SINTESIS HASIL-HASIL LITBANG : PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA TIMOR
Penulis
:
Editor
: Prof. Ris. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, M.S. Prof. Ris. DR. M. Bismark Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc DR. Ir. Agus Djoko Ismanto, MDM Prof. Ris. DR. Gono Semiadi, M.Sc.
Penyunting
: DR. Burhanuddin Masy'ud, M.S. Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
Foto Sampul
: Rusa di Taman Safari Indonesia, Bogor (M. Bismark)
Prof. DR. Ris M. Bismark, M.S. Prof. DR. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. Ir. Mariana Takandjandji, M.Si. Ir. R. Garsetiasih, M.P. Drh. Pujo Setio, M.Si Ir. Reny Sawitri, M.Sc. Ir. Endro Subiandono Drs. Sofian Iskandar, M.Si Kayat, S.Hut, M.Sc.
Desain Sampul : Anita Rianti, S.Pt. ISBN : 978-979-8452-39-0 Penerbit : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lantai XI Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta 10270 Telp. (021) 5730398, 5734333; Fax. (021) 5720189 Cetakan pertama :
Desember 2011
Petikan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA SAMBUTAN
Rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia yang populasinya di alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun diambil daging dan hasil ikutannya. Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa seluruh jenis rusa di Indonesia dilindungi, namun perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat, baik disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun kerusakan karena bencana alam, turut pula menyebabkan penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi rusa. Oleh sebab itu, upaya konservasi jenis dan populasi perlu dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ sehingga pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai. Upaya konservasi ex-situ melalui penangkaran sudah banyak dilakukan namun untuk meningkatkan manfaat, penangkaran perlu pula dikembangkan di masyarakat terutama generasi kedua (F2) sebagaimana termuat dalam PP No. 8 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat yang diperoleh selain untuk tujuan konservasi adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani serta hasil ikutan lainnya melalui turunan kedua (F2) dan seterusnya. Hasil penangkaran rusa tersebut juga memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga asumsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.
iii
Buku ini memberikan tuntunan bagi masyarakat dan lembaga konservasi yang concern terhadap konservasi khususnya penangkaran rusa yang tentunya memerlukan suatu teknik penangkaran yang tepat sehingga hasilnya dapat ditingkatkan. Oleh karena itu saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, juga kepada penyusun, penyunting, pembahas, dan penulis serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku “Pengembangan Penangkaran Rusa Timor”. Saya berharap buku ini dapat bermanfaat sehingga penangkaran rusa timor di Indonesia dapat berhasilguna dan berdayaguna.
Kepala Badan,
Dr. Ir. Tachrir Fathoni, MSc. NIP. 19560929 198202 1 001
iv
KATA PENGANTAR
Pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari sesuai kaidah-kaidah konservasi merupakan salah satu kegiatan pokok dalam Strategi Konservasi, disamping pengawetan dan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena itu penangkaran rusa timor (Rusa timorensis) sebagai satwaliar yang dilindungi, dapat dilaksanakan, baik secara hukum maupun etika biologis karena masih berada dalam koridor konservasi. Permasalahannya apakah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mendukung kegiatan penangkaran rusa tersebut dapat menjaga kemurnian jenis atau genetik, serta tetap dapat memenuhi persyaratan-persyaratan teknis dan manajemen penangkaran rusa. Apakah IPTEK penangkaran rusa tetap dapat menjamin tercapainya tujuan penangkaran itu sendiri, yaitu untuk membantu recovery populasi di habitat aslinya (in-situ) dan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk domestikasi rusa sebagai satwa harapan masa depan. Buku ini menyajikan hasil-hasil penelitian dan sintesis atas hasil-hasil penelitian penangkaran rusa yang dilakukan para peneliti, baik dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi maupun Balai Penelitian Kehutanan terutama yang terkait dengan tugas-tugas konservasi. Sintesis ini diharapkan dapat menjadi informasi atau bahan masukan bagi pengguna Iptek penangkaran rusa, baik masyarakat umum, pelaku usaha maupun institusi pemerintah. Sintesis juga diharapkan dapat menjadi bahan untuk review kebijakan terkait penangkaran rusa.
v
Semoga buku ini bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukan informasi atau data atau Iptek penangkaran rusa, terutama rusa timor (Rusa timorensis). Namun demikian kiritik dan saran tetap terbuka guna sempurnanya buku ini.
Bogor,
Oktober 2011
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, MSc. NIP. 19571221.198203.1.002
vi
1. PENDAHULUAN Sejarah geologi dan pembentukan yang berbeda diantara pulau-pulau di Indonesia serta variasi iklim telah mempengaruhi pembentukan berbagai tipe ekosistem, sebaran, dan jenis satwa. Hal ini terlihat dari tingginya keragaman ekosistem dan jenis satwa endemik. Menurut Bappenas (2003), Indonesia memiliki 515 jenis mamalia besar (39% endemik), tertinggi di dunia, 511 jenis reptil (29% endemik), 1531 jenis burung (26% endemik), 270 jenis ampibia (37% endemik), 35 jenis primata (18% endemik), dan 121 jenis kupu-kupu (44% endemik). Faktor yang mempengaruhi tingkat keragaman jenis satwa yang berhubungan dengan habitat disebut sebagai dimensi biodiversitas. Dalam hal ini jenis dan populasi satwa sangat tergantung pada hutan primer, hutan sekunder dan ada juga yang dapat berkembang pada tegakan pohon di luar hutan seperti jenis-jenis burung tertentu dimana pohon berfungsi sebagai sumber pakan dan tempat bersarang. Biodiversitas dan tingkat kelangkaan satwa ditentukan pula oleh luas atau sempitnya sebaran geografis, spesifikasi habitat yang lebih bervariasi atau terbatas serta berlimpah atau jarangnya populasi. Selain itu, keanekaragaman jenis dipengaruhi pula oleh pemanfaatan lahan, fragmentasi hutan, jenis pemanfaatan hutan, dan perubahan alam. Berdasarkan dimensi biodiversitas tersebut, keanekaragaman jenis sangat dipengaruhi oleh kualitas habitat dan perlakuan terhadap habitat dalam bentuk pengelolaan hutan (Bismark, 2006). Komponen biotik ekosistem hutan dan satwaliar mempunyai peran tertentu dalam proses interaksi, inter-relasi, serta siklus mineral, dan energi dalam ekosistem hutan. Peran satwaliar dalam ekosistem hutan diantaranya adalah membantu proses regenerasi hutan alam dalam bentuk penyerbukan bunga dan penyebaran biji melalui aktivitas makan. Satwa pemakan biji (seed killing), berperan
1
mengurangi penyebaran tumbuhan cepat tumbuh dan dominan untuk memberikan kesempatan bagi tumbuhan yang sub dominan. Proses ini akan memperkaya keragaman jenis flora dalam ekosistem hutan (Alikodra, 1990). Satwaliar juga merupakan sumber protein bagi masyarakat lokal. Dalam sistem pemanfaatan tradisional, perburuan yang dilakukan masyarakat hanya untuk memenuhi kebutuhan kelengkapan gizi protein hewani, dan masih terikat pada sistem budaya serta adat istiadat. Dengan cara ini masyarakat tradisional sudah mempunyai teknik pelestarian jenis untuk satwaliar tertentu sebagai bentuk kearifan lokal. Namun pemanfaatan satwaliar sekarang tidak lagi hanya sekedar untuk pemenuhan protein atau ritual adat istiadat, tetapi sudah jauh memasuki nilai ekonomi sebagai mata pencaharian masyarakat lokal, dan memasuki sistem perdagangan regional serta internasional. Tingginya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap satwaliar terlihat dari berkembangnya manfaat satwaliar sebagai sumber pakan, bahan baku obat, dan industri kerajinan (kulit, tulang, cula, ranggah) serta sebagai hewan kesenangan (hobby). Terbukanya hutan sebagai habitat satwaliar melalui pengelolaan hutan produksi (lebih dari 50% habitat satwaliar berada di hutan produksi), telah membuka akses perburuan illegal dan peningkatan perdagangan illegal satwaliar. Tingginya pemanfaatan dan dampak pengelolaan hutan terhadap satwaliar berupa penurunan populasi pohon sumber pakan, tempat tidur, dan tempat bersarang, perubahan iklim mikro, dan penurunan aktivitas reproduksi menyebabkan penurunan populasi satwaliar dan menambah jumlah jenis yang harus dilindungi (Bismark, 2006). Dari sudut pandang pemanfaatan, biodiversitas fauna yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan atau diekspor sebagai devisa negara, pemerintah telah menetapkan kuota penangkapan satwaliar yang tidak dilindungi. Nilai devisa yang diperoleh pada Tahun 1999 dari perdagangan satwa dan
2
