22
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I : Limbah padat budidaya ikan nila Ikan nila dengan bobot rata-rata 8,4 gram yang dipelihara selama 7 hari dalam penelitian ini, menunjukan laju pertumbuhan bobot berkisar antara 1,67 2.63 %, sedangkan Rasio Konversi Pakan/Food Conversion Ratio (FCR) berkisar antara 1,1 – 1,57. Data ikan nila yang dipelihara pada masing-masing bak secara rinci disajikan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Bobot total ikan nila pada awal penebaran dan akhir pengamatan beserta laju pertumbuhan dan FCR dan SR W0 W7 D7 F α SR Wadah (g) (g) (g) (g) FCR (% BB/hari) (%) 1 170.66 195.11 0 35.34 1.45 1.93 100 2 171.46 175.7 17.52 32.86 1.51 1.87 90 3 167.34 178.51 7.29 28.83 1.56 1.67 95 4 163.44 195.95 0 35.52 1.09 2.63 100 5 174.66 175.17 22.8 31.62 1.36 2.39 85 Keterangan : W0 : Biomassa total ikan pada awal penebaran W7 : Biomassa total ikan pada hari ke-7. D7 : Bobot ikan yang mati sampai hari ke-7 F : Pakan total yang diberikan (g) alfa : laju pertumbuhan bobot harian (% BB/hari) FCR : Food Conversion Ratio /Rasio Konversi Pakan SR : Kelangsungan hidup
Pemberian total pakan selama tujuh hari pada masing-masing bak (Lampiran 1) dengan membandingkan bobot awal ikan maka dapat diketahui Feeding Rate atau FR-nya, berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa FR berkisar antara 2.5 – 3.1 %BB/hari. Menurut Riche, Pierce dan Garling (2003), Feeding rate yang diberikan pada ikan nila bervariasi sesuai dengan ukuran ikan dan suhu air. Jumlah pakan yang tepat dihitung berdasar persen dari bobot ikan. Dengan meningkatnya berat ikan, maka feeding rate berkurang. Endapan limbah padat yang dikumpulkan melalui saluran pembuangan limbah padat dan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari berkisar antara 0,58 – 0,78 gr/hari, dengan total limbah padatan yang dihasilkan per bak
23
penelitian dari hari ke tiga sampai hari ke tujuh pemeliharaan adalah sebanyak 2,9 – 3,88 gram seperti terlihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Endapan limbah padat budidaya ikan nila yang dihasilkan
Wadah 1 2 3 4 5
Berat limbah padat (gr) pada hari ke rerata 4 5 6 7 Total (gr) (gr/hari) 0,72 0,67 0,69 0,49 3,88 0,776 0,76 0,49 0,51 0,52 3,57 0,714 0,62 0,35 0,33 0,35 2,89 0,578 0,75 0,56 0,66 0,43 3,82 0,764 0,94 0,84 0,71 0,54 3,58 0,716
3 1,31 1,29 1,24 1,42 0,55
Makanan yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna, dan bagian yang tercerna akan diserap oleh dinding usus. Namun dalam proses pencernaan tidak semua komponen makanan yang dimakan dapat dicerna menjadi bahan yang dapat diserap, sebab selalu ada bagian yang tidak dapat dicerna yang akan dikeluarkan dari tubuh ikan dalam bentuk feses (Affandi et al., 2005). Jumlah limbah yang dihasilkan oleh ikan biasanya dinyatakan sebagai limbah yang dihasilkan per unit input pakan, maka berdasarkan data input pakan dan feses yang dihasilkan dapat diketahui persentase feses yang dihasilkan tiap pemberian pakan seperti tersaji pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Persentase endapan limbah padat yang dikumpulkan per input pakan.
Wadah 1 2 3 4 5
3 16.9 24.1 26.1 20.6 9.7
Persentase endapan limbah padat (%)pada hari ke 4 5 6 7 rata-rata (%/hari) 22.6 18.9 15.6 15.6 17.9 29.6 13.5 10.4 14.3 18.4 22.2 14.3 7.7 6.8 15.4 21.1 14.6 13.5 8.3 15.6 33.3 24.2 17.9 9.8 19.0
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa endapan limbah padat yang mampu dikumpulkan adalah berkisar antara 15,4 – 19,0 %pakan/hari atau rata-rata sebesar 17,3%pakan/hari.
Formulasi pakan lengkap yang diterapkan
pada sistem budidaya ikan intensif, pada akhirnya menghasilkan sejumlah besar limbah organik.
