PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA
ROZZA TRI KWATRINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Rozza Tri Kwatrina NRP E351070134
ABSTRACT ROZZA TRI KWATRINA. Determining of Harvest Quota and Initial Population Size of Rusa Deer on Captive Breeding at Dramaga Research Forest. Under supervised by YANTO SANTOSA and AGUS PRIYONO KARTONO. Development Center of Deer Captive Breeding Technology at Dramaga Research Forest (DRF) is projected to be one of professional institution that produce deer offspring for conservation and commercial requirement. The objective of this research were to determine the harvest quota, initial harvest time, and initial population size of rusa deer on DRF, and to give the best alternative about deer captive breeding system. Data and information were collected by literature study and field observation during December 2008 until April 2009. The result revealed that minimal harvest quota for intensive system (IS), semi intensive (SS) system, and extensive system (ES) were 226, 33, and 16 individual/year respectively. Initial harvest timing was minimal 4 years after introducing of initial population size. Initial population size for IS, SS and ES on initial harvest timing 4 years were 376, 89, and 78 individual respectively. Semi intensive system (SS) was the best deer captive breeding system alternative for DRF based on feed plant available, harvest quota, population size, carrying capacity, and sensitivity analysis. Keywords: rusa deer, harvest quota, population size, feed plant productivity, captive breeding
RINGKASAN ROZZA TRI KWATRINA. Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan AGUS PRIYONO KARTONO. Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia yang jumlah populasinya cenderung semakin menurun di alam sebagai akibat dari perburuan secara ilegal untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis. Tingginya kebutuhan akan rusa perlu diantisipasi dengan pemenuhan ketersediaan rusa dari penangkaran di dalam negeri. Oleh sebab itu Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam mengembangkan penangkaran rusa sebagai konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari untuk tujuan restocking ke habitat alam dan pemenuhan kebutuhan bibit rusa di unit-unit penangkaran rusa. Agar penangkaran dapat memanen sejumlah rusa setiap tahunnya, diperlukan perencanaan mengenai berapa jumlah rusa yang dapat dipanen, kapan dapat dipanen, dan sistem penangkaran apa yang sesuai untuk penangkaran yang berlokasi di Hutan Penelitian Dramaga Bogor ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan rusa timor, dan ukuran populasi awal rusa timor, (2) memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Metode yang digunakan terdiri dari studi literatur dan pengumpulan data langsung di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kuota panenan minimal per tahun yang dapat ditetapkan berdasarkan sistem penangkaran adalah sebanyak 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Waktu awal pemanenan ditetapkan minimal empat (4) tahun setelah populasi awal tersedia berdasarkan target panenan berupa rusa timor keturunan kedua berumur minimal 15 bulan. Ukuran populasi awal yang harus tersedia tergantung pada waktu awal pemanenan. Pada waktu awal pemanenan minimal empat tahun, ukuran populasi awal yang harus tersedia adalah 376 individu pada sistem intensif, 89 individu pada sistem semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif. Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga berdasarkan ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal, luas areal, dan analisis sensitivitas adalah sistem semi intensif. Kata kunci: rusa timor, kuota panenan, ukuran populasi, produktivitas hijauan pakan, penangkaran
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA
ROZZA TRI KWATRINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
: PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA
Nama
: Rozza Tri Kwatrina
NRP
: E351070134
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Ketua
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA
Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 28 Agustus 2009
Tanggal Lulus: 10 September 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA.
PRAKATA Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: (1) Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. selaku Ketua Komisi Pembimbing atas kebesaran jiwanya mempercayakan penelitian ini pada penulis, serta pemikiran dan arahannya yang membuka wawasan dan pemahaman penulis, (2) Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas pemikiran, waktu dan kesabarannya membimbing penulis, (3) Dr. Ir. A. Machmud Thohari, DEA. atas kesediaannya selaku Penguji Luar Komisi, masukan serta koreksinya sehingga menjadikan tesis ini lebih baik. Selama persiapan, pelaksanaan, dan penulisan karya ilmiah ini penulis banyak memperoleh bantuan dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: (1) Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Bapak Ir. Muh.Abidin, MP., (2) Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kepala Pusat Penelitian Hasil Hutan, Kepala Laboratorium Terpadu Puslit Hasil Hutan, Ketua Kelompok Peneliti Kimia dan Energi, Dr. Chalid Thalib dan Dr. I. Wayan Matius dari Pusat Penelitian Ternak, Dr. Pratiwi dari Kelompok Peneliti Konservasi Tanah dan Air, dan Dr. Irnayuli Sitepu dari Kelompok Peneliti Mikrobiologi Hutan, yang telah memberi izin dan kesempatan sehingga penulis dapat menggunakan alat dan fasilitas penelitian, (3) Prof. Riset. Dr. Ir. M. Bismark. MS. dan Prof. Riset Dr. Ir. Abdullah Syarief Mukhtar, MS. atas motivasi dan dukungannya, (4) Ir. Mariana Takandjandji atas segala kebersamaan, dukungan, motivasi, dan bantuannya sejak dari awal perkuliahan, (5) Ir. Endro Subiandono selaku Ketua Kelompok Peneliti Konservasi Sumber Daya Hutan beserta para peneliti dan teknisi, Drh. Pudjo Setio, M.Si. selaku ketua tim pengelola Pusat Teknologi Pengembangan Penangkaran Rusa, dan Bapak Zainal selaku Kepala Pengelola Hutan Penelitian Dramaga, (6) Pak Carlan dan Pak Iwan beserta keluarga, serta semua petugas di penangkaran atas bantuan dan kerjasamanya selama di lapangan, (7) Teman-teman S2 Research School angkatan 2007 atas kebersamaannya, (8) Teman-teman S2 KVT angkatan 2007 (Bu Merry, Dewi, Bu Yayu, Pak Aswan, Pak Glen, Pak Paijo/Yohan, Pak Teddy, Pak Iman, Pak Toto, dan Pak Andy) atas kebersamaannya, serta Pak Sofwan, Bi Uum, Bu Irma, dan Pak Ismail atas bantuannya.
Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan kepada suami tercinta Santiyo Wibowo, STP., dan anak-anak tersayang (Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah) atas kasih sayang, doa, dan pengorbanannya. Kepada orangtua tercinta (Gafar BA & Djanewar), serta mertua tercinta (Sanly Surat & Ratna Komalasari) atas doa, motivasi, dan dukungannya. Kepada kakak-kakak (Ni Pi, Da Nang, Da At, beserta keluarga) atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan. Akhirnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Kiranya Allah SWT Maha Sempurna membalas semua kebaikan dengan yang terbaik. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2009 Rozza Tri Kwatrina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukit Tinggi pada tanggal 3 April 1975 sebagai anak keempat dari pasangan Gafar BA dan Djanewar. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 3/77 Bukit Tinggi pada tahun 1987, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 7 Bukit Tinggi, pada tahun 1990 dan SMA Negeri I Bukittinggi pada tahun 1993. Pada tahun 1993, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Biologi Fakultas FMIPA, Universitas Andalas dan berhasil memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1998. Pada tahun 1999, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika. Penulis menikah dengan Santiyo Wibowo, STP dan dikaruniai oleh ALLAH SWT dua orang putri bernama Nurul Afiyah dan Alya Zahra Nazhifah.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .....................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................
v
I.
PENDAHULUAN....................................................................................... 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian................................................................................... 1.3 Manfaat Penelititan ............................................................................... 1.4 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 1.5 Hipotesis ...............................................................................................
1 1 3 3 3 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2.1 Rusa Timor ........................................................................................... 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi ......................................................... 2.1.2 Habitat, Penyebaran, dan Status.................................................. 2.1.3 Perilaku dan Reproduksi............................................................. 2.1.4 Nilai Ekonomi Rusa .................................................................. 2.2 Sistem Penangkaran Rusa ...................................................................... 2.3 Analisis Populasi ................................................................................... 2.3.1 Definisi dan Karakteristik Populasi............................................. 2.3.2 Natalitas ..................................................................................... 2.3.3 Mortalitas ................................................................................... 2.3.4 Model Pertumbuhan Populasi ..................................................... 2.4 Daya Dukung......................................................................................... 2.5 Pemanenan ......................................................................................... 2.6 Analisis Break Event Point ...................................................................
6 6 6 6 8 9 10 11 11 12 13 14 15 16 17
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................................... 3.1 Letak, Luas dan Status Hukum............................................................... 3.2 Iklim dan Topografi ............................................................................... 3.3 Topografi dan Tanah.............................................................................. 3.4 Flora...................................................................................................... 3.5 Fauna ................................................................................................... 3.6 Lokasi Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga .....................................
19 19 19 20 20 21 21
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 4.1 Lokasi dan Tempat Waktu Penelitian ................................................... 4.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 4.3 Jenis Data ............................................................................................. 4.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 4.4.1 Kondisi Biofisik Habitat ............................................................ 4.4.2 Biaya Penangkaran .................................................................... 4.4.3 Parameter Demografi Rusa Timor .............................................
23 23 23 24 24 24 24 25
i
4.4.4 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah ......................................... 4.4.5 Produktivitas Hijauan Pakan ...................................................... 4.4.6 Tingkat Konsumsi Pakan ........................................................... 4.5 Analisis Data ........................................................................................ 4.5.1 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah ......................................... 4.5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan ......................... 4.5.3 Tingkat Konsumsi Pakan Rusa .................................................. 4.5.4 Daya Dukung habitat ................................................................. 4.5.5 Kuota Panenan ......................................................................... 4.5.6 Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan ..................................... 4.5.7 Ukuran Populasi Awal ............................................................... 4.5.8 Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran ................................. 4.5.9 Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran ................................... 4.5.10 Analisis Populasi pada Sistem Penangkaran Terpilih .................
25 26 27 28 28 28 29 29 30 31 31 32 33 33
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 5.1 Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan .......................................... 5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan ..................................... 5.3 Tingkat Konsumsi Pakan ...................................................................... 5.4 Daya Dukung Habitat ...................................................................... ........ 5.5 Analisis Populasi ................................................................................ 5.5.1 Parameter Demografi ............................................................... 5.5.2 Kuota Panenan Berdasarkan Break Even Point ........................... 5.5.3 Ukuran Populasi ........................................................................ 5.5.4 Sensitivitas Ukuran Populasi Awal Secara Ekologi dan Ekonomi .............................................................................. 5.6 Luas Areal Penangkaran ........................................................................ 5.7 Pemilihan Sistem Penangkaran ............................................................ 5.8 Spesifikasi dan Perkembangan Populasi Awal Pada Sistem Penangkaran Terpilih.............................................................................
34 34 38 41 44 45 45 46 49 52 54 56 59
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 64 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 64 6.2 Saran ................................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 65 LAMPIRAN ..................................................................................................... 71
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan di Hutan Penelitian Dramaga .................................................................... 35
2.
Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi ........................... . 37
3.
Produktivitas dan ketersediaan hijauan pakan rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga ....................................................................... . 39
4.
Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian empat individu rusa timor ........................................................................................................ . 42
5.
Parameter demografi populasi rusa timor pada beberapa lokasi. penangkaran semi intensif di Jawa Barat .................................................. . 45
6.
Biaya tetap, biaya variabel, dan kuota panenan rusa timor pada tiga sistem penangkaran .................................................................. . 48
7.
Ukuran populasi awal berdasarkan waktu awal pemanenan ...................... . 52
8.
Sensitivitas ukuran populasi awal secara ekologis dan ekonomis ............................................................................. . 53
9.
Luas areal penangkaran berdasarkan ukuran populasi awal dan waktu awal pemanenan ..................................................................... . 55
10. Kelas umur individu awal pada sistem terpilih (semi intensif)................... . 60 11. Perkembangan populasi awal rusa timor sampai tahun ke 5 ...................... . 61
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rusa timor jantan dan betina ...................................................................... . 7 2. Peta Lokasi Hutan Penelitian Dramaga ...................................................... . 19 3. Plot pengamatan produktivitas hijauan pakan ............................................... 26 4. Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan ............................ 27 5. Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah ................................................... 34 6. Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi ................................ 36 7. Perbandingan produktivitas hijauan pakan dengan tingkat cahaya harian .............................................................................................. 40 8. Kandang rusa dan tempat pakan pada pengamatan tingkat konsumsi di Hutan Penelitian Dramaga ....................................................... 43 9. Hubungan waktu awal pemanenan dengan ukuran populasi awal berdasarkan sistem penangkaran .......................................................... 51 10. Pengaruh pembinaan habitat terhadap luas areal penangkaran berdasarkan tahun awal pemanenan dan sistem penangkaran ....................... 58
iv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Intensitas cahaya harian pada lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga .................................................................................... 72
2.
Jenis-jenis tumbuhan bawah pada sembilan lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga ..................................................................... 73
3.
Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga ......................................................................... 74
4.
Data iklim areal Hutan Penelitian Dramaga dan sekitarnya ....................... 78
5.
Data pengamatan tingkat konsumsi pakan .................................................. 81
6.
Biaya investasi pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif .............................................................................................. 82
7.
Biaya tetap pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif ................................................................................ 83
8.
Biaya variabel pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif ................................................................................ 84
v
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville, 1822) merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. IUCN Red List of Threatened Species tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah populasi rusa timor di alam cenderung semakin menurun sekitar 10% dalam kurun waktu minimal lima belas tahun terakhir. Total populasi diperkirakan hanya 10.000 individu dewasa. Kondisi ini disebabkan berbagai hal yang salah satunya adalah perburuan secara ilegal pada habitat aslinya di alam untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis (IUCN 2008). Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam upaya konservasi dan pemanfaatan jenis rusa timor secara lestari adalah kegiatan penangkaran. Perkembangan penangkaran rusa di masa yang akan datang diperkirakan semakin besar. Hal ini didasarkan pada tingginya pemanfaatan terhadap rusa, terutama daging rusa, sebagai pemenuhan kebutuhan protein hewani. Tingkat konsumsi daging rusa oleh konsumen restoran di wilayah DKI Jakarta sebesar 84,21% (Suita & Mukhtar 2002). Selain itu, sebesar 60% dari penjual daging yang diwawancarai dalam penelitian Suita & Mukhtar (2002) menyatakan berminat menjual daging rusa. Namun demikian, walaupun permintaan dan minat cukup tinggi, sebagian besar daging rusa masih diimpor dari luar negeri karena terbatasnya ketersediaan rusa di dalam negeri. Oleh sebab itu, penyediaan bibit rusa timor di dalam negeri yang dikembangkan melalui unit-unit penangkaran menjadi sangat penting dilakukan. Salah satu institusi pemerintah yang sedang mengembangkan penangkaran rusa timor adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penangkaran yang terletak di Hutan Penelitian Dramaga ini selain berfungsi sebagai media pendidikan, penelitian, rekreasi, juga berfungsi sebagai salah satu lembaga penyedia bibit rusa timor. Penangkaran ini diharapkan menjadi salah satu lembaga resmi yang menyediakan bibit rusa timor dari penangkaran secara profesional untuk tujuan konservasi dan pemanfaatan secara komersil di unit-unit penangkaran.
2 Sesuai dengan salah satu tujuan pengelolaan satwaliar yaitu untuk konservasi dan pemanenan (Cauhgley 1977), maka pengelolaan populasi rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga perlu diarahkan untuk memperoleh panenan lestari. Banyaknya jumlah rusa yang dipanen setiap tahun merupakan kuota panenan yang mesti ditetapkan oleh pengelola dan diharapkan dapat berkontribusi terhadap ketersediaan populasi rusa timor di alam maupun di unit-unit penangkaran. Keberhasilan suatu pengelolaan sangat tergantung pada upaya pemanenan yang dilakukan dan waktu pemanenan (Xu et al. 2005), sehingga salah satu pertanyaan sulit yang harus dijawab oleh pengelola populasi satwaliar adalah berapa jumlah satwa yang harus dipanen dari populasi dalam setiap tahunnya (CCM 2008), dan kapan pemanenan dapat mulai dilakukan. Besarnya ukuran populasi yang awal yang harus disediakan dipengaruhi oleh waktu pemanenan, semakin lama jangka waktu pemanenan maka ukuran populasi awal yang harus disediakan menjadi lebih kecil. Oleh sebab itu, pertanyaan penting yang perlu dijawab untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah berapa kuota panenan yang dapat ditetapkan setiap tahunnya? kapan pemanenan sebaiknya dilakukan? dan berapa ukuran populasi awal yang harus tersedia agar
kuota
panenan dapat tercapai?. Penelitian-penelitian tentang pengelolaan populasi khususnya rusa, sebagian besar menitikberatkan pada habitat alam di suaka margasatwa dan taman nasional seperti yang dilakukan oleh Hasiholan (1995), Iqbal (2004) dan Wichatitsky et al. (2005), atau di taman buru yang menitikberatkan pada aspek perburuan dan nilai ekonomi seperti yang dilakukan oleh Mukhtar (1996), Ratag (2006) dan Priyono (2007). Penelitian-penelitian yang dilakukan di penangkaran, sebagian besar membahas aspek reproduksi, pengelolaan habitat, desain tapak, atau aspek finansial usaha penangkaran seperti yang dilakukan oleh Teddy (1998), Handarini et al. (2004), Semiadi et al. (2005), Sumanto (2006) dan Nurulaini et al. (2007). Demikian juga dengan penelitian mengenai populasi dan pemanenan, sebagian besar dilakukan di alam pada kawasan beriklim nontropis seperti yang dilakukan oleh Trenkel et al. (2000), Mysterud et al. (2007), serta Trepet & Eskina (2007). Berdasarkan hal tersebut dan terbatasnya penelitian mengenai
3 penentuan kuota panenan dan ukuran populasi rusa di penangkaran, maka penelitian ini dilakukan. Perbedaan sistem penangkaran dapat mempengaruhi kuota panenan dan ukuran populasi awal yang harus ditetapkan. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis pemilihan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga, berdasarkan kuota panenan, ukuran populasi awal, dan luas areal penangkaran, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan penangkaran selanjutnya. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menentukan kuota panenan, waktu awal pemanenan, dan ukuran populasi awal rusa timor 2. Memberikan alternatif sistem pengelolaan penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan panduan bagi pengelola atau pengusaha untuk menentukan kuota panenan dan waktu pemanenan, dan ukuran populasi awal, serta memberikan rekomendasi mengenai pengelolaan populasi di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga 1.4 Kerangka Pemikiran Kesenjangan
antara
jumlah permintaan
dengan
ketersediaan rusa,
berdampak terhadap meningkatnya perburuan rusa di alam. Oleh sebab itu, upaya penyediaan rusa dari hasil penangkaran melalui kegiatan pemanenan mesti ditingkatkan. Kuota panenan merupakan sejumlah rusa yang dipanen dari penangkaran. Kuota panenan dari suatu populasi dapat ditentukan secara ekologis ataupun secara ekonomis. Kuota secara ekologis pada prinsipnya merupakan sejumlah anggota populasi yang dapat dikeluarkan dari suatu populasi dengan mempertimbangkan daya dukung dan ukuran populasi aktual yang tersedia tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi. Untuk pengelolaan populasi satwa yang
4 memiliki target pemanenan tertentu dengan mempertimbangkan sejumlah biaya penyelenggaraan penangkaran, maka penentuan kuota panenan secara ekonomis perlu digunakan. Dalam hal ini, kuota panenan tidak ditetapkan berdasarkan ukuran populasi aktual yang tersedia, melainkan berdasarkan target pemanenan tertentu
yang
ingin
dicapai
oleh
pengelola
penangkaran
dengan
mempertimbangkan aspek ekonomi. Analisis Break Even Point (BEP) merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menetapkan kuota panenan secara ekonomis. Kuota panenan yang diperoleh dari perhitungan BEP ini merupakan kuota panenan minimal yang harus ditetapkan agar kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Pada prinsipnya BEP diperhitungkan berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap menggambarkan biaya yang dibutuhkan dalam pengelolaan penangkaran, sedangkan biaya variabel merupakan biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu individu rusa. Kuota panenan yang telah ditetapkan hanya dapat dipanen apabila terpenuhinya ukuran populasi yang tersedia pada saat pemanenan, dan ukuran populasi awal saat kegiatan penangkaran dimulai. Besarnya nilai ukuran populasi awal tersebut sangat tergantung pada kuota panenan yang ditetapkan dan waktu pemanenan. Semakin besar kuota panenan yang ditetapkan, dan semakin singkat jangka waktu pemanenan maka semakin besar ukuran populasi awal yang harus tersedia. Selain itu, peubah-peubah parameter demografi seperti natalitas, mortalitas, laju pertumbuhan populasi, dan komposisi jenis kelamin, sangat mempengaruhi besarnya ukuran populasi awal yang akan ditetapkan. Besarnya kuota panenan yang ditetapkan juga terkait dengan sistem penangkaran yang akan diterapkan di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Dalam penelitian ini, sistem penangkaran rusa dibedakan atas penangkaran sistem intensif, semi intensif, dan ekstensif. Untuk mencapai target kuota panenan pada sistem penangkaran ekstensif dan semi intensif dimana semua atau sebagian besar kebutuhan rusa disediakan oleh alam, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah ketersediaan hijauan pakan, yang dapat diketahui melalui penghitungan produktivitas hijauan pakan. Sedangkan untuk penangkaran dengan sistem intensif, dimana semua kebutuhan satwa disediakan dan diatur oleh
5 manusia, maka komponen daya dukung habitat yang menentukan adalah kebutuhan terhadap ruang yang dapat diketahui melalui penghitungan kebutuhan areal penangkaran. Akhirnya, aspek pemanenan yang mencakup kuota panenan dan waktu pemanenan tersebut menjadi tujuan dalam penelitian ini, untuk menjawab ukuran populasi awal yang harus tersedia dan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. 1.5 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian tentang penentuan kuota panenan dan ukuran populasi awal rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah: semakin tinggi kuota panenan semakin tinggi ukuran populasi awal yang harus tersedia.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Cetartiodactyla, Sub Ordo Ruminantia, Family Cervidae, Sub Family Cervinae, dan Genus Rusa. Nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis de Blainville, 1822. Namun demikian, nama rusa timor juga memiliki beberapa sinonim, yaitu: Cervus celebensis Rorig, 1896; Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845; Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 (IUCN 2008). Secara morfologi rusa timor memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dan kaki yang lebih pendek dibandingkan rusa sambar (Cervus unicolor) dan rusa bawean (Axis kuhlii). Warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna lebih terang dibandingkan bagian punggung. Warna bulu ini tersebar merata pada seluruh tubuh dan tidak memiliki titik-titik (spot) pada tubuhnya. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Panjang tubuh berkisar antara 130–210 cm, tinggi bahu 80–110 cm, berat 50–115 kg, dan panjang ekor 10 – 30 cm. Rusa jantan dewasa memiliki ranggah. Ranggah penuh mempunyai tiga ujung runcing dengan panjang rata-rata 80–90 cm (Schroder 1976, Drajat 2002, Worlddeer 2005). 2.1.2 Habitat, Penyebaran, dan Status Rusa timor merupakan jenis yang sangat utama pada habitat padang rumput di daerah tropis dan sub tropis, tapi dapat beradaptasi pada habitat hutan, pegunungan, serta semak belukar. Walaupun dapat beradaptasi mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, rusa timor jarang dijumpai pada ketinggian di atas 2500 m di atas permukaan laut. Semiadi dan Hedges dalam IUCN (2008) bahkan mengungkapkan bahwa rusa timor hidup pada ketinggian 0 – 900 m dari
7 permukaan laut. Jika dibandingkan jenis rusa sambar, rusa timor juga memiliki adaptabilitas yang tinggi untuk hidup pada daerah yang kering. Hal ini disebabkan kebutuhan air pada rusa timor sangat rendah (Schroder 1976). Walaupun demikian rusa timor juga dapat hidup di daerah rawa (Worlddeer 2005).