tumbuhan ke luar negeri tercatat US$ 61.261,12 dan pada Tahun 2003 meningkat lebih dari 54 kali lipat, yaitu US$ 3.340.171,36 (Bismark, 2006). Devisa tertinggi hasil ekspor satwaliar dicapai Tahun 2005 sebesar US$ 15,287,536 dan menurun pada Tahun 2006 menjadi US$ 4,410,536 (Departemen Kehutanan, 2007). Dalam rangka pelestarian populasi satwa dan untuk mengatasi kuota tangkap yang berlebihan dari alam, pemerintah juga sudah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 tentang pengesahan CITES, dengan lampiran jenis-jenis satwa Indonesia yang dapat diperdagangkan. Jumlah satwa yang diperdagangkan ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan kuota oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam sebagai Management Authority. Walaupun upaya perluasan kawasan konservasi terus ditingkatkan dan penetapan kuota penangkapan satwaliar yang diperdagangkan terus dievaluasi, namun perlindungan jenis satwa dan habitatnya tetap bermasalah, terutama akibat illegal logging, perambahan, dan kebakaran hutan yang memberi akses tinggi bagi kerusakan habitat dan perburuan liar. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya perusakan habitat dan ekosistem hutan, sekalipun di dalam kawasan konservasi. Hal yang menarik adalah tidak seimbangnya penyediaan data dasar tentang ekologi dan teknik pelestarian satwaliar dibandingkan dengan pemanfaatannya. Laju pemanfaatan dan degradasi hutan sebagai habitat satwaliar yang cukup tinggi, semakin memperparah penurunan populasi satwaliar yang memicu percepatan kepunahan suatu jenis. Untuk itu penelitian yang menunjang ketersediaan informasi biologi dan ekologi guna mengemas teknologi pelestarian satwaliar secara in-situ dan ex-situ sangat diperlukan. Saat ini, populasi satwaliar di alam sudah menurun drastis karena perburuan dan kerusakan habitat. Oleh sebab itu, upaya penangkaran satwa yang bernilai ekonomi di luar habitat perlu dilakukan sehingga kelestarian jenis dan populasi, serta pemanfaatan dapat dicapai. Penangkaran
3
satwaliar bernilai ekonomis telah menjadi bagian sumberdaya untuk kebutuhan masyarakat di sekitar hutan. Penangkaran lebih banyak diarahkan pada penangkaran rusa walaupun penangkaran jenis lain telah diupayakan untuk mendukung sistem perdagangan satwaliar. Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan mengacu kepada informasi bio-ekologis. Sistem penangkaran rusa, dapat meliputi ranching, semi atau mini ranching dan kandang individu atau berupa panggung yang disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan modal. Beberapa aspek yang mempengaruhi keberhasilan penangkaran untuk semua sistem tersebut, antara lain jumlah individu, sex ratio, perkandangan, dan habitat buatan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pengelolaan. Selanjutnya, informasi penelitian dan hasil penangkaran dapat dikembangkan sebagai budidaya komersial dalam berbagai skala usaha, sehingga menambah pendapatan masyarakat, swasta, dan pemerintah. Jenis rusa yang umum dikembangkan oleh peternak di daerah non-tropik adalah rusa merah (Cervus elaphus) yang mencapai 87% dari total populasi, dan sisanya adalah rusa wapiti (Cervus elaphus canadensis) yakni rusa yang memiliki tubuh paling besar dan rusa fallow (Dama dama) sebagai rusa yang bertubuh kecil. Sedangkan di daerah tropik, jenis rusa yang paling banyak ditangkarkan (90%) adalah rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis) dan sisanya (10%) terdiri dari rusa sambar (Rusa unicolor), sebagai rusa tropik terbesar di Asia, dan rusa totol (Axis axis) (Semiadi dan Nugraha, 2004). Nilai positif dari perkembangan teknologi reproduksi dan peternakan rusa adalah kemampuan dalam meningkatkan populasi beberapa jenis rusa yang telah langka, diantaranya rusa bawean (Axis kuhlii). Rusa timor dan rusa sambar telah ditangkarkan di Indonesia, mengingat jenis rusa tersebut merupakan jenis rusa asli Indonesia yang telah menjadi tulang punggung dari peternakan rusa tropik di dunia dan potensial untuk ditangkarkan. Penelitian tentang rusa timor sudah banyak dilakukan bahkan telah disosialisasikan di
4
masyarakat, seperti halnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) walaupun belum mengarah pada sosial ekonomi. Oleh karena itu, sangat tepat untuk menggali potensi satwaliar yang ada dan kemungkinan dikembangkan di Indonesia sebagai usaha peternakan dan konservasi ex-situ.
5
2. KLASIFIKASI, SEBARAN, DAN PERILAKU Oleh : Mariana Takandjandji, R. Garsetiasih, Reny Sawitri, dan N. M. Heriyanto
Rusa timor merupakan salah satu dari empat spesies rusa asli Indonesia, yakni rusa sambar, rusa bawean, dan muncak. Menurut Schroder (1976) yang dikutip oleh Semiadi dan Nugraha (2004) serta Garsetiasih dan Takandjandji (2006), rusa timor termasuk sub spesies dari Rusa timorensis dan nama yang umum dikenal adalah rusa jawa atau rusa timor. Namun dalam IUCN (2008) dikatakan, nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis Blainville, 1822. 2.1. Klasifikasi dan morfologi Taksonomi atau klasifikasi rusa timor (Rusa timorensis) dan sambar (Rusa unicolor) sebagai berikut: Klas Sub-klas Infra-klas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus Spesies Nama lokal Spesies Nama lokal
: : : : : : : : : : : :
Mamalia Theria Eutheria Artiodactyla Ruminansia Cervidae Muntiacinae Rusa Rusa timorensis de Blainville, 1822 Rusa timor Rusa unicolor Kerr, 1792 Rusa Sambar
Spesies dan sub spesies rusa serta penyebarannya di seluruh Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
6
Tabel 2.1. Spesies dan sub spesies rusa di Indonesia Jenis Rusa Sub famili: Cervinae Spesies: Rusa unicolor Kerr, 1792 Genus: Rusa 2 sub spesies yang ditemui di Indonesia, yakni: R. u. equinus Curier, 1823 R. u. brookei Hose, 1893 Spesies: Rusa timorensis Blainville, 1822 8 sub spesies yang ditemui di Indonesia yakni: R. t. russa Muller & Schlegel, 1844 R. t. floresiensis Heude, 1896 R. t. timorensis Blainville, 1822 R. t. djonga Bemmel, 1949 R. t. moluccenssis Muller, 1836 R. t. renschi Sody, 1933 R. t. laronesiotes Bemmel, 1949 R. t. macassaricus Heude, 1896 Genus: Axis Spesies: Axis kuhlii Muller, 1840
Nama Daerah
Daerah Penyebaran
Rusa Payau Rusa Payau
Sumatera Kalimantan
Rusa Jawa Rusa Timor Rusa Timor Rusa Jonga Rusa Maluku Rusa Timor Rusa Jawa Rusa Makassar
Jawa dan Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Pulau Timor Kepulauan di Sulawesi Tenggara Kepulauan Maluku Pulau Bali Ujung Kulon Sulawesi Pulau Bawean
Sumber: Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004); Garsetiasih dan Takandjandji (2006)
Morfologi rusa timor menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004), mempunyai ukuran tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan. Rusa jantan memiliki ranggah yang relatif besar, ramping, panjang, dan bercabang. Cabang yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang cabang depan kedua, cabang belakang kedua kiri dan kanan terlihat sejajar. Rusa timor memiliki beberapa keunikan, yakni mempunyai anak jenis (sub spesies) yang banyak dengan nama daerah yang beragam sesuai daerah penyebarannya, memiliki warna rambut yang berbeda pada musim kemarau dan hujan, serta rusa jantan memiliki enam (6) buah gigi namun tanpa gigi seri pada bagian atas (Ismail, 1998). Warna rambut rusa timor pada musim kemarau adalah merah kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang, dan lebih terang pada bagian dada sedangkan pada musim hujan, bagian atasnya berwarna keabu-abuan. Menurut Thohari et
7
al. (1991), bobot badan rusa timor dewasa mencapai 100 kg, sedangkan menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) mencapai 60 kg. Sub spesies Rusa timorensis timorensis Blainville, 1822 jantan di Pulau Timor, NTT memiliki bobot badan berkisar 31,5-70,0 kg (Takandjandji dan Garsetiasih, 2002), sedang menurut Semiadi dan Nugraha (2004) bervariasi 40-120 kg tergantung pada sub spesies. Rusa timor memiliki ukuran kepala dan panjang badan 130-210 cm, tinggi bahu 80-110 cm, panjang ekor 10-30 cm dan bobot badan 50115 kg. Rusa sambar memiliki rambut bagian tubuh yang panjang dan tebal dengan warna coklat tua, serta pada sekitar leher tumbuh rambut surai. Jantan memiliki ranggah yang besar dan kuat serta bercabang tiga, memiliki ukuran kepala dan panjang badan 170-270 cm, tinggi bahu 120-150 cm, panjang ekor 22-35 cm dan bobot badan 150-300 kg.
a
Sumber Foto: Pratheepps, (Wikipedia, 2007)
Foto: N. M. Heriyanto dan P. Setio
Perbedaan kedua jenis rusa (Rusa timorensis dan Rusa unicolor) dapat dilihat dari sifat morfologinya (World Deer, 2005) yakni pada Gambar 2.1a dan 2.1b. Secara fisik, ukuran rusa sambar (R. unicolor) lebih besar dari pada rusa timor (R. Timorensis).
b
Gambar 2.1. Rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) (a); dan rusa timor (Rusa timorensis Blainville, 1822) (b).
