BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Letak Indonesia yang sangat strategis, telah dimanfaatkan sejak dahulu sebagai jalur pelayaran perdagangan internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan laut antara lain keterbatasan teknologi navigasi, masih rendahnya tingkat keselamatan pelayaran, dan berbagai faktor Iainnya, menjadikan tingkat kecelakaan di laut saat itu masih tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan banyaknya temuan-temuan kapal tenggelam di perairan Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber daya Kelautan dan Perikanan memperkirakan terdapat lebih dari 500 titik kapal tenggelam yang tersebar di perairan nusantara (Kompas, 20 April 2013: 12). Dalam hal pengelolaan potensi sumber daya kelautan, keberadaan kapal tenggelam dalam konteks arkeologis merupakan salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Keberadaan kapal tenggelam yang berpotensi sebagai data arkeologi dapat memiliki nilai ilmu pengetahuan, sejarah, dan nilai ekonomi. Benda berharga yang umumnya berasal dari kapal tenggelam, di samping
memiliki
potensi
ekonomi
juga
mengandung
bukti-bukti
sejarah/arkeologi maritim, sehingga upaya pemanfaatan benda berharga tersebut perlu mendapat pengawasan yang serius. Bentuk pemanfaatannya diupayakan agar tidak memberi dampak negatif berupa pemusnahan data sejarah budaya/arkeologi yang ada di laut. Potensi ekonomi dari benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam dapat dikontribusikan kepada negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan
1
2
Pajak. Target tersebut akan sulit tercapai jika pemanfaatan benda berharga tersebut tidak mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau bahkan dilakukan secara ilegal. Oleh karena itu, sejak 1989 diberlakukan suatu aturan mengenai proses pengelolaan benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam (yang disingkat menjadi BMKT). Menurut Keppres No. 19 Tahun 2007 (pasal 1 ayat 1), BMKT adalah istilah penyebutan untuk benda berharga asal muatan kapal yang tenggelam. Hal ini menunjuk pada benda-benda berharga yang berasal dari semua kapal yang tenggelam di wilayah perairan teritorial Indonesia. Wilayah perairan teritorial Indonesia yang dimaksud diatas adalah Zona
Ekonomi
Eksklusif
Indonesia,
dan
Landas
Kontinen
Indonesia.
Berdasarkan keppres tersebut di atas, benda-benda yang berasal dari semua kapal yang tenggelam dapat disebut sebagai BMKT apabila mempunyai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun. Kegiatan pengkoordinasian pengelolaan BMKT sudah dimulai sejak tahun 1989 melalui pembentukan Panitia Nasional BMKT dengan Ketua Menteri Koordinator Politik dan Keamanan melalui Keppres No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal
yang
Tenggelam.
Setelah
beberapa
kali
mengalami
perubahan
kepengurusan, susunan Panitia Nasional BMKT (PANNAS BMKT) sejak tahun 2000 dikoordinatori oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Keppres No. 107 Tahun 2000. Seiring dengan upaya untuk lebih meningkatkan kinerja serta untuk menyesuaikan dengan perubahan susunan tugas pokok dan fungsi kementerian dan lembaga, maka diterbitkan Keppres No.19 Tahun 2007 sebagai revisi atas Keppres No. 107 Tahun 2000. Revisi keppres tersebut di atas, dalam kelembagaannya melibatkan unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia,
3
Kejaksaan Agung, serta Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam susunan PANNAS BMKT. Pada tahun 2009, dokumen Keppres No.19 Tahun 2007 direvisi kembali menjadi Keppres No. 12 Tahun 2009. Perubahan tersebut hanya memperjelas status BMKT pada Pasal 2 dan Pasal 4 ayat 2, sedangkan susunan PANNAS BMKT tetap terdiri atas 17 lembaga pemerintahan sebagaimana tercantum pada sebelumnya (Keppres No.19 Tahun 2007). Dalam upaya mendukung kegiatan pengelolaan BMKT, berbagai perangkat peraturan teknis juga ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Dalam hal ini, tugas Panitia Nasional ialah mengkoordinasikan kegiatan antar departemen; menyiapkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan rekomendasi perizinan survei dan pengangkatan dan pemanfaatan BMKT
ke
pejabat
berwenang;
dan
menyelenggarakan
pemantauan,
pengawasan, dan pengendalian atas proses pengangkatan, pengangkutan dan pemanfaatan BMKT tersebut. Pemerintah dan masyarakat Indonesia mulai menyadari potensi tinggalan arkeologi bawah air setelah terjadi kasus pada tahun 1986 berupa pengangkatan dan pelelangan ilegal muatan kapal kargo VOC Geldermalsen yang karam pada tahun 1751 di perairan Pulau Buaya Riau. Awalnya, benda-benda pada kapal karam menjadi perhatian karena mengandung potensi secara ekonomi. Hal ini dikarenakan benda-benda yang diangkat dari kapal tersebut antara lain berupa lebih dari 150.000 buah keramik Cina dan 126 batang emas seberat 50 kg. Berdasarkan catatan Balai Lelang Christie’s Amsterdam, benda-benda hasil
