SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, Blainville 1822) DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
PAIRAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Sindrom Pulau dalam Reintroduksi Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Pairah NIM E361090051
RINGKASAN PAIRAH. Sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO dan ABDUL HARIS MUSTARI. Untuk membangun kembali populasi rusa timor di Pulau Panaitan dilakukan reintroduksi dari Pulau Peucang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori sindrom pulau melalui perbandingan habitat, ukuran tubuh, ukuran dan kepadatan populasi, wilayah jelajah dan alokasi waktu. Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2012 hingga Desember 2013. Komponen habitat yang diukur meliputi vegetasi, sumber air dan ketinggian. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat, keanekagaraman tumbuhan dihitung menggunakan indeks Shanon-Wiener, sumber air diidentifikasi langsung di lapangan dan ketinggian menggunakan DEM yang diklasifikasi menggunakan ekstensi spasial analisis pada ArcGIS 10.1. Pengamatan jenis pakan dilakukan langsung di lapangan. Daya dukung dihitung berdasarkan ketersediaan pakan. Ukuran tubuh rusa diukur menggunakan pita meter dan timbangan, penangkapan menggunakan bius yang ditembakkan menggunakan sumpit dan dilakukan oleh dokter hewan dan paramedis. Uji beda menggunakan Mann Whitney U. Ukuran dan kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang menggunakan data Sudibyo (2012) dan di Pulau Panaitan dilakukan inventarisasi menggunakan metode strip transek. Pengamatan wilayah jelajah menggunakan metoda focal animal sampling, estimasi wilayah jelajah menggunakan minimum convex polygon menggunakan ekstensi hawth tool dan Xtool pro 11 pada ArcGIS 10.1. Pengamatan alokasi waktu menggunakan metode focal animal samling dan Mann Whitney U digunakan untuk mengukur potensi perbedaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam ukuran tubuh, ukuran populasi beserta kepadatannya, dan alokasi waktu antara rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Hal ini membuktikan bahwa manifestasi sindrom pulau dapat ditemukan pada kedua pulau tersebut. Meskipun luas wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau tidak berbeda nyata, tetapi wilayah jelajah individu rusa timor di Pulau Peucang yang lebih menetap dibanding di Pulau Panaitan turut membuktikan manivestasi sindrom pulau. Pulau yang berukuran lebih besar dan mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar. Kata kunci: rusa timor, sindrom pulau, reintroduksi, pulau.
SUMMARY PAIRAH. Island syndrome in reintroduction of timor deer in Panaitan Island Ujung Kulon National Park. Supervised by YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO and ABDUL HARIS MUSTARI Re-establishment of the timor deer population in Panaitan Island was conducted through reintroduction of the deer from peucang Island. The aim of this study is to prove the theory of island syndrome by comparing habitat, body size, population size and density, home range and time budget. This study was conducted from September 2012 to December 2013. The components of habitat which were measured was vegetation, water sources and altitude. Vegetation analysis was done using squares method, plant diversity was calculated using the Shannon-Wiener index, source of water was identified in study area and altitude was measured by using the DEM which classified using spatial analysis extension in ArcGIS 10.1. Forage observations was done directly in the study area. Carrying capacity was calculated based on the availability of food resources. Body size was measured using a band and scales, the animals were captured using anesthetic that was done by veterinarian and paramedic through blowpipe technique. Mann Whitney U was used to measure the potential of differences. Sudibyo (2012) data on size and density of the timor deer population was used for defining Peucang Island’s population, while inventory using strip transect was conducted in Panaitan Island. The observations of home range was using focal animal sampling method, estimation of home range size was using the minimum convex polygon in Hawth extensions and Xtool pro tools 11 at ArcGIS 10.1. Observation of time budget was carried out with focal animal sampling method and Mann Whitney U test was used to measure the potential of differences. The results showed that the differences in body size, population size and its density, and the time budget among the timor deer on Peucang Island and Panaitan Island proved that the manifestation of island syndrome could be found on the two islands. Despite broad ranges in both islands of timor deer were not significantly different, but the ranges of individuals of timor deer on Peucang Island more settled than in Panaitan Island also proved the manifestation of the island syndrome. The larger size among the island that has high biodiversity can be used as an alternative destination of wildlife introduction. Keywords: javan deer, island syndrome, reintroduction, island
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI RUSA TIMOR (Rusa timorensis, Blainville 1822) DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
PAIRAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Drh Muhammad Agil, MSc.Agr Dr Ir Novianto Bambang W, M.Si
Judul Disertasi: Sindrom Pulau dalam Reintroduksi Rusa Timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon : Pairah Nama : E361090051
NIM
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
tu
Prof Dr Yanto Santosa. DEA Ketua
Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo. MSc Anggota
Dr Ir Abdul Haris Mustari" MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
ffi
5E lGlr-rz#l eE -'r?wl"@81 Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS
Tanggal Ujian:
2: AUG 2014
",3ff3,
Tanggal Lulus:
2 9 AUo
2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon” ini berhasil diselesaikan. Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada: 1.
Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA, Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bekal ilmu, bimbingan, koreksi dan saran serta semangat sejak awal penulisan proposal hingga selesainya karya ilmiah ini. 2. Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika yang telah memberikan perhatian, bimbingan, saran dan semangat selama proses pembelajaran. 3. Institut Pertanian Bogor c.q. Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Kehutanan yang telah memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian. 4. Bapak Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS, Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS, Bapak Dr Drh Muhammad Agil, MSc.Agr dan Bapak Dr Ir Novianto Bambang W., M.Si selaku penguji luar yang telah memberikan koreksi, saran dan masukan untuk penyempurnaan karya ilmiah ini. 5. Kementerian Kehutanan c.q. Pusdiklat Kehutanan yang telah memberikan beasiswa Program Doktor. 6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian ini. 7. Kepala beserta staf Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang telah membantu dalam proses pengumpulan data. 8. Tim bius Kebun Binatang Ragunan, tim bius International Animal Rescue (IAR) dan tim bius Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang telah membantu dalam penangkapan rusa. 9. Teman-teman seperjuangan Dr Sri Harteti, Kartikawati, Hari Prayogo, Dr Kissinger, Dr Mufti Sudibyo, Dr Gamin yang telah saling menyemangati 10. Sdr. Sofwan yang telah banyak membantu di bidang administrasi kependidikan. 11. Bapak Dalimin Suyoto Utomo (alm.) dan Ibu Sudinah (alm.) atas doa dan kasih sayangnya sepanjang hidupnya, suami tercinta (Andri Novi Susdihanto) dan putriku tersayang (Faizah Ayyumna) yang selalu setia menemani dan menyemangati selama pendidikan serta seluruh keluarga atas segala bantuan, fasilitas dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat Bogor, Agustus 2014 Pairah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan
1 1 4 4 5
2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN, DAN DAYA DUKUNG HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
5 5 5 9 13
3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN POPULASI RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
15 15 15 17 20
4 PERBANDINGAN WILAYAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
21 21 21 22 29
5 PERBANDINGAN ALOKASI WAKTU RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan
30 30 30 32 37
6 PEMBAHASAN UMUM
38
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
42 42 42
DAFTAR ISI (lanjutan) DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
49
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 3.1 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3
Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Kelas ketinggian di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Penggunaan habitat oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode pagi hari Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode siang hari Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode sore hari
10 12 17 23 26 28 33 34 35
DAFTAR GAMBAR 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10 5.11
Betina dewasa di Pulau Peucang Betina dewasa di Pulau Panaitan Jantan dewasa di Pulau Peucang Jantan dewasa di Pulau Panaitan Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Peucang Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Panaitan Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Peucang Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Panaitan Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Panaitan Peta lokasi penelitian Alokasi waktu anak rusa di Pulau Peucang Alokasi waktu anak rusa di Pulau Panaitan Alokasi waktu betina muda di Pulau Peucang Alokasi waktu betina muda di Pulau Panaitan Alokasi waktu jantan muda di Pulau Peucang Alokasi waktu jantan muda di Pulau Panaitan Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Peucang Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Panaitan Alokasi waktu jantan dewasa di Pulau Peucang Alokasi waktu jantan dewasa di Pulau Panaitan
18 18 18 18 25 25 27 27 28 29 31 32 32 33 33 35 35 36 36 37 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 Jenis-jenis tumbuhan pakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan 2 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 3 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 4 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 5 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 6 Jenis-jenis strata semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 7 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang 8 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan 9 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan 10 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan 11 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan 12 Jenis-jenis semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan 13 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan
49 51 53 54 55 57 58 59 61 62 63 64 65
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa memberikan karunia yang besar kepada bangsa Indonesia berupa sumber daya alam hayati yang melimpah. Menurut BAPPENAS (2003) potensi keanekaragaman hayati Indonesia meliputi 515 jenis mamalia (kedua di dunia), 511 jenis reptil (keempat di dunia), 1531 jenis burung (kelima di dunia), 270 jenis amphibi (keenam di dunia) dan 2827 jenis invertebrata serta 38.000 jenis tumbuhan. Namun BAPPENAS (2003) melaporkan bahwa tingkat kepunahan jenis dan ancamannya juga tinggi. Harimau bali dinyatakan punah sejak tahun 1940, harimau jawa dinyatakan punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1980-an meskipun institusi lain belum menyatakan punah dan diperkirakan di masa mendatang Indonesia akan kehilangan satu sampai 50 spesies setiap tahun. Pada tahun 1988, 126 jenis burung, 63 jenis mamalia, 12 jenis reptil dan 65 jenis satwa lainnya dinyatakan menuju kepunahan. Empat tahun kemudian, IUCN mengindikasikan bahwa 772 jenis flora dan fauna yang meliputi 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 68 jenis ikan, 3 jenis moluska, 28 jenis satwa lain dan 384 jenis tumbuhan terancam punah. Semakin panjangnya daftar flora dan fauna Indonesia yang terancam punah dalam Red Data List IUCN dan dalam daftar jenis satwa yang dilindungi mengindikasikan bahwa kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia semakin terancam. Undang-undang No. 5 tahun 1990 memberikan amanah kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia melalui konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Satwa liar merupakan bagian dari sumber daya alam hayati sehingga satwa liar juga perlu untuk dikonservasi. Beberapa nilai satwa liar dikemukakan oleh Bailey (1984) yaitu komersial, rekreasional, biotik, ilmu pengetahuan, filosofi, pendidikan, estetik dan sosial. Salah satu strategi untuk meningkatkan populasi satwa liar adalah dengan memperbanyak kantong habitat termasuk melakukan kegiatan introduksi maupun reintroduksi. Introduksi adalah memindahkan organisme secara sengaja ke habitat yang sebelumnya bukan merupakan habitat aslinya, sedang reintroduksi adalah memindahkan organisme secara sengaja ke habitat yang sebelumnya pernah ditempati namun telah punah sebagai akibat aktivitas manusia atau bencana alam, dalam upaya untuk membangun kembali populasi satwa liar tersebut (IUCN/SSC 2013). Diharapkan dengan dibangunnya kembali populasi satwa liar ini dapat memperbesar populasinya. Dalam arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008–2018 disebutkan bahwa spesies dilindungi yang populasinya secara nasional sudah cukup melimpah dapat dikeluarkan dari daftar spesies dilindungi melalui Surat Keputusan Menteri (KEMENHUT 2008).
2 Salah satu contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil adalah reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan. Rusa timor merupakan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia (KEMENHUT 1999). Dalam Red Data Book IUCN tahun 2008 rusa timor digolongkan dalam kategori rentan (Vulnerable) karena jumlah populasi rusa timor dewasa di alam diperkirakan kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan terus menurun hingga 10% dalam tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges et al. 2008). Walter (2004) mendefinisikan pulau sebagai daratan yang dipisahkan dari daratan yang lebih besar atau pulau lainnya oleh penghalang air yang mereduksi aksessibilitas dan hubungan dan juga melindungi biota pulau dari beberapa dampak daratan seperti predasi, kompetisi dan penyakit. Dalam studi biogeografi, istilah pulau biasa digunakan pada pulau-pulau kecil yang mempunyai biota yang berbeda dengan daratan benua yang berdekatan (Hare 2009). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41 tahun 2000 menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luasan kurang atau sama dengan 2000 km2 atau 200 000 ha. