HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang berasal dari limbah RPH. Biomineral dapat dihasilkan melalui proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen melalui pelarut asam, pengendapan, penambahan carrier dan pengeringan dengan sinar matahari dan oven. Penggunaan biomineral sebagai mineral organik akan lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan mineral anorganik karena mineral ini mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi atau lebih mirip dengan mineral yang digunakan di dalam tubuh (Spears, 1996). Hasil analisa komposisi zat nutrisi biomineral cairan rumen (Tabel 6) memperlihatkan bahwa kandungan nutrisi tinggi yang terdapat dalam biomineral cairan rumen adalah abu, yaitu 21,86 %. Nilai ini menunjukkan bahwa biomineral berpotensi untuk dipakai sebagai suplemen mineral bagi ternak karena menurut Perry et al. (2003), kadar abu merupakan total mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Biomineral yang dienkapsulasi dengan limbah kertas mengandung kadar abu yang lebih sedikit yaitu 9,29% (Mulyawati, 2009), dan mineral mix mengandung kadar abu paling tinggi yaitu 78,67% karena mineral mix sedikit sekali mengandung bahan organik (Suganda, 2009). Biomineral cairan rumen mengandung PK 15,79% dan BETN sebesar 56,57%, sementara kandungan PK dan BETN biomineral dienkapsulasi masingmasing 11,27% dan 77,40% (Mulyawati, 2009) jauh lebih tinggi dari mineral mix (PK 0,84%, dan BETN 15,83%). Hal ini dapat dijelaskan karena kandungan PK biomineral berasal dari protein mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen yang menjadi bahan baku pembuatan biomineral dan tepung terigu dan agar-agar yang ditambahkan sebagai bahan carrier mengandung pati yang cukup tinggi. PK dan BETN yang baik pada biomineral cairan rumen berpotensi dalam upaya meningkatkan sintesis protein mikroba dan substrat bagi mikroba rumen. BETN merupakan karbohidrat yang mudah larut yang berasal dari bahan carrier yaitu tepung terigu sehingga diharapkan dapat sinkron dengan pelepasan N dari amonia untuk sintesis protein mikroba.
23
Tabel 6. Kandungan Zat Makanan dalam Biomineral Cairan Rumen Zat Makanan Kandungan Biomineral Cairan Rumen 86,4*
Biomineral dienkapsulasi** 92,97
Mineral Mix***
Abu
21,86*
9,29
78,67
Protein Kasar
15,79*
11,27
0,84
3,87*
1,23
0,35
Serat Kasar
1,91*
0,81
4,31
BETN
56,57*
77,40
15,83
P
0,09
0,29
0,00
Ca
0,39
0,38
43,37
Mg
0,56
0,09
0,28
Na
2,37
0,46
0,05
4,42
-
-
S
0,19
0,18
0,01
Fe
0,23
0,20
0,01
Al
0,54
0,04
0,04
Mn
196
118
127
21
9
3
Zn
29
107
30
Se
Tidak terdeteksi
0,1
4,6
BK
%BS
Lemak Kasar
Cl
Cu
%BK
%BK
ppm
99,74
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2010) * Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2010) ** Mulyawati (2009) *** Suganda (2009)
Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan mineral makro biomineral lebih tinggi dibandingkan dengan mineral makro yang terdapat di dalam biomineral dienkapsulasi kecuali mineral P. Kekurangan P dapat dipenuhi dengan penambahan mineral makro P anorganik. Kandungan mineral makro Ca dan Mg yang terdapat dalam mineral mix telah memenuhi kebutuhan sapi potong sesuai kebutuhan NRC (2000), namun kebutuhan akan mineral P dan S belum terpenuhi. Hasil analisa kandungan zat makanan pada Tabel 6 juga memperlihatkan bahwa kandungan Ca dalam mineral mix jauh melebihi kebutuhan yaitu 0,33% dan ambang yang dapat 24