4
pengangkatan kapal kargo VOC Geldermalsen telah terjual melalui pelelangan ini sejumlah 18 juta dollar Amerika (Green, 2004). Walaupun lokasi penemuan kapal karam Geldermalsen berada di wilayah perairan Indonesia, namun seluruh temuan barang dimiliki oleh Michael Hatcher. Berdasarkan berbagai kajian tentang aspek nilai penting benda sejarah dan aspek lainnya, disusun suatu regulasi yang saling menguntungkan antara pemilik wilayah tempat penemuan barang dan kapal karam, pemilik barang, dan pengambil barang. Akan tetapi, pemerintah Indonesia sama sekali tidak mendapatkan hasil dari penjualan tersebut. Oleh sebab itu, kemudian muncul regulasi-regulasi yang cenderung lebih berorientasi pada aspek (ekonomis) nilai jualnya saja. Kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologis bawah air di Indonesia sejauh ini
masih
terfokus
pada
pemanfaatan
ekonomis
atas
barang
yang
diambil/ditemukan, sedangkan kepentingan yang lain seperti nilai penting ilmu pengetahuan, kesejarahan, dan kemanfaatan untuk masyarakat luas seperti yang diamanatkan pada UU No. 11 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 1 masih kurang diperhatikan. Penggunaan kata “Benda Berharga” pada istilah Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang dibuat oleh pemerintah juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk keengganan pemerintah untuk mengakui bahwa tinggalan arkeologi bawah air adalah sebagai benda cagar budaya yang wajib dilestarikan. Koos Siti Rochmani (2003) dalam tulisannya di Buletin Cagar Budaya menyebutkan bahwa nuansa nilai ekonomis tinggalan arkeologi bawah air sangat menonjol sehingga di Indonesia tinggalan tersebut lebih sering dianggap sebagai harta karun daripada benda cagar budaya. Padahal jika merujuk pemahaman yang disepakati oleh para ahli, sudah jelas bahwa tinggalan arkeologi bawah air
5
adalah benda cagar budaya (UURI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Dalam Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air, disebutkan bahwa kapal-kapal karam dan tinggalan arkeologi bawah air lainnya dianggap sebagai benda cagar budaya. Oleh karena itu, UNESCO melarang bentuk-bentuk kegiatan eksploitasi komersial terhadap benda cagar budaya bawah air (Pasal 2 ayat 7, Konvensi UNESCO Tahun 2001). Selama ini titik perhatian utama kegiatan pengangkatan dan pengelolaan BMKT adalah keramik. Hal ini dikarenakan benda hasil pengangkatan asal kapal muatan yang tenggelam, yang berupa keramik, merupakan temuan yang paling banyak dan dominan. Keramik sebagai benda cagar budaya memiliki nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, keramik hasil pengangkatan BMKT tersebut juga mengandung nilai informasi dan nilai akademis yang tinggi karena memiliki: 1. nilai kuantitas: semakin banyak jumlahnya maka nilai informasi akan semakin baik namun, semakin banyak jumlah temuan keramik dalam jenis dan masa yang sama, maka nilai ekonomisnya (nilai jual barang tersebut) akan semakin kecil; 2. nilai in situ: lokasi penemuan dipastikan asli dan masih pada tempatnya; 3. nilai otentisitas: pengamatan dari segi bahan, bentuk, dan isi temuan dipastikan asli bukan imitasi atau modifikasi; dan 4. nilai integritas: temuan-temuan lain yang berupa non-keramik dapat saling menunjang atau merupakan suatu perpaduan yang utuh sehingga makna kultural yang dimiliki dapat disajikan secara utuh (Tanudirjo, 2004a). Namun, ketiadaan suatu standar prosedur pelaksanaan penanganan terhadap temuan keramik hasil pengangkatan BMKT di Indonesia ini, dapat
6
menyebabkan penurunan kualitas nilai penting atas potensi keramik tersebut bila difungsikan sebagai benda cagar budaya. Penurunan kualitas temuan keramik dari BMKT akan menyebabkan hilangnya nilai informasi dan nilai akademis bahkan akan berdampak pada menurunnya kemanfaatan nilai ekonomis. Salah satu tempat yang memiliki tinggalan arkeologi bawah air yang telah ditindaklanjuti dengan proses kegiatan pengangkatan BMKT adalah di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kegiatan pengangkatan ini dilakukan setelah diterbitkannya izin pengangkatan oleh bupati melalui Surat Keputusan Bupati Jepara No. 185 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007 kepada PT. Adikencana Salvage (PT AKS) berdasarkan surat rekomendasi dari PANNAS BMKT pada 28 Juni 2007. Lokasi pengangkatan muatan kapal karam ini terletak pada koordinat 06˚ 20’ 56,67’’ LS -- 110˚ 49’ 35,22” BT di kedalaman 30 mdpl.
