IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. KONDISI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT DI PROVINSILAMPUNG Industri kelapa sawit di Provinsi Lampung berjumlah 13 pabrik yang tersebar di limawilayah kabupaten, meliputi Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah, Way Kanan, Tulang Bawang, dan Mesuji (Sarono et al. 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarono et al. (2012), semua pabrik kelapa sawit (PKS) di Lampungmenghasilkan produk CPO (Crude Palm Oil). Tiga di antaranya juga memproduksi PKO (Palm Kernel Oil). Kapasitas pabrik dari ketiga belas PKS tersebut bervariasi, dari kapasitas terkecil sebesar 20 ton tandan buah segar (TBS) per jam hingga kapasitas terbesar 72 ton TBS per jam (Gambar 3).Rata-rata PKS di Provinsi Lampung tersebut memiliki kapasitas proses produksi sekitar 45 ton TBS/jam.
Gambar 3. Penyebaran PKS di Provinsi Lampung berdasarkan kapasitas produksi CPO (ton TBS/jam) (Sarono et al. 2012) Setiap PKS memiliki lahan yang dialokasikan untuk kebun kelapa sawit, pabrik, dan unit pengolahan limbah. Luasan lahan yang dimiliki oleh masing-masing pabrik juga berbeda satu dengan yang lainnya. Luasan lahan yang dialokasikan untuk unit pengolahan limbah berkisar antara 2,5-8 ha, atau setara dengan 25.000-80.000 m2. Pada proses produksinya, jumlah tandan buah segar kelapa sawit yang diproses di Lampung bervariasi untuk setiap pabrik dan setiap tahun.Berdasarkan data yang diperoleh, total TBS yang diproses di seluruh pabrik kelapa sawit Lampung adalah 1.312.355 ton pada tahun 2009, 1.483.128 ton pada tahun 2010, dan 1.553.908 ton pada tahun 2011. Dari TBS yang diproses tersebut, jumlah CPO yang dihasilkan pada tahun 2009, 2010, dan 2011 adalah sebanyak 288.251 ton, 325.142 ton, dan 342.293 ton dengan nilai rata-rata rendemen 21,96%; 21,92%; dan 22,03%. Dari nilai rendemen proses pengolahan di atas, terlihat adanya potensi pembangkitan limbah yang cukup besar, termasuk limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS). Total potensiLCPKS yang terdokumentasi adalah sebanyak 1.095.373 m3; 1.208.516 m3; dan 1.286.595 m3pada tahun 2009, 2010, dan 2011(Sarono et al. 2012). Berdasarkan data tersebut, faktor konversi dari tandan buah segar kelapa sawit yang diproses menjadi limbah cair adalah sebesar 0,835 m3 LCPKS/ton TBS; 0,815 m3 LCPKS/ton TBS; dan0,828 m3 LCPKS/ton TBS untuk tahun 2009,2010, dan 2011 sehingga faktor konversi rata-ratanya sebesar 0,826 m3LCPKS/ton TBS. Hal tersebutmenunjukkan bahwa proses produksi CPO di Lampung cenderung kurang efisien karena menghasilkan faktor konversi LCPKS yang lebih besar dari rata-rata LCPKS yang dihasilkan per ton TBS, yaitu 0,6m3/ton TBS(Mahajoeno et al.(2008) atau0,75 m3/ton
18
TBS (Morad et al. 2008 diacu dalam Suprihatin et al. 2012b), meskipun masih berada pada range 0,75-0,90 m3/ton TBS (Yuliasari et al. 2001). Sementara, faktor konversi dari CPO menjadi limbah cair sebesar 3,800 m3 LCPKS/ton CPO; 3,717 m3 LCPKS/ton CPO; dan 3,759 m3 LCPKS/ton CPO. Limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi PKS di Lampung, dibandingkan dengan literatur dan baku mutu lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.Terlihat bahwa parameter pH, COD, dan TSS pada LCPKS Lampung tidak memenuhi baku mutu, bahkan menyimpang cukup jauh dari nilai yang dipersyaratkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa LCPKS di Lampung memiliki kandungan bahan organik atau padatan yang tinggi dan memiliki peluang yang besar dalam mencemari lingkungan. Oleh karena itu, LCPKS tersebut harus mengalami pengolahan dan penanganan terlebih dulu sebelum disalurkan ke lingkungan. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan rata-rata parameter menurut Mahajoeno et al. (2008) dan KIS Group (2012), nilai pH pada LCPKS Lampung lebih baik karena lebih mendekati baku mutu. Selain itu, nilai COD yang diperoleh pun lebih baik mutunya daripada kedua literatur. Artinya, kandungan karbon organiktotal kecuali senyawa aromatik pada limbah cair tersebut lebih rendah daripada limbah cair kelapa sawit pada umumnya. Akan tetapi, total padatan tersuspensi yang terkandung pada limbah lebih banyak sehingga kemungkinan lumpur yang dihasilkan akan lebih banyak dibandingkan limbah cair pada pengamatan Mahajoeno et al. (2008).
No. 1
Tabel 2. Perbandingan karakter LCPKS Lampung dengan rujukan terdahulu dan baku mutu LCPKS Parameter Rata-rata1 Rata-rata2 Baku Mutu3 Lampung Nilai pH
5,0-5,6
4,4-4,5
4,0-4,5
6,0-9,0
Biological Oxygen Demand (mg/L) Chemical Oxygen Demand(mg/L) Total Suspended Solid (mg/L)
-
23.500-29.300
30.000
250
41.000-50.250
49.000-63.600
50.000-70.000
500
42.533-54.500
26.500-45.400
-
300
5
Nitrogen Total (mg/L)
-
-
-
45
6
Amonia (mg/L)
-
-
-
20
2 3 4
Sumber: 1Mahajoeno et al. (2008) 2 KIS Group (2012) 3 Bapedal (1999) Semua PKS di Lampung telah melakukan proses pengolahan limbah cair. Sistem yang digunakan adalah sistem pengolahan konvensional, seperti kebanyakan kondisi pengolahan LCPKS di Indonesia saat ini, yaitu sistem kolam terbuka (ponding system). Kolam-kolam yang digunakan terbagi menjadi kolam cooling (pendinginan), kolam anaerob, dan kolam aerob. Selain kolam-kolam tersebut, terdapat juga kolam indikator untuk mengetahui kondisi efluen LCPKS sebelum disalurkan ke lingkungan. Dari keseluruhan PKS tersebut, terdapat empat PKS yang memiliki tambahan kolam fakultatif. Semua pabrik juga memiliki kolam atau lahan cadangan yang disiapkan untuk keperluan ekspansi unit pengolahan limbah jika volume limbah cair yang dihasilkan meningkat (Sarono et al. 2012). Fasilitas pengolahan LCPKS tersebut memiliki kapasitas dan waktu retensi yang bervariasi. Kapasitas kolam cooling berkisar antara 800-2.250 m3 dengan waktu retensi 3-5 hari.Dari kolam
19
tersebut, limbah cair akan memasuki kolam anaerob dengan waktu retensi sekitar 50-70 hari. Masingmasing pabrik memiliki kapasitas kolam anaerob yang berbeda, dari kapasitas 6.000 m3 hingga 32.000 m3. Selanjutnya, limbah cair akan memasuki kolam fakultatif ataupun kolam aerob. Kebanyakan kolam fakultatif yang dimiliki oleh PKS di Lampung berkapasitas 2.600 m3 untuk waktu retensi sekitar lima hari. Kolam aerob berkapasitas antara 3.000-17.000 m3dengan waktu retensi sekitar 10-16 hari. Kolam indikator berkapasitas 750-1.350 m3 dengan waktu retensi 4-10 hari. Sementara, kolam cadangan berkapasitas 1.000 hingga 3.500 m3. Dari kondisi pengolahan limbah cair di atas, diketahui bahwa belum ada satupun PKS di Lampung yang menggunakan bioreaktor tertutup untuk pengolahan LCPKS secara anaerobik. Struktur pengolahan kolam yang terbuka menyebabkan adanya emisi gas rumah kaca langsung ke atmosfer dengan dominasi gas metana (CH 4 ) sebagai hasil dekomposisi anaerobik. Jika kondisi tersebut dipertahankan, kondisi lingkungan akan semakin buruk dan pemanasan global akan semakin terasa dampaknya. Selain itu, terdapat beberapa kerugian lain yang diperoleh, antara lain kerugian di bidang ekologi berupa kontaminasi air tanah dan bau yang tidak sedap, serta kerugian ekonomi (finansial) karena tidak menjual kredit karbon, tidak memiliki simpanan biomassa, serta adanya lumpur yang kurang produktif (KIS Group 2012). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saronoet al. (2012), pemanfaatan LCPKS untuk produksi biogas belum dilakukan. Hanya ada satu pabrik yang sedang melakukan studi mengenai biogas, sedangkan 12 pabrik lainnya belum melakukan tindakan untuk pemanfaatan biogas. Pemanfaatan limbah cair untuk pupuk pun hanya dilakukan oleh satu pabrik. Kebanyakan PKS di Lampung lebih tertarik dengan pemanfaatan lain dari limbah cair, yaitu pemanfaatan sebagai minyak parit dan land application. Minyak parit adalah minyak yang diambil kembali dari fat pit atau lebih dikenal dengan CPO bermutu rendah (low grade CPO). Pemanfaatan tersebut merupakan pemanfaatan yang umum digunakan di semua pabrik CPO di Indonesia. Sementara, land application merupakan pemanfaatan hasil dari penanganan limbah secara biologis. Penanganannya sedapat mungkin tidak menambahkan bahan kimia. Hasil dari proses biologis adalahair reklamasi berkualitas tinggi (high quality reclaimed water) yang telah memenuhi baku mutu lingkungan. Air tersebutumumnya digunakan untuk aplikasi lahan perkebunan sawit sendiri. Metode penanganan limbah secara biologis untuk land application cukup populer karena tergolong murah dalam operasi dan pemeliharaannya, tidak ada pembuangan ke badan air, tidak ada bau tidak sedap yang dapat mengganggu masyarakat,serta menyediakan air yang kaya unsur hara (Cortland Official 2012). Dalam penanganan limbah cair tersebut, sumber daya manusia untuk manajemen lingkungan cukup terbatas. Hal ini terlihat dari jumlah tenaga kerja yang cukup sedikit, yaitu sekitar dua sampai lima orang dengan latar belakang pendidikan SLTA. Selain itu, tenaga kerja tersebut tidak berada pada bagian manajemen lingkungan khusus, melainkan berada di bawah bagian produksi. Pengalaman kerja di bidang penanganan limbah tersebut umumnya masih tergolong rendah hingga sedang yaitu dua sampai lima tahun. Hanya ada dua PKS yang memiliki tenaga kerja untuk penanganan limbah cair yang sudah bekerja selama 10 tahun atau lebih. Hanya saja, semua PKS telah melakukan pelatihan (training) bagi tenaga kerjanya. Terkait dengan masalah sosial, unit penanganan LCPKS masing-masing pabrik memiliki jarak tertentu dari permukiman dan pabrik. Jarak unit penanganan limbah berkisar antara 400-1.500 meter dari permukiman penduduk dan 100-200 meter dari pabrik. Dari bagian manajemen, karyawan, dan penduduk, umumnya tidak ada keluhan terkait dampak dari limbah cair. Hanya ada keluhan bau tidak sedap LCPKS dari karyawan pada satu PKS dan dari penduduk pada tiga PKS (Sarono et al. 2012). Selain terkait dengan dampak langsung LCPKS bagi masyarakat sekitar pabrik, telah dilakukan kajian
20
juga oleh Sarono et al. (2012) terkait dengan kondisi listrik di sekitar pabrik kelapa sawit. Umumnya, asupan listrik bagi masyarakat di sekitar pabrik diperoleh dari PLN. Akan tetapi, kondisinya cukup tidak stabil ditandai dengan seringnya kondisi pemadaman listrik. Kondisi tersebut menyebabkan adanya harapan dari masyarakat sekitar pabrik terkait penyediaan listrik. Kondisi ekologi dan sosial di sekitar lingkungan PKS di Provinsi Lampung tersebut memberikan peluang pengembangan teknologi konversi gas metana dari limbah cair kelapa sawit menjadi energi listrik. Dengan memanfaatkan teknologi konversi tersebut, dapat diperoleh listrik terbarukan. Listrik terbarukan dapat memberikan manfaat untuk aplikasi langsung di pabrik kelapa sawit. Selain itu, energi listrik juga dapat dijual kepadaPLN. Dengan demikian, keuntungan ekonomi (finansial), ekologi dan sosial dapat diperoleh oleh PKS yang menggunakan teknologi tersebut.
4.2. PENYEDIA TEKNOLOGI KONVERSI GAS METANA DARI LCPKS MENJADI ENERGI LISTRIK Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan penyedia teknologi penangkapan dan konversi gas metana menjadi energi listrik. Perusahaan-perusahaan tersebut menjual produk berupa perangkat keras (technoware) dalam bentuk mesin dan peralatan dalam suatu paket teknologi, serta jasa berupa sumber daya manusia yang ahli dalam bidang teknis sampai proses alih teknologi dianggap cukup oleh perusahaan kelapa sawit yang menggunakan teknologinya. Perusahaan tersebut adalahPT Knowledge Integration Services (KIS) Indonesia dari KIS Group, PT AES AgriVerde Indonesia, dan PT Karya Mas Energi (KME). KIS Group merupakan perusahaan penyedia teknologi hijau (green technologies) yang menghasilkan energi terbarukan dari konversi limbah industri dalam upaya reduksi emisi gas rumah kaca. KIS Group berpusat di India dan memiliki cabang di Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Kolombia. Industri yang dapat dimanfaatkan limbahnya oleh PTKIS adalah industripenyulingan, CPO, ragi, gula, oleokimia, pemrosesan kopi, tapioka, susu, kertas, dan peternakan. Produk layanan yang disediakan adalah teknologi pengolahan biogas, teknologi pengolahan biomassa, CDM (Clean Development Mechanism), dan integrasi sistem. Di Indonesia, PT KIS memiliki berbagai pengalaman dalam proyek pengolahan LCPKS untuk biogas yaitu di PT Umbul Mas Wisesa, Medan; PT Cisadane Sawit Raya, Nagarilama; PT Agromuko, Mukomuko; dan PT Meskom Agro Sarimas, Bengkalis, Riau (KIS Group 2012). PT AES AgriVerde Indonesiamerupakan bagian dari AES AgriVerde Limited yang bertempat di Indonesia. AES AgriVerde Limited berpusat di Hamilton, Bermuda. Perusahaan tersebut berkecimpung dalam produksi dan penjualan reduksi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan dan pabrik kelapa sawit, serta industri tapioka. Cabang dari perusahaan di atas dapat ditemukan di Malaysia, Indonesia, Cina, Rusia, Ukraina, dan Polandia (AES AgriVerde Ltd. 2006). AES AgriVerde Limited beroperasi sebagai cabang dari Alternative Energy Corporation sejak tahun 2012. Sebelumnya, AES AgriVerde Limited merupakan cabang yang dibentuk oleh The AES Corporation tahun 2006. TheAES Corporation berpusat di Amerika Serikat. Perusahaan tersebut mengoperasikan pembangkitan energi, dalam bentuk panas ataupun listrik. Teknologi yang disediakan menggunakan beragam bahan bakar, meliputi batu bara, diesel, tenaga air, gas, minyak, angin, dan biomassa (The AES Corporation 2009). Di Indonesia, proyek PT AES AgriVerde sudah dilaksanakan disembilan tempat, di antaranyaPT Perkebunan Milano milik Wilmar International Limited di daerah Pinangawan, Rantauprapat, Sumatera Utara; PT Bakrie Sumatera Plantations di Kisaran, Sumatera Utara; PT Bakrie Pasaman Plantations di Pasaman Barat, Sumatera Barat; PT Tolan Tiga Indonesia (SIPEF) di Labuhan Batu, Sumatera Utara; PT Eastern Sumatera Indonesia (SIPEF) di Simalungun,
21
Sumatera Utara; PT Sisirau di Aceh Tamiang, Aceh; serta Sumbertama Nusapertiwi di Muaro Jambi, Jambi. PT Karya Mas Energi merupakan perusahaan di Indonesia yang berperan sebagai pengembang proyek konversi gas metana menjadi energi di PT Perkebunan Nusantara V PKS Tandun dan PKS Sei Tapung, Riau. Energi yang dihasilkan dapat berupa panas dan listrik. Kemampuan yang dimiliki PT KME adalah mengembangkan proyek limbah untuk energi; pabrik pembangkit biogas; sistem pengendalian proses anaerobik; sistem pengolahan biogas; sistem menara dan distribusi biogas; monitoring, analisis, dan pencatatan data biogas; pemanfaatan biogas untuk aplikasi panas dan listrik; pembangkit tenaga biomassa; peralatan boiler termal; serta pengolahan air dan limbah cair (PT Karya Mas Energi 2012).