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari daratan dan perairan dengan beberapa pulau diantaranya Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Kawasan Pulau Peucang memilliki luas ± 450 ha tersusun atas hutan lahan kering sekunder (479.8 ha) dan padang rumput (0.45 ha). Selain sebagai habitat rusa timor (Rusa timorensis), Pulau Peucang juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus muntjak) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai kompetitor serta biawak (Varanus salvator) dan ular python (Python reticulatus) sebagai predator. Jarak antara Pulau Peucang dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa) kurang lebih 500 m. Pulau Panaitan dengan luas kawasan ± 17 500 ha tersusun atas hutan lahan kering primer (1120.79 ha), hutan lahan kering sekunder (6789.03 ha), semak belukar (1878.62 ha), hutan mangrove sekunder (696.71 ha), hutan rawa sekunder (1201.53 ha), belukar rawa (477.72 ha) dan padang rumput (0.22 ha). Pulau Panaitan juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), monyet individu panjang (Macaca fascicularis) sebagai kompetitor serta biawak (Varanus salvator), ular python (Python reticulatus) dan buaya muara (Crocodilus porosus) sebagai predator. Jarak antara Pulau Peucang dan Pulau Panaitan kurang lebih 10 km, demikian juga dengan jarak antara Pulau Panaitan dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa). Pulau Peucang dan Pulau Panaitan merupakan habitat alami rusa timor (Rusa timorensis) dan rusa timor yang saat ini hidup di Pulau Panaitan merupakan hasil reintroduksi dari Pulau Peucang. Menurut Pieters dalam Hoogerwerf (1970), rusa timor di Pulau Panaitan berasal dari Semenanjung Ujung Kulon yang berenang menyeberang ke Pulau Panaitan dengan jarak ± 10 km ketika terjadi bencana letusan Gunung Krakatau. Pada tahun 1920, Pieters menembak beberapa individu rusa dalam kondisi yang buruk. Dalam kunjungan berikutnya selama 5 (lima) minggu di Pulau Panaitan, tidak ditemukan individu rusa maupun jejaknya, meskipun ditemukan kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus) dan babi hutan (Sus scrofa) (Hoogerwerf 1970). Kegiatan reintroduksi di Pulau Panaitan bertujuan untuk membangun kembali populasi rusa timor yang telah punah. Kegiatan reintroduksi dilakukan pada bulan Juli 1978 sejumlah 5 individu (4 ♀: 1 ♂); Juli 1979 sejumlah 6 individu (5 ♀: 1 ♂); Agustus 1981 sejumlah 3
3 individu (2 ♀: 1 ♂) dan terakhir 2 ♀ pada bulan Agustus 1982. Pelepasan selalu dilakukan pada lokasi yang sama yaitu di Legon Anggasa Pulau Panaitan. Dalam perkembangannya, Biological Science Club Universitas Nasional Jakarta (BScC) (1984) dalam BTNUK (1992) pernah menjumpai satwa rusa secara langsung di Tanjung Panenjoan, Legon Sabini dan Legon Bajo Pulau Panaitan, sementara BTNUK (1992) hanya menjumpai di Legon Haji Pulau Panaitan. Hasil inventarisasi rusa pada tahun 1997 sejumlah 78 individu dan pada tahun 2008 BTNUK menjumpai rusa tersebar di Legon Butun, Legon Bajo dan Legon Kadam Pulau Panaitan dengan perkiraan populasi ± 400 individu dengan ukuran tubuh yang nampak lebih besar daripada rusa timor di Pulau Peucang. Evolusi ukuran tubuh merupakan salah satu dari respon yang paling mendasar terhadap lingkungan pulau karena hal ini mempengaruhi sejumlah karakteristik yang terkait dengan potensi immigrasi, interaksi ekologi dan kebutuhan sumber daya (Lomolino 2005). Terjadinya perbedaan ukuran tubuh diantara pulau-pulau dan daratan kemungkinan mengikuti Island Rule. Demetrius (2000), menjelaskan bahwa Island Rule/Foster’s Rule (Foster 1964) adalah perubahan ukuran tubuh yang terjadi karena perpindahan spesies dari daratan ke pulau. Pola perubahan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) ukuran besar: berevolusi menuju ukuran yang lebih kecil; (ii) ukuran menengah: tidak ada gejala khas dalam perubahan ukuran; (iii) ukuran kecil: berevolusi menuju ukuran yang lebih besar. Salah satu mekanisme yang berjalan pada satwa yang berbeda ukuran (besar dan kecil) adalah yang dihubungkan dengan area wilayah jelajah dimana pulau yang berukuran kecil wilayah jelajah bagi satwa yang berukuran besar terbatas, tetapi tidak bagi satwa yang berukuran kecil. Pada wilayah jelajah yang lebih kecil, sumber daya yang tersedia juga lebih sedikit dan ini akan berimplikasi bahwa satwa yang berukuran besar harus menjadi lebih kecil di pulau. Satwa yang berukuran kecil pada pulau dapat meningkatkan akses ke sumber daya jika lebih besar, dan tidak ada kompetisi (Witting 1997). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan ukuran tubuh pada populasi satwa di pulau dibanding pada daratan (Burung: Clegg dan Owen 2002; Primata: Bromham 2007), sementara hasil penelitian lainnya tidak menunjukkan adanya perubahan ukuran tubuh ( ular: Boback 2003; karnivora: Meiri et al. 2004; kadal: Meiri 2007). Menurut Meiri et al. (2008), lingkungan biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan bagaimana ukuran tubuh. Karakteristik populasi pulau lainnya adalah kepadatan yang tinggi dan stabil, kelangsungan hidup yang lebih baik, peningkatan massa tubuh, dan penurunan sifat agresif, hasil reproduksi dan penyebaran (Adler dan Levins 1994). Perubahan dalam proses ekologi dan evolusi populasi pulau disebut sindrom pulau yang komponennya meliputi perubahan dalam morfologi, demografi dan perilaku (Blondel 2000). Sindrom pulau didorong oleh perbedaan dalam ukuran pulau dan isolasi, ukuran pulau menentukan tingkat habitat dan kompleksitas rantai makanan, sedangkan isolasi mengontrol laju migrasi ke dan dari pulau (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Ketika area meningkat, predator, kompetitor, dan struktur habitat meningkat dalam keanekaragaman, semakin kecil area pulau maka keanekaragaman predator dan kompetitor juga semakin kecil sehingga populasi pulau dapat mengakses sumberdaya tanpa harus berbagi dengan kompetitor. Hal ini mendorong populasi pulau untuk meningkatkan massa tubuh
4 dan kepadatan populasi karena tercukupinya kebutuhan hidupnya terutama sumberdaya pakan. Ketika kepadatan populasi tinggi, maka populasi pulau akan menurunkan hasil reproduksi dengan cara menunda usia dewasa. Ketidakhadiran predator menyebabkan populasi pulau mempunyai kelangsungan hidup yang lebih baik dan menurunkan sifat agresif. Penurunan penyebaran terjadi karena isolasi pulau. Pembatasan penyebaran ini juga dapat meningkatkan kepadatan populasi pulau (Adler dan Levins 1994). Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13 466 pulau di antaranya terdiri dari pulau-pulau kecil (BIG 2007). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2000) menyebutkan bahwa salah satu kebijakan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ini adalah untuk kepentingan konservasi. Oleh karena itu pulaupulau kecil ini dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar. Namun informasi mengenai keberhasilan introduksi satwa liar khususnya mamalia berukuran sedang hingga besar di pulau berikut proses ekologinya masih terbatas. Sementara menurut Frankham (1998), populasi pulau secara nyata merupakan hasil perkawinan sekerabat (inbred) dan tekanan silang dalam (inbreeding) merupakan salah satu penyebab kepunahan populasi pulau. Untuk itu maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan ini sebagai contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori sindrom pulau (Island Syndrome) dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan Taman Nasional ujung Kulon melalui beberapa tujuan khusus yaitu: 1. Membandingkanhabitat, pakan dan daya dukung habitat rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. 2. Membandingkan ukuran tubuh dan kepadatan populasi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. 3. Membandingkan wilayah jelajah dan penggunaan habitat rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. 4. Membandingkan alokasi wakturusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan apakah pulau kecil layak sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar dan diharapkan dapat merekomendasikan tipologi pulau sebagai tujuan introduksi satwa liar dalam upaya meningkatkan populasi satwa liar di Indonesia melalui introduksi ke pulau-pulau kecil. Selain itu hasil dari penelitian ini juga diharapkan akan memberikan informasi yang dapat membantu dalam pengelolaan rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon.
5 Kebaruan Penelitian tentang sindrom pulau telah banyak dilakukan diantaranya sindrom pulau pada rodensia (Adler dan Levins 1994), burung (Blondel 2000), kadal (Raia et al. 2010) dan tikus (Russell et al. 2011), namun penelitian mengenai sindrom pulau pada ruminansia yang berukuran sedang hingga besar belum pernah dilakukan di Indonesia. Kebaruan dari penelitian ini adalah kajian teori sindrom pulau pada reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan dalam kaitannya dengan mencari tipologi pulau sebagai lokasi tujuan introduksi satwa liar.
