BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beberapa jenis rusa di Indonesia yaitu rusa Timor (Rusa timorensis Blainville, 1822), rusa Sambar (Cervus unicolor), dan rusa totol (Axis axis). Rusa di Indonesia mempunyai peluang untuk dibudidayakan. Rusa juga mempunyai nilai estetika yang dapat dijadikan satwa peliharaan untuk kesenangan dan sebagai satwa pajangan dalam taman, terutama rusa totol dan rusa Timor (Garsetiasih dan Takandjadji, 2007). Rusa Timor merupakan salah satu jenis rusa asli Indonesia. Populasi rusa Timor di alam (in-situ) mulai berkurang karena perburuan dan perusakan habitat. Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan satwa rusa melalui perburuan langsung dari habitat alam untuk dijadikan satwa peliharaan maupun diambil daging dan hasil ikutannya (Bismark dkk., 2011). Status rusa Timor dalam the International Union for Conservation of Nature Redlist yaitu Vulnerable (rentan). Jumlah populasi rusa Timor di habitat asli diperkirakan berjumlah kurang dari 10.000 individu dewasa. Dalam waktu tiga generasi (diperkirakan minimal 15 tahun) diduga terjadi penurunan minimal 10% dalam waktu. Penurunan populasi ini sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (Hedges dkk., 2008). Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan bahwa seluruh jenis rusa diIndonesia dilindungi, namun perburuan masih saja terjadi. Selain itu, kerusakan habitat, baik
1
2
disebabkan eksploitasi hutan oleh manusia maupun kerusakan karena bencana alam, turut pula menyebabkan penurunan terhadap eksistensi jenis dan populasi rusa. Upaya konservasi jenis dan populasi rusa perlu dilakukan baik secara in-situ maupun ex-situ, sehingga pelestarian dan pemanfaatannya dapat tercapai (Bismark dkk., 2011). Upaya konservasi melalui penangkaran sudah banyak dilakukan. Peningkatan manfaat dan penangkaran perlu dikembangkan di masyarakat terutama generasi kedua (F2) yang termuat dalam PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Manfaat rusa sebagai sumber protein hewani serta hasil ikutan lainnya diperoleh melalui turunan kedua (F2) dan seterusnya. Hasil penangkaran rusa tersebut memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala budidaya komersial, sehingga asumsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi (Bismark dkk., 2011). Sebuah pemahaman menyeluruh mengenai struktur genetik populasi yang penting bagi manajemen spesies. Populasi yang terisolasi sering dikaitkan dengan inbreeding sehingga memiliki keragaman genetik yang terbatas dan perfoma reproduksi yang kurang baik. Populasi bottlenecks dapat memiliki efek keragaman genetik
dan
mengakibatkan
berkurangnya
jumlah
rata-rata
alel
dan
heterozigositasnya (Zidek dkk., 2008). Daerah mitokondria dikenal mengalami perubahan cepat dalam evolusi. Analisis restriksi dari DNA mitokondria (mtDNA) mamalia yang berhubungan dekat menunjukkan bahwa genom ini mempunyai laju evolusi yang lebih tinggi dari pada DNA inti (Wirdateti dkk., 2004). Di samping itu, mtDNA telah lama
3
digunakan sebagai penanda yang ideal karena kecocokan untuk rekonstruksi silsilah gen dan sejarah populasi (Gissi dkk., 2000; Wirdateti dkk., 2004; Fonseca dkk., 2008). Identifikasi rusa Timor di penangkaran maupun di alam penting untuk dilakukan karena introduce spesies ke suatu daerah yang tidak terkendali baik oleh alam maupun manusia akan mempengaruhi karakter spesifik dari hewan tersebut, terlebih apabila proses hibridisasi antar jenis dimungkinkan terjadi secara alami. Penelitian tentang karakteristik genetik rusa Indonesia berdasarkan gen 12SrRNA mtDNA sudah pernah dilakukan oleh Wirdateti dkk. (2004). Berdasarkan hal tersebut, penelitian menggunakan gen lain perlu dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis memilih gen penyandi Cytochrome Oxidase Subunit 2 (COX-2).
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keragaman genetik rusa Timor terhadap spesies-spesies rusa di Indonesia dan di dunia serta famili lain yang endemik di Indonesia yaitu Bos javanicus berdasarkan gen penyandi Cytochrome Oxidase Sub-unit 2 (COX-2), sehingga dapat diketahui kemungkinan gen penyandi ini sebagai penanda genetik. C. Manfaat Penelitian Keberadaan informasi genetik rusa Timor dapat mempermudah proses identifikasi dan klasifikasi rusa tersebut dalam upaya untuk pelestarian plasma nutfah, membantu tujuan konservasi serta biodiversitas rusa asli asal Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Rusa Timor (Rusa timorensis) 1.
Klasifikasi Rusa Timor diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum
Chordata, Kelas Mammalia, Ordo Cetartiodactyla, Famili Cervidae, Genus Rusa, dan Spesies Rusa timorensis (de Blainville, 1822). Rusa Timor juga mempunyai nama spesies lain selain Rusa timorensis, yaitu: Cervus celebensis (Rorig, 1896); Cervus hippelaphus (Cuvier, 1825 [preoccupied]); Cervus lepidus (Sundevall, 1846); Cervus moluccensis (Quoy dan Gaimard, 1830); Cervus peronii (Cuvier, 1825); Cervus russa (Muller dan Schlegel, 1845); Cervus tavistocki (Lydekker, 1900); dan Cervus tunjuc (Horsfield, 1830 [nomen nudum]) (Hedges dkk., 2008). 2.