8
2.2. Sebaran Rusa timor atau rusa jawa (Rusa timorensis Blainville, 1822) memiliki sebaran habitat alami di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, sedangkan rusa sambar (Rusa unicolor Kerr, 1792) memiliki sebaran alami mulai dari Pegunungan Himalaya sampai Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Keberadaan jenis rusa timor di wilayah Indonesia bagian timur (seperti Maluku dan Papua) ditengarai sebagai jenis yang diintroduksi. Sebaran rusa timor pada saat ini lebih banyak ditemukan di daerah-daerah yang bukan habitat aslinya seperti di Papua dan Kepulauan Maluku, misalnya rusa timor di Papua (Taman Nasional Wasur) telah berkembangbiak hingga mencapai populasi 200 ribu-350 ribu individu (http://www.infopapua.com/ modules.php?op,2005). Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan berperilaku dalam memanfaatkan kondisi lingkungan dan potensi habitat. Rusa timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga dengan mudah menyesuaikan diri dan hidup di daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Di samping itu rusa timor lebih mampu beradaptasi dengan daerah kering, panas dan terbuka seperti savana karena ketergantungannya terhadap air lebih kecil. Habitat alami rusa timor adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi savana, lontar, cemara, dan mangrove. Menurut Schroder (1976); Semiadi dan Nugraha (2004), rusa timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Sedang rusa sambar (R. unicolor) tersebar di P. Sumatera dan Kalimantan (Gambar 2.2).
9
2
1 0
1
7
3 6 9
3 4 8
5
Gambar 2.2. Penyebaran sub spesies rusa di Indonesia Keterangan Gambar : 1. 2. 3. 4. 5.
R. u. equinus (Curier, 1823) R. u. brookei (Hose, 1893) R. t. russa (Muller & Schi, 1844) R. t. floresiensis (Heude, 1896) R. t. timorensis (Blainville, 1822)
6. 7. 8. 9. 10.
R. t. djonga (Bemmel, 1949) R. t. moluccensis (Muller, 1836) R. t. renschi (Sody, 1933) R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949) R. t. macassaricus (Heude, 1896)
2.3. Perilaku Rusa hidup dalam kelompok sosial pada setiap aktivitas. Perilaku sosial dilakukan dengan cara saling berinteraksi antara individu dalam kelompok. Hubungan sosial lebih nyata terlihat pada induk dan anak terutama pada saat anak baru dilahirkan. Tingkat kedekatan induk pada anak mulai berkurang sejalan dengan pertambahan umur anak. Rusa timor mempunyai tingkah laku hirarki dalam kelompok terdiri dari pimpinan dan bawahan, dimana rusa jantan besar dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang membawahi beberapa induk betina (harem) dan anakanaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi tiga (3) sub kelompok yaitu: (a) sub kelompok campuran rusa jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok betina dewasa; (b) kumpulan rusa timor jantan muda yang telah disapih; (c) betina yang bunting dan rusa yang sedang menyusui anaknya.
10
Menurut Takandjandji dan Sinaga (1995), perilaku makan merupakan rangkaian dari gerakan yang dilakukan dalam hal mencari, memilih, mengambil dan memasukkan ke dalam mulut, mengunyah, menelan, serta pengunyahan dan penelanan kembali (ruminasi). Perilaku makan tergantung pada spesies, status fisiologis, iklim, tipe pakan, dan kualitas pakan. Perilaku makan pada satwa meliputi kegiatan pergerakan, menjelajah (exploring) dan istirahat (Sukriyadi, 2006). Rusa dalam aktivitas makan, dapat memanfaatkan rumput-rumputan dan daun pohon yang masih muda (Syarief, 1974). Apabila berada di padang rumput rusa termasuk grasser sedangkan pada areal semak dan hutan rusa merupakan browser (Hoogerwerf, 1970; Garsetiasih, 1996). Sebagai satwa herbivora, rusa timor mengkonsumsi berbagai jenis rumput-rumputan, herba, dan buah-buahan yang jatuh atau berserakan di lantai hutan. Rusa timor di Suaka Margasatwa Pulau Menipo di NTT, memanfaatkan tegakan lontar dan hutan bakau sebagai tempat beristirahat (Takandjandji, 1987). Perilaku harian rusa di alam umumnya nokturnal, artinya aktif mencari makan apabila hari gelap. Namun demikian, perilaku tersebut dapat berubah sesuai dengan tujuan pengelolaan walaupun sifat dasar liarnya tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikendalikan. Apabila sifat liar dapat dikendalikan, maka penanganannya akan lebih mudah. Rusa timor dengan mudah dapat dikelola karena rusa dapat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan baik. Oleh karena itu rusa timor memiliki potensi yang tinggi untuk ditangkarkan.
11
3. HABITAT DAN POPULASI Oleh : Abdullah Syarief Mukhtar, R. Garsetiasih dan Sofian Iskandar
Habitat adalah tempat dimana suatu makhluk hidup dapat melangsungkan kehidupannya dan sangat penting bagi populasi rusa agar dapat berkembang secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan naungan (cover). Sebagai satwa herbivora yang memiliki habitat di padang rumput tropis maupun sub tropis, rusa timor mampu beradaptasi pada hutan pegunungan, semak belukar, dan rawa. 3.1. Habitat Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi, seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator. Hutan sampai ketinggian 2600 meter dpl dengan beberapa mozaik padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Rusa timorensis, sedangkan Rusa unicolor sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan di hutan lahan basah atau payau. Habitat rusa timor di Pulau Moyo Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki vegetasi savana dengan jenis pohon Tamarindus indica L., Albizia lebbec L. Benth, Sterculia oblongata L., Vitex pubescens Vahl., Zizyphus celtifolia, DC., Pterospermum javanicum Jungh., Scleichera oleosa Lour, dan Callophylum soulateri Burm. Strata tajuk paling bawah pada ketinggian antara 3-5m terdiri dari jenis Schoutenia ovata Korth., Streblus asper Lour., Ervatania sphaerocarpa Blume, Strychnos lucida R.Br, Randia dumetorum Retz. Poir, Cerbera
12
manghas L., dan Alstonia spectabilis L.R.Br. Potensi sumber pakan di savana sangat tergantung pada perubahan musim, dimana pada musim hujan pakan berlimpah, sedangkan di musim kemarau pakan berkurang (Mukhtar, 1996). Ekosistem hutan rawa dan hutan mangrove di beberapa kawasan juga menjadi habitat rusa timor, namun pada beberapa daerah yang bervegetasi savana, populasi rusa lebih tinggi, sedangkan populasi yang tinggi pada ekosistem rawa terjadi di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. a. Vegetasi savana Penelitian vegetasi habitat pada ekosistem savana lebih ditujukan pada tumbuhan bawah yang menjadi sumber pakan. Ketersediaan jenis pakan di beberapa pulau yang telah diamati, disajikan pada Tabel 3.1. Komposisi pohon pada ekosistem savana dapat berfungsi sebagai pelindung di habitat rusa di Pulau Ndana, NTT (Tabel 3.2), dimana komposisi vegetasi sebagian besar merupakan jenis-jenis tumbuhan pionir yang tumbuh di batu berkarang. Tabel 3.1. Vegetasi dan sumber pakan rusa timor di pulaupulau kecil Ekosistem Pulau Moyo
1
Vegetasi Pohon Rumput Tamarindus indica L. Andropogon contortus L. Ficus benyamina L. Eragrostis bahiensis Retz. Premna corymbosa Burm. Nees StrebIus asper Lour. Andropogon fastigiatus Sw. Pongamia pinnata L. Pierre Albizia lebbec L. Benth Cerbera manghas L. Parasponia parvlfolia Miq. Phyllanthus emblica L. Pongamia pinnata L. Pierre Capparis sepiaria Blanco Zizyphus mauritiana Lam. Thespesia populnea L. Sol Bauhinia malabarica Roxb. Hibiscus tiliaceus L. Scleria lithosperma (L.) Sw. Ficus septica Burm.
13
Pulau Menipo 2
Borasus flabellifer L.
Pulau Ndana 3
Borasus flabellifer L.
Pulau Rinca 4
Borasus flabellifer L. Schleicera oleosa Lour. Schoutenia ovata Korth. Heteropogon conctortus L.
Desmodium capitulum Burm. Microlaena stipoides Labill. R.Br Paspalum scrobiculatum L. Imperata cylindrica (L). P. Beauv Eragrostis uniloides Retz. Nees Remirea maritama Aubl. Pollinia fulva R.Br Indigofera glanddulosa J.C Wendel Mollugo pentaphyla L. Euphorbia reniformis Blume Bothriochloa glaba Roxb. Setaria adhaerens Forsk. Choris barbata Sw.
Sumber; 1Mukhtar (1996), 2Garsetiasih (1996), 3Garsetiasih et al.(1996)
Tipe vegetasi hutan di Pulau Moyo termasuk hutan musim bawah, terdiri dari pohon-pohonan, perdu atau semak belukar dan padang rumput dengan luasan vegetasi daratan sekitar 22.451 ha berupa hutan 20.387,50 ha dan padang Tabel 3.2. Komposisi dan Indeks Nilai Penting jenis vegetasi savana di Pulau Ndana (Garsetiasih, 1996) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Jenis tanaman Diospyros ferrea Baks. Diospyros philippinensisA.DC. Schleicera oleosaLour. Bridelia glaucaBl. Filaa*) Pterocarpus indicusWilld. Terminalia catappa L. Rouvolfia sumatranaJack. Celtis wightii planch Kayu ular*) Ficus sp. Didite kamba*) Exocarpus latifoliusR. Br. Melia sp. Colobrina asiaticaBrogn. Bunggafui*) Atalaya salicifoliaA.DC. Blume Bunggalasi Bibilome*) Exocarpus latifoliusR. Br. Faloak*) Vitex parvifloraJuss. Cordoa subcordataLamk. Borrasus flabelifer L. Ficus retusaL. Gasomipomi malabaricaL.