a
b Gambar 1 Rusa timor jantan (a) dan betina (b).
Rusa timor merupakan satwa asli Indonesia. Menurut Bemmel (1949) rusa timor berasal dari Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Malaka. Namun demikian kalangan ahli lainnya menyatakan bahwa rusa timor hanya berasal dari Jawa dan Bali (IUCN 2008). Dalam perkembangannya, rusa timor menyebar luas sampai ke bagian timur wilayah Indonesia seiring dengan perpindahan manusia. Hal ini berbeda dengan jenis rusa sambar yang daerah penyebarannya hanya berada di bagian Barat wilayah Indonesia. Luasnya penyebaran rusa timor juga terlihat dari banyaknya sub spesies yang dimiliki, yakni 8 sub-spesies. Menurut Bemmel (1949), penamaan sub-spesies ini didasarkan atas daerah penyebarannya, yakni: a. Cervus t. russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan (S.E. Borneo). b. Cervus t. laronesiotes, terdapat di Pulau Peucang. c. Cervus t. renschi, terdapat di Bali. d. Cervus t. timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Pulau Kambing, Alor, Pantar, Pulau Rusa. e. Cervus t. macassaricus, terdapat di Sulawesi, Banggai, Selayar. f. Cervus t. jonga, terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna. g. Cervus t. moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halmahera, Bacan, Parapotan, Buru, Seram dan Ambon. h. Cervus t. florensiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Adonara, Solor dan Sumba.
8 Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk dalam kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya rusa timor berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) sejak tahun 1996. Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (IUCN 2008). Di Indonesia, rusa timor termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Namun demikian, rusa dapat dimanfaatkan melalui penangkaran
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu di bidang peternakan, rusa telah menjadi salah satu satwa potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002. 2.1.3 Perilaku dan Reproduksi Rusa timor bersifat nokturnal, akan tetapi juga dapat mencari makan pada siang hari (Reyes 2002). Namun pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Schroder (1976) bahwa rusa timor secara alamiah tidak bersifat nokturnal, tetapi dapat secara mudah berubah sifat menjadi nokturnal dan pergi ke wilayah terbuka pada siang hari. Rusa jantan dan betina biasanya hidup terpisah dalam kelompok tertentu, kecuali pada musim kawin. Selama musim kawin, rusa jantan menjadi lebih agresif dan menghiasi ranggahnya dengan dedaunan dan ranting untuk menarik perhatian betina dan mengintimidasi jantan lainnya (Reyes 2002). Rusa timor bersifat sosial, dan dapat dijumpai dalam kelompok kecil dengan jumlah individu mencapai 25 individu. Perilaku rusa di penangkaran dilaporkan oleh Lelono (2005) yang menggambarkan tiga pola aktivitas harian rusa timor, yaitu aktivitas makan, aktivitas istirahat, dan aktivitas lain. Aktivitas makan dilakukan pada pagi (pukul 07.00 – 11.00), siang (pukul 11.00 – 14.00), dan sore (pukul 17.00 – 18.00).
9 Aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari setelah aktivitas makan. Aktivitas lain terdiri dari aktivitas berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung, berlari dan lainnya. Rusa dapat hidup selama 15 – 20 tahun di alam maupun di penangkaran, dengan rata-rata 17,5 tahun. Usia dewasa kelamin rata-rata 21 bulan, walaupun juga ditemukan rusa dewasa kelamin pada usia lebih kurang 15 bulan. Umumnya rusa mengalami dewasa kelamin pada usia 15 – 18 bulan. Menurut Semiadi (2006) dewasa kelamin dipengaruhi oleh berat badan dan ketersediaan pakan. Kelahiran pada rusa tropis terjadi sepanjang tahun. Sody (1940) menyatakan bahwa musim kelahiran pada rusa timor umumnya terjadi pada bulan April–Juni, sedangkan di Jawa pada bulan September, Flores pada bulan Maret serta Sulawesi pada Januari dan Agustus. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dalam setiap kelahiran adalah satu. Rata-rata masa menyusui adalah 8 bulan atau 251 hari, ratarata masa menyapih adalah 7 bulan atau 228 hari, walaupun demikian untuk wilayah timur Indonesia, masa sapih pada rusa timor adalah 4 – 7 bulan (Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Reyes 2002). Untuk di penangkaran di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pubertas rusa timor adalah 8–8,1 bulan, siklus berahi 20 hari, lama berahi 2 hari, lama bunting 8,3 bulan, dan jumlah anak pada setiap kelahiran pada umumnya 1 ekor. Umur perkawinan pertama pada jantan adalah 11 – 12,67 bulan, dan 10 – 15,25 bulan pada betina. Namun demikian rusa timor sudah mampu kawin pertama kali umur 7 bulan. Umur kebuntingan pertama adalah 11 – 17 bulan, dan lama kebuntingan adalah 8,3 – 8,5 bulan. Umur melahirkan pertama adalah 20 – 25 bulan, dan interval kelahiran pertama dan kedua adalah 13,25 13,75 bulan. Persentase kelahiran di Indonesia berkisar antara 45 – 75% (Semiadi 2006, Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Takandjandji et al. 1998). 2.1.4 Nilai Ekonomi Rusa Sebagai satwa herbivora, rusa memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan daging, ranggah, velvet, kulit, bahkan satwa hidup, sehingga sangat potensial dikembangkan di penangkaran. Di dunia, seperti Kanada, wapiti (Cervus canadensis) jantan dijual senilai CDN$135.000. Velvet rusa juga memiliki nilai
10 ekonomi tinggi, dan Republik Korea merupakan pasar utama penjualan velvet rusa secara internasional. Sedangkan New Zealand merupakan negara modern pertama penghasil velvet di dunia. Di Kanada, pada tahun 1997, pemanenan ranggah wapiti mencapai 50 ton dengan nilai total mencapai CDN$7,13 juta. Pada pasar lokal seperti di Vancouver, harga velvet tertinggi mencapai CDN$260/kg, dan terendah senilai CDN$45/kg. Sementara di Malaysia velvet dijual dengan harga RM 3.000/kg (Chardonnet et al. 2002, Semiadi 2002) Daging merupakan produk yang paling populer dari satwaliar di seluruh dunia dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga jual karkas rusa fallow (Dama dama) di Amerika Serikat pada tahun 1997 adalah US$4,5/pound. Di Canada, harga jual daging untuk venison antara C$3,1 – C$3,6/pound. Sedangkan di Australia harga jual karkas rusa fallow mencapai A$2,24/kg, untuk daging rusa merah A$2,56/kg, dan rusa jawa A$2,12/kg. Untuk Selandia baru, harga jual karkas rusa merah mencapai antara NZ$3,32 hingga NZ$5,20/kg karkas (Semiadi 2002). Salah satu alasan pemilihan daging rusa, adalah
karena rusa mampu
mengkonversi 30 kilogram bahan kering menjadi 3 kilogram daging, sehingga rusa lebih efisien dibandingkan sapi dan domba. Daging rusa memiliki rasa yang khas dan rendah kalori, sehingga digunakan sebagai venison. Di Malaysia, harga daging rusa mencapai RM 30 perkilogram lebih tinggi dibandingkan daging sapi yang hanya RM 10 perkilogram (Drajat 2002, Semiadi 2002). Untuk Indonesia harga daging rusa bervariasi pada kisaran Rp. 250.000,- perkilogram. Untuk ranggah, hasil penelitian Garsetiasih (2000) menunjukkan bahwa harga tanduk rusa tua dalam bentuk hiasan di beberapa tempat di Bogor memiliki harga Rp. 250.000,- sampai Rp. 750.000,-. Sedangkan untuk satwa hidup memiliki nilai jual bervariasi mulai dari Rp. 3.500.000,- sampai Rp. 15.000.000,2.2 Sistem Penangkaran Rusa Sistem penangkaran rusa pada beberapa wilayah di beberapa negara mengacu pada prinsip pengelolaan habitat yaitu secara intensif atau extensif. Pada pengelolaan intensif, campur tangan manusia sangat tinggi, sebaliknya pada pengelolaan ekstensif manusia hanya mengatur beberapa aspek habitat dan kebutuhan hidup satwa.
11 Pengelolaan secara ekstensif berimplikasi terhadap luasnya areal dan umumnya tenaga dan biaya yang dibutuhkan perhektarnya relatif rendah. Sebaliknya pada pengelolaan intensif dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk setiap hektar areal. Beberapa tindakan pengelolaan yang termasuk ke dalam pengelolaan ekstensif diantaranya adalah pembakaran terkendali, pengendalian semak belukar, dan seleksi tumbuhan sumber pakan. Sedangkan pengelolaan intensif diantaranya adalah pemberian pakan oleh pengelola secara cut and carry, membangun kebun pakan, membangun kandang, sumber air, peneduh (cover). Pengelolaan reproduksi secara non alami juga dapat digolongkan pada pengelolaan secara intensif (SRNF 2008). Di beberapa negara, pengelolaan ekstensif lebih penting dan efektif dibandingkan sistem intensif. Namun pada beberapa situasi, pengelolaan secara intensif digabungkan dengan pengelolaan ekstensif untuk mencapai pengelolaan yang lebih efektif dalam mengatasi beberapa faktor pembatas. Konsep pengelolaan intensif dan ekstensif tersebut di Indonesia diadaptasi ke dalam sistem penangkaran secara intensif dan ekstensif. Penggabungan kedua konsep tersebut melahirkan sistem semi intensif yang banyak diterapkan pada berbagai penangkaran di Indonesia. Sistem-sistem penangkaran tersebut diterapkan dalam beberapa bentuk pemeliharaan. Semiadi dan Nugraha (2004) mengelompokkan ke dalam bentuk pemeliharaan, yaitu diikat, dikandangkan, dan dilepas di padang umbaran yang disebut pedok (paddock). Bentuk pemeliharaan diikat dan dikandangkan dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan intensif, sedangkan penggembalaan di padang umbaran dapat tergolong pada sistem ekstensif atau semi intensif tergantung pada tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat, populasi, dan reproduksi satwa. 2.3 Analisis Populasi 2.3.1 Definisi dan Karakteristik Populasi Populasi adalah sekelompok organisme sejenis atau memiliki kesamaan genetik yang secara bersama-sama mendiami wilayah tertentu dan waktu tertentu, serta mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Odum 1971, Krebs 1978, Alikodra 1990). Menurut Tarumingkeng (1992), populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang
12 tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Krebs (1978) menyatakan unsur utama dari populasi adalah individu organisme yang memiliki potensi untuk berkembang-biak. Populasi tersebut dapat dibagi ke dalam sejumlah deme atau populasi lokal yang merupakan kelompok organisme yang mampu berkembang-biak, yang merupakan unit kolektif terkecil dari sebuah populasi tumbuhan atau satwa. Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Tarumingkeng (1992) yang menyatakan bahwa deme adalah populasi setempat yang merupakan sekelompok individu dimana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Populasi memiliki beragam karakteristik kelompok, yang secara pengukuran statistik tidak dapat diterapkan secara individual. Karakteristik dasar dari populasi adalah ukuran atau kepadatannya (densitas). Densitas atau disebut juga kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau volume. Ukuran populasi atau kepadatan ini dipengaruhi oleh empat parameter populasi yang dikenal sebagai parameter populasi primer, yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Selain itu, terdapat parameter populasi sekunder yang terdiri dari distribusi umur, komposisi genetik, dan pola sebaran ruang (Krebs 1978, Alikodra 2002). 2.3.2 Natalitas Suatu populasi dapat meningkat disebabkan oleh natalitas. Natalitas, yang dapat juga disebut sebagai potensi perkembangbiakan, adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa laju natalitas adalah jumlah organisme yang lahir per induk per satuan waktu. (Odum 1971, Krebs 1978).
13 Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk ke dalam klas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran tersebut ditentukan oleh faktor-faktor: (1) perbandingan komposisi kelamin dan kebiasaan kawin, (2) umur tertua dimana individu masih mampu untuk berkembangbiak (maximum breeding age), (3) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002). 2.3.3 Mortalitas Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas terdiri dari angka kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode waktu; dan angka kematian spesifik, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama satu periode waktu.
Faktor-faktor yang menyebabkan kematian adalah; (1)
kematian oleh keadaan alam, seperti bencana alam, penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, (2) kematian oleh kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, (3) kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai kawasan, dan (4) kematian yang disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, pencemaran dan kecelakaan lalulintas (Alikodra 2002).
14 2.3.4 Model Pertumbuhan Populasi Ukuran dan kepadatan populasi dapat bertambah, tetap, atau berkurang. Besarnya penambahan atau pengurangan ukuran atau kepadatan populasi tersebut dapat dinyatakan dengan laju pertumbuhan populasi. Dalam pertumbuhan populasi, laju petumbuhan pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan akhirnya menurun sampai akhirnya mencapai nol pada kondisi dimana jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs, 1978) Laju pertumbuhan populasi dapat disebabkan oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan), atau interaksi keduanya. Pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam suatu model pertumbuhan populasi. Dikenal ada dua model pertumbuhan populasi, yaitu model pertumbuhan eksponensial dan model pertumbuhan logistik. Model pertumbuhan eksponensial terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Pada kondisi ideal dan tidak ada faktor penghambat (fisik maupun biotik), maka populasi akan berkembang terus dan tumbuh secara maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa populasi tumbuh dalam keadaan lingkungan yang tidak membatasi pertumbuhannya. Secara realistis, terdapat persaingan, keterbatasan ruang dan makanan yang akan menyebabkan pertumbuhan populasi menurun dan pada akhirnya berhenti pada saat daya dukung sudah tercapai. Apabila model pertumbuhan eksponensial diterapkan untuk waktu yang tidak terbatas tetapi sumber dayanya terbatas, maka akan menjadi tidak realistis karena tidak diperhitungkannya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan populasi seperti kerapatan, makanan dan lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka dibangun model yang lebih realistis yang memasukkan faktor kerapatan populasi sebagai faktor pembatas, sehingga disebut sebagai model terpaut kerapatan atau model pertumbuhan logistik. Model matematis pertumbuhan kerapatan adalah sebagai berikut:
15
Keterangan: Nt = N0 = K = r = t = e =
ukuran populasi pada waktu ke-t ukuran populasi awal kapasitas daya dukung lingkungan laju pertumbuhan waktu ke-t bilangan euler (e = 2,718281…)
Menurut Tarumingkeng (1992), model logistik dibangun berdasarkan asumsi-asumsi: (1) populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memiliki sebaran umur stabil (stable age distribution), (2) populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r, (3) pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi merupakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag), (4) sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah, (5) pengaruh kerapatan adalah sama untuk semua tingkat umur populasi, dan (6) peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan. 2.4 Daya Dukung Sharkey (1970) mendefinisikan daya dukung sebagai bobot satwa dari satu atau gabungan populasi yang dapat disokong secara permanen pada area tertentu. Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Bailey (1984) yang menyatakan bahwa daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat. Menurut Alikodra (2002), besarnya nilai daya dukung ditentukan oleh kondisi potensi makanan dan ruang. Selain itu nilai daya dukung tidak berlaku umum melainkan spesifik bagi suatu spesies tertentu pada waktu dan lokasi tertentu, sehingga kondisi habitat yan berbeda akan menyebabkan perbedaan daya dukung habitat. Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat, misalnya produkstifitas hijauan. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang
16 rumput dapat dilakukan dengan cara pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savanal, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Beberapa ahli membagi daya dukung atas dua kategori yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah kepadatan maksimum satwa yang masih dapat hidup secara lestari tanpa pemanenan dan rekayasa terhadap vegetasi, sedangkan daya dukung ekonomis adalah kepadatan satwa yang memungkinkan pemanenan maksimal secara lestari dan selalu lebih rendah dari daya dukung ekologis (Caughley 1976). Daya dukung ekologis terdiri dari tingkat kepadatan subsisten, tingkat kepadatan toleran, dan tingkat kepadatan aman. Sedangkan daya dukung ekonomis terdiri dari tingkat kepadatan pemanenan maksimum, dan tingkat kepadatan yang dampaknya minimum terhadap satwa lain dan habitatnya. 2.5 Pemanenan Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Pengelolaan akan sangat menentukan tujuan dan target yang akan dicapai dalam pemanenan (Evans et al. 1999). Prinsip pemanenan dalam pengelolaan populasi adalah menyediakan panenan lestari, yaitu sejumlah hasil yang dapat diambil dari tahun ketahun tanpa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah panen lestari tertinggi yang mungkin diperoleh disebut sebagai panen lestari maksimum (maximum sustainable yield), sedangkan panen lestari yang dapat diperoleh tanpa menyebabkan kerusakan disebut dengan panen lestari optimum (optimum sustainable yield) (Caughley 1977). Pada pengelolaan Ungulata untuk tujuan pemanenan umumnya digunakan konsep tingkat kepadatan pemanenan maksimum, yaitu jumlah satwaliar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini dapat dicapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraan, dengan demikian, keadaan pemanenan maksimum memerlukan pengelolaan secara intensif. Selain itu, juga diperlukan data dasar untuk menetapkan jumlah satwaliar maksimum yang dapat dipanen, dan memelihara populasi agar mencapai jumlah yang maksimum. Untuk mendapatkan jumlah hasil pemanenan maksimum yang tepat diperlukan berbagai fakta seperti model
17 populasi yang dapat disusun berdasarkan respon pertumbuhan populasi terhadap berbagai macam ukuran populasi dan kondisi produktifitas habitat (Adams 1971, Anderson 1971). 2.6 Analisis Break Even Point Analisis Break Even Point (BEP) merupakan sebuah teknik yang telah digunakan secara luas oleh manajemen produksi dan manajemen akuntan. Tujuan dari analisis BEP adalah untuk menentukan jumlah pulang pokok (breakeven quantity) dari suatu produk dengan mempelajari hubungan diantara struktur biaya perusahaan, volume output, dan keuntungan (Martin et al. 1991). Jumlah pulang pokok yang ditentukan sebagai BEP adalah sejumlah unit yang harus terjual dalam upaya menghasilkan keuntungan sebesar nol tetapi akan menutupi biayabiaya yang berhubungan, sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Dengan demikian prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. BEP dapat dinyatakan dalam unit atau harga (FeedBurner 2008, Home et al. 1995). Analisis BEP berdasarkan pada pengelompokan biaya produksi atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap atau biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak bervariasi berdasarkan volume penjualan atau jumlah dari perubahan output. Biaya tetap bersifat independen terhadap kuantitas produk yang dihasilkan dan seimbang terhadap sejumlah harga yang tetap. Biaya variabel atau biaya langsung adalah biaya yang tetap per unit output tetapi berubah secara keseluruhan jika output berubah. Total biaya variabel diperhitung berdasarkan biaya variabel per unit dan mengalikannya dengan jumlah produksi dan penjualan (Martin et al. 1991). Break Even Point dapat diketahui dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu, trial and error analysis, contribution margin analysis, dan algebric analysis (Martin et al. 1991). Asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah (1) semua barang produksi terjual habis, (2) apabila harga jual dan biaya berubah, maka harga dan biaya produksi tetap. Analisis BEP dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajerial yaitu mengatur tingkat harga, menargetkan biaya tetap dan biaya variable yang optimal, menentukan pilihan strategi yang
18 berbeda bagi perusahaan, serta merencanakan penjualan setiap bulan atau setiap tahun. Selain itu, BEP berfungsi sebagai indikator kelayakan suatu usaha, dan sebuah teknik pengawasan operasi (Berry 2003). Namun demikian analisis BEP memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya (1) hubungan biaya-volumekeuntungan diasumsikan linier, (2) kurva total penerimaan diperkirakan meningkat secara linier dengan volume output, (3) diasumsikan produksi tetap dan penjualan tidak tetap, dan (4) perhitungan breakeven merupakan bentuk analisis yang statis. Oleh sebab itu analisis BEP digunakan untuk tindakan-tindakan manajerial, bukan untuk pengambilan keputusan akhir (Martin et al. 1991).
