BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pemerintah Indonesia telah menetapkan rusa Jawa sebagai satwa liar yang dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar karena populasi rusa Jawa di Indonesia terus berkurang. Berkurangnya populasi rusa karena maraknya aksi perburuan ilegal yang dilakukan masyarakat. Perusakan kawasan hutan dan maraknya perdagangan rusa secara liar juga turut menjadi penyebab berkurangnya populasi. Hasil survei menyebutkan bahwa di Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa sebagai lokasi habitat rusa terbesar di Nusa Tenggara Barat pada 1998 jumlahnya 11.000 ekor, namun pada survei 2012 jumlahnya menyusut drastis menjadi 3.000 ekor (Anonim, 2015). Berdasarkan kategori International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List tahun 1996, Rusa timorensis berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) namun pada tahun 2008 termasuk dalam kategori rentan (vulnerable) yang berarti mempunyai resiko yang tinggi untuk punah. Perubahan status ini disebabkan oleh total populasinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dan mengalami penurunan minimal 10% dalam tiga generasi (dalam kurun waktu 15 tahun) (Hedges et al, 2008). Konservasi terhadap hewan maupun tumbuhan dapat dilakukan secara insitu maupun ex-situ, untuk menjaga kelestariannya. Konservasi terhadap rusa Jawa yang ada di Unit Taman Rusa FKH UGM dapat dilakukan dengan
1
2
menggunakan metode molekuler. Metode molekuler dapat dilakukan untuk memperoleh asal usul rusa, kekerabatan rusa, bahkan keragaman genetik itu sendiri. Penelitian terhadap karakteristik rusa Timor di Unit Taman Rusa FKH UGM perlu dilakukan, bahkan rusa yang ada di Indonesia serta merujuk pada IUCN kalau rusa Jawa cukup rentan dan terancam punah. Apabila konservasi rusa tidak dijaga populasinya maka rusa Jawa akan segera punah, sehingga program program konservasi perlu dibuat sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah ada. Hasil wawancara yang dilakukan dengan drh. Slamet Raharjo selaku ketua Unit Taman Rusa FKH UGM, disebutkan bahwa rusa Jawa di Unit Taman Rusa FKH UGM pada awalnya terdiri dari satu jantan dan satu betina. Rusa tersebut merupakan sumbangan dari Wakil Gubernur Papua, drh. Constan Karma, pada bulan Juli 2004. Rusa tersebut berasal dari satu peranakan. Hingga tahun 2014, rusa tersebut berkembang biak menjadi 16 ekor. Fakta di lapangan menunjukkan kasus inbreeding sangat tinggi karena dalam satu musim kawin hampir semua betina dikawini oleh pejantan yang sama (pejantan alfa/dominan). Pejantan dominan dapat berkuasa hingga beberapa tahun sehingga anak-anak yang dilahirkan dalam beberapa generasi keragaman genetiknya sangat rendah. Berdasarkan Nomor 7 Tahun 1999, status konservasi IUCN, dan hasil wawancara dengan drh. Slamet Raharjo tersebut diketahui bahwa populasi rusa saat ini terancam punah dan perlu upaya konservasi untuk menjaga kelestarian rusa sebagai plasma nutfah Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang kajian keragaman genetik sebagai upaya untuk mendukung konservasi rusa Jawa dan program pemerintah.
3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman genetik Rusa timorensis, sehingga hubungan kekerabatan diantara rusa dapat diketahui yang didasarkan atas gen ATP8 sebagai penyandi genetik rusa yang ada di Unit Taman Rusa FKH UGM. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mempelajari taksonomi rusa, merancang strategi konservasi, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya genetik rusa, bahkan mengetahui kekerabatan Rusa timorensis yang ada di Unit Taman Rusa FKH UGM. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi yang membutuhkan.
`BAB II TINJAUAN PUSTAKA Rusa Jawa (Rusa timorensis) Rusa Jawa (Rusa timorensis) (Gambar 1) termasuk Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Mammalia, Sub-klas Theria, Infra-klas Eutheria, Sub-ordo Ruminansia, Ordo Artiodactila, Famili Cervidae, Sub Famili Cervinae dan Genus Rusa (Bismark dkk., 2011; Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Pemberian nama lokal Rusa timorensis sangat beragam, rusa ini di Pulau Jawa disebut rusa Jawa, di Madura disebut Manceungan, di Pulau Jawa dikenal sebagai rusa Jawa, di Sulawesi sebagai Jongga dan di Kepulauan Maluku sebagai rusa Maluku. Secara umum, Rusa Timorensis dikenal sebagai rusa Jawa (Hedges et al., 2008; Semiadi dan Nugraha, 2004; Maryanto dkk., 2007 ).
Gambar 1. Rusa Timorensis (Bismark dkk., 2011) Rusa Jawa memiliki warna kulit coklat kemerah-merahan. Bagian bawah perut dan ekor berwarna putih (Santosa, 2011). Rusa jantan warnanya lebih gelap dan bulunya lebih kasar. Panjang badan berkisar antara 1,95 sampai dengan 2,10 m, tinggi badan 1,00 sampai dengan 1,10 m, dan tinggi tumitnya 0,29 sampai 0,35 m (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994).
4
5
Berat badan rusa dewasa mencapai 60 kg (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994) atau kisaran 40 - 120 kg (Bismark dkk., 2011). Berat lahir antara 3 sampai 4 kg (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Rusa Jawa tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Gambar 2 menunjukkan peta persebaran sub-spesies rusa di Indonesia.
