HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan Ruang Gayatri Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor (RSMM) terletak di Jalan dr. Semeru No. 114 Bogor. Rumah sakit ini berdiri pada tanggal 1 Juli 1882 sebagai rumah sakit jiwa pertama di Indonesia dan diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perawatan pasien gangguan jiwa yang sebelumnya dirawat di rumah sakit umum, rumah sakit tentara, penjara, dan kantor polisi dengan cara perawatan kurungan menjadi perawatan rumah sakit jiwa yang lebih manusiawi. Seiring dengan perkembangan zaman dan adanya perubahan status rumah sakit menjadi status badan layanan umum, maka pihak RSMM berusaha untuk memenuhi dan mengembangkan berbagai pelayanan, baik di pelayanan umum, pelayanan NAPZA, maupun di bagian pelayanan psikiatrik. Salah satu pengembangan di bidang pelayanan umum adalah dibentuknya pelayanan Psikogeriatri (Ruang Akut) yang merupakan salah satu pelayanan yang bersifat khusus dengan memerlukan keterampilan tersendiri karena begitu kompleks permasalahan yang dihadapi oleh pasien lansia, sehingga dibutuhkan perawatan yang komprehensif dan bersifat spesialistik yang menangani rawat jalan, rawat inap, emergensi, dan homecare. British Geriatric Society yang mempelopori ilmu ini, mendefinisikan geriatri sebagai cabang ilmu penyakit dalam yang berkepentingan dengan aspek pencegahan, peningkatan, pengobatan, rehabilitasi, dan psikososial dari penderita usia lanjut. Psikogeriatri atau psikiatri geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatri pada usia lanjut (Darmojo & Martono 2006). Ada empat ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu (Komnas Lansia 2008): 1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia. 2. Adanya akumulasi dan penyakit-penyakit degeneratif lanjut usia secara psikososial. 3. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga
membawa
lansia
ke
arah
kerusakan
atau
kemerosotan
(deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak.
4. Munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, atau trauma psikis. Pelayanan psikogeriatrik RSMM diresmikan oleh Direktur Utama RSMM pada tanggal 8 Juni 2009 dengan nama Ruang Gayatri serta memiliki visi, misi, dan tujuan yang mengacu pada rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang berkembang, dan merupakan satu-satunya ruang rawat lansia di Kota Bogor. Pelayanan psikogeriatrik RSMM mengedepankan pelayanan berbentuk Tim Psikogeriatrik yang terdiri dari Konsultan Geriatrik, Spesialis Gizi, Spesialis Internis, Spesialis Rehabilitasi Medis dan Perawat Profesional. Kriteria pasien yang dirawat di ruangan ini adalah berusia di atas 60 tahun, didiagnosa memiliki satu penyakit dan dua komplikasi yang dikonsultasikan ke bagian dokter Konsultan Geriatrik dan dokter Tim-nya. Visi Ruang Gayatri adalah mengutamakan pelayanan yang bermutu, memuaskan, dan tepat bagi lansia sehingga dapat menjadi lansia yang sehat dan sejahtera. Misi ruang rawat inap ini adalah memberikan pelayanan secara profesional dengan mengedepankan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Ruang Gayatri memiliki slogan yang berbunyi Bertambah Umur, Bertambah Sehat dan Berguna. Ketenagaan dalam pelayanan keperawatan di Ruang Gayatri berjumlah 13 orang tenaga perawat, satu orang tenaga administrasi, dan dua orang cleaning service. Kapasitas ruang geriatrik adalah tujuh buah tempat tidur, yang terdiri dari empat tempat tidur untuk pasien perempuan, dan tiga tempat tidur untuk pasien laki-laki. Selain itu, terdapat pula Ruang Rehabilitasi Medik, dua kamar mandi untuk laki-laki dan perempuan, satu ruang perawatan, satu ruang pertemuan, untuk keluarga dan Tim Psikogeriatrik dan satu ruang dapur. Dinding di Ruang Gayatri dipasangi handball stainless hingga kamar mandi. Alat-alat kesehatan yang dipergunakan disesuaikan dengan kondisi lansia, mulai dari alatalat standar hingga alat-alat kesehatan khusus. Ruang Gayatri termasuk dalam ruang rawat inap kelas II plus (Lampiran 2 dan 3). Gambaran Umum Instalasi Gizi Instalasi Gizi Rumah Sakit Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor memberikan pelayanan gizi bagi pasien NAPZA, psikiatri, dan umum. Dapur untuk pasien psikiatri, NAPZA, dan umum terletak dalam satu gedung namun tempat pengolahan makanan untuk masing-masing pelayanan berbeda. Gedung Instalasi Gizi RSMM terdiri dari beberapa bagian, antara lain kantor administrasi;
tempat penerimaan bahan makanan; tempat penyimpanan bahan makanan pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; tempat penyimpanan bahan makanan kering; dapur untuk persiapan dan pengolahan, serta tempat distribusi makanan untuk pasien NAPZA, MPKP, dan Psikiatri; dapur untuk persiapan dan pengolahan makanan untuk pasien Umum; dapur pembuatan snack; tempat pemasakan air; tempat penyimpanan alat-alat masak; mushola dan tempat penitipan barang karyawan; dan dua buah toilet. Penyelenggaraan makanan untuk pasien umum ditujukan pada pasien kelas VIP, I, II, dan III. Penyelenggaraan makanan untuk pasien Ruang Gayatri dilaksanakan seperti kepada pasien kelas II. Instalasi Gizi RSMM Bogor memiliki 54 pegawai yang terdiri dari 11 orang ahli gizi, lima orang tenaga gizi, 10 orang pramusaji, dan 28 orang juru masak. Sebanyak lima orang tenaga gizi dan 10 orang pramusaji ditugaskan dalam penyelenggaraan makanan di pantry pasien umum (Lampiran 4). Perencanaan Menu Siklus menu 11 hari digunakan dalam penyelenggaraan makanan untuk pasien psikiatri, NAPZA, MPKP, dan pasien umum. Menu yang digunakan berbeda antar masing-masing pelayanan. Kerangka menu yang diperuntukkan bagi pasien umum adalah sama untuk setiap kelas perawatan. Perbedaan terletak pada jumlah satuan penukar (SP) dan jenis bahan makanannya. Lauk hewani pada makan pagi dan siang untuk pasien kelas VIP dan kelas I adalah 2 SP yang terdiri dari satu jenis lauk yang sama dengan kelas II dan III, serta satu jenis lauk yang berbeda. Kelas II dan III mendapatkan 1 SP lauk hewani untuk setiap waktu makan. Buah dan snack atau makanan selingan bagi pasien VIP jenisnya dibedakan dengan kelas I, II, dan III. Buah yang diberikan pada saat makan malam kepada pasien VIP berjumlah 2 SP yang terdiri dari satu jenis buah yang sama dengan kelas I, II, dan III, serta satu jenis buah yang berbeda. Pasien kelas III mendapatkan buah hanya saat makan siang saja, yaitu sebanyak 1 SP. Ruang Gayatri yang merupakan ruang rawat inap kelas II plus memiliki siklus menu dan kerangka menu seperti pasien kelas II (Lampiran 5). Kerangka menu pada penyelenggaraan makanan bagi pasien umum di RSMM dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Kerangka menu berdasarkan kelas perawatan Jumlah SP setiap kelas perawatan VIP I II III Makanan pokok 1 1 1 1 Pagi Lauk hewani* 2 2 1 1 Sayur 1 1 1 1 Selingan I Snack** 1 1 1 1 Makanan pokok 1 1 1 1 Lauk hewani* 2 2 1 1 Siang Lauk nabati 1 1 1 1 Sayur 1 1 1 1 Buah*** 1 1 1 1 Selingan II Snack** 1 1 1 1 Makanan pokok 1 1 1 1 Lauk hewani 1 1 1 1 Sore Lauk nabati 1 1 1 1 Sayur 1 1 1 1 Buah*** 2 1 1 Keterangan: * lauk hewani tambahan jenisnya berbeda ** snack untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III ***buah untuk kelas VIP berbeda dengan kelas I, II, dan III Waktu makan
Kerangka Menu
Bahan Makanan, Standar Porsi, dan Pengolahannya Bahan Makanan Bahan makanan yang digunakan hampir semuanya adalah bahan makanan dalam keadaan segar, hanya bakso, kembang tahu, makaroni, dan soun saja bahan makanan olahan yang digunakan untuk pelengkap masakan. Bahan makanan pokok secara umum adalah beras (nasi, nasi tim, atau bubur). Havermut, kentang, dan roti diberikan pada pasien dengan permintaan khusus. Pasien dalam penelitian ini mendapatkan nasi, nasi tim, atau bubur sebagai makanan pokok. Lauk hewani yang digunakan terdiri dari ayam, daging sapi, ikan kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk nabati yang digunakan antara lain tahu, tempe, kentang, dan makaroni. Sayuran yang digunakan terdiri dari wortel, kapri, buncis, kembang kol, brokoli, paprika, sawi hijau, labu siam, jagung manis, jamur kuping, sedap malam, bayam, labu siam, terung panjang, oyong, semi, jamur supa, dan kacang panjang. Buah-buahan yang diberikan antara lain jeruk, pisang raja sereh, semangka, pisang ambon, papaya, melon, dan anggur. Bahan makanan dalam pembuatan makanan selingan terdiri dari kacang hijau, agar-agar, tepung susu, tepung terigu, tepung beras, tepung hunkwe, maizena, telur ayam, margarin, cokelat manis, cokelat chips, cokelat bubuk, keju, gula aren, gula pasir, santan, sirup, pisang raja, semangka, melon, papaya,