III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Status Hukum Dramaga yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, merupakan salah satu dari 13 dalam lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Secara administratif pemerintahan, Dramaga termasuk ke dalam wilayah Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Secara geografis, Hutan Penelitian Dramaga
terletak pada posisi antara 6o32’59,04”–6o33’13,98” LS dan
106o44’0,06”–106 o44’59,64” BT. Berdasarkan ketinggian tempat, areal Dramaga terletak pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut dengan luas keseluruhan adalah 57,75 ha. Sekitar 10 ha dari luasan tersebut, digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research). Status hukum Dramaga adalah milik Departemen Kehutanan Republik Indonesia c.q. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (IPB & Dephut 1999).
Penangkaran
HP Darmaga
CIFOR
Setu Gede
Hutan Penelitian Dramaga
Gambar 2 Peta Lokasi Dramaga. 3.2 Iklim dan Topografi Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe curah hujan di wilayah Hutan Penelitian Dramaga termasuk ke dalam tipe A dan tidak memiliki bulan kering. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Kls I Dramaga tahun 2005 sampai dengan 2007, suhu rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Oktober sebesar
20 26,23 oC dan terendah pada bulan Februari sebesar 25,33oC. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 89,33% dan terendah pada bulan September sebesar 77% . Curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Februari sebesar 364 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 71,5 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2383,5 mm. 3.3 Topografi dan Tanah Bentuk wilayah datar sampai agak berombak dengan kelerengan 0–6% dan berada pada ketinggian 244 m di atas permukaan laut. Tanah di areal Hutan Penelitian Dramaga termasuk latosol coklat kemerahan. Bahan induknya tuf volkan intermedier yang dicirikan oleh lapisan setebal ± 17 cm, berwarna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8, lembab) pada kedalaman 150 – 167 cm. Di bawah lapisan ini terdapat lapisan lain yang warna dan teksturnya hampir sama dengan tanah di atas lapisan induk. Tanah latosol pada lapisan atas berwarna coklat tua kemerahan (5 YR 3/3, lembab) dan berangsur-angsur lebih cerah pada lapisan dalam (5 YR ¾, lembab). Tekstur liat sampai liat berdebu (halus), struktur gumpal sampai remah, konsistensi gembur, liat, plastis. Solum dangat dalam, batas lapisan umumnya baur, drainase sedang sampai baik dan air tanahnya dalam (8 – 12 m). Reaksi tanah masam sampai sedang (pH 5,0 – 6,0), kadar C organik dan N sedang pada lapisan atas, rendah sampai sedang pada lapisan bawah, kadar P2O5 tinggi sekali, sedangkan K2O sangat rendah di semua lapisan. Kejenuhan basa rendah dan permeabilitas sedang, yaitu 4,31 cm/jam pada lapisan atas dan 0,22 cm/jam pada lapisan bawah (IPB & Dephut 1999). 3.4 Flora Dramaga merupakan salah satu Hutan Penelitian di pulau Jawa yang mewakili ekosisitem dataran rendah. Sejak tahun 1956 sampai 1998 di Hutan Penelitian Dramaga telah diintroduksi sebanyak 130 jenis tumbuhan mencakup 88 marga dan 43 famili. Berdasarkan penyebaran alaminya terbagi atas jenis asli Indonesia dan jenis introduksi dari luar Indonesia. Jenis tanaman asli Indonesia berasal dari hampir seluruh pulau besar yang ada di Indonesia, mencakup Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Sedangkan jenis tanaman introduksi
21 berasal dari negara beriklim tropis dan subtropis. Jenis tanaman asing terdiri dari kelompok
daun
jarum
(Gymnospermae)
dan
kelompok
daun
lebar
(Angiospermae). Jenis yang dominan dari kedua kelompok ini adalah Pinus spp, Khaya, dan Terminalia. Untuk jenis tanaman asli Indonesia, pada kelompok daun jarum (Gymnospermae) terdiri dari marga Agathis, Pinus dan Podocarpus. Sedangkan pada kelompok daun lebar ((Angiospermae) terdiri dari Shorea, Eugenia, Diptecarpus, dan Hopea. Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga terdiri dari jenis jukut kakawatan (Cynodon dactylon), paku kawat (Lycopodium cernuum), kirinyuh (Eupatorium pallescens), paku areuy (Gleichenia linearis), dan harendong (Melastoma polyanhum) (IPB & Dephut 1999). 3.5 Fauna Jenis-jenis fauna utama yang ditemukan di Hutan Penelitian Dramaga diantaranya, ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai/bajing (Lariscus sp.), dan musang (Paradoxurus hermaphroditus) (IPB & Dephut 1999). Solihati (2007) menyatakan bahwa selama tiga periode pengamatan pada tahun 2006 di areal Dramaga, dijumpai 29 jenis burung yang termasuk ke dalam 20 famili dengan indeks keragaman 2,51. Jenis yang paling sering dijumpai adalah Lonchura leucogastroides, Sterptopelia chinensis, dan Prinia familiaris. Jenis yang melimpah
adalah
Collocalia
liinchi,
Dicaeum
trochileum,
Lonchura
leucogastroides, Passer montanus, dan Prinia familiaris. Selain itu terdapat dua jenis burung endemik Jawa yaitu Spizaetus bartelsi dan Stachyris grammiceps. 3.6 Lokasi Penangkaran di Hutan Penelitian Dramaga Hutan Penelitian Dramaga merupakan suatu areal percobaan dan penelitian yang secara keseluruhan memiliki luas 57,75 ha. Dari luasan tersebut 10 ha digunakan untuk perkantoran dan fasilitas CIFOR, seluas 35,85 ha digunakan untuk kegiatan hutan penelitian dan penyediaan fasilitas kerja, dan seluas 11,9 ha berfungsi sebagai areal penyangga. Sesuai dengan salah satu tujuan pembangunan Hutan Penelitian Dramaga sebagai sarana koleksi dan pelestarian jenis-jenis pohon, maka sebagian besar vegetasi di Hutan Penelitian Dramaga merupakan
22 tegakan jenis-jenis pohon asli Indonesia dan eksotik yang telah berumur lebih dari 30 tahun. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam di dalam kawasan Hutan Penelitian Dramaga adalah pembangunan penangkaran rusa timor pada tahun 2008. Penangkaran tersebut diberi nama Pusat Pengembangan Teknologi Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis). Penangkaran yang diresmikan pembangunannya oleh Menteri Kehutanan H. MS Kaban pada tanggal 15 Mei 2008 ini menggabungkan kegiatan konservasi dengan kegiatan Eko Widya Wisata. Luas areal penangkaran yang direncanakan seluas hampir 7 hektar akan dikembangkan secara bertahap. Dalam perkembangannya, populasi rusa timor di penangkaran terus bertambah melalui introduksi maupun kelahiran. Rusa yang berasal diintroduksi berasal dari penangkaran di Hutan Penelitian Haurbentes, Taman Safari Indonesia Cisarua Bogor. Untuk selanjutnya, populasi terus ditambah dengan melakukan pengambilan dari berbagai sumber diantaranya Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur. Ukuran populasi sampai bulan Juni 2008 adalah 19 individu, yang terdiri dari 6 jantan, 9 betina, dan 3 anak.
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor yang merupakan salah satu Hutan Penelitian yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Penelitian berlangsung selama ± 5 (lima) bulan, dari Desember 2008 hingga April 2009. 4.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: (1) perlengkapan untuk inventarisasi tumbuhan, meliputi:
pita meter, tali
rafia, dan tally sheet (2) perlengkapan untuk pengukuran berat basah dan berat kering tumbuhan pakan rusa, meliputi: pagar bambu, tali rafia, gunting rumput, neraca timbang, timbangan digital merk AND GF-200 dengan ketelitian 0,001 g, oven elektrik, kantong plastik ukuran 2 kg, kertas koran, spidol permanen, (3) perlengkapan untuk pengamatan konsumsi pakan, meliputi: plastik terpal ukuran 2 m, papan, paku, timbangan ternak merk Great Scale XK-3190A7 Weighing Indicator, timbangan ukuran 5 kg, gunting, parang, dan kantong plastik (4) perlengkapan pembuatan spesimen herbarium, yakni: alkohol 70%, kertas koran, kantong plastik, dan label spesimen (5) peta tematik Hutan Penelitian Dramaga skala 1:5000 yang memuat informasi mengenai tata ruang dan petak-petak percobaan tumbuhan di kawasan Hutan Penelitian Dramaga (6) kamera, dan alat tulis
24 4.3 Jenis Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: komponen biaya penangkaran rusa, jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, produktivitas hijauan pakan, tingkat konsumsi pakan, kebutuhan ruang per individu rusa, serta parameter demografi rusa timor (natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi). Data sekunder meliputi: kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, dan bioekologi rusa timor. 4.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data kondisi biofisik Hutan Penelitian Dramaga, komponen biaya penangkaran rusa, dan parameter demografi rusa timor. Sedangkan pengamatan langsung dimaksudkan untuk memperoleh data komposisi jenis tumbuhan bawah, jenis tumbuhan pakan, biomassa dan produktivitas tumbuhan pakan, serta tingkat konsumsi pakan rusa timor. 4.4.1 Kondisi Biofisik Habitat Pengumpulan data biofisik Hutan Penelitian Dramaga dan kawasan di sekitarnya dilakukan melalui studi literatur untuk mengetahui karakteristik habitat dan lingkungan rusa timor. Data dan informasi berasal dari berbagai sumber seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan studi yang relevan. Selain itu data juga diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika. 4.4.2 Biaya Penangkaran Pengumpulan data biaya penangkaran bertujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai
komponen
dan
biaya
yang
dibutuhkan
dalam
menyelenggarakan kegiatan penangkaran rusa timor. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pengelola penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. Selain itu juga dilakukan studi literatur terhadap berbagai sumber data dan informasi yang relevan seperti jurnal, hasil penelitian, dan laporan.
25 Biaya penangkaran dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel yang disusun berdasarkan sistem penangkaran, yaitu sistem intensif, semi intensif dan ekstensif. Untuk penyusunan biaya-biaya tersebut digunakan standar biaya yang berlaku secara lokal maupun nasional, yang mencakup standar biaya pegawai, tenaga kerja, upah, bahan dan pekerjaan. Standar biaya yang digunakan antara lain standar biaya umum tahun 2009, dan standar harga barang dan jasa pemerintah kota Bogor tahun 2009 yang diperoleh dari instansi terkait, diantaranya Departemen Keuangan dan Dinas Cipta Karya Kotamadya Bogor. 4.4.3 Parameter Demografi Rusa Timor Data parameter demografi rusa timor digunakan untuk menentukan ukuran populasi awal rusa timor untuk Data yang dikumpulkan meliputi: natalitas, mortalitas, dan laju pertumbuhan populasi. Data diperoleh dari berbagai hasil penelitian ilmiah, dan laporan-laporan yang relevan mengenai rusa timor di berbagai tempat, serta kunjungan ke beberapa penangkaran rusa timor di wilayah Jawa Barat. 4.4.4 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Analisis vegetasi tumbuhan bawah bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi tumbuhan bawah, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Metode yang digunakan metode kuadrat dalam bentuk petak tunggal berukuran 1 m x 1 m. Petak contoh pertama ditempatkan secara acak pada lokasi pengamatan dan selanjutnya dilakukan secara sistematik dengan jarak antar petak 5 m. Jumlah petak contoh yang digunakan didasarkan pada kurva lengkung spesies area, dimana penambahan petak sampel akan dihentikan apabila tidak terdapat penambahan jumlah jenis spesies rumput lebih dari 5 – 10% (Oosting et al. 1958 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1988). Petak contoh ditempatkan pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran. Lokasi I, II, III, IX terletak di dalam penangkaran yang merupakan areal tempat kegiatan penangkaran diselenggarakan, sedangkan lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII terletak di luar penangkaran, mewakili lokasi-lokasi yang berpotensi terdapat rumput dan hijauan sebagai sumber pakan rusa timor. Lokasi di dalam
26 penangkaran meliputi: areal kurang ternaungi, areal ternaungi di bawah tegakan, areal terbuka tanpa naungan, dan areal yang telah diolah di bawah tegakan. Lokasi di luar penangkaran meliputi: areal terbuka pada kebun murbei, areal ternaungi di bawah tegakan pada kebun murbei, areal berumput tanpa naungan yang terdapat pada dua lokasi, dan areal berumput di bawah naungan. Data yang dikumpulkan adalah jenis, jumlah individu setiap jenis, serta jenis tumbuhan pakan rusa timor. Selain itu pada setiap lokasi dicatat tingkat intensitas cahaya harian dengan menggunakan Lux meter. Pencatatan dilakukan pada pagi, siang dan sore hari selama tiga (3) hari. 4.4.5 Produktivitas Hijauan Pakan Produktivitas hijauan pakan diduga melalui pengamatan tumbuhan pakan rusa timor pada petak contoh berukuran 1m x 1m. Sebanyak 5 petak contoh masing-masing ditempatkan secara sistematik pada sembilan lokasi pengamatan di dalam dan di luar penangkaran, sehingga total petak contoh pengamatan adalah 45 petak contoh. Lokasi pengamatan produktivitas hijauan pakan disesuaikan dengan lokasi pengamatan analisis vegetasi tumbuhan bawah. Pada setiap petak contoh dilakukan pemotongan setiap jenis rumput dan tumbuhan pakan rusa kemudian dibiarkan selama 20 hari. Setelah jangka waktu 20 hari tersebut, setiap jenis rumput dan tumbuhan hijauan pakan dipotong kembali, dipisahkan berdasarkan jenisnya, dan ditimbang berat basahnya (Prasetyonohadi 1986). Sisa bagian hijauan yang tertinggal akan dibiarkan tumbuh selama 20 hari, kemudian dilakukan pemotongan dan penimbangan kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali.
Gambar 3 Plot pengamatan produktivitas hijauan pakan
27 Untuk mengetahui produktivitas dan ketersediaan dalam berat kering, serta kadar biomassa, dilakukan analisis biomassa terhadap ± 50 g bobot segar hijauan sampel yang diperoleh pada setiap pemotongan untuk setiap hijauan pakan. Selanjutnya sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 70 0C selama 48 jam. 4.4.6 Tingkat Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi pakan harian rusa timor diketahui dengan memberikan sejumlah hijauan pakan kepada empat (4) individu rusa timor yang dipelihara dalam kandang pemeliharaan yang terpisah. Empat rusa mewakili jenis kelamin jantan dan betina, serta kelas umur anak dan dewasa. Sebelum pengamatan, setiap rusa ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badannya. Hijauan pakan juga ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya. Banyaknya hijauan pakan yang diberikan adalah dua kali sepuluh persen dari berat badan rusa. Berat hijauan sisa diketahui dengan menimbang hijauan yang tidak dimakan pada hari berikutnya. Selisih antara berat hijauan awal dengan berat hijauan sisa merupakan gambaran berat hijauan yang dimakan oleh rusa timor dalam satuan kilogram per hari. Pemberian hijauan pakan dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari selama tujuh (7) hari yang dianggap sebagai ulangan.
a
b
c
d
Gambar 4 Penimbangan rusa sebelum pengamatan konsumsi pakan (a) kandang individu, (b) penyiapan timbangan, (c) penimbangan rusa, (d) indikator timbangan
28 4.5 Analisis Data 4.5.1 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Data analisis vegetasi ditabulasi untuk mengetahui jenis dan jumlah jenis tumbuhan bawah, serta tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi pengamatan. Selain itu, data vegetasi disajikan dalam bentuk matrik yang menggambarkan keberadaan jenis-jenis tumbuhan pakan pada masing-masing lokasi. 4.5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Ketersediaan pakan rusa di Hutan Penelitian Dramaga ditentukan melalui penghitungan produktivitas hijauan, yaitu pertambahan biomassa tumbuhan pakan pada petak contoh dengan mempertimbangkan seluruh hijauan yang potensial sebagai sumber pakan, serta luas masing-masing lokasi. Ketersediaan pakan pada masing-masing lokasi diduga dengan menggunakan persamaan:
Keterangan: = ketersediaan hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/th); BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) A = luas areal lokasi (ha) ai = unit contoh pengamatan ke-i (ha) t = waktu pengamatan (th) fk = faktor konsumsi rusa (digunakan nilai 70%) Ketersediaan hijauan pakan di dalam areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi I, II, III, dan IX, sedangkan ketersediaan hijauan pakan di luar areal penangkaran merupakan ketersediaan hijauan pakan pada lokasi IV, V, VI, VII, dan VIII. Ketersediaan pakan total merupakan gabungan ketersediaan di dalam dan di luar penangkaran. Dalam bentuk lain, ketersediaan pakan total juga dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Keterangan: P = ketersediaan hijauan pakan seluruh lokasi (kg/th) p = produktivitas hijauan pakan masing-masing lokasi (kg/ha/th) A = luas areal masing-masing lokasi (ha) fk = faktor konsumsi
29 Untuk mengetahui ketersediaan hijauan pakan dalam berat kering, maka digunakan persamaan berdasarkan Semiadi (2006):
Keterangan: KBi = kadar biomassa hijauan pakan pengamatan ke-i (%); BKi = bobot kering hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) BBi = bobot segar hijauan pakan pengamatan ke-i (kg) 4.5.3 Tingkat Konsumsi Pakan Rusa Tingkat konsumsi pakan merupakan selisih antara berat hijauan yang diberikan dengan berat hijauan yang tersisa. Rata-rata tingkat konsumsi pakan untuk 4 individu rusa selama 7 hari pengamatan dihitung dengan menggunakan persamaan: Konsumsi pakan (kg/hr) = Berat hijauan pakan awal (kg) – Berat hijauan pakan sisa (kg) 4.5.4 Daya dukung habitat Nilai daya dukung habitat merupakan perbandingan antara produktivitas hijauan dengan tingkat konsumsi, sehingga daya dukung dihitung dengan menggunakan persamaan:
Keterangan: K = daya dukung habitat (individu/ha) P = ketersediaan hijauan pakan (kg/ha) C = rata-rata komsumsi pakan setiap individu(kg/individu) Berdasarkan pendekatan tiga sistem penangkaran rusa, yaitu sistem ekstensif, semi intensif dan intensif, maka daya dukung diduga berdasarkan ketersediaan pakan pada ketiga sistem penangkaran tersebut. Perbedaan ketersediaan pakan pada ketiga sistem tersebut terletak pada cara memperoleh tumbuhan pakan yaitu: tumbuhan pakan yang dapat langsung dikonsumsi dari alam (terletak di dalam areal penangkaran), dan tumbuhan pakan yang disediakan oleh manusia melalui pemotongan/cut and carry (terletak di luar areal penangkaran). Untuk sistem intensif, pakan berasal dari luar areal penangkaran.
