4
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ikan paradise Sampel yang digunakan pada penelitian adalah ikan paradise. Ikan paradise merupakan ikan tropis yang memiliki ukuran tubuh mencapai lebih kurang 5 cm dengan pola tubuh bergaris-garis yang diisi oleh dua macam warna (Gambar 1) (Aquatic Community 2004). Sirip dorsal dan sirip lateral berwarna gelap dan memudar berjalan seiring ke arah sirip kaudal. Warna tubuh ikan betina lebih pudar daripada warna ikan jantan.
Gambar 1. Ikan paradise dengan pola tubuh bergaris-garis yang diisi oleh dua macam warna (www.telus.net).
Pengamatan gejala klinis Sampel ikan paradise yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari perusahaan budidaya ikan hias di daerah Ciluar, Bogor. Ikan ini ditempatkan dalam akuarium berukuran 0.8 x 0.4 x 0.4 m dengan kepadatan sekitar 150 ekor ikan paradise (ukuran 5 cm) dalam satu akuarium. Air untuk pemeliharaan ikan ini berasal dari air sumur setempat dengan suhu sekitar 27°C. Saat pengamatan gejala klinis, ditemukan ikan yang mengalami pembesaran abdomen (ascites). Ikan yang mengalami ascites berenang tidak selincah ikan lainnya, sehingga terlihat lebih lamban dan berenang lebih ke bawah. Pemeriksaan patologi anatomi Pemeriksaan patologi anatomi pada semua sampel ikan (3 ekor) menunjukkan adanya lesio berupa ulkus di beberapa tempat, diantaranya kulit daerah abdomen dan sekitar mulut (Gambar 3). Pada daerah ulkus terdapat hemoragi yang ditunjukkan dengan warna merah pada lesio. Insang pada sampel ikan ini berwarna merah dan tampak segar (Gambar 3). Sampel ikan nomor 2 yang mengalami pembesaran abdomen memiliki bentuk punggung yang berbeda, yaitu lordosis (Gambar 2).
5
Gambar 2 (A) Pembesaran abdomen (sampel ikan nomor 2) mengakibatkan bentuk punggung ikan cekung ke atas atau lordosis (a) dan (B) ikan yang tidak mengalami pembesaran abdomen (sampel ikan nomor 3) memiliki bentuk punggung normal (b)
Insisi pada tubuh ikan dilakukan untuk pengamatan organ dalam. Dalam pengamatan ini, terlihat lesio yang mencolok, yaitu banyak multifokus area berwarna putih menyerupai titik-titik yang tersebar merata pada organ hati dan jantung (Gambar 3A). Pemeriksaan patologi anatomi pada organ ginjal tidak dilakukan karena ukuran ikan yang kecil sehingga sulit diidentifikasi, oleh karena itu pemeriksaan jaringan secara mikroskopis sangat diperlukan. Ikan yang mengalami ascites (sampel ikan nomor 2) mengandung suatu masa cairan seperti transudat bening yang langsung tumpah ketika dilakukan pembukaan abdomen (Gambar 3B). Cairan tidak berwarna dan berkonsistensi encer sebanyak 0.5 ml. Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada ketiga sampel ikan dirangkum pada Tabel 1.