Gambar 2. Peta persebaran sub-spesies rusa di Indonesia (Bismark dkk., 2011) Keterangan gambar: 1. R. u. equinus (Curier, 1823) 2. R. u. brookei (Hose 1893) 3. R. t. russa (Muller & Schi, 1844) 4. R. t. floresiensis (Heude, 1896) 5. R. t. Timorensis (Blainville, 1822)
6. 7. 8. 9. 10.
R. t. djonga (Bemmel, 1949) R. t. moluccensis (Muller, 1836) R. t. renschi (Sody, 1933) R. t. laronesiores (Bemmel, 1949) R. t. macassaricus (Heude, 1896)
Rusa Jawa dapat ditemukan di Kalimantan, Jawa, Maluku, dan Papua Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Satwa ini di Papua merupakan hewan introduksi yang telah berkembang sekitar 80 tahun dan menyebar hampir di seluruh daerah di Papua. Rusa tersebut telah mengalami proses adaptasi dan isolasi geografis di masing-masing habitat. Hal tersebut memungkinkan terjadinya variasi genetik antar populasi yang ada (Murwanto, 2008). Habitat alami rusa ini terdapat di Bali dan Nusa Tenggara (Bismark dkk., 2011). Habitat alami rusa terdiri dari beberapa tipe vegetasi. Savana dimanfaatkan sebagai sumber pakannya dan vegetasi hutan dimanfaatkan untuk tempat bernaungnya, kawin dan menghindarkan diri dari predator. Rusa Jawa dapat hidup
6
di daerah dataran rendah sampai 2.600 m di atas permukaan laut (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994; Santoso, 2011). Rusa Jawa hidup berkelompok. Satu kelompok terdiri dari 25 sampai 1500 ekor rusa (Santoso, 2011). Masing masing kelompok mempunyai daerah teritorial sendiri (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Rusa Jawa mempunyai tingkatan dalam kelompok terdiri dari pimpinan dan bawahan. Rusa jantan besar dengan ranggah keras umumnya sebagai pimpinan yang membawahi beberapa induk betina dan anak–anaknya. Kelompok besar satwa ini umumnya terbagi menjadi tiga subkelompok yaitu sub-kelompok campuran rusa jantan dan betina: rusa jantan besar menguasai kelompok betina dewasa, sub-kelompok rusa jantan muda yang telah disapih, dan sub-kelompok betina bunting dan rusa yang sedang menyusui anaknya (Bismark dkk., 2011). Rusa Jawa umumnya nokturnal, yaitu aktif mencari makan apabila hari gelap (Bismark dkk., 2011), sedangkan menurut Santosa (2011), rusa Jawa dapat beraktivitas di siang hari (diurnal) maupun di malam hari (nokturnal). Perilaku ini dapat berubah sesuai dengan pola pengelolaannya karena rusa Jawa dapat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitatnya dengan baik. Kegiatan harian rusa Jawa dalam melakukan aktivitasnya seperti merumput (31,17%), mengunyah rumput (14,63%), dan berbaring/istirahat (13,54%). Merumput paling banyak dilakukan pada pagi hari dan menjelang malam hari, sedangkan mengunyah rumput dan istirahat banyak dilakukan pada siang hari (Wirdateti dkk., 2005). Ismail (2011) menyebutkan bahwa rusa Jawa menggigit dan merenggut rumput dari rumpunnya diantara gigi seri bawah dan gusi atas, serta menggerakkan
7
kepalanya ke depan atau ke belakang. Saat menggigit dan merenggut rumput, moncongnya ditekankan pada bidang yang mendatar kalau memakan tanaman rumput yang pendek, sebaliknya kepalanya akan bergerak vertikal kalau memakan tanaman yang tinggi. Jenis kelamin tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya renggutan rumput/menit dan kunyahan/menit. Demikian juga dengan banyaknya renggutan rumput/menit antar kelompok umur tidak berbeda nyata. Rusa betina mengalami dewasa kelamin pada umur 2 tahun 3 bulan dan umur tua sekitar 15 sampai dengan 18 tahun. Lama kebuntingan rusa ini antara 250 sampai dengan 285 hari. Menurut Santosa (2011) anak rusa disapih pada umur 6 sampai 8 bulan. Jumlah anak yang dilahirkan setiap beranak umumnya 1 ekor. Anak yang baru dilahirkan selalu berada di dekat induknya. Setelah disapih, anak masih tetap berada di kelompok induknya. Rusa jantan yang sedang dalam masa reproduksi tingkah lakunya lebih agresif daripada keadaan biasanya. Perkawinan berlangsung secara alami dan waktu kopulasi relatif cepat dan singkat (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Pakan rusa harus mengandung air, selulosa, protein dan mineral. Air menyusun sekitar 75% dari jaringan–jaringan bebas lemak dalam tubuh. Kebutuhan air dapat diperoleh dari air minum, makanan yang dikonsumsi, oksidasi metabolik makanan, dan sintesis molekul yang kompleks di dalam tubuh (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Kii and Dryden (2005) melaporkan kebutuhan air harian rusa Jawa lebih dipengaruhi oleh dry matter (DM) dan neutral detergent fiber (NDF) pada pakan daripada cuaca. Rusa yang sedang tumbuh, menurut Jacoeb dan Wiryosuharto (1994), dengan temperatur lingkungan lebih dari 20oC