Titik Pengangkatan BMKT PT AKS Pulau Mandalika
PLTU Muria
Pulau Panjang Pelabuhan Kartini Gudang penyimpanan BMKT/ Kantor PT AKS
Gambar No. 1 Citra satelit yang menunjukan lokasi pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kab. Jepara Sumber: www.googleearth.com
7
Berdasarkan ketentuan teknis pengangkatan BMKT, izin pengangkatan BMKT berlaku hanya untuk satu kali kegiatan pada satu lokasi dengan jangka waktu dua tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu enam bulan. Dalam dokumen laporan hasil pengangkatan BMKT oleh PT AKS kepada Bupati Jepara tanggal 18 Maret 2008, sepanjang tahun 2007--2008 kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kabupaten Jepara berlangsung, menghasilkan tidak kurang dari 13.306 buah keramik yang dapat diangkat. Sementara itu, hasil observasi di tempat penyimpanan BMKT milik PT AKS di Kota Jepara pada tahun 2013 menunjukan fakta bahwa kondisi BMKT berupa keramik pasca pengangkatan tersebut tidak tertangani secara optimal, bahkan terkesan keramik tersebut tidak terurus dengan baik. Ketidakjelasan model
pengelolaan
dan
aturan
mengenai
penanganan
BMKT
pasca
pengangkatan ini ikut andil dalam menciptakan kondisi tersebut. Kondisi tersebut disebabkan karena tidak ada petunjuk teknis yang jelas dari instansi-instansi terkait. Mengacu pada ketentuan teknis pengangkatan dari PANNAS BMKT, pasca kegiatan pengangkatan BMKT diikuti dengan kegiatan pemilahan kualitas dan kuantitas BMKT untuk kepentingan pelelangan. Akan tetapi kondisi faktual di lapangan, BMKT hasil pengangkatan tersebut hanya tersimpan di dalam gudang penyimpanan tanpa penanganan lebih lanjut, misalnya kegiatan konservasi keramik, pemilahan, pendokumentasian, dan pengepakan. Penanganan tersebut justru perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian BMKT yang berpotensi sebagai objek yang diduga cagar budaya.
8
Sementara itu, pada saat proses kegiatan pengangkatan BMKT berlangsung, terjadi beberapa kali insiden yaitu penghentian kegiatan oleh masyarakat nelayan di sekitar lokasi pengangkatan. Kelompok nelayan setempat yang diwakili oleh suatu LSM mengajukan tuntutan klaim ganti rugi karena menganggap kegiatan pengangkatan BMKT tersebut mengganggu aktivitas mereka. Selanjutnya, tuntutan menjadi berkembang berupa adanya keinginan masyarakat nelayan untuk diikut sertakan pada kegiatan pengangkatan, tuntutan bagi hasil dari keuntungan pelelangan BMKT, dan mengklaim agar pihak nelayan dapat memiliki sejumlah benda-benda yang diangkat dari dalam laut. Hal itu terjadi karena tidak adanya suatu sosialiasi mengenai kegiatan pengangkatan BMKT di sekitar lokasi. Berdasarkan
keterangan
tersebut
di
atas,
menunjukkan
adanya
permasalahan pengelolaan pada sumber daya arkeologi tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai model pengelolaan dan aturan penanganan BMKT pasca pengangkatan oleh pemerintah (dalam hal ini menunjuk pada PANNAS BMKT); selain itu, terdapat pula konflik kepentingan antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT di Perairan Laut Jepara. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha untuk mengevaluasi bagaimana sebaiknya prosedur yang tepat mengenai pengelolaan sumber daya arkeologi yang berasal dari kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Jepara. Sesuai dengan sifat penelitian evaluasi, maka penelitian ini juga diupayakan untuk dapat mengetahui keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dijalankan di masa lampau.
9
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyusun tata cara pengelolaan yang lebih baik di masa yang akan datang.