Keterangan: *) = nama lokal
14
Pohon 6,17 24,29 69,96 45,39 6,51 14,45 22,62 43,49 8,29 13,85 18,97 17,14 8,85
Tiang 52,41 28,51 36,53 5,03 15,86 38,68 19,24 44,32 18,41 2,26 7,85 9,62 4,77 3,41 2,52 2,35 2,61 2,35 -
Pancang 80,45 37,49 69,54 10,90 2,77 63,27 4,02 9,01 3,28 6,80 3,28 2,57 4,02 2,56 -
rumput savana 2.063,50 ha. Kerapatan vegetasi rata-rata untuk pohon adalah 98 pohon/ha, sedangkan belta 330 individu/ha dan kerapatan semai sebesar 27.228 individu/ha. Tinggi pohon bervariasi antara 3,1-14,0 m, sedangkan diameternya 14,4-44,3 cm. Tinggi belta 2,0-4,6 m, dan diameternya 3,2-9,2 cm (Mukhtar, 1996). Komposisi seedling Pulau Moyo didominasi oleh tiga jenis tumbuhan, yaitu Strychnos lucida R.Br. (INP=39,5%), Eupatorium pallescens DC. (INP=38,5%) dan Scleria lithosperma Sw. (INP = 31,3%). Jenis seedling lain yang ditemukan di kawasan ini diantaranya adalah Streblus asper Lour., Exocarpus latifolius R. Br., Zizyphys mauritiana Lamk., Callophyllym soulatri Burm.f., Sterculia ablongata R. Br., Randia dumetorum Lam., Alstonia spectabilis R. Br., Desmodium triflorum DC., Cassia fistula L., Scleichera oleosa Merr., Mascarenhasia elastica Schum., Uvaria litoralis Merr., Uvaria rufa Bl. Schotenia ovata Kerth., Euodia aromatica Bl., Phyllanthus emblica L., Pterospermum javanicum Jungh., Aglaia sp. Albizia lebbec (L.) Benth., Strychnos lucida R. Br. Antidesma bunius Spreng., Cananga odorata Lam. Hook, Litsea sp. Erythroxylum cuneatum (Miq.) Kurz. Tingkat semai di savana berpotensi sebagai sumber pakan rusa. Indeks keragaman jenis seedling adalah H'=0,87, menunjukkan keanekaragaman yang rendah, dan labil karena terjadi gangguan berupa perubahan lingkungan yang agak ekstrim, injakan kaki rusa timor dan gangguan satwaliar lain seperti babi hutan yang mencari makan dengan mencongkel-congkel tanah. Komposisi hutan yang ada digambarkan dalam suatu profil diagram vegetasi di Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, Nusa Tenggara Barat memiliki dua komunitas yaitu komunitas hutan dan padang rumput savana. Berdasarkan tumbuhan indikator, seperti Terminalia catappa L. dan Hibiscus tiliaceus L. yang termasuk ke dalam tipe hutan pantai, tetapi tumbuhan indikator tersebut berasosiasi dengan tumbuhan jenis hutan musim seperti Tamarindus indica L., Phyllanthus emblica L., Scleichera oleosa Merr. dan Protium javanicum Burm.
15
Komunitas padang rumput yang terletak pada ketinggian 50100 m dpl umumnya memiliki topografi datar dan pohon yang tumbuh terpencar sehingga tidak mengganggu pertumbuhan rumput di lantai hutan (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Profil vegetasi Taman Buru Pulau Moyo, NTB (Mukhtar, 1996)
Fungsi pohon di habitat ini adalah sebagai tanaman peneduh dari panas dan hujan, dan beristirahat sambil memamah biak. Apabila musim kemarau, tumbuhan tersebut juga berfungsi sebagai pohon pakan yang menghasilkan buah, seperti pohon malaka Phyllanthus emblica L. dan bidara Schleicera oleosa (Lour.). Vegetasi pohon habitat rusa di penangkaran Ciwidey terdiri dari puspa (Schima wallichii DC), rasamala (Altingia excelsa Noronha), saninten (Castanopsis javanica A.DC.), balakace (Vaccinium bancanum Miq.), dan (Eucalyptus deglupta Blume). Selain itu terdapat juga jenis semak dan paku-pakuan. Vegetasi pohon berfungsi sebagai tempat bernaung, sedangkan yang dijadikan sebagai habitat pakan rusa adalah padang rumput (Gambar 3.2).
16
Gambar 3.2. Padang rumput sebagai habitat pakan rusa
Pulau kecil yang didominasi savana juga terdapat formasi hutan pantai dan mangrove sebagaimana Pulau Menipo atau di kawasan rawa dan savana yang menyatu dengan ekosistem pantai seperti di Taman Nasional Rawa Aopa, dimana terdapat savana, lontar dan mangrove. Habitat preferensi rusa dalam memanfaatkan vegetasi dapat dilihat pada Tabel 3.3, yaitu pemanfaatan vegetasi savana dan habitat preferensi rusa timor di TWA P. Menipo (Garsetiasih, 1996). Tabel 3.3. Aktivitas pemanfaatan vegetasi habitat rusa di TWA. Pulau Menipo No. 1. 2. 3. 4.
Vegetasi Lontar Savana Cemara Mangrove
Makan 27,97 57,71 15,32 0
Aktivitas rusa (%) Gerak 48,87 33,02 68,15 53,73
Istirahat 23,16 9,27 16,46 46,44
17
b. Vegetasi hutan alam Habitat rusa di Jawa pada umumnya hampir sama dengan habitat herbivora lain, seperti banteng di Taman Nasional Meru Betiri. Jenis tumbuhan yang dominan di habitat banteng ada 10 jenis pohon berdiameter lebih besar dari 20 cm dengan variasi Indeks Nilai Penting 8,1-28,5% (Tabel 3.4). Jenis pohon tersebut merupakan habitat banteng yang juga dimanfaatkan oleh rusa baik sebagai tempat berteduh dan beristirahat maupun sebagai pohon pakan. Tabel 3.4. Jenis pohon dominan di TN. Meru Betiri (Garsetiasih, et al., 2006) No.
Nama Daerah
1.
Besule
2.
Wining
3. 4. 5.
Gondang Berasan Ky Kas
6. 7.
Benda Bungur
8. 9.
Sentul Dao
10.
Glintungan
Nama Botani
INP (%)
Chydenanthus excelsus (Blume) Miers. Pterocybium javanicum R.Br Ficus variegata Blume Cleidion javanicum Blume Spathodea campanulata P. Beauv Artocarpus elasticus Reiwn. Lagerstroemia speciosa L. Pers. Sandoricum koetjape Merr.
28,5
Dracontomelon mangiferum Blume Bischoffia javanica Blume
20,0 16,3 16,0 13,6 12,1 11,9 9,9 8,9 8,1
Besule (Chydenanthus excelsus Blume) dengan INP tertinggi (28,5%) dan jenis wining (Pterocybium javanicum R.Br) merupakan jenis kedua dominan dengan INP 20%. Sedangkan jenis yang memiliki INP terendah yaitu kedondong hutan (Spondias cytherea Sonn.) dan cempaka (Elmerrillia ovalis Miq.) dengan INP 0,5% di pantai, dominansi besule lebih tinggi (INP 67,9%) kemudian sentul 24,2% dan bungur 22,5% (Tabel 3.5).
18
c. Hutan produksi Pengelolaan populasi rusa timor di hutan produksi alam maupun HTI didukung oleh penetapan wilayah konservasi di dalam kawasan hutan produksi atau Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) seluas 100-300 ha, untuk melindungi keberadaan plasma nutfah dan untuk tujuan pendidikan. Lokasi atau wilayah konservasi harus jauh dari pemukiman, aksesibilitas mudah, terletak di hutan primer dan merupakan teritorial satwaliar. Di samping itu pengelola harus bertanggungjawab terhadap pemagaran, inventarisasi, penanaman pohon pakan, dan perlindungan dari perburuan liar. Landskap KPPN dihubungkan dengan kawasan koridor termasuk sempadan sungai, areal bekas tebangan, danau, padang rumput dan pantai yang merupakan habitat rusa untuk berkembangbiak sedangkan koridor sebagai habitat untuk mencari pakan, minum dan aktivitas lainnya (Mukhtar dan Sawitri, 1998). Tabel 3.5. Beberapa jenis pohon pada perbatasan perkebunan dan pantai habitat rusa di TN. Meru Betiri No. 1.
Nama Daerah Besule
Nama Botani Chydenanthus excelsus (Blume) Meirs Sandoricum koetjape Merr.
INP (%) 67,9
Lagerstroemia speciosa (L). Pers. Pometia tomentosa Blume
22,5
Artocarpus elasticus Reinw. Garuga floribunda Decne
14,5
11,5
11,2
2.
Sentul
3.
Bungur
4.
Sapen
5.
Benda
6.
Wiyu
7.