ditoleransi oleh ternak sapi potong menurut NRC (2000), yaitu 4,4%; hal ini dapat membuat ketidakseimbangan mineral bahkan dapat menjadi racun bagi ternak. Biomineral yang dienkapsulasi kekurangan Mg, karena hanya mengandung 0,09% padahal kebutuhan Mg bagi ternak sapi potong adalah 0,12% (NRC, 2000). Kandungan mineral mikro biomineral lebih tinggi dibandingkan dengan biomineral dienkapsulasi dan mineral mix. Kandungan mineral mikro biomineral dan mineral mix sudah memenuhi kebutuhan ternak sapi pedaging sesuai NRC (2000). Kandungan mineral mikro biomineral telah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan sapi potong, tetapi tidak sampai pada level toksik, sehingga diharapkan aktivitas dalam tubuh yang membutuhkan mineral ini dapat berjalan optimal. Mineral bagi ternak ruminansia dibutuhkan baik oleh inang maupun mikroba rumen. Kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S ternak sapi potong (NRC, 2000) yang terdapat pada Tabel 3 dibandingkan kandungan mineral Ca, P, Mg, dan S pada biomineral cairan rumen terdapat pada Tabel 6, maka dapat dilihat bahwa biomineral cairan rumen dapat memenuhi kebutuhan mineral ternak sapi potong, kecuali unsur mineral P. Kandungan Mg biomineral cairan rumen yang mencapai 0,56% berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ternak yaitu 0,4%, namun menurut NRC (2000), ekses Mg bagi ternak sapi potong tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan. Menurut Suryahadi (1996), ternak di Indonesia harus diberi suplementasi mineral sekitar 1,5 sampai 2,0 kali untuk mendapatkan produksi yang optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan penambahan unsur yang defisien. Tabel 7 menunjukkan data kandungan mineral dalam biomineral cairan rumen yang telah diperbaiki mutunya. Biomineral cairan rumen mengandung unsur mineral mikro yang cukup tinggi (Tabel 6), namun kandungan unsur mineral makronya kurang untuk memenuhi kebutuhan mineral sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000). Perlu adanya penambahan mineral makro ke dalam biomineral cairan rumen untuk memperbaiki kualitasnya. Dalam penelitian ini dilakukan perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan menambahkan unsur Ca, P, Mg dan S yang didapatkan dari CaCO3, MgSO4.7H2O, (NH4)2SO4, dan K2HPO4, dengan level 0,5 x, 1 x, 1,5 x, dan 2 x NRC sapi potong (2000). Perbedaan angka yang terjadi antara Tabel 5 dan 7 atau antara hasil perhitungan dan analisa laboratorium Balai Penelitian Tanah (2011) tidak dapat 25
dihindarkan karena banyak faktor salah satunya homogenisasi yang kurang baik, karena homogenisasi yang dilakukan menggunakan cara manual menggunakan tangan. Hal ini sebenarnya harus dihindari karena syarat suplementasi menurut Parakkasi (1999) adalah dilakukan secara homogen agar kandungan nutrisinya tersebar merata dan menghindari efek toksisitas yang dapat terjadi. Meskipun demikian, dilihat dari hasil penelitian ini terutama pada populasi bakteri total yang ditunjukkan pada Tabel 12, dapat dikatakan bahwa penambahan mineral yang terbaik adalah pada taraf 1,5 x NRC (2000). Tabel 7. Kandungan Mineral dalam Biomineral Cairan Rumen yang Telah Diperbaiki Mutunya Mineral 0 x NRC 0,5 x NRC 1 x NRC 1,5 x NRC 2 x NRC K(%)
1,213
1,430
1,280
1,671
1,671
Na (%)
3,008
4,211
4,176
4,232
4,232
Ca (%)
0,431
0,694
0,698
0,718
0,718
Mg (%)
0,617
0,694
0,698
0,717
0,717
P (%)
0,968
1,705
1,700
1,714
1,714
S (%)
0,392
0,546
0,788
0,602
0,602
Cl (%)
3,905
3,728
3,550
4,083
4,083
Fe (%)
0,266
0,398
0,380
0,408
0,408
Zn (%)
0,003
0,004
0,004
0,005
0,005
Al (%)
0,043
0,081
0,074
0,083
0,083
Mn (%)
0,029
0,036
0,035
0,036
0,036
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2011)
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi pada bahan biomineral cairan rumen. Evaluasi yang dilakukan adalah terhadap aspek populasi bakteri dan protozoa rumen serta sintesis protein mikroba secara in vitro. Fermentasi in vitro biomineral cairan rumen dilakukan tanpa substrat untuk memastikan bahwa hasil fermentasi adalah murni karena pengaruh biomineral cairan rumen. Biomineral cairan rumen mengandung BETN tinggi yang berasal dari bahan carrier dan PK yang tinggi dari protein mikroba sehingga dapat dijadikan substrat. Kandungan mineral makro yang ditambahkan (Ca, P, Mg, dan S) mempengaruhi populasi mikroba baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan sel tubuh mikroba seperti S dan P. Mineral S sebagai komponen asam amino pembangun sel 26