6
2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN DAN DAYA DUKUNG HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Habitat adalah sumber daya dan kondisi yang terdapat pada suatu area yang menghasilkan hunian bagi organisme tertentu untuk kelangsungan hidup dan reproduksi (Krausman 1999). Habitat satwa merupakan susunan pakan, pelindung dan air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologis satu atau lebih individu spesies (Thomas 1979). Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi, seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator (Mukhtar et al. 2011). Cara terbaik untuk mengelola satwa liar adalah dengan mengelola habitatnya karena habitat mempengaruhi kehidupan satwa liar tersebut (Creighton dan Baumgartner 1997). Shaw (1985) menyatakan bahwa salah satu konsep yang paling penting dalam pengelolaan satwa liar adalah daya dukung yaitu jumlah satwa sejenis yang dapat didukung dalam suatu area yang dinyatakan sebagai jumlah per satuan luas dan pakan merupakan salah satu kebutuhan dasar satwa yang turut menentukan jumlah satwa (Creighton dan Baumgartner 1997), karena pakan berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa (Masy’ud et al. 2008). Saat ini rusa timor dikategorikan rentan (vulnerable) karena jumlah populasi rusa dewasa di alam diperkirakan kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan terus menurun hingga 10% dalam tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges et al. 2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi rusa timor adalah dengan melakukan introduksi. Pemindahan rusa timor dari Pulau Peucang (± 450 ha) ke Pulau Panaitan (± 17,500 ha) merupakan salah satu contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil. Ukuran pulau menentukan tingkat habitat sehingga perbedaan ukuran pulau mendorong sindrom pulau yaitu terjadinya perubahan dalam morfologi, demografi dan perilaku dalam proses ekologi dan evolusi populasi pulau (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Mengingat pentingnya habitat dalam sindrom pulau maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan habitat, pakan, dan daya dukung habitat rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Metode Penelitian Habitat Vegetasi Untuk mengetahui keanekaragaman jenis, struktur, dan komposisi tumbuhan yang ada pada kedua pulau ini dilakukan analisis vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat dengan ukuran petak sebagai berikut :
7
Petak ukuran 20 m x 20 m untuk pengambilan data vegetasi pohon (diameter >20 cm) Petak ukuran 10 m x10 m untuk pengambilan data vegetasi pohon pada tingkat pertumbuhan tiang (diameter 10 - 19 cm) Petak ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data vegetasi tingkat pertumbuhan pancang (diameter <10 cm, ketinggian >1.5 m) Petak ukuran 1 m x 1 m untuk vegetasi tingkat semai (diameter <3 cm, tinggi <1.5 m), rumput dan herba. Penempatan petak jalur dilakukan dengan metode stratifikasi (Cochran 1977) didasarkan pada pola tipe vegetasi. Keanekaragaman tumbuhan dihitung dengan menggunakan indeks ShanonWiener yang didahului dengan menghitung Frekuensi, Densitas dan Dimonansi untuk menghasilkan INP. Adapun parameter vegetasi yang dihitung meliputi : Kerapatan (K) =
individu suatu jenis luas petak contoh ker apa tan suatu jenis 100 0 0 ker apa tan seluruh jenis
Kerapatan Relatif (KR) = Frekuensi (F) =
petak contoh yang ditempati suatu jenis seluruh petak contoh
Frekuensi Relatif (FR) =
Frekuensi suatu jenis 100 0 0 Total frekuensi seluruh jenis
Dominansi (D) = luas bidang dasar suatu jenis luas petak contoh
Dominansi Relatif (DR) =
Do min ansi suatu jenis 100 0 0 Total do min ansi seluruh jenis
Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR(untuk tingkat tiang dan pohon) Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) Indeks Diversitas (H”) dihitung dengan menggunakan persamaan Shanon Wiener (Barbour et al. 1987) s
H’ = Pi ln Pi i 1
H’
H” = 2
Keterangan : Pi Ni N
: : :
Nilai penting tiap jenis dibagi nilai penting seluruh jenis (Ni/N) Nilai penting tiap jenis Nilai penting seluruh jenis
Dalam penelitian ini struktur tumbuhan dibedakan ke dalam struktur vertikal yaitu stratifikasi ke dalam 4 (empat) strata meliputi strata semai dan herba, strata pancang, semak dan perdu, strata tiang dan strata pohon. Sedang komposisi tumbuhan merupakan jenis-jenis tumbuhan penyusun masing-masing strata.
8 Air Ketersediaan sumber air diidentifikasi dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Ketinggian Peta ketinggian diperoleh dari DEM yang kemudian diklasifikasikan menggunakan spatial analysis tool dalam ArcGIS 10.1. Pakan Pengamatan jenis-jenis pakan rusa timor dilakukan bersamaan dengan pengamatan perilaku rusa timor yaitu dengan mengikuti rusa timor mulai pukul 08.00 sampai dengan 16.00 dan mencatat jenis tumbuhan yang dimakan. Untuk mengetahui prosentase jenis pakan yang sama antara rusa jawa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan maka dihitung indeks similaritasnya dengan menggunakan indeks Sorensen (Mueller-Dombois 1974) atas dasar kehadiran species pakan dengan rumus sebagai berikut: IS=2C/(A+B)×100 Dimana : C=Jumlah species pakan rusa jawa di P. Peucang dan P.Panaitan A=Jumlah species pakan rusa jawa P. Peucang B=Jumlah species pakan rusa jawa P. Panaitan
Daya dukung Daya dukung dihitung berdasarkan pakan karena pakan merupakan salah satu factor pembatas.Pengukuran produktivitas hijauan ini dilakukan dengan membuat petak contoh berukuran 1 m x 1 m untuk rumput dan herba di padang rumput, 3 m x 3 m untuk semak dan strata pancang dan tiang yang dipagar untuk melindungi dari pagutan rusa dan herbivora lainnya. Produktivitas pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
p = bbi n
p=
p L proper use l
Keterangan : bbi n p L l
p
= = = = = =
Berat basah pada plot ke-i Jumlah plot Produktivitas hijauan pakan selama 20 hari Luas areal Luas petak contoh Rata-rata berat basah hijauan pakan
Proper use untuk rumput adalah 70% dan untuk hijauan pakan pada semak dan pohon adalah 45% (Susetyo 1980 dalam Sudibyo 2012).
Pendugaan produktivitas daun, bunga, dan buah yang jatuh dilakukan dengan memasang jaring dibawah pohon dengan ukuran 3 m x 1 m dengan ketinggian diatas jangkauan rusa timor, kemudian ditimbang masing-masing jenis per hari. Penghitungan daya dukung menggunakan rumus sebagai berikut:
9 ̅ Dimana : D ̅ L h PU
= daya dukung = berat rata-rata/Ha/hari = luas areal yang mudah dijangkau rusa timor = jumlah hari = Proper Use (untuk hijauan pakan = 45%, Susetyo 1980 dalam Sudibyo 2012)
