HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat perbedaan nilai parasitemia ulas darah embrio ayam pada beragam umur TET yang ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata persentase parasitemia pada telur embrio tertunas yang diinokulasi dengan L. caulleryi. Umur TET
Rute inokulasi Membran Korio-alantois (CAM)
Kantung Alantois (AC)
H16
0.14±0.11c
0.00±0.00d
H17
0.33±0.04b
0.00±0.00d
H18
0.35±0.12b
0.00±0.00d
H19
1.33±0.19a
0.04±0.06cd
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf p<0.05% (H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca-infeksi, H18=5 hari pasca-infeksi, dan H19=6 hari pasca-infeksi).
Berdasarkan tabel 2, didapatkan bahwa nilai parasitemia pada umur telur yang sama menunjukan nilai lebih tinggi untuk rute infeksi melalui membran korioalantois dibandingkan dengan rute infeksi melalui kantung alantois. Nilai parasitemia pada rute membran korioalantois (CAM) terendah pada saat umur embrio H16 (hari ke-3 pascainfeksi) yaitu 0.14% dan semakin meningkat pada umur embrio 17,18, dan 19 hari secara berurut-turut yaitu 0.33%, 0.35%, dan 1.33%. Sebaliknya, tidak ditemukan parasitemia pada rute infeksi melalui kantung alantois hingga hari ke-5 pascainfeksi (H16,H17, dan H18) dan ditemukan parasitemia dengan nilai relatif rendah pada hari ke-4 pascainfeksi pada umur embrio 19 hari yaitu 0.04%. Perbedaan nilai parasitemia pada masing-masing rute inokulasi dapat disebabkan perbedaan karakterikstik pada membran korioalantois dan kantung
23
alantois. Membran korioalantois dan kantung alantois pada tahap embrional ayam berfungsi sebagai media pertukaran nutrisi dan gas sehingga terdapat banyak vaskularisasi darah (Cunningham 1973). Namun, kantung alantois juga berfungsi sebagai organ ekskresi sehingga pada umur embrio 13 hari, kantung alantois menerima hasil buangan dari ginjal yang menyebabkan perubahan kondisi alantois yang sedikit alkali atau basa (Cuningham 1973). Kondisi kantung alantois yang basa diduga sebagai penyebab sedikitnya parasit yang dapat berkembangbiak pada rute infeksi melalui kantung alantois. Inokulasi parasit melalui kantung alantois juga menyebabkan darah berparasit akan tercampur dengan cairan alantois. Cairan alantois merupakan bagian dari cairan albumin yang sebagian besar terdiri dari air (Etches 1996). Senyawa yang terlarut dalam cairan alantois akan berdifusi masuk ke dalam cairan amnion. Selanjutnya, cairan akan diserap masuk ke dalam embrio melalui mulut dan trakhea sehingga tidak terjadi penumpukan parasit dalam embrio (Jochemsen dan Jeurissen 2002). Hal ini diduga menyebabkan pengenceran dosis parasit sehingga parasit yang berkembang relatif sedikit. Membran korioalantois merupakan gabungan membran korion dan alantois yang memiliki banyak vaskularisasi darah. Selain itu, membran korioalantois juga memiliki membran tipis dan bening yang terdiri dari 2 lapis epitel yang dipisahkan oleh jaringan ikat (Ribatti et al. 2000). Hal ini dapat memudahkan parasit untuk mencapai endotel lebih cepat dibandingkan rute infeksi melalui kantung alantois. Ribatti et al. (2000) juga menyatakan bahwa membran korioalantois memiliki banyak vaskularisasi yang berfungsi sebagai transpor nutrisi dari kuning telur dan albumin ke embrio sehingga pada penelitian ini, parasit dapat berkembang dan tersebar lebih cepat ke dalam embrio ayam. Peningkatan nilai persentase parasitemia pada masing-masing umur embrio terjadi secara signifikan dari hari ke-2 hingga ke-4 pasca-kultur baik pada inokulasi melalui rute membran korioalantois maupun kantung alantois. Persentase parasitemia didapatkan dari hasil ulas darah keberadaan gametosit Leucocytozoon dengan bentuk melingkar dan nukleus inti sel yang terdorong keluar dari sel. Inokulasi yang dilakukan pada telur embrio tertunas merupakan sporozoit dimana terdapat juga fase merozoit yang nantinya akan berkembang
24
menjadi gametosit dewasa (Fallis dan Desser 1977). Hal inilah yang menyebabkan peningkatan fase gametosit parasit dari hari ke-2 hingga hari ke-6 pasca-okulasi parasit.