mikroba yang mengandung sulfida (NRC, 2000) dan P digunakan sebagai bahan utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Secara tidak langsung mineral-mineral tersebut digunakan untuk mengaktivasi enzim mikroba dan menciptakan suasana rumen yang mendukung proses fermentasi yang akhirnya akan menghasilkan energi, NH3, CO2, dan CH4. Energi dan N yang berasal dari proses fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel mikroba sehingga populasi mikroba meningkat. Populasi Protozoa Total Kamra (2005) menyatakan bahwa kisaran normal rataan populasi protozoa pada berbagai ternak ruminansia adalah 104-106 cfu/ml cairan rumen. Kisaran ini sama dengan kisaran populasi protozoa cairan rumen dalam penelitian ini yaitu 4 log sel/ml cairan rumen atau 104 cfu/sel cairan rumen. Protozoa di dalam rumen mempunyai fungsi untuk membantu mencerna karbohidrat yang mudah dicerna seperti pati. Protozoa mempunyai keterbatasan untuk mensuplai kebutuhan nutriennya, oleh karena itu umumnya sebagian besar protozoa menjadi predator bagi bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein protozoa. Tabel 8. Rataan Populasi Protozoa Total Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
4,776±0,049
4,603±0,337
4,690±0,122
0,5
4,735±0,155
4,892±0,013
4,813±0,111
1,0
4,798±0,176
4,688±0,048
4,743±0,078
1,5
4,711±0,123
4,537±0,214
4,624±0,123
2,0
4,705±0,251
4,650±0,245
4,677±0,039
Rataan±SD
4,745±0,041
4,674±0,134
4,710±0,050
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa populasi protozoa tidak dipengaruhi oleh perlakuan berupa faktor taraf penambahan mineral dan waktu inkubasi, serta tidak dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor (Tabel 8). Perbaikan mutu biomineral
27
dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S sampai dengan 2 kali kebutuhan NRC (2000) tidak meningkatkan rataan populasi protozoa total. Perbaikan mutu biomineral tidak mengakibatkan kenaikan rataan populasi protozoa (Tabel 7). Hal ini akan memberikan kesempatan pada bakteri rumen untuk hidup lebih baik. Rataan populasi protozoa total yang juga tidak mengalami kenaikan secara nyata pada waktu inkubasi 3 jam dapat memberikan kesempatan pada bakteri rumen untuk dapat menggunakan mineral yang terdapat dalam biomineral dengan lebih baik untuk aktivitasnya dan pada akhirnya akan membantu pencernaan dalam rumen. Protozoa bersifat memangsa bakteri dan juga proteolisis (Hobson dan Stewart, 2003) sehingga dapat menurunkan efisiensi penggunaan nitrogen bagi inangnya. Populasi protozoa total tidak mengalami peningkatan saat diberi perlakuan, sehingga tidak akan mempengaruhi jumlah protein dan energi yang dapat diabsorbsi oleh inang. Protozoa juga berfungsi sebagai pencerna karbohidrat mudah larut seperti pati-patian yang banyak terdapat dalam konsentrat yang menjadi pakan utama pada sapi potong. Protozoa bersama bakteri amilolitik akan mencerna gula dan pati-patian sehingga ternak ruminansia dapat menggunakannya sebagai energi (Kung, 1999). Dari hasil analisa komposisi nutrien biomineral cairan rumen dapat dihitung BETN yaitu 56,57%, dan menunjukkan bahwa karbohidrat yang mudah dicerna dari biomineral ini cukup tinggi. Hal ini diharapkan dapat juga memicu peningkatan populasi dan aktivitas mikroba pencerna karbohidrat mudah dicerna seperti protozoa, namun kebutuhan protozoa akan mineral untuk aktivitasnya harus cukup. Penelitian ini menunjukkan bahwa, ternyata dengan ketersediaan karbohidrat mudah tercerna yang cukup tinggi belum mampu memberikan pengaruh peningkatan populasi protozoa, karena penambahan mineral makro pada biomineral sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap peningkatan populasi protozoa. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi mineral untuk mempengaruhi peningkatan populasi protozoa rumen. Protozoa dan bakteri amilolitik mempunyai fungsi yang sama untuk mendegradasi pati. Hungate (1966) menjelaskan bahwa pencernaan pati yang dilakukan oleh protozoa akan diselesaikan oleh bakteri karena substrat akan jenuh dan permukaan yang tersedia menjadi terbatas untuk protozoa, tetapi kemungkinan 28
masih dapat digunakan oleh bakteri yang ukurannya lebih kecil. Aktivitas protozoa akan lebih optimal dengan kehadiran mineral esensial seperti mineral Ca dan Mg yang dibutuhkan untuk aktivator enzim amilase sesuai dengan pernyataan Ruckebusch dan Thivend (1980), protozoa dan bakteri amilolitik sama-sama mampu untuk menghasilkan enzim amilase. Kedua mikroba ini bersinergi untuk mendegradasi pati (starch), sehingga peruntukkan mineral ini terbagi dua yaitu untuk protozoa dan bakteri amilolitik. Hal inilah yang kemungkinan membuat perbaikan biomineral dengan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) belum mencukupi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan tidak meningkatnya jumlah protozoa total pada waktu inkubasi 3 jam, mengakibatkan jumlah bakteri selulolitik, proteolitik dan total meningkat. Hal ini karena bakteri telah dapat menggunakan tambahan mineral yang diberikan dengan lebih optimal dan tanpa ada kegiatan predasi yang berlebihan yang disebabkan oleh populasi protozoa. Pemberian biomineral yang telah diperbaiki mutunya dan waktu inkubasi sampai 3 jam tidak nyata meningkatkan populasi protozoa, sehingga memberikan kesempatan untuk bakteri beraktivitas dengan lebih baik. Kamra (2005) menambahkan bahwa pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen dapat mengakibatkan beberapa hal diantaranya adanya penurunan aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung tinggi serat. Bakteri Amilolitik Bakteri amilolitik adalah mikroba rumen yang mampu memfermentasi pati (Dehority dan Burk, 2003). Bakteri amilolitik menjadi dominan jumlahnya apabila makanan mengandung pati yang tinggi, seperti biji-bijan (konsentrat pakan ternak). Asam propionat adalah produk yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan pati yang kemudian akan dikonversi menjadi glukosa di hati dan digunakan sebagai sumber energi sehingga asam propionat bersifat sebagai bahan glukogenik (Kung, 1999). Pemberian mineral seperti mineral Ca dan Mg dapat berfungsi sebagai aktivator enzim amilase yang berasal dari bakteri amilolitik dan protozoa (Ruckebusch dan Thievend, 1980). Bakteri amilolitik dan protozoa memiliki tugas 29
utama yang sama yaitu untuk mendegradasi pati dengan bantuan enzim amilase (Lee, 2009). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap rataan populasi bakteri amilolitik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Populasi Bakteri Amilolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,894±0,864
7,449±1,003
6,670±1,102
0,5
7,430±1,231
7,367±0,959
7,399±0,045
1,0
7,668±1,682
7,913±0,412
7,787±0,179
1,5
7,610±1,166
7,730±1,557
7,762±0,214
2,0
7,280±1,854
7,797±0,722
7,538±0,366
Rataan±SD
7,174±0,733
7,651±0,233
7,412±0,337
