22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan I. Induksi Kalus Awalnya percobaan ini menggunakan rancangan percobaan RAL 2 faktorial namun terdapat beberapa perlakuan yang hilang akibat kontaminasi kultur yang cukup besar disertai banyaknya eksplan yang mengering/mati. Maka pada percobaan I pengolahan data dilakukan menggunakan RAL 1 faktor yaitu kombinasi media perlakuan. Tahap Inisiasi Inisiasi dilakukan pada tanggal 27 April, 11 dan 14 Mei 2010. Respon awal yang muncul dalam tahap inisiasi yaitu eksplan mulai membengkak pada minggu pertama. Sebagian besar eksplan hanya mengalami pembengkakan, sebagian lagi mulai muncul kalus pada minggu kedua dan sebagian kecil tidak menunjukkan respon yang berarti sampai minggu keempat. Tabel 4. Respon Berbagai Varietas Bahan Eksplan Tahap Inisiasi terhadap Berbagai Media Perlakuan pada 4 MST Media MS MS MS MS MS MS B5 B5 B5 B5 B5 B5 WPM WPM WPM WPM WPM WPM
Perlakuan Picloram (ppm) 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5
Varietas Chanee Monthong Aksis bengkak kalus putih bengkak kalus putih kalus coklat muda bengkak kalus putih bengkak kalus coklat muda kalus coklat muda kalus putih bengkak bengkak kalus putih bengkak kalus putih bengkak kalus putih bengkak bengkak bengkak kalus putih bengkak kalus putih bengkak kalus putih bengkak bengkak kalus putih bengkak
Monthong Terminal kalus coklat muda Bengkak Bengkak Bengkak Bengkak Bengkak kalus putih Bengkak Bengkak Bengkak kalus putih Bengkak kalus putih Bengkak Bengkak kalus putih
Keterangan : tanda (–) menunjukkan bahwa eksplan tidak memberikan respon terhadap media
23 Menurut George dan Sherrington (1984) kalus merupakan kumpulan sel yang tidak terorganisir, tidak berbentuk dan terjadi karena pembelahan yang sangat aktif. Dengan adanya rangsangan dari hormon endogen atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan (eksogen) menyebabkan metabolisme sel menjadi aktif.
Dalam keadaan demikian jaringan dikatakan sedang
mengalami
dedifferensiasi. Keadaan ini terus berlangsung selama proliferasi kalus. Jika melihat respon pada tahap inisiasi ini, embrio zigotik durian Chanee terlihat lebih responsif dibandingkan durian Monthong. Dari 18 jenis media perlakuan yang diujikan (Tabel 4), embrio zigotik durian Chanee memberikan respon bengkak pada 2 media perlakuan, berkalus pada 12 media perlakuan dan ada juga eksplan yang tidak memberikan respon. Sedangkan embrio zigotik durian Monthong memberikan respon berkalus hanya pada dua media perlakuan untuk embrio bagian aksis dan pada lima media perlakuan untuk embrio bagian terminal.
A
B
Gambar 7. Tipe Kalus: (A) Kalus Tipe 1, (B) Kalus Tipe 2 Terdapat dua tipe kalus yang terlihat pada tahap ini. Tipe yang pertama (Tipe 1) yaitu kalus putih yang memiliki ciri-ciri struktur kalusnya kompak dan tumbuh secara berkelompok di salah satu sisi eksplan (Gambar 7a). Sedangkan kalus Tipe 2 berwarna coklat muda, struktur kalusnya remah dan menyebar di seluruh permukaan eksplan (Gambar 7b). Kedua tipe kalus ini hampir mirip dengan kalus Kakao yang berhasil diinduksi oleh Maximova et al. dalam penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2002. Menurut Maximova et al. (2005) kalus yang berasal dari eksplan staminodes kakao memiliki 2 tipe kalus, tipe pertama kalus putih yang jika dilihat di bawah mikroskop selnya terlihat
24 memanjang, dari kumpulan kalus tipe ini tidak pernah ada yang berkembang menjadi embrio somatik. Tipe kedua terdiri dari sel-sel bulat berwarna coklat terang hingga coklat gelap dan friable (remah). Kumpulan sel tipe ini seringkali ditemukan berasosiasi dengan embrio somatik. Kalus pada kakao dan durian memiliki penampakan yang hampir sama kemungkinan karena kedua tanaman ini berkerabat dekat (berasal dari satu Famili yaitu Malvaceae). Tahap Subkultur I (SK I) Parameter yang diamati pada tahap subkultur I ini adalah persentase eksplan berkalus. Pada tiap varietas terdapat beberapa perlakuan yang tidak terisi data, hal ini terjadi karena kultur mengalami kontaminasi sehingga tidak memenuhi ulangan. Jika dibandingkan dengan respon kultur pada saat inisiasi, pada subkultur I ini varietas Monthong mengalami perkembangan respon kalus yang cukup pesat, terlihat dari banyaknya eksplan yang mulai berkalus pada berbagai perlakuan media dan persentase eksplan berkalus yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan varietas Chanee. Eksplan dari embrio zigotik durian Chanee memiliki kalus yang sedikit dan kalusnya cepat berubah warna. Sehingga pada subkultur berikutnya, kalus durian Chanee mengalami perubahan warna yang cukup drastis, sebagian besar kalusnya mencoklat lalu kering dan mati, dan sebagian lagi terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri (7 perlakuan), sehingga hanya sedikit yang mampu bertahan sampai akhir penelitian. Sementara untuk eksplan yang berasal dari embrio zigotik dewasa durian varietas Monthong, meskipun responnya terhadap media perlakuan agak lambat, yaitu sebagian besar
kalus baru muncul pada subkultur I (eksplan berumur
5-8 MST), namun kalus yang dihasilkan lebih banyak, proliferasi kalusnya lebih cepat sementara pola perubahan warnanya lebih lambat, sehingga kalus dari varietas Monthong inilah yang dominan dipakai dalam percobaan berikutnya (percobaan II dan percobaan III). Perlakuan media berpengaruh nyata terhadap rata-rata persentase eksplan berkalus yang berbeda sangat nyata pada semua jenis eksplan (Tabel 5). Persentase eksplan berkalus untuk eksplan varietas Monthong cukup tinggi pada