Gambar 3 Pada sampel ikan nomor 1 (Gambar A), ikan tidak mengalami ascites, terdapat ulkus pada daerah mulut (a) dan dorsal tubuh (b), insang berwarna merah dan tampak segar (c), serta terdapat multifokus area berwarna putih yang tersebar pada hati (d) dan jantung (e). Pada sampel ikan nomor 2 (Gambar B), ikan mengalami pembesaran abdomen dan menumpahkan suatu masa cairan ketika dilakukan pembukaan abdomen. Konsistensi cairan encer seperti transudat
6 Tabel 1 Rangkuman hasil pemeriksaan Patologi Anatomi (PA) No. gambar Organ Lesio PA pada Lampiran 2 Mulut Ulkus, hemoragi 3A Kulit Ulkus, hemoragi 3A Ruang abdomen Ascites 2A, 3B Jantung Multifokus warna putih 3A Hati Multifokus warna putih 3A Keterangan :
Ikan 1 + + + +
2 + + + +
3 + + +
(-) : tidak ditemukan lesio PA (+) : ditemukan lesio PA
Pemeriksaan histopatologi Pemeriksaan histopatologi pada semua sampel ikan menunjukkan hasil yang konsisten seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Pada kulit yang mengandung ulkus (Gambar 4) memiliki keadaan lapisan epidermis sudah terkikis. Selain itu, terdapat granuloma pada subkutis (Gambar 5) dan beberapa bagian otot di bawahnya sudah mengalami myositis dan nekrosis (Gambar 6). Lesio patologi pada organ insang (Gambar 7) menunjukkan adanya infiltrasi sel radang (brankhitis), kongesti, fusi (perlekatan), serta hiperplasia lamela sekunder.
Gambar 4 Erosi kulit pada ulkus (sampel ikan nomor 1). Ulkus ditandai peradangan kulit (a), infiltrasi sel radang (b) pada epidermis, dermis, dan otot, pewarnaan HE
7
Gambar 5 Granuloma (panah) yang ditemukan pada subkutis (sampel ikan nomor 2), pewarnaan HE
Gambar 6 Degenerasi dan nekrosis pada otot (sampel ikan nomor 2), terlihat keberadaan makrofag (panah) yang memfagosit jaringan otot nekrosa, pewarnaan HE
8
Gambar 7 Pada sampel ikan nomor 2, insang mengalami brankhitis yang ditandai oleh adanya infiltrasi sel limfosit (a), disertai dengan adanya hemoragi (b), fusi atau perlekatan (c), dan hiperplasia lamela sekunder (d), pewarnaan HE
Hal yang mencolok dan menjadi perhatian pada pemeriksaan jaringan secara mikroskopis sampel ikan ini adalah ditemukannya radang granuloma pada jaringan subkutis (Gambar 5), serosa usus (Gambar 8), mukosa usus (Gambar 9), hati (Gambar 10), dan ginjal (Gambar 11). Radang granuloma yang hebat ditunjukkan pada organ hati dan ginjal, lebih dari setengah organ mengalami radang granuloma. Pemeriksaan histopatologi pada organ jantung tidak dilakukan karena organ tidak terpotong saat dilakukan pembuatan sediaan histopatologi. Rangkuman hasil pemeriksaan histopatologi dari ke-3 sampel ikan disajikan pada Tabel 2.
Gambar 8 Granuloma (panah) ditemukan pada serosa saluran pencernaan ikan (sampel ikan nomor 3), pewarnaan HE
9
Gambar 9 Granuloma (panah) ditemukan pada mukosa saluran pencernaan ikan (sampel ikan nomor 3), pewarnaan HE
Gambar 10 Organ hati (sampel ikan nomor 3) yang mengalami lesio granuloma (panah). Lebih dari setengah organ hati pada sampel ikan ini mengalami lesio granuloma (panah), pewarnaan HE
10
Gambar 11 Organ ginjal (sampel ikan nomor 3) yang mengalami lesio granuloma (panah). Lebih dari setengah bagian ginjal mengalami lesi granuloma, pewarnaan HE
Tabel 2 Rangkuman hasil pemeriksaan sediaan histopatologi Organ Lesio Patologi
Kulit Otot Insang
Usus Hati Ginjal
Dermatitis ulseratif ; Granuloma Myositis ; Nekrosa otot Kongesti ; Brankhitis ; Hiperplasia lamela insang ; Granuloma Granuloma pada serosa ; Granuloma pada mukosa Granuloma pada parenkim Granuloma pada parenkim
Ikan
1
2
3
+ + + + + + + + ++
+ + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +++ ++
Keterangan : (-) : tidak terdapat lesio patologi yang disebutkan (+) : terdapat lesio patologi yang disebutkan (+ +) : terdapat lesio patologi yang disebutkan dengan jumlah lesio > 10 fokus (+ + +) : terdapat lesio patologi yang disebutkan dengan jumlah lesio > 15 fokus
Granuloma yang terdapat pada sampel ikan ini tersusun atas sel radang kronis; sel epiteloid, makrofag, dan limfosit (Gambar 12). Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali, ditemukan bakteri
11 berbentuk batang di dalam granuloma (Gambar 13) dengan ukuran panjang 2-10 µm dan diameter 0.5-0.7 µm. Untuk mengkarakterisasi sifat pewarnaan bakteri, maka dilakukan pewarnaan Gram dan ZN. Pewarnaan Gram berguna untuk mengetahui sifat bakteri, yaitu Gram negatif atau positif. Pada pewarnaan Gram, bakteri pada sampel ikan terwarnai menjadi biru (Gambar 13). Hal ini menandakan bahwa bakteri pada sampel ikan bersifat Gram positif. Bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan lesio granuloma diantaranya Rhodococcus sp., Renibacterium salmoninarum, Nocardia sp., dan Mycobacterium sp. (Austin dan Austin 2007).
