13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Penangkaran Dibentuknya suatu lembaga penangkaran harimau Sumatera di luar habitatnya didasari oleh kategori
harimau Sumatera yang tergolong langka,
sehingga dilakukan upaya untuk menyelamatkan harimau Sumatera dengan melakukan program penangkaran. Harimau Sumatera dikenal juga sebagai umbrella species, yang artinya dengan melindungi spesies tersebut spesies lainnya akan turut terdilindungi (Roberge dan Angelstam 2004). Upaya penangkaran harimau Sumatera dimulai pada tahun 1992 dengan terbentuknya lembaga penangkaran harimau Sumatera Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia (PKBSI) yang dipusatkan di Taman Safari Indonesia, dimulainya pencatatan studbook harimau Sumatera PKBSI dan pengelolaan penangkaran ex-situ. Tujuan utama konservasi ex-situ adalah menyokong keselamatan spesies satwaliar di habitat aslinya sehingga terhindar dari kepunahan. Konsevasi ex-situ merupakan suatu program yang berkomplemen dengan konservasi in-situ. Pelestarian ex-situ dan in-situ merupakan strategi yang saling melengkapi (Robinson 1992). Variasi genetik merupakan hal yang penting bagi populasi in-situ sehingga pengelolaan ex-situ dalam menunjang penyelamatan satwa in-situ sangat perlu mempertimbangkan mutu genetiknya. Sehingga hubungan kekerabatan antar individu dijaga serendah mungkin. Untuk mengurangi terjadinya kawin silang dalam (inbreeding) dalam penangkaran satwaliar maka dapat diambil langkah seperti mengambil bibit satwaliar dari populasi yang berbeda, melakukan tes heterozigositas dan melakukan pencatatan silsilah atau studbook (Sinaga 2004). Dalam setiap penangkaran biasanya dilakukan kegiatan pengelolaan kesehatan harimau. Setiap individu harimau Sumatera yang ada di kebun binatang sangat diperhatikan kesehatannya. Bagi harimau yang baru datang, baik dari alam ataupun dari kebun binatang lainnya harus melalui proses karantina dan pemeriksaan kesehatan umum. Perawatan harimau Sumatera harus mengikuti standar kesejahteraan hewan (kesrawan). Menurut Christie dan Dollinger (2007) syarat legal dalam pemeliharaan harimau berbeda pada tiap negara.
14
Untuk memelihara seekor harimau memerlukan tanah berpagar terbuka seluas 500 m² perpasang, sedangkan untuk betina yang memiliki anak harus memiliki kandang yang terpisah dari harimau jantan. Tinggi pagar yang diperlukan sekitar 3,5 m. Kandang harimau Sumatera harus dilengkapi dengan tempat untuk beristirahat, tempat minum, kandang tidur dan kandang latihan, saluran air yang baik, terdapat pohon untuk bernaung dan mengasah kuku, serta kolam untuk berenang. Untuk pengamanan, diperlukan pagar pembatas yang kuat dan biasanya dihubungkan dengan kawat listrik (Christie dan Dollinger 2007). Sinaga (2004) menyatakan bahwa, dalam penangkaran juga harus dilakukan pencatatan studbook untuk mengetahui asal usul satwa agar pengelolaan penangkaran dapat dilakukan dengan baik dan dapat mempertahankan sekurangkurangnya 90% genetik diversitas dari populasi. Pengelolaan perkawinan dapat dilakukan dengan variasi genetik tetap tinggi dan menghindari perkawinan silang. Selain itu untuk menunjang program konservasi harimau Sumatera dilakukan penampungan spermatozoa untuk diawetkan sehingga diharapkan suatu waktu dapat diinseminasikan kepada betina yang memerlukan. Sejak tahun 1995 Bank Sumber Plasma Nutfah dipusatkan di Taman Safari Indonesia. Berdasarkan studbook harimau Sumatera Regional dan Internasional sampai tahun 2007, Harimau sumatera tersebar di sebelas tempat di pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Ke sebelas tempat tersebut adalah Bali Zoo, Taman Safari Bogor, Komplek Let Jen Norman Sasono, Taman Bundo Kanduang Bukittinggi, Ragunan Zoo, Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung, Kebun Binatang Taman Aneka Rimba Jambi, Yayasan Kebun Binatang Medan, Taman Wisata Satwa Taru Jugug, Kebun Binatang Surabaya, dan Kebun Binatang Gembira Loka. Jumlah harimau Sumatera terbanyak terdapat di Taman Safari Indonesia Bogor. Hal ini dikarenakan ditunjuknya Taman Safari Indonesia sebagai pusat dari lembaga Penangkaran harimau Sumatera (Tumbelaka 2007).