Hasil dan Pembahasan Habitat Vegetasi Lokasi yang banyak digunakan rusa timor baik di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan adalah padang rumput, pantai dan dataran rendah. Secara umum strata pohon pada Pulau Peucang dan Pulau Panaitan (Lampiran 2 dan 8) mempunyai indeks diversitas yang tinggi (>3) yang menunjukkan bahwa ekosistem pada kedua pulau ini cukup stabil. Strata pohon pada tipe vegetasi mangrove mempunyai indeks diversitas sedang, namun pidada (Sonneratia caseolaris) yang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor mempunyai nilai penting tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pagutan rusa terhadap daun pohon pidada tidak mengganggu pertumbuhan pohon pidada atau ketersediaan pidada cukup melimpah dan volume yang dimakan rusa tidak terlalu besar. Rusa timor menggunakan pohon sebagai pelindung dari sengatan matahari, tiupan angin, hujan maupun sebagai sumber pakan (daun yang jatuh, bunga dan buah yang jatuh). Batang pohon juga merupakan sarana untuk menggesekkan ranggah bagi rusa timor jantan baik dewasa maupun remaja. Rusa timor menggunakan strata tiang (Lampiran 3 dan 9) sebagai sumber pakan yaitu dengan memakan daun yang masih dapat dijangkau karena rusa timor dapat berdiri diatas kedua kaki belakangnya. Daun jambu kopo (Eugenia subglauca) yang mempunyai nilai penting tertinggi di Pulau Peucang merupakan sumber pakan yang penting terutama pada musim kering. Kigentel (Diospyros frustescens) yang merupakan salah satu pakan rusa (daun dan bunga) dan mendominasi hampir di seluruh tipe vegetasi (pantai, hutan dataran rendah dan dataran tinggi) di Pulau Panaitan menunjukkan bahwa salah satu pakan rusa timor di pulau ini cukup melimpah. Strata tiang juga dapat digunakan untuk menggesekkan ranggah. Rusa timor menggunakan strata pancang (Lampiran 4 dan 10) sebagai sumber pakan maupun tempat untuk menggesekkan ranggah. Vegetasi dataran rendah di Pulau Peucang yang didominasi pisitan hutan strata pancang menunjukkan bahwa regenerasi tumbuhan pakan yang cukup baik, meskipun peneliti belum pernah menemukan rusa timor makan pisitan hutan (Glianthus populacus) tetapi dengan ditemukannya rusa timor makan kokosan hutan (Rinorea sp.) maka dapat diprediksikan bahwa rusa timor juga makan pisitan karena jenis dan rasanya yang hampir sama. Pandan laut (Pandanus tectorius) yang mendominasi vegetasi pantai dan kigentel yang mendominasi vegetasi dataran rendah dan dataran tinggi di Pulau Panaitan menunjukkan bahwa pakan
10 rusa timor cukup melimpah karena rusa timor di pulau ini mengkonsumsi kedua jenis tumbuhan tersebut. Tabel 2.1 Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Jml. plot
Pulau Panaitan Jml. ID INP tertinggi jenis
Calophyllum inophyllum Vitex regundo
26
12
4.83
26
11
4.32
Calophyllum inophyllum Calophyllum inophyllumIpo moea pescaprae Cycas rumphii
26
15
4.51
26
21
5.62
26
1
1.00
26
2
1.39
Pandanus tectorius
Eugenia polycephala Drypetes sumatrana Eugenia subglauca Garcinia celebica Pipper Sp Areuy, romroman
13
13
3.53
16
24
6.50
16
20
6.76
16
42
10.88
16 16
1 2
1.00 1.61
Diospyros aurea Uncaria gambir Diospyros frustescens Eugenia spicata Pipper Sp Daemonorops melanochaetes
Blumeodendron tokbrai Blumeodendron tokbrai Lagerstroemia speciosa Pterospermum diversifolium Rom-roman
10
19
7.09
Sp.5
10
18
6.83
10
13
5.47
16
10
6.80
10 10
7 2
3.48 1.60
Diospyros frustescens Pterospermum diversifolium Spondias pinnata Adiantum Sp. Laportea stimulans
Ischaemum muticum
11
15
5.43
Lindernia crustacean
Mangrove Semai
5
1.00
1.00
Pancang
5
1.00
1.00
Tiang
5
1.00
1.00
Pohon
5
5.00
2.33
Herba, rumput
5
-
-
Rhizophora apiculata Rhizophora apiculataRhiz ophora apiculata Sonneratia caseolaris -
Semak, perdu
5
-
-
-
Tipe Vegetasi
Pulau Peucang Jml. plot
Jml. jenis
ID
INP tertinggi
10
7
2.36
Pancang
10
6
2.89
Tiang
10
7
3.44
Pohon
10
10
2.38
Herba, rumput
10
1
1.00
Semak
10
2
1.60
30
34
9.03
Pancang
30
15
5.76
Tiang
30
26
8.63
Pohon
30
54
12.54
Herba, rumput Semak, perdu, liana
20 20
1 2
1.00 1.62
Dataran tinggi* Semai
20
22
7.85
20
26
7.13
20
21
6.61
20
40
9.19
20 20
0 2
0.00 1.48
16
11
3.80
Pantai Semai
Dataran rendah Semai
Pancang Tiang Pohon Herba, rumput Semak Padang rumput Herba, rumput
Keterangan: *Sumber data IAR & BTNUK (2013)
Diospyros aurea Cynometra ramiflora Diospyros frustescens Diospyros frustescens Pipper Sp.
11 Rusa timor menggunakan semai (Lampiran 5 dan 11) sebagai hijauan pakan yang mudah dijangkau, rusa timor dapat makan sambil bergerak. Heas (Eugenia polycephala) yang mendominasi vegetasi dataran rendah di Pulau Peucang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor di pulau ini, hal ini akan sangat menguntungkan bagi rusa timor dengan melimpahnya salah satu jenis pakan. Penemuan ini mengindikasikan bahwa keberadaan rusa timor tidak menyebabkan salah satu jenis pakannya menjadi punah. Hal ini kemungkinan karena relung pakan rusa yang luas atau semai jenis heas yang memang cukup melimpah karena pohon heas (Eugenia polycephala) memproduksi biji heas yang berlimpah yang penyebarannya dibantu oleh monyet maupun rusa dan heas mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Kitulang (Diospyros aurea) yang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor juga mendominasi vegetasi pantai dan dataran rendah di Pulau Panaitan juga memperkuat temuan di Pulau Peucang, meskipun setiap hari rusa timor mengkonsumsi daun semai kitulang (Diospyros aurea) tetapi jenis ini masih mendominasi. Pada vegetasi mangrove di Pulau Panaitan hanya ditemukan satu jenis tumbuhan yaitu Bangka (Rhizopora apiculata). Hal ini kemungkinan karena rusa timor juga makan kecambah pidada (Sonneratia caseolaris) sehingga tidak diketemukan semai jenis pidada (Sonneratia caseolaris), walaupun diketemukan pohonnya. Air Sumber air minum di Pulau Panaitan dapat ditemukan pada tiga sungai yang cukup besar yaitu Cilentah, yang bermuara di pantai timur, Cijangkah yang bermuara di pantai utara dan Ciharashas yang bermuara di Teluk Kasuaris. Selain itu air minum juga dapat diperoleh di rawa dan air sumur di Kantor Resort Legon Butun. Rusa timor juga terlihat minum air laut untuk memenuhi kebutuhan garam mineral. Di Pulau Peucang tidak terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun, air minum rusa diperoleh dari kubangan dan rawa. Selain sebagai sumber air minum, kubangan biasa digunakan berkubang oleh rusa jantan yang beranggah keras. Perilaku berkubang dilakukan untuk menstabilkan suhu tubuh yang meningkat akibat pengaruh lingkungan serta pengaruh metabolisme hormonal yang meningkat pada aktivitas kawin (Mannes 1999). Baik di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan rusa timor memang jarang terlihat minum, mereka minum hanya sesekali saja. Penemuan ini mendukung Hoogerwerf (1970) yang juga menjumpai rusa timor di Taman Nasional Ujung Kulon sangat jarang terlihat minum karena kebutuhan air bagi rusa memang minim. Kemungkinan lainnya adalah karena kebutuhan air rusa timor dapat diperoleh dari air yang terkandung dalam pakan (Huffman 2004). Ketinggian Rusa timor dapat ditemukan hingga ketinggian 900 m (Hedges et al. 2008), dan peneliti pernah menemukan rusa timor di Dataran Tinggi Hyang pada ketinggian 2500 m. Dengan demikian Pulau Peucang dengan ketinggian dibawah 75 m dan Pulau Panaitan dengan puncak tertinggi 320 m masih merupakan wilayah habitat rusa timor.