stroberi, jeruk manis, pisang tanduk, dan jambu biji. Bahan makanan tersebut kemudian diolah menjadi makanan dalam bentuk kue-kue, bubur, dan minuman. Standar Porsi dan Pengolahan Bahan Makanan Daya tampung pasien pada pelayanan rawat inap pasien umum adalah sebanyak 100 orang, sehingga jumlah porsi maksimal yang disiapkan adalah 100 porsi. Instalasi gizi menetapkan standar porsi untuk setiap bahan makanan. Standar porsi yang diberikan untuk pasien lansia Ruang Gayatri adalah sama dengan standar porsi untuk pasien umum. Standar porsi tersebut diperoleh dari dokumentasi Unit Perencanaan dan Perbekalan dan ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11 Standar porsi bahan makanan untuk pasien umum kelas II Bahan makanan Beras Ayam Daging sapi Ikan Telur ayam Telur puyuh Tempe Tahu Sayur Buah Snack
Satuan Gram Gram Gram Gram Gram Gram Gram Gram Gram Gram Buah
Jumlah 400 125 60 65 60 40 50 50 100 150 2
Keterangan Sehari Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sekali penyajian Sehari Sehari
Pengumpulan data ketersediaan tidak menggunakan dokumen standar porsi tersebut tetapi dari hasil penimbangan sampel makanan. Proses pengolahan yang dilakukan antara lain terdiri dari perebusan, pengetiman, pengukusan, penggorengan, penumisan, pemasakan dengan oven, ataupun kombinasi dari cara memasak tersebut. Proses pengolahan tersebut ditujukan pada penyelenggaraan makanan pasien umum, termasuk pasien lansia Ruang Gayatri. Pendistribusian Makanan RS Setelah makanan untuk pasien umum matang, selanjutnya makanan diantarkan menggunakan mobil dari Instalasi Gizi menuju pantry yang dikhususkan untuk ruang rawat umum. Selanjutnya makanan didistribusikan sesuai dengan diet masing-masing pasien dan diberi label. Makanan yang sudah disiapkan selanjutnya diantarkan oleh pramusaji kepada pasien. Berdasarkan proses tersebut terlihat bahwa Instalasi Gizi RSMM Bogor menerapkan sistem distribusi desentralisasi, yaitu makanan pasien dibawa dari tempat pengolahan menuju dapur dalam jumlah banyak untuk selanjutnya disajikan dalam alat makan masing-masing pasien sesuai dengan permintaan
makanan. Peralatan makan yang digunakan untuk pelayanan makanan pasien Ruang Gayatri terdiri dari satu pasang plato aluminium beserta tutupnya, satu buah piring keramik, satu buah sendok plastik, dan satu buah nampan. Selain itu, setiap kali waktu makan pasien juga mendapatkan satu gelas air mineral kemasan. Diet konsistensi biasa, lunak, dan saring terdiri dari tiga kali makan utama (pagi, siang, dan sore) dan dua kali selingan. Diet dengan konsistensi cair memiliki waktu dan frekuensi yang telah disesuaikan dengan resep diet yang diberikan oleh dokter gizi. Secara umum, penyelenggaraan makanan yang dimulai dari proses perencanaan anggaran belanja makanan hingga tahap pendistribusian makanan bagi pasien lansia di Ruang Gayatri adalah sama dengan penyelenggaraan makanan bagi pasien umum lainnya (Lampiran 6). Karakteristik Pasien Sebanyak 63,3% pasien berjenis kelamin wanita. Usia pasien berkisar antara 60 hingga 100 tahun. Klasifikasi lansia berdasarkan usia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) yaitu usia lanjut (elderly) (60 – 74 tahun), usia lanjut tua (old) (75 – 90 tahun), dan usia lanjut sangat tua (very old) (di atas 90 tahun) (Komnas Lansia 2008). Rata-rata usia pasien adalah 72 tahun. Sebanyak 60% pasien termasuk dalam kategori usia lanjut/elderly. Pasien yang berstatus sebagai duda atau janda yaitu sebesar 63,3%. Sebelum pasien dirawat di RS, sebagian besar yaitu 93,3% pasien mengaku tinggal serumah bersama keluarga. Berdasarkan Komnas Lansia (2008), lansia yang hidupnya sendirian atau karena meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat akan mengalami kesepian. Keadaan lansia tersebut terkadang diperburuk dengan menurunnya kondisi kesehatan. Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan dengan hidupnya, sehingga ia berharap agar kematian segera datang menjemputnya. Sebanyak 60% pasien mendapat biaya perawatan RS dari keluarga. Kisaran lama rawat pasien adalah 3 – 33 hari. Sebanyak 43,3% pasien dirawat selama 3 – 6 hari. Sebesar 30% pasien keluar dari Ruang Gayatri atas permintaan keluarga (APK) atau sebelum dokter menyatakan pasien sudah diperbolehkan pulang. Alasan keluarga meminta pasien untuk dipulangkan antara lain pertimbangan biaya, pindah ke ruang dengan kelas yang lebih tinggi, ataupun karena pertimbangan ketiadaannya anggota keluarga yang mampu menunggu pasien selama dirawat di RS (Lampiran 7). Sebaran pasien berdasarkan karakteristiknya ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran pasien berdasarkan karakteristik Karakteristik pasien Jenis kelamin Wanita Pria Usia Usia lanjut (60 – 74 tahun) Usia lanjut tua (75 – 90 tahun) Usia lanjut sangat tua (> 90 tahun) Status pernikahan Menikah dan masih memiliki pasangan Duda atau janda Pihak yang merawat sebelum dirawat di RS Tinggal sendiri Keluarga Sumber pembiayaan Keluarga Asuransi kesehatan Lainnya (bantuan dari pihak lain) Lama rawat 3 – 6 hari 7 – 10 hari > 10 hari APK
n
%
Total
19 11
63,3 36,7
30
18 11 1
60,0 36,7 3,3
11 19
36,7 63,3
30
2 28
6,7 93,3
30
18 10 2
60,0 33,3 6,7
13 7 1 9
43,3 23,3 3,3 30,0
30
30
30
Jenis Penyakit dan Status Gizi Jenis Penyakit Setiap pasien yang dirawat di Ruang Gayatri adalah pasien lansia yang didiagnosa memiliki minimal tiga jenis penyakit. Jenis penyakit yang diderita oleh contoh dikelompokkan menjadi gangguan sistem syaraf, sistem kardiovaskuler, sindrom metabolik dan asam urat, sistem pernafasan, sistem gastrointestinal dan hati, sistem urinaria, dan sindrom Steven Johnson. Gangguan sistem syaraf meliputi penyakit stroke, vertigo, parase, dan tekanan
intrakranial.
Stroke
merupakan
serangan
mendadak
gangguan
pembuluh darah otak yang dapat berupa stroke iskemik maupun stroke hemoragik (Hartono 2006). Parese adalah suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan, atau gerakan terganggu. Jenis parese yang diderita pasien adalah hemiparese dan tetraparese. Vertigo merujuk pada halusinasi dari gerakan yang dapat linear, jatuh, atau goyang. Seringkali digambarkan sebagai sensasi berputar baik pada salah satu dari rotasi sendiri (subjective vertigo) atau rotasi dari lingkungan sekelilingnya (objective vertigo). Pada kebanyakan kasuskasus, gejala dari vertigo menyiratkan penyakit dari telinga bagian dalam atau sistim vestibular (keseimbangan) (Anonim 2008a). Tekanan intrakranial adalah peningkatan tekanan otak normal yang dapat disebabkan karena peningkatan
tekanan cairan serebrospinal atau karena adanya tumor dalam otak (Anonim 2009a). Gangguan sistem kardiovaskuler meliputi hipertensi, gagal jantung kongestif, dan kardiomegali. Hipertensi merupakan tekanan darah arteri yang abnormal tinggi, ditandai dengan tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg atau tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg (Krummel 2004). Gagal jantung kongestif adalah sindrom yang dicirikan oleh ketidakmampuan jantung dalam mempertahankan aliran darah yang memadai di dalam sistem sirkulasi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, retensi cairan dan natrium yang berlebihan, edema perifer dan paru, serta jantung yang keletihan dan membengkak. Kardiomegali adalah istilah untuk pembesaran jantung (Hartono 2006). Sindrom metabolik adalah kumpulan keadaan seperti kegemukan perut dan gangguan toleransi glukosa, kenaikan kadar trigliserida, hipertensi ringan dan mikroalbuminuria. Diabetes melitus merupakan kumpulan keadaan yang disebabkan oelh kegagalan pengendalian gula darah. Kegagalan ini terjadi karena dua hal, yaitu (1) produksi hormon insulin yang tidak memadai atau tidak ada, atau (2) resistensi insulin yang meningkat. Asam urat berhubungan dengan gangguan metabolisme purin yang menimbulkan hiperurisemia jika kadar asam urat dalam darah melebihi 7,5 mg/dl (Hartono 2006). Gangguan sistem pernafasan terdiri dari tuberkulosis, bronko pneumonia, dan efusi pleura. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh mycobacteria, khususnya Mycobacterium tuberculosis, M. bovis, atau M. africanum (Mueller 2004). Pneumonia adalah suatu infeksi dari satu atau dua paru-paru yang biasanya disebabkan oleh bakteri-bakteri, virus-virus, atau jamur. Jadi bronkopneumonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama
alveoli
atau
parenkim
(Anonim
2009b).