15
Tabel 1 Penyebaran Harimau Sumatera di Beberapa Penangkaran No
Kebun Binatang
Jantan
Betina
Total
1
Bali Zoo
1
1
2
2
Taman Safari Indonesia
11
12
23
3
Let Jen Norman Sasono Komplek
2
3
5
4
Taman Bundo Kanduang Bukit Tinggi
0
2
2
5
Ragunan Zoo
15
12
27
6
Yayasan Margasatwa Tamansari-Bandung
6
5
11
7
Kebun Binatang Aneka Rimba Jambi
1
1
2
8
Yayasan Kebun Binatang Medan
0
3
3
9
Taman Wisata Satwa Taru Jurug
2
7
9
10
Kebun Binatang Surabaya
2
11
13
3
1
4
11 Kebun Binatang Gembira Loka Sumber. Studbook Harimau sumatera regional tahun 2007
Pengelolaan kandang, pakan, kesehatan dan lingkungan memberikan pengaruh pada masa hidup harimau. Masa hidup harimau Sumatera yang ada di penangkaran lebih lama daripada yang hidup di alam. Menurut Macdonald (1986) harimau Sumatera yang ada di penangkaran bisa mencapai usia 16-25 tahun. Dari data studbook (lampiran 2) tercatat harimau jantan yang memiliki usia paling lama adalah harimau dengan Nomor SB 883 yaitu 24 tahun dan harimau betina dengan nomor SB 876 yaitu selama 22 tahun. Pemasangan atau penjodohan juga memberikan kontribusi yang besar bagi penangkaran harimau Sumatera. Sebelum dipasangkan, biasanya harimau diperkenalkan terlebih dahulu satu sama lain dalam kandang yang diberi batas agar harimau tidak saling kontak fisik tetapi masih tetap bisa melihat dan mencium bau pasangannya. Hal yang paling penting dari penjodohan adalah memperhatikan kekerabatan. Menurut hasil penelitian Suharyo (2001) persyaratan yang ditentukan oleh Taman Safari Indonesia dalam menjodohkan harimau Sumatera adalah harimau yang dijodohkan harus bersal dari daerah yang berbeda, berumur lebih dari lima tahun, usianya hampir sama dan memiliki koefisien inbreeding yang rendah. Sementara itu hasil penelitian Andriyanto (2001) menyatakan bahwa harimau yang dikawinkan pada empat lembaga konservasi di Jawa (TSI, KB Gembiraloka, Ragunan dan KB Surabaya) berasal dari alam dan harimau hasil penangkaran.
16
Usaha yang dilakukan dalam pemilihan pasangan kawin tersebut tidak selamanya berhasil karena terkadang tidak ada saling ketertarikan antara pasangan kawin. Selain itu, perkawinan yang dilakukan melakukan perkawinan yang terkontrol dimana tidak setiap betina yang estrus harus dikawinkan dengan pejantan. Hal ini dipengaruhi oleh kapasitas atau daya dukung tempat di penangkaran. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan jumlah perkawinan setiap bulan di penangkaran.
Status Reproduksi Status reproduksi hewan adalah kondisi reproduksi hewan pada saat tertentu yang meliputi jumlah anak perpasangan, jantan dan betina produktif serta musim kawin. Pada penangkaran, perkawinan harimau Sumatera dilakukan apabila telah mengalami dewasa kelamin (pubertas) dan betina menunjukkan gejala birahi. Pubertas adalah periode dalam kehidupan makhluk jantan dan betina dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi, yang ditandai dengan kemampuan untuk pertama kalinya memproduksi benih (Partodihardjo 1980). Kematangan secara seksual harimau betina adalah pada usia 3-4 tahun, sedangkan harimau jantan pada usia 4-5 tahun. Smith (1994) mengatakan, usia produktif harimau jantan selama 2-6 tahun dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai usia 15 tahun. Akan tetapi, dari data studbook (lampiran 1) diketahui bahwa harimau Sumatera yang hidup dipenangkaran masih produktif sampai usia 20 tahun. Tercatat harimau Sumatera betina di Kebun Binatang Bandung dengan nomor studbook 1051 dan harimau Sumatera jantan di Kebun Binatang Solo dengan nomor studbook 912 masih bisa kawin dan menghasilkan anak. Kemungkinan harimau yang hidup di penangkaran masih bisa bereproduksi sampai usia 25 tahun. Menurut Macdonald (1986) harimau yang ada dipenangkaran dapat hidup dalam usia 15-25 tahun. Birahi adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Kopulasi dapat menghasilkan kebuntingan dan selanjutnya menghasikan anak. Jika birahi pertama tidak menghasilkan kebuntingan maka akan nada birahi kedua, ketiga dan seterusnya sampai terjadi kebuntingan. Jarak antar satu birahi dengan birahi berikutnya disebut sikus birahi. Siklus birahi terdiri atas 4 fase yaitu