12 Tabel 2.2 Kelas ketinggian di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Kelas ketinggian (m dpl) 0-25 25-50 50-75 75-100 >100 Jumlah
Pulau Peucang (Ha) 388.03 84.98 7.34 0.00 0.00 480.35
Pulau Panaitan (Ha) 6382.50 2635.46 1300.70 905.46 1097.65 12 321.77
Pakan Terdapat 37 jenis tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau Peucang (Lampiran 1) yang terdiri dari 20 jenis pohon, 3 jenis perdu, 1 jenis liana, 11 jenis rumput/herba dan 2 jenis jamur. Pada jenis pohon terdapat beberapa bagian yang dimakan antara lain daun, bunga dan tangkainya, buah, ranting muda. Jenis-jenis pakan ini diperoleh rusa timor dengan cara memanen langsung pada individu tumbuhan apabila dapat dijangkau atau dengan memungut yang sudah jatuh baik yang masih segar (daun pada cabang pohon yang patah karena angin kencang atau dijatuhkan oleh monyet individu panjang) maupun yang sudah kuning. Jenis-jenis pakan dari jenis pohon paling banyak ditemukan pada vegetasi dataran rendah. Haeruman et al. (1977) menemukan 46 jenis hijauan pakan rusa timor di Pulau Peucang sementara Setio et al. (2011) menemukan 19 jenis pakan rusa timor di Pulau Peucang. Tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau Panaitan sejumlah 38 jenis yang terdiri dari 19 jenis pohon, 4 jenis perdu, 14 jenis rumput/herba dan 1 jenis jamur. Bagian yang dimakan rusa timor di Pulau Panaitan pada jenis pohon antara lain daun, bunga, tangkai bunga, buah, ranting muda, dan kecambah. Pada herba, liana dan perdu bagian yang dimakan adalah daunnya, sedang pada jamur dimakan seluruhnya (batang dan tudung). Rusa timor di pulau ini paling sering terlihat makan vegetasi pantai seperti daun butun (Barringtonia asiatica), waru laut (Thespesia populnes) dan kampis (Hernandia peltata), sedang pada vegetasi hutan dataran rendah yang paling disukai terutama oleh rusa timor jantan dewasa adalah daun rotan (Daemonorops melanochaetes). Indeks similaritas antara pakan rusa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan rendah yaitu sebesar 37.33% yang berarti jenis pakan yang sama yang dimakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan sedikit (14 jenis), meskipun rusa timor di Pulau Peucang merupakan nenek moyang rusa timor di Pulau Panaitan. Perbedaan temuan jenis pakan baik di Pulau Peucang dari waktu ke waktu (1977; 2011; 2013) maupun antara Pulau Peucang dan Pulau Panaitan kemungkinan karena rusa timor di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan menggeser menu pakannya berkaitan dengan ketersediaan pakan seperti yang ditemukan pada banteng di Taman Nasional Alas Purwo (Pairah 2007) atau untuk menurunkan kompetisi dengan jenis lain (kijang, kancil dan monyet individu panjang), seperti yang ditemukan pada grazer-grazer di Afrika (Sinclair 1985 dalam Barker 2005). Berdasarkan komposisi jenis pakan diatas maka rusa timor di kedua pulau tersebut dapat digolongkan sebagai mix feeder yaitu grazer dan browser (pemakan rumput dan pemakan hijauan daun). Berdasarkan jumlah jenis tumbuhan pakan, rusa timor di kedua pulau merupakan jenis satwa yang cenderung generalist dan
13 jenis satwa generalist akan lebih berhasil untuk bertahan hidup (Colles et al. 2009) karena satwa generalis mempunyai relung pakan yang luas, masing-masing jenis pakan dapat saling menggantikan (satwa tidak akan terpaku pada satu jenis pakan saja). Daya Dukung Pakan rusa timor di Pulau Peucang terdiri dari rumput, herba, hijauan daun, bunga, buah (pada semak maupun pohon baik pada individu yang hidup maupun pada cabang yang patah dan jatuh), material jatuh (daun, bunga, buah) dan jamur. Hasil perhitungan produktivitas pakan rusa timor di Pulau Peucang dalam setahun adalah sebesar 1 150 473.79 kg atau 3151.98 kg/hari. Menurut Sudibyo et.al. (2012), kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan. Dengan pertimbangan untuk kesejahteraan rusa timor maka kebutuhan pakan diukur dari berat badan rusa dewasa meskipun berat badan anak dan remaja tentu akan lebih kecil dibanding dewasa. Berat badan rusa timor dewasa untuk betina rata-rata 50 kg dan untuk rusa jantan 70 kg, apabila diambil rata-rata 60 kg maka kebutuhan pakan rusa timor adalah 9 kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Peucang adalah 350 individu, dengan mengabaikan kompetitor dan produktivitas insidental seperti daun segar pada cabang yang patah dan jatuh. Ukuran populasi rusa timor di Pulau Peucang adalah 99 individu (Sudibyo et al. 2012), sehingga populasi rusa timor di pulau ini masih berada di bawah daya dukung. Mukhtar (2004) melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk tahun 2000 dan 2001 adalah sebesar 337 individu, kemudian pada tahun 2011 Setio et al. (2011) melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk rusa timor sebesar 375 individu. Dari beberapa laporan tersebut menunjukkan bahwa daya dukung Pulau Peucang tidak terlalu berfluktuasi. Hal ini didukung dengan hasil analisis vegetasi di Pulau ini yang mempunyai indeks diversitas tinggi sehingga ekosistemnya memiliki ekosistem yang stabil. Hasil perhitungan produktivitas pakan di Pulau Panaitan adalah sebesar 105 593.8 kg/hari, jika kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan dan berat badan rata-rata sebesar 80 kg, maka kebutuhan pakan rusa timor adalah 12 kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Panaitan adalah sebesar 8799 individu. Estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan adalah 822±484 individu, sehingga masih jauh di bawah daya dukung dan kesejahteraan rusa timor di pulau ini tampak pada ukuran tubuhnya yang cenderung lebih besar dibanding rusa timor di Pulau Peucang.
Simpulan Rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan merupakan pemakan rumput, hijauan daun, bunga, tangkai bunga, buah, ranting muda dan jamur. Berdasarkan jumlah jenis pakannya, baik rusa timor di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan merupakan generalist. Hampir seluruh strata di seluruh tipe vegetasi di kedua pulau mempunyai indeks diversitas yang tinggi menunjukkan bahwa kedua pulau mempunyai ekosistem yang stabil. Ketersediaan air di Pulau Panaitan lebih melimpah dibanding Pulau Peucang dengan adanya sungai besar yang mengalir sepanjang tahun dan ekosistem rawa, sementara di Pulau Peucang
14 hanya terdapat kubangan dan rawa. Titik tertinggi Pulau Panaitan lebih tinggi dibanding Pulau Peucang, namun ketinggian di kedua pulau ini masih merupakan range habitat rusa timor. Daya dukung habitat di Pulau Peucang sebesar 350 individu dan di Pulau Panaitan sebesar 8799 individu. Temuan ini sesuai dengan teori sindrom pulau bahwa ukuran pulau menentukan tingkat habitat.