25 media MS hampir semua taraf konsentrasi picloram. Pada eksplan embrio zigotik Monthong bagian aksis, kalus berhasil diinisiasi pada eksplan sebesar 100% pada media MS dengan tambahan Picloram 2, 3 dan 5 ppm, sedangkan untuk eksplan bagian terminal pada media MS yang dilengkapi dengan Picloram 1, 3 dan 5 ppm. Untuk varietas Chanee, media yang menunjukkan rata-rata persentase eksplan berkalus tertinggi adalah media B5 + picloram 4 ppm, yaitu mencapai 100%. Tabel 5. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Rata-rata Persentase Eksplan Berkalus Tahap Sub Kultur I pada 4 MST Perlakuan Media Picloram (ppm) MS 0 MS 1 MS 2 MS 3 MS 4 MS 5 B5 0 B5 1 B5 2 B5 3 B5 4 B5 5 WPM 0 WPM 1 WPM 2 WPM 3 WPM 4 WPM 5 Pr > F KK (%)
Embrio Chanee 12.5 e 64.2 a-d 80.0 ab 36.3 cde 25.0 e 100.0 a 70.7 abc 46.0 b-e 26.1 e 70.8 abc 28.3 de 0.0018 28.35 (34.50)
Monthong Embrio Aksis 74.7 abc 100.0 a 100.0 a 100.0 a 36.1 cde 13.0 e 47.6 b-e 23.3 de 66.7 a-d 74.7 ab 6.7 e 33.3 cde 29.0 cde 0.0 e 0.0 e 0.0 e 0.0001 42.49 (57.24)
Embrio Terminal 66.67 ab 100.0 a 90.0 a 100.0 a 100.0 a 0.0 d 26.7 bcd 20.0 cd 62.5 abc 83.3 a 58.7 abc 13.3 d 21.7 bcd 80.0 a 22.5 bcd 0.0001 30.37 (40.66)
Keterangan : Tanda – menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus 𝑥 + 0.5
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa media MS mampu menginduksi kalus pada eksplan embrio zigotik durian Monthong dengan persentase tinggi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Helmi (2009) mengenai embriogenesis
26 somatik manggis yang memperoleh hasil bahwa media MS sangat nyata menginduksi lebih banyak eksplan untuk membentuk kalus yang diduga embriogenik dibandingkan dengan media B5 dan WPM. Namun sampai disini belum dapat dipastikan apakah kalus yang terbentuk dari embrio zigotik durian Monthong ini adalah kalus embriogenik. Tahap Subkultur II (SK II) Eksplan yang digunakan pada subkultur II merupakan eksplan berkalus pada tahap sub kultur I, sehingga paket perlakuan pada subkultur II tidak selengkap pada subkultur I, hanya tersisa 9 perlakuan saja, seperti terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Hasil yang berbeda nyata antar perlakuan dapat terlihat pada parameter rata-rata diameter eksplan berkalus (2-4 MST) (Tabel 6), rata-rata persentase kalus remah dan rata-rata skor kalus (Tabel 7). Pada parameter rata-rata persentase eksplan berkalus hasil yang ditunjukkan antar perlakuan sangat berbeda nyata. Tabel 6. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Bobot dan Diameter Eksplan Berkalus Tahap Sub Kultur II Perlakuan Picloram Media (ppm) MS 1 WPM 0 WPM 3 WPM 4 WPM 5 B5 0 B5 3 B5 4 B5 5 Pr > F KK (%)
Bobot 4 MST (g) 0.02 b 0.04 b 0.02 b 0.09 b 0.00 b 0.11 b 0.39 a 0.02 b 0.04 b 0.0004
Diameter (cm) 1 MST
0.04 b 0.09 b 0.00 b 0.10 b 0.00 b 0.22 ab 0.50 a 0.00 b 0.00 b 0.1179 15.93 7.67 (133.87) (217.62)
2 MST
3 MST
4 MST
0.34 b 0.22 b 0.36 b 0.55 b 0.25 b 1.03 ab 1.92 a 0.10 b 0.13 b 0.0413 31.88 (137.95)
0.50 b 0.41 b 0.39 b 0.96 b 0.25 b 1.29 b 2.79 a 0.17 b 0.25 b 0.0373 36.54 (134.89)
0.59 b 0.66 b 0.44 b 1.28 b 0.25 b 1.53 b 3.63 a 0.53 b 0.49 b 0.0401 37.19 (124.48)
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus 𝑥 + 0.5
27 Pada parameter pertambahan bobot, diameter, persentase eksplan berkalus dan skor kalus, kombinasi media B5 dengan tambahan picloram 3 ppm merupakan media yang menunjukkan hasil tertinggi. Eksplan pada media tersebut mengalami rata-rata penambahan bobot sebesar 0.39 gram dan diameter 3.63 cm setelah dikultur selama 4 MST, dengan 100% eksplan berkalus dan mampu membentuk kalus yang baru dengan skor kalus 3.5 yang artinya rata-rata persentase penutupan eksplan oleh kalus mencapai 87.5% (Tabel 5 dan Tabel 6). Tabel 7. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap % Eksplan Berkalus, % Kalus Berstruktur Remah, Skor, dan Warna Kalus Tahap Sub Kultur II pada 4 MST Perlakuan Picloram Media (ppm) MS 1 WPM 0 WPM 3 WPM 4 WPM 5 B5 0 B5 3 B5 4 B5 5 Pr > F KK (%)
% Eksplan Berkalus 50.00 b 96.43 a 95.00 a 65.00 ab 50.00 b 86.90 a 100.0 a 65.00 ab 49.43 b 0.0042 28.43
% Kalus Remah 50.00 ab 71.43 a 40.00 ab 00.00 b 25.00 ab 00.00 b 33.33 ab 60.00 ab 00.00 b 0.0357 22.72 (113.93)
Skor Kalus
Warna Kalus
0.50 c 2.76 ab 2.15 abc 1.93 abc 1.13 bc 2.05 abc 3.50 a 1.05 bc 0.98 c 0.0108 22.56 (55.12)
coklat kc, cm pk, cm, c putih p,c p, pk, pc pk, c p, cm, c p, cm
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Warna kalus : p = putih, pk = putih kekuningan, pc = putih kecoklatan, kc = kuning kecoklatan, cm = coklat muda, c = coklat. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus 𝑥 + 0.5
Kombinasi 9 perlakuan yang tersisa menunjukkan persentase kalus berstruktur remah tertinggi terdapat pada media WPM tanpa tambahan ZPT yaitu sebesar 71.43 %. Kalus yang berstruktur remah tersebut teramati memiliki warna kalus putih kekuningan, kuning kecoklatan, coklat muda atau coklat dan agak bening (Gambar 8). Menurut Bhojwani dan Razdan (1989) kalus embriogenik dicirikan tidak kompak, mudah memisah (friabel) dan berwarna agak bening.