17
proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Estrus adalah fase terpenting dalam siklus birahi, karena dalam fase ini betina memperlihatkan gejala yang khusus untuk tiap jenis hewan dan dalam fase ini pula hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi (Partodihardjo 1980). Menurut Seal et al (1987) saat birahi harimau betina terlihat lebih aktif, interaksi dengan perawat meningkat dan nafsu makan menurun. Pada hewan jantan, siklus birahi seperti pada betina tidak ada. Pada umumnya pejantan selalu bersedia menerima harimau betina untuk melakukan aktivitas reproduksi. Jika ada harimau jantan yang menolak untuk aktivitas reproduksi bisa jadi harimau jantan tersebut tidak normal atau mengalami kelainan-kelainan. Sistem kawin pada hewan didefinisikan sebagai jumlah pasangan kopulasi tiap individu dalam setiap musim kawin. Sistem kawin ini ada beberapa jenis, yaitu monogami, poligami dan poliandri. Monogami apabila jantan dan betina kawin hanya dengan satu pasangan per musim kawin, poligami jika jantan kawin dengan lebih dari satu betina per musim kawin dan poliandri jika betina kawin dengan lebih dari satu jantan per musim kawin (Goodenough et al 2010). Sistem perkawinan harimau Sumatera tergolong pada poligami dan poliandri karena dapat kawin dengan beberapa pasangan. Berdasarkan penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010 (lampiran 2), terdapat 44 pasang harimau Sumatera yang telah dikawinkan dengan jumlah pejantan sebanyak 33 ekor dan betina 34 ekor. Dari semua perkawinan yang terjadi, terlihat beberapa Harimau sumatera melakukan perkawinan dengan beberapa jantan atau betina yang berbeda. Hal in menunjukkan bahwa Harimau sumatera bukanlah hewan yang bersifat monogami.
18
Tabel 2 Jumlah anak per pasangan pada Harimau sumatera di penangkaran Lokasi TSI
No SB Jantan
Asal
No SB Betina
Asal
1036 Tangkaran 1053 Tangkaran 1054 Tangkaran 1052 Tangkaran 1100 Tangkaran 1260 Tangkaran 1101 Tangkaran IN9969 Alam 874 Alam 1017 Tangkaran 866 Alam 1051 Tangkaran Ragunan 905 Tangkaran 1264 Tangkaran 1265 Tangkaran 1270 Tangkaran 1265 Tangkaran 1266 Tangkaran 1342 Tangkaran 1343 Tangkaran 1350 Tangkaran 1348 Tangkaran Bandung 942 Tangkaran 953 Tangkaran 1033 Tangkaran 953 Tangkaran 1033 Tangkaran 1190 Tangkaran 1033 Tangkaran 1191 Tangkaran Solo 912 Tangkaran 943 Tangkaran Surabaya 1035 Alam 1016 Tangkaran Yogyakarta 954 Tangkaran 1018 Alam 1033 Tangkaran 1125 Tangkaran Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2007
Jumlah Anak (ekor) 6 2 13 17 3 8 13 12 2 2 4 21 7 2 3 9 2 5 1
Status reproduksi dapat dilihat dari jumlah anak perpasangan. Tabel 2 menunjukkan, pada beberapa penangkaran seperti Taman Safari Indonesia, Taman Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Bandung, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta ada 19 pasang harimau yang telah dikawinkan. Pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 942 dan SB 953 di Kebun Binatang Bandung merupakan pasangan harimau Sumatera yang memiliki jumlah anak paling banyak selama masa produktifnya yaitu 21 ekor. Sedangkan pasangan harimau Sumatera dengan nomor SB 1033 dan SB 953 memiliki jumlah anak 7 ekor selama masa produktifnya, sehingga harimau Sumatera betina dengan nomor SB 953 telah melahirkan 28 ekor anak selama masa produktifnya dari dua jantan yang berbeda. Harimau jantan dengan nomor SB 1033 melakukan perkawinan dengan empat betina yang berbeda dan telah menghasilkan 11 ekor anak. Harimau jantan dengan nomor SB 1265 telah menghasilkan 14 ekor anak selama masa produktifnya dari dua betina yang berbeda. Selain itu Harimau jantan SB 1101 (kelahiran tangkaran) yang dikawinkan dengan betina SB IN 9969 (kelahiran alam) memiliki jumlah