B. RUMUSAN MASALAH
Atas dasar uraian latar belakang permasalahan di atas, maka sesuai dengan topik penelitian ini, masalah yang akan diungkap adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT di Jepara, Jawa Tengah? 2. Strategi pengelolaan seperti apa yang dapat diterapkan pada pelestarian dan pemanfaatan BMKT di Jepara sebagai warisan budaya?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini ada dua yaitu, pertama untuk mengevaluasi proses pengelolaan BMKT, kedua untuk mengevaluasi kebijakan yang diberlakukan terkait dengan kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Pulau Mandalika, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Hasil evaluasi tersebut dapat memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kelemahan pengelolaan yang telah dilakukan, dalam rangka memperbaiki dan menyusun tata cara pengelolaan yang lebih baik. Aspek-aspek yang ingin diketahui antara lain adalah unsur-unsur pengelolaan, pihak-pihak pemangku kepentingan yang terlibat
dalam
pengelolaan,
dan
mekanisme
pengelolaan
yang
pernah
diberlakukan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan solusi yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan. Langkah berikutnya adalah menyusun
10
rencana kerja bagi manajemen pelestarian sumber daya arkeologi BMKT di Jepara dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatannya. Rencana kerja tersebut merupakan wujud pemecahan masalah yang tersusun dalam mekanisme kerja yang terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya arkeologi BMKT di Jepara. Hasil akhir dari penelitian evaluatif ini adalah menghasilkan masukan dalam rangka meninjau kembali kebijakan yang berlaku. Selanjutnya, masukan ini nantinya
dapat
memberikan
rekomendasi
pengelolaan
yang
lebih
memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, Pertama, manfaat teoritis yang terkait dengan pemberian wawasan dan pengetahuan yang komprehensif tentang pelestarian dan pemanfaatan dalam pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air. Kedua, manfaat praktis yaitu menjadi suatu masukan kepada para stakeholder dalam merumuskan kebijakan pada upaya pelestarian dan pemanfaatan tinggalan arkeologi bawah air, khususnya BMKT di perairan laut Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi arkeologi, terutama dalam kajian manajemen sumber daya arkeologis.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Studi pelestarian dan pemanfaatan objek tinggalan arkeologis dapat menggunakan kajian Manajemen Sumber Daya Budaya atau Cultural Resource Management (CRM). Kajian ini merupakan sistem pengelolaan sumberdaya
11
arkeologi untuk mencapai tujuan tertentu misalnya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan tinggalan budaya masa lampau. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 521) menyebut Manajemen Sumber Daya Budaya sebagai upaya penyelamatan warisan budaya arkeologis melalui perlindungan situs dan arkeologi penyelamatan. Kegiatan ini dilakukan dalam kerangka pelaksanaan hukum yang berlaku. Sementara itu, kegiatan pengelolaan tinggalan arkeologi dalam hal konsep pelestarian dan pengelolaannya memiliki tiga hal model pemanfaatan (Cleere, 1989: 5--10) yaitu, pertama nilai ideologis, untuk memantapkan identitas budaya (termasuk di dalamnya aspek kesejarahan) suatu kelompok masyarakat, kedua nilai akademis yang berkaitan dengan aspek keilmuan dan penelitian, ketiga nilai ekonomi yang berhubungan dengan kemanfaatan, kepentingan pariwisata,
dan
kemampuan
atau
kemungkinannya
untuk
mendapatkan
keuntungan. Satu hal yang sangat penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan
sumber daya
arkeologi adalah
bentuk
pemanfaatan
yang
berwawasan pelestarian. Konsep ini digunakan untuk melindungi dan mengatur upaya-upaya pelestarian sumber daya budaya dan nilai-nilai yang dikandungnya, sehingga dapat berbanding lurus dengan perolehan kualitas baik nilai ideologis maupun nilai ekonomisnya. Tinggalan arkeologi bawah air yang juga termasuk dalam kategori cagar budaya harus diperlakukan sama dengan warisan budaya lainnya. Oleh karena itu, Hari Untoro Drajat (2002) mengemukakan bahwa setiap kegiatan eksploitasi terhadap arkeologi bawah air yang mengarah pada pemanfaatan harus mengacu pada prinsip-prisip pelestarian, tidak hanya mengacu pada kepentingan profitabilitas semata. Dengan demikian, kegiatan eksplorasi terhadap potensi