Efusi
pleura
adalah
pengumpulan cairan di dalam rongga pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak di antara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada (Anonim 2011). Gangguan gastrointestinal dan hati meliputi dispepsia, tukak peptik, hematemesis, melena, gastroenteritis, fatty liver, dan hepatoma. Dispepsia adalah gangguan pada saluran pencernaan yang ditandai dengan rasa sakit pada perut bagian atas yang berulang atau kronis, atau perut terasa cepat penuh atau kenyang, dapat disertai kembung, mual, atau sakit pada ulu hati (Sandjaja
et al 2009). Hematemesis-melena adalah keadaan muntah dan buang air besar berupa darah akibat luka atau kerusakan pada saluran cerna (Hartati 2005). Gastroenteritis (diare) dicirikan dengan buang air besar sering berkonsistensi cair dengan volum biasanya melebihi 300 ml, disertai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan, terutama narium dan kalium. Fatty liver adalah salah fase awal dalam patogenesis penyakit Alcoholic liver (Beyer 2004). Kanker hati adalah suatu kanker yang timbul dari hati, dan dikenal sebagai kanker hati primer atau hepatoma (Anonim 2008b). Mukosa lambung dan duodenum secara normal terlindung dari aksi pencernaan oleh asam lambung dan pepsin dengan mensekresi mukus, memproduksi bikarbonat, membuang kelebihan asam melalui aliran darah normal, serta memperbarui dan memperbaiki sel epitel yang terluka. Tukak peptik adalah terdapatnya tukak yang terjadi akibat adanya gangguan terhadap mekanisme dan pertahanan ini (Beyer 2004). Gangguan sistem urinaria meliputi sistitis, nefrolitiasis, dan gagal ginjal kronis. Sistitis adalah infeksi kandung kemih sedangkan nefrolitiasis adalah terdapatnya batu ginjal (Anonim 2008c). Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel karena suatu penyakit. Terapi diet hanya bersifat membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronis (Hartono 2006). Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Proses hipersensitivitas itu memicu kerusakan kulit sehingga terjadi: (1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, (2) stres hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia, dan glukosuria, (3) kegagalan termoregulasi, (4) kegagalan fungsi imun, dan (5) infeksi (Harsono 2006). Beberapa pasien juga mengalami gangguan penyerta seperti anemia, penurunan kemampuan ataupun nafsu makan sehingga menyebabkan low intake, dan masalah status gizi lebih ataupun kurang. Penyakit yang paling banyak diderita adalah gangguan kardiovaskuler, selanjutnya sindrom metabolik
dan asam urat, gastrointestinal dan hati, pernafasan, syaraf, ginjal, dan sindrom Steven Johnson. Selain diagnosa utama, sebanyak 36,7% pasien menderita anemia. Pasien yang dinyatakan berisiko low intake karena adanya gangguan seperti penurunan kesadaran, mual, muntah, ataupun penurunan nafsu makan adalah 60% pasien. Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit dan gangguan penyerta dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran pasien berdasarkan jenis penyakit Jenis penyakit dan gangguan penyerta Gangguan kardiovaskuler Sindrom metabolik dan asam urat Gangguan gastrointestinal dan hati Gangguan pernafasan Gangguan syaraf Gangguan ginjal Sindrom Steven Johnson
n 24 10 10 7 6 4 1
% 80,0 33,3 33,3 23,3 20,0 13,3 3,3
Status Gizi Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa et al. 2001). Klasifikasi IMT untuk populasi Asia Pasifik berdasarkan WHO (2004) dalam PDGKI (2008) adalah kurang (IMT< 18,5), normal (IMT= 18,5 – 24,9), dan lebih (IMT≥ 25). Kisaran IMT pasien adalah 12,6 hingga 26,5. Rata-rata nilai IMT pasien adalah 19,0 sehingga digolongkan berstatus gizi normal. Setengah dari pasien berstatus gizi normal. Sebaran pasien berdasarkan status gizi ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran pasien berdasarkan status gizi Status gizi Kurang (≤18,5) Normal (18,5 – 25,0) Lebih (>25,0) Total
n 12 15 3 30
% 40,0 50,0 10,0 100,0
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Kebutuhan energi berubah dalam keadaan sakit. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan kebutuhan energi orang sakit dapat dilakukan dengan menurut persen kenaikan kebutuhan di atas Angka Metabolisme Basal (AMB), yaitu dengan mengalikan AMB dengan faktor aktivitas dan faktor trauma atau stres (Almatsier 2005). Kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat ditentukan berdasarkan keadaan penyakit yang diderita pasien, serta disesuaikan dengan asupan zat gizi makro bagi lansia yang disarankan dalam Harris (2004). Kebutuhan vitamin dan mineral berdasarkan Angka Kecukupan
Gizi untuk lansia ditetapkan sesuai ketentuan dalam WNPG VIII tahun 2004. Kebutuhan energi dan zat gizi pasien disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 15 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi Energi dan zat gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Vit.A (RE) Vit. E (mg) Vit. B1 (mg) Asam folat (mcg) Vit. B6 (mg) Vit. B12 (mcg) Vit. C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
Rata-rata±SD 1.362 ± 244 51,6 ± 13,3 37,8 ± 6,8 203,8 ± 33,8 537 ± 49 15 ± 0 1,0 ± 0,1 400 ± 0 1,6 ± 0,1 2,4 ± 0,0 81 ± 7 800 ± 0 12 ± 1 11,1 ± 1,8
Selama dirawat di RS, pasien memperoleh energi dan zat gizi untuk memenuhi kebutuhannya melalui makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial) yang dikelola oleh Instalasi Gizi RS dan makanan dari luar RS yang dibawa oleh keluarga pasien yang berkunjung. Selain memperoleh dalam bentuk pangan, sebanyak 90% (27 orang) pasien juga memperoleh energi dan zat gizi dari cairan infus (Futrolit, Asering, Renosan, Ringer Laktat, Aminofluid, NaCl, dan Dekstrosa 5%) serta sebanyak 26,7% (8 orang) pasien mendapatkan suplemen (Bion 3, Neurobion, Lesichool, Cal 95, dan Neurodex). Pemberian cairan infus dan suplemen ditangani oleh bagian farmasi. Ketersediaan Energi dan Zat Gizi dari Makanan RS Makanan RS yang diberikan oleh pihak Instalasi Gizi RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Pemberian makanan olahan RS dan formula komersial ini disesuaikan dengan keadaan pasien dan diresepkan oleh dokter (preskripsi diet). Makanan RS diberikan kepada pasien berupa makanan olahan RS saja, formula komersial saja, atau kombinasi makanan olahan RS bersama dengan formula komersial. Makanan olahan RS merupakan hasil penyelenggaraan makanan yang dilakukan oleh pihak Instalasi Gizi RS. Makanan olahan RS meliputi makanan utama (pagi, siang, dan sore) dan makanan selingan. Formula komersial yang dimaksud adalah makanan cair yang tersedia di pasaran. Almatsier (2005) menggolongkan formula komersial sebagai makanan cair penuh. Makanan cair penuh adalah makanan yang berbentuk cair atau semi cair pada suhu ruang dengan kandungan serat minimal dan tidak tembus pandang bila diletakkan
dalam wadah bening. Makanan ini dapat diberikan melalui oral atau enteral (pipa), secara bolus atau drip (tetes). Makanan cair penuh diberikan kepada pasien yang mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan mencernakan makanan yang disebabkan oleh menurunnya kesadaran, suhu tinggi, rasa mual, muntah, pasca perdarahan saluran cerna, serta pra dan pasca bedah. Formula komersial yang diberikan kepada pasien selama penelitian berlangsung terdiri dari Entrasol, Peptisol, Diabetasol, dan Hepatosol. Makanan Olahan RS Data ketersediaan energi dan zat gizi makanan olahan RS diperoleh dari 25 orang (83,3%) pasien. Sebagian dari mereka mendapatkan makanan olahan RS selama tiga hari berturut-turut, sebagian lagi mendapatkan makanan olahan RS selama dua hari, dan sisanya mendapatkan makanan olahan RS selama satu hari. Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS adalah 1.564 ± 101 kkal atau 117,5% terhadap kebutuhan energi pasien. Depkes (1996) dalam Sukandar (2007) mengkategorikan tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan menjadi tiga, yaitu defisit (< 90% angka kebutuhan), normal (90 – 119% angka kebutuhan), dan lebih (≥ 120% angka kebutuhan) sehingga ratarata ketersediaan energi dari makanan olahan RS tersebut dikategorikan normal. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi ialah 1.424 kkal dan 1.763 kkal sehingga dapat menyumbang sekitar 104,6 – 129,4% terhadap rata-rata kebutuhan energi pasien. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dapat memberikan energi kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Tabel
berikut
menunjukkan
sebaran
pasien
berdasarkan
tingkat
ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan pasien. Tabel 16 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS terhadap kebutuhan Kategori Defisit Normal Lebih Total
n 3 14 8 25
% 12,0 56,0 32,0 100,0
Lebih dari separuh pasien (56%) memiliki tingkat ketersediaan energi terhadap kebutuhan yang termasuk dalam kategori normal dan 32% pasien termasuk kategori lebih. Hanya sebagian kecil pasien (12%) yang mengalami defisit terhadap ketersediaan energi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika pasien
mampu mengkonsumsi makanan RS dengan baik maka kebutuhan energinya akan terpenuhi. Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein sehari dari makanan olahan RS adalah 74,5 ± 8,6 g atau 1,8 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 61,0 g dan 105,2 g, sehingga bila rata-rata BB pasien adalah 44,9 kg maka asupan dari ketersediaan protein makanan olahan RS adalah sekitar 1,4 – 2,3 g/kg BB. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan protein sebanyak 1 sampai 1,25 g/kg BB umumnya aman bagi lansia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka sebagian besar pasien mendapatkan protein dari makanan olahan RS dengan jumlah yang melebihi dari ketentuan asupan protein bagi lansia. Hal ini terjadi karena standar porsi lauk hewani dan nabati yang diberikan kepada pasien lansia masih disamakan dengan pasien umum lainnya. Tidak ada pasien yang mendapatkan protein dari makanan olahan RS dalam jumlah yang kurang. Sebanyak 16% pasien mendapatkan protein dalam jumlah asupan yang disarankan bagi lansia dan sebagian besar pasien (84%) mendapatkan protein dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia di Ruang Gayatri mendapatkan lauk nabati dan hewani dengan standar porsi yang sama dengan pasien umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan protein makanan olahan RS Ketersediaan protein < 1 g/kg BB 1 – 1,25 g/kg BB > 1,25 g/kg BB Total
n 0 4 21 25
% 0,0 16,0 84,0 100,0
Fungsi ginjal dan kecepatan penyaringan glomerulus mengalami penurunan sekitar 60% pada usia 30 sampai 80 tahun, terutama jumlah nefron yang berkurang menyebabkan menurunnya aliran darah
(Harris 2004).