Habitat Habitat alami rusa adalah vegetasi dan hutan savana dimanfaatkan sebagai
sumber pakan. Vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin, dan menghindarkan diri dari predator. Habitat yang paling disukai oleh rusa Timor adalah hutan sampai ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut dengan padang rumput (Santoso, 2011). Habitat alami rusa Timor menurut Bismark dkk. (2011) adalah hutan tropis dan dataran rendah yang bervegetasi savana, lontar, cemara, dan mangrove.
4
5
3.
Morfologi Morfologi rusa Timor menurut Bismark dkk. (2011) mempunyai ukuran
tubuh yang kecil, tungkai pendek, ekor panjang, dahi cekung, gigi seri relatif besar, dan rambut berwarna coklat kekuning-kuningan. Secara umum rusa terlihat pendek dan gemuk karena memiliki kaki yang relatif pendek. Tinggi dan Berat Badan. Rusa Timor memiliki tinggi badan 91-102 cm. Berat badannya berkisar antara 103-155 kg. Rusa jantan relatif lebih besar dibandingkan dengan betinanya (Santoso, 2011). Warna Rambut. Warna rambut yang dimiliki rusa Timor bervariasi antara coklat kemerahan sampai abu-abu kecoklatan (Semiadi dan Nugraha, 2004), sedangkan menurut Santoso (2011) warna rambutnya coklat tetapi pada bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Warna rambutnya pada musim kemarau adalah merah kecoklatan, agak gelap pada bagian belakang dan lebih terang pada bagian dada, sedangkan pada musim hujan bagian atasnya berwarna keabu-abuan (Bismark dkk., 2011). Ranggah. Rusa jantan memiliki ranggah yang akan tumbuh pertama kali pada umur delapan bulan. Bila dewasa, ranggah rusa telah menjadi sempurna yang ditandai dengan terdapatnya tiga ujung runcing (Santoso, 2011). Cabang yang pertama mengarah ke depan, cabang belakang kedua terletak pada satu garis dengan cabang belakang pertama, cabang belakang kedua lebih panjang cabang depan kedua, cabang belakang kedua sisi kiri dan kanan terlihat sejajar (Bismark dkk., 2011). Rusa jantan menjadi lebih agresif ketika ranggah keras menjadi
6
sempurna (Pattiselanno dkk., 2008). Gambar 1 menunjukkan ranggah Rusa timorensis yang sempurna.
Gambar 1. Ranggah Rusa timorensis yang sempurna (Hedges dkk., 2008) 4.
Sebaran Rusa Timor mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga dengan
mudah menyesuaikan diri dan hidup di daerah basah, kering, berpasir maupun pegunungan. Rusa Timor lebih mampu beradaptasi karena ketergantungannya terhadap air lebih kecil (Bismark dkk., 2011). Rusa Timor tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, sedangkan rusa Sambar (R. unicolor) tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Santoso, 2011). Penyebaran sub-spesies rusa di Indonesia disajikan pada Gambar 2.
7
Gambar 2. Penyebaran sub-spesies rusa di Indonesia (Bismark dkk., 2011) Keterangan: 1. R. u. equinus (Curier, 1823) 6. R. t. djonga (Bemmel, 1949) 2. R. u. brookei (Hose, 1893) 7. R. t. moluccensis (Muller, 1836) 3. R. u. russa (Muller dan Schi, 1844) 8. R. t. renschi (Sody, 1933) 4. R. t. floresiensis (Heude, 1896) 9. R. t. laronesiotes (Bemmel, 1949) 5. R. t. timorensis (Blainville, 1822) 10. R.t.macassaricus (Heude, 1896) 5.
Tingkah Laku Beberapa perilaku kegiatan harian rusa yang menonjol yaitu merumput
(31,17%), memamah (14,63%), dan berbaring/istirahat (13,54%). Waktu merumput terbanyak dilakukan di pagi hari dan menjelang malam hari, sedangkan memamah, istirahat dan kegiatan lainnya banyak dilakukan pada siang hari. Pakan yang disukai rusa umumnya dari jenis rumput-rumputan, legum/kacang-kacangan sedangkan pakan yang tidak disukai adalah daun tebal, pakan berasa pahit dan berbau menusuk (Wirdateti dkk., 2005). Perilaku sosialnya hampir menyerupai rusa Sambar, namun rusa ini cenderung tenang pembawaannya (Semiadi dan Nugraha, 2004).