Akumulasi bahan organik yang berlebihan tidak hanya
24
mengurangi kedalaman kolam dan ruang yang tersedia untuk ikan, tetapi juga membuat lingkungan air yang kurang baik untuk pertumbuhan ikan. Pada kedalaman air kolam dangkal suhu sangat berfluktuasi. Selanjutnya, peningkatan deposisi bahan organik meningkatkan aktifitas mikroba, sehingga meningkatkan permintaan oksigen yang mengakibatkan menipisnya oksigen terlarut dalam air kolam, yang membuat lingkungan kolam tidak menguntungkan bagi kehidupan air, dan ikan akan menjadi stres dan rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu, pemeliharaan volume kolam dan lingkungannya dengan pembuangan sedimen adalah langkah yang kondusif untuk produksi ikan.
Dua isu-isu kunci yang
muncul dengan pembuangan sedimen adalah tempat dan sisa dari sejumlah besar nutrisi
yang
tertanam
dalam
sedimen
(Mizanur,
Yakupitiyage
dan
Ranamukhaarachchi 2004). Menurut Craigh dan Helfrich (2002), meskipun melalui manajemen yang baik, beberapa pakan akan berakhir sebagai limbah. Misalnya, dari 100 unit pakan yang diberikan kepada ikan, sekitar 10 unit pakan tidak termakan (terbuang) dan 10 unit akan menjadi limbah padatan dan 30 unit berupa limbah cair (total 50% limbah) yang dihasilkan oleh ikan. Angka-angka akan bervariasi sesuai dengan jenis, ukuran, aktivitas, suhu air, dan kondisi lingkungan lainnya. Sedangkan menurut Avnimelech, Diab, Kochva, Mokady (1992), Ikan akan mengekskresikan 33% nitrogen yang terkandung dalam pakan. Dari keseluruhan nitrogen yang ada di dalam pakan, 25%-nya digunakan oleh ikan untuk tumbuh, 60%-nya dikeluarkan dalam bentuk NH4, dan 15%-nya dikeluarkan bersama kotoran (Brune, Schwartz, Eversole, Collier, dan Schwedler 2003). Salah satu cara sederhana untuk menilai kinerja pakan adalah dengan menghitung rasio konversi pakan. FCR merupakan angka yang diperoleh dengan cara membagi berat pakan dengan berat badan ikan selama diberi pakan. Faktor yang sangat penting ketika melihat nilai FCR adalah perbandingan berdasarkan pada berat basah pakan. Pakan kering ikan lele memiliki kadar air sekitar 10 persen, yang tentu tidak berkontribusi pada pertumbuhan ikan, tetapi menambahkan bias pada nilai FCR.
Jadi, penting untuk mengetahui persentase
dari kadar air atau berat kering pada pakan dan ikan (Rice, Bengtson dan Jaworski 1994). Maka, berdasarkan pernyataan tersebut dapat di jadikan formula untuk
25
menduga jumlah limbah yang dihasilkan dengan melihat selisih dari pakan yang digunakan
dengan
pakan
yang
diasimilasi
menjadi
daging,
namun
diperbandingkan dengan memperhitungkan kadar air dari pakan dan ikannya. Seperti telah diungkapkan oleh Craigh dan Helfrich (2002), bahwa 20% dari limbah yang dikeluarkan adalah dalam bentuk limbah padat, sehingga dapat dijadikan acuan untuk menduga jumlah limbah padatan yang dihasilkan dari sistem budidaya ikan nila pada penelitian ini, seperti yang terlihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pendugaan limbah padatan yang dihasilkan dari budiaya ikan nila (contoh perhitungan pada bak satu dengan FCR : 1,45, dan pakan perhari rata-rata 5.05 gr)
Pendugaan endapan limbah padat yang dihasilkan berdasar pada nilai FCR, dapat disederhanakan sebagai berikut : P 100 ∗ (20% x (P x %BKP) − FCR x %BKI ) 92 100% = P ELP merupakan endapan limbah padat yang dihasilkan (% pakan), P adalah pakan yang diberikan, BKP adalah berat kering pakan, dan BKI adalah berat kering ikan. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh angka estimasi persentase jumlah limbah padatan yang terbentuk, sedangkan dari hasil penelitian diperoleh data observasi (Gambar 8), sehingga dapat dibandingkan untuk
26
menghitung ketepatan estimasi terhadap hasil observasi, dengan hasil uji T tersaji pada Lampiran 2.