Pembuangan sisa-sisa metabolisme protein dan elektrolit yang harus dilakukan ginjal akan merupakan beban tersendiri (Dharmojo & Martono 2006). Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS adalah 222,4 ± 38,2 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi. Haris (2004) mengatakan bahwa asupan karbohidrat yang disarankan bagi lansia adalah sebanyak 45 – 65% dari total kebutuhan energi perhari. Berdasarkan ketentuan
tersebut maka rata-rata ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 176,3 g dan 373,5 g, sehingga makanan RS dapat menyumbangkan sebanyak 51,8 – 109,7% dari rata-rata total kebutuhan energi perhari. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Sebagian besar pasien (60%) mendapatkan karbohidrat dari makanan RS dengan jumlah sesuai ketentuan bagi lansia dan sisanya (40%) mendapatkan dalam jumlah berlebih. Hal ini terjadi karena pasien lansia di Ruang Gayatri mendapatkan makanan pokok dengan standar porsi yang sama dengan pasien umum. Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS Ketersediaan karbohidrat < 45% keb. E 45 – 65% keb. E > 65% keb. E Total
n 0 15 10 25
% 0,0 60,0 40,0 100,0
Ketersediaan Lemak Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan RS adalah 50,1 ± 6,6 g atau 34,1% dari total kebutuhan energi. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak makanan RS adalah sebesar 40,3 g dan 68,2 g, sehingga makanan RS dapat menyumbangkan lemak sebanyak 26,6 – 45% dari rata-rata kebutuhan energi pasien sehari. Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak yang disarankan bagi lansia adalah sebanyak 25 – 35% dari total kebutuhan energi sehari. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak dari makanan olahan RS. Tabel 19 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS Ketersediaan lemak < 25% keb. E 25 – 35% keb. E > 35% keb. E Total
n 5 11 9 25
% 20,0 44,0 36,0 100,0
Harris (2004) menjelaskan bahwa asupan lemak pada lansia tidak hanya diperhatikan masalah jumlah tetapi juga perlu ditekankan untuk mengurangi konsumsi asam lemak jenuh dan memilih asam lemak tak jenuh. Sumber asam lemak jenuh yang digunakan dalam makanan RS adalah minyak kelapa sawit,
margarin, santan, dan VCO (Virgin Coconut Oil). Penggunaan minyak kelapa sawit dan santan dalam pengolahan makanan sangat dibatasi, bahkan pada beberapa pasien dengan diet tertentu dibebaskan dari minyak goreng dan santan. Penggunaan margarin hanya terbatas pada pembuatan kue sebagai snack, sehingga penggunaan margarin jarang digunakan. VCO adalah minyak kelapa yang pembuatannya tidak menggunakan proses pemanasan seperti pembuatan minyak kelapa pada umumnya. VCO mengandung asam lemak jenuh rantai sedang atau medium chain triacylglysera (MCT) yang lebih mudah diserap, lebih cepat diutilisasi (Sandjaja 2009). Asam laurat di dalam VCO cukup tinggi yaitu 53%. MCT yang masuk ke dalam tubuh akan langsung dibakar untuk menghasilkan energi sehingga menciptakan kenetralan terhadap kolesterol. Monolaurin yang merupakan bentuk ubahan dari asam lemak ini di dalam tubuh manusia adalah suatu bentuk senyawa monogliserida. Senyawa ini bersifat sebagai antivirus, antibakteri, dan antijamur (Rindengan & Novarianto 2006). Beberapa pasien juga diberikan tambahan minyak kanola dan minyak zaitun ke dalam campuran makanannya. Minyak kanola dan minyak zaitun merupakan sumber asam lemak tak jenuh tunggal (Ettinger 2004). Pemberian minyak kanola dan minyak zaitun masih dilakukan hanya kepada pasien dengan rekomendasi dokter, sehingga tidak semua pasien mendapatkannya. Ketersediaan Vitamin dan Mineral Tingkat kecukupan vitamin dan mineral diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu kurang (< 77% AKG) dan cukup (≥ 77% AKG) (Depkes 1996 dalam Sukandar 2007). Berdasarkan data pada Tabel 20 dan ketentuan dalam Depkes (1996) tersebut, terlihat bahwa jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi, dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan olahan RS dengan baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang dari 77% rata-rata AKG.
Tabel 20 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS terhadap AKG Vitamin dan mineral Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin B1 Asam folat Vitamin B6 Vitamin B12 (mcg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg) Natrium (mg) Kalium (mg)
Makanan RS Rata-rata % terhadap AKG 3.126 ± 339 587,4 4±1 27,5 0,8 ± 0,2 78,5 213 ± 29 53,3 1,9 ± 0,2 123,4 3,4 ± 0,5 140,3 115 ± 23 144,2 791 ± 94 98,9 16 ± 1 132,6 11,6 ± 1,6 106,3 1.008 ± 511 1.933 ± 143 -
Tingkat kecukupan vitamin A terhadap AKG mencapai 587,4%, namun ini tidak berarti bahwa pasien berisiko kelebihan vitamin A. Berdasarkan Almatsier (2006), kelebihan vitamin A hanya bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000 RE untuk jangka waktu yang lama atau 40.000 – 55.000 RE perhari. Rendahnya konsumsi lemak dari makanan olahan RS mengurangi keoptimalan dalam penyerapan vitamin A. Vitamin A merupakan suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak (Almatsier 2006). Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan RS adalah 1008 ± 511 mg dan 1933 ± 143 mg. Disarankan untuk membatasi asupan natrium sekitar 2 – 4 g perhari dan meningkatkan asupan mineral seperti kalium (Harris 2004). Kalium berfungsi untuk memelihara keseimbangan garam (Na) dan cairan serta membantu mengontrol tekanan darah yang normal. Asupan natrium yang disarankan bagi pasien dengan gangguan kardiovaskuler ialah kurang dari 2400 mg (6,4 g garam dapur) dan mempertahankan asupan kalium sekitar 90 mmol perhari (3510 mg), serta cukup konsumsi kalsium sesuai kebutuhan (NCEP 2002). Formula Komersial Ketersediaan energi dan zat gizi dari formula komersial diperoleh dari dua orang (6,7%) pasien. Kedua orang pasien tersebut selama tiga hari pengamatan memperoleh makanan RS berupa formula komersial saja. Salah satu pasien merupakan pasien dengan diagnosa stroke, dan satu pasien lainnya adalah pasien yang mengalami tukak peptik dan hematemesis.
Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari formula komersial adalah 875 ± 177 kkal atau 65,1% terhadap kebutuhan sehingga dikategorikan defisit. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah 750 kkal dan 1.000 kkal sehingga formula komersial dapat menyumbang energi sebanyak 55,1 – 73,4% terhadap rata-rata kebutuhan energi dan dikategorikan defisit. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan energi pasien. Salah satu syarat diet dari makanan cair penuh (formula komersial) adalah bila diberikan lebih dari tiga hari harus dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein (Almatsier 2005). Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein dari formula komersial adalah 24,5 ± 4,9 g atau 0,5 g/kg BB. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 21,0 dan 28,0 g sehingga formula komersial dapat menyediakan protein sebanyak 0,5 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan protein pasien. Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat dari formula komersial adalah 147,0 ± 29,7 g atau 43,7% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan karbohidrat adalah 126,0 g dan 168,0 g sehingga karbohidrat dari formula komersial dapat menyumbangkan 37,0 – 49,3% terhadap rata-rata kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian formula komersial saja tidak akan memenuhi seluruh kebutuhan karbohidrat pasien. Ketersediaan Lemak Rata-rata ketersediaan lemak dari formula komersial adalah 21,0 ± 4,2 g atau 14,1% terhadap kebutuhan energi pasien. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak adalah 18,0 g dan 24,0 g sehingga lemak dari formula komersial dapat menyumbangkan 11,8 – 16,3% terhadap rata-rata kebutuhan energi. Ketersediaan Vitamin dan Mineral Ketersediaan vitamin A, E, B1, B6, C, dan mineral seng formula komersial mampu memenuhi minimal 77% AKG, sedangkan ketersediaan asam folat, vitamin B12, mineral kalsium, dan besi masih kurang dari 77% AKG. Rata-rata
ketersediaan natrium dan kalium dari formula komersial adalah 455 ± 92 mg dan 630 ± 127 mg sehingga kandungan natrium masih lebih rendah dari batas maksimal dan kandungan kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Tabel berikut menunjukkan ketersediaan vitamin dan mineral yang terkandung pada formula komersial. Tabel 21 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari formula komersial Vitamin dan Mineral Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin B1 Asam folat Vitamin B6 Vitamin B12 (mcg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg) Natrium (mg) Kalium (mg)
Rata-rata ketersediaan 589 ± 119 12 ± 2 1,6 ± 0,3 235 ± 47 1,3 ± 0,3 1,8 ± 0,4 60 ± 12 466 ± 94 6 ± 1,2 11,6 ± 2,3 455 ± 92 630 ± 127
% terhadap AKG 117,7 77,0 161,0 58,6 86,3 72,9 79,3 58,2 49,6 117,9 -
Makanan Olahan RS dan Formula Komersial Diet makanan olahan RS yang disertai dengan pemberian formula komersial terdiri dari makanan olahan RS yang diberikan sebagai makanan utama (pagi, siang, dan sore) serta formula komersial sebagai selingan. Data ketersediaan energi dan zat gizi dari makanan olahan RS dan formula komersial berasal dari enam orang (20%) pasien. Ketersediaan Energi Rata-rata ketersediaan energi dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 1.740 ± 291 kkal atau 141,2% terhadap kebutuhan sehingga dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan energi adalah 1.230 kkal dan 2.064 kkal sehingga makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbang energi sebanyak 90,3 – 151,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian makanan olahan RS dan formula komersial mampu memenuhi kebutuhan energi pasien bahkan hingga dikategorikan berlebih. Berikut adalah tabel sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan. Tabel 22 Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan energi makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan Kategori Defisit Normal Lebih Total
n 0 1 5 6
% 0,0 16,7 83,3 100,0
Hanya satu orang (16,7%) dari pasien yang mendapatkan energi dari RS dikategorikan normal, selebihnya (83,3%) dikategorikan berlebih. Ketersediaan Protein Rata-rata ketersediaan protein dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 78,2 ± 12,4 g atau 2,3 g/kg berat badan (BB). Nilai minimum dan maksimum ketersediaan protein adalah 60,5 g dan 92,6 g atau sekitar 1,3 – 2,1 g/kg rata-rata berat badan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian makanan olahan RS yang disertai formula komersial sebagai selingan menyediakan protein dengan kategori lebih (> 1,25 g/kg BB). Seluruh pasien (enam orang) mendapatkan protein dengan jumlah yang melebihi dari asupan protein yang disarankan bagi lansia. Ketersediaan Karbohidrat Rata-rata ketersediaan karbohidrat perhari dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 241,8 ± 50,8 g atau 66,6% dari total kebutuhan energi sehingga dikategorikan lebih. Nilai minimum dan maksimum sebesar 170,3 g dan 225,3 g, sehingga makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbangkan sebanyak 50,0 – 66,2% total kebutuhan energi perhari dari karbohidrat. Hal ini menunjukkan bahwa makanan olahan RS dan formula komersial dapat memberikan karbohidrat kepada pasien dalam jumlah yang normal hingga berlebih. Hanya 16,7% (satu orang) pasien yang mendapatkan karbohidrat dari makanan olahan RS dan formula komersial dalam jumlah yang sesuai dengan asupan yang disarankan bagi lansia sedangkan sebagian besar pasien (lima orang) mendapatkan karbohidrat yang dikategorikan berlebih. Sebaran pasien berdasarkan tingkat ketersediaan karbohidrat dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan karbohidrat makanan olahan RS dan formula komersial Ketersediaan karbohidrat < 45% keb. E 45 – 65% keb. E > 65% keb. E Total
n 0 1 5 6
% 0,0 16,7 83,3 100,0
Ketersediaan Lemak Rata-rata ketersediaan lemak dalam sehari dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 55,0 ± 13,9 g atau 40,1% dari total kebutuhan energi. Nilai minimum dan maksimum ketersediaan lemak makanan olahan RS dan
formula komersial adalah sebesar 35,4 g dan 78,3 g, sehingga kombinasi antara makanan olahan RS dan formula komersial dapat menyumbangkan lemak sebanyak 23,4 – 51,7% dari rata-rata kebutuhan energi pasien sehari. Sebagian besar pasien (66,7%) mendapatkan lemak dari makanan olahan RS dan formula komersial dengan jumlah yang lebih banyak dari 35% total kebutuhan energi. Tabel berikut menunjukkan sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak dari makanan olahan RS dan formula komersial. Tabel 24 Sebaran pasien berdasarkan ketersediaan lemak makanan olahan RS dan formula komersial Ketersediaan lemak < 25% keb. E 25 – 35% keb. E > 35% keb. E Total
n 1 1 4 6
% 16,7 16,7 66,6 100,0
Ketersediaan Vitamin dan Mineral Jika pasien mengkonsumsi makanan olahan RS dan formula komersial dengan baik maka kecukupan vitamin A, vitamin B1, B6, B12, C, kalsium, besi, dan seng akan terpenuhi. Berbeda dengan kecukupan vitamin E dan asam folat yang tidak akan terpenuhi walaupun sudah mengkonsumsi makanan RS dengan baik, karena ketersediaan vitamin E dan asam folat yang masih kurang dari 77% rata-rata AKG. Rata-rata ketersediaan natrium dan kalium dari makanan olahan RS dan formula komersial adalah 979 ± 335 mg dan 1.884 ± 338 mg sehingga kandungan natrium masih lebih rendah dari batas maksimal dan kandungan kalium lebih rendah daripada yang dianjurkan. Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan RS dan formula komersial terhadap AKG diperlihatkan pada Tabel 25. Tabel 25 Rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS dan formula komersial terhadap AKG Vitamin dan mineral Vitamin A (RE) Vitamin E (mg) Vitamin B1 Asam folat Vitamin B6 Vitamin B12 (mcg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg) Natrium (mg) Kalium (mg)
Makanan RS Rata-rata % terhadap AKG 3.129 ± 612 569,3 8±4 55,6 2,0 ± 1,9 197,2 275 ± 68 68,8 2,3 ± 0,4 146,0 3,6 ± 0,7 151,6 125 ± 28 152,6 900 ± 187 112,4 18 ± 3 139,3 15,6 ± 2,7 136,8 979 ± 335 1.884 ± 338 -
Konsumsi Makanan RS Makanan RS terdiri dari makanan olahan RS dan formula komersial. Selanjutnya akan dibahas mengenai konsumsi makanan olahan dan formula komersial untuk melihat preferensi pasien terhadap setiap jenis makanan RS. Batasan konsumsi minimal merupakan konsumsi minimal terhadap makanan RS yang harus dicapai oleh pasien agar kebutuhan gizi dapat tercukupi dari kandungan energi dan zat gizi yang tersedia di dalam makanan RS. Konsumsi Makanan Pokok Makanan pokok merupakan sumber utama energi dan karbohidrat bagi pasien yang memperoleh makanan olahan RS. Makanan pokok yang diberikan oleh RS kepada pasien lansia di Ruang Gayatri meliputi nasi, nasi tim, dan bubur. Berdasarkan rata-rata ketersediaan energi yang terkandung di dalam makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 75% dari makanan pokok agar kebutuhan energi dapat terpenuhi (Lampiran 8). Jika diamati dari setiap pemberian makanan olahan RS maka semua makanan pokok cenderung dikonsumsi kurang dari 75%. Tabel 26 menampilkan konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan. Tabel 26 Konsumsi setiap makanan pokok terhadap ketersediaan Bahan makanan Nasi Nasi tim Bubur