28 Namun sampai disini belum dapat dipastikan apakah kalus durian yang dihasilkan pada tahap ini embriogenik atau tidak.
Gambar 8. Kalus Berstruktur Remah
Percobaan II. Proliferasi Kalus dan Induksi Kalus Embriogenik Pada awalnya percobaan II terdiri dari 12 perlakuan, namun akibat kontaminasi kultur terdapat tiga perlakuan yang hilang yaitu WPM + picloram (3, 4 dan 5 ppm), sehingga hanya tinggal 9 perlakuan yang tersisa. Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru Kalus yang mampu beregenerasi dengan baik ditandai dengan munculnya kalus-kalus baru pada
bagian segmen kalus bekas pelukaan. Kalus yang
diharapkan muncul pada bekas pelukaan adalah kalus embriogenik, namun pada subkultur III sebagian besar kalus baru yang muncul hanya berupa kalus putih yang berstruktur seperti kapas. Pada subkultur III dan IV, semua kalus yang disubkultur pada media perlakuan dapat berkembang dengan cukup baik (yaitu > 70 % kalus pada subkultur III dan ≥ 75 % kalus pada subkultur IV mampu membentuk kalus baru). Perlakuan yang menunjukkan persentase kalus yang membentuk kalus baru paling cepat mencapai 100% adalah perlakuan media B5 tanpa ZPT dan media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap persentase kalus yang membentuk kalus baru pada subkultur IV dan sangat nyata pada subkultur V. Namun tidak dapat disimpulkan perlakuan mana yang terbaik karena terdapat beberapa perlakuan yang rata-rata persentase kalus yang membentuk kalus barunya mencapai 100% (Tabel 8).
29 Tabel 8. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru (4 MST)
Perlakuan (ppm) Media MS MS MS MS WPM B5 B5 B5 B5 Pr > F KK (%)
BAP (ppm) 1 1 1 0 0 0 0 0 0
Pic (ppm) 3 4 5 1 0 0 3 4 5
SK III 75.00 100.0 91.67 85.71 72.92 100.0 81.38 83.33 83.35 0.2905 21.9
SK IV 100.0 a 98.00 a 87.50 ab 93.34 a 100.0 a 95.24 a 97.22 a 75.00 b 100.0 a 0.0359 10.47
SK V 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 100.0 a 75.84 bc 75.00 c 100.0 a 0.0050 16.27
SK VI 98.33 98.33 100.0 0.9075 6.33
Keterangan : Tanda – menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Bobot, Diameter dan Skor Penutupan Kalus Proliferasi kalus adalah perbanyakan/perkembangan sel-sel kalus. Kemampuan proliferasi kalus dapat terlihat dari pertambahan bobot, diameter dan skor penutupan kalus (Tabel 9). Menurut Gunawan (1992) suatu sifat yang teramati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan periphery yang membelah terus menerus, sedangkan sel-sel ditengah tetap muda, sehingga terjadi pertambahan diameter gumpalan dan bobot kalus yang terbentuk. Perlakuan berpengaruh sangat nyata pada parameter bobot subkultur III dan IV. Perlakuan yang memberikan bobot tertinggi MS + BAP 1 ppm +
adalah kombinasi media
picloram 4 ppm pada SK III dan kombinasi media
MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm pada SK IV. Disini terlihat bahwa pada konsentrasi picloram yang lebih rendah, pertambahan bobot kalus justru semakin tinggi pada subkultur berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kebutuhan akan picloram dan konsentrasi picloram yang lebih tinggi justru menghambat penambahan bobot kalus.