8
B. Deoxyribonucleic Acid (DNA) Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan polimer yang terdiri atas molekul-molekul deoksiribonukleotida yang terikat satu dengan lain, sehingga membentuk rantai polinukleotida yang panjang. Basa purin yang terdapat pada DNA ialah adenine dan guanine. Cytosine dan thymine adalah basa pirimidin yang terdapat pada asam nukleat ini (Poedjiadi dan Supriyanti, 2005). Setiap rantai DNA mempunyai polaritas yaitu dua ujung polimernya berbeda. Pada salah satu ujung DNA (ujung 5’), atom karbon yang terdekat dengan ujung polimer adalah karbon 5’ unit deoksiribosa yang terakhir. Pada ujung lain DNA (3’), atom karbon yang terdekat dengan ujung polimer adalah karbon 3’ (Colby, 1996). Gambaran bentuk skematik DNA heliks ganda ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk skematik DNA heliks ganda (Fatchiyah dkk., 2011) Kedua untai DNA bersifat antiparalel, yaitu satu untai DNA berjalan dari arah 5’ ke 3’, sementara untai yang lain dari arah 3’ ke 5’. Ini analog dengan dua
9
jalan sejajar yang masing-masing berjalan menuju satu tempat, tetapi membawa arus kendaraan dalam arah yang berlawanan (Murray dkk., 2003). Molekul DNA bentuk heliks ganda sangat stabil karena adanya tiga ikatan kimia. Ikatan hidrogen terbentuk pasangan-pasangan basa antara masing-masing benang. Ikatan van der Waals terbentuk antara pasangan basa yang satu dengan pasangan basa di atas dan di bawahnya sepanjang sumbu utama heliks. Ikatan fosfodiester pada bagian luar dari kerangka DNA, menyebabkan molekul tersebut bersifat asam (Subaron, 1983). Mitokondria dan kloroplas pada sel eukariotik juga mengandung DNA. Molekul DNA mitokondria (mtDNA) jauh lebih kecil daripada kromosom inti. Pada sel hewan, mtDNA mengandung kurang dari 20.000 bp (16,569 bp mtDNA manusia) dan merupakan dupleks melingkar. Setiap mitokondria biasanya memiliki 2-10 salinan molekul mtDNA ini, dan jumlahnya dapat meningkat sampai ratusan dalam sel tertentu ketika embrio mengalami diferensiasi sel (Nelson dan Cox, 2004). Kode DNA mitokondria untuk tRNA mitokondria dan rRNA dan untuk beberapa protein mitokondria. Lebih dari 95% protein mitokondria dikode oleh DNA nuklear. Mitokondria dan kloroplas membagi ketika sel membelah. Molekul DNA direplikasi sebelum dan selama pembelahan, dan molekul DNA baru masuk ke dalam organel sel (Nelson dan Cox, 2004). 1.
Sintesis DNA Sintesis DNA pada sel binatang, termasuk sel manusia terjadi pada fase S
atau fase sintesis. Selama fase S, DNA polimerase sel mamalia berada dalam
10
jumlah
yang
lebih
besar
dibandingkan
dengan
fase
nonsintesis.
Deoksiribonukleosida trifosfat yaitu enzim-enzim yang bertanggung jawab atas pembentukan substrat bagi sintesis DNA, sehingga mengalami peningkatan aktivitas, dan aktivitas ini akan menurun sesudah fase sintesis sampai sinyal bagi sintesis DNA baru muncul kembali (Murray dkk., 2003). 2.
Inti Sel Di dalam inti sel terdapat kromatin atau kromosom yang terdiri atas serat-
serat DNA yang bergabung dengan histon. Inti sel juga mengandung beberapa enzim antara lain DNA polymerase, RNA polymerase dan enzim yang digunakan dalam proses glikolisis maupun dalam siklus asam sitrat. Di dalam anak inti terdapat enzim-enzim RNA polymerase, RNAase, NADP pirofosforilase, ATPase, tetapi tidak terdapat DNA polymerase (Poedjiadi, 1994). 3.
Mitokondria Mitokondria adalah organela yang terletak di dalam sitoplasma sel
eukariota. Struktur organela ini berupa kantung yang diselaputi oleh dua membran yaitu membran luar dan membran dalam. Mitokondria memiliki dua kompartemen yaitu matriks mitokondria yang diselimuti langsung oleh membran dalam dan ruang antar membran (Susmiarsih, 2010). Struktur mitokondria ditunjukkan pada Gambar 4.
11
Gambar 4. Struktur mitokondria (Susmiarsih, 2010) Karakteristik DNA mitokondria (mtDNA). Molekul mtDNA merupakan DNA ekstranuklear yang berada di organel penghasil energi, yaitu di bagian matriks mitokondria. Molekul mtDNA berbentuk untai ganda sirkuler yang pada mamalia memiliki kisaran ukuran 15.000-17.000 bp. Molekul mtDNA (Gambar 6) terbagi atas dua untai, yaitu untai berat atau heavy strand (H) dan untai ringan atau light strand (L) (Fritzsch,, 2009). Molekul mtDNA sebagian besar merupakan daerah penyandi protein dan sebagian kecil bukan daerah penyandi. Daerah penyandi tersebar hampir di sepanjang mtDNA, serta bertanggung jawab terhadap penyandian 13 subunit protein sistem fosforilasi oksidatif, 2 rRNA, dan 22 tRNA. Gen-gen tersebut umumnya lebih banyak tersebar di untai berat. Daerah bukan penyandi terletak pada daerah intergenik COX-1/tRNATyr, daerah intergenik COX2/tRNALys, dan daerah kontrol atau disebut juga daerah D-loop pada vertebrata (Anderson dkk., 1981; Rogaev dkk., 2006). Representasi mtDNA ditunjukkan pada Gambar 5.