Gambar 8. Persentase endapan limbah padatan yang dihasilkan melalui estimasi dan observasi Berdasarkan hasil pengujian rata-rata dua sampel berpasangan (PairedSample T Test) dapat diketahui bahwa hasil signifikansi sebesar 0,139 yang berarti lebih besar dari alpha (0,025), maka dapat diambil kesimpulan bahwa, data observasi tidak berbeda nyata dengan data observasi (Ashari dan Santosa PB 2005), sehingga formula untuk menghitung produksi limbah padatan dapat digunakan untuk pendugaan. Data kualitas air berupa oksigen terlarut (DO), pH, kadar amonia, dan Total Amonia Nitrogen (TAN) yang diamati tiap dua hari tersaji pada Gambar 9 di bawah ini, dengan kisaran yang masih optimal untuk pertumbuhan ikan nila.
27
Gambar 9. pH, DO, kadar NH3, dan TAN selama pemeliharaan Konsentrasi amonia yang mematikan untuk sebagian besar ikan tropis adalah antara 0,6-2,0 mg NH3/l (1 mg/l = 1 ppm). Ikan nila mulai mati ketika konsentrasi amonia lebih tinggi dari 2,0 mg NH3 /l. Namun, konsentrasi amonia serendah 1,0 mg NH3 /l akan menurunkan pertumbuhan ikan nila (Riche, Pierce dan Garling, 2003). Sedangkan hasil pengamatan selama penelitian diperoleh kisaran aman bagi ikan nila, yaitu 0,03 – 0,13 mg/l. Hal ini dipengaruhi oleh suhu dan pH air, pengamatan terhadap suhu air berkisar antara 25,3-32,2 oC dengan pH berkisar antara 6,83-7,62. Merino, Piedrahita, Conklin (2007) dan Cripps, Bergheim 2000 menyebutkan bahwa, limbah dari budidaya mencakup semua bahan yang digunakan dalam proses yang tidak dihapus dari sistem selama panen, sehingga endapan limbah padat dari sistem budidaya ikan yang merupakan limbah dengan jumlah yang cukup banyak (15,4 – 19,0 % pakan/hari) perlu dimanfaatkan mengingat kandungan nutrisinya juga masih relatif tinggi.
Berdasar hasil
pengujian proksimat terhadap endapan limbah padat tersebut dalam bobot kering diperoleh protein sebesar 14,95%, lemak sebesar 6,68%, dan karbohidrat sebesar 51,58%.
28
Tahap II : Uji Respon pada Individu Daphnia sp. Daphnia sp. dewasa sebanyak 22 individu dipelihara masing-masing dalam tiap wadah pemeliharaan (30 ml) yang berbeda untuk menghasilkan anakan, dan dari delapan indukan yang menghasilkan anakan secara bersamaan tersebut dipisahkan.
Anakan Daphnia sp. yang berumur kurang dari 24 jam
tersebut, dipilih sebagai objek untuk penelitian respon terhadap individu yang diberi perlakuan 0, 2, 4, dan 6 gr/l limbah padat budidaya ikan nila. Karakter morfologi Daphnia sp. seperti tersaji pada Lampiran 3, dengan rerata panjang total sebesar 1,1567 mm, panjang tubuh 0,55 mm, panjang spine 0,395 mm, dan panjang helmet 0,01 mm. Kesintasan harian merupakan ekspresi dari jumlah Daphnia sp. dengan kemampuan bertahan hidup sampai umur tertentu (Soetopo, Aditya, Indrasari 2007), dan hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan 4 gr/l mampu memberikan respon kesintasan harian terbaik dengan tidak adanya kematian sampai hari ke 14, seperti terlihat pada Gambar 10. Hasil penelitian menunjukan bahwa kesintasan harian (Ix) cenderung semakin menurun dengan bertambahnya waktu.
Gambar 10. Kesintasan harian Daphnia sp. (Ix) pada tiap perlakuan Karena Daphnia sp. bersifat filter feeder, Daphnia sp. menelan partikel sebanding dengan kelimpahannya di lingkungan. Banyaknya padatan di dalam air menyebabkan insang dan usus Daphnia sp. tersumbat, sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dari Daphnia sp. Disebutkan juga bahwa pada konsentrasi
29
partikel yang sangat tinggi di perairan, Daphnia sp. bahkan sama sekali tidak ditemukan (Bilotta, Brazier 2008).
Hal inilah yang diduga menyebabkan
banyaknya kematian pada perlakuan dengan takaran tertinggi (6 g/l). Waktu reproduksi pertama kali dari Daphnia sp. yang diuji adalah antara 5 sampai dengan 8 hari seperti tersaji pada Gambar 11 berikut. Perlakuan 2 gr/l memberikan rerata waktu pertama kali menghasilkan anakan yang terlama (6,8 hari), sedangkan perlakuan 4 dan 6 gr/l menghasilkan anakan pertama pada ratarata 6,1 dan 6,11 hari.