30 Untuk sistem semi intensif, pakan berasal dari dalam dan luar areal penangkaran, sedangkan untuk sistem ekstensif pakan hanya berasal dari dalam areal penangkaran saja. Dengan demikian daya dukung untuk ketiga sistem penangkaran dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Keterangan: K1 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran ekstensif (individu) K2 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran semi intensif (individu) K3 = daya dukung habitat pada sistem penangkaran intensif (individu) PA = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di dalam areal penangkaran (kg/th) PB = ketersediaan hijauan pakan yang terdapat di luar areal penangkaran (kg/th) C = rata-rata konsumsi pakan setiap individu (kg/th) 4.5.5 Kuota Panenan Kuota panenan ditetapkan berdasarkan perhitungan nilai Break Event Point (BEP) yaitu jumlah panenan minimal yang masih layak pada suatu penangkaran rusa. Pendekatan BEP menggambarkan jumlah produksi minimal yang masih memungkinkan kegiatan penangkaran dapat terus diselenggarakan. Penentuan kuota panenan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: a) Sistem penangkaran yang digunakan, meliputi: sistem ekstensif, sistem semi intensif, dan sistem intensif, b) Jenis produk yang dihasilkan adalah satu jenis produk (single product) yaitu bibit rusa. Dasar yang digunakan dalam penghitungan BEP adalah nilai biaya tetap dan biaya variabel yang ditetapkan berdasarkan biaya investasi masing-masing penangkaran. Selanjutnya, kuota panenan rusa timor yang dinyatakan sebagai Qt, dihitung dengan menggunakan persamaan (Home et al. 1995):
Keterangan: Qt = BEP/kuota panenan (individu/th) F = total biaya tetap (Rp./th) P = harga jual per unit produk (Rp./individu) V = biaya variabel per unit produk) (Rp./individu/th)
31 4.5.6 Ukuran Populasi Pada Saat Pemanenan Kuota panenan (Qt) yang telah ditetapkan merupakan jumlah rusa yang dapat dipanen setiap tahun sehingga populasi tetap lestari dan kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Kuota panenan dapat tercapai apabila ukuran populasi pada saat pemanenan mencukupi. Apabila Qt dinyatakan sebagai panenan lestari (SY), maka ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Keterangan: Nt Qt h r
= ukuran populasi pada saat pemanenan (individu) = kuota panenan (individu/th) = laju pemanenan = laju pertumbuhan eksponensial
4.5.7 Ukuran Populasi Awal Untuk mencapai kuota panenan dan ukuran populasi pada saat pemanenan, maka dilakukan perhitungan besarnya ukuran populasi awal yang harus tersedia pada saat kegiatan penangkaran dimulai. Ukuran populasi awal (N0) ditentukan berdasarkan model pertumbuhan populasi terpaut kerapatan atau disebut juga model logistik (Caughley 1977). Persamaan dasar model logistik adalah:
Berdasarkan persamaan tersebut, maka ukuran populasi awal (N0) dapat ditentukan menurut persamaan:
Keterangan: Nt = N0 = K = r = t = e =
ukuran populasi pada waktu pemanenan (individu) ukuran populasi awal (individu) daya dukung habitat (individu/th) laju pertumbuhan waktu pemanenan (th) bilangan euler (e = 2,718281…)
32 Ukuran populasi awal dihitung berdasarkan peubah parameter demografi terutama laju pertumbuhan populasi dengan mempertimbangkan komposisi kelamin.
Nilai laju pertumbuhan diperoleh dengan merata-ratakan atau
menganalogikan dengan nilai natalitas dan mortalitas yang diperoleh dari penangkaran lain di Jawa Barat yang memiliki kondisi hampir sama dengan lokasi penelitian. Ukuran populasi awal juga ditentukan berdasarkan waktu pemanenan. Untuk mengetahui pengaruh parameter pengamatan terhadap ukuran populasi awal, dilakukan analisis untuk mengetahui sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Sensitivitas secara ekologi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter laju pertumbuhan terhadap kuota panenan dan ukuran populasi awal, sedangkan sensitivitas secara ekonomi bertujuan untuk melihat pengaruh parameter biaya operasional terhadap ukuran populasi awal. Pada penelitian ini digunakan kenaikan dan penurunan nilai sebesar 5% dari nilai awal masing-masing parameter. 4.5.8 Pendugaan Kebutuhan Areal Penangkaran Pendugaan kebutuhan luas areal penangkaran rusa timor pada tiga sistem penangkaran dilakukan dengan menggunakan persamaan matematis yang dimodifikasi dari Priyono (2007). Pendekatan yang digunakan untuk sistem ekstensif dan intensif adalah kebutuhan areal penangkaran berdasarkan ketersediaan pakan, sedangkan untuk sistem intensif digunakan pendekatan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan kebutuhan terhadap ruang.
Keterangan: Ax = Ay = Az = N = C = PA = PB = R = fc = fr =
kebutuhan areal penangkaran sistem ekstensif (ha) kebutuhan areal penangkaran sistem semi intensif (ha) kebutuhan areal penangkaran sistem intensif (ha) populasi rusa (individu) kebutuhan konsumsi setiap individu (kg/individu/th) produktivitas hijauan pakan di dalam areal penagkaran (kg/ha/th) produktivitas hijauan pakan di luar areal penangkaran (kg/ha/th) kebutuhan ruang setiap individu (m2/individu) faktor koreksi bagi konsumsi setiap individu rusa (25%) faktor pengaman kebutuhan ruang setiap individu (2 kali kebutuhan ruang setiap individu)
33 4.5.9 Analisis Pemilihan Sistem Penangkaran Sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ditentukan berdasarkan kuota panenan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan ukuran populasi yang harus tersedia pada saat pemanenan. Selain itu pemilihan juga mempertimbangkan produktivitas pakan, ketersediaan areal penaangkaran, dan sensitivitas secara ekologi dan ekonomi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ditetapkan sistem penangkaran yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. 4.5.10 Analisis populasi pada sistem penangkaran terpilih Pada sistem penangkaran terpilih dilakukan penyusunan spesifikasi rusa yang mencakup ukuran populasi berdasarkan kelas umur, dan nisbah kelamin. Perkembangan populasi awal selanjutnya dianalisis dengan menggunakan tabel yang menggambarkan perkembangan populasi pada tahun berikutnya. Dalam perhitungan ini digunakan data parameter demografi dan reproduksi seperti peluang hidup, kematian, persentase kebuntingan, persentase keberhasilan melahirkan, dan nisbah kelamin anak yang dilahirkan. Data tersebut diperoleh dari jurnal dan hasil penelitian yang relevan.
34
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah dan Jenis Tumbuhan Sumber Pakan Hutan Penelitian Dramaga selain merupakan sarana koleksi jenis tumbuhan, juga merupakan habitat bagi rusa timor yang terdapat di penangkaran Pusat Penelitian Teknologi Penangkaran Rusa. Salah satu fungsi habitat adalah sebagai sumber pakan bagi rusa yang terdapat di dalamnya. Selain berupa tegakan pohon, pada Hutan Penelitian Dramaga juga terdapat vegetasi tumbuhan bawah yang berpotensi sebagai tumbuhan sumber pakan rusa timor. Tumbuhan bawah tersebut tersebar di beberapa lokasi dengan kondisi yang berbeda-beda sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
a
b
c
d
Gambar 5 Kondisi beberapa lokasi tumbuhan bawah; (a) di bawah tegakan di dalam areal penangkaran, (b) di luar areal penangkaran, (c) pada padang rumput, (d) pada areal kebun murbei. Tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sebagian terdapat di dalam areal penangkaran, dan sebagian lainnya terletak di luar areal penangkaran. Pada beberapa lokasi, tumbuhan bawah terdapat di bawah tegakan pohon, dalam kondisi ternaungi, dan sangat kurang penetrasi cahaya matahari. Namun demikian terdapat juga areal yang tidak ternaungi berupa celah (gap), sehingga penetrasi cahaya matahari dapat mencapai lantai hutan. Selain itu, vegetasi tumbuhan bawah juga terdapat pada areal terbuka yang tersinari cahaya matahari sepanjang hari yaitu padang rumput, areal kebun murbei, dan areal penyangga. Kondisi lokasi dan vegetasi tumbuhan bawah pada setiap lokasi disajikan pada Tabel 1.
35 Tabel 1 Kondisi lokasi, vegetasi tumbuhan bawah dan hijauan pakan di Hutan Penelitian Dramaga Kondisi Karakteristik
Lokasi
Di dalam areal penangkaran: I Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, telah dilakukan pemangkasan II Terletak di dalam areal penangkaran, terdapat celah (gap) diantara tegakan pohon III Terletak di dalam areal penangkaran di bawah tegakan pohon, ternaungi IX Terletak di dalam penangkaran pada lahan terbuka berupa padang rumput Di luar areal penangkaran: IV Terletak di luar penangkaran di sekitar areal murbei V Terletak di luar penangkaran pada areal kebun murbei VI Terletak di luar penangkaran ternaungi VII Terletak di luar penangkaran di areal penyangga, tidak ternaungi VIII Terletak di luar penangkaran pada lahan terbuka, terdapat rumput
Jumlah jenis tumbuhan bawah
Jumlah jenis hijauan pakan
4.638
11
7
2.567
10
5
5.718
6
3
43.742
15
11
11.332
13
9
12.806
14
8
5.970
13
10
15.116
13
9
36.327
12
11
Rata cahaya harian (lux)
Sebagian besar lokasi di dalam areal penangkaran memiliki tingkat cahaya harian yang lebih rendah dibandingkan lokasi lain di luar areal penangkaran. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lokasi yang terletak di bawah tegakan hutan sehingga mengurangi sinar matahari yang sampai ke lantai hutan. Satu-satunya lokasi yang memiliki tingkat cahaya tinggi di dalam areal penangkaran adalah lokasi IX (43.742 lux) yang merupakan areal terbuka dan tidak terdapat tegakan pohon. Tingkat cahaya harian pada masing-masing lokasi disajikan pada Lampiran 1. Jumlah jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang ditemukan pada areal yang tidak ternaungi lebih banyak dibandingkan pada areal yang ternaungi. Jumlah jenis paling sedikit terdapat pada lokasi III yang terdapat di bawah tegakan pohon, yaitu 6 jenis tumbuhan bawah dan 3 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis paling banyak terdapat pada plot VII dan IX yang merupakan areal terbuka, yaitu 15 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis hijauan pakan. Jumlah jenis hijauan sumber pakan pada masing-masing lokasi disajikan pada Gambar 6.
36
Gambar 6 Jumlah jenis hijauan sumber pakan berdasarkan lokasi Rusa timor merupakan satwa herbivora yang memakan hijauan dan rumput (grazer) disamping juga memakan ranting dan dedaunan (concentrate selector atau browser). Oleh sebab itu, ketersediaan tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga sangat penting artinya bagi penyediaan sumber pakan karena sebagian besar tumbuhan sumber pakan rusa timor tersedia pada tingkat vegetasi tumbuhan bawah. Pada sembilan lokasi di dalam dan di luar areal penangkaran pada Hutan Penelitian Dramaga ditemukan 38 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 20 famili, dan 23 jenis diantaranya merupakan tumbuhan yang berpotensi sebagai hijauan pakan rusa timor. Sebagian besar jenis tumbuhan bawah dan hijauan pakan yang mendominasi termasuk dalam famili Poaceae. Jenis dan dominasi jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi pengamatan disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 dan 3. Jenis-jenis tumbuhan/hijauan sumber pakan yang temukan pada masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 2.
37 Tabel 2. Penyebaran jenis-jenis hijauan pakan pada setiap lokasi Jenis hijauan pakan I Ageratum conyzoides L. Kyllingia monocephala Rottb. Calliandra callothyrsus Benth. Melastoma polyanthum L. Clidemia hirta L. Mimosa pudica L. Oxalis corniculata L. Piper aduncum L. Polygala paniculata L. Lycopodium cernuum L. Panicum montanum L. Setaria barbata Lam. Konth. Axonopus compressus P.B. Heirochloe horsfieldii Kunth.Maxim. Imperata cylindrica L. Beauv. Leersia hexandra Swartz. Isachne globosa Thunb. Carex baccans Noes. Phyllanthus niruri L. Centela asiatica L. (Urb.) Mikania micrantha H.B.K. Commelina nudiflora L. Rottboellia grandulosa Trin. Total
II
III
IV *
Lokasi V VI * *
Total VII *
VIII * *
IX * *
*
*
*
* * *
* * * *
*
*
* *
* *
* *
* * * * * *
* * *
*
*
* *
* *
* *
*
*
* *
* *
* *
* *
* *
*
*
*
7
*
*
5
3
8
8
* *
* *
*
9
8
10
* * * 10
5 3 1 2 1 4 3 1 2 3 5 2 5 2 4 7 3 1 4 2 3 4 1 68
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis-jenis hijauan pakan yang dijumpai tersebar pada lokasi yang berbeda-beda. Beberapa jenis hanya ditemukan di bawah tegakan di dalam areal penangkaran saja seperti Calliandra callothyrsus, Melastoma polyanthum, Clidemia hirta, dan Lycopodium cernuum. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan IPB & Dephut (1999), yang juga menemukan Melastoma polyanthum dan Lycopodium cernuum di bawah tegakan pohon di HP Dramaga. Diduga jenis-jenis tersebut merupakan jenis yang dapat beradaptasi pada lingkungan dengan tingkat cahaya rendah. Sebaliknya, beberapa jenis lain seperti Kyllingia monocephala, Imperata cylindrica, Mimosa pudica, dan Commelina nudiflora hanya dijumpai pada lokasi yang tidak ternaungi atau areal terbuka. Jenis-jenis tersebut umum dijumpai pada tempat terbuka dengan tingkat cahaya tinggi (Steenis 2006). Jenis hijauan yang ditemukan pada lokasi pengamatan termasuk dalam daftar 60 jenis hijauan yang dikonsumsi rusa timor sebagaimana yang dikelompokkan oleh Semiadi (2006). Beberapa diantaranya adalah Ageratum conyzoides, Axonopus compressus, Imperata cylindrica, Panicum spp, Setaria
38 spp, Caliandra callothyrsus, Mimosa pudica, Oxalis corniculata, Piper aduncum, Lycopodium cernuum, dan Polygala paniculata. Hasil ini diperkuat dengan hasil penelitian Witchatitsky et al. (2005), yang menemukan beberapa jenis hijauan seperti Imperata cylindrica, Ageratum conyzoides, dan beberapa jenis dari jenis Carex sp., Kyllingia sp., dan Lycopodium sp. pada rumen rusa timor. Keberadaan jenis-jenis hijauan pakan tersebut sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pakan bagi rusa timor. Berdasarkan kondisi areal yang sebagian berupa tegakan pohon, maka perlu adanya pengelolaan jenis hijauan pakan. Moser et al. (2006) menyatakan bahwa pengelolaan tumbuhan sumber pakan bertujuan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hijauan yang dapat diperoleh dengan memperbesar ruang masuknya cahaya matahari pada areal berhutan dengan cara membuka sebagian kanopi pohon. 5.2 Produktivitas dan Ketersediaan Hijauan Pakan Produktivitas hijauan pakan potensial diketahui melalui pemanenan hijauan pakan sebanyak 3 kali dengan interval waktu pemotongan 20 hari pada 45 plot pengamatan berukuran 1 m x 1m yang tersebar pada sembilan lokasi. Hampir seluruh areal penangkaran dapat diakses oleh rusa untuk mendapatkan hijauan pakan. Namun demikian, hijauan yang ada tidak seluruhnya tersedia bagi rusa. Menurut Brown (1954) sebagian hijauan yang dapat dikonsumsi rusa disebut sebagai proper use. Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya nilai proper use, diantaranya topografi, kondisi tanah, jenis tanaman, jenis satwa, tingkat kesuburan suatu jenis pakan, dan keadaan musim. Berdasarkan perilaku rusa timor dalam memakan hijauan di alam, yang teramati saat kunjungan ke beberapa penangkaran, tidak semua bagian hijauan dikonsumsi oleh rusa. Hanya sekitar 70% dari keseluruhan bagian hijauan yang dikonsumsi oleh rusa. Bagian tanaman yang dapat dimakan tersebut merupakan proser use, yang dalam penelitian ini disebut
sebagai
faktor
konsumsi.
Dengan
demikian
dalam
pendugaan
produktivitas hijauan yang langsung diperoleh rusa, berlaku asumsi bahwa proporsi bagian rumput dan hijauan yang efektif dikonsumsi oleh rusa adalah sebesar 70%.
Sedangkan untuk produktivitas hijauan yang disediakan oleh
manusia, asumsi faktor konsumsi tidak berlaku.
39 Selain mempertimbangkan faktor konsumsi, produktivitas dihitung dengan mempertimbangkan musim hujan dan musim kemarau. Penentuan musim ini berdasarkan pada rata-rata bulan basah dan bulan kering selama tiga tahun, yaitu tahun 2005-2007 yang diperoleh dari Badan Meterologi dan Geofisika Dramaga Bogor. Rincian data curah hujan di sekitar kawasan Hutan Penelitian Dramaga disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan asumsi dan pertimbangan tersebut, diperoleh produktivitas hijauan dan ketersediaan pakan pada sembilan lokasi sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Produktivitas dan ketersediaan hijauan pakan rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga Lokasi
Tingkat cahaya harian (lux)
Produktivitas hijauan pakan (kg/ha/th) Berat segar
Di dalam areal penangkaran: I 4.638 1.513,48 II 2.567 1.257,62 III 5.718 502,22 IX 43.742 17.362,09 Di luar areal penangkaran: IV 11.332 7.413,68 V 12.806 5.413,97 VI 5.970 3.071,05 VII 15.116 4.256,71 VIII 36.327 12.390,98
Luas areal (ha)
Berat kering
Ketersediaan biomassa hijauan pakan (kg/th) Berat segar Berat kering
141,07 116,16 36,51 4.079,08
0,3 0,25 3,45 2,5
317,83 220,08 1.212,87 30.383,67
29,62 20,33 88,16 7.138,39
652,17 762,52 431,82 878,14 1.941,43
2 1,1 1,5 0,5 5
14.827,36 5.955,36 4.606,57 2.128,35 61.954,92
1.304,33 838,77 647,73 439,07 9.707,17
Tabel 3 menunjukkan bahwa produktivitas hijauan pakan tertinggi terdapat pada lokasi IX yaitu sebanyak 17.362,09 kg/ha/th berat segar atau setara dengan 4.079,08 kg/ha/th berat kering, sedangkan yang terendah pada lokasi III sebanyak 502,22 kg/ha/th berat segar atau setara dengan 36,51 kg/ha/th berat kering. Rendahnya produktivitas pada lokasi III diduga disebabkan oleh kondisi tumbuhan hijauan yang ternaungi oleh tegakan pohon sehingga kurang mendapat cahaya matahari untuk pertumbuhannya. Dugaan ini diperkuat dengan hasil pengukuran rata-rata tingkat cahaya yang sangat rendah pada lokasi III yaitu sebesar 5.718 lux. Kondisi yang berbeda terdapat pada lokasi VIII dan IX dimana nilai produktivitas hijauan relatif tinggi dibandingkan lokasi-lokasi lainnya. Kondisi lokasi yang berupa areal terbuka dengan rata-rata tingkat cahaya yang tinggi yaitu
40 masing-masing sebesar 36.327 lux dan 43.742 lux, diduga sangat mendukung pertumbuhan hijauan pakan. Sebaliknya, lokasi yang ternaungi kurang mendukung pertumbuhan hijauan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Deptan (2005) yang melaporkan bahwa semakin tinggi tingkat naungan maka produktivitas biomassa legum dan rumput semakin rendah. Perbandingan produktivitas pakan dengan tingkat cahaya harian pada setiap lokasi, disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Perbandingan produktivitas hijauan pakan dengan tingkat cahaya harian Nilai produktivitas hijauan pakan tertinggi pada lokasi IX sebanyak 17.362,09 kg/ha/th, lebih rendah dibandingkan nilai produktivitas hijauan pada beberapa tempat lain di Jawa Barat. Sebagai pembanding, produktivitas hijauan di penangkaran Rusa Perum Perhutani Jonggol di dalam kandang dengan pemagaran adalah sebanyak 4,95 g/m2/hari atau 18.067,5 kg/ha/th (Teddy 1998). Sedangkan produktivitas hijauan pakan di penangkaran Ranca Upas Bandung sebanyak 59,25 kg/ha/hari atau 21.626,25 kg/ha/th (Feriyanto 2002). Namun demikian, apabila dibanding dengan daerah Indonesia Timur dengan kondisi klimatologi yang berbeda, produktivitas hijauan di Hutan Penelitian Dramaga lebih tinggi. Hasil penelitian Kayat & Takandjandji (2003) di Bu’at, Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa produktivitas hijauan pakan rusa timor yang disukai adalah 969,5 kg/ha/bl atau sama dengan 11.634 kg/ha/th.