Pengaruh Umur Embrio Terhadap Respon Leukosit Proses pendewasaan respon imun berkembang pada saat tahap embrional, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap nilai diferensial leukosit yang didapatkan dari hasil ulas darah embrio. Hasil dari pengamatan diferensial leukosit pada rute inokulasi parasit yang berbeda secara umum didapatkan persentase tertinggi berturut-turut yaitu limfosit, heterofil, dan monosit, serta diikuti oleh basofil dan eosinofil yang nilainya relatif tidak berbeda. Hasil dari penghitungan persentase diferensial leukosit sebagai berikut:
Limfosit Berdasarkan tabel 3 dan gambar 10, persentase limfosit pada embrio ayam yang diinokulasi parasit menunjukan nilai yang berbeda nyata pada faktor rute inokulasi maupun faktor umur embrio (p<0.05). Nilai persentase limfosit menunjukan nilai leukosit tertinggi dibandingkan jenis leukosit lainnya. Menurut McBride (2002), limfosit merupakan leukosit yang bertindak sebagai pertahanan imun spesifik dan awal dari reaksi adaptasi respon kekebalan berupa antigen. Antigen dapat berasal dari benda asing seperti bakteri, virus, dan parasit bahkan dapat juga bagian dari mekanisme imun tubuh. Keberadaan parasit Leucocytozoon yang diinfeksikan pada embrio menyebabkan pertahanan imun spesifik membentuk antibodi sebagai respon adanya antigen dari parasit sehingga meningkatkan limfosit.
Persentase
25
86.00 84.00 82.00 80.00 78.00 76.00 74.00 72.00 70.00
CAM AC H16
H17
H18
H19
Umur embrio
Gambar 10 Rata-rata persentase limfosit embrio yang diinokulasi L caulleryi. CAM: chorio-allantoic membrane, AC: Allantoic cavity. H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi
Jumlah limfosit tertinggi pada masing-masing rute inokulasi terjadi pada umur embrio 16 hari (H16) yaitu 85.11% pada rute inokulasi melalui membran korioalantois dan 84% pada rute inokulasi kantung alantois. Sebaliknya, semakin bertambah umur embrio menunjukan nilai persentase limfosit semakin menurun dan mencapai titik nilai terendah pada umur embrio 19 hari (H19). Penurunan nilai limfosit berbanding terbalik dengan nilai trombosit dikarenakan perbedaan karakter imunologis antara embrio dan unggas dewasa. Pada tahan embrional, trombosit unggas juga memiliki sifat fagosit. Hal tersebut menunjukan bahwa sistem pertahanan tidak spesifik bekerja lebih dominan dalam melawan patogen dalam tubuh (Morita et al. 2009). Persentase diferensial leukosit pada embrio mamalia juga menunjukan penurunan jumlah limfosit seiring bertambahnya umur embrio (Schulzt et al. 1971).