Gambar 11. Waktu pertama kali menghasilkan anakan Uji reproduksi digambarkan dengan jumlah anakan yang dihasilkan tiap indukan Daphnia sp. selama 14
hari, dengan cara dihitung total anakan
Daphnia sp. dari masing-masing perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali.
Hasil yang didapatkan pada pengamatan uji
reproduksi diperoleh rerata jumlah anakan tertinggi yaitu 40,6 individu/indukan pada perlakuan 4 gr/l, kemudian diikuti oleh perlakuan 6 gr/l sebesar 26,2 individu/indukan dan 16,8 individu/indukan pada perlakuan 2 gr/l, seperti tersaji pada Tabel 8 di bawah ini.
30
Tabel 8. Hasil pengamatan uji reproduksi Daphnia sp . Perlakuan 0 gr/l 2 gr/l 4 gr/l 6 gr/l
Total anakan dari ulangan ke- (individu) Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 (indv/indukan) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 18 22 17 16 16 14 17 16 19 13 16.8 a 40 42 44 26 40 42 38 38 54 42 40.6 b 0 36 14 14 20 30 24 38 48 38 26.2 a
Ket : Huruf superscript yang sama menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat reproduksi Daphnia sp, maka data hasil pengamatan uji reproduksi tersebut diuji secara stastistik. Hasil perhitungan statistik disajikan pada Lampiran 4. Berdasar pada hasil uji Tukey HSD (Honestly Significant Difference) terlihat bahwa diantara perlakuan 2 dan 6 gr/l dibandingkan dengan perlakuan 4 gr/l memiliki perbedaan jumlah anakan yang signifikan dengan perlakuan terbaik adalah 4 gr/l yang menghasilkan rata-rata jumlah anakan sebanyak 40,6 individu/indukan, atau terlihat dari Gambar 12, diagram batang rerata jumlah anakan yang dihasilkan tiap perlakuan dengan perlakuan 4 gr/l yang memberian hasil terbaik. Perlakuan 4 gr/l yang memberikan rata-rata jumlah anakan terbanyak juga berdampak pada jumlah anakan kumulatif tertinggi.
Jumlah anakan kumulatif tertinggi secara
berturut-turut setelah 4 gr/l adalah 6 gr/l, 2 gr/l dan 0 gr/l seperti terlihat pada Gambar 13. Laju reproduksi bersih yang bermakna laju penggandaan selama satu generasi (Soetopo, Aditya dan Indrasari 2007), diperoleh tertinggi juga pada perlakuan 4gr/l yaitu sebesar 40,6 individu/indukkan. Hal ini berarti populasi pada perlakuan 4 gr/l mempunyai laju penggandaan sebesar 40,6 kali selama satu generasi (14 hari), seperti tersaji pada Tabel 9. Selain tingkat reproduksi Daphnia sp. pengamatan juga dilakukan terhadap panjang total neonatus Daphnia sp. yang baru ditetaskan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui panjang total (TL), panjang tubuh (BL), panjang helmet (HL), panjang spine (SL), indek spine (SI), dan indek helmet (HI) dari anakan Daphnia sp. yang ditetaskan. Data karakter morfologi neonatus Daphnia sp. ditampilkan dalam Tabel 10.
31
Gambar 12. Rataan neonatus yang dihasilkan selama penelitian (individu/indukan)
Gambar 13. Jumlah anakan kumulatif selama penelitian (14 hari)
32
Tabel 9. Laju reproduksi bersih selama 14 hari 2 gr/l Hari lx 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 1 10 1 11 1 12 1 13 0.9 14 0.9 Laju Reproduksi Bersih (Ro)
mx lx.mx 0 0 0 0 0 0 0 0 0.4 0.4 0.6 0.6 3.1 3.1 0.8 0.8 2.9 2.9 0 0 4 4 2 2 1.1 1 2.2 2
16.8
4 gr/l Hari lx 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 1 10 1 11 1 12 1 13 1 14 1 Laju Reproduksi Bersih (Ro)
mx lx.mx 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7.2 7.2 0.8 0.8 8 8 1.6 1.6 7.6 7.6 3.8 3.8 6.4 6.4 5.2 5.2 0 0
40.6
6 gr/l Hari lx mx lx.mx 1 1 0 0 2 1 0 0 3 1 0 0 4 0.9 0 0 5 0.9 0.7 0.6 6 0.9 4 3.6 7 0.9 2.2 2 8 0.9 6.9 6.2 9 0.9 4.4 4 10 0.6 6.7 4 11 0.6 4 2.4 12 0.3 8.7 2.6 13 0.3 2.7 0.8 14 0.3 0 0 Laju Reproduksi Bersih (Ro)
26.2
Ket : kesintasan harian(Ix), fekunditas harian (mx), laju reproduksi bersih (Ix.mx)
Tabel 10. Karakteristik anakan Daphnia sp. Perlakuan 2 gr/l 4 gr/l 6 gr/l
TL 1.21±0.16 a 1.25±0.19 a 1.13±0.11 a
Karakter morfologi (mm) BL HL SL SI 0.6±0.07 0.01±1.8E-18 0.37±0.04 0.62±0.05 0.6±0.09 0.01±1.8E-18 0.37±0.03 0.63±0.11 0.5±0.06 0.01±1.8E-18 0.39±0.03 0.74±0.06
HI 0.017±1.9E-3 0.017±2.6E-3 0.019±1.6E-3
Ket : panjang total (TL), panjang tubuh (BL), panjang helmet (HL), panjang spine (SL), indek spine (SI), dan indek helmet (HI). Huruf superscript yang sama menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap panjang total (TL) neonate Daphnia sp. maka data hasil pengamatan pada Tabel 10 dihitung secara stastistik dengan menggunakan Uji Anava (Analisis varian). Hasil perhitungan Anava disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil perhitungan Anava terlihat tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap panjang neonatus Daphnia sp. yang dihasilkan selama pengamatan terlihat dari nilai F sebesar 1,633 dengan signifikansi lebih dari 5% yaitu 0,214.