Dao
8.
Glintungan
Dracontomelon mangiferum Blume Bischoffia javanica Blume
9.
Jambu hutan
Eugenia densiflora Blume
24,2
16,3
11,5
11,4
Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi terbatas yang dikelola oleh PT. Perhutani Unit I Jawa Tengah yang akan direncanakan pembangunan penangkaran rusa.
19
Setelah dilakukan pengamatan, ternyata lokasi yang layak dijadikan sebagai penangkaran rusa adalah petak 6 D (Garsetiasih, 2006), karena di petak tersebut terdapat habitat yang dibutuhkan oleh rusa, kondisi fisik kawasan untuk dikelola dan rusa mudah dimonitor. Selain itu, letaknya berdampingan dengan lokasi Kebun Raya Baturraden sehingga apabila dibangun penangkaran rusa pada lokasi tersebut, diprediksikan akan meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung. Jenis tanaman yang mendominasi petak 6 D secara berurutan yaitu damar (Agathis dammara Lamb.), puspa (Schima wallichii DC.), eucaliptus (Eucalyptus alba Reinw.) dan pulai (Alstonia scholaris L.R. Br). Hasil analisis vegetasi dan potensinya dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Komposisi tegakan hutan tanaman di petak 6D hutan Baturraden No.
Jenis Tanaman
K
F
1
Damar (Aghatis loranthifolia Salisb.)
206.8
1.00
D
INP
2
Puspa (Schima wallici DC.)
30.4
0.54
1.38
51.0
0.13
3
Eucaliptus (Eucalyptus alba Reiwn.)
11.5
0.35
0.94
30.2
0.10
4
Pulai (Alstonia scholaris L.R.Br)
0.7
0.03
0.07
2.2
0.02
Jumlah
249.3
1.92
10.58 216.6
12.98 300.0
H' 0.10
0.35
Kawasan hutan Baturraden merupakan hutan produksi terbatas jenis damar sehingga pohon tersebut ditanam dengan kerapatan tinggi. Tegakan pohon dengan kerapatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk rusa sebagai tempat bernaung, karena rusa sangat memerlukan naungan dalam menjalankan aktivitas hariannya. Sebagai perbandingan di Hutan Penelitian (HP) Haurbentes Jasinga, Bogor yang kawasan hutannya didominasi oleh jenis pohon meranti (Shorea sp.) dan puspa (Schima wallici DC.) dengan kerapatan yang relatif tinggi (400 pohon/ha), rusa dapat ditangkarkan dan dapat berreproduksi dengan baik. Setiap tahun rusa betina dewasa dapat menghasilkan anak dengan lama bunting antara 7-8 bulan.
20
d. Hutan rawa dan mangrove Habitat rusa timor di Pulau Menipo, NTT terdiri dari vegetasi hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora mucronata Lam., Bruguiera parviflora Roxb. dan Sonneratia alba L. (Sutrisno, 1993). Sedangkan Cagar Alam Selat Sebuku yang bervegetasi mangrove didominasi oleh jenis Bruguiera parviflora Roxb. (INP = 61,00), selanjutnya jenisjenis tanaman lainnya adalah Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam., Rhizophora mucronata Lam., Rhizophora apiculata Blume, Bruguiera sexangula Lour., dan Ceriops roxburghiana Arn. (Mukhtar, 1990). Habitat rusa timor cukup bervariasi seperti hutan dataran rendah terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan bakau dengan tanah relatif tidak berlumpur dalam, hutan peralihan antara hutan bakau dan savana yang tidak terpengaruh oleh pasang surut, padang rumput dan rawa. Padang rumput atau lapangan terbuka yang berpasir dan berlumpur liat setebal 2-5 cm yang digunakan sebagai tempat bermain, istirahat, dan kawin telah ditemukan rusa sebanyak 3-7 individu dalam sehari (Bismark et al., 1997). Hutan bakau di TN. Rawa Aopa Watumohai didominasi oleh Ceriops tagal (Perr.), Rhizopora apiculata (Blume.), Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lam., Xylocarpus granatum K.D. Koenig, Rhizophora stylosa L., Kandelia candel L., Lumnitzera littorae L., Scyphyphora hydrophyllacea Lam., Acrostichum aureum Linn., Pandanus tectorius Parkinson, dan Nypa fruticans Wrumb. dengan lebar berkisar 20-75 m, merupakan tempat rusa mencari pakan, beristirahat, dan menggaram atau ngasin. Hutan bakau lebih disukai rusa apabila didalamnya mengalir sungai atau riverine mangrove forest. Sedangkan kompleks hutan yang berbatasan dengan hutan bakau digunakan sebagai tempat mencari pakan, beristirahat dan tidur. Hutan ini ditumbuhi oleh Corypha utan Lam., Bambusa spinosa Rozb., Acrostichum aureum Linn. dan Eupathorium spp. Habitat rusa di Sulawesi Tenggara adalah rawa yang juga mempunyai peranan penting sebagai habitat anoa untuk
21
minum dan mencari pakan jenis ganggang. Savana di TN Rawa Aopa dan Suaka Margasatwa Rg. Amolengo merupakan tempat mencari pakan, bermain, kawin, berendam, dan berkubang. 3.2. Daya dukung habitat a. Produktivitas tumbuhan pakan di kawasan hutan Penelitian produktivitas tumbuhan pakan rusa di habitat alami dilakukan untuk menentukan daya dukung habitat terhadap populasi dan untuk menentukan arah pengelolaan habitat serta sebagai pembanding apabila kondisi tersebut diaplikasikan di areal penangkaran berupa ranch. Beberapa hasil penelitian produktivitas tumbuhan sumber pakan rusa telah dilakukan di beberapa tempat, yaitu di vegetasi savana dan hutan tanaman, di hutan savana pulau kecil seperti di Pulau Ndana, NTT. Keragaman jenis tumbuhan di Pulau Ndana merupakan jenis hijauan pakan rusa timor dengan biomassa masingmasing jenis disajikan dalam Tabel 3.7 (Garsetiasih, 1996). Tabel 3.7. Biomassa tumbuhan pakan rusa timor di P. Ndana No.
Jenis tanaman
1.
Indigofera glanddulosa Wendl.
2.
Remirea maritima Aubl.
216,00
3.
Eragrostis uniloides Retz.
321,00
4.
Pollinia ful va R.Br
47,50
5.
Mollugo pentaphylla L.
25,00
6.
Euphorbia reniformis BL.
10,00
Total
Biomassa (kg/ha) 45,00
664,50
Total biomassa tumbuhan bawah yang merupakan hijauan pakan rusa di Pulau Ndana pada musim kemarau sebanyak 664,50 kg/ha, jauh lebih kecil dibanding dengan biomassa tumbuhan bawah di Pulau Rinca, TN. Komodo yang menghasilkan biomassa hijauan pakan rusa timor sebesar 1.977 kg/ha. Hal ini disebabkan jumlah hari hujan per tahun
yang mempengaruhi pertumbuhan rumput, dimana Pulau Ndana mengalami musim hujan selama 3 bulan per tahun sedangkan Pulau Rinca memiliki musim hujan 4-5 bulan per tahun. Daya dukung habitat rusa timor yang terdapat di pulaupulau kecil umumnya sangat tergantung pada produksi hijauan rumput dan dedaunan pada musim kemarau dan musim hujan. Produksi kering hijauan rumput di Pulau Peucang adalah 1.258,4 kg per ha (6,99 kg per hari per ha), sedangkan produksi hijauan bukan rumput 40,10 kg per ha (0,22 kg per hari per ha). Adapun pada musim hujan produksi kering hijauan rumput 4.097,83 kg per ha (22,77 kg per hari per ha) dan hijauan bukan rumput 92,65 kg per ha (0,52 kg per hari per ha). Berdasarkan data produktivitas tersebut maka Pulau Peucang seluas 440 ha yang terdiri dari 0,75 ha padang rumput dan 439 ha hutan, mempunyai daya dukung di musim kemarau 79 individu dan pada musim hujan 189 individu (Mukhtar, 1996). Hasil penelitian di P. Peucang, TN Ujung Kulon, memperkirakan terdapat nilai populasi rusa timor sebanyak 260,77 ± 3,36 individu, terdiri dari 45,72 ± 8,71 individu jantan dan 215,04 ± 9,74 individu betina (rasio kelamin seluruh kelompok umur sekitar 1:4,7) dan kepadatan 0,85 ± 0,01 individu/ha. Nilai ini diperkirakan masih ideal dan dalam batas daya dukung habitat sebanyal 375,68 individu/tahun (Setio et al., 2010). Menurut hasil penelitian Garsetiasih (1996), tumbuhan bawah pada petak 6D di kawasan Baturraden didominasi kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.) dan pacing (Costus speciosus Koen. Smith) sebagai sumber pakan rusa. Jenis-jenis rumput yang ditemukan dan biasa dikonsumsi rusa yaitu aawian (Pogonatherum paniceum c.v Mon.), rumput pait (Axonopus compressus Sw.), sadagori (Sudaorientalis), babadotan (Ageratum conyzoides L.), bayondah (Isachne miliacea Roth.), rane (Sellaginella wilidenowii Desv. ex Poir.), jukut bau (Galinsoga palviflora