4.3. GAMBARAN UMUM TEKNOLOGI YANG DIGUNAKAN 4.3.1. Teknologi PT KIS Indonesia Inti teknologi khusus yang dihasilkan oleh PT KIS Indonesia adalah pengolahan limbah cair secara anaerobik menggunakan tangki digester untuk menghasilkan gas metana.Tangki digester anaerobik dapat berupa CSTR (Continuously Stirred Tank Reactor) dengan kondisi mesofilik atau termofilik, UASBR (Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor), dan SMAT (Structured Media Anaerobic Tank).Akan tetapi, untuk pengembangan di pabrik kelapa sawit, teknologi yang paling sering digunakan adalah CSTR karena memberikan hasil yang paling optimal dan sesuai dengan karakteristik limbahnya. Karakteristik limbah cair kelapa sawit adalah kental, mengandung banyak bahan organik dan padatan, serta mengandung lumpur. Oleh sebab itu, limbah cair pabrik kelapa sawit kurang cocok diolah menggunakan UASBR dan SMAT karena UASBR dan SMAT menggunakan laju tinggi yang sesuai untuk limbah yang lebih cair (Romli 2010 dalam Sarono 2012). CSTR merupakan digester anaerobik dengan laju standar. CSTR tersebut juga termasuk konfigurasi reaktor untuk produksi hidrogen, etanol, dan fermentasi butanol. CSTR digunakan untuk proses pertumbuhan tersuspensi. Inokulum umpan dalam proses tersebut adalah biomassa atau lumpur yang telah didigesti secara anaerobik. Startup yang diperlukan adalah 20% dari kapasitas desain selama 20 hari, dilanjutkan dengan peningkatan bertahap pada hari ke-30 sampai ke-40. Parameter yang harus diperhatikan adalah pH, alkalinitas, asam organik volatil, dan laju produksi biogas. HRT selama 15-30 hari. Alkalinitasnya sekitar 1.500-3.000 mg/L sebagai CaCO 3 . Laju produksi biogas sekitar 0,75-1,12 m3/kg VS yang dihilangkan (Khanal 2008). CSTR yang digunakan pada teknologi PT KIS adalah LESAR-CSTR. LESAR (Lars Enviro Stirred Anaerobic Reactor) merupakan produk dari Lars Enviro Private Limited, yang merupakan mitra dalam KIS Group. Reaktor tersebut merupakan modifikasi dari CSTR konvensional, dengan kapasitas 350 m3 per hari. Keunggulan dari LESAR CSTR adalah kemudahan digunakan, HRT yang lama sehingga memastikan proses biodegradasi dapat berlangsung sempurna, dan kadar metana yang dihasilkan tinggi sehingga mengoptimasikan penangkapan gas. Homogenisasi reaksi biokimia dapat dijamin dengan adanya aplikasi agitator well-oriented. Operasi yang umum dipakai adalah kondisi mesofilik sehingga tidak memerlukan tambahan uap. LESAR CSTR juga dapat menangani TSS yang tinggi dengan adanya peralatan keamanan vakum dan tekanan (Lars Enviro Private Ltd. 2012). Dalam pelaksanaannya, paket perangkat keras teknologi yang disediakan oleh PT KIS Indonesia dimulai dari peralatan untuk pengolahan awal (pretreatment), pencernaan anaerobik, penangkapan gas metana, peralatan konversi gas metana menjadi energi listrik, serta sistem manajemen lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan limbah cair keseluruhan. Miniatur
22
rangkaian mesin dan peralatan dalam paket teknologi PT KIS dapat dilihat pada Gambar 4, sedangkan skema teknisnya dapat dilihat pada Lampiran1.
Gambar 4. Miniatur rangkaian mesin dan peralatan dalam paket teknologi PT KIS (KIS Group 2012) Dari skema teknis yang terdapat pada Lampiran 1, dapat diamati rangkaian utuh paket teknologi penanganan LCPKS untuk keperluan konversi gas metana menjadi energi listrik. Bagian pertama adalah bagian pretreatment atau penanganan pendahuluan. Pretreatment menggunakan peralatan berupasaringan dan penangkap minyak-lemak, tangki ekualisasi, penukar panas dan menara pendingin. LCPKS akan disalurkan ke saluran fisik yang berhubungan dengan penangkap minyaklemak. Di bagian penangkap minyak-lemak, terdapat belt skimmer. Dengan adanya belt skimmer,limbah cair akan terpisah dari minyak-lemak dan disalurkan ke tangki ekualisasi. Minyaklemak yang tertangkap dapat dimanfaatkan kembali atau dijual sebagai minyak parit. Bagian penangkap minyak-lemak merupakan bagian yang berfungsi sebagai fat pit. Oleh karena itu, umumnya digunakan suhu yang tinggi. Minyak yang dapat diperoleh menggunakan sistem di atas adalah sebanyak 4-5 ton/hari untuk pabrik dengan kapasitas 60 ton TBS/jam. Limbah skim mengalir ke tangki ekualisasi yang memiliki pengendali dan pengaduk. Tangki ekualisasi dapat dilihat pada Gambar 5. Dalam tangki tersebut, influen yang masuk dicampur dan disamakan kondisinya untuk mempermudah proses pengolahan selanjutnya. Selanjutnya, LCPKS akan dipompa untuk memasuki bagian cooling toweryang terhubung dengan plat heat exchanger, yang terlihat pada Gambar 6. Fungsi dari peralatan di atas adalah mengatur suhu umpan, yang semula bersuhu tinggi (85-95oC) menjadi suhu yang lebih rendah. LCPKS yang telah diturunkan suhunya akan memasuki suatu tangki untuk flotasi udara terlarut (DAF). DAF tersebut dapat terlihat pada Gambar 7. Fungsi dari bagian DAF adalah untuk penghilangan minyak dan padatan tersuspensi yang masih terbawa pada limbah cair. Pada DAF, dilakukan penambahan bahan kimia. Selanjutnya, limbah cair akan dialirkan ke tangki penyangga (Gambar 8), sementara padatan yang terpisah disalurkan ke bagian tangki pengumpul buih (scum). Pada saat pengaliran ke tangki penyangga, ditambahkan bahan kimia lagi ke dalam aliran limbah. Tangki penyangga berfungsi sebagai tangki umpan untuk reaktor CSTR. Di dalam tangki tersebut, terjadi proses prapengasaman atau hidrolisis, sebagai bagian pertama proses dekomposisi anaerobik.
23
Gambar 5. Tangki ekualisasi
Gambar 6. Heat exchanger dan cooling tower
Gambar 7. Alat flotasi udara terlarut Gambar 8. Tangki penyangga (KIS Group 2012) Bagian kedua merupakan bagian pengolahan anaerobik menggunakan reaktor KIS-CSTR atau LESAR-CSTR (Gambar 9).CSTRmerupakan reaktor anaerobik yang memiliki laju rendah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Digester tersebut memiliki agitator sentral dan agitator lateral. Agitator sentral berada di pusat tangki reaktor, sedangkan agitator lateral terletak di samping tangki. Fungsi dari agitator adalah untuk homogenasi sehingga umpan untuk bakteri seragam, serta untuk mencegah pengendapan. Peralatan tersebut menggunakan bahan antikorosi yang membutuhkan pemeliharaan dan konsumsi energi yang rendah. Selain itu, reaktor dilengkapi dengan peralatan pengaman yang digunakan untuk mengendalikan tekanan yang berlebih dan kondisi vakum dari reaktor. Dari CSTR, terdapat saluran penghubung ke bagian pengolahan sekunder, degassifier, dan flare stack. Degassifier berfungsi untuk memisahkan gelembung biogas dari padatan, meningkatkan kemampuan padatan untuk mengendap, serta mengurangi konsentrasi dari gas yang tidak diinginkan dari efluen. Alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.Dari degassifier, padatan dan efluen disalurkan ke lamella clarifier(Gambar 11). Bagian tersebutmerupakan sistem pemisah untuk mendaur ulang biomassa ke reaktor sehingga jumlahnya dijaga tetap optimum. Kondisi tersebut memastikan degradasi organik dan produksi biogas yang lebih tinggi. Bagian dari cairan yang terklarifikasi diumpankan ulang ke dalam tangki penyangga. Dari lamella clarifier, terdapat penyaluran ke tangki aerasi konvensional (CAT) yang terhubungkan dengan clarifier.
24
Gambar 9. LESAR-CSTR
Gambar 10. Degassifier
Gambar 11. Lamella clarifier(KIS Group 2012) Efluen dari CSTR dialirkan juga ke bagian pengolahan sekunder, yaitu tangki aerasi extended (EAT) yang terhubung juga dengan clarifier. Sama dengan CAT, EAT berfungsi untuk membantu bakteri mendegradasi bahan organik terlarut secara aerobik. MLSS (Mixed Liquor Suspended Solid) yang dibutuhkan dijaga. Biomassa (lumpur) yang mengendap akan disalurkan kembali ke tangki aerasi, sedangkan lumpur sisa akan disalurkan ke tempat penampung lumpur (sludge sump). Pada sludge sump, dilakukan klorinasi yang dilanjutkan dengan deklorinasi. Fungsinya adalah sebagai desinfeksi. Setelah itu, efluen akan dialirkan ke bagian multi grade filter (MGF) dan karbon aktif yang berfungsi sebagai polisher. Bagian-bagian dari proses klorinasi merupakan bagian pengolahan tersier. Pengolahan tersier berhubungan langsung dengan subsistem manajemen lumpur. Selain dari bagian pengolahan tersier, terdapat juga lumpur yang dialirkan dari clarifier pada pengolahan sekunder, lamella clarifier, CAT clarifier, serta dari LESAR-CSTR. Sebelum memasuki bagian penanganan lumpur akhir, lumpur (sludge) akan mengalami proses dewatering.Proses tersebut memungkinkan penggunaan lumpur hasil proses sebagai pupuk. Bagian lain yang berhubungan dengan LESAR-CSTR, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah flare stack dalam subsistem proses penanganan biogas. Alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Flare stack tersebut berfungsi untuk membakar biogas yang berlebih dan berperan sebagai pengatur tekanan. Selain tersalurkan pada flare stack, biogas yang dihasilkan di LESARCSTR akan tersalurkan ke gas holder (Gambar 13). Gas holder berupa penyimpan gas drum
25
floatingyang berfungsi sebagai penyangga antara reaktor dengan mesin pembakar biogas. Pada penyimpan gas, terdapat arrestor nyala api dan keran pengatur tekanan.Dari gas holder, biogas yang bertekanan akan ditarik untuk memasuki mesin gas (gas engine) atau pembakar gas melalui blower. Alat-alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16. Mesin gas berfungsi untuk menghasilkan listrik yang dapat digunakan sendiri atau disalurkan ke PLN. Sementara, pembakar gas berfungsi untuk menghasilkan energi panas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar boiler sehingga biomassa kelapa sawit dapat digunakan untuk keperluan lain (KIS Group 2012).
Gambar 12. Flare stack
Gambar 14. Blower
Gambar 13. Gas holder(KIS Group 2012)
Gambar 15. Mesin gas
Gambar 16. Pembakar gas
4.3.2. Teknologi PT AES AgriVerde Indonesia Inti teknologi khusus dari PT AES AgriVerde Indonesia adalah penggunaan biodigester dan cover lagoon untuk pengolahan limbah anaerobiknya. Penggunaan biodigester lebih dipilih untuk menangani limbah pada sistem manajemen limbah dari peternakan, sedangkan cover lagoon digunakan untuk menangani limbah cair pabrik kelapa sawit (AES AgriVerde Ltd. 2006). Kedua teknologi di atas lebih dikenal dengan istilah Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) dan teknologi AgriVerde Lagoon DigesterTM (Alternative Energy Corporation 2012). Batasan sistem proyek pengembangan teknologi yang dilakukan oleh PT AES adalah bagian pengolahan limbah cair secara anaerobik hingga penangkapan dan pemanfaatan gas metana.Prinsip dari sistem PT AES adalah perbaikan sistem manajemen lagoon. Cover lagoon diinstalasi sebagai perbaikan kolam anaerobik terbuka yang sudah ada. Batasan dan skema paketteknologi yang disediakan oleh PT AES Agriverde Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada paket teknologi PTAES, proses pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit menggunakan teknologi dan fasilitas yang sudah ada pada PKS, kecuali sistem pengolahan anaerobiknya. Seperti
26
yang telah dijelaskan pada Bab Tinjauan Pustaka, pengolahan LCPKS diawali dengan fat pit untuk penangkapan minyak yang masih terbawa pada limbah. Setelah itu, limbah cair dengan suhu tinggi akan memasuki cooling pond untuk penurunan suhu. Dengan suhu mesofil (mendekati suhu ruang), limbah cair memasuki sistem anaerobik. Biodigester anaerobik pada teknologi PT AES berupa lagoon yang telah ditutup menggunakan plastik HDPE. Sebelum ditutup dengan HDPE, bagian bawah lagoon diberi suatu dasar geomembran (Gambar 17). Geomembran berfungsi untuk mencegah kontaminasi air tanah oleh limbah cair pabrik karena sifatnya adalah waterproof. Setelah dilakukan proses penutupan, cover lagoon berperan sebagai biodigester anaerobik. Biogas yang dihasilkan dari proses anaerobik akan tersimpan di dalamcover lagoon, kemudian disalurkan melalui pipa-pipa paralon menuju tempat penyimpanan gas. Kondisi biodigester tersebut dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17. Dasar geomembran
Gambar 18. Cover lagoon dan pipa penyalur gas (Alternative Energy Corporation 2012)
Limbah cair yang masuk ke dalam biodigester anaerobik akan menghasilkan biogas. Biogas akan disalurkan keluar lagoon untuk dimanfaatkan. Sebelum dimanfaatkan, biogas yang dihasilkan akan ditarik menggunakan blower sehingga memasuki bagian moisture removal. Hal tersebut dilakukan karena biogas yang digunakan untuk energi harus memiliki kadar metana tertentu. Biogas akan melewati indikator aliran. Indikator aliran berfungsi untuk monitoring data, pengendalian, serta pemindahan. Biogas yang telah melewati bagian indikator akan siap untuk dimanfaatkan. Pada paket teknologi yang disediakan, terdapat enam bagian subsistem sebagai opsi perlakuan (Lampiran 2). Pertama, biogas dialirkan pada sistem flare. Sistem flare merupakan sistem penghancuran gas metanamenjadi karbon dioksida. Hal tersebut umumnya dilakukan apabila indikator aliran menunjukkan adanya biogas yang berlebih. Selain itu, aplikasi flaring dilakukan untuk memperkecil potensi pemanasan global karena karbon dioksida mempunyai potensi merusak lebih kecil 21 kali dibandingkan dengangas metana (EPA 2010).Kedua, biogas akan dialirkan pada mesin gas (gas engine) yang menghasilkan listrik. Ketiga, biogas akan dilewatkan pada boiler uap untuk menghasilkan uap panas. Keempat, biogas digunakan untuk produksi hidrogen. Kelima, biogas dibotolkan menjadi energi terbarukan dalam bentuk gas metana. Keenam, biogas akan dilewatkan pada pipa gas. Dari keenam jenis subsistem di atas, pemanfaatan biogas yang diprioritaskan adalah pemanfaatan pertama hingga ketiga (Soesanto 2012). Pada pemanfaatan gas metana untuk menghasilkan listrik, pengolahan limbah cair anaerobik dilakukan melalui tahap produksi biogas menggunakan cover lagoon, dilanjutkan dengan transmisi biogas ke scrubber. Pada scrubber, kandungan gas yang tidak bermanfaat didestruksi sehingga kadar gas metana pada biogas mencapai standar untuk dimanfaatkan atau dibakar. Biogas yang telah melewati scrubber akan disalurkan ke mesin gas menghasilkan listrik yang akan dialirkan ke
27
penggunaan internal ataupun ditransmisikan ke PLN yang bekerja sama dengan PKS (Soesanto 2012). Pemanfaatan untuk menghasilkan energi listrik tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.
G ambar 19. Sistem mesin biogas untuk menghasilkan listrik (Soesanto 2012) Selain biogas, limbah cair (efluen) yang dihasilkan dari proses anaerobik akan disalurkan ke lagoon fakultatif 1 dan 2 milik PKS yang bersangkutan, atau dengan kolam aerobik. Efluen akhir dari proses pengolahan limbah cair tersebut akan disalurkan ke badan air atau digunakan untuk keperluan land application.
4.3.3. Teknologi PT Karya Mas Energi Inti teknologi yang disediakan oleh PT Karya Mas Energi sama dengan teknologi yang disediakan oleh PT AES AgriVerde, yaitu penggunaan cover lagoon atau anaerobic pond capped system. Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan di antara kedua teknologi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada batasan teknologi yang ditawarkan oleh PT Karya Mas Energi (KME) pada Gambar 20. PT KME menyediakan paket teknologi yang lebih kompleks dibandingkan dengan PT AES. Batasan proyeknyamencakup sistem penanganan limbah, pemanfaatan biogas melalui peralatan pembakar untuk produksi energi terbarukan atau untuk didestruksi menggunakan flare, pembuangan lumpur, serta pengeluaran akhir dari efluen LCPKS yang sudah diolah ke lahan ataupun ke badan air.
28
Gambar 20. Batasan teknologi yang disediakan PT Karya Mas Energi (UNFCCC 2012) Pada batasan proyek tersebut, PT Karya Mas Energi memiliki beberapa produk dan jasa. Produknya berupa pabrik biogas bioflow anaerobik, monitoring dan kontrol proses, pencatatan data, sistem distribusi biogas, sistem penanganan biogas, dan penggunaan biogas untuk panas dan energi. Sementara, layanan yang diberikan adalah jasa inisiator dan pengembang proyek serta jasa kontraktor EPC biogas dari limbah cair pabrik kelapa sawit (Wiryawan 2012). Skema teknis teknologi keseluruhan yang disediakan oleh PT Karya Mas Energi dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada skema tersebut, terlihat rangkaian peralatan proses yang ada pada paket teknologi konversi gas metana menjadi energi. Bagian pertama adalah bagian subsistem pengumpanan LCPKS dari pretreatment yang dilakukan oleh PKS. Pada subsistem tersebut, terdapat pompa umpan yang mengalirkan raw LCPKS yang telah melalui kolam pendingin dan kolam pencampur. Raw LCPKS langsung dialirkan ke bagian cover lagoon(Gambar 21). Pemilihan sistem cover lagoon pada teknologi PT KME didasari dengan adanya beberapa keuntungan dibanding sistem termofil, antara lain sensitivitas terhadap bahan toksik cukup rendah, biaya operasional lebih rendah, serta pengendalian suhunya tidak terlalu sulit (Gerardi 2003 diacu dalam Wiryawan 2012). Di dalam cover lagoon, terjadi proses dekomposisi anaerobik dengan dibantu oleh mekanisme pengadukan bioflow diffuser (Gambar 22) untuk memastikan substrat seragam dan kontak mikroorganisme berjalan dengan baik, tanpa adanya endapan lumpur berlebih di dasar.