Gambar 12 Granuloma (sampel ikan nomor 1) tersusun atas sel epiteloid (a), makrofag (b), limfosit (c), dan masa sel nekrotik (d), pewarnaan HE
Gambar 13 Lesio granuloma pada ginjal (sampel ikan nomor 1) dengan pewarnaan HE (A) dan Gram (B). Bakteri batang terwarnai ungu pada pewarnaan HE (panah gambar A) dan terwarnai biru pada pewarnaan Gram (panah gambar B)
Pewarnaan ZN dilakukan untuk mengetahui genus bakteri tersebut. Pada pewarnaan ZN, bakteri pada sampel ikan dapat mempertahankan warna merah ketika dibilas dengan asam, sehingga dapat dikelompokkan dalam bakteri tahan
12 asam. Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa sampel ikan memiliki ciri khas agen yang mirip dengan Mycobacterium sp, yaitu berbentuk batang, memiliki sifat Gram positif, tahan asam, serta memiliki panjang 1-10 µm dan diameter 0.2-0.6 µm (Tappin 2011). Pewarnaan ZN dilakukan pada beberapa organ, diantaranya pada sediaan insang (Gambar 14), dermis (Gambar 15), usus (Gambar 16), ginjal (Gambar 17), dan hati (Gambar 18) untuk melihat perjalanan bakteri. Pewarnaan ZN pada organ-organ tersebut menunjukkan adanya koloni bakteri dengan bentuk dan sifat ketahanan asam yang sama.
Gambar 14 Pembuluh darah insang (sampel ikan nomer 1) berisi bakteri tahan asam (panah), pewarnaan ZN
Gambar 15 Granuloma pada sediaan dermis (sampel ikan nomer 3) berisi bakteri berbentuk batang yang terwarnai merah (panah), pewarnaan ZN
13
Gambar 16 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi pada mukosa dan submukosa saluran pencernaan (sampel ikan nomor 3), perwarnaan ZN
Gambar 17 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi dalam granuloma pada ginjal (sampel ikan nomor 1), perwarnaan ZN
Gambar 18 Koloni bakteri tahan asam (panah) terdeteksi dalam granuloma pada hati (sampel ikan nomor 3), perwarnaan ZN
14 Granuloma pada sampel ikan ini memiliki bentuk dan diameter yang berbeda-beda. Diameter granuloma terkecil berukuran 44 µm hingga yang terbesar berukuran 1.599 µm. Menurut Scanga dan Flynn (2010), infeksi Mycobacterium sp. menghasilkan 3 macam tipe granuloma berdasarkan respon kekebalan inang, diantaranya adalah tipe kaseosa, tipe non nekrotik, dan fibrotik. Granuloma tipe kaseosa dan fibrotik dibatasi oleh jaringan ikat. Penyebaran jaringan ikat dapat dilihat dengan melakukan pewarnaan Masson Trichrome (MT). Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 2 tipe dari 3 tipe granuloma menurut Scanga dan Flynn (2010) pada sampel ikan ini, yaitu tipe kaseosa (sampel ikan nomor 2 dan 3) (Gambar 19) dan tipe non-nekrotik (sampel ikan nomor 1) (Gambar 20).