41 Produktivitas hijauan dan luas areal sangat menentukan ketersediaan pakan pada suatu areal. Apabila produktivitas hijauan pada dua lokasi relatif sama, namun luas areal berbeda, maka ketersediaan hijauan pakan akan lebih tinggi pada lokasi yang memiliki areal yang lebih luas. Tabel 3 menunjukkan bahwa walaupun produktivitas hijauan pakan pada lokasi IX paling tinggi, ketersediaan biomassa hijauan pakan tertinggi justru terdapat pada lokasi VIII yaitu sebanyak 61.954,92 kg/th. Hal ini disebabkan luas areal pada Lokasi VIII paling tinggi yaitu sekitar 5 hektar. Ketersediaan hijauan pakan terendah terdapat pada lokasi II yaitu sebanyak 220,08 kg/th. Berdasarkan rata-rata kadar biomassa hijauan di Hutan Penelitian Dramaga sebanyak 17,23%, maka ketersediaan hijauan pakan tertinggi dalam berat kering adalah 9.707,17 kg/th, dan terendah sebanyak 20,33 kg/th. Jumlah ketersediaan hijauan pakan di dalam areal penangkaran sebanyak 32.134,45 kg/th, dan di luar areal penangkaran sebanyak 89.472,56 kg/th. Sehingga total ketersediaan hijauan pakan areal pada Hutan Penelitian Dramaga adalah 121.607,01 kg/th atau setara dengan berat kering sebesar 20.213,57 kg/th. 5.3 Tingkat Konsumsi Tingkat konsumsi pakan yang dihitung dalam penelitian ini adalah tingkat konsumsi pakan harian yang menunjukkan banyaknya hijauan pakan yang dimakan oleh satu individu rusa untuk dapat beraktivitas. Rusa yang digunakan dalam pengamatan tingkat konsumsi mewakili jenis kelamin dan usia anak (< 2 tahun) dan dewasa (> 2 tahun). Rincian konsumsi pakan harian rusa timor disajikan pada Lampiran 4. Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian rusa timor selama tujuh hari pengamatan di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga disajikan pada Tabel 4.
42 Tabel 4 Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian empat individu rusa timor Rusa
Berat badan rusa (kg)
Rata-rata konsumsi (kgBB)
Kadar biomassa hijauan pakan (%)
Rata-rata konsumsi (kgBK)
Dewasa Anak Dewasa Anak Rata-rata (kg)
37,11 29,52 59,46 35,78 40,47
6,39 5,28 8,16 5,76 6,40
17,23 17,23 17,23 17,23 17,23
1,10 0,91 1,41 0,99 1,10
Proporsi rata-rata konsumsi (kgBB) per berat badan (%) Per Per jenis individu kelamin 17,22 17,55 17,89 13,72 14,86 16,10 16,15 16,15
Keterangan: BB = berat basah, BK = berat kering
Rata-rata tingkat konsumsi pakan harian rusa timor di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga sebesar 6,4 kgBB/individu/hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Teddy (1998) yang memperoleh rata-rata tingkat konsumsi harian sebanyak 5,88 kgBB/individu/hari. Tingginya tingkat konsumsi dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, perbedaan jumlah dan spesifikasi rusa yang digunakan. Teddy (1998) menggunakan dua ekor rusa dewasa yang jenis kelaminnya tidak diketahui, sedangkan pada penelitian ini menggunakan empat ekor rusa yang mewakili kelas umur anak dan dewasa serta jenis kelamin jantan dan betina. Kedua, perbedaan dugaan kandungan air pada hijauan di kedua tempat. Kandungan air hijauan di Hutan Penelitian Dramaga cukup tinggi yaitu 82,77%, sedangkan kadar biomassa hanya 17,23%. Untuk mendapatkan gambaran kadar biomassa yang dikonsumsi, maka tingkat konsumsi dapat dinyatakan dalam berat kering. Berdasarkan kadar biomassa hijauan pakan di HP Dramaga sebesar 17,23%, maka tingkat konsumsi rusa timor setara dengan 1,1 kgBK/individu/hari. Nilai yang diperoleh ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Garsetiasih et al. (2003) yaitu sebesar 1,08 kgBK/hari untuk tingkat konsumsi rumput dan daun nampong. Namun demikian jika dibandingkan hasil yang diperoleh Kii & Dryden (2005), nilai yang diperoleh lebih
rendah
yaitu
masing-masing
1,19
kgBK/individu/hari
kgBK/individu/hari untuk tingkat konsumsi dua jenis rumput pakan.
dan
1,17
43
Gambar 8 Kandang rusa dan tempat pakan pada pengamatan tingkat konsumsi di HP Dramaga Proporsi rata-rata tingkat konsumsi terhadap berat badan rusa timor adalah sebesar 16,15%. Nilai ini lebih rendah dari proporsi konsumsi rusa timor di alam sebagaimana diperoleh Hasiholan (1995), yaitu sebesar 19% dari berat badannya. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda antara lingkungan penangkaran dan lingkungan alam. Pada lingkungan alam, rusa memiliki ruang yang lebih luas untuk beraktivitas, sehingga kebutuhan energi lebih besar dan tingkat konsumsi lebih tinggi. Sebaliknya, di lingkungan penangkaran pergerakan rusa tidak sebebas di lingkungan alam sehingga kebutuhan energi dan tingkat konsumsi lebih rendah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lelono (2003) yang menunjukkan bahwa aktivitas utama pada rusa timor di penangkaran adalah aktivitas makan, kemudian disusul aktivitas istirahat, dan aktivitas lainnya. Selain itu, lebih rendahnya aktivitas rusa di penangkaran juga dapat mengakibatkan berat badan yang lebih besar dibandingkan berat badan rusa di alam, sehingga perbandingan tingkat konsumsi dengan badan badan yang lebih besar akan menghasilkan nilai proporsi yang lebih rendah. Proporsi rata-rata tingkat konsumsi terhadap berat badan pada rusa betina sebesar 17,55% lebih tinggi dibandingkan pada rusa jantan sebesar 14,86%. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi rusa jantan dewasa pada saat pengamatan yang sedang mengalami musim kawin, dan rusa jantan anak yang sedang mengalami pertumbuhan ranggah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lelono (2003) yang menunjukkan bahwa individu yang paling banyak beraktivitas adalah jantan dominan. Dalam kondisi tersebut, aktivitas rusa cenderung lebih aktif dan agresif, serta tingkat konsumsi menurun.
44 Berdasarkan
tingkat
konsumsi
pakan
harian
sebanyak
6,4
kgBB/individu/hari, maka kebutuhan pakan rusa timor selama setahun sebanyak 2.336 kg/individu/tahun. Kebutuhan konsumsi ini selanjutnya digunakan untuk menduga daya dukung habitat di Hutan Penelitian Dramaga. 5.4 Daya Dukung Habitat Daya dukung habitat merupakan sejumlah individu satwa yang dapat didukung oleh habitat tanpa menyebabkan kerusakan pada sumber daya (Bailey 1984). Dalam pengelolaan populasi rusa, daya dukung adalah jumlah maksimum rusa yang dapat didukung oleh areal tanpa menyebabkan kerusakan habitat (SRNF 2008). Daya dukung habitat dapat ditentukan berdasarkan pengukuran salah satu komponen penyusun habitat. Dalam dalam penelitian ini penentuan daya dukung didasarkan atas kebutuhan terhadap pakan, khususnya rumput dan hijauan. Berdasarkan kebutuhan konsumsi pakan rusa timor sebanyak 2.336 kg/individu/th dan ketersediaan hijauan pakan sebanyak 32.134,45 kg/ha, maka daya dukung habitat di dalam areal penangkaran seluas 4,7 hektar adalah 14 individu setiap tahun. Untuk areal di luar penangkaran yang terdapat hijauan pakan dengan ketersediaan sebanyak 89.472,56 kg/ha, maka daya dukung habitat adalah 38 individu setiap tahun pada areal seluas 11,9 hektar. Dengan demikian total daya dukung bagi rusa timor di areal Hutan Penelitian Dramaga adalah 52 individu setiap tahun untuk areal seluas 16,6 hektar. Daya dukung yang diperoleh ini merupakan daya dukung di HP Dramaga berdasarkan sembilan lokasi, yang mewakili lokasi di dalam areal penangkaran dan lokasi tempat pengambilan hijauan di luar areal penangkaran. Berdasarkan tiga sistem penangkaran yang digunakan, maka daya dukung di dalam areal penangkaran merupakan daya dukung untuk sistem ekstensif yaitu sebanyak 14 individu per tahun. Daya dukung di dalam dan di luar areal penangkaran merupakan daya dukung untuk sistem semi intensif, yaitu sebanyak 52 individu per tahun. Sementara daya dukung di luar penangkaran merupakan daya dukung untuk sistem intensif, yaitu sebanyak 38 individu per tahun. Daya dukung di di dalam dan di luar penangkaran dengan rata-rata sebesar 3,13 individu/ha, lebih rendah dibandingkan dengan daya dukung di penangkaran
45 Ranca Upas (3,7 individu/ha), penangkaran Taman Monas Jakarta (9 individu/ha), dan penangkaran Jonggol beserta kebun rumputnya (45,5 individu/ha) (Teddy 1998, Feriyanto 2002,
Hasnawati 2006). Rendahnya daya dukung di Hutan
Penelitian Dramaga diduga disebabkan oleh rendahnya produktivitas hijauan pakan, terutama di dalam areal penangkaran yang sebagian besar terletak di bawah tegakan pohon. 5.5 Analisis Populasi 5.5.1 Parameter Demografi Berdasarkan studi literatur terhadap hasil-hasil penelitian, jurnal ilmiah, dan laporan ilmiah yang relevan, maka diperoleh data dan informasi mengenai laju pertumbuhan, natalitas, dan mortalitas pada beberapa penangkaran rusa timor dengan sistem semi intensif di Propinsi Jawa Barat seperti disajikan pada Tabel 5. Pertimbangan dalam menggunakan data yang berasal dari wilayah Jawa Barat adalah kemiripan kondisi iklim setempat. Dasar dalam penetapan nilai laju pertumbuhan, natalitas, dan mortalitas dalam perhitungan kuota panenan adalah dengan merata-ratakan nilai yang diperoleh dari beberapa penangkaran di Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut, maka pada penelitian ini ditentukan laju pertumbuhan populasi rusa timor di penangkaran semi intensif sebesar 0,19, natalitas sebesar 0,33, dan mortalitas sebesar 0,15. Tabel 5 Parameter demografi populasi rusa timor pada beberapa lokasi penangkaran semi intensif di Jawa Barat Lokasi penangkaran Dramaga, Bogor Ranca Upas, Bandung Vedca, Cianjur Balapapat, Bogor Haurbentes, Bogor Taman Safari Indonesia, Cisarua Jonggol
Rata-rata Laju pertumbuhan 0,15
Natalitas
Mortalitas
Fekunditas
Sex rasio
Keterangan
0,15
0
-
1 : 1,5
0,10
-
0,05
-
1 : 2,5
0,21
-
-
-
1:4
0,24
-
-
-
1 : 1,67
0,16
-
-
-
1:1
0,18
0,33
0,15
0,9
1 : 1,8
0,22
-
-
0,59
1 : 1,3
Diolah dari berbagai sumber: pengamatan pribadi (2009), Kwatrina dan Takandjandji (2008), Setio (2007), Firmansyah (2007), Priyono (1997)
46 Data parameter demografi untuk sistem ekstensif dan intensif sangat terbatas.
Oleh
sebab
itu,
nilai
laju
pertumbuhan
ditetapkan
dengan
menganalogikan nilai laju pertumbuhan yang diperoleh dari literatur, serta nilai laju pertumbuhan terendah dan tertinggi pada sistem semi intensif yang diperoleh dari berbagai penangkaran, sehingga diperoleh nilai laju pertumbuhan untuk sistem intensif sebesar 0, 25 dan untuk sistem ekstensif sebesar 0,13. 5.5.2 Kuota Panenan Berdasarkan Break Even Point Penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga yang dikembangkan dengan tujuan menyediakan bibit rusa timor, memerlukan perencanaan pemanenan seperti target dan kuota panenan. Target pemanenan terkait dengan karakteristik panenan, sedangkan kuota panenan terkait dengan jumlah rusa yang akan dipanen. Kuota panenan dalam penelitian ini merupakan kuota panenan minimal yang ditetapkan dengan menggunakan analisis Break Event Point (BEP). Prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. Dalam konteks pengelolaan penangkaran rusa, penerimaan yang diperoleh dari penjualan produk harus sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengelola penangkaran. Kondisi ini tercapai apabila jumlah produksi minimal dapat terjual. Dengan demikian, pengelola harus menentukan jumlah penjualan minimal berupa kuota panenan minimal setiap tahun, sehingga kegiatan penangkaran dapat terus terselenggara. Penentuan BEP berdasarkan pada asumsi bahwa penangkaran rusa bertujuan menghasilkan bibit rusa timor untuk keperluan peningkatan jumlah populasi di habitat alamiah (restocking) dan memenuhi kebutuhan bibit rusa di unit-unit usaha penangkaran. Sehingga penentuan BEP hanya didasarkan pada penjualan satu jenis produk (single product) yaitu bibit rusa. Selain itu BEP ditentukan berdasarkan sistem penangkaran rusa yaitu sistem intensif, semi intensif dan ekstensif. Perbedaan sistem penangkaran akan menyebabkan perbedaan komponen biaya investasi. Asumsi dalam penetapan biaya investasi untuk masing-masing penangkaran tidak sama, karena mempertimbangkan kondisi wilayah Hutan Penelitian Dramaga. Untuk sistem ekstensif dan semi intensif diasumsikan bahwa
47 areal yang efektif digunakan sebagai areal penangkaran rusa adalah keseluruhan lokasi I, II, III, dan IX seluas ± 6,5 ha. Hal ini didukung oleh kondisi fisik kawasan berupa tegakan hutan dan areal terbuka yang memungkinkan kegiatan penangkaran dilakukan dengan sistem ekstensif dan semi intensif. Selain itu, sistem ekstensif dalam penelitian ini merupakan areal yang dikelilingi pagar, sehingga dalam komponen biaya investasi terdapat biaya pemagaran sekeliling areal penangkaran. Pemagaran ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Pada sistem semi intensif, selain pemagaran diasumsikan juga terdapat beberapa kandang intensif yang berfungsi untuk pemeliharaan satwa sakit, bunting, melahirkan, atau kondisi khusus lainnya. Untuk sistem intensif, areal yang digunakan lebih sempit dibandingkan sistem semi intensif dan ekstensif. Hal ini disebabkan oleh karakteristik kandang, berupa bangunan permanen dengan semua fasilitas pendukung di dalamnya, hanya dibangun pada sebagian areal penangkaran saja pada areal kurang dari 0,1 ha dengan kebun pakan seluas ± 3 ha. Terbatasnya areal yang digunakan tersebut dipengaruhi oleh kondisi dan peruntukan kawasan sebagai koleksi berbagai pohon, yang tidak memungkinkan pembangunan fisik bangunan pada sebagian besar areal tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam biaya investasi masing-masing sistem penangkaran. Rincian biaya investasi pada masing-masing sistem penangkaran disajikan pada Lampiran 7. Analisis BEP diperhitungkan berdasarkan biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan setiap tahun. Biaya tetap dalam pengelolaan penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendukung terselenggaranya kegiatan penangkaran tetapi tidak langsung berhubungan dengan volume penjualan. Komponen biaya tetap yang digunakan meliputi: biaya pemeliharaan bangunan dan alat, biaya operasional perkantoran dan kegiatan penangkaran, serta gaji dan upah karyawan. Komponen biaya pemeliharaan dan operasional ditetapkan berdasarkan biaya investasi. Dalam hal ini persentase biaya pemeliharaan diasumsikan sebesar 4% untuk pemeliharaan sarana, prasarana, dan fisik bangunan, serta 7% untuk pemeliharaan peralatan dan sarana nonfisik bangunan. Untuk biaya operasional dihitung tersendiri
48 berdasarkan kebutuhan setiap komponen untuk selanjutnya digabungkan dengan biaya pemeliharaan. Biaya variabel merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mendukung terselenggaranya kegiatan penangkaran dan langsung berhubungan dengan volume penjualan. Biaya variabel turut berubah jika terjadi perubahan volume penjualan. Komponen biaya variabel meliputi biaya pembelian pakan tambahan, konsentrat dan vitamin, biaya perawatan kesehatan dan obat-obatan, serta biaya penangkapan dan pengangkutan rusa. Rincian biaya tetap dan biaya variabel disajikan pada Lampiran 8-9. Berdasarkan biaya tetap, biaya variabel, dan harga jual, maka diperoleh kuota panenan pada masing-masing sistem penangkaran sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Biaya tetap, biaya variabel, dan kuota panenan rusa timor pada tiga sistem penangkaran Sistem penangkaran
Jenis Biaya Intensif Biaya Tetap (Rp/th)
Semi intensif
Ekstensif
185.238.831
167.123.486
114.302.236
Biaya Variabel (Rp/th)
6.680.100
2.446.500
147.000
Harga jual per individu (Rp.)
7.500.000
7.500.000
7.500.000
226
33
16
BEP/ Kuota panenan
Biaya tetap paling tinggi terdapat pada sistem intensif, dan terendah pada sistem ekstensif. Hal ini dapat dipahami karena pengelolaan yang semakin intensif membutuhkan komponen pengelolaan tertentu yang mengakibatkan tingginya biaya tetap. Biaya variabel dalam perhitungan ini merupakan biaya yang berhubungan langsung dengan segala keperluan yang dibutuhkan untuk memelihara satu individu rusa, sehingga perbedaan sistem penangkaran menyebabkan perbedaan besarnya biaya variabel pada masing-masing sistem. Biaya variabel pada sistem ekstensif merupakan yang terendah dibandingkan dua sistem lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya komponen biaya penyediaan atau pengolahan pakan pada sistem ekstensif, dimana seluruh kebutuhan pakan rusa diperoleh satwa dari areal penangkaran tanpa campur tangan manusia. Harga jual per individu rusa ditetapkan dengan mempertimbangkan harga jual rusa di pasaran. Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, harga jual satu individu berumur minimal satu setengah tahun berkisar antara Rp.