Gambar 21. Cover lagoon
Gambar 22. Bioflow diffuser(Wiryawan 2012)
Cover lagoon terhubung dengan subsistem penanganan gas dan sistem sludge sisa.Biogas yang dihasilkan akan dialirkan menggunakan blower memasuki H 2 S scrubber. Kandungan H 2 S pada
29
biogas dihancurkan. Setelah itu, biogas akan dialirkan menggunakan blower ke flare dan ke pengering biogas. Dari cover lagoon, terdapat juga aliran blower yang diarahkan langsung ke flareuntuk mendestruksi biogas yang berlebih. Hal ini dikendalikan menggunakan sistem monitoring reaktor dan kontrol distribusi biogas secara otomatis. Pada pengering biogas, terdapat juga kontrol pengeringan untuk menjaga kondisi pengeringan yang tepat sehingga diperoleh kadar gas metana yang cukup pada biogas untuk dimanfaatkan sebagai energi. Menggunakan blower, biogas hasil pengeringan disalurkan ke unit pemanfaatan biogas yaitu bagian generator set biogas. Biogas menjadi bahan bakar penggerak generator set sehingga dihasillkan energi listrik. Peralatan yang digunakan pada subsistem tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. Terkait dengan lanjutan proses anaerobik, PT Karya Mas Energi menyediakan pompa lumpur dan pompa pembuangan limbah cair yang telah diolah. Lumpur sisadialirkan ke suatu sludge bed milik PKS penerima teknologi. Dari fasilitas tersebut, akan disediakan pompa dewatering untuk mengurangi kadar air pada lumpur. Lumpur yang telah diproses akan melalui pembuangan akhir. Pembuangan atau pemanfaatan akhir merupakan tanggung jawab PKS penerima teknologi. Pompa pembuangan limbah cair yang telah diolah berfungsi untuk mengambil air reklamasi. Pembuangan atau pemanfaatannya menjadi tanggung jawab PKS juga(Wiryawan 2012). Proses pembuatan cover lagoon diawali dengan proses retrofitting untuk pembentukan dasar yang rata dengan sisi yang miring, dilanjutkan dengan pemasangan dasar geomembran (water proof liner) untuk mencegah kontaminasi air tanah. Proses retrofitting dapat dilihat pada Gambar 23, sedangkan geomembran pada dasar lagoon dapat dilihat pada Gambar 24. Setelah itu, dilakukan proses pengelasan HDPE untuk bagian penutup lagoon. Dengan demikian, akan dihasilkan suatu lagoon anaerobik yang tertutup.
Gambar 23. Retrofitting lagoon
Gambar 24. Geomembran (Wiryawan 2012)
Karakteristik sistem yang disediakan untuk kapasitas PKS yang berbeda dapat dilihat pada pada Tabel 3.Kapasitas PKS secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu ukuran 30 ton TBS/jam untuk ukuran kecil, 45 ton TBS/jam untuk ukuran menengah, dan 60 ton TBS/jam untuk ukuran besar. Untuk setiap ukuran, terdapat beberapa parameter yang berbeda. Laju desain biogas akan semakin besar, disesuaikan dengan laju volume limbah cair yang dihasilkan dari proses yang lebih besar. Dengan laju desain tersebut, diestimasi akan diperoleh biogas 500-815 Nm3 pada ukuran kecil, 8151.000 pada ukuran sedang, dan 1.000-1.320 untuk ukuran sedang setiap jamnya. Energi yang diperoleh pun menjadi bervariasi karena kandungan gas metana dalam biogas tetap sama, yaitu 5565%. Dari energi yang ada, akan diperoleh listrik maksimal sebesar 1 MW untuk skala kecil, 1,5 MW
30
untuk skala menengah, dan 2 MW untuk skala besar.Dalam berbagai ukuran tersebut, reduksi BOD ataupun COD tetap sama yaitu diestimasi sebesar 90% (Wiryawan 2012). Tabel 3. Karakteristik sistem biogas milik PT Karya Mas Energi Parameter 30 ton TBS/ jam 45 ton TBS/jam 60 ton TBS/ jam 3 Laju desain biogas (m /jam) 20 30 40 Reduksi BOD/COD (%) 90 90 90 3 Produksi biogas perkiraan (Nm /jam) 500-815 815-1.000 1.000-1.320 Persentase metana (%) 55-65% 55-65% 55-65% Energi ekuivalen (MJ/jam) 4.204-6.852 6.852-8.400 8.400-11.088 Potensi listrik perkiraan (kWe) 1.000 1.500 2.000 Sumber : Wiryawan (2012)
4.4. PERBANDINGAN TEKNOLOGI BERDASARKAN ASPEK TEKNIS Berdasarkan aspek teknis, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang dapat ditemukan dari teknologi-teknologi yang disediakan oleh penyedia teknologi tersebut, selain dari gambaran umum teknologi seperti yang telah dipaparkan pada Subbab Gambaran Umum Teknologi yang Digunakan. Aspek ini mencakup beberapa halyaituskala, bioreaktor limbah cair anaerobik, kompleksitas, waktu pengolahan, suhu proses, kebutuhan lahan, reduksi beban pencemaran limbah, biogas yang dihasilkan, dan listrik yang dihasilkan.Ringkasan ulasan perbandingan berdasarkan aspek teknis dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Perbandingan teknologi berdasarkan aspek teknis Teknologi Parameter PT KIS PT AES PT KME 1. Skala (ton TBS/jam) a. 30 √ √ b. 45 √ √ √ c. 60 √ √ √ d. > 60 √ Keterangan : Dominan pada 60 Lebih adaptif Dominan pada 45 2. Bioreaktor a.CSTR √ b.UASB √ √ c.SMAT √ d.Cover Lagoon √ √ e.Fluidized Bed Reactor Dominan Cover Selalu Cover Dominan CSTR Keterangan : Lagoon untuk Lagoon untuk untuk LCPKS LCPKS LCPKS
31
Tabel 4. Perbandingan teknologi berdasarkan aspek teknis (lanjutan) Teknologi Parameter PT KIS PT AES PT KME 3. Kompleksitas alat a. Pretreatment - Filter/Screen √ - Fat pit √ - Tangki ekualisasi √ √ √ - Cooling pond/tower √ - DAF √ b.Anaerobik - Reaktor √ √ √ - Pengaduk √ √ √ - Peralatan pengaman dan √ √ √ monitoring c.Sekunder - Clarifier √ - Tangki aerasi/kolam aerob √ d.Tersier - Klorinasi/deklorinasi √ - Sand filter - Karbon aktif √ e.Penanganan Biogas - flare √ √ √ - H 2 S scrubber √ - moisture removal √ √ - gas holder √ √ √ - gas engine √ √ √ - gas boiler √ √ √ - produksi hidrogen √ - bottling √ - transmisi √ f. Penanganan Lumpur √ √ Pengadukan secara Pemanfaatan biogas Pengadukan dengan Keterangan: mekanis berupa opsi bioflow diffuser 4. Waktu Pengolahan atau Retensi (hari) a. 15-30 √ b. 30-60 √ √ c. 60-90 5. Suhu proses a. termofil √ b. mesofil √ √ √ c. kryofil Keterangan : 45-60oC; 27-40oC 28-32 oC 28-32 oC
32
Tabel 4. Perbandingan teknologi berdasarkan aspek teknis (lanjutan) Teknologi Parameter PT KIS PT AES PT KME 6. Kebutuhan lahan a. Luasan - besar √ √ - kecil √ b. Untuk instalasi - gunakan yang ada √ √ - bangun yang baru √ 7. Reduksi beban pencemaran limbah (%) a. 85 √ √ √ b. 87 √ √ √ c. 90 √ √ √ Keterangan: ≥ 85% Rata-rata 87% Umumnya ≤ 90% 8. Biogas yang dihasilkan a. Volume per m3 LCPKS (m3) - < 25 √ √ - 25-30 √ √ √ - > 30 √ b. Persentase CH 4 (%) - 55-60 √ - 60-65 √ √ √ - 65-70 √ CH 4 = CH 4 = CH 4 = Keterangan: 16,8-19,6 m3/m3 14,3-20,3 m3/m3 12,0-17,5m3/m3 9. Listrik yang dihasilkan (MWh) a. Potensi -1 √ √ √ - 1,5 √ √ √ -2 √ √ √ b. Studi kasus -<1 √ - 1-1,5 √ - > 1,5 √ PKS 60 ton PKS 50 ton PKS 45 ton Keterangan: TBS/jam TBS/jam TBS/jam
4.4.1. Skala Persamaan karakteristik terlihat dari teknologi yang disediakan oleh ketiga penyedia teknologi pada aspek skala atau kapasitas produksi PKS yang akan memanfaatkan teknologi untuk pengolahan limbah cairnya. Ketiga perusahaan tersebut memiliki kemampuan adaptasi terhadap kapasitas PKS yang menggunakan teknologinya dalam hal pembangunan instalasi alat. Umumnya, instalasi PKS
33
pengolahan biogas didesain untuk PKS dengan kapasitas 30, 45, atau 60 ton TBS/jam. Kapasitas tersebut merupakan kapasitas umum pabrik kelapa sawit, yang mewakili masing-masing bagian skalakecil, sedang, dan besar. Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa proses alih teknologi dari ketiga penyedia teknologi dapat berjalan baik karena PKS penerima teknologi tidak perlu mengubah skala produksi yang sudah ditetapkan dan dilaksanakan oleh perusahaan. Akan tetapi, untuk pelaksanaannya, PT KIS Indonesia lebih banyak memiliki proyek pada kapasitas 60 ton TBS/jam. Satu proyek, yaitu proyek di Bengkalis, Riau, diinstalasi pada PKS berkapasitas 45 ton TBS/jam. Akan tetapi, PKS tersebut memiliki rencana pengembangan skala menjadi 75 ton TBS/jam sehingga pembuatan bioreaktor dan mesin lainnya diinstalasi menggunakan kapasitas pengolahan yang sesuai untuk PKS 75 ton TBS/jam. Menurut pimpinan PT KIS, pada skala 45 ton TBS/jam, analisis finansial menunjukkan kondisi yang layak dengan keuntungan yang rendah dan pada skala 30 ton TBS/jam menunjukkan hasil yang tidak layak. Pada PT AES AgriVerde, kecenderungan penggunaan skalanya lebih fleksibel dibandingkan dengan teknologi lainnya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip teknologinya yaitu perbaikan sistem kolam yang sudah ada. Dengan demikian, teknologi tersebut tidak terlalu mempermasalahkan skala PKS yang menggunakan teknologinya. Kondisi tersebut menunjukkan kemudahan penerimaan teknologi yang disediakan dari PT AES. Akan tetapi, sejauh ini proyek milik PT AES berada di kisaran skala PKS 30 ton TBS/jam hingga 60 ton TBS/jam. Teknologi PT Karya Mas Energi sudah diaplikasikan pada proyek PKS Tandun dan PKS Sei Tapung. Pada saat proyek mulai dijalankan, PKS Tandun memiliki kapasitas 35 ton TBS/jam (Firman 2012). Akan tetapi pada kunjungan yang telah dilakukan oleh Suprihatinet al. (2012a) pada bulan Agustus, dijelaskan bahwa kapasitas PKS Tandun adalah 45 ton TBS/jam. Menurut UNFCCC (2012), kapasitas produksi aktual pada PKS Tandun adalah 40 ton TBS/jam. Akan tetapi, pabrik tersebut memiliki potensi kapasitas maksimal 45 ton TBS/jam. Pabrik kelapa sawit yang menjadi sasaran proyek dalam analisis ini adalah PKS di Provinsi Lampung. Kebanyakan PKS di Lampung beroperasi pada 45 ton TBS/jam, seperti yang telah dijelaskan pada Subbab Kondisi Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung. Oleh karena itu, meskipun ketiganya mampu menyediakan teknologi dengan kapasitas yang fleksibel, pemakaian teknologi PT KIS kurang tepat dibandingkan teknologi lainnya. Hal ini disebabkan oleh hubungan skala dengan keuntungan finansial yang didapat. Penggunaan teknologi PT AES dan PT KME kemungkinan besar lebih cocok diterapkan jika dipertimbangkan berdasarkan skala atau kapasitas produksi. Hal ini dikarenakan sistem teknologi yang ditawarkan lebih fleksibel dan sudah cukup terbukti berhasil pada skala 45 ton TBS/jam.
4.4.2. BioreaktorLimbah Cair Anaerobik PT KISIndonesia memiliki beberapa pilihan teknologi anaerobik yaitu CSTR, UASBR, dan SMAT seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kecenderungan penggunaan pada PKS adalah CSTR. Di lain pihak,PTAES Indonesiamemiliki teknologi UASB dan cover lagoon. Akan tetapi, pada proyek di PKS, selalu digunakan bioreaktor dalam bentuk cover lagoon (AgriVerde Lagoon DigesterTM). Di lain pihak, PT Karya Mas Energi menggunakan cover lagoon atau anaerobic pond capped system. Ditinjau dari karakteristik bioreaktornya, terdapat kelebihan dan kekurangan dari masingmasing teknologi yang ditawarkan. Teknologi PT KIS dengan CSTR dapat diterapkan dalam kondisi mesofil ataupun termofil. Hal ini menyebabkan keunggulan dalam pengaplikasiannya. Seperti yang telah dijelaskan, kondisi pengoperasian termofil memperkecil waktu retensi karena laju pertumbuhan bakteri termofil lebih cepat dibandingkan dengan laju bakteri mesofil. Hal ini menguntungkan karena
34
produksi biogas dapat diperoleh dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan suhu mesofil. Selain itu, kondisi termofil akan menyebabkan keberadaan mikroorganisme patogen pada limbah lebih sedikit, degradasi asam lemak rantai panjang lebih baik, dan residu pembentukan biomassa (sludge) lebih rendah dibandingkan dengan kondisi mesofil (Wellinger 1999). Kerugiannya adalah kebutuhan energi yang lebih besar untuk pengoperasiannya. Apabila CSTR yang digunakan menggunakan suhu mesofilik, teknologi pengolahan anaerobik tetap lebih menguntungkan dibandingkan sistem lainnya. Hal ini dikarenakan adanya pengendalian proses yang lebih pasti dalam tangki digester dibandingkan dengan sistem lagoon tertutup. Selain itu, teknologi PT KIS cenderung lebih baik karena memakai sistem tangki yang memakai recycling sludge.Dampaknya, efektivitas degradasi substrat menjadi metana dapat terjamin lebih baik. Selain itu, aplikasinya menggunakan agitator well-oriented(sentral dan lateral).Keuntungan dari adanya agitator adalah terciptanya kondisi substrat yang homogen dan pemecahan kerak (scum) yang terbentuk pada tangki (Lars Enviro Private Ltd. 2012). Oleh karena itu, reaktor CSTRcenderung menghasilkan rendemen biogas yang lebih tinggi.Dibandingkan dengan teknologi cover lagoon, teknologi CSTR lebih baik karena tidak terjadi endapan yang bisa menurunkan volume biogas yang dihasilkan. Pada teknologi cover lagoon milik PT AES dan PT KME, terdapat keuntungan dalam hal kebutuhan energi. Teknologi cover lagoon tidak membutuhkan energi yang besar karena reaksi berlangsung pada suhu ruang. Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan. Pertama, kemungkinan endapan pada cover lagoon cukup besar sehingga dapat menyebabkan ruang untuk biogas yang dihasilkan lebih rendah. Meskipun dilengkapi dengan mekanisme pengadukan bioflow diffuser pada teknologi PT KME, tetap terdapat kemungkinan penghambatan dan pengecilan ruang untuk penampungan biogas.Kedua, terdapat kerentanan kebocoran pada teknologi cover lagoonkarena menggunakan plastik HDPE.Plastik yang digunakan cukup luas, sehingga saat terdeteksi adanya kebocoran dari monitor, cukup sulit ditemukan bagian plastik yang mengalami kebocoran. Berdasarkan aspek bioreaktor anaerobik, pilihan penggunaan teknologi PT KIS lebih baik karena banyak keunggulan yang ditawarkan, terkait dengan karakteristik limbah cair pada PKS Lampung. Seperti halnya LCPKS lain, LCPKS Lampung juga memiliki bahan karbon organik yang tinggi, ditandai dengan rata-rata COD yang mencapai41.000-50.250 mg/L dan TSS yang mencapai 42.533-54.500 mg/L (Sarono et al. 2012). Dari nilai kandungan tersebut, kandungan TSS pada LCPKS Lampung cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata. Hal ini dapat menyebabkan endapan lumpur yang tebal jika menggunakan sistem cover lagoon sehingga proses konversi dari LCPKS ke gas metana dapat menurun sehingga energi akhir yang dihasilkan pun cukup rendah atau berfluktuatif.