30
Tabel 9. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Bobot, Diameter dan Skor Ukuran Kalus Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan Me BAP Pic dia (ppm) (ppm) MS 1 3 MS 1 4 MS 1 5 MS 0 1 WPM 0 0 B5 0 0 B5 0 3 B5 0 4 B5 0 5 Pr > F KK (%)
Bobot 4 MST (gram) SK III 0.02 b 0.17 a 0.03 b 0.02 b 0.02 b 0.05 b 0.11 ab 0.02 b 0.03 b 0.0046 6.31 (115.1)
SK IV 0.40 a 0.21 b 0.05 b 0.02 b 0.05 b 0.06 b 0.14 b 0.03 b 0.12 b 0.0001 8.88 (77.7)
SK V 0.28 0.46 0.22 0.02 0.04 0.57 0.04 0.08 0.0557 19.29 (124.21)
Diameter 4 MST (cm) SK VI 0.30 0.28 0.32 0.9288 10.26 (61.6)
SK III 0.00 b 1.60 a 0.63 ab 0.02 b 0.13 b 0.42 b 0.84 ab 0.00 b 0.44 b 0.002 26.66 (116.3)
SK IV 2.18 a 1.26 ab 0.38 b 0.02 b 0.13 b 0.37 b 0.63 b 0.50 b 0.75 b 0.0019 29.97 (104.39)
SK V 1.83 ab 2.26 a 1.08 ab 0.19 b 0.12 b 1.36 ab 0.33 b 0.83 ab 0.0089 31.12 (89.41)
Skor Ukuran Kalus 4 MST SK VI 1.34 1.51 1.35 0.8838 24.06 (67.79)
SK III 0.92 d 3.44 a 2.08 bcd 1.34 cd 2.23 abc 2.83 ab 2.58 ab 1.00 cd 1.25 cd 0.0001
SK IV 3.55 a 3.53 a 2.54 b 1.23 c 2.33 b 2.74 ab 2.02 bc 2.25 b 2.00 bc 0.0001
SK V 3.51 a 3.13 ab 2.50 bc 2.13 c 2.46 c 2.03 cd 1.75 c 2.67 abc 0.0001
SK VI 2.90 2.19 3.34 0.0887
36.26
22.36
24.43
38.8
Keterangan : Tanda – menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus 𝑥 + 0.5
30
31 Pada parameter diameter kalus, perlakuan berpengaruh sangat nyata pada subkultur III, IV dan V. Perlakuan yang memberikan diameter tertinggi adalah kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 4 ppm pada SK III, SK V dan SK VI. Pada SK IV rata-rata diameter tertinggi terjadi pada kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm sebesar 2.18 cm. Pada parameter skor ukuran kalus, perlakuan berpengaruh sangat nyata pada subkultur III, IV dan V. Media yang memberikan skor ukuran kalus tertinggi adalah kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 4 ppm pada SK III, kombinasi media B5 + picloram 3 ppm pada SK IV dan SK V dan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 5 ppm pada SK VI. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kalus dari media B5 + picloram mengalami proliferasi yang lebih baik jika disubkultur pada media MS + BAP 1 ppm + picloram, dibandingkan tetap disubkultur pada media B5 + picloram tanpa penambahan BAP. Menurut Wattimena et al. (1992) kemampuan jaringan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus dapat berbeda-beda pada tiap tanaman, tergantung medium, zat pengatur tumbuh dan faktor lingkungan lainnya.
Persentase Kalus Embriogenik dan Waktu Awal Kemunculannya Waktu mulai munculnya kalus yang diduga embriogenik terjadi dalam rentang waktu subkultur II hingga subkultur IV (Tabel 10). Media yang memberikan hasil persentase kalus embrionik yang tertinggi pada subkultur III adalah media MS + picloram 1 ppm sebesar 85.7 %, namun tidak berbeda nyata dengan media B5 + picloram 3 ppm (81.4 %) dan media MS + BAP 1 ppm + Picloram 3 ppm (75 %). Pada subkultur IV, hanya media MS + picloram 1 ppm yang rata-rata persentase kalus embrioniknya meningkat dari ketiga kombinasi perlakuan terbaik tadi, namun karena kontaminasi kultur yang tinggi pada perlakuan ini, sehingga datanya tidak bisa dilihat lagi pada subkultur V dan VI. Persentase pembentukan kalus embrionik hingga 100% mampu dicapai pada beberapa kombinasi perlakuan, yaitu pada media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm (subkultur IV
32 dan V), media MS + BAP 1 ppm + Picloram 5 ppm (subkultur VI) dan B5 + Picloram 5 ppm (subkultur IV dan V). Tabel 10. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Waktu Munculnya Kalus Embrionik dan Persentase Kalus Embrionik pada Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Waktu Munculnya BAP Pic Kalus Media (ppm) (ppm) Embrionik MS 1 3 SK III, 3 MST MS 1 4 SK IV, 2 MST MS 1 5 SK IV, 4 MST MS 0 1 SK II, 4 MST WPM 0 0 SK II, 4 MST B5 0 0 SK IV, 2 MST B5 0 3 SK II, 4 MST B5 0 4 SK II, 4 MST B5 0 5 SK IV, 3 MST Pr > F KK (%) Perlakuan
Persentase Kalus Embrionik (4 MST) SK III 75.0 ab 0.00 c 0.00 c 85.7 a 0.00 c 0.00 c 81.4 a 50.0 b 0.00 c 0.0001 10.78 (57.44)
SK IV 44.4 ab 100.0 a 87.5 ab 93.3 a 33.3 b 28.6 b 77.7 ab 50.0 ab 100.0 a 0.0059 18.87 (56.45)
SK V
SK VI
70.0 ab 100.0 a 50.0 abc 0.00 c 28.5 abc 55.8 ab 75.0 ab 100.0 a 0.0015 18.84 (57.86)
33.3 b 66.7 ab 100.0 a 0.0463 25.03 (86.42)
Keterangan : Tanda – menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus 𝑥 + 0.5
Menurut Evans et al. (1981) terdapat dua macam kalus yang dapat terbentuk dalam kultur jaringan suatu tanaman, yaitu kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Kalus embriogenik adalah kalus yang memiliki potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman, baik melalui organogenesis (langsung membentuk organ) maupun embriogenesis (melalui pembentukan embrio somatik). Perubahan yang teramati secara fisik ketika suatu sel yang non embriogenik menjadi embriogenik adalah ketika sel tersebut mengalami pembelahan yang tidak sama (asymmetric) yang menghasilkan sel dengan vakuola lebih besar dan sitoplasma yang lebih kecil dan padat. Sel embriogenik yang terbentuk dapat dibedakan dari ukurannya yang kecil, berbentuk isodiametrik dan sitoplasma yang padat. Dalam perkembangan awal sel embriogenik ini berbentuk globular dengan massa pembelahan sel yang terorganisir dan epidermis yang jelas akan tetapi masih belum terdiferensiasi (Gray, 2005).