33
Pertumbuhan panjang dari Daphnia sp. yang dipelihara sebagai indukan dengan perlakuan 2, 4, dan 6 gr/l seperti tersaji pada Tabel 11 di bawah ini, menunjukkan bahwa perlakuan 6 gr/l memberikan pertumbuhan rata-rata panjang total Daphnia sp. sampai hari ke delapan yang terbesar yaitu 0.39 mm/hari. Kemudian diikuti oleh perlakuan 4 dan 2, masing-masing adalah 0,339 dan 0,223 mm/hari. Tabel 11 . Pertumbuhan panjang total Daphnia sp. selama delapan hari. Perlakuan TL8 (mm) gTL8 (mm/hari)
2 gr/l 2,94 ± 0,2 a 0,223 ± 0,02 a
4 gr/l 3,87 ± 0,04 b 0,338 ± 0,004 b
6 gr/l 4,32 ± 0,29 c 0,39 ± 0,036 b
Ket : panjang total Daphnia sp. pada hari ke 8 (TL8), pertumbuhan panjang total Daphnia sp. selama delapan hari gTL8. Huruf superscript yang sama menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Individu Daphnia sp. mengalokasikan pencernaan pakannya untuk pertumbuhan somatik, respirasi dan maintenance, reproduksi, dan molting (Mulder dan Bowden 2007; Peeters, Li, Straile, Rothhaupt, Vijverberg 2010). Seperti terlihat pada Gambar 14, adanya perbedaan takaran pakan yang diberikan pada Daphnia sp. akan mempengaruhi molting, pertumbuhan, dan reproduksi. Percobaan dengan perlakuan pemberian limbah padat budidaya ikan nila sebagai pakan bagi individu Daphnia sp. dengan takaran yang berbeda, menunjukan bahwa perlakuan dengan takaran 4 gr/l mampu menghasilkan kelangsungan hidup terbaik, juga menghasilkan rata-rata jumlah anakan per indukan tertinggi dan jumlah anakan kumulatif tertinggi serta laju reproduksi bersih tertinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian limbah padat budidaya ikan nila sebanyak 4 gr/l merupakan takaran terbaik, sehingga mampu memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan somatik, respirasi dan maintenance, reproduksi, dan molting. Perbedaan pola pertama kali menghasilkan anakan yang terjadi pada penelitian juga dipengaruhi oleh alokasi makanan yang dikonsumsi oleh Daphnia sp. terutama dalam hal ini adalah untuk pembentukan jaringan reproduksi (Gambar 14). Perlakuan 4 gr/l dan 6 gr/l mampu menyediakan cukup energi untuk pembentukan jaringan reproduksi, sehingga frekuensi waktu pertama
34
kali menghasilkan anakan relatif lebih cepat yaitu pada hari ke-6 jika dibandingkan dengan perlakuan 2 gr/l yang dicapai pada hari ke-7.