4.4.3. Kompleksitas Alat Kompleksitas alat merupakan parameter yang terkait dengan kelengkapan peralatan dalam sistem serta tingkat kecanggihan dari peralatan tersebut. Dilihat dari kompleksitas alat yang tersedia, teknologi PT KIS memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua penyedia teknologi lainnya. Terdapat peralatan untuk pretreatment yang lengkap, reaktor anaerobik, pengolahan sekunder an tersier, penanganan biogas, serta penanganan lumpur yang dihasilkan. Hal tersebutjuga memberikan keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan teknologi PT KIS adalah tingkat efisiensi dan efektivitas kerja proses yang cenderung lebih tinggi. Selain itu, keamanan dalam pengoperasian lebih terjamin dengan adanya peralatan pengaman.Adanya integrasi dari pretreatmenthingga penanganan lumpur membuat proses dapat dikendalikan secara komprehensif sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi. Kerugian yang diperoleh terkait
35
dengan kendala sumber daya manusia yang ada pada PKS penerima teknologi. Jika sumber daya manusia yang ada kurang kompeten, maka operasi dan pemeliharaan kurang terjamin dengan baik. Seandainya terjadi masalah dalam pengoperasian, akan dibutuhkan biaya yang lebih besar dan keterampilan yang tinggi. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap penyedia tekonologi akan terjadi. Kompleksitas tersebut dapat menyebabkan kurangnya ketertarikan pihak penerima teknologi, terutama jika penguasaan keterampilan sumber daya manusianya sedang atau rendah. Teknologi PT AES merupakan teknologi yang paling sederhana dalam hal kompleksitas. Hal ini terlihat dari batasan proyek yang dilakukan. PT AES hanya menangani bagian pengolahan anaerobik. Namun, sebelum cover lagoon, terdapat suatu kolam condotioning yang berfungsi seagai kolam ekualisasi. Proses pada cover lagoon pun cukup mudah karena pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi pengolahan PKS sebelum menggunakan teknologi konversi PT AES. Kompleksitas pada teknologi PT AES terlihat pada penanganan dan pemanfaatan biogas. Akan tetapi, hal tersebut merupakan opsi yang dapat dipilih dan ditentukan sendiri oleh PKS pengguna teknologi. Teknologi PT KME memiliki inti yang sama dengan teknologi PT AES, tetapi lebih kompleks. Teknologi PT KME menyediakan paket yang dimulai dari pengumpanan LCPKS, pengolahan anaerobik, penanganan biogas, dan pompa-pompa untuk penanganan lumpur akhir.Selain itu, tersedia monitor otomatis sehingga pelaksanaan operasi dan pemeliharaannya lebih mudah. Perbedaan lain dari teknologi PT AES dan PT KME adalah jumlah flare yang digunakan. PT AES cenderung memakai dua flare (Soesanto 2012), sedangkan PT KME cenderung hanyamenggunakan satu flare.Perbedaan tersebut terkait dengan penghancuran biogas berlebih yang berdampak pada reduksi emisi yang lebih baik. Seperti yang telah dijelaskan pada Subbab Kondisi Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit di Provinsi Lampung, menurut Sarono et al. (2012), PKS Lampung merupakan PKS dengan skala menengah yang memiliki manajemen lingkungan yang terbatas. Tenaga kerja yang ada cukup sedikit, memiliki pengalaman kerja rendah hingga sedang dengan latar belakang pendidikan SLTA, serta berada di bawah koordinasi bagian produksi. Hal tersebut berimplikasi pada pemilihan teknologi berdasarkan kompleksitasnya. Kompleksitas tinggi yang ditawarkan oleh PT KIS kurang cocok untuk diaplikasikan pada PKS Lampung yang hanya berkapasitas sedang. Selain itu, kondisi tenaga kerja bagian lingkungan kurang tepat untuk menangani teknologi yang sangat kompleks. Terlebih lagi, jika terjadi masalah pada salah satu komponen alat dalam paket teknologi. Kesalahan perbaikan dapat memperparah kondisi. Oleh karena itu, teknologi PT AES dan PT KME lebih menarik untuk diaplikasikan karena kesederhanaannya. Jika dibandingkan antara keduanya, penggunaan teknologi PT KME terlihat lebih baik karena terdapat scrubber dan monitoring atau kontrol yang lebih lengkap. Masalah yang mungkin kerap timbul seperti masalah kebocoran dan pengendapan dapat diatasi dengan lebih baik dengan menggunakan fasilitas monitoring tersebut.
4.4.4. Waktu Pengolahan (Waktu Startup, Waktu Retensi, Waktu Mixing) Waktu pengolahan perlu diperhatikan karena umumnya PKS mengharapkan produk dapat diperoleh pada waktu yang lebih singkat dengan konsentrasi yang tinggi. Hal ini menunjukkan efisiensi yang lebih baik.Teknologi PT KIS membutuhkan waktu untuk startup selama 20 hari.Waktu tersebut dibutuhkan untuk langkah aklimatisasi, yaitu pengadaptasian substrat pada reaktor sehingga bakteri yang terdapat pada LCPKS dapat tumbuh dengan baik dan siap untuk melakukan metabolisme sel dan proses dekomposisi. Waktu retensi (HRT) yang diperlukan oleh LESAR-CSTR seperti waktu retensi CSTR pada umumnya yaitu sekitar 15-30 hari (Khanal 2008).TeknologiPT AES memiliki waktu retensi yang sama dengan PT KME, yaitu selama 50 hari (40-60 hari). Waktu retensitersebut sama dengan waktu retensi kolam terbuka.
36
Waktu retensi terkait dengan kondisi operasi yang diperlukan untuk menghasilkan biogas.Cover lagoon umumnya memiliki suhu yang lebih rendah (sekitar 28oC) daripada suhu pada tangki digester (CSTR) sehingga aktivitas bakteri metanogen lebih rendah. Oleh karena itu, produksi gas maksimum diperoleh pada waktu yang lebih lambat dibandingkan dengan menggunakan tangki digester. Untuk keperluan mixing, waktu yang diperlukan pada teknologi PT KIS merupakan bagian dari waktu retensi pada bioreaktor. Hal ini dikarenakan agitator sentral dan lateral tersedia di bagian reaktor. Pada teknologi PT KME, waktu yang diperlukan untuk mixing menggunakan sistem bioflow diffuser adalah 20 menit/jam dengan cara melakukan injeksi metana. Berdasarkan keterangan yang diperoleh pada PKS Lampung, waktu retensi bervariasi dari 5070 hari. Hal ini menunjukkan waktu retensi pada cover lagoon tidak berbeda dari sistem konvensional. Oleh karena itu, jika dilihat dari waktu retensinya, teknologi PT KIS lebih menarik karena dapat mengurangi waktu retensi sekitar 25-30hari dari waktu retensi yang diperlukan pada penggunaan teknologi cover lagoon.
4.4.5. Suhu Proses Bagian suhu berkaitan dengan paramater waktu. PT KIS memakai suhu mesofil dan termofil, umumnya sekitar 35-55oC. Suhu mesofil berkisar antara 27-40oC, sedangkan suhu termofil berkisar antara 45-60oC. PTAES dan PT KME memakai suhu ruang (28-32oC). Dari suhu proses tersebut, keuntungan yang diperoleh menggunakan teknologi PT KIS adalah seperti pada penjelasan parameter waktu, yaitu lebih cepat waktu retensinya. Selain itu, produksi biogas mencapai optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hambali et al. (2008) bahwa kondisi proses untuk menghasilkan metana melalui proses pengolahan anaerobik adalah suhu 35oC dengan menggunakan agitasi.Suhu yang terlalu rendah akan menghambat produksi biogas. Jika dilihat dari dampak terhadap produksi biogas, teknologi PT KIS lebih baik untuk diterapkan. Akan tetapi, jika dilihat dari konsumsi energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan biogas, teknologi PT KIS kurang baik diterapkan. Kondisi tersebut diakibatkan oleh adanya kebutuhan untuk menghasilkan energi panas yang meningkatkan suhu proses. Diperlukan pengendalian yang lebih ketat untuk menjaga kondisi yang stabil dan konstan.
4.4.6. Kebutuhan Lahan Kebutuhan lahan merupakan suatu parameter penting yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan suatu investasi berbentuk bangunan atau peralatan yang membutuhkan luasan yang besar. Parameter ini terkait dengan penggunaan lahan kosong atau pembukaan lahan dari pemanfaatan yang lain. Teknologi PT KIS menggunakan sistem tangki sehingga luasan lahan yang dibutuhkan tidak terlalu luas. Lahan yang dibutuhkan pada aplikasi teknologi PT KIS sekitar 80 m x 80 m untuk skala PKS 60 ton TBS/jam. Lahan untuk kapasitas PKS 45 ton TBS/jam sebesar 70 m x 70 m. Sementara, untuk kapasitas 30 ton TBS/jam dibutuhkan lahan seluas 65 m x 65 m (KIS Group 2012).Di lain pihak, kebutuhan lahan untuk teknologi PTAES dan PT KME dapat lebih bervariasi, tergantung pada luasan lahan milik PKS atau luasan kolam yang sudah dimiliki oleh PKS. Umumnya, satu lagoon membutuhkan luasan lahan sekitar 110 m x 50 m dengan kedalaman 6,5 m untuk kapasitas olah 24.000 m3 LCPKS. Dikaji dari pengalaman PT KME di proyek Tandun, untuk PKS berkapasitas 45 ton TBS/jam, diperlukan duacover lagoon. Oleh karena itu, jika dilihat sekilas dari perspektif kebutuhan lahan, teknologi yang ditawarkan oleh PT KIS lebih menarik.
37
Akan tetapi, hal lain yang perlu diperhatikan dari masalah kebutuhan lahan adalah keadaan lahan milik PKS yang akan menerima teknologi, ataupun cara investasi bangunan dan peralatan. PKS Lampung memiliki luasan kolam yang berbeda-beda sesuai dengan kapasitas produksi CPO. Selain memiliki kolam-kolam pengolahan, PKS tersebut memiliki kolam cadangan untuk keperluan lonjakan LCPKS. Di samping itu, masing-masing PKS telah memiliki lahan cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan pengolahan limbah. Oleh karena itu, ketiga teknologi dapat diaplikasikan. Terkait dengan cara investasi bangunan dan peralatan, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Teknologi PT KIS menyediakan peralatan untuk keseluruhan sistem penanganan LCPKS, dimulai dari pretreatment hingga proses akhir. Oleh karena itu, jika teknologi PT KIS digunakan, perlu dilakukan instalasi dari awal. Fasilitas kolam-kolam yang sudah tersedia tidak digunakan lagi. Jika lahan kosong yang diperlukan untuk investasi kurang, dapat dilakukan konversi kolam menjadi lahan untuk instalasi. Kondisi tersebut memerlukan penanganan seperti penimbunan lahan serta pemancangan yang menambah biaya karena kondisi tanahnya yang gembur atau cukup lembek. Sebaliknya, dalam investasi teknologi PT AES dan PT KME, tidak diperlukan adanya konversi lahan secara besar-besaran. Kolam-kolam yang ada pada pengolahan LCPKS saat ini dapat digunakan. Konversi yang perlu dilakukan hanya berupa retrofitting yaitu pengubahan bentuk kolam menjadi lebih teratur dengan permukaan sisi yang miring. Penambahan bukaan lahan untuk kolam dilakukan jika satu kolam tidak mencukupi.
4.4.7. Reduksi Beban Pencemaran Limbah Proyek biogas untuk energi dari LCPKS tetap diharapkan menghasilkan performansi yang baik pada reduksi beban pencemaran limbah. Hal ini merupakan sasaran teknis yang terkait langsung dengan masalah lingkungan. Reduksi beban pencemaran yang lebih besar lebih menarik untuk diterapkan karena selain mendapatkan energi, kewajiban PKS untuk menjaga lingkungan sekitar pabrik dapat terpenuhi dengan lebih baik. Teknologi PT KIS dengan sistem pengolahan LCPKS terintegrasi mampu mereduksi BOD dan COD hingga 85% atau lebih.BOD influen LCPKS sebesar 30.000 mg/L direduksi menjadi kurang dari 100 mg/L. Nilai tersebut menunjukkan besarnya reduksi sebesar 99,7%. Minyak dan lemak yang terdapat pada influen sebanyak 4.000-10.000 mg/L berkurang hingga mencapai kurang dari 50 mg/L (KIS Group 2012). Teknologi PT AES menghasilkan rata-rata reduksi COD sebesar 87%. Umumnya, reduksi COD bervariasi dari 68-96% (Soesanto 2012). Sementara,tingkat reduksi BOD/COD dapat mencapai 90% pada teknologi PT KME. Dikaji dari studi kasus,COD awal sebanyak 55.000-58.000 mg/Ldapat direduksi menjadi 700 mg/L, atau setara dengan reduksi 98,7%.(Wiryawan 2012). Berdasarkan keterangan di atas, reduksi beban pencemaran limbah merupakan suatu parameter yang dapat berubah-ubah dengan rata-rata efisiensi reduksi 85% atau lebih. Perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh laju pembebanan limbah, kualitas limbah, serta kondisi mikroorganisme dalam reaktor, baik dalam tangki CSTR ataupun cover lagoon. Ketiga teknologi memiliki performansi yang cukup baik dan tidak berbeda secara signifikan. Namun, jika dikaji berdasarkan jenis bioreaktornya, tangki CSTR seharusnya memiliki kecenderungan efisiensi yang lebih besar, terkait dengan stabilitas kondisi prosesnya.
4.4.8. Biogas yang Dihasilkan Banyaknya biogas yang dihasilkan menjadi perhatian dari penggunaan teknologi pengolahan limbah cair untuk energi karena gas metana yang terkandung di dalamnya akan digunakan sebagai
38
sumber energi. Selain metana, terdapat gas-gas pengotor lain pada biogas yaitu karbon dioksida, hidrogen sulfida, nitrogen, oksigen, hidrogen, dan air. Menurut KIS Group (2012), teknologi PT KIS menghasilkan biogas sekitar 28 m3/m3 LCPKS yang diolah.Persentase metana pada biogas yang dihasilkan adalah sekitar 60-70% sehingga rata-rata gas metana yang dihasilkan adalah 16,8-19,6 m3/m3 LCPKS yang diolah. Teknologi PT AES menghasilkan biogas sekitar 20 m3/ton TBS yang diproses. Berdasarkan studi kasus yang dilakukan oleh PT AES, 1 ton TBS yang diolah akan menghasilkan rata-rata LCPKS sebanyak 0,63 m3. Dengan demikian, biogas yang dihasilkan mencapai 31,7 m3 biogas/m3 LCPKS yang diolah.Namun, jika dilakukan perhitungan dengan rata-rata LCPKS di Lampung 0,826 m3/ton TBS, biogas yang dihasilkan setara dengan 24,2m3 biogas/m3 LCPKS. Kandungan rata-rata gas metana di dalam biogas adalah 62%, berkisar antara 59-64% (Soesanto 2012). Jadi, rata-rata kadar gas metana yang dihasilkan dari teknologi PT AES adalah 14,3-20,3m3/m3 LCPKS yang diolah. Biogas yang dihasilkan pada teknologi PT KME sebesar 815-1.000 m3/jam pada skala PKS 45 ton TBS/jam (Wiryawan 2012). Nilai ini setara dengan 18,1-22,2 m3/ton TBS yang diproses. Dengan menggunakan konversi 0,826 m3LCPKS/ton TBS, biogas yang dihasilkan teknologi PT KME sebanyak 21,9-26,9 m3/m3LCPKS yang diolah. Persentase metana dalam biogas sebesar 55-65%. Oleh sebab itu, gas metana yang dihasilkan sekitar 12,0-17,5 m3/m3 LCPKS yang diolah. Dikaji dari biogas yang dihasilkan dari 1 m3 LCPKS, diperoleh hasil yang terbesar pada teknologi PT KIS sebesar 28 m3,PT AES sebesar24,2-31,7m3, diikuti dengan PT KME sebesar 21,926,9 m3. Berdasarkan gas metana yang dihasilkan dari masing-masing teknologi, teknologi PT KIS cenderung menghasilkan gas metana yang terbesar yaitu 16,8-19,6m3/m3 LCPKS, teknologi PT AES menghasilkan metana sebesar14,3-20,3 m3/m3 LCPKS, sedangkan teknologi PT KME menghasilkan sekitar 12,0-17,5 m3/m3 LCPKS.Persentase gas metana yang terbesar pun dihasilkan pada penggunaan teknologi PT KIS.
4.4.9. Listrik yang Dihasilkan Jumlah listrik yang dihasilkan akan bergantung pada jumlah biogas yang dihasilkan dari proses anaerobik. Energi yang terkandung pada 1 m3 biogas adalah 2 kWh. Selain volume biogas yang ditangkap, energi listrik yang dihasilkan akan bergantung juga pada efisiensi peralatan atau mesin konversi yang digunakan. Berdasarkan hasil kajian, telah diketahui potensi pembangkitan listrik dari masing-masing teknologi yang dikaji. TeknologiPT KIS memiliki potensi pembangkitan listrik sampai 2 MW pada PKS 60 ton TBS/jam, 1,5 MW pada PKS 45 ton/jam, dan 1 MW pada PKS 30 ton TBS/jam.PT AESdan PT KME juga memiliki potensi listrik yang sama (Firman 2012). Akan tetapi, terdapat beberapa perbedaan hasil pada contoh proyek yang dikaji dari masingmasing teknologi.PT KIS pada proyek di PT Umbul Mas Wisesa mampu menghasilkan energi listrik sebesar 1,82 MWh per jam. PT AES pada proyek di PT Perkebunan Milano memiliki potensi sebesar 1,36 MWh per jam. Di sisi lain,PT KME di proyek Tandun mampu menghasilkan listrik sekitar0,97 MWh per jam. Perolehan nilai-nilai tersebut merupakan nilai nominal, dengan asumsi seluruh biogas yang ditangkap digunakan untuk menghasilkan energi listrik. Perbedaan dari nilai tersebut dipengaruhi juga oleh skala proyek. Proyek PT KIS tersebut dilakukan pada PKS berkapasitas 65ton TBS/jam. Proyek PT AES di PT Perkebunan Milano dilakukan pada produksi rata-rata sekitar 50 ton TBS/jam. Proyek PT KME di PKS Tandun dilakukan pada skala PKS 35 ton TBS/jam. Rata-rata kapasitas olah PKS di Provinsi Lampung adalah 45 ton TBS/jam. Dengan demikian, energi listrik yang dihasilkan dari masing-masing teknologi dapat diestimasi melalui perbandingan
39
skala. Teknologi PT KIS berdasarkan performansi pada studi kasus akan menghasilkan listrik sebesar 1,26 MWh per jam jika diterapkan pada PKS 45 ton TBS/jam. Teknologi PT AES akan menghasilkan 1,22 MWh per jam, sedangkan teknologi PT KME akan menghasilkan energi listrik sebesar 1,25 MWh per jam. Akan tetapi, hasilnya akan berbeda jika dibandingkan dengan perhitungan pada Subbab Perbandingan Teknologi Berdasarkan Aspek Lingkungan, bagian pembahasan reduksi emisi gas rumah kaca. Pada perhitungan tersebut diperoleh hasil perhitungan energi listrik pada aplikasi teknologi PT KIS, PT AES, PT KME secara berturut-turut 1,45 MWh; 1,25 MWh; dan 1,26 MWh per jam. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi pengolahan LCPKS di Lampung serta performansi dari masing-masing teknologi.
