyapihan Anak Balita Pemberian ASI eksklusif (ASI saja hingga 6 bulan) Pemberian kolostrum Bayi diberikan makanan/minuman saat lahir Anak diberikan makanan saat berumur 2 bulan ASI diberikan sesuai dengan permintaan anak ASI diberikan sampai anak berumur 2 tahun
Ya n 73 237 204 177 295 171
% 24.3 79.0 68.0 59.0 98.3 57.0
Tidak n % 227 75.7 63 21.0 96 32.0 123 41.0 5 1.7 129 43.0
Tabel 20 menyajikan praktek pemberian makan kepada anak balita. Sekitar 65.0 persen ibu tidak memberikan makanan yang beragam dan 86.0 persen tidak memberikan makanan yang lengkap kepada anak balita. Makanan lengkap terdiri dari nasi/sumber karbohidrat lain, lauk pauk, sayur dan buah. Konsumsi makanan yang tidak beragam bagi anak dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh. Sebagian besar (73.0%) ibu belum memperhatikan faktor gizi sebagai pertimbangan dalam memberikan makanan kepada anak balita. Kondisi ekonomi keluarga yang rendah menyebabkan ibu memberikan makanan kepada anak balita sesuai dengan kondisi keuangan yang ada. Hal ini berdampak pada kebiasaan lebih dari separuh (54.3%) ibu yang tidak menyediakan makanan kudapan untuk anak setiap harinya (Tabel 20). Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa sebagian besar (86.3%) ibu mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan untuk anak balita. Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), faktor kebersihan harus selalu dijaga pada setiap tahapan penyediaan makanan anak, mulai dari tahap persiapan, pengolahan, penyajian, termasuk kebersihan peralatan makan yang akan digunakan.
41
Tabel 20 Sebaran anak balita berdasarkan keragaan praktek pemberian makan Praktek Pemberian Makan Anak Balita Anak biasa mengkonsumsi makanan yang beragam Makanan sehari-hari untuk anak lengkap (4 sehat) Ibu memperkenalkan makanan kepada anak karena kebutuhan gizi Ibu biasa menyediakan makanan kudapan untuk anak Ibu biasa mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan untuk anak Ibu membiasakan anak makan sendiri Anak selalu menghabiskan makanannya Jadwal makan anak tetap
n 105 42
Ya % 35.0 14.0
Tidak n % 195 65.0 258 86.0
81
27.0
219
73.0
137
45.7
163
54.3
259
86.3
41
13.7
215 125 95
71.7 41.7 31.7
85 175 205
28.3 58.3 68.3
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar (71.7%) ibu telah membiasakan anak balita untuk makan sendiri. Namun, lebih dari separuh (58.3%)
ibu
menyatakan
anaknya
jarang
menghabiskan
makanannya.
Banyaknya anak yang tidak menghabiskan makanannya sebagian besar karena alasan tidak nafsu makan dan sudah merasa kenyang saat waktu makan. Jika masalah makan ini berkepanjangan, maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang (Khomsan 2004). Oleh karena itu, sekitar 70.0 persen ibu tidak menjadwalkan waktu makan yang tetap bagi anaknya. Tabel 21 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh makan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Kurang (<60%) 91 81.3 70 73.7 68 73.1 Sedang (60-80%) 17 15.2 19 20.0 18 19.4 Baik (>80%) 4 3.6 6 6.3 7 7.5 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD 44.9 ± 17.0 50.8 ± 18.9 51.9 ± 18.2 P-value 0.012* Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Pola Asuh Makan Anak Balita
Total n % 229 76.3 54 18.0 17 5.7 300 100.0 49.0 ± 18.2
Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 21 tampak bahwa sebagian besar (76.3%) pola asuh makan anak balita termasuk kategori kurang, sisanya termasuk kategori sedang (18.0%) dan baik (5.7%). Rata-rata skor pola asuh makan anak balita sebesar 49.0 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, rata-rata skor pola asuh makan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (44.9%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (50.8%) dan rumah tangga tahan pangan (51.9%), dan ketiganya termasuk dalam kategori kurang. Hasil uji ANOVA menunjukkan
42
perbedaan yang nyata antara pola asuh makan anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.05). Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan dalam penelitian ini meliputi pola asuh kesehatan yang sifatnya preventif, seperti pemberian imunisasi dan penanganan ketika anak sakit, serta praktek kebersihan (higiene) yang diterapkan ibu kepada anak. Keragaan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 22