Gambar 14. Alur penggunaan pakan pada individu Daphnia sp. Pertumbuhan dan reproduksi akan dihentikan dalam kondisi kelaparan, dan bahkan akan berhenti molting, ketika energi yang diperoleh tidak cukup untuk menyeimbangkan biaya perawatan total, bobot
tubuh akan turun (di bawah
tingkat hubungan berat dan panjang tubuh) sementara panjang tubuh tetap konstan dan individu akan berhenti molting seperti tersaji pada Gambar 14 (Vanoverbeke 2008). Perlakuan dengan takaran 2 gr/l tidak menunjukan rata-rata jumlah anakan per indukan dan jumlah anakan kumulatif serta laju reproduksi bersih yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa pemberian endapan limbah padat budidaya ikan nila sebanyak 2 gr/l kurang mampu menyediakan pakan, sehingga laju reproduksi menjadi rendah. Variasi pada ukuran Daphnia sp. secara umum merupakan bentuk adaptasi (Ranta, Bengtsson dan McManus
1993), sehingga perbedaan pertumbuhan
panjang total Daphnia sp. selama penelitian juga merupakan bentuk adaptasi akibat perbedaan takaran pakan yang diberikan. Perlakuan 2 gr/l menunjukan pertumbuhan panjang total Daphnia sp. terendah yaitu 0,22 mm/hari sebagai kompensasi dari rendahnya takaran pakan, sehingga pertumbuhan somatic terhambat jika dibandingkan dengan perlakuan 4 gr/l maupun 6 gr/l yang mampu
35
menghasilkan pertumbuhan panjang total Daphnia sp. lebih tinggi yaitu secara berurutan 0,34 mm/hari dan 0,39 mm/hari. Pertumbuhan panjang tubuh anakan Daphnia sp. umumnya linier seiring dengan bertambahnya usia. Ketika individu mencapai usia dewasa, pertumbuhan akan melambat dikarenakan alokasi energi untuk reproduksi, dan kemudian akan mencapai ukuran yang stabil (Ranta, Bengtsson dan McManus 1993).
Tahap III : Uji respon terhadap populasi Daphnia sp. Hasil percobaan penggunaan limbah padat dari budidaya ikan nila untuk dimanfaatkan oleh Daphnia sp. tersaji pada Gambar 15 berikut. Berdasarkan Gambar tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan 4 gr/l menghasilkan populasi tertinggi dengan pencapaian populasi puncak sebesar 317,5 dalam waktu 16 hari. Seperti terlihat pada Gambar 15 dan 16, waktu untuk mencapai puncak populasi pada perlakuan 2 gr/l terjadi pada hari ke-12, sedangkan pada perlakuan 4 dan 6 gr/l terjadi pada hari ke-16. Perlakuan 4 gr/l mencapai populasi tertinggi yaitu sebesar 317,5 individu. Meskipun pencapaian puncak populasi pada perlakuan 2 gr/l lebih cepat, namun tidak berarti perlakuan terbaik. Hal ini dapat dijelaskan bahwa waktu pencapaian 12 hari pada perlakuan 2 gr/l baru bisa menyamai pencapaian populasi sebesar 317 individu (perlakuan 4 gr/l) jika dilakukan dalam 2 siklus produksi, hal ini berarti dibutuhkan 24 hari dan juga penambahan penggunaan limbah padatnya. Berdasarkan data puncak populasi pada masing-masing perlakuan tersebut, setelah dilakukan uji analisis varian dengan transformasi logaritmik (Agusyana dan Islandscript
2011), didapatkan bahwa perlakuan memberikan puncak
populasi yang berbeda dengan nilai signifikansi 0,00 atau kurang dari alpha (0,05) dan setelah dilakukan uji lanjut Duncan diketahui bahwa perlakuan 4 g/l memberikan puncak populasi tertinggi. Hasil perhitungan statistik tertera pada Lampiran 6.
36
Gambar 15. Perkembangan populasi selama penelitian Laju peningkatan populasi untuk mencapai puncak populasinya seperti tersaji pada Lampiran 7 dan Gambar 17, terlihat bahwa perlakuan 2 gr/l memberikan laju peningkatan populasi tertinggi yaitu 0,23/hari, namun laju peningkatan tersebut hanya sampai pada hari ke 12 (puncak populasi pada perlakuan 2 gr/l), yang kemudian berarti mengalami penurunan populasi. Berbeda halnya pada perlakuan 4 gr/l dan 6 gr/l yang laju peningkatan populasinya lebih rendah dari perlakuan 2 gr/l namun untuk mencapai puncak populasi pada hari ke16. Hal ini berarti pula jumlah total individu pada puncak populasi akan berbeda, sehingga perlakuan 4 gr/l memberikan jumlah total individu terbanyak yaitu ratarata 317,5±51,2 dengan laju peningkatan populasi sebesar 0,216/hari.