4.5. PERBANDINGAN LINGKUNGAN
TEKNOLOGI
BERDASARKAN
ASPEK
Aspek teknis pada suatu teknologi akan berdampak pada aspek lingkungan. Secara umum, proses pengolahan anaerobik yang diikuti dengan penangkapan dan pemanfaatan gas metana akan menurunkan beban pencemaran limbah serta menghasilkan energi. Hal ini sudah diulas pada Subbab Perbandingan Teknologi Berdasarkan Aspek Teknis. Aspek lingkungan lain yang ditimbulkan dari teknologi konversi gas metana menjadi energi listrik adalah reduksi emisi gas rumah kaca, substitusi pemakaian bahan bakar fosil, serta beberapa manfaat lainnya.
4.5.1. Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca Penangkapan gas metana dan pemanfaatannya dapat mereduksi emisi gas rumah kaca ke lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, ketiga teknologi yang ada menggunakan mekanisme CDM (Clean Development Mechanism). CDM merupakan salah satu dari tiga mekanisme fleksibel yang terdapat pada Protokol Kyoto. CDM menggunakan CER (Certified Emission Reductions) sebagai bentuk kerja sama antara negara Annex I (negara maju) dengan negara-negara non-Annex I yaitu negara berkembang (Wongsapai 2011). Protokol Kyoto I memberlakukan mekanisme CDM dari tahun 2008 hingga2012. Protokol Kyoto akan dilanjutkan sesuai dengan Paket Durban tahun 2011. Akan tetapi, belum ada kesepakatan mengenai periode pelaksanaan, yaitu dari tahun 2013 sampai 2017 atau 2013 sampai 2020. PT KIS Indonesia menggunakan mekanisme CDM, lebih tepatnya PoA-CDM (Program of Activities - Clean Development Mechanism).Program tersebut berlaku sampai tahun 2020. Pada pelaksanaan PoA-CDM, reduksi emisi yang dihasilkan dari pemakaian teknologi PT KIS dijual sebagai CER (Certified Emission Reductions). Estimasi reduksi emisi yang diperoleh menggunakan teknologi PT KIS pada kapasitas PKS60 ton TBS/jam adalah sekitar 40.000 ton CO 2 ekuivalen/tahun. Reduksi emisi untuk aplikasi yang pernah dilakukan di Papua Nugini sebanyak 34.724 ton CO 2 ekuivalen/tahun. Aplikasi tersebut dilakukan pada kapasitas PKS 45 ton TBS/jam (UNFCCC 2011a). Sementara, pada aplikasi di PT Umbul Mas Wisesa dengan kapasitas 65 ton TBS/jam, reduksi emisi yang dapat dilakukan adalah sebesar 51.399 ton CO 2 ekuivalen/tahun (UNFCCC 2011b). Berdasarkan perbandingan kapasitas olah dengan kapasitas olah rata-rata PKS di Provinsi Lampung, diperoleh informasi estimasi reduksi emisi gas rumah kaca menggunakan teknologi PT KIS sebesar 30.000 ton CO 2 ekuivalen/tahun untuk potensi umum, serta 34.724-35.584 ton CO 2 ekuivalen/tahun berdasarkan studi kasus. Teknologi PT AES menghasilkan rata-rata reduksi emisi 0,07 ton CO 2 ekuivalen/ton TBS yang diproses (Soesanto 2012). Sumber lain menyatakan bahwa emisi reduksi teknologi AES mencapai
40
36.000 ton CO 2 ekuivalen/tahun pada proyek di PKS Pinangawan Perkebunan Milano (Anonim 2008).PKS tersebut berkapasitas 50 ton TBS/jam. Namun, pada Project Design Document yang terkait, reduksi emisi pada PKS tersebut diestimasikan sebesar 33.390 ton CO 2 ekuivalen/tahun (UNFCCC 2008). Selain itu,PT AES AgriVerde Indonesia memiliki proyek di PT Tolan Tiga Indonesia dengan kapasitas PKS 60 ton TBS/jam, emisi reduksi mencapai 222.302 ton CO 2 ekuivalen selama tujuh tahun pelaksanaan proyek atau rata-rata per tahun sebesar 31.757 ton CO 2 ekuivalen (UNFCCC 2009). Berdasarkan data tersebut, jika proyek diaplikasikan pada skala 45 ton TBS/jam yang diproses, potensi reduksi emisi yang dapat diperoleh sebesar 32.400 ton CO 2 ekuivalen/tahun atau sekitar 23.818-30.051 ton CO 2 ekuivalen/tahun. Teknologi PT KME pada proyek PKS Tandun dengan kapasitas 45 ton TBS/jam menghasilkan reduksi emisi sebesar 19.495 ton CO 2 ekuivalen/tahun (UNFCCC 2012). Nilai tersebut dihasilkan berdasarkan estimasi emisi gas rumah kaca tiap tahun pada umur proyek 10 tahun. Estimasi reduksi yang diperoleh cukup kecil karena berada pada skala 35 ton TBS/jam. Pada skala 45 ton TBS/jam, emisi reduksi yang dapat dicapai sekitar 25.065 ton CO 2 ekuivalen/tahun. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Reduksi emisi gas rumah kaca pada aplikasi teknologi penangkapan metana Reduksi Emisi (tCO2e/tahun) Penyedia Proyek Teknologi Proyek PKS 45 ton TBS/jam PKS 60 ton TBS/jam (potensi) 40.000 30.000 PT KIS Papua Nugini 34.724 34.724 PT Umbul Mas Wisesa 51.399 35.584 PKS 50 ton TBS/jam (potensi) 36.000 32.400 PT AES PKS Pinang Awan 33.390 30.051 PT Tolan Tiga Indonesia 31.757 23.818 PT KME PKS Tandun 19.495 25.065 Pada kasus PKS di Provinsi Lampung, dapat diperhitungkan estimasi reduksi emisi rumah kaca melalui metode perhitungan AMS-III.H versi 16 mengenai recovery metana dari pengolahan limbah cair. Menurut Sarono et al. (2012), jumlah tandan buah segar yang diproses pada 13 PKS di Provinsi Lampung selama tahun 2011 sebanyak 1.553.908 ton. Limbah cair yang dihasilkan pada tahun tersebut adalah 1.286.595 m3, dengan nilai rata-rata COD 44.300 mg/L. COD total yang dihasilkan sebanyak 56.996 ton. Dengan nilai COD tersebut, dapat dihasilkan emisi sebanyak 149.136 ton CO 2 ekuivalen per tahun, dengan nilai efisiensi reduksi COD sebesar 70% pada sistem kolam (Suprihatin et al. 2012). Untuk proyek penangkapan gas metana, dapat diperoleh biogas sebanyak 34.738.065 m3. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan pada nilai konversi rata-rata sekitar 27 m3 biogas/ m3 LCPKS. Menurut Sixt (1994) diacu dalam Gumbira-Sa’id (1994), energi listrik yang dapat dihasilkan sebesar 2 kWh/m3 biogas sehingga listrik yang dihasilkan mencapai 69.476.130 kWh dalam setahun. Dengan penggunaan listrik 24 jam selama 360 hari dalam setahun, energi listrik yang dihasilkan per jam mencapai 8.041 kWh. Dengan adanya proyek penangkapan dan pemanfaatan gas metana (biogas), reduksi emisi dapat diperoleh. Emisi yang dihasilkan dari aktivitas proyek berupa emisi fugitif dan emisi karena flaring yang tidak sempurna dapat diestimasikan. Emisi fugitif dapat mencapai 24.621 ton CO 2 ekuivalen per tahun, dengan mengasumsikan reduksi COD pada proyek sebesar 85%. Di sisi lain, emisi karena flaring yang tidak sempurna mencapai 7.102 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Dengan demikian, emisi yang dihasilkan mencapai 31.723 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Reduksi emisi yang
41
diperoleh sebanyak 117.413 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Nilai reduksi tersebut diperoleh jika seluruh PKS di Provinsi Lampung menggunakan teknologi penangkapan dan konversi gas metana. Penjelasan tersebut dapat dilihat secara ringkas pada Gambar 25.
TBS 1.553.908 ton ..
PROSES PRODUKSI .
LCPKS 1.286.595 m3 56.996 tCOD
METHANE CAPTURE
.
TANPA METHANE CAPTURE
EMISI 149.136 tCO2e
EMISI INEFISIENSI 31.723 tCO2e
BIOGAS 34.738.065 m3
KONVERSI KE LISTRIK
LISTRIK 69.476.130 kWh ~ 8.041 kWh per jam Gambar 25. Perhitungan konversi gas metana dan emisi pada 13 PKS di Provinsi Lampung Reduksi emisi gas rumah kaca juga dapat diestimasikan untuk penggunaan teknologi dari masing-masing perusahaan penyedia teknologi dengan memperhatikan performansi masing-masing teknologi yang ada. Basis perhitungan menggunakan kapasitas olah rata-rata dari PKS di Provinsi Lampung yaitu sekitar 45 ton TBS/jam (kapasitas terpasang). Jumlah TBS yang diolah dalam setahun dapat mencapai 270.000 ton, dengan jumlah jam kerja 20 jam per hari selama 300 hari.LCPKS yang dihasilkan rata-rata 0,826 m3/ton TBS atau setara dengan 223.020 m3 LCPKS, dengan COD total 9.880 ton. Emisi dasar yang dihasilkan pada sistem penanganan LCPKS tanpa methane capture adalah 25.852 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Basis perhitungan ini akan digunakan sebagai dasar perhitungan pada Subbab Perbandingan Teknologi Berdasarkan Aspek Finansial. Pada penggunaan teknologi PT KIS, biogas yang dihasilkan sebanyak 6.244.560 m3 karena rata-rata konversi biogas sebesar 28 m3/ m3 LCPKS (KIS Group 2012). Dari biogas tersebut, total listrik yang dihasilkan selama satu tahun adalah 12.489.120 kWh. Diasumsikan generator digunakan 24 jam dalam sehari sehingga total jam operasi dalam satu tahun (360 hari) adalah 8.640 jam. Oleh karena itu, energi listrik yang dihasilkan setiap jam adalah sebesar 1.446 kWh. Pada pelaksanaan proyek, emisi fugitif yang dihasilkan sebesar 4.268 ton CO 2 ekuivalen dan emisi flaring1.231 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Emisi total yang dihasilkan sebesar 5.499 tonCO 2 ekuivalen. Pada penggunaan teknologi PT AES, biogas yang dihasilkan mencapai 5.400.000 m3karena biogas yang dihasilkan 20 m3/ton TBS (Soesanto 2012). Energi listrik yang dapat diperoleh dari biogas yang ditangkap sebesar 10.800.000 kWh selama satu tahun, atau 1.250 kWh per jam.Emisi inefisiensi yang dihasilkan dapat diasumsikan sama dengan PT KIS karena efisiensi reduksi COD
42
tidak berbeda secara signifikan. Emisi total dari aktivitas proyek sebesar 5.499 ton CO 2 ekuivalen setahun sehingga reduksi emisi mencapai 20.353 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Pada penggunaan teknologi PT KME, biogas yang dihasilkan mencapai sekitar 5.445.000 m3 karena konversinya sebesar 815-1.000 m3/jam pada skala PKS 45 ton TBS/jam (Wiryawan 2012). Listrik yang dihasilkan selama satu tahun sebesar 10.890.000 kWh. Oleh karena itu, energi listrik yang dihasilkan setiap jam adalah sebesar 1.260 kWh. Efisiensi reduksi COD tidak berbeda secara signifikan dengan teknologi lainnya, sehingga reduksi emisi diestimasikan sebesar 20.353 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Perhitungan dari aplikasi ketiga teknologi tersebut dapat dilihat pada Gambar 26.
PROSES PRODUKSI
TBS 270.000 ton ..
..
LCPKS 223.020 m3 9.880 tCOD
METHANE CAPTURE
TANPA METHANE CAPTURE
EMISI 25.852 tCO2e
EMISI INEFISIENSI 5.499 tCO2e
BIOGAS PT KIS : 6.244.560 m3 PT AES : 5.400.000 m3 PT KME : 5.445.000m3
KONVERSI KE LISTRIK
LISTRIK PT KIS : 1.446 kWH per jam PT AES : 1.250 kWh per jam PT KME : 1.260 kWh per jam Gambar 26.Perhitungan konversi gas metana dan emisi pada penggunaan teknologi PT KIS, PT AES, PT KME di PKS Lampung (kapasitas terpasang rata-rata) Berdasarkan penjelasan di atas, jika teknologi penangkapan gas metana dari LCPKS dan konversinya menjadi energi listrik diterapkan di seluruh PKS di Provinsi Lampung, reduksi emisi yang dihasilkan mencapai 117.413 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Sementara, jika digunakan perhitungan berdasarkan kapasitas terpasang rata-rata PKS di Provinsi Lampung, reduksi emisi yang dapat diperoleh dari pemanfaatan teknologi pada satu PKS mencapai 20.353 ton CO 2 ekuivalen per tahun. Reduksi emisi ini terbilang cukup besar. Jika dibandingkan dengan penyerapan karbon dioksida oleh tanaman, reduksi emisi pada aplikasi keseluruhan PKS di Provinsi Lampung setara dengan reduksi emisi karbon dioksida yang diperoleh dari 12.030 hektar hutan yang dikelola secara lestari (Sustainable Forest Management/SFM) per tahun. Hutan SFM tersebut memiliki kemampuan reduksi emisi karbon dioksida sebesar 9,76 tCO 2 /ha-tahun (Bahruni 2012). Dengan demikian, satu PKS degan kapasitas 45 ton TBS/jam dapat menghasilkan reduksi emisi yang setara dengan 2.085 ha hutan SFM. Di sisi lain, pohon atau tanaman yang memiliki kemampuan menyerap CO 2 terbesar adalah pohon trembesi (Samanea saman). Kemampuan penyerapannya adalah 28.448,39 kgCO 2 /pohon/tahun
43
(Santoso 2011). Dengan demikian, reduksi emisi yang diperoleh pada aplikasi teknologi di keseluruhan PKS di Provinsi Lampung setara dengan penyerapan karbon dioksida pada 4.127 pohon trembesi, atau 715 pohon trembesi pada aplikasi di satu PKS berkapasitas 45 ton TBS/jam.
4.5.2. Substitusi Bahan Bakar Fosil Penggunaan teknologi konversi gas metana menjadi energi listrik dapat menjadi substitusi penggunaan bahan bakar fosil di lingkungan PKS. Tingkat substitusi bahan bakar solar bergantung padajumlah biogas yang dihasilkan dari dekomposisi anaerobik. Menurut Wahyuni (2009), biogas memiliki nilai kesetaraan tertentu terhadap beberapa bahan bakar. Nilai kesetaraan tersebutdapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan nilai pada Tabel 6, setiap 1 m3 biogas setara dengan solar (bahan bakar diesel) sebanyak 0,52 L. Oleh sebab itu, dalam memproses 1 ton TBS (setara dengan 0,826 m3 LCPKS), dapat terjadi substitusi ataupun reduksi pemakaian bahan bakar diesel dengan memanfaatkan energi dari gas metana hasil pengolahan LCPKS. Tabel 6. Kesetaraan nilai biogas dengan beberapa bahan bakar Bahan Bakar Kesetaraan 1 m3 biogas Elpiji 0,46 kg Minyak tanah 0,62 L Solar 0,52 L Bensin 0,8 L Gas alam 1, 5 m3 Kayu Bakar 3,5 kg Sumber : Wahyuni (2009) Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, biogas yang dihasilkan melalui teknologi PT KIS sekitar 28 m3/m3 LCPKS yang diolah. Biogas yang dihasilkan dari teknologi PT AES sekitar 20 m3/ton TBS yang diproses atau 24,2-31,7 m3 biogas/m3 LCPKS yang diolah. Sementara, kandungan biogas yang dihasilkan pada penggunaan teknologi PT KME adalah 21,9-26,9 m3/m3 LCPKS yang diolah. Berdasarkan hal tersebut, jumlah solar yang dapat direduksi menggunakan teknologi PT KIS adalah sebesar 12,03 liter/ton TBS yang diproses atau setara dengan 541,35 L per jam produksi pada kapasitas 45 ton TBS. Jumlah solar yang dapat direduksi teknologi PT AES pada kapasitas 45 ton TBS/jam adalah sebesar 468,00 L selama satu jam atau rata-rata 10,40 liter/ton TBS yang diproses. Pada teknologi PT KME, reduksi penggunaan solar dapat mencapai 10,49 liter/ton TBS yang diproses atau sebanyak 471,90 L per jam produksi dengan kapasitas 45 ton TBS.