Sebaran anak balita berdasarkan keragaan pola asuh kesehatan preventif
Pola Asuh Kesehatan Preventif Anak Balita Penimbangan anak balita di posyandu - Aktif - Tidak aktif Penimbangan 3 bulan terakhir - 3 kali - <3 kali Status kepemilikan KMS - Ada - tidak ada Kelengkapan imunisasi - Lengkap - Tidak lengkap Yang dilakukan jika anak balita mencret - diberi obat penurun panas/dikompres/ dibawa ke pelayanan kesehatan - tidak melakukan apa-apa Yang dilakukan jika anak balita panas tinggi - diberi obat penurun panas/dikompres/ dibawa ke pelayanan kesehatan - tidak melakukan apa-apa
n
%
242 58
80.7 19.3
178 122
59.3 40.7
221 79
73.7 26.3
294 6
98.0 2.0
297
99.0
3
1.0
298
99.3
2
0.7
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) anak balita masih dibawa ke posyandu dan lebih dari separuh (59.3%) anak balita selalu dibawa ke posyandu selama tiga bulan terakhir. Pada umumnya ibu pertama kali membawa anak balita ke posyandu pada saat anak berumur 1 bulan. Selain itu, sebanyak 73.7 persen ibu memiliki KMS dan hampir seluruh (82.8%) ibu menyimpan KMS di posyandu/kader. Alasan ibu antara lain karena takut hilang dan agar tidak tertinggal di rumah saat penimbangan. Imunisasi sangat penting sebagai penunjang kesehatan bayi dan anakanak. Anak yang telah berumur satu tahun seyogyanya telah mendapatkan imunisasi lengkap BCG, Polio tiga kali, DPT tiga kali, dan campak (Anonim 2009). Para ibu telah mengetahui manfaat imunisasi bagi anak balita. Hal ini terlihat dari tingginya persentase ibu yang telah memberikan imunisasi kepada
43
anak balitanya, yakni sebesar 98.0 persen, sedangkan sisanya (2.0%) belum memberikan imunisasi secara lengkap (Tabel 22). Anak balita merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Satoto (1990) menyatakan bahwa perawatan kesehatan anak balita juga perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri, kondisi fisik masih lemah dan sangat peka terhadap serangan penyakit. Namun, masih terdapat ibu yang membiarkan saja jika anak balita mengalami mencret (1.0%) dan panas tinggi (0.7%) (Tabel 22). Mandi merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap orang agar tubuh menjadi bersih. Anak balita pada umumnya belum mampu merawat kebersihan diri sendiri, sehingga masih diperlukan bimbingan dari orangtua. Berdasarkan Lampiran 5, diketahui bahwa sebanyak 97.3 persen anak balita selalu menggunakan sabun saat mandi. Sebanyak 98.0 persen anak balita keramas ≥3 kali per minggu, dan sisanya (2.0%) keramas 2 kali per minggu. Keramas atau mencuci rambut penting dilakukan agar rambut tetap bersih dan sehat. Keramas sebaiknya dilakukan minimal tiga hari sekali dengan menggunakan sampo. Kebiasaan menggosok gigi adalah kegiatan yang paling sulit diterapkan kepada anak balita. Sebanyak 45.3 persen anak balita menggosok gigi ≥2 kali per hari dan sebanyak 72.3 persen anak balita selalu menggunakan pasta gigi saat menggosok gigi. Lebih dari separuh (59.0%) anak balita memiliki dan selalu menggunakan sikat gigi milik sendiri saat menggosok gigi (Lampiran 5). Praktek higiene lain yang dilihat dalam penelitian ini, antara lain kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku, memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, dan mencuci kaki sebelum tidur. Lampiran 5 menunjukkan bahwa persentase anak balita yang telah dibiasakan selalu mencuci tangan sebelum makan mencapai 57.3 persen, sedangkan sisanya kadang-kadang (38.0%) dan tidak pernah mencuci tangan (2.3%). Namun, ibu belum membiasakan anak mencuci tangan dengan sabun. Hal ini terlihat dari persentase anak yang tidak pernah mencuci tangan dengan sabun mencapai 40.3 persen. Usaha preventif lain yang dilakukan untuk mencegah kuman masuk dalam tubuh anak balita adalah dengan membiasakan anak menggunting kuku minimal satu kali per minggu. Sebagian besar (74.3%) anak balita menggunting kuku ≥4 kali per bulan, sedangkan sisanya 2-3 kali per bulan (19.7%) dan 1 kali per bulan (6.0%).