Total n 33 14 189
Konsumsi dari ketersediaan < 75% ≥ 75% n % n % 28 84,8 5 15,2 14 100,0 0 0,0 115 60,8 74 39,2
Konsumsi Lauk Hewani dan Nabati Lauk hewani dan nabati merupakan sumber utama protein bagi pasien yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata ketersediaan protein dari makanan olahan RS maka pasien perlu mengkonsumsi minimal 50% dari setiap porsi lauk hewani dan nabati yang disediakan agar kebutuhan protein dapat terpenuhi (Lampiran 8). Lauk hewani dari makanan RS meliputi daging ayam, daging sapi, ikan kakap, telur puyuh, telur ayam, dan ikan gurame. Lauk yang berasal dari ikan kakap dan telur ayam pasien cenderung dikonsumsi di bawah 50%. Lauk yang berasal dari ikan gurame tidak memiliki kecenderungan untuk dikonsumsi kurang dari 50% atau lebih dari sama dengan 50%. Lauk yang berasal dari daging ayam, daging ayam suwir, daging sapi, daging sapi cincang, dan telur puyuh cenderung dikonsumsi lebih dari 50%. Jika diamati dari besar persentase maka
daging ayam suwir lebih cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50% dibandingkan daging ayam, sedangkan daging sapi cincang lebih cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50% dibandingkan daging sapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsistensi makanan mempengaruhi konsumsi pasien. Tabel 27 menunjukkan konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan. Tabel 27 Konsumsi setiap lauk hewani terhadap ketersediaan Bahan makanan Daging ayam Daging ayam suwir Daging sapi Daging sapi cincang Ikan kakap Ikan gurame Telur puyuh Telur ayam
Total n 70 15 63 30 17 16 12 11
Konsumsi dari ketersediaan < 50% ≥ 50% n % n % 31 44,3 39 55,7 5 33,3 10 66,7 23 36,5 40 63,5 9 30,0 21 70,0 9 52,9 8 47,1 8 50,0 8 50,0 0 0,0 12 100,0 7 63,6 4 36,4
Lauk nabati yang disediakan oleh instalasi gizi RS meliputi tahu, tempe, makaroni, dan olahan kentang. Tabel 28 menampilkan konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan. Tabel 28 Konsumsi setiap lauk nabati terhadap ketersediaan Bahan makanan Tahu Tempe Olahan kentang Olahan makaroni
Total n 77 64 9 2
Konsumsi dari ketersediaan < 50% ≥ 50% n % n % 36 46,8 41 53,2 42 65,6 22 34,4 0 0,0 9 100,0 1 50,0 1 50,0
Berdasarkan Tabel 28 terlihat bahwa lauk nabati yang berasal dari tahu dan olahan kentang cenderung dikonsumsi lebih dari sama dengan 50%, sedangkan tempe cenderung dikonsumsi kurang dari 50%. Lauk olahan makaroni tidak memiliki kecenderungan dikonsumsi kurang atau lebih dari sama dengan 50%. Data-data yang diperoleh tentang konsumsi lauk hewani dan nabati tersebut menunjukkan bahwa aspek konsistensi makanan adalah hal yang perlu diperhatikan. Selain itu, diperlukan dukungan mental melalui konsultasi tentang pangan dan gizi agar konsumsi lauk hewani dan nabati dari RS dapat dikonsumsi secara optimal. Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber utama vitamin dan mineral bagi pasien yang mendapatkan makanan olahan RS. Berdasarkan rata-rata ketersediaan vitamin dan mineral dari makanan olahan RS maka pasien perlu
mengkonsumsi minimal 75% dari sayuran dan buah-buahan yang disediakan agar kebutuhan vitamin dan mineral dapat terpenuhi (Lampiran 8). Tabel 29 menunjukkan bahwa konsumsi seluruh sayuran cenderung kurang dari 75% ketersediaan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan konsumsi sayuran dari makanan RS yang seperti itu maka pasien belum bisa memenuhi kebutuhan vitamin dan mineralnya. Tabel 29 Konsumsi sayuran terhadap ketersediaan Bahan makanan Wortel Kapri Buncis Kembang kol Terung panjang Bayam Oyong Sawi hijau Kentang Labu siam Jagung manis Jamur kuping Jamur supa Kacang panjang Jagung kecil Tauge Brokoli Jamur merang
Total n 220 104 75 95 14 22 5 52 17 59 37 23 14 4 8 8 4 4
Konsumsi dari ketersediaan < 75% ≥ 75% n % n % 168 76,4 52 23,6 83 79,8 21 20,2 60 80,0 15 20,0 76 80,0 19 20,0 11 78,6 3 21,4 17 77,3 5 22,7 4 80,0 1 20,0 43 82,7 9 17,3 14 82,4 3 17,6 46 78,0 13 22,0 26 70,3 11 29,7 14 60,9 9 39,1 10 71,4 4 28,6 3 75,0 1 25,0 6 75,0 2 25,0 5 62,5 3 37,5 3 75,0 1 25,0 3 75,0 1 25,0
Berdasarkan pengamatan, buah-buahan yang disediakan oleh Instalasi Gizi RS dalam penyelenggaraan makanan meliputi pepaya, melon, semangka, jeruk, apel, anggur, pisang ambon, dan pisang raja sereh. Tabel berikut menunjukkan sebaran konsumsi pada setiap jenis buah-buahan yang diberikan RS. Tabel 30 Konsumsi buah-buahan terhadap ketersediaan Bahan makanan Pepaya Melon Semangka Jeruk Apel Anggur Pisang ambon Pisang raja sereh Jus buah
Total n 30 18 25 30 1 7 9 34 15
Konsumsi terhadap ketersediaan < 75% ≥ 75% n % n % 14 46,7 16 53,5 8 44,4 10 55,6 11 44,0 14 56,0 19 63,3 11 36,7 1 100,0 0 0,0 6 85,7 1 14,3 6 66,7 3 33,3 18 52,9 16 47,1 6 40,0 9 60,0
Berdasarkan Tabel 30 konsumsi buah-buahan seperti jeruk, apel, anggur, pisang ambon, dan pisang raja sereh masih kurang dari 75%. Konsumsi buah seperti pepaya, melon, semangka, dan jus buah sudah lebih dari sama dengan 75%. Hal ini dikarenakan buah pepaya, melon, semangka, dan buah-buahan yang disajikan dalam bentuk jus memiliki tekstur yang mudah dikonsumsi oleh pasien dari pada buah-buahan yang lain. Konsumsi Makanan Selingan dan Formula Komersial Makanan selingan yang diberikan oleh Instalasi Gizi RS dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu bubur kacang hijau, bubur sumsum, puding atau agar-agar, kue, minuman, buah, biskuit dan krakers, serta formula komersial. Secara umum terdapat kecenderungan pasien untuk menghabiskan (konsumsi 100%) setiap makanan selingan yang diberikan, kecuali biskuit dan krakers yang cenderung tidak dikonsumsi sama sekali (konsumsi 0%). Hal ini terjadi diduga karena kurangnya motivasi contoh untuk mengkonsumsi biskuit dan krakers tersebut. Biskuit dan krakers diberikan dalam bentuk biasanya tanpa meningkatkan penampilan atau bentuk yang menarik. Formula
khusus
komersial
merupakan
jenis
selingan
yang
memiliki
kecenderungan dihabiskan paling besar terlihat dengan persentase yang tertinggi. Hal ini terjadi diduga karena konsistensinya yang cair lebih memudahkan pasien untuk mengkonsumsinya, namun biaya untuk pemberian formula komersial ini tergolong mahal. Berdasarkan pemberian setiap selingan kepada seluruh pasien yang diamati selama tiga hari, konsumsi makanan selingan ditunjukkan pada Tabel 31. Tabel 31 Konsumsi makanan selingan dan formula komersial terhadap ketersediaan Jenis selingan Bubur kc.hijau Bubur sumsum Puding Kue Biskuit dan krakers Buah Minuman Formula komersial
Total n 15 11 34 48 8 6 22 28
100% n % 5 33,3 7 63,3 22 64,7 29 60,4 2 25,0 4 66,7 8 36,4 23 82,1
Konsumsi terhadap ketersediaan 75% 50% 25% 0% n % n % n % n % 2 13,3 2 13,3 4 26,7 2 13,3 1 9,1 1 9,1 1 9,1 1 9,1 0 0,0 9 26,5 1 2,9 2 5,9 4 8,3 5 10,4 0 0,0 10 20,8 0 0,0 2 25,0 0 0,0 4 50,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 33,3 0 0,0 5 22,7 3 0,0 6 7,1 2 7,1 1 3,6 0 0,0 2 7,1
Astawan dan Wahyuni (1988) menjelaskan, pada lansia yang mengalami kesulitan mengunyah maka makanan-makanan keras yang sulit dikunyah harus dihindari. Berdasarkan pengamatan, pada pasien dengan resep diet lunak
terkadang mendapatkan lauk, sayur, dan buah-buahan dengan konsistensi yang sama seperti pada pasien yang mendapatkan diet biasa (nasi biasa). Selain itu, rasa masakan dan cara pramusaji memberikan pelayanan makanan kepada pasien diduga juga mempengaruhi konsumsi pasien terhadap makanan RS. Harris (2004) menyatakan bahwa pelayanan yang menyenangkan dan rasa makanan yang enak pada suatu kondisi lansia yang mampu makan secara mandiri ataupun membutuhkan bantuan, dapat membantu memperbaiki keadaan gizi lansia. Terapi diet ketat yang seringkali memiliki rasa tidak enak tidak menjamin tercapainya tujuan-tujuan kesehatan pada lansia bahkan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup lansia. Beberapa pasien tidak hanya mendapatkan asupan energi dan zat gizi dari makanan RS tetapi juga diberikan formula komersial, cairan infus, suplemen, dan bahkan beberapa pasien mendapatkan makanan dari luar RS yang dibawakan oleh keluarga. Konsumsi Energi dan Zat Gizi dari Sumber Pangan Selama dirawat di Ruang Gayatri, sumber energi dan zat gizi yang diperoleh pasien terdiri dari makanan RS (makanan olahan RS dan formula komersial), cairan infus (gizi parenteral), suplemen, dan makanan luar RS. Sumber yang tersedia dalam bentuk pangan hanyalah makanan RS dan makanan luar RS saja. Terdapat 27 orang (90%) pasien yang mendapatkan makanan dari luar RS. Konsumsi energi dan zat gizi total yang selanjutnya akan dibahas adalah konsumsi energi dan zat gizi dari makanan RS dan makanan luar RS. Konsumsi Energi Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan RS adalah 824 ± 328 kkal. Rata-rata konsumsi energi pasien dari makanan luar RS adalah 115 ± 103 kkal. Rata-rata konsumsi energi total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah 939 ± 345 kkal. Tingkat Konsumsi Energi terhadap Kebutuhan Rata-rata tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan yang diperoleh pasien dari makanan RS adalah 63,3% sedangkan makanan luar RS adalah 8,4%.