4.5.3. Manfaat Lain Manfaat lingkungan lainnyayang diperoleh dengan menggunakan teknologi penangkapan gas metana dan konversinya menjadi listrik adalah berkurangnya masalah polusi udara di sekitar lingkungan pabrik dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Sistem konvensional yang menggunakan kolam terbuka menyebabkan biogas yang memiliki kandungan H 2 S keluar ke atmosfer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya bau yang tidak sedap. Dengan teknologi penangkapan gas metana, reaktor ataupun kolam yang digunakan tertutup sehingga tidak ada bau tidak sedap yang mengganggu aktivitas ataupun kesehatan pekerja ataupun masyarakat di sekitar pabrik. Selain mengurangi beban pencemaran ke udara, penggunaan teknologi tersebut juga mengurangi beban pencemaran air tanah. Air limbah pada kolam terbuka umumnya dapat meresap ke
44
dalam tanah dan mengkontaminasi air tanah sehingga mutu air baku di lingkungan sekitar IPAL cukup rendah. Dengan penggunaan teknologi tangki CSTR serta tangki pengolahan sekunder dan tersier, kontaminasi air tanah dapat dicegah. Selain itu, penggunaan dasar geomembran dalam teknologi cover lagoon juga dapat mencegah meresapnya limbah cair ke tanah sehingga mutu air tanah dapat tetap terjaga dengan baik.Dengan manfaat-manfaat lingkungan yang telah dipaparkan, produk olahan sawit dapat menjadi produk ramah lingkungan. Dengan demikian, produk olahan sawit Indonesia dapat lebih diterima di pasar internasional, terutama di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini menganggap CPO Indonesia tidak ramah lingkungan.
4.6. PERBANDINGAN FINANSIAL
TEKNOLOGI
BERDASARKAN
ASPEK
Untuk melakukan suatu proses alih teknologi, diperlukan suatu pertimbangan finansial terkait keperluan investasi. Umumnya pada proses difusi teknologi terkait biogas, kebutuhan investasi cukup besar. Hal tersebut dapat menjadi hambatan dalam penerimaan teknologi di pihak perusahaan pemakai. Oleh karena itu, analisis menggunakan prefeasibility study perlu dilakukan. Analisis finansial akan memberikan hasil yang berbeda pada skala pengolahan yang berbeda. Umumnya, semakin besar kapasitas pengolahan, kelayakan aplikasi teknologi pengolahan biogas dapat tercapai. Langkah pertama dalam melakukan analisis finansial adalah mengetahui rincian biaya dari masing-masing teknologi. Rincian biaya dibuat dengan konversi data yang diperoleh berdasarkan nilai tukar US dolar terhadap rupiah sebesar Rp9.637,00. Nilai tukar uang tersebut adalah nilai tukar yang berlaku pada tanggal 28 Nopember 2012 sampai 4 Desember 2012 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 23/KM.11/2012 (Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI 2012). Pada penggunaan teknologi dari PT KIS Indonesia, rincian biaya investasi dapat dilihat pada Tabel 7. Rincian biaya tersebut dapat berubah, tergantung pada kondisi lahan yang disediakan PKS untuk instalasi mesin dan peralatan. Jika lahan bertekstur lunak, diperlukan investasi tambahan berupa pemasangan pancang sehingga biayanya lebih tinggi. Selain itu, harga-harga yang ada tergantung pada banyaknya permintaan dari suatu perusahaan. Semakin banyak permintaan instalasi teknologi konversi, biaya yang harus dikeluarkan per unit paket teknologi dapat menjadi lebih rendah. Selain biaya investasi, terdapat juga biaya operasi sebesar Rp2.746.550.000,00 tiap tahun untuk keperluan pembayaran empat tenaga kerja; bahan-bahan yang langsung habis; dan kontingensi. Rincian biaya investasi pada aplikasi teknologi PT AES AgriVerde, dapat dilihat pada Tabel 8.Rincian biaya dibuat berdasarkan adaptasi dari data pada proyek PT AES di PT Perkebunan Milano. Pada data yang diperoleh, belum terdapat investasi peralatan untuk konversi gas metana menjadi energi listrik, sehingga biaya investasi ditambahkan dengan biaya scrubber dan biaya mesin gas (gasengine). Biaya scrubber sebesar Rp18.552.500.000,00 untuk kapasitas biogas 645,67 m3/jam (Prasetyo 2010).Sementara, biaya instalasi mesin gas dan perlengkapannya menurut Khanal (2008) sebesar US$ 1.200-1.500 per kW. Diasumsikan daya mesin gas yang digunakan pada teknologi PT AES sebesar 1.250 kW sehingga biaya investasi mesin gas dan perlengkapannya sebesar Rp14.455.500.000,00. Dengan demikian, biaya investasi teknologi PT AES mencapai Rp37.030.056.854,00, dengan biaya operasi per tahun dalam aplikasi teknologi tersebut senilai Rp2.013.630.000,00. Di lain pihak, rincian biaya-biaya yang dibutuhkan pada proyek PKS Tandun milik PT Karya Mas Energi tidak diperoleh. Akan tetapi, diketahui biaya investasi sebesar US$ 3.120.000,00 di Tandun (UNFCCC 2012). Dengan menggunakan nilai tukar dolar sebesar Rp9.637,00 maka diketahui
45
biaya investasi sebesar Rp30.067.440.000,00. Biaya operasi yang dibutuhkan sebesar US$ 113.460,10 per tahun atau setara dengan Rp1.093.414.984,00 per tahun. Berdasarkan data-data biaya proyek pada Tabel 7 dan 8 serta keterangan mengenai proyek PT KME, biaya investasi terbesar adalah biaya pada teknologi PT AES, yaitu sebesar Rp37.030.056.854,00. Proyek dengan biaya investasi menengah adalah proyek PT KIS, yaitu sebesar Rp33.888.510.500,00. Proyek PT KME merupakan proyek dengan biaya investasi yang termurah, yaitu Rp30.067.440.000,00. Tabel 7.Rincian biaya investasi proyek biogas untuk energi oleh PT KIS Persentase (%) URAIAN BIAYA (Rp)
NO. A. 1. 2. 3.
Biaya Konstruksi Pekerjaan sipil/bangunan Lempeng logam dan material terkait Fabrikasi dan pemancangan
4.
Teknologi dan semua peralatan
5. 6.
Mesin gas, scrubber dan koneksi grid Mobil perusahaan Total Biaya Konstruksi
10.359.775.000
13,99 12,56 9,19 30,57
9.588.815.000 385.480.000
28,30 1,14
32.442.960.500
95,73
4.741.404.000 4.254.735.500 3.112.751.000
B.
Biaya CDM
963.700.000
2,84
C.
Biaya Konsultan PPA
481.850.000
1,42
TOTAL BIAYA INVESTASI PROYEK
NO.
33.888.510.500
100,00
Tabel 8. Rincian biaya investasi proyek biogas untuk energi oleh PT AES AgriVerde Persentase (%) URAIAN BIAYA (Rp) 242.440.472
0,65
1.074.020.217 70.347.979 26.121.728 799.169.952
2,90 0,19 0,07 2,16
Agitator, motor, pengapung, batas, pad Blower Alat monitoring Instalasi listrik Kontingensi, pengapalan, dan asuransi Peralatan lain (pagar, dll.) Persiapan lahan Scrubber Mesin gas
115.549.453 209.881.825 52.227.630 76.495.013 854.311.831 90.897.177 410.593.577 18.552.500.000 14.455.500.000
0,31 0,57 0,14 0,21 2,31 0,25 1,11 50,10 39,04
Total Biaya Peralatan
36.787.616.382
99,35
37.030.056.854
100,00
A.
Biaya Pengembangan
B. 1. 2. 3.
Biaya Asumsi Peralatan HDPE, tutup, tanggul, parit Flare, penyala, elektroda Flowmeter
4.
Pipa
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
TOTAL BIAYA
Sumber: UNFCCC (2008) dengan adaptasi Biaya investasi pada teknologi PT AES menjadi yang terbesar karena biaya scrubber dan mesin gas merupakan asumsi. Hal tersebut disebabkan oleh batasan proyek PT AES selama ini yang hanya berfokus pada bagian pengolahan anaerobik dan destruksi biogas. Pada pengolahan tersebut,
46
lagoon yang dipakai merupakan lagoon yang sudah ada. Oleh sebab itu, tanpa memperhitungkan harga scrubber dan mesin gas, investasinya hanya sebesar Rp4.022.056.854,00.Berbeda dengan PT AES, meskipun sama-sama menggunakan cover lagoon, batasan proyek PT KME lebih luas. Investasi mengenai flaring ataupun konversi ke energi listrik dari biogas yang dilengkapi dengan scrubber sudah merupakan proyek utuh. Di pihak lain, biaya investasi teknologi PT KIS lebih tinggi dari biaya investasi PT KME karena fasilitas yang dibangun merupakan suatu tangki biodigester, tidak memanfaatkan kolam yang sudah ada. Selain itu, batasan proyeknya lebih luas dan kompleks. Pada rincian biaya investasi PT KIS dan PT AES, persentase biaya scrubber dan mesin gas di antara keduanya berbeda cukup signifikan yaitu 28,30% dari keseluruhan biaya investasi untuk teknologi PT KIS (Tabel 7), dengan 89,14% dari biaya investasi pada teknologi PT AES (Tabel 8). Persentase pada PT KIS lebih kecil karena biaya investasi terbesar dikeluarkan untuk teknologi dan semua peralatan yang terkait dengan pretreatment, CSTR, pengolahan sekunder dan tersier serta penanganan lumpur. Di sisi lain, PT AES tidak mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk keperluan pengolahan anaerobik ataupun penanganan selain untuk biogas sehingga persentase biaya penanganan gas dari keseluruhan investasi menjadi tinggi. Terlebih lagi, harga scrubber dan mesin gas pada PT AES merupakan asumsi berdasarkan informasi yang diperoleh dari pustaka, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan nilai dari proyek yang sebenarnya. Pada penggunaan teknologi konversi gas metana menjadi energi listrik, terdapat manfaat secara finansial yang dapat diperoleh PKS penerima teknologi. Manfaat tersebut adalah keuntungan dari pemakaian atau penjualan energi listrik yang dihasilkan dan/atau dari implementasi mekanisme CDM melalui penjualan kredit karbon (CER). Dari dua jenis manfaat tersebut, dapat dibuat perhitungan yang diplotkan dalam tiga skenario. Skenario pertama dibuat untuk manfaat yang diperoleh hanya dengan penjualan listrik, skenario kedua dibuat untuk manfaat yang diperoleh dari penjualan CER, sedangkan skenario ketiga diperoleh dengan penjualan kedua produk tersebut.Ketiga skenario di atas dibuat dengan memperhatikan aspek teknis dan lingkungan dari masing-masing teknologi dalam periode satu tahun. Keuntungan secara finansial dapat diketahui dengan perhitungan mengggunakan cashflow dan analisis kriteria investasi. Cashflow atau laporan arus kas merupakan laporan keuangan yang memperlihatkan penerimaan kas dan pembayaran kas perusahaan selama periode waktu tertentu. Laporan ini berasal dari aktivitas operasi serta dari investasi dan pendanaan tanpa memperhitungkan penyusutan (Brealey et al. 2007). Dari masing-masing cashflow tersebut, dapat dilakukan proses diskonto untuk mengetahui nilai-nilai kriteria investasi. Proses diskonto adalah proses penghitungan nilai sekarang dari suatu nilai dengan melakukan konversi menggunakan nilai diskonto (discount rate) yang diberlakukan oleh bank pemerintah. Pada pengkajian ini, nilai diskonto yang digunakan sebesar 11,29%. Nilai tersebut merupakan nilai diskonto yang diberlakukan Bank Indonesia bagi bank komersial umum untuk pinjaman investasi pada bulan Oktober 2012 (Bank Indonesia 2012). Penilaian kriteria investasi yang dilakukan pada perusahaan umumnya berupa net present value (NPV) dan internal rate of return(IRR) karena dinilai lebih valid. Akan tetapi, pada analisis aspek finansial ini, dilakukan juga analisis menggunakan nilai net benefit-cost ratio (Net B/C), gross benefitcost ratio(Gross B/C)dan pay back period (PBP). Nilai net present value menunjukkan nilai sekarang dari penerimaan bersih selama umur proyek. Nilai internal rate of return memperlihatkan tingkat pengembalian. Nilai benefit cost ratio memperlihatkan perbandingan antara total penerimaan dengan total pengeluaran yang dilakukan. Nilai PBP menunjukkan waktu pengembalian investasi terjadi, yaitu pada saat keuntungan nilai sekarang sama dengan nol.
47
4.6.1. Manfaat dari Penjualan Listrik Cashflow untuk skenario pertama dilakukan untuk penerimaan berdasarkan penjualan listrik. Harga jual listrik yang berlaku di Indonesia dari sumber energi terbarukan yaitu biogas adalah senilai Rp975/kWh x F, dengan nilai F sebesar 1 untuk wilayah Sumatera. Nilai tersebut ditetapkan melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2012. Jumlah energi listrik yang diperhitungkan pada laporan arus kas ini berasal dari hasil perhitungan masing-masing teknologi pada sasaran proyek di Lampung yang telah dibahas (Gambar 26) dengan basis kapasitas olah PKS 45 ton TBS/jam. Laporan arus kas dapat dilihat pada Lampiran 5 untuk proyek milik PT KIS, Lampiran 6 untuk proyek milik PT AES, dan Lampiran 7 untuk proyek milik PT KME. Pada cashflow tersebut, terlihat adanya perbedaan antara ketiga teknologi yang ada. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan biaya yang diperlukan serta energi listrik yang dihasilkan. Teknologi PT KIS dengan biaya investasi menengah, memiliki nilai kumulatif cashflow yang menengah juga jika dibandingkan dengan dua teknologi lainnya, yaitu Rp60.456.990.000,00. Nilai kumulatif cashflow yang lebih rendah diperoleh pada teknologi PT AES dengan nilai Rp22.584.530.000,00. Perolehan nilai tersebutsangat kecil dibandingkan dengan kedua teknologi lainnya. Nilai tersebut dipengaruhi oleh biaya investasi yang terbesar dibandingkan teknologi lainnya. Di sisi lain, energi listrik yang dihasilkan justru lebih kecil dibandingkan teknologi lainnya, yaitu sebesar 1.250 kWh per jam, sedangkan teknologi PT KISsebesar 1.446 kWh dan PT KME 1.260 kWh per jam. Umur proyeknya pun lebih singkat dibandingkan dengan perusahaan lainnya, yaitu hanya tujuh tahun. Nilai kumulatif tertinggi diperoleh pada teknologi PT KME, sebesar Rp65.140.860.000,00. Meskipun energi listrik yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan teknologi PT KIS, biaya investasi teknologi PT KME lebih rendah Rp3.821.070.000,00 dibandingkan biaya investasi PT KIS. Biaya operasionalnya pun lebih rendah Rp1.653.140.000,00. Analisis kriteria investasi pada skenario pertamaumumnya menunjukkan bahwa ketiga teknologi layak diterapkan (Lampiran 14,15,16). Pertama, NPV yang dihasilkan dari semua perusahaan penyedia teknologi bernilai positif di batas akhir umur proyek.Artinya, ketiga proyek layak dikembangkan. Akan tetapi, jika dibandingkan, nilai NPV yang terbesar menunjukkan teknologi yang lebih baik dipilih untuk diterapkan. Teknologi PT KME merupakan teknologi yang lebih baik dipilih dengan nilai NPV Rp25.327.590.000,00. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai NPV PT KIS dengan perbedaan yang tidak terlalu mencolok. Nilai NPV PT KIS sebesar Rp21.004.520.000,00. Sementara, NPV pada proyek milik PT AES hanya sebesar Rp2.727.510.000,00. Kedua, nilai IRR akan menunjukkan bahwa suatu proyek layak dilaksanakan jika lebih besar atau sama dengan nilai discount rate. Ketiga teknologi memiliki nilai IRR yang lebih besar dari discount rate sehingga layak diterapkan. Nilai yang terbesar adalah nilai IRR dari PT KME sebesar 29,23%. Artinya, pengembalian setiap tahun dari proyek PT KME mencapai 29,23% dari biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR PT KIS sebesar 24,80%, lebih besar dari pada PT AES yang hanya bernilai 13,55%.Menurut Wongsapai (2011), untuk kasus di Thailand, teknologi CSTR untuk pengolahan limbah cair kelapa sawit dalam proyek biogas memiliki IRR sebesar 2,7-17,0 tanpa menggunakan CDM. Sementara, untuk penggunaan cover lagoon, IRR yang diperoleh tanpa menggunakan CDM sebesar 3,1-14,0. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa teknologi CSTR dari PT KIS memiliki potensi nilai IRR yang lebih besar daripada teknologi serupa yang dikembangkan di Thailand. Di sisi lain, teknologi cover lagoon dari PT KME juga memiliki potensi yang lebih tinggi, sedangkan cover lagoon dari PT AES memiliki potensi yang tidak jauh berbeda dengan cover lagoon yang ada di Thailand.