44
Anak balita seringkali malas memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, padahal kuman dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui poripori kulit telapak kaki. Sebanyak 1.7 persen anak balita tidak pernah menggunakan alas kaki saat bermain di luar rumah dan sebagian besar (71.7%) anak balita tidak pernah dibiasakan untuk mencuci kaki sebelum tidur. Kebiasaan ini harus diperbaiki agar anak terhindar dari berbagai penyakit, seperti cacingan (Lampiran 5). Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Kurang (<60%) 26 23.2 22 23.2 14 15.1 Sedang (60-80%) 49 43.8 34 35.8 39 41.9 Baik (>80%) 37 33.0 39 41.1 40 43.0 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD 72.1 ± 14.7 73.0 ± 13.4 74.4 ± 13.3 P-value 0.498 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Pola Asuh Kesehatan Anak Balita
Total n % 62 20.7 122 40.7 116 38.7 300 100.0 73.1 ± 13.9
Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 23 tampak bahwa persentase tertinggi (40.7%) pola asuh kesehatan anak balita termasuk kategori sedang, sisanya termasuk kategori baik (38.7%) dan kurang (20.7%). Rata-rata skor pola asuh kesehatan anak balita sebesar 73.1 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, rata-rata skor pola asuh kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (72.1%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (73.0%) dan rumah tangga tahan pangan (74.4%), dan ketiganya termasuk dalam kategori sedang. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pola asuh kesehatan anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05). Konsumsi Pangan Anak Balita Konsumsi pangan anak balita dalam penelitian ini meliputi tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Konsumsi pangan diukur dengan metode recall 2x24 jam. Recall pangan mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak balita, baik makanan pokok maupun makanan selingan atau makanan jajanan. Selanjutnya, konsumsi pangan tersebut dikonversi kedalam energi dan protein dengan menggunakan DKBM dan dihitung nilai rata-rata tingkat kecukupan zat gizi anak.
45
Tabel 24 Sebaran anak balita berdasarkan konsumsi energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Konsumsi Pangan Anak Balita Konsumsi Energi Rata-rata konsumsi aktual (kkal) Rata-rata tingkat kecukupan (%) Konsumsi Protein Rata-rata konsumsi aktual (g) Rata-rata tingkat kecukupan (%)
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan 874 87.8
973 95.7
1098 98.2
22.4 89.8
25.8 102.2
28.5 101.4
Konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita disajikan pada Tabel 24. Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita masingmasing sebesar 975 kkal dan 25.4 g. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), konsumsi energi yang dianjurkan untuk anak balita berkisar antara 1000 kkal sampai 1550 kkal, sedangkan konsumsi protein yang dianjurkan untuk anak balita berkisar antara 25 g sampai 39 g. Dengan demikian, rata-rata konsumsi energi anak balita masih tergolong kurang. Hal ini diduga berkaitan dengan pola asuh makan yang kurang baik, sehingga anak balita lebih sering mengkonsumsi makanan jajanan yang rendah kandungan zat gizinya daripada makanan di rumah. Tabel 24 menunjukkan bahwa konsumsi energi dan protein anak balita semakin meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Rata-rata konsumsi energi anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan paling rendah (874 kkal) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (973 kkal) dan rumah tangga tahan pangan (1098 kkal) dengan rata-rata tingkat kecukupan energi secara berturut-turut sebesar 87.8 persen, 95.7 persen dan 98.2 persen. Rata-rata konsumsi protein anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan juga paling rendah (22.4 g) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (25.8 g) dan rumah tangga tahan pangan (28.5 g) dengan rata-rata tingkat kecukupan energi secara berturut-berturut sebesar 89.8 persen, 102.2 persen dan 101.4 persen. Untuk mengestimasi persentase anak balita yang mengalami masalah defisit konsumsi zat gizi (undernourishment), maka diasumsikan bahwa apabila seorang anak hanya memenuhi kurang dari 70.0 persen angka kecukupannya dikatakan tergolong kurang (defisit tingkat berat) (Martianto et al. 2008). Persentase anak yang mengalami kekurangan konsumsi energi dan protein disajikan pada Tabel 25.
46
Tabel 25 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n %
Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat (<70%) 41 36.6 Defisit sedang (70-90%) 26 23.2 Cukup (>90%) 45 40.2 Total 112 100.0 Rata-rata (kkal) ± SD 874 ± 357.7 P-value Tingkat Kecukupan Protein Defisit berat (<70%) 38 33.9 Defisit sedang (70-90%) 28 25.0 Cukup (>90%) 46 41.1 Total 112 100.0 Rata-rata (g) ± SD 22.4 ± 10.5 P-value Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Total n
%
30 31.6 27 29.0 19 20.0 21 22.6 46 48.4 45 48.4 95 100.0 93 100.0 973 ± 411.3 1098 ± 502.3 0.001**
98 32.7 66 22.0 136 45.3 300 100.0 975 ± 432.3
34 35.8 25 26.9 13 13.7 20 21.5 48 50.5 48 51.6 95 100.0 93 100.0 25.8 ± 13.2 28.5 ± 14.8 0.003**
97 32.3 61 20.3 142 47.3 300 100.0 25.4 ± 13.0
Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein, hampir separuh (45.3% dan 47.3%) anak balita berada pada kategori cukup. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, ditemukan lebih dari 30.0 persen anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan dan tidak tahan pangan yang mengalami defisit energi dan protein tingkat berat. Ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat berdampak buruk pada status gizi anak balita (Suryana 2004). Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara konsumsi energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) pada ketiga kelompok rumah tangga. Status Kesehatan Anak Balita Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi. Pada umumnya anak balita (81.3%) pernah mengalami sakit dalam tiga bulan terakhir. Jumlah anak yang pernah sakit pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (83.9%) lebih banyak daripada jumlah anak yang sakit pada rumah tangga tidak tahan pangan (81.1%) dan rumah tangga tahan pangan (78.5%). (Tabel 26). Tabel 26 Sebaran anak balita berdasarkan status sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Status Sakit Anak Balita Tidak Sakit Sakit Total
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 18 16.1 18 18.9 20 21.5 94 83.9 77 81.1 73 78.5 112 100.0 95 100.0 93 100.0
Total n 56 244 300
% 18.7 81.3 100.0
47
Jenis penyakit yang paling banyak diderita dalam tiga bulan terakhir adalah panas/demam (67.2%), pilek/influenza (39.8%), dan batuk pilek (38.9%). Keadaan tersebut juga terjadi pada ketiga kelompok rumah tangga. Bahkan, lebih dari separuh jumlah anak pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (74.5%), rumah tangga tidak tahan pangan (64.9%) dan rumah tangga tahan pangan (60.3%) pernah menderita panas/demam (Tabel 27). Tabel 27
Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Jenis Penyakit Panas/demam Pilek/influenza Batuk biasa (ISPA) Batuk, pilek Panas, pilek, batuk Panas, pilek Sakit mata Cacar air Diare (>3 kali) Mencret biasa Muntaber Sakit kulit (bisul/gatal) Sakit congek Sakit gigi Sakit perut Keterangan: * = 244 orang
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 70 74.5 50 64.9 44 60.3 43 45.7 32 41.6 22 30.1 8 8.5 10 13.0 6 8.2 37 39.4 27 35.1 31 42.5 1 1.1 2 2.6 1 1.4 0 0.0 0 0.0 2 2.7 3 3.2 1 1.3 0 0.0 1 1.1 1 1.3 0 0.0 2 2.1 1 1.3 0 0.0 4 4.3 3 3.9 5 6.8 2 2.1 0 0.0 1 1.4 6 6.4 12 15.6 10 13.7 1 1.1 0 0.0 0 0.0 5 5.3 2 2.6 2 2.7 0 0.0 0 0.0 3 4.1
Total n* 164 97 24 95 4 2 4 2 3 12 3 28 1 9 3
% 67.2 39.8 9.8 38.9 1.6 0.8 1.6 0.8 1.2 4.9 1.2 11.5 0.4 3.7 1.2
Menurut King dan Burgess (1995) dalam Masithah (2002), anak balita biasanya memperoleh berbagai infeksi, khususnya ketika usia 6 bulan hingga 3 tahun, diantaranya batuk dan pilek, malaria dan campak. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi pangan sementara kebutuhan zat gizi tubuh meningkat. Pelletier et al. (1995) menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kematian bayi disebabkan oleh kurang gizi yang berkaitan dengan penyakit infeksi (Yoon et al. 1997). Tabel 28 menunjukkan bahwa pada umumnya (49.2%) frekuensi sakit anak balita dalam tiga bulan terakhir adalah ≥3 kali, dengan rata-rata sakit sebanyak 2.7 kali. Anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (3.1 kali) paling sering mengalami sakit dibandingkan anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (2.6 kali) dan rumah tangga tahan pangan (2.3 kali). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi sakit anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05).
48
Tabel 28
Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 1 kali 27 28.7 24 31.2 27 37.0 2 kali 20 21.3 12 15.6 14 19.2 ≥3 kali 47 50.0 41 53.2 32 43.8 Total 94 100.0 77 100.0 73 100.0 Rata-rata ± SD 3.1 ± 3.1 2.6 ± 2.5 2.3 ± 2.4 P-value 0.094 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Frekuensi Sakit Anak Balita
Total n % 78 32.0 46 18.8 120 49.2 244 100.0 2.7 ± 2.7
Dari sejumlah anak yang sakit, diketahui bahwa persentase tertinggi (38.1%) anak mengalami sakit selama >14 hari dalam tiga bulan terakhir. Ratarata anak mengalami sakit selama 12.7 hari. Paling banyak anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (38.3%), rumah tangga tidak tahan pangan (44.2%) dan rumah tangga tahan pangan (31.5%) mengalami sakit selama >14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama sakit anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (15.1 hari) lebih lama daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (12.0 hari) dan rumah tangga tahan pangan (10.4 hari). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lama sakit anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05) (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 1-3 hari 13 13.8 12 15.6 14 19.2 4-7 hari 28 29.8 16 20.8 22 30.1 8-14 hari 17 18.1 15 19.5 14 19.2 >14 hari 36 38.3 34 44.2 23 31.5 Total 94 100.0 77 100.0 73 100.0 Rata-rata ± SD 15.1 ± 20.1 12.0 ± 133 10.4 ± 11.9 P-value 0.095 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Lama Sakit Anak Balita
Total n % 39 16.0 66 27.0 46 18.9 93 38.1 244 100.0 12.7 ± 15.9
Status Gizi Anak Balita Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi. Status gizi anak balita didasarkan pada pengukuran berat badan dan tinggi badan, sehingga status gizi dianalisis menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U),
49