33 Menurut Jimenez (2001), pembelahan asimetrik tidak secara langsung membentuk embrio, tetapi terlebih dahulu membentuk proembryogenic masses (PEMs) yang kemudian hanya satu atau beberapa sel saja yang berkembang menjadi embrio. Sisa PEMs yang yang tidak membentuk embrio akan tereleminasi melalui suatu siklus kematian sel yang teratur. Kalus yang diduga embriogenik pada perlakuan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + Picloram (3-5) ppm, mulai menunjukan tanda-tanda terbentuknya embrio somatik fase pro-embrio globular pada subkultur VI setelah disubkultur selama 1 MST (Gambar 9). Diantara kalus yang remah mulai terlihat bentukan menyerupai bulatan-bulatan kecil yang menempel pada eksplan.
Gambar 9. Kalus dengan Pro-Embrio Globular pada Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm Dodds & Robert (1985) menyebutkan bahwa faktor kimia terpenting dalam media induksi embriogenesis somatik adalah auksin dan nitrogen tereduksi. Diduga karena nitrogen pada media MS lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan media B5 dan WPM maka media MS mampu mempercepat waktu munculnya kalus yang diindikasikan sebagai kalus embrionik. Namun dalam penelitian ini waktu terbentuknya kalus pada semua jenis media terlihat relatif seimbang dan dipengaruhi juga oleh jenis dan konsentrasi ZPT yang ditambahkan. Karena percobaan II ini menggunakan rancangan RAL 1 faktor, sehingga pengaruh jenis media tidak dapat dilihat secara statistik. Picloram merupakan salah satu jenis auksin yang telah terbukti mampu mendorong pembentukan embrio somatik. Muchtar (1996) melaporkan bahwa pada tanaman rotan manau (Calamus manan M.) pembentukan embio somatik yang maksimum terjadi pada auksin picloram pada konsentrasi 2 ppm. Walaupun
34 secara statistik tidak berbeda nyata namun meningkatnya konsentrasi picloram, menurunkan embrio somatik yang terbentuk. Didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nindita (2010) yang menunjukkan bahwa embrio somatik dapat terbentuk dari kalus yang dikulturkan
pada media MS yang mengandung
picloram 1.0 mg/l saja untuk jenis eksplan aksis embrio dan kotiledon pada tanaman jarak pagar. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2009) menunjukkan bahwa embrio somatik pada manggis dapat terbentuk pada media WPM + picloram 1 µM, B5 + picloram 0.5 µM dan B5 + picloram 1 µM, dengan persentase yang sama yaitu. 6.25 %. Meskipun pada beberapa penelitian tersebut di atas picloram baik untuk menginduksi embrio somatik secara tunggal dan dalam taraf rendah, namun pada penelitian ini embrio somatik baru mulai terbentuk saat terjadi kombinasi antara sitokinin taraf rendah (BAP
1 ppm)
dan auksin taraf lebih tinggi
(Picloram 3-5 ppm). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wattimena et al (1992) bahwa umumnya induksi embriogenesis memerlukan nisbah auksin-sitokinin yang tinggi, yaitu konsentrasi auksin dalam media lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin.
Struktur dan Warna Kalus Kalus yang embriogenik cenderung memiliki struktur yang remah, pada Tabel 10 disajikan data mengenai persentase kalus yang remah dan kompak pada berbagai kombinasi media perlakuan. Pada subkultur III, kalus berstruktur remah hanya dimiliki oleh 4 media dari 9 media yang ada, sisanya baru mulai terlihat pada subkultur IV. Kalus pada perlakuan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm, MS + BAP 1 ppm + Picloram 5 ppm, MS + picloram 1 ppm dan B5 + picloram 5 ppm pada subkultur IV memiliki persentase kalus remah mencapai 100 %. Persentase kalus remah cenderung meningkat pada subkultur IV dan V, walaupun ada 2 media yang mengalami penurunan yaitu perlakuan MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm dan B5 + picloram 3 ppm (Tabel 11). Parameter warna kalus tidak menunjukkan perbedaan warna yang mencolok diantara semua perlakuan (Lampiran 4). Karena pada dasarnya, kalus yang muncul pada masa awal inisiasi hanya memiliki 2 warna, yaitu putih dan
35 coklat muda. Namun seiring dengan berjalannya waktu subkultur, keragaman warna kalus yang muncul mulai beragam menjadi 7 (tujuh) warna seperti terlihat pada Lampiran 2. Kalus yang pada waktu inisiasi percobaan I memiliki warna putih dan berstruktur kompak, pada subkultur berikutnya warrnanya berubah dan memiliki pola sebagai berikut: putih putih kekuningan putih kecoklatan kuning kuning kecoklatan coklat muda coklat mati/kering. Tabel 11. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Persentase Struktur Kalus (Remah (RH) dan Kompak (KP)) Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan Media MS MS MS MS WPM B5 B5 B5 B5
BAP (ppm Pic (ppm) 1 1 1 0 0 0 0 0 0
3 4 5 1 0 0 3 4 5
Persentase Struktur Kalus (4 MST) SK III SK IV SK V SK VI RH KP RH KP RH KP RH KP 0 44 56 84 16 39 61 100 0 100 100 0 100 0 68 32 0 100 100 0 67 33 100 0 100 0 100 0 0 100 33 67 0 100 0 100 28 72 28 72 0 78 22 80 20 100 67 33 67 33 100 0 0 100 100 0 100 0 -
Keterangan : Tanda – menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Pic = Picloram.