Cav.), jomorak (Panicum barbatum Michx.) dan goletrak (Borreria alata Aubl.), ilat (Carex baccans L.). Jenis rumput lain yang ditemukan tetapi tidak biasa dikonsumsi rusa yaitu pakis hijau (Angioptaris Sp. L.), pakis merah (Drypteris sp.), temujung (Tacca palmata Blume), kembang kuning (Eclipta alba L. Hassk), mekania (Galinsoga parviflora Cav)., Panicum montanum Roxb. Fl. dan harendong (Clidemia hirta L.D.Don). Tumbuhan bawah di kawasan Baturraden sebanyak 18 jenis terdiri dari jenis rumput pait (Axonopus compressus Sw.), aawian (Pogonatherum paniceum Lam. Hack), harendong (Medinilla alpestris Jack Blume), mekania (Galinsoga parviflora Cav.), kembang kuning (Eclipta alba L. Hassk), goletrak (Borreria alata Aubl.) , rane (Sellaginella martensii Spring.), pacing (Costus speciasus J. Konig. Sm.), temujung (Tacca palmata Blume), wedusan (Ageratum conyzoides L.), pakis hieur (Lycopodium debile Roxb.), pakis merah (Cyathea sp), bayondah (Isachne miliacea Roth), ilat (Carex baccans L.), sadagori (Sudaorientalis), kaliandra (Calliandra tetragona Willd. Benth), babadotan (Ageratum conyzoides L.) dan jukut bau (Galinsoga palviflora Cav.). Hijauan pakan jenis pacing (Costus speciosus J. Konig) mempunyai produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan jenis hijauan lainnya yaitu sebesar 24,50 kg/ha/hari, produktivitas kaliandra dan rumput pait masing-masing sebesar 15,50 kg/ha/hari dan 13,50 kg/ha/hari. Produktivitas hijauan yang dikonsumsi rusa di Baturraden adalah 80,70 kg/ha/hari. Sedangkan kebutuhan pakan rusa per ekor per hari umumnya sebesar 6 kg. Nilai tersebut menunjukkan bahwa daya dukung habitat adalah 5 individu/ha pada areal yang bergelombang dan 9 individu/ha pada areal yang relatif datar. Produktivitas dan dominansi 18 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pakan rusa tertera pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Dominansi dan produktivitas tumbuhan bawah di hutan tanaman Baturraden (Garsetiasih, 2006) No
Nama daerah
Nama botani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Pacing Kaliandra Rumput pait Pakis merah* Temujung* Sadagori Aawian Kembang kuning* Mikania* Babadotan Jomorak Bayondah Goletrak Rane Jukut bau Rumput Ilat Pakis hijau* Harendong*
Costus speciasus Smith. Calliandra callothyrsus Benth. Axonopus compressus. (Sw.) Drypteris sp. Tacca palmata BL. Sudaorientalis Sp. Po gonatherum paniceum Sp. Eclipta alba Hassk. Mikania micrantha Bittervine Ageratum conyzoides Linn. Panicum barbatum Lamk. Isachne miliacea Roth Borreria alata Aubl. Sellaginella wilidenowii Backer. Golinsoga pulviflora Linn. Carex baccans . L Angioptaris Sp. Clidemia hirta Don.
INP (%) 42,81 50,99 31,06 4,61 14,56 4,15 4,60 2,53 4,20 2,26 2,28 2,49 2,26 10,96 10,91 9,69 3,02 7,34
Produktivitas (kg/ha/hari) 30,50 20,90 13,50 11,80 8,40 6,80 6,10 5,60 5,20 5,00 4,20 3,20 3,10 2,90 1,70 1,60 1,60 1,50
Keterangan : * Tidak dimakan rusa
Berdasarkan pengamatan pada beberapa habitat rusa dan hijauan pakan di beberapa lokasi penangkaran, dari 18 jenis rumput dan hijauan tidak semua dikonsumsi rusa. Produktivitas hijauan yang dikonsumsi rusa pada petak 6 D seluas 5,9 ha di kawasan hutan Baturraden adalah 95,50 kg/ha/hari, dengan kebutuhan pakan rusa timor per individu per hari sebesar 6 kg maka daya dukung habitat adalah 11,14 individu/ha untuk habitat datar dan 6,36 individu/ha pada habitat yang bergelombang atau dapat mendukung populasi rusa timor 55,7 individu. b. Produktivitas tumbuhan pakan di habitat buatan Produktivitas jenis hijauan pakan di penangkaran rusa di kawasan Ranca Upas Ciwidey Kabupaten Bandung sebesar 76,40 kg/ha/hari (Tabel 3.9) dan rusa dapat berkembangbiak dengan baik. Hal ini menunjukkan daya dukung habitat rusa di penangkaran tersebut cukup baik (Garsetiasih, 2004).
Tabel 3.9. Produktivitas rumput di habitat buatan Ranca Upas Jenis rumput
Lampuyang ( Panicum repens L.) Bayondah ( Isachne globosa Thunb.) Lameta (Leersia hexandra Sw.) Paparean ( Carex remota L.) Jumlah (To tal)
Produktivitas rumput pada pemotongan 1 (kg/ha/hari)
Produktivitas rumput pada pemotongan 2 (kg/ha/hari)
17,50 3,75
28,8 7,50
10 10 41,25
26,30 13,80 76,40
Tabel 3.9 di atas terlihat bahwa produktivitas rumput pada pemotongan kedua lebih besar dibanding dengan pemotongan pertama. Hal ini karena rumput yang sering dipotong umumnya pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan rumput yang belum pernah dipotong sehingga untuk pembinaan habitat areal pengembalaan rusa dapat dilakukan pengaritan. Pemotongan pada saat musim penghujan menunjukkan pertumbuhan rumput lebih cepat. Peningkatan produksi hijauan dengan interval pemotongan 20 hari lebih besar sesuai peningkatan curah hujan (Susetyo, 1980). Berdasarkan produktivitas tersebut padang penggembalaan Ranca Upas seluas 4,5 ha dapat menampung rusa sebanyak 21-40 individu. c. Penurunan potensi habitat Degradasi hutan sebagai habitat rusa di alam, terjadi karena pengelolaan dan pemanfaatan hutan, penebangan liar, perambahan untuk pertanian dan konversi hutan. Populasi rusa timor di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya dan politik. Tahun 1980-1990-an, budaya memelihara burung dilakukan dengan berburu di hutan, termasuk di Taman Nasional. Tetapi pada tahun 1997, perubahan peta politik membawa perubahan sebagai akibat pengelolaan desentralisasi yang meningkatkan kerusakan habitat dan pencurian. Penurunan luas tegakan hutan berkaitan dengan illegal logging, perluasan lahan pertanian atau dampak pengelolaan hutan. Garsetiasih et.al., (1998)
melaporkan penebangan kayu di hutan bakau di P. Menipo dilakukan tiga (3) kali dalam setahun sehingga, mengakibatkan intrusi air laut ke danau air tawar karena menipisnya luasan hutan. Berkurangnya tegakan bakau akan mengganggu fungsinya sebagai penahan angin maupun hilangnya cover bagi rusa timor sebagai tempat istirahat dan bermain. Luas lahan kritis di pulau sebaran populasi rusa timor disajikan pada Tabel 3.10. Rehabilitasi lahan yang telah dilakukan untuk penanggulangan lahan kritis sebagai bentuk perbaikan habitat di dalam kawasan hutan, baru mencapai 1,9%. Tabel 3.10. Lahan kritis di beberapa propinsi sebagai daerah sebaran rusa timor (sampai tahun 2006) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pulau Jawa Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Maluku Papua
Luas lahan kritis dalam dan luar kawasan (ha) 3.493.549,99 853.289,66 4.391.767,10 6.218.210,36 2.402.935,73 4.575.993,81
Luas rehabilitasi lahan dalam kawasan selama 5 tahun (ha) 21.382,20 25.687 30.075 1.312,26 27.356 571
Perluasan lahan kritis yang berdampak pada kehidupan rusa adalah pembukaan lahan hutan oleh manusia untuk kepentingan pertanian. Konversi lahan akan merubah komposisi jenis tumbuhan seperti yang terjadi di Pulau Moyo. Dimana pada tahun 1985 terdapat padang rumput di Tanjung Pasir tetapi pada Tahun 1996 padang rumput tersebut sudah tidak ada dan rumput-rumputan yang terdapat di atasnya digantikan oleh jenis Zizyphus muritiana Lam., Lantana camara L. dan Eupatorium pallescens DC. Sedangkan jenis rumput di padang rumput pada Tahun 1985 yang dijumpai yaitu Paspalum longifolium Roxb., Paspalum paniculatum L., Saccharum spontaneum L. dan Polinia vulva R.Br yang sangat disukai rusa sudah tidak dijumpai pada Tahun 1996 dan
digantikan oleh jenis rumput Eragrostis bahiensis Schard., Arthraxon hispidus Thunb., Chloris digitata Roxb. dan Andropogon contortus L. (Mukhtar, 1996). d. Pengelolaan habitat Hilangnya areal penggembalaan rusa di Taman Nasional (TN) Baluran adalah akibat invasi tanaman Acacia nilotica (leguminosae). Tanaman ini merubah padang rumput terbuka menjadi hutan-semak berduri yang lebat, sehingga rumput sulit tumbuh dan satwa sulit masuk ke lokasi tersebut. Di samping itu, terdapat tanaman gulma lain yang juga menginvasi padang rumput alami seperti Lantana camara L., Chromolaena odorata L., Mimosa pudica L., Imperata cylindrica L.P. Beauv, Sesbania sebans Jacq W. Wight dan tanaman pemanjat seperti Mikania micrantha Bittervine. Pengelolaan habitat yang berkaitan dengan konservasi kawasan adalah mengembalikan kawasan pada fungsi dan ekosistem semula melalui kegiatan restorasi. Kegiatan restorasi dilakukan dengan pengayaan habitat melalui zonasi kawasan untuk menentukan arah peruntukan kawasan. Zonasi kawasan berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan daerah penyangga. Pembagian kawasan di daerah kawasan konservasi lain dapat dilakukan dengan pembagian ke dalam blok pemanfaatan, perlindungan dan peruntukan lain. Daerah penyangga yang merupakan koridor kawasan konservasi dapat dibagi dalam tiga zona yaitu jalur hijau yang ditujukan sebagai koridor bagi satwaliar untuk beraktivitas maupun mencari pakan dan kawasan integrasi dan budidaya yang merupakan areal pemukiman, pertanian, perkebunan dan peternakan. Restorasi di dalam kawasan konservasi maupun kawasan hijau di daerah penyangga dilakukan dengan penanaman tanaman asli dan tanaman yang dimanfaatkan oleh satwaliar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan maupun tempat hidup.