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software WHO ANTRO 2005 dan standar nilai z-skor yang direkomendasikan oleh WHO. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Indeks indeks BB/U menggambarkan keadaan status gizi masa kini. Prevalensi anak balita gizi kurang atau underweight (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 32.0 persen (Tabel 30). Prevalensi underweight ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi underweight di Jawa Tengah hasil Riskesdas 2007, yaitu 16.0 persen (Depkes 2008). Menurut WHO (1995), masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi gizi kurang lebih dari 30.0 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita gizi buruk (z-skor <-3SD) di daerah penelitian adalah 10.3 persen, sedangkan prevalensi anak balita gizi lebih (z-skor >+2SD) di daerah penelitian adalah 0.3 persen. Prevalensi anak balita underweight pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan paling tinggi (47.3%) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (42.1%) dan rumah tangga tahan pangan (3.3%). Tabel 30 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Gizi buruk (<-3SD) 17 15.2 13 13.7 1 1.1 Gizi kurang (-3SD s/d -2SD) 36 32.1 27 28.4 2 2.2 Gizi baik (-2SD s/d +2SD) 59 52.7 54 56.8 90 96.8 Gizi lebih (>+2SD) 0 0.0 1 1.1 0 0.0 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -1.9 ± 1.0 -1.6 ± 1.2 -1.0 ± 0.8 P-value 0.000** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (BB/U) Anak Balita
Total n % 31 10.3 65 21.7 204 67.7 1 0.3 300 100.0 -1.5 ± 1.1
Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-1.9) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-1.6) dan rumah tangga tahan pangan (-1.0). Pada Gambar 3 terlihat median z-
50
skor indeks BB/U anak balita di daerah penelitian jauh bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks BB/U anak balita di daerah penelitian mendekati -1.5SD atau mendekati underweight. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/U pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 30).
Gambar 3 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/U Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif sejak lahir. Supariasa, Bakri dan Fajar (2002) mengemukakan bahwa tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Tabel 31 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (TB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Pendek (<-2SD) 75 67.0 54 56.8 34 36.6 Normal (≥-2SD) 37 33.0 41 43.2 59 63.4 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -2.4 ± 1.1 -2.1 ± 1.4 -1.6 ± 1.0 P-value 0.000** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (TB/U) Anak Balita
Total n % 163 54.3 137 45.7 300 100.0 -2.1 ± 1.2
Prevalensi anak balita bertubuh pendek atau stunting (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 54.3 persen. Prevalensi stunting ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi stunting di Jawa Tengah hasil Riskesdas 2007, yaitu 36.5 persen (Depkes 2008). Berdasarkan kriteria WHO (1995), masalah kesehatan
51
masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi stunting lebih dari 40.0 persen, maka masalah kesehatan di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita stunting pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (67.0%) paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (56.8%) dan rumah tangga tahan pangan (36.6%) (Tabel 31).
Gambar 4 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks TB/U Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-2.4) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-2.1) dan rumah tangga tahan pangan (-1.6). Pada Gambar 4 terlihat median zskor indeks TB/U anak balita di daerah penelitian jauh bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks TB/U anak balita di daerah penelitian mendekati -2SD atau stunting. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks TB/U pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 31). Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan biasanya digunakan bila data umur sulit diperoleh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Prevalensi anak balita kurus atau wasting (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 11.6 persen. Prevalensi wasting di daerah penelitian ini tidak berbeda dengan prevalensi wasting hasil Riskesdas 2007 di Jawa Tengah, yaitu 11.8 persen (Depkes 2008). Berdasarkan kriteria WHO (1995), masalah kesehatan masyarakat tergolong tinggi apabila prevalensi wasting berada
52
diantara 10-14.9 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong tinggi. Prevalensi anak balita sangat kurus (z-skor <-3SD) dan anak balita gemuk (z-skor >+2SD) di daerah penelitian cukup rendah, yaitu 2.3 persen dan 2.7 persen. Prevalensi anak balita wasting pada rumah tangga tidak tahan pangan paling tinggi (14.8%) dibandingkan rumah tangga sangat tidak tahan pangan (14.3%) dan rumah tangga tahan pangan (5.4%) (Tabel 32). Tabel 32 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/TB) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Sangat kurus (<-3SD) 4 3.6 3 3.2 0 0.0 Kurus (-3SD s/d -2SD) 12 10.7 11 11.6 5 5.4 Normal (-2SD s/d +2SD) 94 83.9 77 81.1 86 92.5 Gemuk (>+2SD) 2 1.8 4 4.2 2 2.2 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -0.7 ± 1.3 -0.6 ± 1.5 -0.1 ± 1.1 P-value 0.003** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (BB/TB) Anak Balita
Total n % 7 2.3 28 9.3 257 85.7 8 2.7 300 100.0 -0.5 ± 1.3
Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-0.7) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-0.6) dan rumah tangga tahan pangan (-0.1). Pada Gambar 5 terlihat median zskor indeks BB/TB anak balita di daerah penelitian agak bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks BB/TB anak balita di daerah penelitian mendekati -0.5SD atau wasting. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/TB pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 32).