Gambar 19 (A) Pola susunan granuloma tipe kaseosa (Scanga dan Flynn 2010). (B) Granuloma tersusun atas jaringan ikat (a), makrofag (b), serta lesio nekrosis dan sel debri (c), pewarnaan MT
B Gambar 20 (A) Pola susunan granuloma tipe non-nekrotik (Scanga dan Flynn 2010). (B) Granuloma tidak dibatasi oleh jaringan ikat, tersusun atas limfosit (a), koloni bakteri (b) dan makrofag (c), pewarnaan HE
15 Pembahasan Satu dari tiga ekor sampel ikan mengalami ascites. Di dalam rongga abdomen, terdapat genangan cairan bening seperti transudat. Ascites seperti ini dapat terjadi akibat kerusakan ginjal atau hati. Kerusakan ginjal berpengaruh terhadap osmoregulasi. Osmoregulasi adalah proses fisiologi pada ikan dalam mengatur keseimbangan air dan garam dalam tubuh (Burgess 2011). Organ ginjal harus mempertahankan keseimbangan garam yang ditangkap oleh sel kloride pada insang dan melalui makanan, serta mengeluarkan kelebihan air dan garam melalui urin (Hammerschlag 1999). Kerusakan ginjal menyebabkan osmoregulasi pada tubuh ikan terganggu, sehingga terjadi retensi air yang seharusnya diekskresikan. Ascites dapat juga disebabkan oleh hipertensi portal pada kasus sirosis hati. Terjadi hambatan aliran darah di sinusoid-sinusoid hati akibat kondisi sirosis atau terbentuknya fibrosis di tepi granuloma sehingga darah yang masuk ke hati melalui vena porta mengalami retensi atau hambatan. Hambatan ini menyebabkan tingginya tekanan darah menuju hati sehingga terjadi kongesti pada vena porta (Cardenas dan Arroyo 2003). Kongesti ini mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah sehingga protein keluar dari pembuluh darah dan terjadilah penimbunan cairan pada rongga abdomen. Selain itu, hati merupakan organ yang mensintesis protein. Kerusakan pada sebagian besar parenkim hati, mengakibatkan produksi protein menjadi rendah sehingga ikan mengalami hipoproteinemia. Hipoproteinemia dapat menurunkan daya ikat protein plasma sehingga plasma darah merembes keluar dari pembuluh darah dan terjadi penimbunan cairan di rongga abdomen (Isselbacher et al. 1999). Kasus ascites pada ikan yang parah dapat menyebabkan sisik ikan menjadi tegang sehingga mirip seperti biji pinus (Meyer 2011). Pada sampel ikan ini tidak terjadi hal demikian, diduga karena ascites pada ikan belum parah (abdomen tidak terlalu besar). Ascites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga abdomen. Perut ikan berada pada bagian ventral tubuhnya, sehingga pada kasus ascites, pengaruh gaya gravitasi sangat berarti. Akibat yang ditimbulkan dari ascites adalah kelainan bentuk tulang punggung yang dipengaruhi gaya gravitasi terhadap beratnya penimbunan cairan di peritoneum. Tulang punggung juga ikut tertarik ke bawah, sehingga mengalami lordosis (Cameron et al. 2006). Granuloma adalah reaksi imunologi kompleks pada jaringan, terdiri atas infiltrasi makrofag dan proliferasi sel epiteloid yang kemudian bergabung dengan sel-sel kekebalan lainnya seperti limfosit B dan T, dan sel NK. Granuloma terbentuk akibat rangsangan terus menerus oleh patogen atau benda asing (Davis dan Ramakrishnan 2008). Pembentukan granuloma merupakan mekanisme protektif yang melibatkan interaksi antara bakteri, sel-sel imun spesifik, makrofag, CD4+, CD8+, sel T, serta mediator imun seperti kemokin dan sitokin (Juarez et al. 2004). Pemahaman tentang pembentukan granuloma sangat penting untuk memahami interaksi antara inang dan patogen selama infeksi. Pengamatan lesio granuloma menunjukkan bahwa granuloma pada sampel ikan ini (Gambar 12) tersusun atas makrofag, sel epiteloid, limfosit, serta terdapat koloni bakteri berbentuk batang. Sel radang limfosit, makrofag, dan beberapa bakteri juga ditemukan di luar (mengitari) granuloma.