49 3.500.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,-. Bahkan untuk satu rusa betina dewasa dalam keadaan bunting ditawarkan dengan harga Rp. 15.000.000,-. Dalam perhitungan BEP ini digunakan harga jual Rp. 7.500.000,- dengan pertimbangan bahwa pada harga jual tersebut telah diperoleh sejumlah keuntungan. Berdasarkan hasil perhitungan BEP sebagaimana disajikan pada Tabel 6, maka diperoleh kuota panenan minimal pada ketiga sistem penangkaran masing-masing adalah 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Perbedaan BEP, yang merepresentasikan kuota panenan, pada ketiga sistem penangkaran selain ditentukan oleh biaya tetap juga ditentukan oleh unit contribution margin atau selisih antara harga jual dengan biaya variabel per unit produk pada masing-masing sistem penangkaran. Unit contribution margin menggambarkan besarnya kontribusi terhadap biaya operasional, sehingga semakin besar unit contribution margin maka semakin kecil nilai BEP (Martin et al. 1991). Dengan kata lain, semakin besar penerimaan maka semakin sedikit kuota panenan yang dapat ditetapkan. Pengaruh biaya tetap dan unit contribution margin terhadap nilai BEP diperkuat oleh hasil penelitian Teddy (1998) di penangkaran Jonggol yang menggunakan sistem semi intensif. Biaya yang digunakan adalah biaya tetap sebesar Rp. 86.836.000,- untuk areal seluas 3 ha, biaya variabel per unit sebesar Rp. 1.317.500,-, dan harga jual sebesar Rp. 1.750.000,-. Berdasarkan nilai-nilai tersebut maka BEP diperoleh pada nilai 201 individu. Nilai tersebut lebih besar dari nilai BEP pada penelitian ini yaitu 33 individu. 5.5.3 Ukuran Populasi Ukuran populasi dalam pengelolaan penangkaran merupakan banyaknya individu yang harus tersedia di penangkaran sehingga populasi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, serta kuota panenan yang ditetapkan dapat tercapai. Ukuran populasi dalam pengelolaan dengan tujuan pemanenan ini terdiri dari ukuran populasi pada saat pemanenan dan ukuran populasi awal pada saat penangkaran dimulai. Ukuran populasi pada saat pemanenan atau Nt merupakan banyaknya rusa yang harus tersedia pada saat pemanenan dilakukan, sedangkan
50 ukuran populasi awal atau N0 merupakan banyaknya rusa yang harus disediakan pada awal kegiatan penangkaran agar ukuran populasi pada saat pemanenan tercapai. Menurut Caughley (1977), pemanenan lestari (SY) diperoleh dengan memperhitungkan laju pemanenan (h) dan ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt), dengan menggunakan persamaan Syt = h.Nt. Laju pemanenan populasi (h) merupakan fungsi dari 1-e-r. Berdasarkan laju pertumbuhan eksponensial di penangkaran sistem semi intensif sebesar 0,19, pada sistem intensif sebesar 0,25, dan pada sistem ekstensif sebesar 0,13, maka laju pemanenan pada sistem semi intensif sebesar 0,173, pada sistem intensif sebesar 0,221, dan pada sistem ekstensif sebesar 0,122. Apabila kuota panenan (Qt) yang diperoleh dari perhitungan BEP merupakan representasi dari panenan lestari untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga, maka besarnya ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Nt = Qt/h. Berdasarkan kuota panenan pada masing-masing sistem penangkaran, maka diperoleh ukuran populasi pada saat pemanenan (Nt) sebesar 1022 individu pada sistem intensif, 191 individu pada sistem semi intensif, dan 131 individu pada sistem ekstensif. Agar ukuran populasi pada saat pemanenan tersebut tersedia dan target kuota panenan dapat tercapai, maka diperlukan sejumlah rusa pada awal kegiatan penangkaran yang dinyatakan sebagai ukuran populasi awal. Jumlah individu rusa timor yang harus disediakan pada awal kegiatan tersebut sangat tergantung pada waktu awal dimulainya kegiatan penangkaran. Ada beberapa pertimbangan dalam penetapan waktu awal kegiatan pemanenan, yaitu: a) sebagai satwa dilindungi, individu rusa yang dipanen merupakan keturunan kedua (F2) sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, b) tujuan pemanenan adalah untuk menghasilkan bibit rusa dalam kondisi siap bereproduksi, sehingga diutamakan bagi rusa yang telah melampaui usia dewasa kelamin. Beberapa literatur menyatakan bahwa umur dewasa kelamin pada rusa timor adalah 15 – 18 bulan. Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, umur perkawinan pertama (minimum breeding age) pada rusa timor jantan adalah 11 – 12,67 bulan, dan 10 – 15,25 bulan pada betina. Untuk wilayah Jawa, rusa jantan di penangkaran menampakkan sifat berahi pada umur 15 – 16 bulan, dan rusa
51 betina asal Jawa bunting pada umur 16-18 bulan. Rusa timor bunting selama 8,3 – 8,5 bulan (Semiadi 2006, Semiadi dan Nugraha 2004, Takandjandji et al. 1998). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka individu yang dipanen adalah individu keturunan kedua yang telah berumur 15 bulan. Pada umur 15 bulan, rusa telah dewasa kelamin dan memiliki peluang untuk menghasilkan keturunan dalam jangka waktu yang cukup lama. Dengan mempertimbangkan masa kebuntingan selama 8,5 bulan, maka rusa timor keturunan kedua yang telah berumur 15 bulan dapat dipanen minimal empat tahun setelah ukuran populasi awal tersedia. Ukuran populasi yang harus disediakan di awal kegiatan penangkaran tergantung pada waktu awal pemanenan. Hubungan waktu awal pemanenan dengan ukuran populasi awal pada tiga sistem penangkaran disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Hubungan waktu awal pemanenan dengan ukuran populasi awal berdasarkan sistem penangkaran Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin lama waktu dimulainya kegiatan pemanenan, semakin sedikit jumlah individu yang harus disediakan pada awal kegiatan penangkaran. Kecenderungan tersebut terlihat pada sistem intensif, semi intensif, dan ekstensif. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran populasi awal sangat ditentukan oleh waktu awal pemanenan. Selain ukuran populasi, nisbah kelamin populasi rusa sangat penting untuk mendapatkan struktur populasi yang seimbang dan dapat berkembang dengan baik. Menurut Semiadi & Nugraha (2004), imbangan kelamin pada satu kelompok
52 rusa tropis adalah dua pejantan untuk 12 – 20 individu betina. Bila sex rasio yang digunakan sebesar 1:5 pada ekstensif, 1:10 pada semi intensif, dan 1:20 pada intensif, maka dapat diketahui komposisi populasi rusa pada awal penangkaran. Berdasarkan waktu awal pemanenan dan sistem penangkaran, maka ukuran dan karakteristik populasi awal pada ketiga sistem penangkaran disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Ukuran populasi awal berdasarkan waktu awal pemanenan Waktu awal panenan 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sistem intensif Jantan Betina Total 18 358 376 14 279 293 11 217 228 8 170 178 7 131 138 5 103 108 4 80 84 3 62 65 2 49 51 2 38 40 1 30 31 1 23 24 1 18 19 1 14 15 1 10 11 0 9 9 0 7 7
Ukuran populasi Sistem semi intensif Jantan Betina Total 8 81 89 7 67 74 6 55 61 5 46 51 4 38 42 3 32 35 3 26 29 2 21 24 2 18 20 1 15 16 1 12 13 1 10 11 1 8 9 1 7 8 1 5 6 0 5 5 0 4 4
Sistem ekstensif Jantan Betina Total 13 65 78 11 57 68 10 50 60 9 44 53 8 38 46 7 34 41 6 30 36 5 26 31 5 23 28 4 20 24 4 17 21 3 16 19 3 14 16 2 12 14 2 11 13 2 9 11 2 8 10
Tabel 7 menunjukkan komposisi populasi pada tiga sistem penangkaran berdasarkan jenis kelamin dan nisbah kelamin. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa ukuran populasi awal dapat diperkecil dengan memperpanjang jangka waktu awal pemanenan. 5.5.4 Sensitivitas Ukuran Populasi Awal Secara Ekologi dan Ekonomi Sensitivitas dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan suatu variabel terhadap ukuran populasi awal. Analisis dibedakan atas sensitivitas secara ekologi yang diukur berdasarkan perubahan variabel laju pertumbuhan populasi, dan secara ekonomi yang diukur berdasarkan perubahan biaya operasional. Asumsi yang digunakan adalah laju pertumbuhan populasi dan biaya operasional dapat mengalami kenaikan dan penurunan sebesar 5%. Berdasarkan hal tersebut, maka dibuat empat (4) skenario yang menggambarkan kemungkinan
53 kenaikan dan penurunan kedua variabel. Pada analisis ini, dilakukan perhitungan terhadap ukuran populasi awal pada waktu awal pemanenan empat (4) tahun. Berdasarkan asumsi tersebut maka ukuran populasi awal pada masing-masing sistem penangkaran disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Sensitivitas ukuran populasi awal secara ekologis dan ekonomis Skenario
Sistem Intensif N0 (ind)
N0 (%)
Sistem Semi Intensif N0 (ind)
N0 (%)
Sistem Ekstensif N0 (ind)
N0 (%)
R dan C naik 5%
605
+60,90
84
-5,62
72
-7,69
R dan C turun 5%
279
-25,80
94
+5,62
79
+1,28
R naik 5%, C turun 5%
232
-38,30
80
-10,11
68
-12,82
R turun 5%, C naik 5%
730
+94,15
100
+12,36
84
+7,69
Keterangan: N0 = ukuran populasi awal, N0 = perubahan ukuran populasi awal; tanda (+/-) menunjukkan penambahan atau pengurangan, R = laju pertumbuhan populasi, C = biaya operasional
Hasil analisis menunjukkan bahwa sistem intensif lebih sensitif terhadap perubahan laju pertumbuhan populasi dan biaya operasional, dibandingkan sistem semi intensif dan ekstensif. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya perubahan ukuran populasi awal pada semua skenario yang berkisar antara 25,80 – 94,15%, sedangkan pada sistem semi intensif hanya berkisar antara 5,62 - 12,36%, dan sistem ekstensif antara 1,28 – 12,82%. Pada perubahan ukuran populasi awal tertinggi sebesar 94,15%, terlihat bahwa untuk setiap penurunan laju pertumbuhan populasi dan kenaikan biaya produksi masing-masing 1%, akan terjadi penambahan ukuran populasi awal sebesar 18,83%. Pada sistem intensif, perubahan biaya operasional lebih berpengaruh dibandingkan laju pertumbuhan populasi. Pengaruh tersebut bersifat satu arah, artinya kenaikan biaya operasional akan mengakibatkan penambahan ukuran populasi awal, dan sebaliknya. Pada saat biaya operasional naik 5% maka ukuran populasi awal yang harus disediakan menjadi lebih banyak walaupun pada saat yang sama terjadi kenaikan dan penurunan laju pertumbuhan populasi. Demikian juga pada saat biaya operasional turun 5%, maka ukuran populasi awal menjadi lebih sedikit walaupun pada saat yang sama terjadi kenaikan dan penurunan laju pertumbuhan populasi.
54 Tingginya sensitivitas pada sistem intensif ini diduga berkaitan dengan tingginya biaya operasional untuk menyelenggarakan penangkaran. Hal ini terlihat dari tingginya biaya tetap dan biaya variabel, sehingga perubahan sedikit saja dalam biaya operasional berdampak terhadap besarnya kuota panenan yang harus ditetapkan dan ukuran populasi awal yang harus disediakan. Sensitivitas pada sistem semi intensif dan ekstensif lebih rendah dibandingkan pada sistem intensif. Selain itu pada kedua sistem ini, laju pertumbuhan populasi lebih berpengaruh dibandingkan biaya operasional. Ukuran populasi awal akan turut mengalami kenaikan atau penurunan berdasarkan perubahan laju pertumbuhan populasi, walaupun pada saat yang sama terjadi perubahan pada biaya operasional. Pengaruh tersebut bersifat dua arah, artinya kenaikan laju pertumbuhan populasi akan mengakibatkan ukuran populasi awal menjadi berkurang, dan sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena perubahan laju pertumbuhan populasi akan mengakibatkan perubahan pada laju pemanenan, sehingga untuk mencapai kuota panenan tertentu maka ukuran populasi awal yang harus disediakan dapat bertambah atau berkurang sesuai dengan laju pemanenan populasi. Kecenderungan pengaruh laju pertumbuhan populasi tersebut hampir sama pada sistem semi intensif dan ekstensif. Selain itu perubahan ukuran populasi awal yang terjadi tidak terlalu besar atau melebihi 50%, melainkan hanya berkisar antara 1,28% - 12,82%. 5.6 Luas Areal Penangkaran Untuk
menjamin
keberhasilan
penangkaran
pada
setiap
sistem
penangkaran diperlukan areal yang memadai, terutama ditentukan oleh ukuran populasi awal. Semakin besar ukuran populasi awal semakin luas areal yang dibutuhkan. Untuk sistem semi intensif dan ekstensif, luas areal penangkaran ditentukan oleh produktivitas hijauan pakan. Semakin tinggi produktivitas hijauan pakan semakin sempit areal yang dibutuhkan. Produktivitas hijauan pakan pada sistem semi intensif merupakan produktivitas yang disediakan alam (di dalam areal penangkaran) dan yang disediakan manusia dengan sistem cut and carry (di luar areal penangkaran), sedangkan produktivitas hijauan pakan pada sistem ekstensif hanya merupakan produktivitas yang disediakan alam. Berdasarkan luas
55 pada setiap lokasi dan asumsi yang digunakan, maka rata-rata terboboti produktivitas hijauan pakan rusa timor pada sistem ekstensif adalah sebanyak 4.442,29 kg/ha/th, dan pada sistem semi intensif sebanyak 8.155,36 kg/ha/th. Untuk sistem intensif, kebutuhan terhadap pakan bukan merupakan faktor pembatas, karena seluruh kebutuhan pakan disediakan oleh manusia dari luar penangkaran. Faktor pembatas pada sistem intensif adalah kebutuhan terhadap ruang.
Semakin besar ukuran populasi awal maka semakin luas areal yang
dibutuhkan. Menurut Semiadi & Nugraha (2004) kebutuhan ruang untuk rusa betina dewasa adalah 1,75 – 2,25 m2 per individu, dan rusa jantan dewasa adalah 2,00 – 2,75 m2 per individu. Dalam perhitungan kebutuhan ruang pada sistem intensif di HP Dramaga ini digunakan kebutuhan ruang pada rusa jantan dewasa sebesar 2,75 m2 untuk menghitung kebutuhan semua rusa yang ada. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa penggunaan kebutuhan maksimal dapat mengantisipasi kebutuhan ruang untuk semua kelompok rusa jantan, betina dan anak. Berdasarkan ukuran populasi awal, produktivitas hijauan pakan, dan kebutuhan ruang per individu, maka dapat ditentukan kebutuhan areal penangkaran berdasarkan sistem penangkaran dan waktu awal pemanenan sebagaimana disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Luas areal penangkaran berdasarkan ukuran populasi awal dan waktu awal pemanenan Waktu Awal Panen (tahun)
Sistem Intensif N0 (ind)
Sistem Semi Intensif
A (ha)
N0 (ind)
A (ha)
Sistem Ekstensif N0 (ind)
A (ha)
4
376
0,1
89
31,87
78
51,27
8
138
0,04
42
15,04
46
30,24
12
51
0,01
20
7,16
28
18,40
16
19
0,01
9
3,22
16
10,52
20
7
0,002
4
1,43
10
6,57
Keterangan: N0 = ukuran populasi awal, A = luas areal penangkaran
Hasil perhitungan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa jika waktu awal pemanenan ditetapkan empat (4) tahun setelah awal penangkaran, maka luas lahan yang dibutuhkan pada sistem intensif untuk menampung 376 individu adalah seluas 0,1 ha. Pada sistem semi intensif, dibutuhkan areal seluas 31,87 ha untuk
56 menampung 89 individu, dan pada sistem ekstensif dibutuhkan areal seluas 51,27 ha untuk menampung 78 individu. Semakin lama waktu awal pemanenan dan semakin kecil ukuran populasi awal, maka semakin sempit areal yang dibutuhkan. Jika dihitung jumlah rusa yang dapat ditampung pada masing-masing areal penangkaran, maka diperoleh rata-rata kepadatan rusa pada sistem intensif sebanyak 3.634 individu/ha, pada sistem semi intensif sebanyak 2,8 individu/ha, dan pada sistem ekstensif sebanyak 1,5 individu/ha. Menurut Semiadi & Nugraha (2004) kepadatan rusa pada padang rumput yang subur (dengan sistem pedok atau sistem ekstensif/semi intensif) berkisar antara 12 – 15 individu/ha untuk rusa dewasa atau 15 – 20 individu untuk rusa remaja (< 2 tahun). Rendahnya rata-rata kepadatan rusa pada sistem semi intensif dan ekstensif di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga dapat disebabkan oleh rendahnya produktivitas hijauan pakan, sehingga jumlah rusa yang dapat ditampung sedikit. 5.7 Pemilihan Sistem Penangkaran Penangkaran rusa timor di Hutan Penelitian Dramaga memiliki areal seluas hampir tujuh hektar. Seluas lebih kurang empat hektar merupakan areal hutan, sedangkan sisanya merupakan areal terbuka. Pemilihan sistem penangkaran yang sesuai dengan kondisi areal Hutan Penelitian Dramaga sangat tergantung pada parameter-parameter yang telah dianalisis dalam penelitian ini, yaitu kondisi habitat, ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal serta luas areal yang tersedia. Pada sistem ekstensif, seluruh kebutuhan rusa diperoleh dari alam tanpa campur tangan manusia sehingga biaya tetap dan biaya variabel yang dibutuhkan untuk memproduksi satu individu sangat rendah, yaitu Rp. 147.000,-. Berdasarkan harga jual satu individu rusa sebesar Rp.7.500.000,- maka nilai margin atau selisih antara biaya produksi dengan harga jual menjadi sangat besar, sehingga break even point pada sistem ekstensif diperoleh pada penjualan atau kuota panenan sebesar 16 individu per tahun. Namun demikian walaupun nilai kuota panenan minimal dan ukuran populasi awal relatif rendah, luas areal yang dibutuhkan cukup luas. Hal ini disebabkan produktivitas hijauan sumber pakan pada areal penangkaran ekstensif sangat terbatas, yaitu hanya yang terdapat di dalam areal penangkaran. Berdasarkan daya tampung areal penangkaran pada
57 sistem ektensif sebesar 1,5 individu per hektar, akan berdampak pada luasnya areal yang dibutuhkan untuk menampung sejumlah besar rusa. Kondisi sebaliknya terdapat pada sistem intensif. Luas areal yang dibutuhkan sangat sempit sehingga daya tampung perhektar areal menjadi sangat besar yaitu 3.634 individu. Namun demikian untuk menyelenggarakan penangkaran dengan sistem intensif diperlukan dana yang sangat besar. Pada sistem intensif seluruh keperluan rusa disediakan oleh manusia sehingga dibutuhkan sejumlah komponen biaya tetap seperti pemeliharaan dan operasional kandang intensif dan sarana pengelolaan limbah, serta gaji petugas untuk menyuplai hijauan pakan. Selain itu, biaya variabel sangat tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi satu individu rusa adalah Rp. 6.680.100,-, sedangkan harga jual satu individu rusa adalah Rp. 7.500.000, sehingga margin yang diperoleh sangat rendah. Hal ini mengakibatkan kuota panenan minimal dan ukuran populasi awal menjadi sangat besar yaitu masing-masing 226 individu per tahun dan 1.022 individu. Kondisi ini dapat menjadi kendala bagi pengelola penangkaran, karena dibutuhkan dana yang sangat besar untuk menyediakan 1.022 rusa pada awal kegiatan penangkaran. Berdasarkan analisis sensitivitas, sistem intensif lebih sensitif terhadap perubahan
biaya
operasional.
Hal
ini
dapat
menjadi
kendala
dalam
menyelenggarakan penangkaran dengan sistem intensif karena pengelola harus menyediakan sejumlah besar rusa pada suatu waktu tertentu sebagai dampak dari kenaikan biaya operasional. Dibandingkan sistem intensif, pengelolaan dengan sistem semi intensif membutuhkan biaya yang lebih rendah, sehingga kuota panenan minimal dan ukuran populasi awal yang dapat ditetapkan menjadi lebih kecil. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis sensitivitas secara ekonomis yang menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas sistem semi intensif terhadap kenaikan biaya operasional, paling rendah. Berdasarkan besarnya dana yang dibutuhkan dan ukuran populasi awal yang harus tersedia pada sistem intensif, maka sistem ekstensif dan semi intensif lebih berpeluang diterapkan. Namun demikian penerapan sistem semi intensif dan ekstensif tersebut sangat tergantung pada produktivitas hijauan pakan, sehingga
58 peluang penerapan kedua sistem tersebut akan sangat besar apabila produktivitas hijauan pakan tinggi nilainya. Berdasarkan nilai rata-rata terboboti produktivitas hijauan pakan untuk sistem ekstensif sebesar 4.442,29 kg/ha/th, dan untuk sistem semi intensif sebesar 8.155,36 kg/ha/th, menyebabkan areal yang dibutuhkan menjadi sangat luas. Oleh sebab itu, untuk mempersempit kebutuhan areal penangkaran maka produktivitas hijauan pakan mesti ditingkatkan. Salah satu cara meningkatkan produktivitas adalah dengan menanam rumput jenis unggul dan pemupukan. Mulia (1992) melaporkan bahwa pemupukan pada lima jenis rumput unggulan dengan mengunakan pupuk kandang sebanyak 1.000 kg/ha, TCP 80 kg/ha, urea 200 kg/ha, dan KCl 80 kg/ha, dapat meningkatkan produktivitas rata-rata sebesar 287%. Berdasarkan hal tersebut, jika dilakukan pembinaan habitat sebesar 75% pada areal yang terdapat di dalam dan di luar penangkaran, maka produktivitas hijauan pakan pada sistem semi intensif dan ekstensif dapat ditingkatkan masing-masing menjadi 17.554,41 kg/ha/th dan 9.562,03 kg/ha/th. Luas areal yang dibutuhkan pada kondisi awal tanpa pembinaan dan dengan pembinaan 75% pada sistem semi intensif dan sistem ekstensif disajikan pada Gambar 10.