12
Gambar 5. Representasi mtDNA (Krause dkk., 2006) Molekul mtDNA memiliki beberapa karakteristik yang unik dibanding DNA inti. Molekul mtDNA memiliki banyak salinan sehingga mtDNA lebih mudah diisolasi dengan jumlah sampel yang sedikit (Castro dkk., 1998; Morin dkk., 2001; Hoong dan Lex, 2005; Pakendorf dan Stoneking, 2005). Molekul mtDNA diwariskan secara maternal, kecuali pada beberapa spesies seperti remis, lalat buah, tikus, dan burung hibrida (hasil hibridasi dari dua spesies burung yang berbeda). Pola pewarisan maternal disebabkan mitokondria sel sperma tidak ikut menembus sel telur pada saat fertilisasi (Ankel-simons dan Cummins, 1996). Molekul mtDNA yang diwariskan bukan merupakan hasil rekombinasi.
Pewarisan
uniparental
yang
demikian
akan
memudahkan
pengungkapan silsilah kekerabatan di masa lalu berdasarkan garis keturunan maternal, tanpa harus dibaurkan dengan pengaruh yang muncul akibat rekombinasi dan pewarisan biparental (Pakendorf dan Stoneking, 2005; Galtier dkk., 2009).
13
Molekul mtDNA memiliki laju mutasi yang lebih tinggi (10-8 substitusi/tahun) dibanding DNA inti (10-9 substitusi/tahun), khususnya pada daerah D-loop (Pakendorf dan Stoneking, 2005). Mutasi yang terjadi umumnya berupa mutasi titik, namun dapat pula berupa delesi atau insersi. Laju mutasi yang tinggi disebabkan mtDNA rentan terhadap peristiwa mutagenik serta produksi radical oxydative species (ROS) dari proses fosforilasi oksidatif di organel tersebut (Rose dkk., 2007). Molekul mtDNA tidak memiliki protein histon serta enzim perbaikan untuk kesalahan replikasi atau kerusakan DNA, sehingga mutasi cenderung diteruskan dari waktu ke waktu. Laju mutasi yang tinggi mengakibatkan mtDNA mampu mengakumulasi polimorfisme 10-17 kali lebih cepat dari DNA inti, sehingga dapat menunjukkan variasi yang tinggi pada berbagai level, baik antar individu maupun populasi (Castro dkk., 1998).
C. Gen Cytochrome Oxidase Sub-unit 2 (COX-2) Cytochrome Oxidase (COX) merupakan komponen rantai respirasi terutama dalam proses reduksi oksigen menjadi air. Cytochrome Oxidase memiliki tiga sub-unit, yaitu COX-1, COX-2, dan COX-3. Ketiga sub-unit ini disandi dalam genom mitokondria dan paling sedikit ada empat sub-unit yang disandi dalam nukleus (Adkins dan Honeycutt, 1994). Gen COX-1 dan COX-2 merupakan enzim pengaturan utama yang terlibat dalam produksi prostaglandin dan prostanoids lainnya. Prostaglandin merupakan mediator penting dalam berbagai proses biologis normal, termasuk fungsi kekebalan tubuh dan biologi reproduksi. Gen COX-1 konstitutif dinyatakan dalam sebagian besar jaringan (Harper dan Tyson-Capper, 2008). Gen COX-3 berperan
14
dalam perakitan dan stabilisasi seluruh kompleks enzim dan terlibat dalam translokasi proton atau dalam konversi energi oleh cytochrome oxidase (You dkk., 2002). Ekspresi gen COX-2 diatur di berbagai tingkatan level. Aktivasi transkripsi pada 5’ untranslated region (UTR) dari gen COX-2 melibatkan cross-talk antara beberapa jalur sinyal yang bergantung pada jenis sel dan stimulus. Peristiwa pemrosesan RNA yang melibatkan interaksi kompleks dari ss-RNA non-coding pendek yang mengatur regulasi gen pasca-trankripsi dengan mempengaruhi stabilitas messenger RNA (mRNA) dan / atau represi translasi target binding protein mengikat trans-acting yang spesifik, dan miRNAs (miRNAs merupakan RNA non-coding pendek yang mengatur regulasi gen pasca-transkripsi dengan mempengaruhi stabilitas mRNA dan / atau represi translasi target mRNA), dengan unsur-unsur cis-acting yang berbeda dalam COX-2 3’UTR menambahkan lapisan tambahan kompleksitas regulasi gen COX-2 (Harper dan Tyson-Capper, 2008). Tingkat pergantian asam amino pada gen COX-2 dapat dilihat di sepanjang garis keturunan primata, sedangkan pada artiodactyl dan rodensia tidak ada heterogenitas tingkat pergantian asam amino. Hubungan filogenik pada tingkat molekuler dari artiodactyl belum sepenuhnya dipelajari dibandingkan dengan primata (Adkins dkk., 1996).
15
D. Teknik Biologi Molekuler 1.
Isolasi DNA Pada organisme tingkat tinggi seperti pada manusia, hewan, dan tumbuhan
DNA terdapat di dalam inti sel, dan beberapa organ lain di dalam sel seperti mitokondria dan kloroplast. Prinsip dasar isolasi DNA adalah serangkaian proses untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Isolasi DNA dari organisme eukariotik (manusia, hewan, dan tumbuhan) dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls), penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (prepcipitation of DNA) dan pemanenan (Sulandari dan Zein, 2003). 2.
Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi polimerase berantai atau dikenal sebagai
polymerase chain
reaction (PCR) merupakan suatu proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro (Fatchiyah dkk., 2011). Polymerase chain reaction merupakan suatu teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Sulandari dan Zein, 2003). Metode PCR dapat meningkatkan jumlah urutan DNA sebanyak ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula, sekitar106 - 107 kali. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Pada setiap n siklus PCR akan diperoleh akan diperoleh 2n kali banyaknya DNA target. Metode ini digunakan untuk identifikasi penyakit genetik, infeksi oleh virus, diagnosis dini penyakit seperti Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), profil genetik dalam forensik, aplikasi dalam biodiversitas, evolusi
16
biologi, mutasi gen secara langsung dan mengukur kuantifikasi ekspresi mRNA di dalam sel atau jaringan (Fatchiyah dkk., 2011). Komponen PCR yang harus dipersiapkan untuk reaksi PCR yaitu: a. Cetakan DNA Ukuran target amplifikasi biasanya kurang dari 1000 pasangan basa (bp) atau 1kB. Hasil amplifikasi yang efisien adalah antara 100-400 bp. Hasil amplifikasi lebih dari 1 kb memiliki proses yang kurang efisien karena produk yang panjang akan rentan terhadap inhibitor yang mempengaruhi kerja enzim DNA polymerase dan waktu yang diperlukan lebih lama (Fatchiyah dkk., 2011). b. Primer Primer disusun dari urutan oligonukleotida sepanjang 15-32 bp pada ujung-5’ pita DNA cetakan maupun komplemennya (Fatchiyah dkk., 2011). Suhu annealing sangat tergantung pada primer dengan melting temperature (Tm) tertentu (Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011). c. Taq DNA Polymerase Enzim ini bersifat termostabil dan diisolasi dari Thermus aquaticus. Aktivitas polimerasi DNA dari ujung 5’ ke 3’, dan aktivitas enzimatik ini mempunyai waktu paruh sekitar 40 menit pada suhu 95ºC. Penggunaan enzim ini harus memperhatikan proses penyimpanan (selalu di freezer pada suhu -20ºC) dan pada saat pengambilan tidak boleh terlalu lama di suhu ruang, diusahakan selalu dalam kotak berisi water-ice (potongan es diberi air sedikit agar suhu tetap 4 ºC). Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kerusakan enzim yang mungkin terjadi akibat pengaruh perubahan suhu (Fatchiyah dkk., 2011).
17
d. Buffer PCR dan konsentrasi Mg2+ Buffer standar untuk PCR tersusun atas 50 mM KCl, 10 mM Tris-Cl (pH 8,3), dan 1,5 mM MgCl2. Buffer ini akan bekerja dengan baik untuk cetakan DNA dan primer dengan kondisi tertentu, tetapi mungkin tidak optimal dengan kombinasi yang lain. Konsentrasi ion magnesium dalam buffer PCR merupakan faktor yang sangat kritis, karena kemungkinan dapat mempengaruhi proses annealing primer, suhu disosiasi untai cetakan DNA, dan produk PCR (Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011). e. Nukleotida (dNTP) Konsentrasi setiap dNTP 50 mM pada titik estimasi Km harus selalu diatur pH 7,0. Konsentrasi yang tinggi akan menimbulkan ketidakseimbangan dengan enzim polimerase, sedangkan pada konsentrasi rendah akan memberikan ketepatan dan spesifitas yang tinggi tanpa mereduksi hasil akhir (Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011). f. Thermo cycler Alat ini secara tepat meregulasi suhu dan siklus waktu yang dibutuhkan untuk reprodusibilitas dan keakuratan reaksi amplifikasi. Siklus PCR terbagi atas tiga langkah utama yaitu denaturasi DNA (92-95ºC, selama 30-60 detik), primer annealing (50-62ºC, selama 30-60 detik), dan ekstensi atau elongasi (70-72ºC, selama 30-120 detik). Siklus ini berulang 30-35 kali. Siklus utama ini diawali terlebih dahulu dengan denaturasi awal, misalnya 94ºC selama 5 menit. Langkah ini dilakukan untuk memaksimalkan proses denaturasi cetakan DNA. Bila denaturasi tidak sempurna akan menyebabkan kegagalan proses PCR. Setelah
18
siklus utama berakhir, maka ditambah program ekstensi final dengan suhu 7072ºC selama 7-10 menit (Fatchiyah dkk., 2011). 3. Elektroforesis DNA Elektroforesis merupakan proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik (Fatchiyah dkk., 2011). Elektroforesis adalah proses migrasi dari fragmen DNA di dalam gel yang direndam dalam larutan penyangga. Fragmen DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari molekul DNA yang lebih besar (Sulandari dan Zein, 2003). Perjalanan molekul DNA di dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub negatif menuju kutub positif (Sulandari dan Zein, 2003; Fatchiyah dkk., 2011). Semakin besar tegangan arus listrik, perjalanan molekul DNA akan semakin cepat, demikian pula sebaliknya (Sulandari dan Zein, 2003). Elektroforesis untuk makromolekul memerlukan matriks