48
Ketiga, nilai perbandingan antara manfaat dan biaya melalui net B/C dan gross B/C menunjukkan bahwa teknologi PT KME tetap lebih baik digunakan karena memiliki nilai yang lebih tinggi daripada kedua teknologi lainnya yaitu nilai net B/CPT KME> PT KIS >PT AES sebesar 1,84 >1,62> 1,07. Sementara, nilai gross B/C PT KME, PT KIS, dan PT AES berturut-turut adalah 1,70; 1,62; dan 1,06. Kecenderungan nilainya tetap sama karena menggunakan discounted cashflow. Perbedaannya, nilai net B/C menunjukkan angka yang lebih jelas dan akurat. Nilai net B/C diperoleh dengan membandingkan arus kas bersih terhadap biaya investasi di awal. Sementara, gross B/C membandingkan akumulasi keseluruhan manfaat terhadap keseluruhan biaya. Menurut Soeharto (2002), metode penghitungan gross B/C merupakan metode penghitungan standar B/C. Akan tetapi, penggunaannya amat dikenal dalam mengevaluasi proyek-proyek untuk kepentingan umum atau sektor publik. Penekanannya ditujukan pada manfaat bagi kepentingan umum dan bukan keuntungan finansial perusahaan. Sementara, metode penghitungan net B/Clebih umum digunakan pada proyekproyek sektor swasta. Manfaat (benefit) umumnya berupa pendapatan yang telah dikurangi dengan biaya di luar biaya pertama, misalnya biaya operasional. Keempat, perbandingan berdasarkan penilaian pay back period (PBP). Semakin tinggi nilai PBP, semakin rendah kelayakan investasi suatu proyek. PBP PT KME merupakan PBP yang tercepat yaitu sekitar4,13 tahun. PBP PT AES sekitar 6,32 tahun dan PBP PT KIS sebesar 4,87 tahun. Berdasarkan nilai PBP tersebut, PT KME dan PT KIS menyediakan teknologi yang prospektif dikembangkan karena pengembalian biaya investasi dapat dicapai sebelum pertengahan umur proyek. Di lain pihak, teknologi PT AES kurang prospektif karena pengembalian investasinya dicapai menjelang akhir proyek.
4.6.2. Manfaat dari Penjualan CER Skenario kedua dibuat melalui cashflow dengan penerimaan yang hanya memperhitungkan penjualan CER. Hal tersebut umumnya diperoleh pada aplikasi penangkapan gas metana tanpa adanya konversi menjadi energi listrik. Harga jual CER yang digunakan dalam perhitungan ini adalah harga yang berlaku pada tanggal 30 Nopember 2012 sebesar €0,69 per tCO 2 (European Energy Exchange AG 2012). Dengan menggunakan data nilai tukar euro terhadap rupiah menurut Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI (2012) yaitu Rp12.461,80 per euro, harga CER adalah Rp8.598,64. Cashflow pada bagian ini dapat dilihat pada Lampiran 8, 9, dan 10. Pada skenario kedua ini, tidak diperhitungkan proporsi pembagian CER antara penyedia dan penerima teknologi. Pembagian CER dapat dilakukan pada saat negosiasi. Umumnya, pembagian dilakukan jika dalam pelaksanaan negosiasi, PKS yang bersangkutan menawar biaya investasi atau investasi dilakukan tidak hanya oleh PKS. Pembagian yang cukup umum dilakukan sebesar 30:70 atau 20:80 antara perusahaan penyedia teknologi dengan penerima teknologi, meskipun tidak semua perusahaan penyedia teknologi memberlakukannya. Pada pengkajian ini, diasumsikan keseluruhan CER didapat oleh pihak penginvestasi dan pengguna teknologi yaitu PKS. Keseluruhan nilai cashflow kumulatif dari ketiga teknologi bernilai negatif. Nilai tersebut menunjukkan kondisi yang tidak menghasilkan keuntungan (laba) bagi pengguna. Kecenderungan nilai negatif dapat terlihat dari net revenue setiap tahun dimana penjualan CER tidak mampu menutupi pengeluaran yang ada. Oleh sebab itu, kerugian terakumulasi hingga di akhir proyek. Nilai kumulatif dari teknologi PT KIS sebesar -Rp59.778.920.000,00; PT AES -Rp50.075.410.000,00; dan PT KME sebesar -Rp39.426.450.000,00. Dengan demikian, kerugian terkecil dapat diperoleh dengan mengaplikasikan teknologi PT KME. Sebaliknya, kerugian terbesar diperoleh saat menggunakan teknologi PT KIS.
49
Kondisi negatif di atas dapat berbeda, bergantung pada harga CER yang berlaku. Nilai CER pada akhir tahun 2012 cenderung kecil. Hal tersebut terkait dengan masa berlaku Protokol Kyoto yang sudah hampir berakhir. Meskipun ada kemungkinan perpanjangan proyek dan masih dapat dilakukan penjualan CER dari proyek yang sedang atau sudah beroperasi, nilai jualnya cenderung menurun.Dengan melakukan trial and error, dapat diketahui break even point (BEP), yaitu kondisi harga CER yang menghasilkan nilai cashflow kumulatif nol (tidak untung dan tidak rugi). Teknologi PT KIS akan mencapai BEP jika harga CER €26,88/ton CO 2 e; PT AES pada harga CER €33,6/ton CO 2 e; dan PT KME pada harga CER €17,97/ton CO 2 e. Pada analisis kriteria investasi, semua parameter menunjukkan bahwa proyek tidak layak dikembangkan jika manfaat finansial yang diperoleh hanya berasal dari penjualan CER (Lampiran 17,18,19). Semua nilai NPV bernilai negatif dengan kecenderungan kerugian terbesar diperoleh pada aplikasi teknologi PT KIS sebesar Rp59.778.920.000,00 dan kerugian terendah pada aplikasi teknologi PT KME sebesar Rp39.426.450.000,00 pada akhir proyek. Nilai IRR tidak dapat dihitung. Selain itu, net B/C bernilai nol, menunjukkan tidak adanya manfaat finansial yang diperoleh. Nilai gross B/Cpun bernilai kurang dari satu, menunjukkan manfaat yang diperoleh lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Bahkan, nilai pengembalian investasi proyek tidak diperoleh selama periode pelaksanaan proyek, yaitu PT KIS dan PT KME dengan periode proyek selama sepuluh tahun dan PT AES selama tujuh tahun.
4.6.3. Manfaat dari Penjualan Listrik dan CER Skenario ketiga merupakan arus kas yang dibuat dengan memperhatikan manfaat yang diperoleh baik dari penjualan dan/atau pemakaian listrik, serta penjualan CER. Skenario ini merupakan skenario yang paling mungkin dikembangkan oleh perusahaan pengguna teknologi penangkapan gas metana yang disertai dengan konversi menjadi energi listrik. Pada bagian ini, kecenderungan nilai kumulatif cashflow sama dengan skenario pertama karena nilai penjualan CER tidak berpengaruh secara signifikan. Nilai kumulatif cashflow proyek PT KIS, PT AES, dan PT KME secara berurutan sebesar Rp62.032.080.000,00 (Lampiran 11); Rp26.634.590.000,00 (Lampiran 12); dan Rp66.715.950.000,00 (Lampiran 13). Nilai-nilai tersebut menunjukkan manfaat secara finansial yang dapat diperoleh dalam penggunaan teknologi penangkapan dan konversi gas metana mencapai hampir dua kali lipat biaya investasi yang dikeluarkan, kecuali pada proyek PT AES. Pada penilaian kriteria investasi yang dapat dilihat pada Lampiran 20, 21, dan 22, terlihat bahwa keseluruhan proyek aplikasi teknologi dari ketiga perusahaan penyedia teknologi layak untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan adanya penjualan listrik dan CER yang dihasilkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada skenario pertama, dengan melakukan penjualan listrik pun, proyek dari ketiga perusahaan layak dikembangkan. Terlebih lagi, dengan adanya tambahan manfaat melalui penjualan CER meskipun tidak terlalu signifikan. Kecenderungan nilainya tetap sama yaitu proyek PT KME lebih layak dikembangkan dibandingkan dengan teknologi dari perusahaan penyedia lainnya. NPV PT KME mencapai Rp26.188.590.000,00; PT KIS sebesar Rp21.865.520.000,00; sedangkan NPV PT AES sebesar Rp3.387.260.000,00. Nilai IRR pada PT KME, PT KIS, dan PT AES secara berurutan 29,72%; 25,27%; dan 14,08%. Ketiga nilai tersebut setara dengan nilai IRR pada kasus pemanfaatan biogas dari LCPKS di Thailand yang menggunakan CDM, yaitu 7,2-42,0% untuk teknologi CSTR dan 10,730,0 untuk teknologi cover lagoon(Wongsapai 2011). Nilai net B/C dan gross B/C pun menunjukkan hasil yang baik, meskipun tidak terlalu berbeda secara signifikan dengan skenario pertama. Demikian pula dengan nilai PBP, yang secara umum menjadi lebih cepat. Perbandingan hasil kriteria investasi antara ketiga skenario dapat dilihat pada Tabel 9.
50
Tabel 9. Perbandingan penilaian kriteria investasi berdasarkan jenis penerimaan Kriteria Investasi Skenario Proyek Gross PBP penerimaan Teknologi NPV (Rp) IRR (%) Net B/C B/C (tahun) PT KIS 21.004.520.000 24,80 1,62 1,42 4,87 1. Listrik PT AES 2.727.510.000 13,55 1,07 1,06 6,32 PT KME 25.327.590.000 29,23 1,84 1,70 4,13 PT KIS -49.007.750.000 0 0,02 2. CER PT AES -45.770.670.000 0 0,01 PT KME -35.568.220.000 0 0,02 PT KIS 21.865.520.000 25,27 1,65 1,44 4,78 3. Listrik PT AES 3.387.260.000 14,08 1,09 1,07 6,18 dan CER PT KME 26.188.590.000 29,72 1,87 1,72 4,06
4.6.4. Manfaat dari Penurunan Bea Masuk pada Ekspor CPO ke Negara APEC Selain manfaat finansial yang diperoleh dari penjualan listrik dan CER, dapat diperoleh juga manfaat finansial jika CPO tergolong dalam kategori ramah lingkungan. Dengan kategori tersebut, ekspor ke negara-negara anggota APEC dapat memperoleh penurunan bea masuk. Di antara anggota APEC, negara-negara yang merupakan importir CPO dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Impor CPO dunia oleh negara anggota APEC tahun 2011 Negara Anggota APEC
Nilai Impor CPO (US$)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Malaysia 1.630.867.301 Singapura 434.114.218 Meksiko 398.467.390 Vietnam 188.935.120 Cina 95.260.804 Jepang 21.879.739 Korea Selatan 3.818.682 Rusia 1.448.657 Amerika Serikat 198.298 Kanada 51.946 Selandia Baru 48.420 Total 2.775.090.575 Sumber : United Nations Commodity Trade Statistics Database (IndexMundi 2012b) Dari antara negara-negara anggota APEC tersebut, negara yang menjadi importir CPO Indonesia adalah Jepang, Hongkong, Cina, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2010, ekspor CPO Indonesia yang terbesar adalah ekspor ke Malaysia. Sementara, pada perkembangannya, ekspor Indonesia yang terbesar pada tahun 2011 adalah ekspor ke India dan Cina. India tidak termasuk negara anggota APEC, sementara Cina merupakan negara APEC. Salah satu hambatan dalam ekspor CPO Indonesia umumnya dikenai bea masuk yang cukup besar di negara-
51
negara importir tersebut. Sebagai contoh, pada bulan September 2012, bea masuk CPO Indonesia mencapai 13,5%. Jika CPO Indonesia tergolong produk ramah lingkungan, bea masuk CPO Indonesia ke negara APEC dapat mencapai 0-5% (APEC 2012). Hal ini akan berdampak pada perolehan keuntungan secara finansial.Sebagai ilustrasi, dapat dilakukan penghitungan mengenai pengurangan bea masuk berdasarkan data ekspor CPO Indonesia. Data yang digunakan merupakan data ekspor CPO Indonesia tahun 2010, tetapi besaran bea masuk menggunakan asumsi sesuai data pada bulan September 2012. Hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai penurunan bea masuk berdasarkan data ekspor CPO Indonesia tahun 2010 Bea masuk (US$) Jumlah Nilai ekspor Negara Tujuan ekspor (ton)* (US$)* 13,5% 5% Penghematan 1. Jepang 7.408 5.869.000 792.315 293.450 498.865 2. Hongkong 52 55.000 7.425 2.750 4.675 3. Cina 108.827 93.832.000 12.667.320 4.691.600 7.975.720 4. Singapura 573.156 460.368.000 62.149.680 23.018.400 39.131.280 5. Malaysia 1.318.387 1.059.891.000 143.085.285 52.994.550 90.090.735 6. Vietnam 176.076 145.302.000 19.615.770 7.265.100 12.350.670 7. AS 3.000 2.750.000 371.250 137.500 233.750 Total 2.186.906 1.768.067.000 238.689.045 88.403.350 150.285.695 Sumber : *Badan Pusat Statistik (2011) Saat CPO Indonesia tidak termasuk produk ramah lingkungan, bea masuk total yang dikenakan adalah US$ 238.689.045. Di sisi lain, jika CPO Indonesia termasuk dalam kategori produk ramah lingkungan, bea masuk yang dikenakan hanya sekitar US$ 88.403.350, atau bahkan tidak ada bea masuk yang harus dibayarkan. Dengan demikian, penghematan yang dapat diperoleh sebesar US$150.285.695 – US$ 238.689.045. Penghematan ini dapat memacu pabrik-pabrik CPO Indonesia untuk meningkatkan produksinya.
4.7. KOMPONEN TEKNOLOGI DALAM PROSES ALIH TEKNOLOGI DARI PENYEDIA KE PENERIMA TEKNOLOGI Teknologi yang disediakan oleh penyedia teknologi membutuhkan proses alih teknologi untuk kelanjutan pengembangan teknologi oleh pihak penerima teknologi. Proses yang dilakukan oleh masing-masing pihak penyedia teknologi akan berbeda, bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan, atau berdasarkan kesepakatan dengan pihak penerima teknologi (PKS). Komponen teknologi yang terdiri atas perangkat keras (technoware), perangkat manusia (humanware), perangkat informasi (inforware), dan perangkat organisasi (orgaware) dari masing-masing penyedia teknologi perlu diperhatikan untuk keperluan proses alih teknologi tersebut. Pengkajian komponen-komponen tersebut dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 12.