Keterangan: A0 = luas areal sebelum pembinaan pada sistem semi intensif; A75% = luas areal setelah pembinaan 75% pada sistem semi intensif; B0 = luas areal sebelum pembinaan pada sistem ekstensif; B75% = luas areal setelah pembinaan 75% pada sistem ekstensif
Gambar 10 Pengaruh pembinaan habitat terhadap luas areal penangkaran berdasarkan tahun awal pemanenan dan sistem penangkaran
59 Pada Gambar 10 terlihat bahwa pembinaan habitat dengan cara pemupukan pada 75% luas areal, dapat meningkatkan produktivitas hijauan pakan sehingga luas areal yang dibutuhkan menjadi lebih sempit.
Kecenderungan
penurunan luas areal terdapat sistem penangkaran semi intensif maupun sistem ekstensif, dimana pembinaan habitat dapat menurunkan kebutuhan areal sebesar ± 53% dari luas areal sebelum pembinaan. Jika dibandingkan kebutuhan areal pada sistem kedua sistem, maka kebutuhan areal pada sistem semi intensif lebih sedikit dibandingkan sistem ekstensif. Salah satu keterbatasan pada sistem ekstensif dalam upaya pemenuhan kebutuhan pakan adalah ketersediaan pakan hanya terbatas pada hijauan pakan yang terdapat di dalam areal penangkaran. Pengelola hanya dapat melakukan pembinaan habitat di dalam areal penangkaran, namun tidak dapat menambah sumber pakan lain dari luar areal penangkaran. Selain itu, sistem ekstensif sensitif terhadap perubahan laju pertumbuhan populasi. Hal ini dapat menjadi kendala dalam upaya peningkatan laju pertumbuhan karena terbatasnya campur tangan manusia dalam pengelolaan populasi. Upaya yang dapat dilakukan terbatas pada pengaturan nisbah kelamin, komposisi umur, dan pembinaan habitat. Sebaliknya pada sistem semi intensif, pengelolaan populasi dan pembinaan habitat dapat dilakukan secara lebih intensif dibandingkan sistem ekstensif. Pengelola dapat menyediakan sumber pakan dari luar areal penangkaran yaitu kebun pakan dengan cara cut and carry, sehingga ketersediaan hijauan pakan dan laju pertumbuhan dapat ditingkatkan. Dengan mempertimbangkan biaya operasional, kuota panenan, ukuran populasi awal, kebutuhan areal penangkaran, serta sensitivitas secara ekologis dan ekonomis, maka sistem semi intensif dapat dipilih sebagai sistem yang sesuai untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga. 5.8 Spesifikasi dan Perkembangan Populasi Awal Pada Sistem Penangkaran Terpilih Keberhasilan pengelolaan rusa dalam penangkaran, sangat ditentukan oleh keberhasilan pengelolaan habitat serta
pengelolaan populasi (Harwell 1994,
Evans et al. 1999). Dalam pengelolaan populasi, individu-individu yang harus disediakan pada sistem penangkaran terpilih, yaitu sistem semi intensif, tidak dibentuk dari kelas umur yang sama melainkan dari jenis kelamin dan kelas umur
60 yang berbeda. Alasannya adalah kecilnya kemungkinan menyediakan sejumlah rusa yang memiliki umur sama pada suatu waktu tertentu. Berdasarkan hal tersebut, ukuran populasi awal berdasarkan perbandingan nisbah kelamin 1: 10 dan kelas umur (anak, muda/remaja, dan dewasa) disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kelas umur individu awal pada sistem terpilih (semi intensif) Kelas Umur (th)
Selang Umur (th)
Jantan
Betina
Jumlah
0-2
2
2
22
24
2–5
3
3
32
35
5 - 10
5
3
27
30
8
81
89
Total
Pembagian kelas umur yang digunakan adalah kelas umur anak (0 – 2 th), kelas umur
muda/remaja (2 – 5 th), dan kelas umur dewasa (5 – 10 th).
Berdasarkan selang umur pada setiap kelas umur maka jumlah individu terbanyak terdapat pada kelas umur anak, selanjutnya kelas umur muda/remaja dan kelas umur dewasa. Untuk menduga perkembangan populasi awal berdasarkan umur dan jenis kelamin maka dibuat spesifikasi umur pertahun. Waktu awal pemanenan yang digunakan dalam pendugaan ini adalah empat (4) tahun dengan ukuran populasi sebanyak 89 individu. Ada beberapa asumsi yang digunakan yaitu, rata-rata kehamilan 76%, rata-rata kelahiran hidup 89%, nisbah kelamin anak yang lahir 1: 1,17, peluang hidup kelas umur anak jantan 63%, anak betina 87%, muda/remaja jantan 82%, muda/remaja betina 94%, dewasa jantan 91%, dewasa betina 96%. Untuk menduga perkembangan sampai kelas umur tua, digunakan peluang hidup tua jantan dan betina masing-masing sebesar 69%. (Lebel et al. 1997, Auliyani 2006). Berdasarkan asumsi tersebut maka perkembangan populasi awal disajikan pada Tabel 11.
61
Tabel 11. Perkembangan populasi awal rusa timor sampai tahun ke 5 Kelas Umur
Tahun 0
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
(tahun)
Sebelum panen
Tahun 5
Setelah panen
Sebelum panen
Setelah panen
0
0
5
22
26
23
27
26
30
28
33
28
33
29
34
29
34
1
1
8
0
4
14
23
14
22
16
26
3
7
18
28
3
10
2
1
9
1
7
0
4
9
13
9
19
9
19
2
6
2
6
3
1
11
1
10
1
7
0
4
7
12
7
12
7
18
7
18
4
1
11
1
10
1
8
0
6
0
3
0
3
6
11
6
11
5 6 7 8
1 1 1 1
10 10 9 4
1 1 1 1
10 10 10 9
1 1 1 1
10 10 9 9
1 1 1 1
7 9 10 9
0 1 1 1
6 7 9 9
0 1 1 1
6 7 9 9
0 0 0 1
3 6 7 9
0 0 0 1
3 6 7 9
9 10 11 12
0 0
3 1
1 0 0
4 3 1
1 1 1 0
8 4 2 0
1 1 1 0
9 8 3 1
1 1 1 0
8 8 5 2
1 1 1 0
8 8 5 2
1 1 0 0
9 8 6 4
1 1 0 0
9 8 6 4
Jumlah
8
81
29
102
43
120
54
131
65
149
52
130
65
149
50
131
Total Keterangan:
89 0-2 th 2-5 th 5-10 th 10-12 th
131 = kelas umur anak = kelas umur dewasa = kelas umur tua = kelas umur lanjut
163
185
214
182
214
181
= individu keturunan 1 (F1) = individu keturunan 2 (F2)
61
62 Perkembangan individu pada Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata kehamilan induk dan kelahiran anak yang tinggi (76% dan 89%), serta nisbah kelamin anak yang dilahirkan (1:1,17) mengakibatkan terjadinya pergeseran nisbah kelamin dari 1:10 menjadi 1:3,5 sampai 1: 2,29. Nisbah kelamin jantan dan betina pada kelas umur anak menjadi semakin sempit dan kecenderungan tersebut berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan adanya kecenderungan tersebut maka nisbah kelamin pemanenan tidak dapat melebihi nisbah kelamin populasi. Pada saat pemanenan dilakukan pada tahun keempat dan kelima, nisbah kelamin pemanenan adalah sebesar 1:1,46 dan 1:1,2. Pemanenan tersebut menyebabkan populasi yang tersisa memiliki nisbah kelamin 1:2,29. Menurut Evans et al. (1999) yang membahas mengenai pemanenan populasi untuk tujuan perburunan,
bahwa
apabila
pemanenan
populasi
bertujuan
untuk
menyeimbangkan rusa induk maka nisbah kelamin buru yang umum digunakan adalah mendekati 1:1, sedangkan apabila bertujuan untuk mencapai kualitas populasi maka nisbah kelamin rusa buru tidak boleh melebihi 1:3. Jika populasi awal yang digunakan merupakan individu induk (F0), maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 8 Tahun 1999 pasal 11, maka pemanfaatan untuk tujuan perdagangan mulai dapat dilakukan terhadap individu generasi kedua dan seterusnya. Pada tabel 11 terlihat bahwa individu keturunan kedua (F2) terdapat pada tahun ketiga. Namun demikian, berdasarkan usia minimal panenan 15 bulan, maka individu keturunan kedua tersebut belum dapat dipanen karena masih berumur 0 sampai 1 tahun.
Individu-individu tersebut
mulai dapat dipanen pada tahun keempat sesuai dengan waktu awal pemanenan yang ditetapkan. Salah satu dampak dari pemanenan yang lebih awal (4 tahun) adalah individu yang dapat dipanen terbatas pada individu-individu kelas umur anak. Penyebabnya adalah pada tahun keempat individu-individu keturunan kedua (F2) belum mencapai kelas umur muda/remaja. Apabila pemanenan selalu dilakukan hanya pada kelas umur anak, dapat berdampak pada perkembangan populasi selanjutnya yang disebabkan minimnya kelas umur anak yang tersisa. Pentingnya memperhitungkan kelas umur individu panenan untuk mengantisipasi dampak terhadap populasi yang tersisa dinyatakan oleh Collier & Krementz (2008), bahwa
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan dari kegiatan penelitian ini adalah: 1.
Kuota panenan minimal pertahun di penangkaran Hutan Penelitian Dramaga adalah 226 individu pada sistem intensif, 33 individu pada sistem semi intensif, dan 16 individu pada sistem ekstensif. Waktu awal pemanenan berdasarkan target panenan berupa rusa timor keturunan kedua berumur minimal 15 bulan adalah minimal empat (4) tahun setelah populasi awal tersedia. Ukuran populasi awal yang harus tersedia pada waktu awal pemanenan minimal empat tahun adalah 376 individu pada sistem intensif, 89 individu pada sistem semi intensif, dan 78 individu pada sistem ekstensif.
2.
Sistem penangkaran yang dipilih untuk penangkaran Hutan Penelitian Dramaga berdasarkan ketersediaan hijauan pakan, kuota panenan, ukuran populasi awal, luas areal, dan sensitivitas secara ekologi dan ekonomi adalah sistem semi intensif.
6.2 Saran Untuk kegiatan penangkaran dengan sistem dan kondisi yang berbeda, maka kuota panenan minimal dapat ditentukan dengan cara modifikasi dan penyesuaian terhadap komponen dan biaya penangkaran berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia.
63 ketidakpastian dalam memperhitungkan kelas umur individu panenan akan berdampak terhadap struktur populasi setelah pemanenan. Kriteria pemanenan yang sangat selektif dapat berakibat terjadi perubahan struktur populasi seperti kecenderungan menumpuk atau berkurangnya kelas umur tertentu. Oleh sebab itu, pemanenan sebaiknya tidak hanya dilakukan pada salah satu kelas umur saja melainkan tersebar pada kelas umur lainnya, serta direncanakan dengan baik agar populasi dapat terus berkembang. Untuk mencapai kondisi tersebut, peluang hidup dan kematian masingmasing kelas umur yang berbeda-beda dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan proporsi pemanenan pada masing-masing kelas umur. Sebagaimana dinyatakan oleh Yamauchi et al. (1997) bahwa secara analisis numerik, pemanenan yang optimal sangat tergantung pada nilai kematian dan nilai ekonomi sumber daya.
Selanjutnya, menurut Harwell (1994), untuk pengelolaan
manajemen populasi rusa selanjutnya dapat dilakukan beberapa strategi dasar diantaranya (1) nisbah kelamin yang diinginkan harus tercapai, (2) laju pemanenan harus dipertahankan agar struktur umur yang diinginkan dapat tersedia pada saat pemanenan, dan (3) pertimbangan dalam pemanenan rusa jantan dewasa sebagai bagian dari kuota panen harus tercakup dalam program pengelolaan.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Auliyani D. 2006. Pendugaan model pertumbuhan dan penyebaran spasial populasi rusa timor (Cervus timorensis de Blainville, 1822) di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: Wiley. Bemmel ACV. 1949. Revision of the Rusine deer in Indo-Australian Archipelago. In: T Schroder. 1976. Deer In Indonesia. Wageningen: Nature Conservation Department, Agricultural University. Berry T. 2003. Break Even Analysis. http://www.businessknowhow.com/startup/ break-even.htm. [9 Jul 2009]. Brown D. 1954. Methods of Surveying and Measuring Vegetation. Bull. In: Susetyo. 1980. Padang Penggembalaan. Bogor: Fakultas Peternakan IPB. Adams L. 1971. Using Computers In Wildlife Management. In: HS Alikodra. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Anderson TE. 1971. Identifying, Evaluating, and Controlling Wildlife Damage. In: HS Alikodra. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Caughley G. 1976. Wildlife Management and the Dynamic of Ungulate Population In: CJ Krebs. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper. Caughley G. 1977. Analysis of Vertebrate Populations. John Wiley & Sons. [CCM] Conservation Comission of Missouri. 2008. Managing Deer Population. http://mdc.mo.gov/nathis/mammals/deer/populat.htm. [9 Nop 2008]. Chardonnet P, B des Clers, J Fischer, R Gerhold, F Jori and F Lamarque. 2002. The Value of Wildlife. Rev Sci Tech 21(1):15 – 51. Collier BA and DG Krementz. 2008. Uncertainty in age-spesific harvest estimates and consequences for white-tailed deer management. Ecol Model 201:194204. [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Dinamika lengas tanah dan produktivitas biomassa beberapa hijauan pakan. http://ntb.litbang. deptan.go.id/ 2005/sp.htm. [3 Agu 2009] Drajat AS. 2002. Satwa Harapan (Rusa Indonesia). Mataram: Mataram University Press.
67 Evans JE, WN Grafton and TR McConnell. 1999. Fundamentals of deer harvest management. Publication No. 806. Wildlife Resources Section West Virginia Division of Natural Resources. West Virginia University. http://www.deer management.pdf. [07 Apr 2008]. FeedBurner. 2008. Introduction to Break Even Analysis. http://www.tutor2u.net/ business/production/break_even.htm. [9 Jul 2009]. Feriyanto. 2002. Pengelolaan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) di Ranca Upas KPH Bandung Selatan PT. Perhutani Unit III Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Garsetiasih R. 2000. Bioekologi rusa timor dan peluang pengembangan budidayanya. Bul Kehutanan dan Perkebunan 1:21–32. Garsetiasih R, NM Heriyanto, dan J Atmaja. 2003. Pemanfaatan Dedak Padi Sebagai Pakan Tambahan Rusa. Bul Plasma Nutfah 9(2): 23-27. Garsetiasih R dan M Takandjandji. 2006. Model penangkaran rusa. Dalam: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose HasilHasil Penelitian; Padang 20 September 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Handarini R, WMM Nalley, G Semiadi, S Agungpriyono, Subandriyo, B Purwantara dan MR Toelihere. 2004. Penentuan masa aktif reproduksi rusa timor jantan (Cervus timorensis) berdasarkan kualitas semen dan tahap pertumbuhan ranggahnya. Dalam: Teknologi Peternakan dan Veteriner Iptek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding Seminar Nasional; Bogor 4-5 Agustus 2004. Bogor: Puslitbang Peternakan. Harwell F. 1994. Harvest: An essenstial strategy for white-tailed deer management. http://www.tpwd.state.tx.us 07-04.pdf. [07 Apr 2008]. Hasiholan W. 1995. Daya dukung habitat dan penentuan target pemanenan satwa buru Cervus timorensis de Blainville di Taman Buru Pulau Moyo [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasnawati. 2006. Analisis populasi dan habitat sebagai dasar pengelolaan rusa totol (Axis axis) di Taman Monas Jakarta [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Home JCV and JM Wachowicz. 1995. Fundamentals of Financial Management. 9th Edition. New Jersey:Prentice-Hall Incorporated. [IPB dan Dephut] Institut Pertanian Bogor dan Departemen Kehutanan. 1999. Design Engineering Pengelolaan Kebun Percobaan Darmaga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Iqbal A. 2004. Analisis daya dukung habitat dan model dinamika populasi rusa bawean (Axis kuhlii) di Suaka Margasatwa Pulau Bawean [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
68 [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resource. 2008. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org. [13 Mei 2009] Kayat dan M Takandjandji. 2003. Analisis vegetasi dan produktivitas pakan pada areal mini ranch rusa timor (Cervus timorensis timorensis) di Bu’at, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Bul Penelitian Hutan 643: 1 – 13. Kii YW and GM Dryden. 2005. Water consumption by rusa deer (Cervus timorensis) stags as influence by different types of food. Anim Science 80(1): 83-88. Krebs JC. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper. Kwatrina RT dan M Takandjandji. 2008. Penangkaran Rusa Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Laporan Lapangan Manajamen Perburuan Satwaliar. Bogor: Mayor Konservasi Biodivesitas Tropika Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lelono A. 2003. Pola aktivitas harian individual rusa (Cervus timorensis) di penangkaran. J Ilmu Dasar 4(1): 48 – 53. Lebel S, M Salas, P Chardonnet and M Bianchi. 1997. Rusa deer (Cervus timorensis russa) farming in New Caledonia: Impact of feed levels on herd breeding weight and performance of new born fawn. Aust Vet J 75:199 – 203. Martin JD, JW Petty, AJ Keown and DF Scott. 1991. Basic Financial Management. 5th Edition. New Jersey: Prentice-Hall Incorporated. Moser B, M Schutz, KE Hinderlang. 2006. Importance of alternative food resources for browsing by roe deer on decidous trees: The role of food availability and species quality. Forest Ecol Mgmt 226:248-255. Mukhtar AS. 1996. Studi dinamika populasi rusa (Cervus timorensis de Blainville) dalam menunjang manajemen Taman Buru Pulau Moyo, Propinsi Nusa Tenggara Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mulia B. 1992. Pengaruh pemupukan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan lima jenis rumput pakan rusa di Kebun Percobaan IPB Darmaga [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mysterud AM, EL Meisingset, V Veiberg, R Langvatn, EJ Solberg, LE Loe and NC Stenseth. 2007. Monitoring population size of red deer Cervus elaphus: an evaluation of two types of census data from Norway. Wildl Biol 13:285– 296. Nurilaini R, O Jamnah, M Adnan, CM Zaini, S Khadijah, A Raffah and R Chandarawathani. 2007. Mortality of domesticated java deer attributed to Surra. Trop Biomed 24:67–70. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. San Francisco: Freeman.
69 Prasetyohadi D. 1986. Telaahan tentang daya dukung padang rumput di Suaka Margasatwa Pulau Moyo sebagai habitat rusa (Cervus timorensis) [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Priyono A. 2007. Pendekatan ekologi dan ekonomi dalam penataan kawasan buru rusa sambar: Studi kasus Taman Buru Gunung Masigit-Kareumbi [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Priyono A. 1997. Analisis pertumbuhan populasi rusa jawa (Cervus timorensis de Blainville) di Taman Safari Indonesia-Cisarua, Bogor. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Institut Pertanian Bogor. Ratag ESA. 2006. Kajian ekologi populasi rusa sambar (Cervus timorensis) dalam pengusahaan Taman Buru Gunung Marsigit Kareumbi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Reyes E. 2002. Rusa timorensis. Animal Diversity Web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Rusa_tim orensis.html. [3 Mei 2009]. Schroder T. 1976. Deer In Indonesia. Wageningen: Nature Conservation Department, Agricultural University. Semiadi G. 2006. Biologi Rusa Tropis. Cibinong: Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Semiadi G, IGMJ Adhi dan A Trasodiharjo. 2005. Pola kelahiran rusa sambar (Cervus unicolor) di penangkaran Kalimantan Timur. Biodiversitas 6:59-62. Semiadi G dan RTP Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Semiadi G. 2002. Potensi Industri peternakan Rusa Tropik dan Non Tropik. Di dalam: Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Prosiding Seminar; Bogor 5 Februari 20026. Bogor: Lembaga Penelitian IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kehutanan. Setio P. 2007. Penelitian penangkaran satwa langka bernilai ekonomis di Jawa. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Sharkey MJ. 1970. The carrying capacity of natural and improved land in different climatic zones. In: CJ Krebs. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper. Sody HJV. 1940. Voortplantingstijden der Javaanse zoogdieren. In: T Schroder. 1976. Deer In Indonesia. Wageningen: Nature Conservation Department, Agricultural University. Soerianegara I dan A Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Solihati E. 2007. Keragaman jenis burung di Hutan Penelitian Dramaga Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen
70 Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. [SRNF] Samuel Roberts Noble Foundation. 2008. White-Tailed Deer: Their Foods and Management In the Cross Timbers. http://www.noble.org/Ag/ Wildlife/DeerFoods/HabitatMngt.html [20 Agu 2009]. Sumanto. 2006. Perencanaan penangkaran rusa timor (Cervus timorensis de Blainville) dengan sistem farming: Studi kasus di penangkaran Rusa Kampus IPB Darmaga [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suita E dan AS Mukhtar. 2002. Kebutuhan daging rusa di beberapa restoran di Jakarta. Di dalam: Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. Prosiding Seminar; Bogor 5 Februari 20026. Bogor: Lembaga Penelitian IPB, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Departemen Kehutanan. Syarief A. 1974. Kemungkinan Pembinaan dan Pembiakan Rusa di Indonesia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Steenis CGGJ. 2006. Flora: Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita Takadjandji M, N Ramdhani dan M Sinaga. 1998. Penampilan Reproduksi Rusa Timor (Cervus timorensis) di Penangkaran. Bul BPK Kupang 13(1): 11 – 24. Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Penerbit IPB. Teddy. 1998. Analisis faktor-faktor penentu keberhasilan usaha penangkaran rusa: Studi kasus di penangkaran rusa Perum Perhutani [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Trenkel VA, DA Elston and ST Buckland. 2000. Fitting population dynamic models to count and cull data using sequential important sampling. J The Am Stat Ass 95. http://www.questa.com-googleshcolar.qst.htm. [30 Okt 2008]. Trepet S and T Eskina. 2007. Mechanism of changes in population numbers of caucasian red deer (Cervus elaphus moral) in Northwestern Caucasus. Russ J Ecol 38: 262–270. Wichatitsky MD, Y Soubeyran, D Maillard and P Duncan. 2005. The diets of introduced rusa deer (Cervus timorensis russa) in a native sclerophyl forest and a native rain forest of New Caledonia. New Zeal J Zool 32:117–126. Worlddeer. 2005. Sunda sambar or rusa deer Cervus timorensis. http://www. worlddeer.org/deerspesies.html. [3 Jun 2008]. Xu C, MS Boyce and DJ Daley. 2005. Harvesting in seasonal environment. J Math Biol 50: 663-682. Yamauchi A, Y Matsumiya, Y Iwasa. 1997. Optimal age-dependent sustainable harvesting of natural resouce populations: Sustainability value. Pop Ecol 39(2):139-148.