Kalus yang pada waktu inisiasi sejak munculnya sudah berwarna coklat muda, pada perkembangan berikutnya kalus-kalus baru yang muncul disekitar kalus tersebut akan berwarna putih kekuningaan, kuning, kuning kecoklatan atau tetap coklat muda. Namun jika tidak muncul lagi kalus baru, maka dari kalus coklat muda itu akan berubah warna menjadi coklat dan mati. Struktur kalus tidak berkaitan dengan warna kalusnya, karena kalus yang berstruktur kompak warnanya bisa bermacam-macam, begitu pula dengan kalus yang berstruktur remah.
36 Percobaan III. Pendewasaan Embrio Somatik Persentase Tipe Kalus Meskipun eksplan berasal dari perlakuan yang sama, namun terdapat 4 tipe kalus yang teramati (Gambar 6, pada Bab Bahan dan Metode). Kalus tersebut disebar dalam 15 kombinasi media perlakuan (percobaan III.a) dan 12 kombinasi media perlakuan (Percobaan III.b). Agak sulit untuk mengelompokkan kalus yang setipe sebelum masuk ke media perlakuan pada percobaan III. Karena keempat tipe kalus tersebut ada pada hampir semua botol. Sehingga kalus-kalus tersebut disubkultur pada media perlakuan tanpa terlebih dahulu menyamaratakan persentasenya. Sehingga persentase dari setiap tipe pada awal subkultur (0 MST) ditampilkan juga pada Tabel 12 dan Tabel 13. Kalus yang diduga embriogenik adalah tipe 2 dan tipe 3, tipe 2 adalah kalus yang memiliki bentukan globular yang menyatu dengan kalus yang bertekstur remah dan transparan, sementara kalus tipe 3 memiliki ciri kalus embriogenik yaitu bertekstur remah dan berwarna kuning hingga coklat dengan warna agak transparan, namun belum terlihat bentukan globularnya. Percobaan III.a (perlakuan BAP-NAA, Tabel 12) menunjukkan pada hampir semua perlakuan, persentase kalus tipe 2 menurun pada 4 MST dan semakin berkurang pada 8 MST, bahkan habis pada
beberapa perlakuan
BAP 1 dan 2 ppm. Sedangkan persentase kalus tipe 3 pada hampir semua perlakuan meningkat pada 4 MST dan untuk hampir semua perlakuan BAP 0 ppm (kecuali picloram 4) persentase kalus tipe 3 menurun, sedangkan untuk perlakuan yang lain tetap. Jika dilihat selisih antara data 8 MST dan 0 MST, penurunan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm dan MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm yaitu sebesar 60 %. Sedangkan peningkatan persentase tipe kalus 3 yang terbesar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 3 ppm yaitu sebesar 50%. Penurunan persentase kalus tipe 2 pada paket perlakuan BAP-NAA ini adalah akibat banyaknya pro-embrio globular yang berdedifferensiasi menjadi kalus, kalus yang dihasilkan ini memiliki karakter yang sama dengan kalus tipe 3, hal inilah yang menyebabkan persentase kalus tipe 3 meningkat. Kondisi ini
37 kemungkinan disebabkan oleh eksplan yang sudah terlalu sering mengalami subkultur (pada akhir pengamatan eksplan sudah disubkultur sebanyak delapan kali), sehingga kemampuannya untuk membentuk embrio somatik sudah melemah. Percobaan III.b (perlakuan BAP-Picloram, Tabel 13) menunjukkan hasil pada media perlakuan MS + BAP 1 + Picloram 4 persentase kalus tipe 2 meningkat dari 0% menjadi 10% pada 4 MST dan 20 % pada 8 MST. Sedangkan pada media MS + Picloram 12 persentase kalus tipe 2 meningkat dari 10% menjadi 20% pada 4 MST dan tetap 20 % pada 8 MST. Sedangkan untuk kalus tipe 3, persentasenya meningkat pada 4 MST pada sebagian besar perlakuan dan menurun lagi pada 8 MST hampir di semua perlakuan. Jika dilihat selisih antara data 8 MST dan 0 MST, kenaikan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 + Picloram 4 ppm sebesar 20 % dan penurunan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm dan MS + BAP 2 ppm + Picloram 8 ppm yaitu sebesar 20 %. Sedangkan persentase kalus tipe 3 justru lebih banyak mengalami penurunan, yang terbesar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm yaitu sebesar 40%.
Gambar 10. Kalus Bernodul pada Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm
Pada kombinasi perlakuan BAP-Picloram, persentase kalus tipe 2 mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan. Sementara persentase kalus tipe 3 juga banyak mengalami penurunan pada 8 MST akibat banyak kalus yang mencoklat, kering dan mati pada kelompok perlakuan ini.