Tabel 12. Komponen teknologi dalam proses alih teknologi dari perusahaan penyedia ke penerima teknologi Komponen Teknologi
PT KIS
PT AES
PT KME
52
1. Technoware a. Mesin manual b. Mesin bermotor
c. Mesin serbaguna
d. Mesin khusus
e. Mesin otomatis
f. Mesin berkomputer
g. Mesin terpadu 2. Humanware a. Jumlah (orang) b. Jabatan c. Kemampuan
d. Bentuk pelatihan
3. Inforware
blower
tangki ekualisasi, tangki penyangga, saringan penangkap minyak, menara pendingin, degassifier, MGF, CAT, EAT lamella clarifier, gas holder, tangki pengumpul buih flare stack
DAF, LESAR CSTR, mesin gas 4 manajer, ahli kimia, pekerja, operator mengoperasikan, mengeset, mereparasi, mereproduksi, mengadaptasi cara pengoperasian dan pemeliharaan rencana monitoring, data monitoring harian, penyimpanan data secara elektronik dan dokumen tertulis, manual pada keadaan mendesak
blower
blower,pompa untuk umpan dan lumpur,bioflow diffuser
kolam conditioning
H 2 S scrubber
moisture removal yang disertai indikator aliran, flare Agriverde Lagoon DigesterTM
pengering biogas, flare
(tidak diketahui) manajer, pekerja
8-12 manajer, operator, ahli mesin dan ahli elektro mengoperasikan, mengeset, mereparasi, mereproduksi
mengeset, mereparasi, mereproduksi
proses produksi biogas, penanganan limbah cair, safety monitoring data melalui detektor gas, pengiriman data dua kali sehari ke PT AES
generator, cover lagoon
sistem monitoring terkomputasi, perekaman data, know-how
Tabel 12. Komponen teknologi dalam proses alih teknologi dari perusahaan penyedia ke penerima teknologi (lanjutan)
53
Komponen Teknologi 4. Orgaware a. Struktur organisasi
b. Sistem kerja
c. Umur peralatan
PT KIS
PT AES
PT KME
dipimpin oleh country manager yang bertanggung jawab pada manajer pusat
dipimpin oleh country manager, pengembangan proyek ditangani oleh manajer pengembangan bisnis penanaman investasi dalam pengolahan anaerobik untuk destruksi metana dan/atau pemanfaatan biogas 7-10 tahun
dipimpin oleh direktur
penawaran dan penjualan alat, layanan pengembangan proyek CDM 10 tahun
layanan jasa sebagai inisiator dan pengembang proyek, jasa kontraktor untuk biogas 10 tahun
4.7.1. Perangkat Keras (Technoware) Perangkat keras berupa peralatan-peralatan yang disediakan oleh perusahaan penyedia teknologi untuk rangkaian proses pada batasan proyeknya. Komponen tersebut dilihat tingkat kecanggihan serta kompleksitasnya untuk menjadi bahan pertimbangan proses alih teknologi, disesuaikan dengan sumber daya yang ada di perusahaan penerima teknologi serta komponen teknologi lainnya yang disediakan oleh masing-masing perusahaan. Berdasarkan tingkat kecanggihannya, jenis mesin atau peralatan terbagi menjadi tujuh tingkatan yaitu mesin manual, mesin bermotor, mesin serbaguna, mesin khusus, mesin otomatis, mesin berkomputer, dan mesin terpadu (Harjanto 1996). PT KIS Indonesia memiliki perangkat keras untuk proses pretreatment, pengolahan anaerobik, pengolahan sekunder dan tersier, penanganan biogas, dan penanganan lumpur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peralatan tersebut berupa saringan dan penangkap minyak-lemak, tangki ekualisasi, penukar panas dan menara pendingin, tangki DAF, tangki penyangga, tangki pengumpul buih, LESAR-CSTR, degassifier, lamella clarifier, CAT, EAT, tempat penampung lumpur, MGF, flare stack, tangki penampung gas, mesin gas, dan blower.Penjelasan mengenai fungsi dari peralatanperalatan tersebut dapat dilihat pada Subbab Gambaran Umum Teknologi yang Digunakan. Mesin-mesin atau peralatan tersebut dapat dipilah berdasarkan tingkat kecanggihannya, seperti yang terlihat pada Tabel 12. Dalam teknologi PT KIS, tidak ditemukan adanya mesin manual. Mesin bermotor yang ada berupa blower. Dengan adanya motor, blower dapat berfungsi menarik atau menyedot gas yang dihasilkan. Mesin serbaguna yang dimiliki PT KIS adalah tangki ekualisasi, tangki penyangga, dan saringan. Tangki ekualisasi dan tangki penyangga sebenarnya memiliki fungsi yang hampir sama, yaitu menghomogenkan limbah cair yang akan masuk ke tahapan pengolahan selanjutnya. Keduanya memiliki bentuk dan jenis tangki yang sama sehingga dapat diketahui bahwa tangki tersebut dapat digunakan pada beragam keperluan. Sementara, saringan merupakan alat atau mesin yang dapat digunakan untuk menyaring beragam bahan. Mesin khusus yang ada berupa penangkap minyak, menara pendingin, degassifier, MGF, CAT, dan EAT. Mesin-mesin tersebut memiliki fungsi khusus sehingga memiliki fitur yang berbeda dengan peralatan atau mesin pada umumnya. Lamella clarifier,gas holder, dan tangki pengumpul buih merupakan mesin otomatis. Lamella clarifier memiliki desain sedemikian rupa sehingga lumpur pada limbah cair yang
54
memasukinya akan terendapkan karena pengaruh gravitasi. Gas holder termasuk ke dalam mesin otomatis karena gas holder yang dimiliki PT KIS merupakan jenis floating. Alat tersebut akan naikturun secara otomatis sesuai dengan volume biogas yang ditampung. Flare stack merupakan mesin yang berkomputer. Mesin ini terhubung dengan sistem komputasi yang memuat indikator aliran biogas serta analisis kandungannya. Flare secara langsung akan mendestruksi biogas yang berlebih sesuai sensor yang terdapat pada sistem komputasinya.Mesin terpadu yang terdapat dalam teknologi PT KIS adalah DAF, LESAR-CSTR, dan mesin gas. LESAR-CSTR sebagai inti pengolahan anaerobik terhubung dengan berbagai peralatan lainnya, memiliki sistem pengaduk mekanik (lateral dan sentral) serta memiliki sistem recycle lumpur biomassa. Di sisi lain, mesin gas termasuk ke dalam mesin terpadu karena memiliki bagian-bagian yang saling terintegrasi, seperti yang telah dijelaskan pada Bab Tinjauan Pustaka. PT AES AgriVerde Indonesia memiliki perangkat keras untuk pretreatment sederhana, pengolahan anaerobik dan penanganan biogas. Peralatan tersebut berupa kolam conditioning, AgriVerde Lagoon DigesterTM, blower, flare, peralatan penghilangan uap air yang disertai dengan indikator aliran. Dari mesin-mesin tersebut, terdapat mesin bermotor, mesin serbaguna, mesin otomatis, mesin berkomputer, dan mesin terpadu. Mesin bermotor pada teknologi ini sama dengan teknologi pada PT KIS yaitu blower. Mesin serbaguna yang ada adalah kolam conditioning. Kolam ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan konstruksi kolam lainnya. Hanya saja fungsinya lebih menyelaraskan karakteristik air limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Pada bagian mesin berkomputer, terdapat alat berupa moisture removalyang disertai indikator aliran. Terdapat sistem komputasi sehingga diperoleh informasi mengenai kandungan-kandungan dalam biogas yang dihasilkan.Informasi ini akan disalurkan ke bagian moisture removal sehingggaterjadi proses penghilangan uap air yang menghasilkan biogas dengan mutu yang lebih baik. Mesin terpadu dalam teknologi ini adalah cover lagooon. Reaktor dalam bentuk kolam tertutup tersebut terdiri atas geomembran, plastik HDPE penutup, pipa-pipa penyalur, serta sensor yang terhubung dengan bagian monitoring. Perangkat keras PT Karya Mas Energi terdiri atas pompa umpan, cover lagoon,bioflow diffuser, blower, H 2 S scrubber, pengering biogas, flare, generator, pompa lumpur, dan pompa dewatering. Blower dan pompa-pompa yang digunakan merupakan mesin bermotor. Selain itu, sistem pengadukannya juga merupakan sistem mesin bermotor. Peralatan ini akan menghasilkan gelombang yang berfungi sebagai pengaduk. Akan tetapi, gelombang akan dihasilkan pada saat petugas menekan sejenis tombol saklar. Mesin khusus pada teknologi PT KME adalah H 2 S scrubber yang fungsinya merupakan penghilangan atau penurunan kadar H 2 S pada biogas sehingga kandungan gas metana dalam biogas lebih tinggi dan biogas lebih aman digunakan dalam konversi menjadi listrik. Mesin berkomputer sama dengan teknologi lainnya yaitu flare. Mesin berkomputer lainnya yang ada pada teknologi PT KME adalah pengering biogas. Alat ini terhubung dengan monitor. Sementara, mesin terpadunya berupa cover lagoon dan generator. Jika dilihat secara keseluruhan pada Tabel 12, technoware pada teknologi PT KIS cenderung memiliki tingkat kecanggihan yang tinggi dengan kompleksitas yang tinggi juga. Kondisi tersebut perlu diimbangi dengan humanware yang berkompeten. Technoware pada teknologi PT AES cenderung bervariasi tingkat kecanggihannya dan memiliki kompleksitas yang rendah. Di sisi lain, technoware pada teknologi PT KME cukup banyak yang memiliki tingkat kecanggihan sedang atau rendah.
55
4.7.2. Perangkat Manusia (Humanware) Berdasarkan pembahasan sebelumnya, technoware dari ketiga penyedia teknologi umumnya tidak mengandung unsur mesin manual. Tingkat kecanggihan mesin yang ada berkisar dari sedang hingga tinggi. Oleh sebab itu, diperlukan humanware yang berkompeten untuk menjaga operasi tetap berjalan dengan baik. Jika ada masalah atau kerusakan, humanware yang ada diharapkan mampu mengatasinya dengan baik sehingga kerugian dapat diminimasi. Umumnya, masing-masing pihak penyedia teknologi menyediakan teknisi khusus di awal penggunaan teknologi. Kondisi tersebut umumnya berlangsung selama satu tahun. Proses alih teknologi yang dilakukan oleh PT KIS Indonesia adalah melalui empat tenaga kerja atau lebih yang umumnya bekerja di PKS selama enam bulan. Tenaga kerja tersebut akan bertugas dalam pemeliharaan dan pengendalian operasi serta pelatihan ke sumber daya manusia yang ada di PKS penerima teknologi. Setelah enam bulan, tenaga kerja tersebut akan kembali ke PT KIS, atau tetap bekerja di PKS tersebut sesuai kesepakatan dan permintaan. Jika tenaga kerja tersebut tetap dipertahankan di PKS, tanggungan biayanya menjadi urusan PKS yang bersangkutan. Tenaga kerja yang disediakan oleh PT KIS umumnya berupa operator, pekerja umum, tenaga kerja yang ahli di bidang kimia, serta seorang manajer. Jika dipilah berdasarkan tahapan kemampuan dalam humanware menurut Harjanto (1996), sumber daya manusia yang disediakan oleh PT KIS memiliki kemampuan mengoperasikan dan mengeset (operator dan pekerja), kemampuan mereparasi khususnya pada bidang kimia (ahli kimia), serta kemampuan mereproduksi dan mengadaptasi (manajer). Selain itu, PT KIS memberikan pelatihan kepada tenaga kerja lokal. Pelatihan yang diberikan hanya mengenai prosedur pengoperasian dan pemeliharaan. Tenaga kerja yang disediakan oleh PT AES umumnya tetap bekerja di bagian proyek pada PKS pengguna teknologi. Untuk periode proyek tujuh tahun, tenaga kerja tersebut dapat bekerja selama tiga kali periode proyek. Sementara, pada proyek sepuluh tahun, tenaga kerja yang disediakan hanya akan bekerja selama satu kali periode proyek. Tenaga kerja yang ditempatkan oleh PT AES umumnya memiliki kemampuan mengeset, mereparasi, dan mereproduksi. Tenaga kerja tersebut akan melakukan pengontrolan secara rutin dan melaporkan hasilnya pada manajer pengembangan di kantor pusat PT AES. Kemampuan mengoperasikan diberikan kepada tenaga kerja lokal yang telah mendapatkan pelatihan. Umumnya, tenaga kerja lokal yang mendapatkan pelatihan adalah staf bagian penanganan limbah dan manajer pabrik. Pelatihannya meliputi penjelasan mengenai proses produksi biogas secara biologi, penggarahan mengenai limbah cair, dan penjelasan mengenai keamanan dalam mengoperasikan, memelihara, dan menghadapi masalah atau kerusakan. Tenaga kerja yang disediakan oleh PT KME dalam proses alih teknologi bertugas melakukan pelatihan melalui kemampuan mereproduksi. Pelatihan yang diberikan adalah mengenai cara pengoperasian alat secara berkelanjutan (UNFCCC 2012). Kemampuan mereproduksi itu juga diperoleh dengan cara kerja sama dengan tenaga kerja lokal pada saat pengoperasian dan monitoring. Oleh sebab itu, kemampuan mengoperasikan, mengeset dan mereparasi juga tersedia. Tenaga kerja yang disediakan dari PT KME dapat berjumlah delapan hingga sepuluh orang yang terbagi dalam tiga shift. Tenaga kerja tersebut memiliki latar belakang teknik mesin atau teknik elektro. Pada proyek Tandun, jumlah tenaga kerja yang disediakan oleh PT KME adalah sekitar 12 orang dengan jumlah pekerja empat orang per shift. Empat orang tersebut terdiri atas seorang manajer dan tiga orang operator. Namun, jika kondisi idle, jumlah operator yang bertugas cukup dua orang saja.
56
4.7.3. Perangkat Informasi (Inforware) Dalam proses alih teknologi, komponen inforware termasuk komponen yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan proses. Ketersediaan informasi dari perusahaan penyedia teknologi ke perusahaan penerima teknologi mutlak diperlukan. Umumnya informasi mengenai pengolahan anaerobik hingga penangkapan gas metana dapat diperoleh dari project design documentdan monitoring report yang dikelola oleh UNFCCC dan dapat diakses oleh publik. Selain itu, informasiinformasi yang penting mengenai pelaksanaan proyek umumnya disampaikan melalui pelatihan. Namun, terdapat perangkat informasi lainnya yang diperlukan selama proses alih teknologi. Pada proses alih teknologi PT KIS, komponen informasi yang berkaitan dengan proses aplikasi teknologi dimonitoring, diarsipkan, dan dianalisis oleh tim operasional dari PT KIS, kemudian dilaporkan kepada tim manajemen pabrik. Tim manajemen dan tim operasional bertugas melakukan monitoring setiap hari dan mengontrol setiap hari terhadap perangkat informasi awal yang berupa rencana monitoring. Penyampaian adanya kendala dilaporkan oleh teknisi kepada manajer pabrik. Hasil data yang ada disimpan secara elektronik dan disimpan dalam suatu dokumen tertulis yang digunakan hingga dua tahun setelah umur proyek berakhir ataupun pada saat issuance CER yang terakhir untuk keperluan pelaporan ke Departemen Lingkungan. Perangkat informasi lainnya yang terdapat pada aplikasi teknologi PT KIS adalah manual mengenai keadaan mendesak. Di dalam manual tersebut, terdapat instruksi mengenai cara penanganan keadaan mendesak tersebut. Manual ini disebarkan kepada semua operator. Pengukuran juga dilakukan untuk memperoleh data masalah dan memastikan tidak adanya kebocoran gas metana dari penyimpan gas (UNFCCC 2011b). Pada aplikasi teknologi PT AES, terdapat monitoringdata biogas menggunakan detektor gas. Detektor gas tersebut terhubung dengan sistem penyimpanan informasi. Informasi yang diperoleh digunakan untuk mengendalikan proses. Seandainya terjadi masalah, dapat dilakukan koordinasi dari manajer pusat AES. Pengecekan data dilakukan secara periodik yaitu dua kali pengiriman data setiap hari. Data dilaporkan kepada manajer di kantor PT AESMedan, dan pada waktu yang sama dilakukan pengiriman data kepada kantor pusat PT AES di Jakarta. Dengan adanya koneksi jaringan informasi ini, kendala-kendala yang terkait dengan proyek dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Selain perangkat informasi tersebut, terdapat juga perangkat informasi di lokasi proyek terkait dengan masalah keamanan kerja. Pada aplikasi teknologi PT KME, perangkat informasi yang digunakan pada rangkaian alat berupa kontrol distribusi biogas, sistem monitoring reaktor, kontrol pengering dan kontrol scrubber secara komputasi.Data hasil monitoring dikumpulkan dan direkam. Rekaman data tersebut dijaga selama dua tahun.Selain adanya perangkat informasi untuk pengendalian, terdapat juga sistem komputasi yang terhubung dengan technoware, berfungsi sebagai pengatur parameter alarm. Dengan demikian, jika terjadi suatu masalah, tenaga kerja yang ada dapat segera mengetahuinya melalui alarm tersebut. Dalam proses alih teknologi, PT KME juga melakukan transfer know-how kepada PKS penerima teknologi (UNFCCC 2012).
4.7.4. Perangkat Organisasi (Orgaware) Perangkat organisasi lebih terkait pada manajemen dan hubungan yang terpadu dalam bentuk perangkat organisasi dan peraturan. Komponen ini mewadahi perangkat teknis, kemampuan sumber daya manusia, dan perangkat informasi. Perangkat organisasi yang diamati pada pengkajian ini adalah pengaturan struktur organisasi, sistem kerja, dan rata-rata umur peralatan yang digunakan pada proyek. Aspek mengenai kerugian atau keuntungan, biaya produksi dan persentase anggaran tidak
57
dibahas pada bagian ini karena sudah dibahas pada Subbab Perbandingan Teknologi Berdasarkan Aspek Finansial. PT KIS Indonesia dalam pengembangan proyeknya dipimpin oleh seorang country manager. Country manager ini bertanggung jawab pada proyek di negara yang bersangkutan. Dalam penerimaan suatu proyek untuk aplikasi teknologi, country manager akan memberi laporan kepada manajer pusat KIS Group di India. Di sisi lain, country manager akan mengatur pembagian sumber daya manusia untuk ditempatkan di proyek yang mulai dikembangkan. Sistem kerja dari PT KIS berupa penawaran dan penjualan alat dalam suatu paket teknologi kepada PKS calon penerima teknologi. Selain penjualan alat, PT KIS memberikan layanan teknologi berupa pengembangan proyek CDM “One Window”, terkait dengan solusi kunci berupa rencana bisnis dan evaluasi (studi kelayakan); desain; teknik, procurement dan konstruksi (EPC); operasi dan pemeliharaan (O&M); penyediaan mesin biogas dengan scrubber; CDM: PDD, validasi, registrasi, dan verifikasi; sertifikasi dan penjualan reduksi emisi (KIS Group 2012). Dalam proses alih teknologi tersebut, peralatan yang disediakan oleh PT KIS memiliki umur rata-rata 10 tahun. Peralatan tersebut disediakan oleh mitra kerja yang tergabung dalam KIS Group, salah satunya Lars Enviro Private Ltd. PT AES AgriVerde Indonesia dalam pengembangan proyeknya juga dipimpin oleh seorang country manager. Dalam hubungannnya dengan pihak PKS pengguna teknologi, manajer yang berhubungan langsung dalam menangani proyek adalah manajer pengembangan bisnis. Sistem kerja PT AES AgriVerde adalah penanaman investasi dalam pengolahan limbah cair kelapa sawit secara anaerobik yang diikuti dengan pendestruksian gas metana. PT AES cenderung menggunakan fasilitas kolam anaerobik PKS yang ada untuk diperbaiki menggunakan sistem cover lagoon untuk memperoleh CER. Hal ini disebabkan tidak adanya PKS yang mau berinvestasi pada teknologi tersebut pada saat PT AES mulai menjalankan proyek di Indonesia tahun 2007. Akan tetapi, ada kemungkinan perubahan sistem kerja menjadi sistem kerja yang sama dengan sistem dari teknologi lainnya. Dalam proyek yang sedang berlangsung, ada kemungkinan perpanjangan proyek menjadi pemanfaatan biogas. Hal tersebut sesuai dengan permintaan PKS yang menggunakan teknologinya. Rata-rata umur peralatan yang ada sekitar tujuh tahun. Akan tetapi, tersedia juga peralatan dengan umur rata-rata sepuluh tahun. Peralatan yang disediakan PT AES AgriVerde umumnya merupakan teknologi milik PT AES itu sendiri. PT Karya Mas Energi dalam pengembangannya diatur oleh seorang direktur. Sistem kerjanya hampir menyerupai PT KIS. Akan tetapi, PT KME lebih menekankan pada layanan jasa sebagai inisiator dan pengembang proyek serta jasa kontraktor biogas dari limbah cair pabrik kelapa sawit (Wiryawan 2012). Bahan dan tenaga kerja yang digunakan oleh PT KME dalam pengembangan proyek berasal dari Indonesia selaku negara penyelenggara dengan syarat proyek layak secara ekonomi dan teknis. Jika kondisinya tidak layak, ada kemungkinan tenaga kerja didatangkan dari negara maju (negara Annex 1). Untuk mencegah hal tersebut, sumber daya manusia pada PT KME lebih banyak bekerja sama dengan tenaga kerja lokal untuk meningkatkan kompetensi pekerja lokal. Dalam penyediaan alatnya, PT KME bekerja sama dengan beberapa perusahaan penyedia peralatan atau mesin. Dalam hubungannya dengan penjualan CER, PT KME bekerja sama dengan Camco Carbon South East Asia Ltd. di Malaysia.
58