penyangga untuk mencegah terjadinya difusi karena timbulnya panas dari arus listrik yang digunakan. Gel poliakrilamida dan agarosa merupakan matriks penyangga yang banyak dipakai untuk pemisahan protein dan asam nukleat (Fatchiyah dkk., 2011). Elektroforesis gel agarosa merupakan metode standar yang digunakan untuk identifikasi, pemisahan, dan purifikasi fragmen DNA. Migrasi elektroforesis DNA melalui gel agarosa dipengaruhi oleh faktor ukuran dan konformasi molekul DNA, konsentrasi agarosa, arus listrik, dan suhu. Pewarna etidium bromide (EtBr) digunakan untuk alat idenifikasi dan mengukur semikualitatif fragmen DNA yang terpisah dalam gel. Pewarna ini akan terikat di antara dua untai ganda DNA, sehingga pita DNA dalam gel agarosa akan berpendar karena pewarna ini
19
mengandung zat fluoresen. Ikatan DNA-EtBr ini akan terekspos sinar ultraviolet (UV) level medium, sekitar panjang gelombang λ 300 nm. Etidium bromide dapat diberikan pada setiap sampel yang akan dimasukkan ke sumur gel atau dicampurkan ke gel agarosa sebelum gel dicetak dalam cetakan gel (Fatchiyah dkk., 2011). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses migrasi DNA atau RNA yaitu konsentrasi agarosa, ukura molekul, voltase dan suhu. Molekul besar seperti genom utuh, dielektroforesis dengan agarosa berkonsentrasi 0,8%, sedangkan hasil amplifikasi DNA dielektroforesis dengan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 1,5-2%. Ukuran dan struktur molekul DNA/RNA mempengaruhi mobilitas saat dielektroforesis. Secara berurutan mobilitas molekul berbeda dalam hal kecepatan: sirkuler lebih cepat dibanding linear, fragmen DNA lebih cepat dibanding genom utuh. Molekul DNA/RNA bermuatan negatif. Voltase 100 Volt biasa digunakan untuk analisis rutin, sedangkan bila diperlukan pemisahan yang sempurna, maka digunakan arus listrik 50 Volt. Pada voltase ini, arus lebih lambat, tetapi hasil pemisahannya lebih maksimal. Molekul DNA akan cepat terurai pada suhu tinggi dan akan kembali menyatu bila suhu mendingin (Fatchiyah dkk., 2011). 4.
Sekuensing DNA Prinsip penentuan urutan (sekuensing) basa DNA melibatkan produksi
seperangkat molekul/fragmen DNA yang berbeda-beda ukurannya tetapi salah satu
ujungnya
selalu
sama.
Selanjutnya,
fragmen-fragmen
ini
dimigrasikan/dipisahkan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid atau
20
polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) agar pembacaan sekuens dapat dilakukan (Susanto, 2008). Saat ini sekuensing dapat dilakukan dengan otomatis menggunakan mesin sequensing.
Metode
ini
berdasarkan
teknik
yang
disebut
dengan
dideoxyribonucleotide chain termination method. Metode ini merupakan pengembangan dari metode Sanger. Metode ini dikembangkan oleh British biochemist, Frederick Sanger (Campbell dkk., 2009). Metode Sanger merupakan metode sekuensing yang ditemukan oleh Frederick Sanger pada tahun 1977. Prinsip kerjanya yaitu terminasi sintesis DNA oleh dideoksinukleotida yang ditempatkan pada empat tabung yang berbeda. Terminasi sintesis DNA akan menghasilkan chain terminating dideoxynucleotide, sehingga terbentuk fragmen-fragmen dengan ukuran yang beragam. Pembacaan fragmen-fragmen
tersebut
dilakukan
melalui
elektroforesis
dengan
mengidentifikasi jenis dideoksinukleosida yang digunakan untuk terminasi (Susanto, 2008). 5.
Analisis Data Program MEGA 6.06. Program Molecular Evolutionary Genetics
Analysis (MEGA) merupakan perangkat lunak untuk menjelajahi, menemukan, dan menganalisis urutan DNA dan protein dari perspektif evolusi. Program MEGA 6.06 memungkinkan untuk mengalokasikan dua kali lebih banyak memori pada sistem 64-bit seperti pada MEGA 5. Metode waktunya yang ditambahkan dalam MEGA 5 telah digantikan oleh sistem RealTime berbasis yang akurat (atau
21
lebih baik dari) metodologi kontemporer, tetapi dengan kecepatan lebih dari 1.000 kali lebih cepat (Tamura dkk., 2013).
BAB III MATERI DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium
Biokimia,
Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada bulan Agustus 2013 sampai Januari 2015.
B. Materi Penelitian 1.
Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mikropipet (Gilson)
dengan ukuran 1-10 µl, 20-100 µl, dan 200-1000 µl, waterbath shaker (Eyla, Uni Thermo Shaker NTS 3000), mini sentrifuge 12 (Hanil 5804R), sentrifuge (Model DSC 158), freezer, thermocycler (Infigen Biotech, Inc.), seperangkat alat elektroforesis (Mupid-Exu), microwave oven (Sanyo model EM-ST28), seperangkat pencetak agar (plat dan sisir pencetak sumuran), timbangan digital (Mettler Toledo PB303-S), magnetic stirer, vortex mixer (Maxi Mix II), gelas ukur, tabung erlenmeyer, eppendorf, rak tabung, spin down, dan ultraviolet transluminator (UVP® 95-0225-02). 2.
Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah rusa Timor yang
diambil di Taman Rusa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan kode
22
23
APRTUGM574,
APRTUGM583,
APRTUGM573,
APRTUGM584
dan
APRTUGM364. Isolasi DNA menggunakan Genomic DNA Mini Kit (Geneaid) yang berisi RBC lysis buffer, GB buffer, ethanol absolut, wash buffer, elution buffer, GD column, dan collection tube. Bahan yang digunakan dalam PCR yaitu readymix Taq DNA Polymerase (Kappa Taq DNA Polymerase), primer, sampel DNA, dan ddH2O. Primer yang digunakan adalah primer forward berkode APRA8C2F (10 pmol), primer reverse berkode APRA8C2R (10 pmol). Bahan yang digunakan dalam elektroforesis antara lain agarose, marker DNA 1 kb (Geneaid), Florosafe DNA Stain (1st BASE), buffer elektroforesis Tris-Borat EDTA (TBE)1X yang diencerkan dari TBE 5X (1,625 gram Tris base, 13,75 gram asam borat, 1,875 gram EDTA (pH 8,0) dalam 500 ml H2O), dan loading dye gliserin bromphenol blue (GBB).
C. Metode Penelitian 1.
Bagan Penelitian Koleksi sampel darah Isolasi DNA Total Amplifikasi Gen COX-2 dengan Teknik PCR Elektroforesis Gel Agarose Sekuensing DNA Analisis data (Mega 6.06)
24
2.
Koleksi Sampel Darah Bahan utama penelitian yaitu lima sampel darah rusa Timor yang diambil
dari vena jugularis. Darah rusa tersebut dimasukkan ke dalam tabung berisi EDTA dan tabung digoyang-goyang membentuk angka delapan agar darah tidak menjendal dan rusak, kemudian darah disimpan dalam refrigerator suhu 4ºC. 3.
Isolasi DNA Total Isolasi DNA total menggunakan kit Genomic DNA Mini Kit (Geneaid).
Sebelum dilakukan isolasi DNA, masing-masing sampel darah disentrifugasi selama lima menit dengan kecepatan 8000 rpm. Buffy coat dipisahkan dari komponen darah yang lain dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang berbeda. Setiap eppendorf tersebut diberi label sesuai dengan kode sampel dan disimpan dalam freezer pada suhu -20oC. Buffy coat sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam eppendorf, kemudian ditambahkan 600 µl RBC lysis buffer dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang, diinversi setiap tiga menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi 13.500 rpm selama tiga menit. Setelah terlihat batas supernatan (bagian atas) dan pelet (bagian bawah), maka supernatan dibuang. Pelet ditambahkan 500 µl RBC lysis buffer dan diresuspensi. Campuran tersebut ditambahkan 250 µl GB buffer dan divortex dengan kecepatan tinggi selama satu menit. Campuran tersebut diinkubasikan pada waterbath-shaker dengan kecepatan 25 rpm selama satu jam pada suhu 60ºC. Dalam waktu dan suhu yang sama, 400 µl elution buffer diinkubasikan juga.
25
Setelah diinkubasikan, campuran ditambahkan 250 µl ethanol absolut dan segera di-vortex selama 10 detik. Bila ada endapan, maka larutan diresuspensi. Campuran dimasukkan ke dalam collection tube baru melalui GD column (terdapat filter di bawahnya) yang telah dipasang sebelumnya, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 13500 rpm selama lima menit dan GD column dipasang pada collection tube yang baru. Wash buffer 400 µl ditambahkan melalui GD column dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama satu menit, kemudian cairan yang ada dalam collection tube dibuang, GD column dipasang kembali di atas collection tube tersebut. Wash-buffer 600 µl ditambahkan melalui GD column dan disentrifugasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama satu menit. Cairan yang ada dalam collection tube dibuang, kemudian GD column dipasang kembali di atas collection tube tersebut. Dengan kecepatan yang sama dengan sebelumnya yaitu 13.500 rpm collection tube disentrifugasi kembali selama tiga menit. Langkah selanjutnya adalah GD column dipindah di atas eppendorf steril yang baru, kemudian ditambahkan 100 µl elution buffer (yang sudah diinkubasikan sebelumnya pada suhu 60oC) melalui GD column). Beker glass yang telah diisi air panas dari waterbath disiapkan dan ditambahkan air kran sampai suhu menjadi 37oC (diukur memakai termometer). Setelah itu, GD column beserta eppendorf diinkubasikan ke dalam beker glass tersebut dengan suhu 37oC selama 10 menit. Setelah diangkat dari beker glass, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 13.500 rpm selama satu menit. Elution buffer 100µl ditambahkan kembali dan diinkubasikan selama 10 menit pada suhu 37ºC dalam beker glass, sehingga diperoleh DNA yang terlarut dalam 200 µl elution buffer.
26
Kualitas DNA hasil isolasi dilihat dengan dielektroforesis pada gel agarose 1%. Loading sampel ke dalam sumuran dilakukan dengan komposisi 8 µl sampel ditambah dengan 2 µl GBB. Elektroforesis dilakukan dengan arus listrik 90 Volt selama 30 menit. 4.