Hasil uji ragam menunjukkan populasi bakteri amilolitik dalam penelitian ini tidak berbeda nyata untuk perlakuan level perbaikan biomineral dan waktu inkubasi, begitu pula interaksi antara kedua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali NRC belum dapat mempengaruhi populasi bakteri amilolitik baik pada 0 dan 3 jam waktu inkubasi. Tidak adanya pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diberikan dapat diakibatkan oleh tidak adanya peningkatan dalam kadar mineral makro yang ditambahkan (Ca, P, Mg, dan S) sebagaimana yang diharapkan (Tabel 7); hal ini dapat disebabkan oleh pencampuran yang tidak homogen dari mineral makro yang ditambahkan. Bakteri Selulolitik Hasil sidik ragam menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada populasi bakteri selulolitik akibat perbaikan mutu suplemen biomineral (Tabel 10). Waktu inkubasi sangat nyata mempengaruhi populasi bakteri selulolitik (P<0,01), yaitu pada waktu inkubasi 3 jam populasi bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan 0 jam, namun tidak ada interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Perbaikan mutu biomineral sampai 2 kali NRC belum mampu meningkatkan populasi bakteri selulolitik secara nyata sebagai akibat tidak adanya peningkatan 30
dalam kadar mineral yang ditambahkan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun tidak terdapat peningkatan kadar mineral makro yang ditambahkan dalam biomineral yang diperkaya sebagaimana yang diharapkan (Tabel 7), dibandingkan dengan populasi bakteri selulolitik blanko (tanpa biomineral) yaitu 6,015±1,033, perlakuan penambahan biomineral menunjukkan rataan populasi yang lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam dan diduga bakteri selulolitik memperlihatkan adanya respon yang positif terhadap penambahan biomineral karena biomineral mengandung mineral yang dibutuhkan untuk aktivitas bakteri selulolitik seperti Ca, P, Mg, S, Zn, Co, dan Mn (Arora, 1989). Tabel 10. Rataan Populasi Bakteri Selulolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,370±0,873
6,953±1,879
6,162±1,119
0,5
6,126±0,888
7,776±1,344
6,951±1,167
1,0
6,269±1,267
7,512±0,639
6,891±0,879
1,5
6,747±0,687
7,278±1,155
7,013±0,375
2,0
6,318±0,989
7,234±0,870
6,776±0,648
Rataan±SD
6,166±0,501
B
7,351±0,310
A
6,758±0,838
Keterangan: Superskrip huruf besar pada baris yang sama berbeda pada P<0,01
Mineral P dan S dibutuhkan untuk mencerna selulosa (Komisarczuk dan Durand, 1991). Kandungan mineral P hasil analisa yang terdapat pada Tabel 7 cenderung lebih tinggi daripada yang diharapkan yaitu pada kisaran 0,968–1,714%, untuk penambahan mineral makro mulai dari 0% sampai 2%. Menurut Zulkarnaini (2009), kebutuhan P optimal mikroba rumen adalah 0,4%. Kelebihan suplai P pada biomineral cairan rumen yang ditambahkan mineral makro P menyebabkan tidak adanya pengaruh pertambahan populasi bakteri selulolitik yang akhirnya akan berdampak pada tidak adanya efek pada pencernaan selulosa. Rataan populasi bakteri selulolitik dipengaruhi secara sangat nyata (P<0,01) oleh waktu inkubasi, pada waktu inkubasi 3 jam populasi bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan 0 jam. Menurut Sutardi (1980), waktu inkubasi 3-4,5 31
jam merupakan puncak aktivitas mikroba cairan rumen dalam mendegradasi pakan, sehingga produk fermentasi seperti VFA-nya juga optimal. Peningkatan aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri ini akan meningkatkan optimalisasi penggunaan pakan dan performa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nsereko et al. (2001) yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia 3-4,5 jam setelah makan, jumlah mikroba selain protozoa meningkat. Pada inkubasi 3 jam, mineral yang terkandung dalam biomineral telah dapat digunakan dengan lebih baik oleh mikroba rumen untuk menyokong kebutuhan aktivitasnya. Mineral seperti Ca, Mg, dan S terbukti secara in vitro dapat menstimulasi aktivitas bakteri selulolitik (Hungatte, 1966). Indikasi kebutuhan P untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba rumen. Selain itu faktor yang mempengaruhi peningkatan populasi bakteri selulolitik ini adalah karena berkurangnya kompetisi dengan protozoa. Protozoa memangsa bakteri yang terdapat pada cairan rumen dan