16 Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop pada fokus granuloma menggunakan perbesaran 1000 kali, ditemukan adanya kumpulan bakteri berbentuk batang dengan panjang 2-10 µm dan diameter 0.5-0.7 µm. Lesio granuloma yang bersifat sistemik seperti pada sampel ikan ini biasanya disebabkan oleh bakteri yang terdistribusi secara sistemik melalui peredaran darah, diantaranya adalah Mycobacterium sp., Nocardia sp., Francisella sp., Rhodococcus sp., Renibacterium salmoninarum, Citrobacter freundii, Photobacterium damselae, Vibrio sp., Seriola liquefaciens, Edwardsiella tarda, dan Flavobacterium sp. (Hawke et al. 2011). Untuk mengidentifikasi jenis bakteri yang menginfeksi, maka dilakukan pewarnaan Gram. Hasil dari pewarnaan Gram menunjukkan bahwa bakteri bersifat Gram positif. Bakteri batang dengan sifat Gram positif yang menimbulkan radang granuloma sistemik diantaranya ialah Rhodococcus sp., Renibacterium salmoninarum, Nocardia sp., dan Mycobacterium sp. (Austin dan Austin 2007). Pewarnaan ZN dilakukan untuk mengetahui genus bakteri tersebut. Bakteri pada sampel ikan dapat mempertahankan warna merah ketika dibilas dengan asam, sehingga dapat dikelompokkan dalam bakteri tahan asam. Bakteri Gram positif dan tahan asam yang dapat menimbulkan radang granuloma sistemik diantaranya ialah Nocardia sp. dan Mycobacterium sp. (Scanga dan Flynn 2010). Keduanya memiliki banyak persamaan, namun Nocardia sp. bersifat tahan terhadap asam alkohol 1% sedangkan Mycobacterium sp. bersifat tahan terhadap asam alkohol 3% (Davis dan Ramakrishnan 2008). Hasil pewarnaan ZN menggunakan asam alkohol 3% menunjukkan bahwa bakteri yang menginfeksi sampel ikan merupakan bakteri yang tahan terhadap asam alkohol 3%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sampel ikan memiliki ciri khas agen yang mirip dengan Mycobacterium sp., yaitu berbentuk batang, memiliki sifat Gram positif, tahan asam, serta memiliki panjang 1-10 µm dan diameter 0,2-0,6 µm (Tappin 2011). Gejala klinis serta lesio yang dihasilkan juga mirip dengan infeksi Mycobacterium sp., yang telah dilaporkan antara lain terdapat pembesaran abdomen, kelainan bentuk tulang punggung, kematian yang banyak, serta terdapat radang granuloma pada organ internal (Abowei dan Briyai 2011). Berdasarkan pengamatan gejala klinis, lesio patologi anatomi, lesio histopatologi, dan berbagai pewarnaan bakteri, dapat diteguhkan bahwa sampel ikan mengalami infeksi Mycobacterium sp. Mycobacterium sp. merupakan agen yang paling umum diketahui sebagai penyebab radang granuloma pada ikan. Bakteri ini dapat menyerang spesies ikan yang hidup di air tawar maupun air laut. Bakteri ini masuk ke dalam genus Mycobacterium, ordo Actinomycetales, sub ordo Corynebacterineae, dan famili Mycobacteriaceae (Decostere et al. 2003). Infeksi Mycobacterium sp. menimbulkan berbagai variasi lesi tergantung pada keseimbangan faktor pertahanan tubuh dalam mengendalikan infeksi serta membatasi terbentuknya lesio patologi. Sampel ikan ini memiliki 2 tipe dari 3 tipe granuloma menurut Scanga dan Flynn (2010), yaitu tipe kaseosa dan tipe non-nekrotik. Tipe kaseosa terdiri atas sel-sel debri yang dikelilingi oleh sel-sel radang (limfosit dan makrofag) dan dibatasi oleh jaringan ikat. Tipe granuloma ini ditemukan pada sampel ikan nomor 2 dan 3 (Gambar 19). Tipe non nekrotik terdiri atas sel radang (limfosit dan makrofag) namun tidak dibatasi oleh jaringan ikat dan tidak terbentuk sel debri. Tipe granuloma ini ditemukan pada sampel