12
tinggalan arkeologi harus dilakukan dengan menggunakan metode, teknik yang berlaku secara akademis, dan sesuai dengan prinsip kerja yang ada. Jadi, nilainilai keaslian yang melekat pada benda-benda tersebut tidak berubah, serta dapat digunakan untuk kajian pengungkapan sejarah, budaya masa lalu dan ilmu pengetahuan. Penelitian mengenai kajian arkeologi bawah air di Indonesia belum banyak dilakukan. Hal ini dikarenakan belum adanya metode penelitian yang mapan. Selain itu, penelitian semacam ini merupakan kajian yang relatif baru dan belum populer di Indonesia jika dibandingkan dengan kajian arkeologi di darat (terrestrial archaeology). Judi Wahjudin (2003) dalam sebuah artikel pernah memaparkan tentang metode penelitian bawah air yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia, namun pemaparan metode tersebut masih bersifat pengenalan dan sangat umum. Penelitian terhadap artefak temuan BMKT pernah dilakukan oleh Niko Roni Setiawan (2009) terhadap hasil pengangkatan BMKT di Cirebon. Penelitian tersebut dilakukan terhadap artefak wadah berbahan kaca dengan menerapkan suatu kajian analisis terhadap variasi artefak serta kandungan komposisi unsur kimianya melalui uji laboratorium. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa artefak wadah berbahan kaca BMKT Cirebon berasal dari Cina pada Abad X Masehi. Kajian artefaktual mengenai hasil dari kegiatan pengangkatan BMKT pernah dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati dari Departemen Kelautan dan Perikanan di Cirebon. Penelitian tersebut diklaim oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non-Hayati DKP sebagai kegiatan ekskavasi BMKT pertama yang mengikuti standar arkeologi bawah air yang tinggi (Leibner, 2005: 3). Hasil kajian tersebut memaparkan bahwa muatan
13
kapal (BMKT) di situs perairan Cirebon menunjukkan jenis yang beraneka ragam, sehingga mencerminkan jangkauan jalur perdagangan di kawasan Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan pada masa itu. Kajian lengkap mengenai BMKT di Cirebon diterbitkan oleh PANNAS BMKT untuk yang pertama kali pada tahun 2008 (Utomo, 2008). Buku tersebut merupakan dokumentasi tertulis dari hasil temuan arkeologis bawah laut di perairan laut utara Cirebon yang dilakukan oleh PT Paradigma Putra Sejahtera pada tahun 2004--2005. Selain di perairan laut utara Cirebon, di perairan laut Jawa setidaknya telah dieksplorasi beberapa situs kapal karam, diantaranya Java Sea Wreck oleh Pasific Sea Resources bersama PT Sulung Segarajaya pada tahun 1996. Java Sea Wreck merupakan situs kapal karam di perairan Laut Jawa yang berlokasi di antara Pulau Bangka dan Jakarta. Laporan arkeologis yang komprehensif mengenai pengangkatan tersebut telah diterbitkan oleh Pasific Sea Resources pada tahun 1997 dengan judul The Archaeological Recovery of the Java Sea Wreck (Mathers dan Flecker, 1997). Situs kapal karam lainnya adalah Intan Shipwreck yang merupakan situs kapal karam di perairan Laut Jawa yang berlokasi di antara Pulau Bangka dan Jakarta, hanya berjarak 10 mil laut dari lokasi situs Java Sea Wreck. Pengangkatan BMKT dilakukan pada tahun 1997 oleh PT Sulung Segarajaya (perusahaan yang sama dengan yang mengeksplorasi Java Sea Wreck) berkerjasama dengan perusahaan dari Jerman yaitu Seabed Explorations. Penelitian ilmiah dan komprehensif pada kegiatan eksplorasi ini dilakukan oleh Michael Flecker (2001b). Penerapan kajian CRM pada peninggalan arkeologi bawah air secara ilmiah pernah dilakukan oleh Yadi Mulyadi (2009). Penelitian tersebut melihat
14
penerapan community development/pelibatan peran masyarakat pada tahaptahap pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air di situs Gua Moko kawasan pantai Nirwana, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, sampai saat ini belum ada kajian ilmiah mengenai penerapan CRM pada tinggalan arkeologi bawah air berupa BMKT dari situs kapal karam yang berada di perairan laut Jepara.
F. LANDASAN TEORI
Dalam studi arkeologi, pengelolaan terhadap sumber daya budaya di beberapa tempat dikenal dengan berbagai istilah, di antaranya adalah Archaeological
Heritage
Management
(Eropa),
Archaeological
Resource
Management (Inggris), Cultural Heritage Management (Australia), dan Cultural Resource
Management
atau
Public
Archaeology
(Amerika).