8
membutuhkan air sebanyak 3 liter per kg bahan kering pakan. Induk bunting dengan masa kebuntingan 1 sampai dengan 3 bulan dengan suhu lingkungan lebih dari 20oC kebutuhan airnya 5,4 liter. Induk bunting sampai 5 bulan membutuhkan 6,6 liter air. Rusa termasuk hewan ruminansia, sehingga pakannya harus mengandung banyak selulosa, hemiselulosa, pati, dan karbohidrat yang larut dalam air. Wirdateti dkk. (2005) menyebutkan pakan yang disukai rusa umumnya dari jenis rumput-rumputan, kacang-kacangan, sebaliknya tidak menyukai pakan yang berdaun tebal, berdaun pahit dan berbau busuk. Kebutuhan konsumsi protein rusa dalam ransum sekitar 8% dengan total digestible nutrient (TDN) 65%. Kebutuhan kalsium (Ca) rusa adalah 15 g/hari dan fosfor 12,5 g/ekor/hari (Jacoeb dan Wiryosuharto, 1994). Deoxyribonucleic acid (DNA) Deoxyribonucleic acid (DNA) menyimpan perintah penting untuk pembentukan semua protein yang dibutuhkan sel. Satu rantai DNA mengandung banyak gen. Rantai DNA terkondensasi menjadi sebuah kromosom. Sel hewan mempunyai DNA yang terdapat di dalam nukleus dan mitokondria. Molekul DNA merupakan suatu polimer yang tersusun atas monomer nukleotida. Nukleotida dibentuk dari gula pentosa, asam fosfat dan basa nitrogen. Gula pentosa pada DNA disebut deoksiribosa, sedangkan gula pada ribonucleic acid (RNA) disebut ribosa. Unit deoksiribosa dan asam fosfat membentuk kerangka DNA. Setiap deoksiribosa mengikat basa nitrogen. Deoksiribosa dan basa nitrogen tanpa asam pospat disebut nukleosida. Basa nitrogen terdiri dari pirimidin dan purin. Sitosin
9
(C) dan timin (T) termasuk basa pirimidin. Basa purin terdiri dari Adenin (A) dan guanin (G) (Berk et al., 2002; Murray et al., 2000; Suryo, 2005), seperti gambar di bawah ini.
Gambar 3. Struktur DNA (Campbell et al., 2008) Molekul DNA berbentuk untai ganda. Gugus fosfat pada atom karbon nomor 5’ (C 5’) gula yang satu akan berikatan dengan atom karbon nomor 3’ (C 3’) pada gula berikutnya, sehingga terbentuk kerangka deoksiribosa-fosfat. Kerangka deoksiribosa-fosfat berada di bagian luar dan basa nitrogen berada di bagian dalam dari untai ganda. Atom karbon deoksiribosa nomor 1’ (C 1’) akan berikatan dengan atom nitrogen nomor 9 pada purin atau nomor 1 pada pirimidin. Pasangan basa spesifik saling berikatan, sehingga mampu menghubungkan dua untai DNA. Adenin berpasangan dengan timin (A-T) dan guanin berpasangan dengan sitosin (G-C). Pasangan basa A-T mempunyai dua ikatan hidrogen, sedangkan pasangan basa G-C mempunyai tiga ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen yang menghubungkan pasangan basa tersebut lebih lemah daripada ikatan kovalen pada kerangka DNA. Hal ini berguna untuk memudahkan proses biokimiawi yang terjadi secara reversibel. Untai ganda DNA jika dipisah menjadi rantai tunggal,
10
masing-masing rantai dapat menjadi cetakan untuk membentuk untai baru pasangannya (Berk et al., 2002; Passarge, 2007). Nukleosida monofosfat merupakan nukleotida yang memiliki satu gugus fosfat, contohnya adenin deoksiribonukleosida monofosfat (dAMP). Selain bentuk monofosfat, nukleosida juga terdapat dalam bentuk difosfat maupun trifosfat. Nukleosida trifosfat ini merupakan prekursor langsung untuk sintesis DNA. Trifosfat dari empat deoksiribonukleotida, yaitu deoksiadenosin tripospat (dATP), deoksiguanosin trifosfat (dGTP), deksisitidin trifosfat (dCTP) dan timidin trifosfat (TTP) (Suryo, 2005). DNA Mitokondria Mitokondria merupakan organel sel tempat berlangsungnya respirasi seluler. Organel ini mempunyai dua lapis dinding, bagian dalam dan luar. Lapisan dinding dalam melipat-lipat ke dalam dan membentuk sekat yang disebut krista. Isi mitokondria disebut matriks. Matriks mitokondria mengandung banyak enzim dan juga terdapat DNA. Molekul DNA di dalam mitokondria ini yang disebut dengan mitokondrial DNA (mtDNA) (Campbell et al., 2008; Martoharsono, 2006). Struktur dan letak gen DNA mitokondria ditunjukkan pada Gambar 4.