38
Tabel 12. Pengaruh Kombinasi Taraf Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Persentase Tipe Kalus Sub Kultur I pada 0 MST, 4 MST dan 8 MST Perlakuan BAP (ppm) NAA (ppm)
Tipe 1
0 MST Tipe 2 Tipe 3
Tipe 4
Tipe 1
Tipe 2
4 MST Tipe 3
Tipe 4
Kntm
Tipe 1
Tipe 2
8 MST Tipe 3 Tipe 4
Kntm
Kering
0
0
70
10
20
0
30
10
40
20
0
30
10
10
0
10
40
0
1
45
55
0
0
15
45
40
0
0
15
15
20
0
0
50
0
2
35
65
0
0
25
50
25
0
0
15
15
15
15
0
40
0
3
5
65
30
0
5
40
55
0
0
0
15
15
5
0
65
0
4
0
80
0
20
0
75
0
15
10
0
45
5
0
10
40
1
0
0
50
30
20
0
45
35
20
0
0
10
45
20
0
25
1
1
20
60
20
0
20
55
5
0
20
10
0
40
0
20
30
1
2
15
55
10
20
15
55
10
20
0
0
20
10
30
0
40
1
3
0
50
40
10
0
50
40
0
10
0
0
90
0
10
0
1
4
0
50
45
5
0
35
40
15
10
0
0
45
20
10
25
2
0
0
20
45
35
0
5
50
45
0
0
0
50
15
10
25
2
1
0
90
10
0
0
90
10
0
0
0
30
10
60
0
0
2
2
0
40
60
0
0
35
65
0
0
0
0
70
0
10
20
2
3
10
60
10
20
10
55
25
10
0
0
20
25
15
20
20
4
15
30
35
20
15
35
40
10
0
0
15
40
15
10
20
2
Keterangan : kntm = kontaminasi kultur
38
39
Tabel 13. Pengaruh Kombinasi Taraf Konsentrasi BAP dan Picloram terhadap Persentase Tipe Kalus Sub Kultur I pada 0 MST, 4 MST dan 8 MST Perlakuan Picloram BAP (ppm) (ppm)
0 MST
4 MST
8 MST
Tipe 1
Tipe 2
Tipe 3
Tipe 4
Tipe 1
Tipe 2
Tipe 3
Tipe 4 0
Kntm
Tipe 1
Tipe 2
Tipe 3
Tipe 4
Kntm
Kering
0
75
0
0
0
0
25
0
0
100
0
0
0
100
0
0
0
4
60
0
30
10
50
0
50
0
0
35
5
20
5
10
25
0
8
30
5
50
15
10
5
70
15
0
10
5
40
10
0
35
0
12
35
10
55
0
30
20
35
5
10
30
20
20
0
10
20
1
0
60
30
10
0
60
15
25
0
0
30
10
20
0
0
40
1
4
50
0
50
0
50
10
35
5
0
35
20
10
5
0
30
1
8
40
15
40
5
30
15
30
15
10
25
5
15
10
10
35
1
12
90
0
0
10
60
0
20
10
10
20
0
15
20
10
35
2
0
40
15
25
20
35
0
25
40
0
35
0
0
10
10
45
2
4
85
0
5
10
70
0
20
10
0
20
0
0
0
0
80
2
8
80
20
0
0
60
20
5
15
0
0
0
5
5
0
90
12
80
0
20
0
60
0
20
20
0
55
0
0
30
0
15
2
Keterangan : kntm = kontaminasi kultur
39
40 Hasil yang diharapkan pada percobaan III ini adalah berkembangnya proembrio globular yang sempat diperoleh pada akhir percobaan II menjadi fase embrio yang lain (hati dan torpedo). Pada percobaan III.a pro-embrio globular yang sempat terbentuk tetap ada namun tidak berkembang menjadi fase yang lain. Sementara pada percobaan III.b , globular-globular yang tampak pada kalus tipe 2 ternyata hanya berupa nodul-nodul berbentuk setengah bulat yang kompak dengan eksplan (Gambar 10), jadi kemungkinan nodul tersebut bukanlah fase pro-embrio somatik. Jumlah Pro-Embrio Globular Menurut Dodds and Roberts (2002), embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio yang berasal dari sel atau jaringan vegetatif tanaman yang membentuk struktur embrioid karena menyerupai embrio yang berasal dari sel zigot. Tahap pertama dalam terbentuknya embrio somatik yaitu pembelahan sel tunggal secara terus menerus, sehingga terbentuk kumpulan sel, kemudian kumpulan sel tersebut berkembang ke tahap pembentukan pro embrio globular, lalu tahap jantung, dan terakhir tahap torpedo. Embrio somatik pada tahap torpedo akan berkembang menjadi tanaman muda. Menurut Purnamaningsih (2002) embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan dan hardening. A
B
C
Gambar 11. Pro-Embrio Globular : (A) Di Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + NAA 5 ppm, (B) Perbesaran 40 kali (C) Irisan Melintang Perbesaran 40 kali Pada pengamatan secara visual, tahap embrio yang berhasil diamati pada media perlakuan diduga merupakan stadia awal embrio globular (globular proembrio)(Gambar 11.A). Pro-embrio globular yang tampak berwarna coklat
41 agak buram, tidak bening seperti embrio seharusnya. Hal ini diduga diakibatkan adanya senyawa fenolik yang dihasilkan oleh kalus itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya browning (mencoklat). Pro-embrio globular yang terbentuk mudah dilepaskan dari eksplan berkalus (Gambar 11.B). Irisan melintang dari pro-embrio globular memperlihatkan susunan sel yang tersusun rapi (Gambar 11.C). Hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa taraf BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah pro-embrio globular pada 4 MST dan sangat nyata pada 8 MST. Sedangkan taraf NAA berpengaruh sangat nyata pada 4 MST dan 8 MST. Interaksi antara BAP dan NAA berpengaruh sangat nyata pada rata-rata jumlah pro-embrio globular pada 4 MST, dan berpengaruh nyata pada 8 MST. Rata-rata jumlah pro embrio tertinggi terjadi pada perlakuan BAP 2 ppm sebesar 1.92, namun hal ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa BAP, yaitu sebesar 1.69 pada 4 MST. Pada perlakuan NAA rata-rata jumlah pro embrio berbeda nyata pada taraf 1 ppm pada 4 MST sebesar 2.78 dan 8 MST sebesar 1.94 (Tabel 14). Tabel 14. Pengaruh Taraf Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Rata-Rata Jumlah Pro-Embrio Perlakuan Taraf BAP 0 ppm 1 ppm 2 ppm Taraf NAA 0 ppm 1 ppm 2 ppm 3 ppm 4 ppm
4 MST
Jumlah Globular 8 MST
12 MST
1.69 ab 0.96 b 1.92 a
0.99 ab 0.41 b 1.39 a
0.74 0.87 0.72
0.81 b 2.78 a 1.42 b 0.89 b 1.70 b
0.59 b 1.94 a 0.62 b 0.66 b 0.83 b
0.72 ab 1.22 a 0.66 ab 0.48 b 0.80 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Banyak penelitian yang sudah menunjukkan keberhasilan beberapa jenis auksin dalam pembentukan embrio somatik, diantaranya oleh Tabei et al (1991), yang menyimpulkan bahwa embrio somatik pada tanaman melon dapat terbentuk pada tingkat konsentrasi auksin yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitiannya embrio
42 somatik melon dapat terbentuk dari eksplan kotiledon dengan menggunakan 1.0-2.0 mg/l 2,4-D, 3.0-10.0 mg/l NAA dan 30.0-100.0 mg/l IAA. Hasil penelitian Oktavia (2004) menunjukkan 2,4-D 1 µM dapat menginduksi embrio somatik kopi arabika. Hasil penelitian Gunawan (2002) embrio somatik dapat dihasilkan dari pucuk in vitro jati menggunkan NAA dengan konsentrasi 0.1 mg/l (0.54 µM). Pada penelitian ini, pro-embrio globular dapat teramati pada semua perlakuan kombinasi taraf BAP (0-2 ppm) dan taraf NAA yang diujikan (0-5 ppm). Kombinasi perlakuan yang terbaik dan menunjukkan rata-rata jumlah pro-embrio globular yang berbeda nyata dengan kombinasi media lainnya adalah MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm, yaitu sebesar 5.05 pada 4 MST dan menurun menjadi 3.33 pada 8 MST (Tabel 15).