Walaupun
menggunakan istilah yang berbeda-beda, namun pada dasarnya objek dan prinsip pelaksanaannya sama (Carman, 2002: 5). Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan selanjutnya untuk kegiatan pengelolaan sumber daya budaya adalah Cultural Resource Management yang selanjutnya disingkat menjadi CRM. Dalam lingkup kajian CRM, beberapa istilah yang digunakan diantaranya seperti warisan budaya, sumber daya budaya, atau pusaka budaya, maka istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sumber daya budaya. Penggunaan istilah tersebut mempertimbangkan fakta bahwa setiap data arkeologis pada dasarnya telah mengalami proses penyebaran vertikal (dalam kronologi dimensi waktu) dan penyebaran horisontal (dalam dimensi ruang), sehingga kemudian menjadi suatu bentuk warisan budaya (cultural heritage). Namun di sisi lain, data arkeologis juga dapat dilihat sebagai sumber daya
15
(resource) yang dapat dikelola dan dimanfaatkan seperti halnya sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Atas dasar tersebut, maka dalam penelitian ini menggunakan istilah sumber daya budaya (cultural resource). Sumber daya budaya merupakan aset yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat secara umum, baik untuk kepentingan ideologis, akademis, maupun untuk kepentingan ekonomis (Cleere, 1989: 10). Dengan demikian, maka sumber daya budaya perlu mendapat pengelolaan secara tepat agar kelestariannya dapat terjaga dan terlindungi. Untuk itu, diperlukan suatu bentuk dan jenis pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan perlindungan dan pelestarian terhadap sumber daya budaya. Langkah tersebut diperlukan agar kualitas artefak sebagai sumber data utama dapat dipertahankan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta kepentingan penelitian arkeologi pada khususnya. Satu hal yang penting dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumber daya budaya adalah upaya perlindungan dengan menerapkan suatu mekanisme yang baku. Secara lebih praktis, Michael Pearson dan Sharon Sullivan (1995: 10) menyatakan
bahwa
pendokumentasian
dan
pelestarian identifikasi
harus sumber
dilakukan daya,
melalui
penilaian
langkah
signifikansi,
perencanaan, pelaksanaan atau implementasi, monitoring, dan evaluasi. Henry F Cleere (1989, 5--10) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya arkeologi didasari oleh filosofi yang melihat kegunaan sumber daya arkeologi sebagai jati diri (cultural identity) suatu komunitas yang merupakan fungsi ideologisnya, fungsi ekonomis yang antara lain melalui kepariwisataan, dan fungsi akademis
16
dalam rangka menjaga dan menyelamatkan keberadaan data tentang sumber daya tersebut. Dalam manajemen sumber daya arkeologi, terdapat dimensidimensi baru yang mencakup berbagai kepentingan di luar ilmu arkeologi atau peneliti arkeologi, di antaranya kepentingan ekonomi, pendidikan, wisata, masyarakat, generasi mendatang, pengelolaan jangka panjang, serta aspek hukum dan politis (Tanudirjo, 2004b). Manajemen sumber daya arkeologi dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber daya arkeologi, menetapkan strategi untuk pelestarian jangka panjang baik melalui upaya-upaya hukum maupun perlindungan, serta pengawetan fisik. Selain itu, manajemen sumber daya arkeologi juga menerapkan sistem manajemen yang dapat menjamin agar nilainilai sumber daya arkeologi tidak menurun, mengurangi kemungkinan kerusakan, atau mengusahakan mitigasi yang sebaik-baiknya jika kerusakan tidak dapat dihindari. Pada batas-batas yang memungkinkan, manajemen sumber daya arkeologi menyajikan nilai-nilai sumber daya arkeologi kepada masyarakat luas melalui kemudahan akses dan interpretasi (Tanudirjo, 2008). Menurut Donald G Macleod (1977: 64), pengelolaan sumber daya arkeologi idealnya melibatkan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu masyarakat, akademisi, dan pemerintah, yang masing-masing memiliki peranan dan kedaulatan yang berbeda. Sampai saat ini, sistem pengelolaan sumber daya arkeologi cenderung masih menjadi otoritas pemerintah semata. Sistem ini nyaris bersifat tertutup dan eksklusif, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan stakeholders lainnya. Sebagai akibatnya, peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya arkeologi menjadi terbatas (Tanudirjo, 2004b). Bahkan, mereka cenderung menjadi korban kebijakan yang mengakibatkan kekecewaan,
17
kekhawatiran, pembatasan kegiatan, dan bahkan kehilangan penghasilan, yang akhirnya memunculkan konflik. Secara garis besar, tata kerja manajemen sumber daya arkeologi terdiri atas lima tahap utama, yaitu identifikasi sumber daya arkeologi (studi kelayakan); penetapan
nilai-nilai
penting;
merancang
dan
melaksanakan
kebijakan
pelestarian dan pengelolaan; merancang dan melaksanakan strategi pelestarian; serta merancang dan melaksanakan mekanisme pemantauan dan evaluasi (Pearson dan Sullivan, 1995: 8--10). Identifikasi meliputi menemukan, mengenali, dan merekam berbagai aspek yang terkait dengan sumber daya arkeologi, baik lokasinya, lingkungan, ukuran, bentuk dan jenisnya, jumlah, kepemilikan, serta berbagai aspek deskripisi lain dari sumber daya arkeologi yang bersangkutan. Selanjutnya, penetapan nilai penting dilakukan untuk mengkaji dan menemukan nilai-nilai penting dari sumber daya arkeologi serta bagianbagiannya yang dapat mengandung, menunjukkan, atau mencerminkan nilai-nilai penting tersebut. Hasil dari penetapan nilai penting yang terkandung dalam sumber daya arkeologi digunakan untuk merancang kebijakan pelestarian dan pengelolaan,
dengan
mempertimbangkan
hambatan
dan
potensi
untuk
melestarikan dan mengelola sumber daya arkeologi. Langkah ini berkaitan dengan nilai-nilai apa atau bagian situs mana yang akan dilestarikan, dikembangkan, dapat diakses publik dan tidak, interpretasi dan presentasi kepada publik, serta bagaimana proses pengawetan dan perlindungan yang akan dilakukan. Pada tahap ini juga harus dikembangkan struktur organisasi pengelola dengan hak kewajiban dan kewenangan masing-masing. Selain itu juga perlu ditetapkan tolok ukur keberhasilan manajemen (Tanudirjo, 2004b).