11
Gambar 4. Struktur genom mitokondria (Strachnan and Read, 2011) Mitokondrial DNA berbentuk untai ganda, sirkuler dan berukuran sekitar 14.000 sampai dengan 39.000 pasangan basa. Untai ganda mtDNA terdiri dari untai berat (H) dan ringan (L) berdasarkan kandungan basa guanin. Untai H kaya akan basa nitrogen guanin, sedangkan untai L memiliki lebih sedikit guanin (Bielawski dan Gold, 2002). Berbeda dengan gen nukleus, mtDNA lebih kompak dan lebih sedikit mengandung non-coding region. Gen yang terdapat pada mitokondria hewan secara umum memiliki jumlah dan jenis yang sama. Gen tersebut meliputi 13 gen yang mengkode protein, dua gen pengkode ribosomal RNA (rRNA), dan 22 gen pengkode RNA transfer (tRNA). Gen yang mengkode protein meliputi tujuh subunit NADH dehidrogenase (ND1, ND2, ND4, ND4L, ND5, ND6), tiga subunit sitokrom c oksidase (COX1, COX2, COX3), dua sub-unit ATPase (ATP6, ATP8) dan komplek sitokrom bc1 (CytB). Dua gen pengkode rRNA yaitu 12S rRNA dan 16S rRNA. Gen pengkode tRNA yaitu fenilalanin (tRNAPhe), valin (tRNAVal), leusin (tRNALeu), isoleusin (tRNAIle), metionin
12
(tRNAMet), triptofan (tRNATrp), asam aspartat (tRNAAsp), lisin (tRNALys), glisin (tRNAGly), arginin (tRNAArg), histidin (tRNAHis), serin (tRNASer), treonin (tRNAThr), asam glutamat (tRNAGlu), alanin (tRNAAla), asparagin (tRNAAsn), sistin (tRNACys), tirosin (tRNATyr), sistin (tRNACys), serin (tRNASer), glutamin (tRNAGln), dan prolin (tRNAPro) (Fonseca et al., 2008; Halsne, 2011; Solihin dan Duryadi, 1994). Adenosine Triphosphate Synthase Subunit 8 (ATP8) Adenosine Triphosphate synthase merupakan komponen penting untuk sintesis ATP. Enzim ini terletak di membran dalam mitokondria. Gradien proton yang dihasilkan oleh rantai respirasi sel digunakan oleh ATP sintase sebagai motor penggerak untuk sintesis ATP dari Adenosine Monophosphate (ADP) dan fosfat anorganik. Kompleks ATP sintase pada mamalia terdiri atas dua bagian yaitu bagian F1 yang mengandung sisi katalitik untuk sintesis dan hidrolisis ATP dan bagian F0 yang mengandung saluran proton yang mentranslokasikan proton melintasi membran dalam mitokondria (Fonseca et al., 2008; Houštek et al.., 2004). Dua subunit dari F0 yaitu subunit a (ATP6) dan A6L (ATP8) dikode oleh gen mitokondria, sedangkan semua subunit yang lain merupakan bagian yang dikode gen DNA inti ( Houštek et al., 2006). Gen ATP8 terletak di antara gen COX2 dan ATP6 pada rantai berat (H) mtDNA. Gen ini berukuran 200 basepair (bp) yang terletak antara pasangan basa ke-7774 dan ke-7974 (Hassanin et al., 2012). Gen ATP8 memiliki variasi yang tinggi, sehingga berpengaruh pada perubahan rata-rata asam amino per residu
13
yang sangat tinggi. Perubahan ini memungkinkan variasi antar spesies makhluk hidup (Fonseca et al., 2008). Isolasi DNA Prinsip dasar isolasi total DNA adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan yang akan diisolasi DNA-nya sehingga akan terbentuk ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Ekstrak sel dimurnikan, sehingga dihasilkan pelet sel yang mengandung DNA total. Tahapan dalam isolasi DNA yaitu: isolasi sel, lisis dinding dan membran sel, ekstraksi dalam larutan, purifikasi, dan presipitasi (Faatih, 2009). Sampel jaringan atau sel pertama-tama dihomogenisasi di dalam buffer yang mengandung Triton X-100 dan sodium deodecyl sulphate (SDS). Kedua senyawa tersebut berfungsi merusak sel dan menggangu komplek DNA-protein. Protein dan RNA kemudian dihilangkan dengan inkubasi oleh enzim proteolitik (biasanya proteinase K) dan ribonuclease. Molekul DNA kemudian diekstraksi ke dalam etanol. Etanol hanya mempresipitasi rantai panjang DNA (Holme and Peck, 1998). Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) menurut Handoyo dan Rudiretna (2000) merupakan suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA yang dilakukan secara in vitro. Molekul DNA pada target tertentu digandakan dengan cara mensintesis DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut. Penggandaan ini dilakukan dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai
14
primer dalam suatu thermocycler (Muladno, 2010) digunakan salah satunya PCR untuk kajian evolusi molekuler (Handoyo dan Rudiretna, 2000). Bahan yang diperlukan untuk PCR adalah DNA double stranded yang berisi DNA target, enzim, dNTPs, dan dua primer. Primer yang pertama merupakan komplemen dari ujung rantai DNA yang satu, sedangkan primer yang kedua berkomplemen dengan ujung DNA rantai yang lain (Campbell et al., 2008). Molekul DNA target yang digunakan sebaiknya berkisar antara 105 sampai dengan 106 molekul (Yusuf, 2010). Konsentrasi DNA yang terlalu banyak meningkatkan terbentuknya unspesific-band. Enzim yang digunakan adalah Taq polymerase. Enzim ini terdapat dua macam, yaitu enzim alami yang diisolasi dari mikroorganisme Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang disintesis di dalam bakteri Escherichia coli. Konsentrasi enzim yang digunakan tidak lebih dari 1 unit. Penggunaan enzim yang berlebihan dapat menyebabkan amplifikasi DNA pada sekuens yang bukan target (Muladno, 2010). Kelebihan enzim ini adalah dapat tetap stabil pada temperatur tinggi. Enzim ini memiliki pH optimal 8,2 sampai 9,0 dalam 10 mM Tris yang diukur pada suhu 25oC. Enzim ini sebaiknya disimpan pada suhu -20oC (Sulandri dan Zein, 2003). Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) mencakup dATP, dCTP, dGTP dan dTTP (Muladno, 2010). Konsentrasi masing-masing dNTP yang dipakai biasanya 200 µM. Larutan penyangga atau buffer yang biasa digunakan dalam proses PCR sebaiknya mengandung 10 mM Tri-HCl pH 8,3 dan 50 mM KCl. Ion Mg sangat penting untuk proses ini. Konsentrasi ion Mg biasanya 1,5 mM namun perlu dijustifikasi konsentrasinya setiap ada perubahan konsentrasi pada DNA target,