Pengelolaan habitat ditujukan untuk meningkatkan daya dukung habitat dalam meningkatkan populasi. Daya dukung habitat rusa didekati melalui produktivitas hijauan, sekalipun sudah menunjukkan nilai yang optimal dari berbagai faktor yang mempengaruhinya seperti tanah, iklim dan organisme lainnya. Pengelolaan habitat rusa dengan cara peningkatan produktivitas hijauan pakan berupa rumput dan hijauan lainnya dilakukan dengan pengayaan jenis tanaman pakan rusa maupun pemberantasan tanaman invasiv yang mengganggu pertumbuhan jenis asli. Di samping itu, penyediaan sumber-sumber air di habitat rusa juga diperlukan sebagai sumber minum air dan pengairan bagi pertumbuhan rumput. Pendekatan daya dukung hijauan dari aspek organisme lain adalah kompetisi yang terjadi antara rusa dengan satwa lain dalam mengkonsumsi pakan. Hal ini terjadi di padang rumput TB. Pulau Moyo dimana rusa dan satwaliar lain memanfaatkan jenis vegetasi yang sama sebagai tanaman pakan. Buah malaka (Phyllanthus emblica L.) yang matang merupakan makanan rusa timor maupun kera ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles), dimana kera ekor panjang akan mengambil buahnya di atas pohon sedangkan rusa timor makan dari buah yang berjatuhan. Buah malaka berbuah pada saat musim kemarau panjang dan memiliki kandungan air paling tinggi diantara pakan rusa lainnya, yaitu 12%, kadar proteinnya 6,69%, dan serat kasarnya 27,68%. Selain itu jenis tanaman pakan yang lain yaitu buah bidara (Schleicera oleosa Lour.) berkompetisi dengan tupai (Callisciurus notatus Boddarert) dan kakatua (Cacatua sulphurea Gmelin). Nilai gizi buah bidara mengandung kadar air 11%, protein 6,58% dan serat kasar 36,30% sehingga jenis tanaman yang menghasilkan buah-buahan di musim kemarau sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air (Mukhtar, 1996). Rehabilitasi habitat yang telah dilakukan secara intensif di TN Baluran dilakukan bersama masyarakat dengan cara penebangan kayu Acacia nilotica (L.) Willd. dan memanfaatkannya sebagai kayu bakar atau arang (Sawitri dan
Takandjandji, 2007). Cara yang terbaik untuk mengatasi penyebaran A. nilotica adalah kerjasama dengan masyarakat untuk menebang secara manual dan memanfaatkan kayunya. Kewajiban yang diberikan kepada masyarakat tersebut adalah membersihkan padang savana dari pohon maupun anakan A. Nilotica. Hasil dari kerjasama tersebut dapat dilihat yaitu kembalinya ekosistem padang savana yang didominasi oleh rumput-rumputan (Gambar 3.3).
Gambar 3.3. Savana Bekol TN. Baluran setelah tiga tahun penebangan Acacia nilotica
Kegiatan pembinaan habitat savana di TN. Baluran sangat lambat karena tergantung pada peraturan, kondisi habitat, aktivitas satwa, cuaca, perencanaan, dan kemampuan dalam pelaksanaan penebangan pohon. Kemampuan setiap orang untuk menebang pohon Acacia nilotica (L.) Willd sekitar 3 m3 per hari. Masyarakat lebih banyak beristirahat karena cuaca yang sangat panas. Sedang pada waktu musim penghujan, kayu bakar yang telah ditebang tidak dapat dikeluarkan dari lokasi penebangan karena kondisi jalan yang tidak dapat dilalui truk pengangkut. Untuk mengantisipasi keadaan ini, dapat dipadukan dengan cara penebangan kayu
Acacia nilotica secara mekanis dan non mekanis yaitu menggunakan mesin pemotong kayu untuk menebang pohon serta kapak untuk memotong-motong kayu, sehingga pekerjaan menjadi lebih cepat dan efisien. Pembinaan habitat dapat juga diterapkan dengan penebangan sistem rotasi, yang dilakukan secara bergantian berdasarkan prioritas pengelolaan habitat padang savana untuk keamanan satwa. 3.3. Populasi a. Kepadatan populasi Populasi rusa di Ranca Upas seluas 4,5 ha sejumlah 12 individu terdiri dari 7 individu jantan dan 5 individu betina. Rusa timor yang termasuk satwaliar, diburu secara illegal untuk mendapatkan tambahan pendapatan dan sumber protein bagi masyarakat lokal. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan konservasi dan perbaikan habitat telah meningkatkan populasi rusa timor di beberapa tempat. Perkembangan populasi rusa timor pada penangkaran cukup signifikan di beberapa Kabupaten di Propinsi NTT dimana di Kabupaten Alor sebanyak 329 individu, Kupang 40 individu, Timor Tengah Selatan 23 individu, Sumba Barat 30 individu, Ende 8 individu, serta kemungkinan masih banyak di beberapa kabupaten lainnya. Menurut Garsetiasih et al. (1997), populasi rusa timor di alam pada Tahun 1990-an relatif masih banyak, seperti di TN. Komodo khususnya pulau Rinca mencapai 11.282 individu, dan di Pulau Menipo dengan luas 581 ha sebanyak 632 individu (Sutrisno,1993). Populasi rusa di TN. Rawa Aopa Watumohai, Sulawesi Tenggara sekitar 6080 individu per km (Bismark et al., 1997). Mengingat potensi rusa sangat luar biasa untuk dikembangkan sebagai hewan untuk substitusi pemenuhan gizi masyarakat, maka sudah saatnya pemeliharaan rusa bukan semata-mata menjadi tanggung jawab instansi pemerintah saja, tetapi masyarakat perlu dilibatkan dalam pemeliharaan, guna mendukung percepatan dan laju perkembangbiakan rusa. Pemeliharaan rusa dengan sistem
kelompok, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok penangkar rusa sekaligus mendorong percepatan pengembangan penangkaran rusa. Tingginya perburuan secara modern menyebabkan jumlah populasi rusa di alam menurun. Menurut catatan Semiadi (2002), populasi rusa di TN. Wasur Irian Jaya mengalami penurunan akibat perburuan dengan senjata api, dari jumlah 8.000 individu namun hingga saat ini tidak diketahui jumlahnya. Jatah buru rusa di TB. Pulau Moyo Tahun 1996 sebanyak 1018-1785 individu (Mukhtar, 1997). Populasi rusa timor saat ini lebih banyak di luar habitat aslinya seperti Papua, dan Kepulauan Maluku. Populasi rusa di Pulau Moyo dilindungi oleh masyarakat lokal, sedangkan di TN. Wasur populasinya hampir mencapai 8.000 individu. Sebaliknya populasi rusa di Pulau Jawa menurun di beberapa kawasan konservasi, termasuk TN. Baluran yang pada akhir Tahun 1990-an memiliki populasi terbanyak (Semiadi, 2006). Peran hutan produksi sebagai habitat ditunjukkan dari potensi satwaliar didalamnya, seperti populasi rusa sambar (Rusa unicolor) sebanyak 16,6 individu per km² (Bismark dan Gintings, 1997). Populasi rusa di kawasan hutan produksi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Sumatera Barat (Andalas Merapi Timber), sebanyak 11 individu per km2, demikian pula di Jambi (Kawasan Asialog) (Bismark dan Heriyanto, 2007). Kepadatan populasi rusa yang tinggi berada dalam kawasan konservasi seperti Pulau Menipo di Nusa Tenggara Timur, seluas 581 hektar pada tahun 1987 mencapai 964 individu (Takandjandji, 1987) dan pada tahun 1988 mengalami penurunan 729 individu serta tahun 1993 632 individu (Sutrisno, 1993). Penurunan populasi rusa di habitatnya umumnya disebabkan perburuan liar, kekurangan pakan pada musim kemarau, dan kerusakan habitat berupa penebangan pohon yang merupakan komponen habitat rusa.