19
anak sebanyak 17 ekor selama masa produktifnya. Jumlah anak yang dilahirkan menunjukkan adanya hubungan antara reproduksi hewan dengan fekunditas dan litter size. Fekunditas merupakan kesuburan dari seekor hewan betina yang dilihat dari banyak dan seringnya anak yang dilahirkan (Yatim 1999). Tingginya tingkat fekunditas seekor harimau dilihat dari panjangnya masa produktif. Akan tetapi masa produktif seekor harimau betina tidak sepanjang masa produktif harimau jantan. Masa produktif harimau betina dipengaruhi oleh keterbatasan dalam memproduksi sel telur. Selain itu, harimau tidak pernah dikawinkan lagi sehingga tidak bereproduksi juga mempengaruhi masa produktif harimau betina. Berdasarkan data yang didapat dari studbook, harimau betina memiliki tingkat fekunditas berkisar antara 1-7 kali dalam melahirkan anak. Dari data yang didapatkan di studbook (lampiran 2), harimau betina dengan nomor SB 528 merupakan harimau dengan tingkat fekunditas yang tinggi, yaitu mampu melahirkan sebanyak 9 kali sepanjang hidupnya. Berdasarkan studbook, jumlah peristiwa kelahiran harimau Sumatera tidak mengikuti suatu pola reproduksi tertentu. Selain fekunditas, juga dapat dilihat banyaknya anak yang dilahirkan dalam satu kali kebuntingan atau disebut juga dengan litter size. Untuk harimau, rata-rata litter size adalah 3-4 seperti yang disebutkan dalam Triefeld (2007). Hasil penelitian Sagara (2011) didapatkan bahwa rata-rat litter size harimau Sumatera sebesar 2,1. Dari penelusuran data studbook (lampiran 2) didapatkan litter size harimau Sumatera antara 1-6 ekor dalam tiap kelahiran. Dimana harimau dengan nomor SB 887 merupakan harimau betina yang memiliki litter size paling tinggi yaitu mampu melahirkan 6 ekor anak dalam sekali kelahiran.
Musim Kawin Mamalia sering menunjukkan variasi musiman dalam reproduksinya. Reproduksi musiman mamalia bergantung pada lingkungan. Kebanyakan kasus reproduksi musiman dipengaruhi oleh faktor makanan, iklim, curah hujan dan suhu. Perbedaan letak geografis atau garis lintang menunjukkan terjadinya
20
perbedaan iklim di suatu wilayah (Bronson 1998). Perbedaan iklim inilah yang mempengaruhi musim kawin pada mamalia. Iklim suatu daerah berkaitan erat dengan letak garis lintang dan ketinggiannya di muka bumi. Berdasarkan letak garis lintang dan ketinggian tersebut maka iklim dibagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari yang diterima oleh permukaan bumi. Sedangkan iklim fisis adalah menurut keadaan atau fakta sesungguhnya di suatu wilayah muka bumi sebagai hasil pengaruh lingkungan alam yang terdapat di wilayah tersebut misalnya pengaruh lautan, daratan yang luas, relief muka bumi, angin dan curah hujan. Iklim matahari terdiri atas empat iklim yaitu iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang, dan iklim dingin (kutub). Pada daerah tropis, disinari matahari sepanjang tahun sedangkan pada daerah beriklim subtropis hanya disinari matahari pada bulan-bulan tertentu. Terdapat empat musim pada wilayah subtropis, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Harimau tersebar di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Indonesia sebagai habitat harimau Sumatera terletak di wilayah beriklim tropis ( Prawirowardoyo 1996). Dari penulusuran studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010, dapat ditentukan
bulan
perkawinan
berdasarkan
bulan
terjadinya
kelahiran.
Penghitungan bulan perkawinan dilihat dari bulan kelahiran anak dikurangi dengan rataan lama kebuntingan harimau Sumatera yang berkisar antara 95-110 hari, atau lebih kurang tiga bulan (LIPI 1982). Dengan masa kebuntingan tersebut dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan pada harimau Sumatera. Pada kajian ini penentuan waktu kawin berdasarkan tanggal lahir dikurangi rataan lama kebuntingan. Sehingga dapat diperkirakan kapan terjadinya perkawinan. Pada Tabel 3 dapat dilihat perkiraan bulan terjadinya perkawinan.