15
primer atau dNTP. Buffer terkadang ditambah 100 µg/ml gelatin atau Bovine Serum Albumin (BSA) untuk meningkatkan kualitas hasil PCR (Muladno, 2010). Primer berisi 20 sampai dengan 30 nukleotida spesifik (Joshi dan Deshpande, 2010) dan mengandung 50-60% G+C (Muladno, 2010). Primer yang terlalu pendek menyebabkan penempelan pada DNA bukan target, sedangkan primer yang terlalu panjang menyebabkan waktu penempelan yang terlalu lama (Brown, 2010). Semakin banyak kandungan G+C pada primer menyebabkan suhu annealing semakin tinggi. Primer biasanya didesain untuk mengamplifikasi gen dengan panjang maksimum 3000 sampai dengan 5000 basepair (bp) (Pelt-Verkuil dkk., 2008). Penyimpanan primer pada suhu -20oC (Sulandri dan Zein, 2003). Sekuens DNA untuk kedua primer tidak boleh saling berkomplemen karena memungkinkan terjadinya penempelan antar dimer yang disebut primer-dimer (Muladno, 2010). Tahap Kerja PCR Denaturasi. Molekul DNA terdenaturasi pada suhu 94-95oC (Sulandri dan Zein 2003) atau pada suhu 90-97oC menurut Joshi dan Deshpande (2010). Pada suhu ini rantai untai ganda terpisah, sehingga DNA menjadi untai tunggal (Holme dan Peck, 1998). Waktu yang diperlukan pada proses ini sekitar 30 detik pada suhu 95oC dan 15 detik pada suhu 97oC. Denaturasi yang tidak lengkap menyebabkan gagalnya proses PCR akibat adanya renaturasi (pembentukan DNA untai ganda lagi). Waktu denaturasi yang terlalu lama menyebabkan berkurangnya aktifitas enzim Taq polymerase. Waktu paruh enzim tersebut adalah 2 jam pada
16
suhu 92,5oC, 40 menit pada suhu 95 oC, dan 5 menit pada suhu 97,5 oC (Yusuf, 2010). Annealing. Proses annealing merupakan proses terjadinya penempelan primer (Muladno, 2010). Waktu annealing yang biasa digunakan dalam PCR adalah 30 sampai dengan 45 detik. Suhu diturunkan menjadi 36 sampai 72oC, sehingga primer dapat menempel pada DNA komplemennya. Semakin panjang primer suhu annealing semakin tinggi (Sulandri dan Zein, 2003). Melting temperature (Tm) adalah suhu ketika setengah dari DNA mengalami denaturasi. Suhu annealing yang digunakan untuk PCR berkisar 5o C dibawah Tm. Suhu annealing yang terlalu tinggi menyebabkan primer tidak dapat menempel pada DNA. Suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan mishibridisasi yaitu satu atau lebih primer menempel bukan pada gen target. Hasil PCR yang terjadi mis-hibridisasi akan terlihat adanya unspesific-band ketika dielektroforeis. Suhu annealing harus didesain cermat untuk memungkinkan penempelan primer dan agar tidak terjadi mis-hibridisasi (Brown, 2010; PeltVerkuil et al., 2008). Suhu hibridisasi DNA yang akurat dapat dihitung dengan rumus: T m = ( 4 x [ G + C ] + ( 2 x [ A + T ] ) oC Keterangan: [ G + C ] merupakan banyaknya nukleotida G dan C, [ A + T ] adalah banyaknya nekleotida A dan T (Brown, 2010). Elongasi. Enzim DNA polymerase memperpanjang primer dengan cara menyusun nukleosida trifosfat sesuai dengan cetakan DNA-nya (Holme and Peck, 1998). Kecepatan penyusunan nukleotida tergantung buffer, pH, konsentrasi garam, dan molekul DNA target. Perkiraan kecepatan penyusunan nukleotida
17
pada suhu 72 oC antara 35 sampai 100 nukleotida per detik (Sulandri dan Zein, 2003). Biasanya diakhir siklus PCR waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang hingga 5 menit, sehingga seluruh produk PCR sudah membentuk untai ganda. Ketiga tahapan tersebut merupakan satu siklus thermal. Jumlah fragmen DNA yang diamplifikasi adalah 2n. Nilai n adalah banyaknya siklus thermal. Banyaknya siklus disesuaikan dengan banyaknya DNA yang diinginkan (Sulandri dan Zein, 2003). Menurut Pelt-Verkuil et al. (2008) banyaknya siklus thermal minimal 20 siklus dan maksimal 50 siklus. Ilustrasi tahapan PCR ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Tahapan PCR (Yusuf, 2010) Keterangan: (1) Denaturasi, (2) Annealing, (3) Elongasi, (4) Siklus pertama selesai
18