17 ikan nomor 1 (Gambar 20). Tipe fibrotik (Gambar 21) terdiri atas sel radang (limfosit dan makrofag) dan dibatasi oleh jaringan ikat namun tidak membentuk sel debri. Tipe granuloma ini tidak ditemukan pada sampel ikan.
Gambar 21 Pola susunan granuloma tipe fibrosis (Scanga dan Flynn 2010) yang tidak ditemukan pada granuloma ikan sampel Infeksi Mycobacterium sp. ditularkan terutama melalui konsumsi pakan yang terkontaminasi, melalui kanibalisme dari ikan yang terinfeksi, atau air yang terkontaminasi. Potensi sumber infektif dapat berasal dari tanah atau air, karena di dalam tanah dan air, bakteri ini dapat bertahan hidup selama 2 tahun atau lebih. Rute penularan lain dapat melalui luka (Descostere et al. 2003). Sampel ikan pada penelitian ini memiliki ulserasi pada mulut dan daerah tubuh lainnya. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya koloni bakteri pada sediaan dermis (Gambar 15), sehingga dikatakan bahwa luka dapat menjadi salah satu jalur masuk Mycobacterium sp. pada sampel ikan. Jalur masuk lain yang mungkin terjadi pada infeksi Mycobacterium sp. pada sampel ikan ini adalah melalui ingesti karena ikan memiliki kebiasaan memakan ikan mati yang mungkin terinfeksi Mycobacterium sp. Jika kemungkinan hal tersebut terjadi, maka Mycobacterium sp. dapat masuk sampai ke dalam lambung karena bakteri ini merupakan bakteri yang tahan terhadap asam. Insang merupakan salah satu organ yang menghubungkan lingkungan luar dengan organ dalam ikan, oleh karena itu insang sering menunjukkan reaksi peradangan pada benda asing seperti bakteri atau polutan yang masuk. Pemeriksaan patologi anatomi pada insang sampel ikan, tidak menunjukkan adanya perubahan patologi, namun pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya lesio brankhitis, kongesti, fusi, serta hiperplasia lamela sekunder (Gambar 7) disertai temuan bakteri pada pembuluh darah (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa penularan melalui insang dapat terjadi apabila jumlah bakteri di lingkungan cukup tinggi atau ikan memiliki kekebalan tubuh yang buruk (Floyd dan Yanong 2002). Mycobacterium sp. menjadi perhatian umum pada budidaya ikan karena kerugian yang diakibatkan oleh morbiditasnya cukup tinggi. Mycobacterium sp. yang patogen pada ikan saat ini diantaranya M. marinum, M. fortuitum, dan M. chelonae (Gauthier dan Rhodes 2008). M. marinum merupakan spesies yang paling banyak diisolasi dari ikan, M. fortuirum jarang dilaporkan namun dapat terjadi di daerah tropis dan subtropis, dan M. chelonae sering ditemukan di spesies ikan salmonid yang berada pada air dingin (Descostere, et al. 2003).