37
Gambar 16. Waktu mencapai puncak populasi dari perlakuan 0 gr/l, 2gr/l, 4 gr/l, dan 6 gr/l. Huruf superscript yang sama menunjukan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0.05)
Gambar 17. Laju peningkatan populasi Daphnia sp sampai mencapai puncak populasi pada perlakuan 2, 4, dan 6 gr/l
38
Hasil pengamatan pada respon terhadap populasi Daphnia sp. merupakan cerminan dari hasil pengamatan pada respon terhadap individu. Perlakuan dengan takaran 4 gr/l menunjukan perkembangan populasi terbaik seperti halnya pada perlakuan 4 gr/l pada respon terhadap individu. Lain halnya dengan pertumbuhan populasi Daphnia sp. yang dihasilkan pada perlakuan 6 gr/l ternyata tidak lebih baik dari perlakuan 2 gr/l apalagi 4 gr/l. Hal ini jika dikaitkan dengan percobaan respon terhadap individu Daphnia sp. menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup yang sangat rendah yaitu mencapai 30%, hal ini diduga sebagai penyebab rendahnya pertumbuhan populasi pada perlakuan tersebut. Banyaknya padatan yang tersuspensi di dalam air menyebabkan insang dan usus Daphnia sp. tersumbat, sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup dari Daphnia sp. (Bilotta dan Brazier 2008). Menurut Rellstab, Spaak (2007), ketika konsentrasi partikel tersuspensi sangat tinggi, Daphnia sp. bahkan sama sekali tidak ditemukan. Pertumbuhan dan reproduksi Daphnia sp. dipengaruhi oleh kepadatan populasi. Kepadatan populasi yang rendah akan menghasilkan rata-rata anakan kumulatif meningkat dengan bertambahnya usia, namun pada kondisi kepadatan yang tinggi akan lebih rendah (signifikan). Kultur pada kepadatan yang tinggi menghasilkan lebih sedikit keturunan dibanding pada kepadatan yang rendah. Daphnia sp. pada kepadatan yang tinggi dimungkinkan mempunyai lebih sedikit energi karena tingkat pemberian makan yang lebih rendah dibanding di dalam kultur berkepadatan yang rendah (Nishikawa dan Ban 1998).
Hal ini yang
menyebabkan pertumbuhan populasi yang cukup tinggi di awal masa pemeliharaan sampai akhirnya populasi makin tinggi dan menyebabkan suplai pakan berkurang sehingga tercapailah puncak populasi. Salah satu masalah utama yang terkait dengan budaya zooplankton adalah sifat tidak stabil, sering menunjukkan penurunan populasi yang cepat segera setelah puncak populasi terjadi (Vanoverbeke 2008). Rentang pH optimum untuk pertumbuhan Daphnia adalah pH 7,0 - 8,2 (Leung 2009).
Sedangkan pada percobaan ini rentang pH berkisar antara 6,77
sampai 7,65 pada semua perlakuan (Lampiran 8 dan Gambar 18). Perubahan nilai pH berakibat pula pada perubahan tingkat amonia yang tidak terionisasi sebagai penyebab stres pada zooplankton.
Dilaporkan bahwa populasi
Daphnia sp.
39
ditemukan menurun pada konsentrasi 2,5 mg NH3/l, walaupun batas konsentrasi mematikan (LC 50 nilai) sekitar 20 mg/l (Leung 2009). Konsentrasi amonia tidak terionisasi (NH3) terendah yang menyebabkan efek negatif bagi Daphnia sp. adalah 1,3 mg/l, sedangkan sebagai pembandingnya efek pada ikan terjadi pada konsentrasi serendah 0,05 mg/l. Reproduksi juga terpengaruh oleh adanya amonia (NH3), berdasar hasil penelitiannya, ditemukan bahwa anakan pertama diproduksi pada hari ke 7 pada semua perlakuan (di bawah 1,3 mg/l) kecuali pada konsentrasi tertinggi (1,3 mg/l) yang anakan pertamanya diproduksi pada hari ke 9 (Reinbold dan Pescitelli 1990). Sedangkan pada percobaan ini nilai NH3 tertinggi hanya sebesar 0,11 mg/l yaitu pada perlakuan 4 gr/l. Hal ini berarti kualitas air berdasar nilai NH3 tidak memberikan efek negatif terutama pada reproduksi di dalam penelitian ini. Tingginya NH3 pada perlakuan 4 gr/l jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya disebabkan karena tingginya populasi Daphnia sp. pada perlakuan tersebut. Menurut Jacobsen dan Comita (1976), organisme akuatik termasuk di dalamnya Daphnia sp. menghasilkan amonia sebagai produk utama dari ekskresi nitrogen. Keberadaan amonia di dalam perairan akan meningkatkan kebutuhan oksigen dikarenakan adanya oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat oleh Nitrosomonas dan Nitrobacter. Ion H+ yang dibebaskan dari proses nitrifikasi akan menurunkan pH air menurut reaksi berikut (Mc Carty dan Haug 1971) : 55NH4+ + 5CO2 + 76O2 C5H7O2N + 54NO2- + H2O + 109 H+ 54NO2- + 5CO2 + NH4+ + 195O2 + 2H2O C5H7O2N + 400NO3- + H+ Oksigen terlarut terendah dijumpai pada perlakuan 6 gr/l yaitu 2.34 gr/l (Lampiran 8 dan Gambar 18), namun konsentrasi oksigen terlarut tersebut masih bisa ditolerir.