Berdasarkan
konsumsi
pasien
terhadap
makanan
RS
tersebut
menunjukkan bahwa pasien masih mengalami defisiensi energi tingkat berat. Rata-rata tingkat konsumsi energi total terhadap kebutuhan adalah 71,6% sehingga dikategorikan defisiensi energi tingkat sedang. Makanan luar RS memberikan kontribusi energi terhadap kebutuhan yang rendah tetapi memiliki
potensi untuk mengoptimalkan konsumsi energi pasien. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan dari ketegori defisiensi tingkat berat menjadi defisiensi tingkat sedang setelah dibantu oleh makanan luar RS. Selain itu, sebaran pasien berdasarkan konsumsi energi dari makanan RS menunjukkan terdapat 86,7% pasien yang mengalami defisiensi energi (tingkat berat, sedang, dan normal), 6,7% pasien dikategorikan normal, dan 6,7% dikategorikan lebih. Terlihat perbaikan konsumsi energi pada pasien yang mendapatkan makanan dari luar RS dibandingkan konsumsi energi dari makanan RS saja. Sebanyak 81,5% pasien mengalami defisiensi energi (tingkat berat, sedang, dan ringan), 11,1% pasien dikategorikan normal, dan 7,4% pasien dikategorikan lebih. Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi energi terhadap kebutuhan Kategori Defisiensi tingkat berat Defisiensi tingkat sedang Defisiensi tingkat ringan Normal Lebih Total
Makanan RS n % 18 60,0 5 16,7 3 10,0 2 6,7 2 6,7 30 100,0
Makanan RS dan Makanan luar RS* n % 15 48,1 4 18,5 5 14,8 3 11,1 3 7,4 27 100,0
Kontribusi Energi dari Makanan RS dan Makanan Luar RS Rata-rata kontribusi energi dari makanan luar RS adalah 12,2% dari total konsumsi energi sedangkan rata-rata kontribusi energi dari makanan RS adalah 87,8% dari total konsumsi energi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi energi pasien masih berasal dari makanan RS. Kisaran kontribusi makanan RS terhadap total konsumsi energi pasien adalah 41,8 – 100% dan kisaran kontribusi makanan luar RS terhadap total konsumsi energi pasien adalah 0 – 58,2%. Hanya satu orang (3,3%) pasien yang mengkonsumsi energi terbesar dari makanan luar RS, sedangkan sisanya (96,7%) mengkonsumsi energi terbesar dari makanan RS. Konsumsi Protein Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan RS adalah 37,2 ± 18,6 g. Rata-rata konsumsi protein pasien dari makanan luar RS adalah 2,6 ± 2,5 g. Rata-rata konsumsi protein total (makanan RS dan makanan luar RS) adalah 39,8 ± 18,7 g. Makanan luar RS menyumbangkan 6,6% protein dari total
konsumsi protein sedangkan makanan RS menyumbangkan sebagian besar konsumsi protein yaitu 93,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar konsumsi protein pasien masih berasal dari makanan RS. Konsumsi Protein terhadap Kebutuhan Harris (2004) menyatakan bahwa asupan protein yang dianjurkan bagi lansia secara umum adalah 1 – 1,25 g/kg BB. Secara berturut-turut, rata-rata konsumsi protein dari makanan RS dan makanan luar RS adalah 0,9 g/kg BB dan 0,1 g/kg BB pasien sehingga masih kurang daripada yang disarankan bagi lansia. Rata-rata konsumsi protein total adalah 1 g/kg BB sehingga dikategorikan cukup. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun makanan luar RS memberikan kontribusi protein yang rendah namun mampu memperbaiki rata-rata konsumsi protein pasien. Perbaikan rata-rata konsumsi protein pasien tidak disertai dengan meningkatnya persentase pasien yang mendapatkan asupan protein 1 – 1,25 g/kg BB setelah diberikan makanan luar RS. Hal ini mengindikasikan bahwa makanan luar RS yang diberikan kepada pasien sebagian besar tidak mengandung protein dalam jumlah yang sesuai. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein terhadap kebutuhan ditunjukkan pada Tabel 33. Tabel 33 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi protein total Kategori < 1,0 g/kg BB 1,0 – 1,25 g/kg BB ≥ 1,25 g/kg BB Total
n 18 7 5 30
Makanan RS % 60,0 23,3 16,7 100,0
Makanan RS dan Makanan luar RS n % 17 63,0 4 14,8 6 22,0 27 100,0
Konsumsi Karbohidrat dan Lemak Konsumsi Karbohidrat Rata-rata konsumsi karbohidrat total adalah 144,6 ± 70,9 g atau 44,0% dari total kebutuhan energi. Harris (2004) menuturkan bahwa asupan karbohidrat yang disarankan bagi lansia secara umum adalah 45 – 65% dari total kebutuhan energi. Berdasarkan ketentuan tersebut terlihat bahwa rata-rata konsumsi karbohidrat pasien masih dikategorikan kurang. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat terhadap kebutuhan ditampilkan pada tabel berikut ini. Tabel 34 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi karbohidrat total Konsumsi lemak < 45% kebutuhan energi 45 – 65% kebutuhan energi > 65% kebutuhan energi Total
n 17 10 3 30
% 56,7 33,3 10,0 100,0
Lebih dari setengah pasien masih mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah kurang. Rendahnya konsumsi karbohidrat tersebut mempengaruhi konsumsi energi pasien sehingga masih banyak pasien yang mengalami defisiensi energi. Hartono (2006) mengatakan bahwa karbohidrat merupakan unsur gizi yang diperlukan dalam jumlah besar untuk menghasilkan energi. Kebutuhan karbohidrat yang besar terjadi karena zat gizi ini terpakai habis dan tidak didaur ulang. Tanpa asupan karbohidrat dari makanan, tubuh dapat mengalami ketoasidosis sebagai akibat dari oksidasi lemak yang merupakan sumber energi alternative dalam keadaan kekurangan karbohidrat. Selain itu, karbohidrat juga berfungsi menjaga agar protein tidak dijadikan sumber energi. Konsumsi Lemak Rata-rata konsumsi lemak total adalah 28,7 ± 12,2 g atau 19,9% dari total kebutuhan energi. Sebagian besar pasien masih mengkonsumsi lemak dalam jumlah kurang dari 25% total kebutuhan energi. Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak terhadap kebutuhan ditampilkan pada Tabel 35. Tabel 35 Sebaran pasien berdasarkan konsumsi lemak total Konsumsi lemak < 25% kebutuhan energi 25 – 35% kebutuhan energi > 35% kebutuhan energi Total
n 24 4 2 30
% 80,0 13,3 6,7 100,0
Hartono (2006) menjelaskan bahwa lemak dan minyak merupakan zat gizi makro penting yang menempati urutan kedua sesudah karbohidrat sebagai bahan bakar untuk memberikan energi kepada sel-sel tubuh. Lemak juga mempunyai fungsi lain yang tidak dimiliki karbohidrat seperti pembentukan komponen membran sel, hormon, dan vitamin larut lemak. Konsumsi Vitamin dan Mineral Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A dari makanan RS terhadap AKG dikategorikan cukup (≥ 77% AKG), namun konsumsi vitamin dan mineral yang lainnya belum dapat memenuhi AKG pasien perhari (< 77% AKG). Rata-rata tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan RS ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36 Rata-rata konsumsi vitamin dan mineral total terhadap AKG Vitamin dan mineral Vit.A (RE) Vit. E (mg) Vit. B1 (mg) Asam folat (mcg) Vit. B6 (mg) Vit. B12 (mcg) Vit. C (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Seng (mg)
Rata-rata konsumsi 1074 ± 797 3±3 0,6 ± 0,3 122 ± 60 1,1 ± 0,5 1,8 ± 0,8 58 ± 32 426 ± 176 9±4 6,3 ± 3,2
Tk. konsumsi thd AKG 204,5 21,1 58,5 30,4 70,3 74,4 73,1 53,3 71,7 57,9
AKG asam folat dari seluruh pasien tidak terpenuhi oleh asupan dari makanan RS. AKG vitamin A sebagian besar pasien sudah terpenuhi dari asupan makanan RS. AKG vitamin E, B1, B6, B12, C, mineral kalsium, besi, dan seng pada sebagian besar pasien tidak terpenuhi dari asupan makanan RS. Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi vitamin dan mineral dari makanan RS terhadap AKG disajikan pada Gambar 3. Cukup