18
Langkah selanjutnya adalah menentukan strategi untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan melalui rancangan pengelolaan dan pelestarian beserta program-programnya. Implementasi yang dapat dilakukan antara lain teknis aksesibilitas kepada publik, teknik pengawetan yang tepat untuk diterapkan pada sumber daya arkeologi, penyusunan prosedur penggalangan dana, serta cara melaksanakan pendidikan masyarakat tentang sumber daya arkeologi (Tanudirjo, 2004b). Dalam kaitannya dengan strategi dan implementasi pelestarian, manajemen
sumber
daya
arkeologi
menekankan
pada
pendekatan
berkelanjutan. Hal ini terkait dengan kepentingan jangka panjang untuk generasi mendatang. Langkah terakhir adalah menyusun cara-cara untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian. Manajemen yang telah dilaksanakan tentu harus dimonitor dan dinilai keberhasilannya. Untuk itu perlu ditetapkan tolok ukur dan cara-cara mengukur keberhasilan proses pelestarian dan pengembangannya, serta bagaimana mekanisme pemantauan dan evaluasi akan dilakukan (Tanudirjo, 2004b). Dalam pelaksanaan manajemen sumber daya arkeologi, harus selalu disadari bahwa minat dan kepentingan terhadap sumber daya arkeologi tidak sama bagi berbagai pihak. Minat dan kepentingan tersebut seringkali saling bertentangan sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesia juga seringkali diwarnai dengan konflik kepentingan. Oleh karena itu, manajemen sumber daya arkeologi harus dipandang sebagai manajemen konflik (Tanudirjo,2004b). Fenomena konflik tersebut perlu disikapi melalui introspeksi dengan mengevaluasi relevansi model pengelolaan yang
19
telah diterapkan dengan tuntutan konteks masa kini sehingga diperoleh pemahaman apakah diperlukan suatu modifikasi atau penyesuaian.
G. CARA PENELITIAN
Sesuai dengan lokasi kegiatan pengangkatan BMKT, penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Objek kajian dalam penelitian ini adalah kegiatan dan hasil pengangkatan BMKT di perairan Laut Pulau Mandalika, Kab. Jepara, Jawa Tengah selama tahun 2007–2008 yang dikelola oleh PT Adikencana Salvage. Selain itu, pengamatan dilakukan pula terhadap peraturan perundangan berkait dengan kegiatan pengangkatan BMKT yang berasal dari stakeholders baik yang berada di wilayah Kabupaten Jepara maupun di tempat-tempat lain seperti PANNAS BMKT pada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di Jakarta, dan Direktorat Warisan Budaya Bawah Air dan Masa Kolonial pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI di Jakarta. Penelitian dilakukan dengan menggunakan cara penelitian kualitatif evaluatif, yaitu untuk melihat dan meneliti pelaksanaan suatu kegiatan, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan kegiatan, serta untuk mengukur apakah tujuan kegiatan tersebut tercapai (Singarimbun dkk, 1989: 6). Sebagaimana dalam kajian manajemen sumber daya arkeologi, penelitian ini diawali dengan kegiatan identifikasi terhadap sumber daya arkeologi hasil pengangkatan BMKT. Selain itu, juga dilakukan identifikasi terhadap kondisi dan riwayat pengelolaan BMKT di Indonesia secara umum termasuk di dalamnya kegiatan pengelolaan BMKT yang dilakukan di wilayah Kab. Jepara. Selain itu, penggunaan pendekatan kualitatif berupaya untuk menafsirkan fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Metode penelitian yang digunakan yaitu
20
pengamatan langsung, dan pemanfaatan dokumen yang hasilnya kemudian dideskripsikan oleh peneliti. Pendekatan kualitatif ini digunakan karena hasil laporan penelitian ini adalah uraian tentang pengelolaan dan pemanfaatan, potensi-potensi sumber daya budaya, dan alternatif pengembangan hasil evaluasi yang berdasar dari data catatan lapangan, dan dokumentasi atau publikasi. Sebagai cagar budaya, maka tolok ukur evaluasi harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan benda cagar budaya sebagaimana yang berlaku pada umumnya. Tolok ukur evaluasi dalam kajian ini menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Hal ini dikarenakan objek evaluasi berupa dua tahapan awal dari rangkaian tahapan pengelolaan BMKT yang dikaji dalam penelitian ini terjadi pada saat undang-undang tersebut masih diberlakukan. Kemudian, pada tahapan berikutnya tolok ukur evaluasi menggunakan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyesuaikan dengan konteks waktu saat perundangan tersebut diberlakukan. Selain itu, digunakan juga peraturan perundangan berupa dokumen-dokumen regulasi pengelolaan peninggalan bawah air. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, data penelitian diperoleh dengan cara pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi observasi atau pengamatan secara langsung terhadap sumber daya arkeologi yang ada di lokasi penelitian. Data ini meliputi data pengamatan melalui kegiatan partisipatoris penulis terhadap sumber daya arkeologi berupa BMKT di Kabupaten Jepara selama kegiatan pengangkatan BMKT sejak tahun 2007– 2008.