mencernanya sebagai sumber asam amino bagi pertumbuhannya, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang. Peningkatan populasi bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam akan mampu menstimulasi pencernaan karbohidrat kompleks yang lebih baik dan lebih cepat. Karbohidrat kompleks dari pakan berserat tinggi dirubah menjadi VFA oleh mikroba selulolitik yang diserap untuk memenuhi kebutuhan energi dan jika kekurangan energi akan menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan karena cadangan energi dalam tubuh dirombak, selain itu VFA tersebut digunakan sebagai prekursor air susu pada hewan laktasi (Parakkasi, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan suplemen biomineral menunjukkan (P<0,01) peningkatan bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam yang akan memperbaiki produksi ternak ruminansia. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yan diperoleh Suganda (2009). Bakteri Proteolitik Bakteri proteolitik di dalam rumen bertanggung jawab untuk mendegradasi protein sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Lee, 2009). Bakteri ini menghasilkan enzim protease dan peptidase, aktivitas bakteri ini dan rangkaian kerja sistem pencernaan ruminansia dapat membuat ternak ini mampu memanfaatkan 32
sumber nitrogen yang bukan berasal dari protein. Enzim yang dihasilkan oleh bakteri proteolitik memecah ikatan peptida dan menghasilkan asam amino untuk inangnya dan dirinya untuk mensintesis asam amino sendiri (Dehority dan Burk, 2004). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap rataan populasi bakteri proteolitik dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa belum ada pengaruh secara nyata antara populasi bakteri proteolitik dengan perbaikan mutu biomineral, tetapi populasi bakteri proteolitik mengalami peningkatan (P<0,06) pada waktu inkubasi 3 jam dibandingkan 0 jam. Tidak ada interaksi antara kedua perlakuan perbaikan mutu biomineral dan waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan mutu biomineral dengan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) belum memberikan efek yang signifikan pada peningkatan rataan populasi bakteri proteolitik. Tidak adanya peningkatan rataan populasi bakteri proteolitik terhadap perlakuan dinilai baik, mengingat fungsi dari bakteri ini adalah untuk mendegradasi protein, sehingga diharapkan dengan penggunaan biomineral tidak terjadi degradasi protein berkualitas yang berlebihan. Harus diperhatikan bahwa peningkatan populasi bakteri proteolitik berarti juga dapat meningkatkan degradasi protein berkualitas oleh bakteri untuk digunakan sebagai pembentuk protein tubuh bakteri tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa keberadaan mikroba proteolitik sebaiknya dihambat agar meningkatkan jumlah protein bypass rumen yang dapat langsung diserap di usus kecil dan digunakan oleh ternak ruminansia, karena untuk keperluan mikroba dapat digunakan nitrogen yang bersumber dari bahan bukan protein misalnya urea. Ternak ruminansia tidak efisien menggunakan ransum berprotein kualitas baik karena akan didegradasi oleh mikroba rumen dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bakteri atas asam amino baru kemudian dibypass sebagian ke usus halus (Parakkasi, 1999). Kondisi ini menjadi hal yang merugikan karena biasanya protein yang berkualitas baik harganya mahal. Penggunaan biomineral sebagai suplemen tidak meningkatkan populasi bakteri proteolitik sehingga tidak terjadi degradasi protein yang terdapat dalam pakan ternak secara berlebihan. Degradasi protein oleh mikroba proteolitik di rumen dan sintesis protein mikroba serta protein bypass inilah yang kemudian mensuplai asam amino untuk digunakan oleh ternak (Parakkasi, 1999). 33
Tabel 11. Rataan Populasi Bakteri Proteolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