Elektroforesis DNA Elektroforesis merupakan metode yang digunakan untuk pemisahan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat migrasinya dalam sebuah medan listrik (Sulandri dan Zein, 2003). DNA bermuatan negatif, sehingga bergerak dari kutub negatif menuju kutub positif pada alat elektroforesis (Campbell et al., 2008). Perpindahan molekul pada bidang elektris mengikuti rumus: . Keterangan: E = bidang elektris dalam volt/cm q = jumlah muatan molekul f = koefisien friksional, tergantung pada massa dan bentuk molekul v = kecepatan perpindahan molekul Perpindahan molekul sebanding dengan E = bidang elektris dalam volt/cm dan q = jumlah muatan molekul dan berbanding terbalik dengan f = koefisien friksional (Holme and Peck, 1998). Mobilitas asam nukleat tergantung pada konsentrasi agarose dan ukuran serta konformasi dari asam nukleat itu sendiri. Konformasi DNA ada tiga bentuk yaitu bentuk superhelical circular, nicked circular, dan linear. Bentuk superhelical circular paling cepat bermigrasi, diikuti dengan bentuk linear dan paling lambat adalah bentuk nicked circular. Konsentrasi agarose 0,3 sampai 2,0% adalah konsentrasi paling efektif untuk pemisahan asam nukleat (Boyer, 2000). Prinsip semua metode elektroforesis sama. Pembedanya adalah media yang dipakai. Media dapat berupa selulosa atau gel. Selulosa digunakan untuk
19
molekul yang mempunyai berat molekul rendah seperti asam amino dan karbohidrat. Gel polyacrylamide dan agarose digunakan untuk molekul dengan berat molekul yang lebih besar (Holme dan Peck, 1998). Elektroforesis gel agarose dan polyacrilamide banyak digunakan dalam visualisasi produk PCR (Sulandri dan Zein, 2003). Buffer yang dapat digunakan untuk elektroforesis adalah tris-acetateEDTA (TAE) atau tris-borate-EDTA (TBE). Fungsi buffer bukan hanya untuk menjaga pH agar tetap stabil, tetapi juga sebagai sumber ion untuk mendukung konduktivitas. Agarose dilarutkan dalam buffer dengan konsentrasi yang diperlukan, biasanya sekitar 0,5-2% kemudian dipanaskan dengan microwave oven sampai terlarut. Ethidium bromide ditambahkan pada larutan dengan konsentrasi 0,5 ug/ml untuk visualisasi DNA. Larutan didinginkan hingga suhu 55oC dan dituangkan pada cetakan agar. Sisir diangkat ketika agar sudah memadat (Yilmaz et al., 2012). Elektroforesis gel agarose berfungsi untuk analisis protein dan fragmen kecil asam nukleat dengan ukuran sampai 350.000 Dalton (500 bp). Gel agarose mempunyai pori yang kecil, sehingga tidak cocok dengan molekul asam nukleat yang berukuran besar atau molekul DNA utuh. Standar ukuran molekul yang bisa dielektroforesis menggunakan gel ini adalah antara 200 sampai 50.000 pasang basa (Holme and Peck, 1998). Agarose merupakan produk yang diekstraksi dari rumput laut. Agarose merupakan derivatif dari galactopyranose (Holme and Peck, 1998). Agarose membentuk suatu gel dengan ikatan hidrogen. Ukuran pori gel tergantung
20
konsentrasi agarose yang digunakan. DNA dipisahkan melalui ektroforesis berdasarkan ukuran, bentuk dan magnitude (Katoch, 2011). Fragmen DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat daripada molekul DNA yang memiliki berat molekul lebih besar (Sulandri dan Zein, 2003). Elektroforesis dapat mengetahui DNA berdasarkan ukuran, intactness, homogenitas dan purity (Katoch, 2011). Ethidium bromide (2,7-diamino-ethyl-9-phenylphenanthridiniumbromide-) merupakan pewarna yang biasanya ditambahkan pada larutan agarose sebelum membentuk gel. Iradiasi dari ethidium bromide menggunakan sinar ultra violet (UV) menghasilkan orange-red bands pada bagian yang terdapat DNA. Pemaparan gel pada sinar UV tidak boleh terlalu lama karena asam nukleat akan mengalami kerusakan, serta warna band akan semakin tidak jelas. Pewarnaan gel lain yang bisa digunakan adalah SYBR Green I. Pewarna ini lebih mahal, namun 25 kali lebih sensitif dibandingkan dengan ethidium bromide. Pewarna ini dapat dilihat menggunakan iradiasi sinar UV dan blue light menghasilkan warna hijau. Pewarna ini sangat selektif terhadap dsDNA dan kurang mutagenik dibandingkan ethidium bromide (Holme and Peck, 1998; Singer et al., 1999; Yilmaz et al., 2012). Sekuensing DNA Sekuensing merupakan metode untuk menentukan urutan basa pada rantai DNA. Metode yang dapat digunakan untuk sekuensing yaitu metode Sanger dan metode enzimatik lainnya, metode Maxam & Gilbert dan metode kimia lainnya, metode pyrosekuensing (metode sekuensing dengan cara deteksi pelepasan
21
pyrofosfat (PPi) dan sekuensing molekul tunggal dengan eksonuklease (Franca et al., 2002). Metode Sanger Metode Sanger disebut juga dengan metode terminasi rantai. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Fred Sanger pada pertengahan tahun 1970. Bahan yang diperlukan dalam metode ini adalah DNA yang akan disekuensing, primer, DNA polymerase, dNTP (dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), dan dideoxynukleotida (ddNTP – ddATP, ddCTP, ddGTP, dan ddTTP). Setiap ddNTP dilabeli dengan pewarna fluoresen yang berbeda (Brown, 2010). Molekul
DNA yang akan disekuensing terlebih dahulu diannealing
sehingga terbentuk untai tunggal. Primer selanjutnya dapat menempel pada DNA target, sehingga DNA polymerase dapat bekerja dengan menambahkan dNTP untuk elongasi. DNA polymerase tidak dapat membedakan antara dNTP dan ddNTP. Dideoxynukleotida atau ddNTP merupakan molekul dNTP yang kehilangan gugus 3’ OH yang dibutuhkan utnuk penempelan dengan nukleotida berikutnya. Proses elongasi akan berjalan sebagaimana mestinya sampai DNA polymerase
menambahkan
ddNTP
secara
acak.