A
B
C
D
Gambar 12. Pro-embrio globular yang terbentuk pada media perlakuan (A) MS + NAA 3 ppm, (B) MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm, (C) MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm, (D) MS + BAP 2 ppm + NAA 5 ppm Rata-rata jumlah pro embrio globular cenderung menurun seiring dengan semakin lamanya kalus dikulturkan dalam media perlakuan. Banyak dari proembrio globular yang telah berhasil terbentuk, tidak mampu berkembang ke fase embrio selanjutnya, tapi justru berdediferensiasi kembali menjadi kalus dengan sifat sel yang belum terdiferensiasi. Namun kalus ini diduga masih memiliki sifat embrionik karena bentuknya sama dengan kalus sebelum terbentuknya pro-embrio globular ( kalus tipe 3). Menurut Purnamaningsih (2002) tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordial akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah. Menurut Watherel and Douglas (1976) dalam George and Sherrington (1984), faktor penting untuk keberhasilan embriogenesis somatik tanaman adalah
43 pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan sub kultur pada tahap inisiasi sel embriogenik tanaman. Karena kultur yang terlalu lama berada dalam media yang konsentrasi auksinnya tinggi dapat kehilangan kapasitas embriogeniknya. Tabel 15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Berbagai Kombinasi Taraf Konsentrasi terhadap Rata-Rata Jumlah Pro-Embrio Globular Waktu Pengamatan 4 MST
8 MST
BAP (ppm) 0 1 2 0 1 2
0 1.22 bc 0.33 c 0.89 bc 0.50 bc 0.11 c 1.17 bc
NAA (ppm) 1 2 3 1.89 bc 1.44 bc 1.19 bc 1.39 bc 2.56 b 0.00 c 1.50 bc 5.05 a 0.28 c 1.83 b 0.87 bc 0.31 bc 0.67 bc 1.00 bc 0.11 c 1.56 bc 3.33 a 0.00 c
4 2.72 b 0.50 c 1.89 bc 1.44 bc 0.17 bc 0.89 bc
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada waktu pengamatan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%.
Belum berhasilnya pendewasaan embrio somatik dalam percobaan ini mungkin disebabkan oleh taraf dan konsentrasi ZPT yang belum sesuai, terbentuknya metabolit sekunder seperti senyawa fenol dan keadaan lingkungan kultur yang kurang mendukung untuk pembentukan embrio somatik atau kalus yang digunakan sebagai eksplan sudah terlalu sering disubkultur sehingga kemampuannya membentuk embrio somatik sudah mulai menurun. Kemampuan eksplan membentuk embrio somatik juga kemungkinan besar berkaitan dengan umur eksplan dan varietas yang digunakan, karena masing-masing mengandung ZPT endogen yang berbeda. Pada perlakuan kombinasi BAP dan Picloram tidak terdapat bentuk-bentuk bulat seperti pro-embrio globular, hanya terdapat nodul-nodul menyerupai bentuk globular namun tak sempurna yang tumbuh pada permukaan eksplan. Eksplan awal untuk paket perlakuan ini berasal dari kalus yang presentase kalus embriogeniknya kecil (31.67 %), jika dibandingkan dengan eksplan awal untuk paket perlakuan BAP-NAA yang kalus embriogeniknya mencapai 75.67 %. Oktavia (2004) terbentuknya kalus non embriogenik yang berlebihan pada eksplan menghambat pembentukan dan regenerasi embrio somatik kopi arabika. Selain terdapat pro-embrio globular, pada media MS0, MS + NAA 1 ppm dan media MS + NAA 2 ppm, ditemukan juga terbentuknya akar (Gambar 13),
44 yaitu sebesar 25% eksplan pada perlakuan MS-0 memberikan respon berupa tumbuhnya akar dengan rata-rata jumlah akar 1.6. Pada perlakuan MS + NAA 1 ppm akar yang teramati 20 % dengan rataan jumlah akar 1.8 dan pada perlakuan MS + NAA 2 ppm, akar yang terbentuk hanya 5 % dengan rataan 0.1.
Gambar 13. Kalus berakar pada media perlakuan MS + NAA 1 ppm Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wattimena et al (1992) bahwa penambahan auksin secara tunggal ke dalam media kultur mampu menginduksi akar pada eksplan, karena salah satu fungsi utama dari auksin adalah sebagai perangsang pertumbuhan akar. Didukung oleh pendapat Beyl (2005), pada umumnya konsentrasi auksin yang rendah menyebabkan inisiasi akar, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi dapat menyebabkan terbentuknya kalus. Pertumbuhan akar pada eksplan tidak diharapkan dalam menginduksi embrio somatik karena bila eksplan membentuk akar kemungkinan eksplan akan membentuk kalus embriogenik dan menghasilkan embrio somatik sangat kecil.