21
Tabel 3 Bulan Kelahiran April
Data kelahiran harimau Sumatera di penangkaran
4
Jumlah Induk (pasang) 4
Jumlah Anak (ekor) 12
Mei
17
17
42
2,5
Juni
7
7
17
2,4
Juli
10
10
23
2,3
Agustus
4
4
10
2,5
September
6
6
15
2,5
Oktober
7
7
21
3,0
November
10
10
25
2,5
Desember
9
9
24
2,7
Januari
14
14
36
2,6
Februari
10
10
24
2,4
Jumlah Perkawinan
Rataan 3,0
Maret 7 7 17 Sumber: Studbook Harimau sumatera internasional tahun 2004 - 2010
2,4
18 16 Jumlah Perkawinan
14 12 10 8 6 4 2 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 2 Perkiraan perkawinan harimau Sumatera di penangkaran ex-situ berdasarkan bulan kelahiran (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)
22 45
Jumlah Anak (Ekor)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
Bulan
Gambar 3 Jumlah anak yang dilahirkan tiap bulan di penangkaran ex-situ (Sumber: Studbook harimau Sumatera sampai tahun 2010)
Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada harimau Sumatera yang ada pada lembaga konservasi di Indonesia, perkawinan terjadi sepanjang tahun. Perkawinan paling banyak terjadi di bulan Februari (17 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 42 ekor pada bulan Mei. Perkawinan paling sedikit terjadi pada bulan Mei (4 pasang) dengan kelahiran anak sebanyak 10 ekor pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara bulan kelahiran dengan bulan perkawinan. Harimau Sumatera betina di Indonesia, hidup di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim, dimana curah hujan merata sepanjang tahun yakni sekitar 2000-3500 mm dan fluktuasi suhu berkisar antara 3-5 °C (Sipayung 2004). Data menunjukkan bahwa perkawinan dapat berlangsung sepanjang tahun, sesuai dengan pernyataan Semiadi dan Nugraha (2006). Hal ini mendukung pernyataan Geptner et al (1992) yang menyatakan bahwa reproduksi nonsesasonal adalah karakteristik dari hewan tropis. Belum dapat dipastikan apakah setiap harimau Sumatera betina mengalami estrus berulang sepanjang tahun seperti pada sapi karena belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Mamalia yang hidup di daerah subtropis, contohnya harimau Benggala, memiliki musim kawin pada musim dingin dan musim semi. Dari hasil penelitian Saputra (2010) pada harimau Benggala frekuensi perkawinan tertinggi terjadi dari
23
bulan Januari sampai Maret. Hal ini ternyata serupa dengan harimau Sumatera yang hidup di Indonesia. Jumlah peristiwa kelahiran yang tinggi pada bulan tersebut menandakan adanya kecenderungan peningkatan jumlah estrus. Hasil penelitian Hidayani (2007) juga menyatakan bahwa harimau Sumatera yang hidup di daerah subtropis bagian utara (Eropa, Amerika Serikat, Asia Tengah, Asia Timur) mengalami perkawinan terbanyak pada musim dingin dan musim semi. Hewan yang hidup di daerah subtropis, termasuk ke dalam golongan hewan polyestrus bermusim atau seasonally polyestrus, yaitu hewan yang menunjukkan gejala birahi beberapa kali dalam satu musim kawin. Harimau Siberia merupakan contoh hewan dengan seasonally polyestrus (Senger 1999). Beberapa data yang diperoleh menunjukkan bahwa banyaknya perkawinan yang terjadi pada akhir musim hujan (daerah tropis) dan akhir musim dingin (daerah subtropis) dipengaruh oleh kondisi lingkungan. Pada daerah subtropis misalnya, perkawinan banyak terjadi di musim dingin agar anak tepat lahir di musim semi, dimana pada musim ini tanaman tumbuh dengan subur sehingga hewan herbivora yang merupakan hewan mangsa dari harimau juga banyak tersedia. Menurut beberapa analisa biologik, hewan yang hidup di daerah subtropis menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan adanya musim kawin pada bulan-bulan tertentu dan lamanya masa bunting, maka anak-anak mereka akan lahir tepat pada waktu lingkungan dalam keadaan yang baik untuk hidup yaitu banyak makanan, udara tidak terlalu dingin atau terlalu panas (Partodihardjo 1980). Keseluruhan data yang diperoleh menunjukkan bahwa aspek utama untuk menunjang keberhasilan penangkaran adalah aspek reproduksi. Peningkatkan performa reproduksi sangat didukung oleh pengelolaan penangkaran yang baik meliputi pengaturan penjodohan, pemberian pakan yang tepat dan pengelolaan kesehatan. Sistem good husbandry juga dapat diterapkan seperti pengelolaan pakan, kandang dan lingkungan yang baik sehingga tercipta individu sehat yang memiliki kemampuan reproduksi yang baik pula.