Penambahan
ddNTP
menyebabkan proses elongasi terhenti. Berhentinya elongasi tiap rantai DNA berbeda tergantung letak penempelan ddNTP. Oleh karena itu, panjang untai DNA yang dihasilkan akan berbeda-beda. Panjang DNA yang berbeda akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda ketika dielektroforesis (Brown, 2010). Elektroforesis untuk sekuensing menggunakan elektroforesis gel polyacrylamide untuk memisahkan fragmen DNA berdasarkan panjangnya. Molekul DNA
22
melewati detektor fluoresen yang dapat membedakan label pada ddNTP. Hasil deteksi kemudian akan terbaca pada kromatogram (Brown, 2010). Analisis Hasil Salah satu aplikasi yang dapat digunakan untuk olah data hasil sekuensing adalah program program Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA). Program MEGA dikembangkan untuk analisis komparasi sekuen DNA dan protein. Saat ini MEGA mempunyai 6 versi yaitu MEGA 1.0, MEGA 2.0, MEGA 3.0, MEGA 4.0, MEGA 5.0, dan MEGA 6.0. Versi 6.0 berbeda dengan sebelumnya dengan adanya penambahan fasilitas untuk membangun pohon evolusi molekuler berskala waktu (time trees) yang dibutuhkan oleh para peneliti seiring penambahan jumlah riset yang melaporkan keberagaman untuk spesies, strain, dan gen duplikat (Tamura et al., 2013).
BAB III MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium
Biokimia,
Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada (FKH UGM), Yogyakarta dan dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai Februari 2015. Materi Penelitian Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikropipet (Gilson) dengan ukuran 1-10 µl, 200-1000 µl, p100, p200, 20-100 µl, waterbath shaker (Eyela Uni Thermo Shaker NTS-3000), mini sentrifus (Hanil), sentrifus (Model DSC 158), freezer, thermocycler (Infigen, Biotech, Inc.), perangkat elektroforesis (Mupid-Exu), microwave oven (Sanyo model EM-S728), seperangkat pencetak agar (plat dan sisir pencetak sumuran), timbangan digital (Mettler Toledo PB303S), magnetic stirer, vortex mixer (Maxi Mix II), gelas ukur, tabung Erlenmeyer, eppendorf, rak tabung, dan ultraviolet (UV) transilluminator (UVP 95-0225-02). Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah dari lima ekor rusa Jawa yang berbeda dan diambil dari penangkaran Unit Taman Rusa FKH UGM. Sampel yang diambil adalah rusa dengan nomor tagging 364 (parental), 573 (F1), 574 (F1), 583 (F2), dan 584 (F2). Sampel tersebut serta diberi kode APRTUGM364, APRTUGM573, APRTUGM574, APRTUGM583,
23
24
dan APRTUGM584. Bahan yang digunakan untuk isolasi DNA adalah Genomic DNA mini kit (Geneaid) yang terdiri dari RBC-lysis buffer, GB-buffer, Elution buffer, WI-buffer, wash buffer dan etanol absolut. Bahan yang digunakan untuk elektroforesis DNA adalah tris-borat-ethylen diamnie tetra acid (TBE) 1X, agarose, fluorosafe dan blue juice, dan marker DNA berukuran 10.000 base pair (bp). Bahan untuk PCR meliputi etanol absolut, Kappa Taq DNA Polymerase ready mix, primer forward berkode APRA8C2F (10pmol), primer reverse berkode APRA8C2R (10 pmol). Metode Penelitian Isolasi DNA Sampel darah yang akan diisolasi dimasukkan ke dalam ependorf, kemudian disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 8.000 rpm untuk mendapatkan buffycoat. Buffycoat dipisahkan dari pelet dan supernatan dengan cara diambil dengan mikropipet dan dimasukkan ke dalam ependorf yang baru. Langkah pertama untuk isolasi molekul DNA dengan metode Genomic DNA Mini Kit, 200 µl buffycoat dari masing-masing sampel diambil menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam ependorf. Sebanyak 600 µl RBC lysis buffer ditambahkan ke dalam ependorf tersebut. Selama 10 menit, ependorf diinkubasi pada suhu ruang dengan inversi setiap 3 menit. Setelah itu, ependorf disentrifus dengan kecepatan 13.500 rpm selama 1 menit. Supernatan hasil sentrifus diambil dengan mikropipet. Sisa pelet ditambah dengan 500 µl RBC lysis buffer lalu diresuspensi. Larutan hasil resuspensi kemudian disentrifus dengan kecepatan
25
13.500 rpm selama 1 menit. Supernatan diambil lagi, selanjutnya pelet ditambah dengan 200 µl RBC lysis buffer kemudian diresuspensi. Langkah kedua, sebanyak 250 µl GB buffer ditambahkan ke dalam larutan yang sudah diresuspensi kemudian di-vortex selama 30 detik agar homogen. Setelah itu, larutan diinkubasi pada suhu 60oC selama 30 menit hingga 1 jam sampai berwarna jernih. Langkah ketiga, etanol absolut sebanyak 250 µl ditambahkan ke dalam larutan tersebut lalu di-vortex selama 10 detik. GD-column dipasang di atas tabung koleksi. Larutan yang sudah di-vortex dimasukkan ke GDcolumn lalu disentrifus 13.500 rpm selama 5 menit. GD column diambil dan dipasang di atas tabung koleksi yang baru. Langkah keempat, sebanyak 400 µl W1 buffer ditambahkan di atas GD column lalu disentrifus 13.500 rpm selama 1 menit. Cairan di dalam tabung koleksi dibuang, lalu GD column dipasang lagi di atas tabung koleksi tersebut. Sebanyak 600 µl wash buffer ditambahkan di atas GD column, lalu disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 13.500 rpm. Cairan di dalam tabung koleksi dibuang, lalu GD column dipasang lagi di tabung koleksi tersebut. Tabung koleksi disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 13.500 rpm. Langkah kelima, GD column dipindah ke atas ependorf steril baru. Sebanyak 100 µl elution buffer yang sudah diinkubasi pada suhu 600C, ditambahkan di atas GD column. Ependorf diinkubasi pada suhu 370 C selama 10 menit lalu disentrifus 13500 rpm selama 1 menit. Langkah ini diulangi satu kali lagi. Setelah selesai, GD column dilepas dari ependorf. Ependorf yang berisi hasil isolasi DNA disimpan di dalam freezer.