Hasil inventarisasi rusa timor oleh tim pengamat secara bersamaan di seluruh habitat pada Tahun 1996, tercatat 2.500-3.000 individu (Hedger, 2008). Selanjutnya pada Tahun 1998-1999, populasi yang ada, menurun hingga 1.000 individu termasuk populasi rusa yang ada di TN. Alas Purwo dan populasi di Bali hanya tersisa di TN. Bali Barat. Adanya pembinaan habitat dan populasi seperti di TN. Baluran, sensus rusa timor terakhir menunjukkan bahwa populasi rusa timor di kawasan ini berkisar 13.000-20.000 individu dewasa. Kepadatan populasi rusa di beberapa kawasan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3.11. Tabel 3.11. Populasi rusa timor (Rusa timorensis) pada kawasan konservasi di Indonesia No.
Daerah Penyebaran
1.
P. Menipo
2.
4.
TN Komodo, P. Rinca TN Rawa Aopa Watumohai P. Moyo
5.
TN Ujung Kulon
3.
Habitat Savana dan mangrove Savana
Kerapatan populasi (individu/ha) 1 0,6
Rawa, savana dan mangrove Savana
0,6-0,8
Savana, mangrove, pantai dan dataran tinggi
0,6-0,7
0,2-0,4
Nara sumber Sutrisno, 1993 Garsetiasih, 1997 Bismark et al., 1997 Mukhtar, 1997 Mukhtar, 1997
Populasi rusa di hutan wisata diwakili oleh TWA. Pangandaran dan TWA. Pulau Menipo. Populasi rusa timor di TWA. Pangandaran Tahun 1993 adalah 120 individu tersebut diindikasikan mengalami kekurangan pakan dan terjadi perubahan jenis pakan sebagai dampak pengunjung. Rusa yang ada mulai berkeliaran ke hotel-hotel untuk mencari pakan dengan mengais sisa-sisa makanan di tempat sampah, karena kebiasaan rusa di TWA. mendapatkan makanan dari pengunjung maupun sisa-sisa makanan yang ditemukan rusa di tempat sampah. Populasi rusa timor di TWA. Pulau Menipo cukup padat, pada pulau seluas 571,8 hektar terdapat
populasi dengan 632 individu atau kepadatan populasi 1,1 individu per hektar (Sutrisno, 1993). Perubahan persepsi masyarakat lokal yang kemudian menjaga kelestarian populasi rusa timor di taman wisata ini adalah salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang terbangun dari nilai eknomi wisata bagi masyarakat dan pendidikan konservasi. Jumlah populasi rusa di TB. Pulau Ndana diperkirakan sebanyak 537 individu, terdiri dari 123 individu anak rusa dan 414 individu dewasa (Garsetiasih, 1996). Jumlah tersebut terdapat 155 individu rusa jantan dan 259 individu betina, sehingga nisbah kelamin atau sex ratio rusa betina dengan jantan 1,67:1 , dengan kepadatan populasi 0,34 individu per hektar. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan hasil inventarisasi BKSDA VII tahun 1990 sebanyak 1.621 individu. Penurunan populasi rusa timor dan rusa sambar saat ini lebih banyak merupakan dampak langsung tidak langsung dari pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan masyarakat. Tekanan terhadap satwaliar berupa pengambilan jenis dan perambahan habitat serta konversi lahan hutan menjadi areal pertanian, pemukiman dan perburuan liar yang tidak terkendali untuk dijual sebagai tambahan pendapatan maupun dikonsumsi sendiri dalam rangka pemenuhan protein hewani. Perburuan liar sering dilakukan oleh masyarakat secara berkelompok dengan menggunakan kuda dan memakai tombak ataupun dengan membakar sekeliling savana sehingga rusa timor terkepung dan kemudian ditombak (Garsetiasih et al., 1998). Gangguan terhadap habitat rusa timor dan rusa sambar selain perambahan dan konversi lahan adalah rendahnya kualitas komponen pendukung habitat kehidupan satwa. Komponen habitat diantaranya adalah ketersediaan pakan terutama di musim kemarau seperti di Pulau Menipo dan Ndana yang mempunyai musim hujan 3-4 bulan per tahun, sisanya merupakan musim kemarau yang mengakibatkan rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, sehingga mengakibatkan kematian populasi rusa.
Kebutuhan hidup pokok rusa untuk pertumbuhan optimal berupa protein, kalsium dan fosfor masing-masing 1316%, 0,45% dan 0,35% dari bahan kering, minimal kandungan proteinnya 6-7% (Lubis, 1985). Sedangkan nilai kandungan protein, kalsium dan fosfor hijauan pakan di Pulau Menipo masing-masing adalah 3,3%, 0,69% dan 0,12%, dengan demikian kandungan gizi yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan (Garsetiasih, 1990). Populasi rusa di Pulau Rumberpon yang didalamnya terdapat Taman Buru dengan luas 420,66 ha terdapat populasi rusa sekitar 662 individu (Faten, 2002). Populasi rusa timor di Papua mengadakan migrasi musiman, dimana pada musim hujan banyak terdapat di daerah antara Papua Barat dan perbatasan New Guinea sedangkan pada musim kemarau beberapa diantaranya bergerak ke Papua New Guinea (Semiadi, 2006). Populasi rusa timor di Pulau Rumberpon, Papua tersebar tidak merata di seluruh kawasan. Tetapi terkonsentrasi pada padang rumput dan hutan di sekitarnya. Besarnya populasi rusa di kawasan ini berkisar antara 218 individu-662 individu. Struktur populasi berdasarkan jenis kelamin terdapat perbandingan antara rusa jantan dan betina 1:3 dengan selang populasi rusa jantan 55-166 individu dan betina 164-497 individu. Struktur umur rusa terdiri dari fase umur dewasa (53%), muda (41%) dan anak (6%). Hal ini menunjukkan angka natalitas rusa rendah sebagai akibat oleh perburuan anak rusa oleh masyarakat atau akibat nilai gizi hijauan pakan yang rendah (Faten, 2002). b. Pengelolaan populasi Status konservasi rusa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 menyatakan bahwa semua spesies dan sub spesies rusa yang memiliki sebaran alami di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi. Sementara itu, status konservasi berdasarkan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN, 2008) jenis rusa timor (R. timorensis), rusa sambar (R. unicolor) dan muncak (Muntiacus muntjak dan M. atherodes) masuk dalam
kelompok kurang beresiko dengan kategori least concern (LC). Sebaliknya, jenis rusa bawean (A. kuhlii) yang merupakan satwa endemik Pulau Bawean, status konservasinya masuk dalam kelompok yang terancam dengan kategori endangered (EN). Selanjutnya, berdasarkan konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), hanya jenis rusa sambar yang masuk dalam daftar Appendix I, sedang tiga jenis rusa lainnya yang terdapat di Indonesia, tidak masuk dalam daftar Appendix (Departemen Kehutanan, 2006). Pengendalian perburuan liar di masyarakat dilakukan dengan meningkatkan persepsi masyarakat terhadap konservasi satwaliar dan fungsi serta manfaat pengelolaan kawasan konservasi seperti taman buru, taman nasional, dan taman wisata alam. Penyuluhan dan sosialisasi, pentingnya kelestarian satwaliar, dan hasil-hasil penangkaran akan memperluas persepsi masyarakat di sekitar kawasan untuk turut berperan aktif dalam pengembangan penangkaran satwaliar baik sebagai kesenangan maupun tambahan pendapatan. Penyuluhan dan sosialisi tentang jenis satwaliar dilindungi termasuk rusa timor dan rusa sambar melalui pengetahuan biologi dan morfologi kepada masyarakat perlu digalakkan. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan dapat dilakukan masyarakat. Di samping itu, perdagangan satwaliar dilindungi diatur oleh perundang-undangan dan jatah ekspor untuk suatu jenis satwaliar tergantung besarnya jatah tangkapan untuk setiap wilayah propinsi yang merupakan wilayah sebaran satwa tersebut. Penentuan jumlah populasi sebagai jatah ekspor atau kuota tangkap satwaliar didasarkan pada hasil penelitian mengenai populasi di setiap wilayah sebaran dan keberhasilan penangkaran untuk menghasilkan F2. Pengendalian perdagangan satwaliar juga ditentukan berdasarkan kesepakatan antar negara sumber satwa dengan negara pemasok melalui jatah ekspor yang dirumuskan oleh CITES untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan satwaliar.
c. Pertumbuhan populasi Untuk keperluan perhitungan kuota buru diperlukan proyeksi data riap kerapatan populasi rusa jantan dan betina untuk setiap kelas umur yang diekstrapolasikan ke dalam luas areal. Waktu regenerasi atau selang beranak antar pertama dan berikutnya, yaitu t = 1,6 tahun (18 bulan), maka kuota buru dimungkinkan pada langkah t = 18 sampai dengan t = 38 umur rusa maksimal (Mukhtar, 1996). Simulasi pertumbuhan populasi rusa model Matriks Leslie terpaut kerapatan dengan memperhatikan pengaruh kerapatan populasi saat kelahiran (senjang waktu) dari individu-individu setiap kelas umur betina dan kerapatan populasi rusa jantan dan betina, di TB. Pulau Moyo pada musim kemarau dan hujan (Gambar 3.4 dan 3.5).
Gambar 3.4. Simulasi pemanfaatan rusa di musim hujan di TB. P. Moyo