6,389±0,771
6,904±1,367
6,647±0,364
0,5
6,153±1,092
7,382±1,104
6,768±0,870
1,0
6,828±1,111
7,818±0,266
7,323±0,700
1,5
7,188±1,569
7,220±1,101
7,204±0,023
2,0
6,769±0,831
7,202±0,450
6,986±0,306
Rataan±SD
6,665±0,403a
7,305±0,335b
6,985±0,453
Keterangan: Superskrip huruf pada kolom yang sama berbeda pada P<0,06
Hasil analisa kandungan nutriennya menunjukkan bahwa biomineral cairan rumen mengandung PK sebesar 15,79%, angka ini cukup baik untuk memenuhi kebutuhan ternak ruminansia. Tingginya kandungan protein pada cairan rumen karena di dalamnya terdapat mikroba yang tinggi kandungan proteinnya. Melihat kandungan protein yang tinggi pada biomineral cairan rumen dapat diduga bahwa bahan ini akan meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba proteolitik karena substrat yang tersedia cukup. Populasi bakteri proteolitik meningkat (P<0,06) pada waktu inkubasi 3 jam jika dibandingkan dengan waktu inkubasi 0 jam. Hal ini dapat terjadi karena suplementasi biomineral dapat memperbaiki aktivitas bakteri proteolitik. Beberapa mineral yang dibutuhkan untuk aktivitas bakteri proteolitik diantaranya Zn dan Mn. Zn berfungsi untuk aktivitas mikroba dalam rumen (McDonald et al., 2002) dan Mn berfungsi untuk pengaktifan enzim yang berperan dalam metabolisme protein (Williamson dan Payne, 1993). Biomineral cairan rumen mampu meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen baik yang berasal dari protein maupun yang tidak berasal dari protein untuk menghasilkan protein mikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber asam amino bagi ternak. Bakteri Total Bakteri total di dalam rumen adalah kumpulan bakteri yang terdapat di dalam rumen yang menjalankan fungsi masing-masing, sesuai dengan enzim yang dihasilkannya. Terdapat delapan kelompok yang didasarkan pada jenis bahan yang 34
digunakan dan hasil akhir fermentasi, yaitu : bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat hemiselulosa, bakteri pemanfaat pati, bakteri penghasil metan, bakteri pemanfaat gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat protein, bakteri pemanfaat lipid (Dehority dan Burk, 2003). Tabel 12 adalah rataan bakteri total pada percobaan in vitro, hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan penambahan berbagai level mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC dapat meningkatkan populasi bakteri total pada (P<0,1). Populasi bakteri total meningkat secara nyata (P<0,05) akibat perlakuan waktu inkubasi, tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor. Ada pola peningkatan populasi bakteri total yang diberi biomineral dengan perbaikan mutu dibandingkan dengan blanko (tanpa biomineral) 6,368 ± 0,839 (log/ml cairan rumen). Kondisi ini dapat terjadi karena kecukupan mineral yang disediakan biomineral dengan perbaikan mutu sehingga dapat digunakan oleh mikroba untuk menstimulasi fermentasi mikroba agar berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada peningkatan produktivitas ternak (McDowell, 1992). Perbaikan mutu biomineral dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S pada taraf 1,5 dan 2 kali dari kebutuhan NRC (2000) dapat meningkatkan rataan populasi bakteri total (P<0,1). Hal ini menunjukkan bahwa mineral yang terkandung dalam biomineral dan telah diberi tambahan mineral makro sampai 1,5 kali dan 2 kali kebutuhan NRC (2000) adalah taraf optimum untuk menyokong aktivitas bakteri secara total. Mineral Ca, P, Mg dan S adalah mineral esensial yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan sel mikroba rumen (Ruckebush dan Stivend, 1980). Lebih lanjut Ruckebusch dan Stivend (1980) menjelaskan bahwa mineral Ca mempunyai peran dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan metabolisme
yang
membutuhkan
Ca.