LAMPIRAN
72
Lampiran 1. Intensitas cahaya harian pada lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga
Lokasi I II III IV V VI VII VIII IX
Rata-rata pagi hari 716 1.316 840 4.567 6.927 2.153 10.683 20.957 27.233
Rata-rata siang hari 12.270 5.217 15.510 24.063 25.653 10.837 29.587 74.067 89.633
Rata-rata sore hari 929 1.169 802 5.367 5.837 4.920 5.077 13.957 14.360
Rata-rata harian 4.638 2.567 5.718 11.332 12.806 5.970 15.116 36.327 43.742
Keterangan: Data merupakan rata-rata intensitas cahaya selama tiga hari berturut-turut. Satuan = lux
73
Lampiran 2. Jenis-jenis tumbuhan bawah pada sembilan lokasi pengamatan di Hutan Penelitian Dramaga Nama lokal Spesies Mikania* Mikania micrantha H.B.K Keladian Colocasia esculentum Schoot. Kalanyar Cucumis sp. Badotan* Ageratum conyzoides L. Lampenas Lactuca indica L. Gewor* Commelina nudiflora I Teki* Kyllinga monocephala Rottb. Babawangan Scirpus erectus Poir. Kaliandra* Caliandra callothyrsus Benth. Kakacangan Centrocema pubescens Benth. Paku kawat* Lycopodium cernuum L. Harendong* Melastoma polyanthum L. Harendong bulu* Clidemia hirta L. Putri malu* Mimosa pudica L. Calincing* Oxalis corniculata L. Sesererehan* Piper aduncum L. Pandan Pandanus sp. Cacabean Piper retrofractum Vahl. Emprak Rhicardian brasiliensis Akar wangi* Polygala paniculata L. Paku besar Dryopteris iregularis L. Paku Dryopteris impressa Posth Aawian* Panicum montanum L. Sauheun* Setaria barbata Lam. Konth. Kipait* Axonopus compressus P.B. Sulanjana* Hierochloe horsfieldii Kunth. Maxim Alang-alang* Imperata cylindrica L. Beauv. Lameta* Leersia hexandra Swartz Rumput padi* Rottboellia glandulosa Trin Bayondah* Isachne globosa Thunb. Ilat* Carex baccans Noes Jalantir Boreria hispida K. Schum. Hatta Gleichenia linearis Clarke Meniran* Phyllanthus niruri L. Antanan* Centela asiatica L.(Urb.) NN1 NN2 NN3 Keterangan: * = tumbuhan sumber pakan rusa timor
Famili Asteraceae Araceae Cucurbitaceae Compositae Compositae Commelinaceae Cyperaceae Cyperaceae Leguminosae Leguminosae Lycopodiaceae Melastomataceae Melastomataceae Mimosaceae Oxalidaceae Piperaceae Pandanaceae Polygonaceae Polygonaceae Polygalaceae Polypodiaceae Polypodiaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Poaceae Rubiaceae Gleicheniaceae Euphorbiaceae Umbeliferae
74
Lampiran 3. Indeks Nilai Penting Vegetasi tumbuhan bawah di Hutan Penelitian Dramaga Tabel 1. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi I No Jenis 1 Pteris ensiformis 2 Isachne globosa 3 Dryopteris iregularis 4 Leersia hexandra 5 Mikania micrantha 6 Centela asiatica 7 Astronia spectabilis 8 Clidemia hirta 9 Pandanus sp 11 Oxalis corniculata Jumlah
F 0,80 1,00 0,60 0,20 0,20 0,20 0,20 0,60 0,40 0,20 4,40
FR 18,18 22,73 13,64 4,55 4,55 4,55 4,55 13,64 9,09 4,55 100,00
K 17,00 27,00 3,80 0,80 0,20 0,40 0,20 1,80 0,60 0,20 52,00
KR 32,69 51,92 7,31 1,54 0,38 0,77 0,38 3,46 1,15 0,38 100,00
INP 50,87 74,65 20,94 6,08 4,93 5,31 4,93 17,10 10,24 4,93 200,00
Tabel 2. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi II No Jenis 1 Panicum montanum 2 Dryopteris impressa 3 Cucumis sp. 5 Isachne globosa 6 Leersia hexandra 7 Boreria hispida 8 Astronia spectabilis 9 Gleichenia linearis 10 Pteris ensiformis Jumlah
F 1,00 0,20 0,40 0,60 0,20 0,20 0,40 0,20 0,60 3,80
FR 26,32 5,26 10,53 15,79 5,26 5,26 10,53 5,26 15,79 100,00
K 12,40 0,20 0,60 2,20 0,40 0,20 0,60 0,20 2,00 18,80
KR 65,96 1,06 3,19 11,70 2,13 1,06 3,19 1,06 10,64 100,00
INP 92,27 6,33 13,72 27,49 7,39 6,33 13,72 6,33 26,43 200,00
Tabel 3. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi III No Jenis 1 Pteris ensiformis 2 Piper aduncum 3 Centela asiatica 5 Caliandra callothyrsus 6 Lactuca indica Jumlah
F 1,00 0,20 0,20 0,40 0,20 2,00
FR 50,00 10,00 10,00 20,00 10,00 100,00
K 1,60 0,80 0,20 0,80 1,00 4,40
KR 36,36 18,18 4,55 18,18 22,73 100,00
INP 86,36 28,18 14,55 38,18 32,73 200,00
75
Tabel 4. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi IV No Jenis 1 Setaria barbata 2 Piper retrofractum 3 Piper aduncum 4 Ageratum conyzoides 5 Lactuca indica 6 Mimosa pudica 7 Pteris ensiformis 8 Axonopus compressus 9 Panicum montanum 10 Oxalis corniculata 11 Rhicardian brasiliensis 12 Centrocema pubescens 13 Pandanus sp 14 Hierochloe horsfieldii 15 Colocasia esculentum Jumlah
F FR K KR INP 1,00 11,11 12,75 11,86 22,97 1,00 11,11 14,75 13,72 24,83 0,25 2,78 0,75 0,70 3,48 1,00 11,11 24,25 22,56 33,67 0,50 5,56 2,00 1,86 7,42 0,50 5,56 0,75 0,70 6,25 0,50 5,56 1,50 1,40 6,95 1,00 11,11 8,50 7,91 19,02 0,75 8,33 11,00 10,23 18,57 0,75 8,33 1,50 1,40 9,73 0,75 8,33 22,50 20,93 29,26 0,25 2,78 0,25 0,23 3,01 0,25 2,78 6,00 5,58 8,36 0,25 2,78 0,50 0,47 3,24 0,25 2,78 0,50 0,47 3,24 9,00 100,00 107,50 100,00 200,00
Tabel 5. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi V No Jenis 1 Panicum montanum 2 Scirpus erectus 3 Piper retrofractum 4 Rhicardian brasiliensis 5 Leersia hexandra 6 Axonopus compressus 7 Ageratum conyzoides 8 Setaria barbata 9 Oxalis corniculata 10 Phyllanthus niruri 11 Imperata cylindrica 12 Colocasia esculentum 13 NN1 Jumlah
F FR K KR INP 0,20 2,27 1,20 0,53 2,80 0,80 9,09 28,80 12,64 21,73 1,00 11,36 6,40 2,81 14,17 1,00 11,36 17,80 7,81 19,18 1,00 11,36 24,80 10,89 22,25 0,60 6,82 2,60 1,14 7,96 1,00 11,36 63,20 27,74 39,11 0,20 2,27 0,40 0,18 2,45 0,40 4,55 1,80 0,79 5,34 0,60 6,82 2,40 1,05 7,87 0,80 9,09 73,80 32,40 41,49 0,60 6,82 2,20 0,97 7,78 0,60 6,82 2,40 1,05 7,87 8,80 100,00 227,80 100,00 200,00
76
Tabel 6. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi VI No Jenis 1 Piper retrofractum 2 Ageratum conyzoides 3 Panicum montanum 4 Axonopus compressus 5 Leersia hexandra 6 Rhicardian brasiliensis 7 Commelina nudiflora 8 Mikania micrantha 9 NN2 10 Isachne globosa 11 NN1 12 Phyllanthus niruri 13 Centrocema pubescens 14 Polygala paniculata Jumlah
F FR K KR INP 0,40 5,41 6,60 5,09 10,50 0,80 10,81 21,60 16,67 27,48 0,60 8,11 14,80 11,42 19,53 0,60 8,11 8,80 6,79 14,90 0,80 10,81 17,60 13,58 24,39 1,00 13,51 34,80 26,85 40,37 0,80 10,81 4,20 3,24 14,05 0,60 8,11 1,80 1,39 9,50 0,20 2,70 4,20 3,24 5,94 0,40 5,41 10,60 8,18 13,58 0,60 8,11 3,60 2,78 10,89 0,20 2,70 0,20 0,15 2,86 0,20 2,70 0,60 0,46 3,17 0,20 2,70 0,20 0,15 2,86 7,40 100,00 129,60 100,00 200,00
Tabel 7. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi VII No Jenis 1 Centrocema pubescens 2 Centela asiatica 3 Mikania micrantha 4 Kyllinga monocephala 5 Axonopus compressus 6 Leersia hexandra 7 Rhicardian brasiliensis 8 NN1 9 Boreria hispida 10 Phyllanthus niruri 11 Imperata cylindrica 12 Mimosa pudica 13 NN2 Jumlah
F FR 1,00 18,52 0,20 3,70 0,60 11,11 0,20 3,70 0,60 11,11 1,00 18,52 0,40 7,41 0,20 3,70 0,20 3,70 0,40 7,41 0,20 3,70 0,20 3,70 0,20 3,70 5,40 100,00
K KR INP 13,40 17,72 36,24 0,20 0,26 3,97 1,80 2,38 13,49 0,60 0,79 4,50 4,80 6,35 17,46 46,60 61,64 80,16 1,20 1,59 8,99 1,00 1,32 5,03 0,20 0,26 3,97 0,80 1,06 8,47 1,40 1,85 5,56 0,20 0,26 3,97 3,40 4,50 8,20 75,60 100,00 200,00
77
Tabel 8. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi VIII No Jenis 1 Mimosa pudica 2 Axonopus compressus 3 Rhicardian brasiliensis 4 Piper retrofractum 5 Kyllinga monocephala 6 Isachne globosa 7 Ageratum conyzoides 8 Leersia hexandra 9 Phyllanthus niruri 10 Carex baccans 11 Panicum montanum 12 NN3 13 Commelina nudiflora Jumlah
F FR K KR INP 0,60 6,52 5,60 2,92 9,44 0,80 8,70 54,80 28,57 37,27 0,60 6,52 35,80 18,67 25,19 1,00 10,87 9,00 4,69 15,56 1,00 10,87 12,60 6,57 17,44 0,20 2,17 0,80 0,42 2,59 0,60 6,52 42,80 22,31 28,84 0,60 6,52 10,20 5,32 11,84 0,80 8,70 2,80 1,46 10,16 0,60 6,52 10,00 5,21 11,74 0,60 6,52 3,60 1,88 8,40 0,20 2,17 0,20 0,10 2,28 0,40 4,35 0,40 0,21 4,56 8,00 86,96 188,60 98,33 185,29
Tabel 9. Indeks Nilai Penting vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi IX No Jenis 1 Mimosa pudica 2 Mikania micrantha 3 Commelina nudiflora 4 Rhicardian brasiliensis 5 Kyllinga monocephala 6 Rottboellia glandulosa 7 Hierochloe horsfieldii 8 Leersia hexandra 9 Phyllanthus niruri 10 Imperata cylindrica 11 Ageratum conyzoides 12 Commelina nudiflora Jumlah
F 0,80 0,60 0,20 0,80 0,20 1,00 0,80 0,60 0,20 0,20 0,20 0,20 5,80
FR 13,33 10,00 3,33 13,33 3,33 16,67 13,33 10,00 3,33 3,33 3,33 3,33 96,67
K 17,80 5,60 0,60 5,40 1,20 28,80 7,60 17,00 0,20 0,20 6,40 4,00 94,80
KR INP 18,28 31,61 5,75 15,75 0,62 3,95 5,54 18,88 1,23 4,57 29,57 46,24 7,80 21,14 17,45 27,45 0,21 3,54 0,21 3,54 6,57 9,90 4,11 7,44 97,33 194,00
78
79
Lampiran 4. Data iklim areal Hutan Penelitian Dramaga dan sekitarnya
TAHUN TEMP
JAN CH
RH
TEMP
PEB CH
RH
TEMP
MAR CH
RH
TEMP
APR CH
RH
2005
25,2
164
90
25,4
525
89
26
108
87
26,2
87
85
2006
25,1
177
89
25,5
176
89
25,8
113
84
25,8
240
84
2007
26,1
51
81
25,1
391
90
25,7
255
86
25,8
478
85
Keterangan: TEMP = temperatur (oC), CH = curah hujan (mm), RH = kelembaban (mm Hg) (Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dramaga, Bogor)
78
80
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN TEMP
MEI CH
TEMP
JUN CH
RH
2005
26,4
105
2006
26
2007
26
TEMP
JULI CH
RH
85
25,9
310
76
84
25,7
61
86
25,6
TEMP
AGS CH
RH
RH
87
25,6
105
83
25,7
102
82
81
81
26,1
59
79
25,2
-
76
60
83
25,6
88
81
25,4
41
79
79
81
Lampiran 4. Lanjutan
TAHUN TEMP
SEP CH
RH
TEMP
OKT CH
RH
TEMP
NOP CH
RH
TEMP
DES CH
RH
2005
26,1
161
82
26
320
84
25,8
305
85
25,5
274
86
2006
25,9
-
72
26,7
-
74
26,4
248
83
26,1
429
87
2007
26
-
77
26
-
81
25,9
183
81
25,3
344
89
80
82
Lampiran 5. Data pengamatan tingkat konsumsi pakan Tabel 1. Rekapitulasi jumlah pakan yang diberikan, pakan sisa, dan pakan yang dikonsumsi pada empat ekor rusa
Hari 1 2 3 4 5 6 7 Rataan
Rata-rata pakan diberikan per individu (g) 8.250 8.250 8.250 8.250 8.250 8.250 8.250 8.250
Rata-rata pakan sisa per individu (g) 2.862,5 1.955,0 2.281,8 1.678,8 1.115,5 1.448,8 1.633,8 1.853,7
Tabel 2. Berat badan rusa sebelum pengamatan Rusa 1 2 3 4 Rataan Keterangan: 1= 2= 3= 4=
Berat badan awal (kg) 37,11 29,52 59,46 35,78 40,47
Betina dewasa Betina anak Jantan dewasa Jantan anak
Rata-rata konsumsi pakan per individu (g) 5.387,5 6.295,0 5.968,3 6.571,3 7.134,5 6.801,3 6.616,3 6.396,3
83
Lampiran 6. Biaya investasi pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif Komponen Intensif Pemeliharaan dan operasional: - Kantor & Pusat Informasi - Laboratorium dan klinik satwa - Pos keamanan - Papan nama - Gudang pakan dan gudang alat - Sarana pengolahan limbah - Menara air - Kandang intensif - Kandang individu - Shelter - Tempat pakan - Kandang angkut - Kebun pakan - Menara pengawas - Pagar kawat keliling dan sekat kandang - Pagar tembok kandang - Pembinaan habitat - Kandang karantina dan perkawinan - Pagar tembok kandang terminal Perlengkapan penangkaran Instalasi listrik dan air Biaya listrik Peralatan laboratorium dan klinik satwa Neraca pegas Sarana transportasi Perlengkapan operasional perkantoran Gaji dan Upah karyawan per tahun Jumlah
Biaya Investasi (Rp.) Semi Intensif Ekstensif
34.500.000 34.500.000 27.600.000 3.000.000 3.000.000 300.000 300.000 24.000.000 15.000.000 20.250.000 3.500.000 132.000.000 13.200.000 7.200.000 26.400.000 4.125.000 1.875.000 10.000.000 10.000.000 195.000.000 65.000.000 800.000 420.000.000 220.000.000 52.800.000 15.000.000 16.781.250 16.781.250 27.349.200 21.541.200 7.200.000 6.000.000 35.554.375 472.500 96.500.000 96.500.000 9.850.000 9.850.000 96.960.000 84.120.000 784.069.825 1.080.739.950
34.500.000 3.000.000 300.000 10.000.000 800.000 420.000.000 15000000 260.000.000 16.781.250 21.541.200 6.000.000 472.500 96.500.000 9.850.000 37.980.000 932.724.950
84
Lampiran 7. Biaya tetap pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif Komponen Intensif Pemeliharaan dan operasional: - Kantor & Pusat Informasi - Laboratorium dan klinik satwa - Pos keamanan - Papan nama - Gudang makanan dan gudang alat - Sarana pengolahan limbah - Menara air - Kandang intensif - Kandang individu - Shelter - Tempat pakan - Kandang angkut - Kebun pakan intensif - Menara pengawas - Pagar kawat keliling dan sekat kandang - Pagar tembok kandang terminal - Pembinaan habitat Perlengkapan penangkaran Instalasi listrik dan air biaya listrik Laboratorium dan klinik satwa Neraca pegas Sarana transportasi Perlengkapan operasional perkantoran Gaji dan Upah karyawan per tahun Jumlah
Biaya Tetap (Rp./th) Semi Intensif Ekstensif
1.380.000 1.104.000 120.000 12.000 960.000 810.000 140.000 9.240.000 924.000 26.400.000 4.125.000 700.000 13.650.000 1.174.688 1.093.968 7.200.000 1.422.175 15.125.000 2.698.000 96.960.000 185.238.831
1.380.000 120.000 32.000 12.000 600.000 29.400.000 3.696.000 600.000 504.000 131.250 700.000 4.550.000 15.400.000 1.174.688 861.648 6.000.000 18.900 15.125.000 2.698.000 84.120.000 167.123.486
1.380.000 120.000 12.000 700.000 32.000 29.400.000 600.000 18.200.000 1.174.688 861.648 6.000.000 18.900 15.125.000 2.698.000 37.980.000 114.302.236
85
Lampiran 8. Biaya variabel pada sistem penangkaran intensif, semi intensif, dan ekstensif Komponen Pemberian pakan intensif Pemberian konsentrat Pakan tambahan Biaya pengelolaan rumput tambahan Perawatan kesehatan dan obat2an Biaya penangkapan rusa Biaya pengangkutan rusa Biaya ear tag & legalitas satwa Jumlah
Biaya Variabel(Rp./th) Intensif Semi Intensif Ekstensif 1.401.600 657.000 1.095.000 1.095.000 547.500 547.500 3.504.000 12.000 12.000 12.000 15.000 15.000 20.000 20.000 20.000 100.000 100.000 100.000 6.680.100 2.446.500 147.000