Daphnia sp. dapat bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut
kurang dari 1 mg/l dan Daphnia bersifat toleran terhadap konsentrasi oksigen yang rendah hingga kejenuhan 15% (Homer dan Waller 1983).
40
Pengamatan hari ke-
Pengamatan hari ke-
Gambar 18. Kualitas air selama peneitian
Tahap IV : Uji produksi Daphnia sp. Berdasarkan percobaan tahap sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemberian limbah padat dari budidaya ikan nila dengan takaran 4 gr/l memberikan respon
terbaik
pada
pertumbuhan
populasi
Daphnia
sp.
dan
untuk
membandingkan dengan penggunaan kotoran ayam dilakukan percobaan untuk mengetahui pertumbuhan terbaik dan kandungan nutrisi dari Daphnia sp. yang dihasilkan. Berdasarkan percobaan yang dilakukan diperoleh data pertumbuhan Daphnia sp. seperti tersaji pada Gambar 19. Berdasarkan Gambar 19 tersebut, dapat diketahui populasi saat panen pada perlakuan pemberian kotoran ayam sebesar 223 ± 43,93 individu dan pada pemberian limbah padat dari budidaya ikan nila sebesar 295 ± 29.34. Uji t dilakukan untuk mengetahui perbedaan populasi pada saat panen (hari ke-16) antara pemberian kotoran ayam dengan pemberian limbah padat dari budidaya ikan nila. Seperti tersaji pada Lampiran 9 diperoleh adanya perbedaan populasi di saat panen (hari ke-16) antara pemberian kotoran ayam dengan pemberian limbah padat dari budidaya ikan nila dengan signifikansi sebesar 0,00 atau kurang dari alpha (0,025).
41
Gambar 19. Pertumbuhan populasi Daphnia sp. Perbedaan jumlah populasi di saat panen tentu berkaitan erat dengan kandungan nutrisi dari pakan yang diberikan, kandungan nutrisi dari limbah padat budidaya ikan nila mengandung protein kasar dalam bobot kering yang lebih besar yaitu 14,95 % dibandingkan kandungan protein kasar pada kotoran ayam yang diberikan yaitu 9,74%. Sedangkan kandungan nutrisi dari Daphnia sp. di saat panen (hari ke-16) tersaji pada Tabel 13 dan lampiran 11. Tingginya kandungan protein dari endapan limbah padat diduga karena ikan diberi pakan dengan persentase protein lebih tinggi daripada hewan darat. Alasannya adalah bukan dikarenakan ikan mebutuhkan protein yang lebih tinggi hewan darat, tetapi ikan memiliki kebutuhan energi yang lebih rendah. Pakan
komersial untuk ikan
budidaya mengandung protein 30% sampai 35%, sedangkan jenis pakan untuk unggas hanya berkisar antara 18% sampai 23% (Lovell 1991). Protein bersama dengan karbohidrat di dalam pakan bagi Daphnia sp. digunakan untuk pembentukan struktur tubuh, dan juga pembentukan struktur telur serta karapak. Protein juga berfungsi sebagai sumber energi untuk perawatan, aktivitas dan reproduksi bersama dengan energi yang berasal dari lemak dan karbohidrat (Koh, Hallam, Lee 1997).
42
Tabel 13.
Kandungan nutrisi Daphnia sp. yang dihasilkan di saat panen (hari ke-16) Perlakuan Kotoran ayam
Protein 6,5%
Lemak 1.45%
Limbah padat budidaya ikan nila
7.58%
1.10%
Daphnia sp. merupakan sumber penting bagi kebutuhan akan protein, asam amino, lipid, asam lemak, mineral dan enzim. Struktur morfologi sederhana dari saluran pencernaan larva ikan sebagai pemakan Daphnia sp. berkorelasi dengan rendahnya produksi enzim dan akibat dari kecernaan yang kurang baik dari pakan buatan menyebabkan ketergantungan pada pakan alami.
Enzim
eksogen yang terkandung di dalamnya dapat mendukung proses pencernaan pada ikan (Kumar, Srivastava, Chakrabarti 2005).