21
Sementara
itu,
data
yang
bersifat
sekunder
diperoleh
dengan
pemanfaatan sumber-sumber pustaka berupa buku, artikel (baik bersifat ilmiah maupun populer dari sumber tercetak dan sumber website di jaringan internet), dokumen-dokumen kebijakan, dan data piktorial yang berhubungan secara langsung dengan pengelolaan BMKT. Dari data-data tersebut di atas diharapkan diperoleh
informasi
di
antaranya
cara
pandang
stakeholders
terhadap
pengelolaan keramik hasil pengangkatan BMKT. Di samping itu, akan diperoleh riwayat pengelolaan BMKT di Kab. Jepara yang meliputi kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui proses pembentukan pengelolaan yang berlangsung terutama pada saat pengangkatan BMKT, serta untuk mengetahui permasalahan yang ada dalam pengelolaan tersebut. Data yang sudah diperoleh selama proses penelitian pada akhirnya dianalisis, baik kualitas datanya maupun akurasinya dengan cara direduksi dan interpretasi data guna mendapatkan hasil yang benar-benar merupakan interpretasi dari data penelitian yang diperoleh di lapangan. Dari data yang diperoleh tersebut diharapkan akan didapat gambaran mengenai kegiatan pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi pengelolaannya pada tahap analisis. Pada tahap analisis, evaluasi yang dilakukan meliputi proses kegiatan berupa survei (kegiatan mencari dan mengidentifikasi keberadaan dan potensi BMKT), pengangkatan (kegiatan mengangkat dari bawah air, memindahkan, menyimpan, inventarisasi, dan konservasi BMKT dari lokasi asal penemuan ke tempat penyimpanannya), dan pemanfaatan BMKT (kegiatan yang meliputi penjualan kepada pihak ketiga dan pemanfaatan lain untuk pemerintah).
22
Selanjutnya, acuan evaluasi yang digunakan diambil dari prinsip-prinsip dalam manajemen sumber daya arkeologi, UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dan dokumen-dokumen regulasi pengelolaan peninggalan bawah air yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya 2. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pembagian Hasil Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Antara Pemerintah dan Perusahaan; 3. Keppres No. 19 Tahun 2007 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 12 Tahun 2009; 4. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Penetapan Status Penggunaan dan Penjualan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam; dan 6. Permen Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.48/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Peninggalan Bawah Air. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian kegiatan pengelolaan sumber daya arkeologi pada kegiatan pengangkatan BMKT di Perairan Laut Jepara dapat memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Hasil kegiatan evaluasi tersebut di atas digunakan sebagai dasar untuk mencoba merumuskan strategi pengelolaan sumber daya arkeologi yang tepat
23
pada kegiatan pengangkatan BMKT di Jepara, Jawa Tengah. Mengingat bahwa dalam pengelolaan sumber daya arkeologi seringkali berpotensi menimbulkan konflik, maka perlu dilakukan pemetaan kepentingan dari berbagai pihak terkait. Dengan demikian, diharapkan strategi pengelolaan sumber daya arkeologi yang dihasilkan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan (aspek akademis, ekonomi, dan sosial). Langkah-langkah penelitian di atas dapat dirumuskan secara sederhana dalam bagan alir sebagai berikut Bagan No. 1 Bagan alir kegiatan penelitian Latar belakang masalah
Penentuan permasalahan, tujuan, dan landasan teori
Pengumpulan Data Latar belakang sejarah lokasi penelitian
Identifikasi sumber daya arkeologi BMKT di perairan Laut Jepara
Kondisi dan riwayat pengelolaan BMKT di Jepara
Analisis Penentuan status BMKT di Jepara
Perumusan Tolok Ukur Evaluasi Pengelolaan BMKT
Evaluasi terhadap pengelolaan BMKT di Jepara
Hasil Penelitian Hasil evaluasi terhadap pengelolaan BMKT di Jepara Rekomendasi strategi pengelolaan BMKT di Jepara