18 Mikobakteriosis pernah dilaporkan sebagai penyakit yang berpotensi merugikan pada budidaya ikan gurame di Indonesia yang mengakibatkan kematian secara persisten hingga mencapai 40% dengan pola kronik (Purwaningsih dan Taukhid 2010). Akibat infeksi bakteri ini, reproduksi ikan terganggu, produksi benih menurun, dan kondisi benih yang dihasilkan lemah. Hal ini menjadi masalah yang berarti pada pengusaha budidaya ikan. Mycobacterium sp. banyak ditemukan dalam berbagai sumber air, sehingga ikan sering terpapar dari lingkungan mereka. Stress, gizi yang kurang, dan lesio eksternal dapat melemahkan sistem kekebalan ikan sehingga membuatnya lebih rentan terinfeksi. Pencegahan adalah cara terbaik untuk melindungi infeksi ini, diantaranya dengan membuat ikan-ikan tetap sehat dengan kualitas gizi yang baik, memantau parameter kualitas air, dan mengganti air secara teratur. Ikan yang sakit atau mati dipisahkan dari tangki untuk dikarantina atau dimusnahkan. Selain itu, peralatan yang digunakan untuk membersihkan tangki harus didesinfeksi sebelum dan sesudah digunakan (Center for Food Security and Public Health 2006). Pada umumnya, sejumlah antibiotik seperti Penicillin dan Bacitracin dapat digunakan untuk mengendalikan bakteri patogen Gram positif karena dapat merusak dinding sel bakteri, namun Mycobacterium sp. dilaporkan merupakan bakteri yang resisten pada beberapa bakterisida pada tingkat dosis standar (Irianto 2005). Sifat resisten tersebut menyebabkan belum ada pengobatan pada kasus infeksi ini selain depopulasi pada kelompok ikan yang terinfeksi. Sangat dianjurkan untuk melakukan desinfeksi kolam dan peralatan budidaya setelah melakukan depopulasi. Sebanyak 10.000 ppm senyawa amonium atau 60-85% alkohol diketahui dapat membunuh Mycobacterium sp. (Floyd dan Yanong 2002). Berdasarkan penelitian Somsiri et al. (2005), jumlah organisme Mycobacterium sp. lebih tinggi pada daerah rawa karena berkorelasi dengan kondisi lingkungannya, yaitu kadar oksigen yang rendah, kandungan organik yang tinggi, pH rendah, serta air yang hangat. Kondisi ini sering ditemui pada sistem akuakultur. Kondisi lain yang ditemukan pada sistem akuakultur air tawar ialah adanya kaitan salinitas yang rendah dengan peningkatan prevalensi Mycobacterium non TB. Mycobacterium sp. yang menginfeksi ikan juga termasuk patogen zoonosis yang dapat menginfeksi manusia, yang dapat menyebabkan lesi lokal seperti ulserasi kronis, terutama individu yang mengalami imunodefisiensi (Scanga dan Flynn 2011). Manusia dapat terinfeksi oleh Mycobacterium sp. melalui kontak langsung dengan sumber air yang terkontaminasi. Infeksi paling sering terjadi pada daerah luka pada kulit. Tanpa pengobatan, individu yang imunokompeten dapat benar-benar sembuh dalam 1-2 tahun, sedangkan pada individu yang mengalami imunodefisiensi dapat terjadi infeksi sistemik dengan keterlibatan organ visera (Panek dan Bobo 2006). Infeksi terutama terjadi karena kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi atau air yang terkontaminasi, oleh karena itu hindari kontak dengan sumber, misalnya dengan cara menggunakan sarung tangan saat hendak berkontak dengan ikan, air, atau peralatan yang berhubungan langsung dengan ikan dan air untuk pemeliharaannya. Cuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas yang berhubungan dengan ikan juga sangat penting dilakukan (Maryland Departement of Health and Mental Hygiene 2002).