26
Tabel 3 Rata-rata persentase diferensial leukosit pada telur embrio tertunas yang diinfeksi Leucocytozoon caulleryi dengan rute inokulasi melalui membran korioalantois dan ruang alantois. Rute inokulasi
Umur
Monosit
Limfosit
Heterofil
Basofil
Eosinofil
H16
0.44 ±0.73b
85.11±1.83a
13.78±1.79c
0.11±0.33b
0.33±0.50b
Membran
H17
0.56±0.73b
82.67±1.58abc
15.33±2.18abc
0.22±0.44b
0.67±0.87b
Korioalantois
H18
1.11±1.36b
80.22±2.77bcd
17.00±1.41abc
0.89±1.05a
0.67±0.71b
H19
2.89±2.57a
76.22±3.21d
15.56±3.21abc
0.78±0.93ab
2.67±1.32a
H16
0.44±0.53b
84.00±2.78a
14.89±2.32bc
0.44±0.73ab
0.11±0.33b
H17
0.33±0.50b
83.22±3.35ab
16.11±3.44abc
0.22±0.44b
0.11±0.33b
H18
0.67±0.71b
78.78±3.38cd
19.00±1.50a
0.33±0.50ab
0.11±0.33b
H19
0.44±0.73b
80.89±2.15abc
18.11±0.93ab
0.11±1.01b
0.44±1.01b
70.1 – 83.3
12.3 – 25.2
1.0 – 2.0
0.1 – 0.5
Kantung Alantois
Morita et al. (2010)
Embrio
2.6 – 4.4
Keterangan : Angka yang diikuti huruf superskrip berbeda menunjukan berbeda nyata pada taraf p<0.05% (H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi).
27
Heterofil Berdasarkan tabel 3 dan gambar 11, persentase heterofil dari embrio tertunas yang diinokulasi parasit melalui kantung alantois memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan inokulasi melalui membran korioalantois (p<0.05). Heterofil pada unggas memiliki fungsi yang sama seperti neutrofil pada mamalia dimana keberadaan heterofil tidak menunjukan adanya antigen spesifik. Heterofil memiliki fungsi penting pada fase terjadinya infeksi akut (Brooks et al. 1996). Jika dibandingkan dengan nilai parasitemia pada kedua rute inokulasi, inokulasi melalui kantung alantois memiliki nilai parasitemia lebih rendah dibandingkan rute inokulasi membran korioalantois. Hal ini diduga dipengaruhi kerja dari heterofil sebagai pertahanan terhadap masuknya parasit dengan melakukan fagosit (McBride 2002).
Parasitemia
20.00 15.00 10.00
CAM AC
5.00 0.00 H16
H17 H18 Umur embrio
H19
Gambar 11 Rata-rata persentase heterofil embrio yang diinokulasi L caulleryi. CAM: chorio-allantoic membrane, AC: Allantoic cavity. H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi
Penelitian yang dilakukan Morita et al. 2009 dan Morita et al. 2010 didapatkan bahwa terdapat perubahan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada nilai heterofil pada masa embrio tertunas dengan nilai antara 12.3-25.2%. Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa nilai heterofil berada dalam kisaran normal yaitu 13.78-19%. Persentase heterofil meningkat dari umur embrio 16 hingga 18 hari dan menurun pada umur ke-19 hari pada kedua jenis rute inokulasi. Peningkatan jumlah heterofil terjadi sebagai pertahanan tidak spesifik terhadap
28
parasit Leucocytozoon yang semakin meningkat seiring dengan bertambah umur embrio. Monosit Berdasarkan tabel 3 dan gambar 12, persentase monosit pada rute inokulasi parasit melalui membran korioalantois lebih tinggi dibandingkan rute kantung alantois (p<0.05). Persentase monosit meningkat pada rute inokulasi parasit melalui membran korioalantois dari umur embrio 16 hari sebesar 0.44% dan meningkat secara bertahap hingga hari ke-19 menjadi 2.89%. Persentase monosit pada rute inokulasi kantung alantois tidak berbeda nyata (p<0.05) namun memiliki kecenderungan relatif meningkat dari umur embrio 16 hari (0.44%) hingga umur 18 hari (0.67%) dan kembali turun pada umur 19 hari menjadi 0.44%.
Parasitemia
4.00 3.00 2.00 CAM
1.00
AC
0.00 H16
H17
H18
H19
Umur embrio
Gambar 12 Rata-rata persentase monosit embrio yang diinokulasi L caulleryi. CAM: chorio-allantoic membrane, AC: Allantoic cavity. H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi.