15
3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN POPULASI RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) yang saat ini berada di Pulau Panaitan merupakan reintroduksi dari Pulau Peucang pada tahun 1978 s/d 1982 sejumlah 16 individu. Kegiatan ini dilakukan untuk membangun kembali populasi rusa timor di Pulau Panaitan setelah tahun 1920 tidak diketemukan lagi (Hoogerwerf 1970). Introduksi dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan populasi yang mandiri (Griffith et al. 1989). Pada tahun 1997, Balai Taman Nasional Ujung Kulon melaporkan bahwa ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan ± 78 individu dan pada tahun 2008 meningkat menjadi ± 400 individu. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan reintroduksi ini cukup berhasil. Selain ukuran populasi yang mengalami peningkatan, ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan juga tampak lebih besar. Menurut Meiri et al. (2008), lingkungan biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan bagaimana ukuran tubuh. Harmon et al. (2005) menyatakan bahwa fenotip spesies lebih erat berkaitan dengan lingkungannya dari pada dengan nenek moyangnya. Hal penting yang berkontribusi pada variasi ukuran tubuh adalah perbedaan ketersediaan sumberdaya dan kualitas lingkungan (Amarello et al. 2010) dan perbedaan morfologi berhubungan dengan penggunaan bagian lingkungan yang berbeda (Harmon et al. 2005). Perubahan pada beberapa karakteristik populasi pulau dalam proses ekologi dan evolusi dinamakan sindrom pulau yang didorong oleh perbedaan ukuran pulau dan isolasi (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Ukuran pulau menentukan tingkat habitat yang akan berpengaruh pada ukuran tubuh, sedang isolasi akan berpengaruh terhadap kepadatan populasi melalui mekanisme migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ukuran tubuh dan kepadatan populasi rusa timor sebagai komponen sindrom pulau di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Metode Penelitian Ukuran tubuh Sejumlah 5 individu (1♂: 4♀) rusa timor dewasa di Pulau Panaitan dan 10 individu (6♂: 4♀) rusa timor dewasa di Pulau Peucang ditangkap menggunakan sumpit (tulup bius Ø 5/8 inc) dengan obat bius total kombinasi antara ketamin 10% dan xylazine. Dosis yang digunakan untuk rusa jantan dewasa 300 mg ketamine 10% dan 50 mg xylazine, sedang untuk rusa betina dewasa 200 mg ketamine 10% dan 40 mg xylazine. Setelah selesai diobservasi, rusa disuntik reverzine 3-4 cc/ekor agar cepat sadar dan segar kembali. Kegiatan penangkapan rusa dilakukan tim bius dari Taman Margasatwa Ragunan (drh. Ari Nugroho dkk) dan dari International Animal Rescue (drh. Wendi Prameswari dkk).
16 Ukuran tubuh yang diukur meliputi panjang keseluruhan, panjang individu, panjang tengkorak, panjang rahang, tinggi bahu, kaki depan, kaki belakang, lingkar dada, lingkar leher dan berat badan. Untuk mengetahui perbedaan ukuran tubuh antara rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan diuji dengan menggunakan tes Mann Whitney U dengan tingkat kepercayaan 0.05. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 3-7 September 2012 dan tanggal 7-11 Juni 2013. Kepadatan populasi Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang menggunakan data hasil penelitian Sudibyo et al. (2012), sedang di Pulau Panaitan dilakukan inventarisasi dengan menggunakan metode jalur transek dengan panjang transek 1.5 km dan lebar 80 m. Penempatan jalur transek untuk wilayah Legon Butun, Legon Bajo dan Kelapa Lima dengan model jari-jari dan pada wilayah lainnya dengan model jalur sejajar yang dimulai dari garis pantai ke arah sentrifugal. Jenis data yang dicatat yaitu jumlah individu rusa, jenis kelamin dan kelas umur. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 28 April s/d 1 Mei 2013. Ukuran dan kepadatan populasi dihitung dengan rumus sebagai berikut : Densitas masing-masing transek: n
X atau D i 1
n
i
2.L.w
D
X i 1
i
a
dimana :
D
:
Kepadatan Populasi Dugaan (individu/km2 atau individu/ha
Xi L w a i
: : : : :
Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu) Panjang transek jalur pengamatan (m) Lebar kiri atau kanan jalur pengamatan (m) Luas setiap jalur pengamatan (km2 atau Ha) Kontak pengamat dengan satwa liar
Ukuran populasi untuk seluruh wilayah pengamatan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: n
P
X i 1 k
k
i
2. L j .w j
.A
atau
P
D j 1
j 1
j
.A
K
dimana :
P Dj
:
Ukuran Populasi dugaan (individu)
:
Kepadatan populasi pada jalur pengamatan ke-j (individu/km2 atau individu/ha)
K A
: :
Jumlah jalur pengamatan Luas total areal yang diteliti (km2 atau ha)
Untuk menentukan kisaran hasil pendugaan ukuran populasi, dapat digunakan perhitungan sebagai berikut: k
Dj
D j i
k
j
SD 2
D
2 j
D j / k 2
k 1
SD
SD k
2
17 dimana:
Dj
:
Rata-rata kepadatan populasi dugaan dari seluruh jalur pengamatan (individu/km2 atau individu/ha) Kepadatan populasi pada jalur pengamatan ke-j (individu/km2 atau individu/ha)
k
:
Jumlah jalur pengamatan
Dj
:
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka kisaran ukuran populasi pada seluruh areal yang diteliti adalah sebagai berikut:
P D t / 2.db .S D . A (Kartono AP. 2000)
Hasil dan Pembahasan Ukuran tubuh Hampir seluruh komponen ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan menujukkan nilai yang lebih besar, namun hasil uji Mann Whitney U menunjukkan bahwa secara umum komponen ukuran tubuh baik jantan dewasa maupun betina dewasa pada kedua pulau tidak berbeda secara signifikan (Tabel 3.1). Perbedaan yang signifikan hanya ditemukan pada lingkar dada betina dewasa. Tabel 3.1 Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Jantan Dewasa (rata-rata±SE) Peucang Panaitan Uji Mann (n=6) (n=1) Whitney U Kaki depan 33.33±0.33 34 P=0.403 Kaki belakang 44.17±0.40 46 P=0.116 Badan keseluruhan 173.17±1.70 204 P=0.120 Panjang individu 19.50±0.62 35 P=0.127 Panjang kepala 36.83±1.11 37 P=0.604 Tinggi bahu 95.33±2.74 108 P=0.130 Lingkar leher 51.33±4.39 70 P=0.134 Lingkar dada 95.00±2.35 109 P=0.134 Panjang rahang 26.33±0.76 26 P=0.600 Berat badan 70.83±3.94 102 P=0.130 *= signifikan Ukuran tubuh (cm)
Betina Dewasa (rata-rata±SE) Peucang Panaitan Uji Mann (n=4) (n=4) Whitney U 30.75±1.18 31.25±0.75 P=0.559 40.00±1.22 41.00±0.71 P=0.642 149.25±6.14 154.75±4.75 P=0.468 19.00±1.41 20.00±0.71 P=0.381 32.25±0.75 32.75±0.85 P=0.655 86.25±1.93 87.50±2.22 P=0.663 32.5±1.89 31.00±0.41 P=0.881 81.00±2.38 91.50±2.10 P=0.042* 23.25±0.48 24.50±0.87 P=0.186 49.50±3.12 59.75±3.35 P=0.081
Lingkar dada berkorelasi positif dengan berat badan (Widarteti et al. 2009) dan berat badan merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai kondisi satwa (Irvin et al. 2012). Rusa timor betina dewasa di Pulau Panaitan mempunyai lingkar dada yang lebih besar dibanding rusa betina dewasa di Pulau Peucang, meskipun berat badannya tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan tetapi rata-rata berat badan rusa betina dewasa di Pulau Panaitan (59.75±3.35 kg) juga lebih berat dibanding berat badan rusa betina dewasa di Pulau Peucang (49.50±3.12 kg). Hasil pengukuran lingkar dada dan berat badan rusa jantan dewasa menunjukkan bahwa lingkar dada dan berat badan rusa jantan dewasa di Pulau Panaitan (109 cm; 102 kg) lebih besar dibanding rusa jantan dewasa di Pulau Peucang (95.00±2.35 cm; 70.83±3.94 kg), namun tidak berbeda secara signifikan. Ukuran sampel yang kecil menghalangi makna analisis statistik sehingga asumsi dapat dibuat berdasarkan kecenderungan umum populasi
18 (Creekmore dan Creekmore 1999). Dengan ditemukannya lingkar dada yang lebih besar pada rusa timor betina dewasa di Pulau Panaitan mengindikasikan bahwa kondisi rusa timor betina dewasa di Pulau Panaitan lebih baik dari rusa timor betina dewasa di Pulau Peucang. Island rule menyatakan bahwa tidak terdapat gejala khas dalam perubahan ukuran tubuh pada spesies berukuran menengah yang dipindahkan dari daratan ke pulau (Demetrius 2000). Rusa timor merupakan jenis rusa yang berukuran sedang (Jesser 2005), ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan yang cenderung lebih besar dari ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang tidak membuktikan berlakunya island rule.