Gambar 5 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/TB
53
Berdasarkan kerangka pikir UNICEF (1998), diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi anak balita (Soekirman 2000). Pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan, maka ketahanan pangan dan status gizi kelompok rawan akan terganggu. Salah satu akibat langsung dari penurunan daya beli masyarakat akan pangan adalah meningkatnya prevalensi kurang gizi, terutama pada anak balita (Sandjaja 2000). Hasil uji Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga (p<0.01) (Lampiran 7). Hal ini bermakna bahwa semakin tahan pangan suatu rumah tangga, status gizi anak balita juga semakin baik. Hubungan Antara Pola Asuh, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Menurut Hetherington dan Pork (1986) dalam Briawan dan Herawati (2005), cara pengasuhan anak ditentukan oleh faktor keluarga. Sebagai orang terdekat, ibu sangat berperan dalam pengasuhan anak. Pemberian makan (feeding) dan perawatan (caring) dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, baik secara positif maupun negatif (Fitriana, Hartoyo & Nasoetion 2007). Tabel 33 memperlihatkan bahwa rata-rata skor pola asuh makan dan kesehatan anak balita dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan pola asuh makan (p>0.05). Namun, ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U dan TB/U) dengan pola asuh kesehatan (p<0.05 dan p<0.01). Kondisi ini bermakna bahwa semakin baik skor pola asuh kesehatan maka semakin baik pula status gizi anak balita. Kesadaran ibu terhadap kesehatan anak balita cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor pola asuh kesehatan lebih tinggi (73.1%) daripada pola asuh makan (49.0%). Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan diduga mempengaruhi pola asuh kesehatan ibu. Ibu di daerah penelitian memiliki akses yang baik terhadap sarana pelayanan gizi dan kesehatan, terutama Posyandu. Namun, ibu memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan gizi anak balita. Sebagian besar (73.0%) ibu belum memperhatikan faktor gizi dalam memberikan makanan kepada anak. Kondisi
54
ekonomi keluarga dan tingkat pengetahuan gizi ibu yang rendah diduga menjadi penyebab rendahnya konsumsi pangan anak balita. Dengan demikian, pola asuh kesehatan ibu memiliki peran langsung terhadap status gizi anak balita. Tabel 33 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh dan status gizi Pola Asuh Anak Balita
BB/U Kurang Normal Kurang 23.7 52.7 Makan Sedang 7.3 10.7 Baik 1.0 4.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata skor 47.8 49.5 P-value 0.707 Kurang 8.7 12.0 Kesehatan Sedang 13.3 27.3 Baik 10.0 28.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata skor 71.0 74.1 P-value 0.036* Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 41.7 34.7 12.0 6.0 1.3 4.3 55.0 45.0 47.7 50.5 0.920 13.7 7.0 24.7 16.0 16.7 22.0 55.0 45.0 71.0 75.8 0.001**
BB/TB Kurang Normal 9.7 66.7 1.7 16.3 0.3 5.3 11.7 88.3 47.2 49.2 0.795 2.0 18.7 4.3 36.3 5.3 33.3 11.7 88.3 75.3 72.8 0.135
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Tingkat kecukupan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orang dewasa dalam hal pemilihan makanan. Pola asuh makan yang diberikan ibu dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak. Hasil uji Spearman menunjukkan hubungan yang nyata antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) (Lampiran 7). Tabel 34 memperlihatkan bahwa rata-rata konsumsi energi (kkal) dan protein (g) anak balita dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hal ini bermakna bahwa semakin baik konsumsi makanan anak balita maka semakin baik pula status gizinya. Namun, hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan tingkat kecukupan energi (p>0.05) dan protein (p>0.05). Status gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan infeksi. Walaupun konsumsi makanan baik, status gizi akan menjadi kurang bila ada infeksi. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi makanan sementara kebutuhan zat gizi dalam tubuh meningkat. Data konsumsi pangan bukan merupakan gambaran status gizi secara langsung. Status gizi merupakan dampak dari faktor-faktor yang bersifat kontinu, sedangkan data konsumsi pangan diambil pada satu periode saja dengan metode recall. Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2007) metode recall memiliki
55