26
Amplifikasi DNA dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Molekul DNA hasil isolasi digunakan sebagai cetakan pada proses amplifikasi dengan metode PCR. Primer forward yang digunakan adalah APRA8C2F dan reverse APRA8C2R. Susunan basa, annealing temperatur (Ta), dan melting temperature (Tm) primer disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Urutan dan jumlah nukleotida serta suhu annealing dan melting masingmasing primer Primer Susunan basa ∑Basa APRA8C2F 5’- GCT GGT TTC AAG CCA ACA TC -3’ 20 APRA8C2R 5’- TGT TGG AGG GAA ATA AGG CG-3’ 20
Tm (ºC) 54,8 55,1
Ta (ºC) 52 52
Komposisi campuran pereaksi PCR DNA untuk satu reaksi adalah 12,5 µl Kappa Taq DNA Polymerase ready mix, 1 µl 10 pmol untuk masing-masing primer APRA8C2F dan APRA8C2R, 8 µl DNA total dari Rusa Jawaensis dan ditambahkan ddH2O untuk memenuhi volume satu reaksi hingga mencapai 25 µl. Campuran ini dimasukkan ke dalam thermocycler dengan kondisi mesin PCR yang digunakan adalah pre-denaturasi pada suhu 94ºC selama 5 menit, denaturasi pada 94ºC selama 1 menit, annealing atau proses penempelan pada 52ºC selama 45 detik, elongasi pada suhu 72ºC selama 1 menit, dan post-elongation pada suhu 72ºC selama 5 menit. Reaksi dilakukan sebanyak 35 siklus. Elektroforesis Gel Agarose Pertama yang dilakukan adalah membuat gel dan konsentrasi yang digunakan adalah 1%. Agarose 0,5 gram ditambah TBE 1X sebanyak 50 ml dididihkan memakai microwave oven selama 60 detik. Volume 50 ml mencukupi untuk membuat gel agarose dengan 16 sumuran. Larutan yang masih agak panas
27
ditambah Fluorosafe sebanyak 3 µl sebagai pewarna. Setelah sisir dipasang, larutan agak dingin dimasukkan ke dalam cetakan dan kemudian ditunggu sampai gel mengeras. Setelah gel mengeras, gel agarose diletakkan dalam bak elektroforesis yang berisi larutan buffer. Larutan buffer pada bak elektroforesis sesuai dengan buffer yang digunakan untuk membuat gel agarose yaitu TBE 1X. Gliserin bromphenol blue (GBB) sebanyak 2 µl ditambah sampel 8 µl dicampur menggunakan mikropipet, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran gel agarose. Elektroforesis dilakukan dengan arus listrik 80 Volt dan ditunggu ±20 menit. Pengamatan pita DNA menggunakan UV transluminator. Panjang DNA hasil amplifikasi dapat diketahui dengan penanda DNA berukuran 10.000 basepair (bp). Sekuensing DNA Urutan nukleotida DNA
dapat diketahui setelah DNA hasil PCR
disekuensing. Sekuensing DNA dilakukan oleh First Base International (Singapura) menggunakan metode Sanger (metode terminasi rantai). Sekuensing DNA dilakukan 2 kali reaksi yaitu menggunakan APRA8C2F dan APRA8C2F masing-masing dengan konsentrasi 10 pmol. Komponen yang digunakan untuk proses sekuensing adalah hasil PCR yang digunakan sebagai cetakan, primer, Taq polymerase, dNTP, dan ddNTP. Analisis Hasil Hasil sekuensing gen ATP8 dianalisis dengan program MEGA versi 6.0. Penjajaran berganda dianalisis dengan Clustal W. Analisis gen ATP8 dilakukan
28
berdasarkan urutan nukleotida dan asam amino. Urutan asam amino diolah dari basa yang diterjemahkan mengikuti vertebratae mitochondruial translation code. Analisis jarak genetik menggunakan metode Kimura 2 parameter dan analisis filogeni menggunakan Neighbour-Joining 1000 kali pengulangan. Pada penelitian ini, gen ATP8 sampel rusa Jawa dibandingkan dengan gen ATP8 spesies lain yang diambil dari database Genbank. Spesies pembanding tersebut meliputi beberapa spesies yang termasuk dalam satu famili Cervidae dari sub-famili Cervinae. Cervinae terdiri dari dua tribe yaitu Cervinii dan Muntiacinii. Genus Rusa, Cervus, dan Axis termasuk ke dalam tribe Cervinii. Genus Rusa yang diambil sebagai pembanding yaitu Rusa timorensis (NC_020745.1), Rusa unicolor swinhoei (NC_008414.3), Rusa alfredi (NC_020744.1), genus Cervus yaitu
Cervus
nippon
hortulorum
(NC_013834.1)
dan
Cervus
elaphus
(AB245427.2), dan genus Axis yaitu Axis axis (NC_020680.1). Genus Muntiacus yang termasuk dalam tribe Muntiacinii yang diambil sebagai pembanding yaitu Muntiacus muntjak (NC_004563.1) (Hernandez-Fernandez and Vrba, 2005).