56.7
56.7 43.3
43.3
53.3 46.7
13.3
Zn
Fe
Ca
(%) 100
86.7
73.3 26.7
Kurang
Vit.B12
83.3
63.3 36.7 0
Vit.C
96.7
96.6
3.4
Vit.B6 Asam Folat Vit.B1
3.3 Vit.E
16.7
Vit.A
Gambar 3 Sebaran pasien berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi mikro terhadap AKG
Vitamin A, C, dan E juga sebagai antioksidan yang dapat mengurangi kerusakan sel akibat radikal bebas (Wirakusumah 2001). Kebanyakan kasus anemia terjadi karena defisiensi zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, seperti zat besi, vitamin B6, B12, C, dan asam folat (Stopler 2004). Beberapa pasien yang menderita asites atau edema akibat retensi cairan mendapatkan obat Furosemide yang bersifat diuretik. Defisiensi tiamin (B1) karena pemberian obat furosemid pertama kali terjadi pada tikus percobaan. Defisiensi sedang vitamin B1 dapat terjadi pada pasien lansia di rumah sakit serta pada pasien gagal jantung kronik dengan terapi diuretik (Witte & Clark 2004). Osteoporosis terjadi karena proses demineralisasi tulang. Penyebab proses ini ialah defisiensi kalsium karena asupan kurang dan penyerapan kalsium menurun, gangguan keseimbangan hormon seks akibat menopause,
dan ketidakaktifan fisik (Arisman 2003). Defisiensi seng berhubungan dengan gangguan fungsi imun, anoreksia, dysgeusia (kehilangan nafsu makan), dan lamanya proses penyembuhan (Harris 2004). Rendahnya tingkat kecukupan vitamin dan mineral terhadap ketersediaan dari makanan RS menunjukkan masih rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang merupakan sumber utama dari vitamin dan mineral. Hubungan antar Variabel Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia dan Status Pernikahan Berdasarkan Susenas 2004, angka harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Angka harapan hidup perempuan di Provinsi Jawa Barat adalah 68 tahun, sedangkan angka harapan hidup laki-laki adalah 63,8 tahun (BPS 2004). Hal tersebut juga ditunjukkan pada Tabel 37 bahwa persentase pasien pria yang berusia lanjut adalah lebih banyak daripada wanita, sedangkan persentase pasien wanita yang berusia lanjut tua dan lanjut sangat tua adalah lebih banyak daripada pria. Tabel 37 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia Usia Usia Usia lanjut Usia lanjut tua Usia lanjut sangat tua Total
Wanita
Pria
n
%
n
%
11 7 1 19
57,9 36,8 5,3 100,0
7 4 0 11
63,6 36,4 0,0 100,0
Persentase pada pasien pria yang masih memiliki pasangan adalah lebih banyak dari pada wanita, dan persentase janda lebih banyak daripada duda. Terjadinya hal ini diduga akibat perceraian karena kematian suami. Komnas Lansia (2008) mengatakan bahwa kematian pasangan hidup merupakan suatu hal yang dapat menjadi stressor psikososial yang paling berat. Hal tersebut juga ditunjukkan pada Tabel 38. Tabel 38 Sebaran pasien berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan Status perkawinan Status perkawinan Menikah (masih ada pasangan) Duda atau janda Total
Wanita
Pria
n
%
n
%
2 17 19
10,5 89,5 100,0
9 2 11
81,8 18,2 100,0
Hubungan Usia dengan Indeks Massa Tubuh Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh sekitar 2 – 3% perdekade. Sarkopenia, kehilangan massa otot yang berkaitan dengan usia, berkontribusi terhadap penurunan kekuatan otot, perubahan pada gaya berjalan dan keseimbangan, kehilangan fungsi fisik, dan meningkatnya risiko penyakit kronis (Harris 2004). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) (p>0,05) (r = -0,117; p = 0,537). Hal ini terjadi diduga karena adanya faktor lain yang turut pula mempengaruhi status gizi pasien. Lansia yang mengalami masalah gizi disebabkan oleh sejumlah faktor seperti fisik, patologis, dan psikososial (Watson 2003). Hubungan Status Gizi dengan Jumlah Penyakit Kekurangan energi dan protein adalah penurunan jaringan tidak berlemak dari tubuh secara patologis yang disebabkan karena kelaparan (starvation) atau kombinasi kelaparan dengan stres katabolik. Adanya kondisi kekurangan energi dan protein sedang dan berat dapat diketahui pada usia lanjut berdasarkan komposisi tubuh, penurunan berat badan, hasil laboratorium, dan pengukuran antropometri. Kekurangan energi dan protein berkaitan dengan tingginya komplikasi penyakit (Setiati 2006). Berdasarkan hasil Uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara jumlah penyakit yang diderita dengan Indeks Massa Tubuh (p > 0,05) (r = -0,138; p = 0,466). Hal ini diduga karena status gizi pasien tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah penyakit yang diderita, namun juga jenis dari penyakitnya. Hubungan Usia dengan Kebutuhan Energi Kebutuhan energi secara umum menurun seiring bertambahnya usia karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, penurunan angka metabolisme basal, dan pengurangan aktivitas fisik (Frary & Johnson 2004). Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara usia dengan kebutuhan energi (p > 0,05) (r = -0,283; p = 0,129). Hal ini diduga karena kebutuhan energi pada lansia yang sakit juga dipengaruhi oleh adanya penyakit yang diderita. Lansia yang menderita penyakit maka energi yang mereka butuhkan akan meningkat, khususnya dalam kondisi infeksi dan setelah cedera (Watson 2003).
Hubungan Usia dengan Tingkat Konsumsi Energi Makanan Olahan RS terhadap Ketersediaan Beberapa perubahan fisiologis yang berpengaruh seperti perubahan sensorik yang menyebabkan pengurangan kemampuan untuk mencium dan merasakan makanan menyebabkan nafsu makan berkurang. Ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan
keadaan
salah
gizi
(Watson
2003).
Hasil
Uji
Pearson
menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara variabel usia dengan tingkat konsumsi energi terhadap ketersediaan dari makanan olahan RS (p > 0,05) (r = 0,111; p = 0,574). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia bukanlah satu-satunya hal yang mempengaruhi pasien dalam mengkonsumsi makanan RS. Selain itu, hal-hal lain seperti keadaan penyakit, psikologis, dan motivasi untuk cepat sembuh juga mempengaruhi pasien untuk mengkonsumsi makanan RS secara optimal. Watson (2003) menerangkan, ketika sakit maka nafsu makan lansia akan tampak semakin berkurang sehingga dapat menyebabkan keadaan salah gizi. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (1986) dalam Subandriyo dan Santoso (1995) menjelaskan, bagi pasien rawat inap yang memerlukan terapi diet maka terhadap pasien tersebut akan dilakukan perencanaan, pengolahan, hingga penyajian makanan khusus atau diet. Selain itu diberikan pula penyuluhan atau konsultasi gizi dan evaluasi kemajuan penyakitnya. Pasien yang tidak memerlukan terapi diet maka pasien tersebut akan mendapat makanan biasa dan apabila berminat maka pasien tersebut bisa mendapatkan penyuluhan gizi. Konsultasi mengenai gizi dan pangan kepada pasien dan keluarga dirasa amat perlu untuk meningkatkan motivasi pasien untuk sembuh, salah satu cara yaitu dengan mengoptimalkan konsumsi makanan RS. Berdasarkan Komnas Lansia (2008), penyakit pada lansia sering merupakan gangguan fisik dan psikis (jiwa) secara bersamaan, khususnya pada mereka yang telah lama menderita sakit sering mengalami tekanan jiwa (depresi). Pengobatan sebaiknya dilakukan tidak hanya terhadap gangguan fisik saja, tetapi juga gangguan jiwanya.