kekurangan, yaitu hanya mengandalkan daya ingat seseorang, sehingga hasil yang diperoleh belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tabel 34 Sebaran anak balita berdasarkan kecukupan zat gizi dan status gizi Tingkat Kecukupan Zat Gizi BB/U Anak Balita Kurang Normal Defisit berat 8.3 24.3 Energi Defisit sedang 8.0 14.0 Cukup 15.7 29.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata (kkal) 871 1024 P-value 0.148 Defisit berat 8.0 24.3 Protein Defisit sedang 7.0 13.3 Cukup 17.0 30.3 Total 32.0 68.0 Rata-rata (g) 23.2 26.4 P-value 0.086 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 17.3 15.3 12.7 9.3 25.0 20.3 55.0 45.0 916 1047 0.800 17.3 15.0 11.3 9.0 26.3 21.0 55.0 45.0 23.9 27.2 0.775
BB/TB Kurang Normal 2.0 30.7 4.3 17.7 5.3 40.0 11.7 88.3 919 982 0.169 2.7 29.7 3.3 17.0 5.7 41.7 11.7 88.3 24.1 25.6 0.335
Hubungan Frekuensi Sakit dan Lama Sakit dengan Status Gizi Status kesehatan adalah kondisi kesehatan pada waktu tertentu. Status kesehatan anak balita dilihat berdasarkan ada tidaknya penyakit dalam tubuh anak tersebut. Menurut Soekirman (2000), anak balita merupakan golongan usia yang rentan terhadap resiko terserang penyakit. Anak-anak memiliki angka kesakitan yang lebih tinggi daripada penduduk dengan usia dewasa muda. Tabel 35 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan dan status gizi Status Kesehatan Anak Balita
BB/U Kurang Normal 1 kali 9.4 22.5 Frekuensi 2 kali 6.6 12.3 sakit ≥3 kali 17.2 32.0 Total 33.2 66.8 Rata-rata (kali) 3.2 2.5 P-value 0.589 1-3 hari 4.1 11.9 4-7 hari 9.4 17.6 Lama Sakit 8-14 hari 5.7 13.1 >14 hari 13.9 24.2 Total 33.2 66.8 Rata-rata (hari) 14.5 11.8 P-value 0.376 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 16.8 15.2 11.9 7.0 26.6 22.5 55.3 44.7 2.8 2.6 0.927 8.6 7.4 13.5 13.5 12.3 6.6 20.9 17.2 55.3 44.7 13.2 12.0 0.664
BB/TB Kurang Normal 3.7 28.3 1.2 17.6 6.6 42.6 11.5 88.5 2.9 2.7 0.427 0.8 15.2 4.1 23.0 0.8 18.0 5.7 32.4 11.5 88.5 15.3 12.3 0.278
Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara pola asuh kesehatan dengan status kesehatan anak balita (p>0.05) (Lampiran 7). Suhardjo (2005) mengemukakan bahwa antara status gizi dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Semakin sering anak mengalami sakit maka status gizinya
56
akan semakin memburuk. Begitu juga sebaliknya, semakin buruk status gizi anak maka penyakit infeksi yang diderita akan semakin lama sembuh. Tabel 35 memperlihatkan bahwa rata-rata frekuensi sakit dan lama sakit anak balita dengan status gizi normal lebih rendah daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hal ini bermakna bahwa semakin baik status gizi anak balita akan semakin jarang anak tersebut jatuh sakit. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan frekuensi sakit (p>0.05) dan lama sakit (p>0.05). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Balita Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dilakukan terhadap tiga indeks status gizi, yaitu variabel malnutrisi global (BB/U), malnutrisi kronik (TB/U) dan malnutisi akut (BB/TB). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi pada anak balita disajikan pada Tabel 36. Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi pada anak balita (z-skor <-2SD) memiliki kecenderungan yang berbeda pada masing-masing indeks status gizi. Tabel 36 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi Faktor yang Berpengaruh Usia ibu Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Status sosial ekonomi keluarga Pengetahuan gizi ibu Ketahanan pangan rumah tangga Pola asuh makan Pola asuh kesehatan Tingkat kecukupan energi balita Tingkat kecukupan protein balita Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Global (BB/U) OR 2.409* 3.176* 5.466* 0.021** 2.606**
Kronik (TB/U) OR 2.285** 0.322** 2.381* 0.460* -
Akut (BB/TB) OR 2.512* 3.227* 0.326* 0.123** 3.304* -
Ibu yang berumur di bawah 30 tahun berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/TB) 2.5 kali dibandingkan ibu yang berumur di atas 30 tahun. Faktor umur ibu berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak. Sebagaimana yang diungkapkan Hurlock (1998) bahwa usia muda cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya. Anak yang tidak terawat, baik fisik maupun makanannya, beresiko tinggi menderita gizi kurang (Satoto 1990). Menurut Supariasa, Bakri dan Fajar (2002), pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan
57
yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah (tamat SD/sederajat) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/U) 2.4 kali dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (tamat
SLTP/sederajat
ke
atas).