Monosit mempunyai fungsi fagositosis dan menjadi makrofag ketika keluar dari endotel darah. Fagositosis monosit mempunyai sifat sama seperti heterofil namun monosit bekerja pada kondisi infeksi yang tidak terlalu akut (Frandson 1986). Persentase monosit yang semakin tinggi diduga dikarenakan peningkatan parasitemia. Morita et al. (2009) menyatakan peningkatan monosit terjadi pada perkembangan embrio ayam hingga umur 18 hari dan semakin menurun hingga embrio tertunas menetas. Hal ini terjadi sebagai respon
29
menurunnya fungsi kekebalan tidak spesifik sebagai persiapan paparan terhadap lingkungan luar setelah telur menetas.
Basofil Berdasarkan tabel 3 dan gambar 13, persentase basofil pada dua rute inokulasi memiliki nilai relatif rendah dibandingkan dengan diferensial leukosit lainnya. Persentase basofil pada rute membran korioalantois mengalami peningkatan dari umur embrio 16 hari (0.11%) mencapai puncak pada umur ke-18 hari (0.89%) dan kembali turun pada umur 19 hari (0.78%). Persentase basofil pada rute kantung alantois relatif rendah sehingga perubahan fluktuatif tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai persentasi basofil.
Persentase
1.00 0.80 0.60 0.40
CAM
0.20
AC
0.00 H16
H17
H18
H19
Umur embrio
Gambar 13 Rata-rata persentase basofil embrio yang diinokulasi L caulleryi. CAM: chorio-allantoic membrane, AC: Allantoic cavity. H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi.
Persentasi basofil pada perlakuan tidak menunjukan hasil yang berarti. Hal ini disebabkan karena basofil kurang dipengaruhi keberadaan parasit. Basofil juga mengandung heparin dan melepaskan histamin serta mediator radang lainnya (Ganong 2002) sehingga basofil lebih berperan pada reaksi alergi dan proses penutupan luka (Campbell et al. 2004). Peningkatan persentase basofil dapat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah limfosit. Hal ini dikarenakan infiltrasi basofil dapat disebabkan pelepasan limfokin basofil-kemotatik oleh limfosit T (Tizard 1988).
30
Eosinofil Berdasarkan tabel 3 dan gambar 14, persentase eosinofil pada rute membran korioalantois lebih tinggi dibandingkan dengan rute kantung alantois (p<0.05). Persentase eosinofil berdasarkan umur embrio semakin meningkat berbeda nyata pada rute inokulasi parasit melalui membran korioalantois dari umur embrio 16 hari (0.33%) meningkat secara bertahap hingga umur 19 hari (2.67%) (p<0.05). Sebaliknya pada rute inokulasi kantung alantois menunjukan tidak berbeda nyata, walaupun persentase eosinofil relatif meningkat seiring
Parasitemia
dengan bertambahnya umur embrio.
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
CAM AC H16
H17
H18
H19
Umur embrio
Gambar 14 Rata-rata persentase eosinofil embrio yang diinokulasi L caulleryi. CAM: chorio-allantoic membrane, AC: Allantoic cavity. H16=3 hari pasca infeksi, H17=4 hari pasca infeksi, H18=5 hari pasca infeksi, dan H19=6 hari pasca infeksi. Persentase eosinofil pada dua rute inokulasi memiliki nilai relatif rendah dibandingkan dengan diferensial leukosit lainnya. Tizard (1988) menyatakan bahwa eosinofil tidak seefisien netrofil dalam fagositosis parasit dan kecenderungan untuk menyerang dan menghancurkan larva cacing. Peningkatan persentase eosinofil pada rute membran korioalantois disebabkan oleh tingginya parsitemia darah. Peningkatan parasitemia merangsang embrio untuk membentuk eosinofil. Sebaliknya, pada rute inokulasi parasit melalui kantung alantois menunjukan tidak berbeda nyata dikarenakan jumlah parasitemia yang lebih sedikit dari rute infeksi ini.