Amplifikasi Gen COX-2 dengan Teknik PCR Hasil isolasi DNA digunakan sebagai cetakan atau template DNA dalam
proses amplifikasi dengan teknik PCR. Amplifikasi gen COX-2 menggunakan primer APRA8C2F dan APRA8C2R. Susunan basa primer dan melting temperature (Tm) disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Urutan basa primer serta melting dan annealing temperature Primer APRA8C2F APRA8C2R
Susunan basa 5’ – GCT GGT TTC AAG CCA ACA TC – 3’ 5’ – TGT TGG AGG GAA ATA AGG CG – 3’
Tm (ºC) 54,8 55,1
Ta (oC) 52 52
Komposisi campuran pereaksi PCR DNA untuk satu reaksi 50 µl adalah 25 µl Kappa Taq DNA Polymerase readymix, 2 µl 10 pmol untuk masing-masing primer APRA8C2F dan APRA8C2R, 16 µl DNA total dari Rusa timorensis dan ditambahkan ddH2O 5 µl. Kondisi thermocycler untuk amplifikasi DNA adalah pre-denaturasi pada suhu 94ºC selama 5 menit, denaturasi pada 94ºC selama satu menit, annealing atau proses penempelan pada 52ºC selama 45 detik, elongation atau proses pemanjangan pada suhu 72ºC selama satu menit, dan post-elongation pada suhu 72ºC selama lima menit. Reaksi dilakukan sebanyak 35 siklus. 5.
Elektroforesis Gel Agarose Proses elektroforesis dengan gel agarose dilakukan untuk melihat hasil
isolasi DNA dan PCR. Proses yang dilakukan pertama kali adalah pembuatan gel. Konsentrasi gel yang digunakan adalah 1% yaitu 0,25 gram agarose dilarutkan
27
dengan 25 ml TBE 1X atau 0,5 gram agarose dalam 50 ml TBE 1X. Volume 25 ml mencukupi untuk membuat gel agarose dengan delapan sumuran, sedangkan volume 50 ml mencukupi untuk membuat gel agarose dengan 17 sumuran. Pelarutan agarose dalam TBE 1X dengan cara dipanaskan di dalam microwave oven selama 45 detik. Setelah itu, dalam gel cair ditambahkan Florosafe DNA sebagai pewarna sebanyak 1-2 µl untuk volume gel 25 ml dan 3 µl untuk volume gel 50 ml. Cetakan yang terbuka ditutup dengan isolasi dan diletakkan di dudukan cetakan, kemudian sisir diletakkan di atasnya untuk menciptakan sumuran pada gel. Jika gel cair sudah tidak terlalu panas (suhu sekitar 55ºC), gel cair dituangkan ke dalam plat pencetak agar hingga mengeras. Setelah gel mengeras, plat yang berisi gel agarose diletakkan dalam bak elektroforesis yang berisi larutan buffer sesuai dengan buffer yang digunakan untuk membuat gel agarose yaitu TBE 1X. Sampel hasil PCR sebanyak 3 µl diambil dengan mikropipet kemudian dicampur dengan gliserin bromphenol blue (GBB) sebanyak 1 µl dan dimasukkan ke dalam sumuran agarose. Elektroforesis dilakukan dengan arus listrik 90 Volt dan ditunggu hingga proses selesai sekitar ± 30 menit. Pita molekul DNA diamati dengan bantuan ultraviolet transluminator (λ=260 nm). 6.
Sekuensing DNA Sekuensing DNA untuk menentukan runutan nukleotida dilakukan oleh
First Base International di Singapura menggunakan metode Sanger (metode terminasi rantai). Sekuensing DNA dilakukan sebanyak dua kali reaksi untuk masing-masing sampel, yaitu menggunakan primer APRA8C2F dan APRA8C2R
28
masing-masing dengan konsentrasi 10 pmol. Hasil PCR digunakan sebagai cetakan dalam reaksi sekuensing. Komponen lain yang digunakan selain hasil PCR dan primer adalah enzim Taq Polymerase, dNTP dan ddNTP. 7.
Analisis Data Analisis data hasil sekuensing menggunakan program MEGA versi 6.06.
Hasil sekuensing gen dilakukan penjajaran berganda dengan program Clustal W (Thompson dkk., 1994). Berdasarkan hasil sekuensing (perunutan nukleotida), analisis gen dilakukan berdasarkan urutan nukleotida dan asam amino. Urutan asam amino diolah dari basa yang diterjemahkan mengikuti vertebrate mitochondrial translation code. Untuk penjajaran urutan nukleotida dari 765 sampai 2.000 bp diperlukan MEGA versi 6.06 yang sangat efisien baik dari segi kinerja maupun memori yang dibutuhkan (Tamura dkk., 2013). Sekuen gen penyandi COX-2 dari spesies rusa lain dan dari famili lain yang digunakan sebagai pembanding diambil dari Genbank, antara lain Rusa timorensis (NC_020745.1); spesies-spesies dalam rumpun Cervini yaitu yaitu Rusa unicolor swinhoei (NC_008414.3), Rusa alfredi (NC_020744.1), Cervus elaphus (AB245427.2), Cervus nippon yesoensis (AB210267.2) dan Axis axis (NC_020680.1); spesies dalam rumpun Muntiacini yaitu Muntiacus muntjak (NC_004563.1); dan spesies dalam famili lain (Bovidae) yaitu Bos javanicus (NC_012706.1).