Engle,
Menon
dan
Haddad
(1997)
menambahkan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kesehatan dan gizi anak, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Ibu dengan tingkat pengetahuan gizi sedang (60-80%) berpeluang 5.5 kali memiliki anak balita malnutrisi (BB/U) dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan gizi baik (>80%). Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan (Sukarni 1994). Ayah yang bekerja sebagai petani dan buruh berpeluang 3.2 kali, 2.3 kali dan 3.2 kali memiliki anak balita malnutrisi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dibandingkan ayah yang berkerja sebagai karyawan, wirausaha atau pedagang. Hal ini terkait dengan jumlah pendapatan keluarga yang diperoleh. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang (Riyadi et al. 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan ayah yang bekerja sebagai petani, buruh tani dan bangunan/industri memiliki rata-rata total pengeluaran per kapita per hari (Rp 200 550) lebih rendah daripada keluarga dengan ayah yang bekerja sebagai karyawan, wirausaha atau pedagang (Rp 322 504). Soekirman (2000) menyatakan bahwa kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk. Semakin miskin suatu keluarga, semakin rendah kemampuan pembelian pangannya. Salah satu akibat langsung dari penurunan daya beli masyarakat akan pangan adalah meningkatnya prevalensi kurang gizi terutama pada anak balita (Sandjaja 2000). Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa keluarga miskin (pengeluaran ≤Rp 146 531/kap/bulan) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/TB) 3.3 kali lebih kecil dibandingkan keluarga tidak miskin (pengeluaran >Rp 146 531/kap/bulan) dan rumah tangga tidak tahan pangan (TKE 70-90%) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/U, TB/U dan BB/TB) 47.6 kali, 3.1 kali dan 8.1 kali lebih kecil dibandingkan rumah tangga yang tahan pangan (TKE >90%).
58
Menurut Khomsan (2003), anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sangat
rawan
terhadap
gizi
kurang.
Anak-anak
tersebut
cenderung
mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Namun, anak balita di daerah penelitian pada umumnya menjadi prioritas pertama dalam pembagian makanan dalam keluarga, sehingga kondisi ekonomi dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga diduga kurang berpengaruh terhadap perubahan konsumsi pangan dan status gizi anak balita. Faktor yang memiliki pengaruh terhadap status gizi (TB/U) anak balita adalah pola asuh. Hasil penelitian Sandjaja (2000) menemukan bahwa faktor pola asuh berperan nyata dalam status gizi anak. Sebagian anak dalam keluarga tertentu dengan sosial ekonomi rendah mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan kembang (positive deviance). Anak yang diasuh dengan baik memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Ibu dengan skor pola asuh makan kurang (<60%) berpeluang 2.4 kali memiliki anak balita malnutrisi (TB/U) dibandingkan ibu dengan skor pola asuh makan baik (>80%). Hasil penelitian Ogunba (2006) menemukan bahwa perilaku ibu selama memberikan makan berhubungan positif dengan status gizi anak balita. Pola asuh makan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan zat gizi anak balita (Lampiran 7). Hasil penelitian Yulia (2008) menemukan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein anak balita akan semakin meningkat, jika pola asuh makan yang diberikan ibu semakin baik. Tingkat kecukupan zat gizi mempengaruhi status gizi (BB/U dan BB/TB), yang berarti penurunan atau peningkatan konsumsi pangan akan berdampak langsung terhadap berat badan anak balita. Anak balita yang mengalami defisit energi tingkat berat (TKE <70%) berpeluang 3.3 kali mengalami malnutrisi (BB/TB) dibandingkan anak balita dengan kecukupan energi cukup (TKE >90%). Begitu pula dengan anak balita yang mengalami defisit protein tingkat sedang (TKP 7090%) berpeluang 2.6 kali mengalami malnutrisi (BB/U) dibandingkan anak balita dengan kecukupan protein cukup (TKP >90%). Selain faktor pangan, status kesehatan anak balita juga perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Menurut Satoto (1990), anak balita yang tidak terawat dengan baik akan mudah terserang penyakit dan akan mempengaruhi status gizinya. Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa ibu dengan skor pola asuh kesehatan sedang (60-80%) berpeluang memiliki anak
59
balita malnutrisi (TB/U) 2.1 kali lebih kecil dibandingkan ibu dengan skor pola asuh kesehatan baik (>80%). Pola asuh makan dan kesehatan diduga merupakan faktor positive deviance yang berperan nyata terhadap status gizi anak balita. Hal ini disebabkan oleh akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan yang cukup baik di daerah penelitian. Sebagaimana yang diungkapkan Sandjaja (2000) bahwa faktor pola asuh yang berperan terhadap status gizi anak balita antara lain paparan ibu terhadap media massa (surat kabar dan majalah).