pertumbuhan dan proses-proses
Mineral
P
esensial
untuk
semua
mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa koenzim. Mineral Mg sangat penting untuk berbagai proses seluler sehingga diperlukan oleh semua mikroorganisme. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba. Mineral Ca, P, Mg dan S juga terlibat dalam mengaktivasi enzim yang dibutuhkan untuk memfermentasi zat 35
makanan di dalam rumen, sehingga dengan cara lansung maupun tidak langsung kecukupan mineral ini dapat mempengaruhi populasi mikroba rumen. Tabel 12. Rataan Populasi Bakteri Total Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,089±1,572
7,287±0,223
6,188±1,554e
0,5
6,279±2,272
7,513±0,343
6,896±0,873e
1,0
6,607±1,568
7,411±0,507
7,009±0,568e
1,5
7,709±1,697
7,553±0,372
7,631±0,110f
2,0
7,670±1,717
7,479±0,340
7,575±0,135f
Rataan±SD
6,671±1,088b
7,448±0,104a
7,060±0,550
Keterangan: Superskrip huruf kecil pada baris yang sama berbeda nyata pada P<0,05 Superskrip huruf kecil pada kolom yang sama berbeda pada P<0,1
Waktu fermentasi (inkubasi) dalam rumen 3-4 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen (Sutardi, 1980). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi bakteri amilolitik, proteolitik, dan selulolitik juga meningkat pada inkubasi 3 jam. Hal ini dipicu karena pada waktu inkubasi 3 jam mineral yang terdapat dalam biomineral sudah dapat digunakan secara optimal. Sintesis Protein Mikroba Sintesis protein di dalam rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti suplai nutrien, populasi mikroba dan kondisi lingkungan rumen (Thomas, 1973). Bakteri menggunakan NH3 untuk mensintesis proteinnya. Pemanfatan sumber nitrogen bukan protein untuk mensintesis protein mikroba akan terjadi jika sumber energi yang mudah terfermentasi tersedia. Jumlah dan kecepatan degradasi karbohidrat dengan protein yang sinergis dan cocok dengan ekologi dalam rumen akan meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba (Khampa dan Wanapat, 2006). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap sintesis protein mkroba dapat dilihat pada Tabel 13. Sintesis protein mikroba tidak
36
dipengaruhi perlakuan taraf perbaikan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S), waktu inkubasi dan interaksi kedua perlakuan itu. Tabel 13. Sintesis Protein Mikroba Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) mg N/g BO
Rataan±SD
0
70,895±45,810
60,582±42,784
65,739±7,292
0,5
79,918±44,895
84,529±82,688
82,223±3,260
1,0
116,605±66,144
88,473±63,837
102,539±19,893
1,5
120,946±39,172
71,955±58,391
96,450±34,642
2,0
95,228±58,969
73,908±42,797
84,568±15,075
Rataan±SD
96,718±21,559
75,889±11,030
86,304±14,728
Kandungan PK dan BETN biomineral yang cukup baik (15,79% dan 56,57%) adalah kondisi yang memungkinkan untuk sintesis protein mikroba, namun perlakuan yang diterapkan tidak dapat meningkatkan sintesis protein mikroba. Hal ini dapat diakibatkan oleh jenis karbohidrat dari bahan carrier yang digunakan, terigu, adalah amilopektin yang kurang dapat tersedia dengan cepat di dalam rumen (Hindratiningrum et al., 2009). Oleh karena fermentabilitas karbohidrat yang lambat kemungkinan tidak sinkron dengan ketersediaan nitrogen dalam rumen, yang akhirnya mempengaruhi efisiensi mikroba dalam mensintesis protein. Jumlah dan kecepatan degradasi karbohidrat dengan protein yang sinergis dan cocok dengan ekologi dalam rumen akan meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba (Khampa dan Wanapat, 2006). Elihasridas (1995) menduga bahwa tidak cukupnya energi yang tersedia akan mengakibatkan kelebihan amonia yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menghasilkan protein mikroba. Faktor lain yang menyebabkan pengaruh perlakuan yang tidak nyata terhadap sintesis protein mikroba adalah ketersediaan dan kecukupan berbagai mineral yang dibutuhkan oleh mikroba rumen, seperti S, dan P (NRC, 2000; Pathak, 2008). Mineral S esensial bagi bakteria rumen karena sel bakteri kaya akan kandungan asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein (NRC, 2000). Mineral P dibutuhkan untuk sintesis ATP dan protein mikroba rumen. Ketidaktersediaan atau pun ketidakcukupan kedua mineral tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan 37
pembentukan sel mikroba, dan membatasi aktivitas mikroba dalam memfermentasi dan mendegradasi zat makanan pakan. Meskipun kebutuhan akan mineral telah dipenuhi, kadar mineral dari biomineral yang diperbaiki tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 7) dan hal inilah yang menyebabkan tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan perbaikan mutu biomineral terhadap sintesis protein mikroba.
38