Gambar 3.1 Betina dewasa di Pulau Peucang
Gambar 3.2 Betina dewasa di Pulau Panaitan
Foto : Monica DR
Gambar 3.3 Jantan dewasa di Pulau Peucang
Gambar 3.4 Jantan dewasa di Pulau Panaitan
Berat badan berkorelasi dengan ketersediaan pakan, penurunan berat badan mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan yang berkualitas baik kurang mencukupi atau kepadatan populasi rusa terlalu tinggi (Irvin et al. 2012). Kecenderungan berat badan rusa timor betina dewasa maupun jantan dewasa di Pulau Panaitan yang lebih besar mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan di
19 Pulau Panaitan lebih melimpah dibanding Pulau Peucang, sedang kepadatan populasi di Pulau Peucang (0.25 individu/ha) lebih tinggi dibanding Pulau Panaitan (0.23 individu/ha), sehingga memungkinkan bagi rusa timor di Pulau Panaitan lebih cukup akan pakan yang berkualitas baik. Pulau Peucang merupakan habitat kijang dan monyet ekor panjang, sedang Pulau Panaitan juga merupakan habitat bagi kijang, kancil dan monyet ekor panjang. Kijang lebih banyak memilih pakan jenis dedaunan, sedangkan kancil lebih banyak memakan jenis buah-buahan (Farida et al. 2003), sementara pakan monyet ekor panjang mulai dari daun, bunga, buah hingga kulit pohon (IAR_BTNUK 2013) sehingga kijang, kancil dan monyet ekor panjang dapat dikatakan sebagai kompetitor bagi rusa timor, karena pakan rusa timor mencakup rumput, dedaunan, bunga, buah, kecambah dan jamur. Namun keberadaan monyet ekor panjang juga membantu dalam penyediaan pakan berupa buah bagi rusa timor yaitu dengan menjatuhkan buah-buahan yang berada pada ketinggian pohon sehingga rusa timor dapat memungutnya di lantai hutan. Pertemuan dengan kijang di Pulau Peucang selama penelitian sangat jarang, sedang di Pulau Panaitan sangat sering dijumpai kijang maupun kancil yang mengindikasikan bahwa kepadatan kompetitor di Pulau Peucang lebih rendah dibanding Pulau Panaitan. Sementara monyet ekor panjang di kedua pulau ini sama-sama sering dijumpai. Meskipun demikian karena sumberdaya di Pulau Panaitan lebih melimpah maka kondisi rusa timor, kijang, dan kancil sama-sama gemuk. Ukuran dan kepadatan populasi Berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al. (2012) diperoleh ukuran populasi di Pulau Peucang sebesar 99 individu dengan sex ratio kelas umur muda 0.3 dan kelas umur dewasa 0.27 dan struktur umur yaitu 26 anak : 35 muda dan 38 dewasa. Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang sebesar 0.25 individu/ha dengan asumsi luas area yang digunakan adalah 400 ha. Estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan adalah 822±484 individu dengan sex ratio kelas umur muda 0.44 dan kelas umur dewasa 0.54 dan struktur umur yaitu 12 anak : 23 muda : 40 dewasa dan kepadatan populasinya 0.23±0.11 individu/ha, dengan asumsi luas area yang digunakan adalah lokasi dekat pantai dengan kelerengan datar hingga landai (0-15%) dan ketinggian 0-50 m sebesar 3636 ha. Kepadatan populasi rusa di Pulau Peucang yang mempunyai ukuran lebih kecil dari Pulau Panaitan sesuai dengan catatan dari Adler dan Levins (1994) yang menyatakan bahwa pulau dengan ukuran lebih kecil mempunyai kepadatan populasi yang lebih tinggi. Hasil estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan ini menunjukkan bahwa Pulau Panaitan merupakan habitat yang sesuai bagi rusa timor. Rusa timor yang awalnya hanya berjumlah 16 individu (reintroduksi 19781982) telah berkembang menjadi 822±484 individu selama kurun waktu 32-36 tahun. Perkembangan populasi rusa timor di Pulau Panaitan mengalami peningkatan, tercatat pada tahun 1997 Balai Taman Nasional Ujung Kulon melaporkan bahwa ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan ± 78 individu dan pada tahun 2008 meningkat menjadi ± 400 individu. Selain itu, jarak yang cukup jauh dengan Pulau Peucang maupun Semenanjung Ujung Kulon (± 10 km) menyebabkan populasi rusa timor di Pulau Panaitan tidak melakukan migrasi.
20 Sementara populasi rusa timor di Pulau Peucang yang merupakan nenek moyang rusa timor di Pulau Panaitan hanya sebesar 99 individu. Perkembangan populasi rusa timor di pulau ini cukup fluktuatif, pada tahun 2000 tercatat 203 individu dan pada tahun 2001 tercatat 271 individu (Muchtar 2004), pada tahun 2008 tercatat 134 individu (Balai TNUK 2008) dan pada tahun 2011 tercatat 260 individu (Setio et al. 2011). Menurut Sudibyo et al. (2012), rendahnya populasi rusa timor di Pulau Peucang kemungkinan karena rusa timor di pulau ini melakukan migrasi ke Semenanjung Ujung Kulon (Pulau Jawa) karena jarak antara Pulau Peucang dan Semenanjung Ujung Kulon hanya sekitar 500 m. Temuan ini mendukung teori sindrom pulau yang menyatakan bahwa isolasi mengontrol laju migrasi ke dan dari pulau (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. (2011) sehingga akan mempengaruhi ukuran dan kepadatan populasi pulau.
Simpulan Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan cenderung lebih besar dibanding rusa timor di Pulau Peucang. Hal ini berbeda dengan karakteristik sindrom pulau (Adler dan Levins 1994) bahwa pada area yang lebih kecil ukuran tubuh akan meningkat. Demikian juga dengan Island rule yang menyatakan bahwa pada satwa yang berukuran menengah tidak akan terjadi perubahan ukuran tubuh. Temuan ini sesuai dengan pernyataan Meiri et al. (2008) bahwa lingkungan biotik dan abiotik yang menentukan ukuran tubuh. Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang lebih tinggi dibanding kepadatan populasi di Pulau Panaitan. Temuan ini sesuai dengan teori sindrom pulau.
21
4 PERBANDINGAN WILAYAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Burt (1949) mendefinisikan wilayah jelajah sebagai area yang dilalui individu dalam beraktivitas normal seperti mengumpulkan makanan, kawin dan merawat anak. Borger et al. (2008) menambahkan bahwa wilayah jelajah menghubungkan pergerakan satwa dengan distribusi sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan reproduksi, sehingga wilayah jelajah dapat mengungkapkan kebutuhan ekologi satwa karena wilayah jelajah mencakup seluruh sumberdaya yang digunakan satwa (Seaman dan Powell 1990). Beberapa faktor yang mempengaruhi wilayah jelajah antara lain massa tubuh (Schmidt et al. 2002), produktivitas habitat (Relyea et al. 2000), jenis kelamin, umur, musim dan kepadatan populasi (Burt 1949), serta predasi (Lagos et al. 1995). Rusa timor yang hidup di Pulau Panaitan merupakan hasil reintroduksi dari Pulau Peucang yang dilaksanakan pada tahun 1978 s/d 1982. Pelepasan rusa timor di Pulau Panaitan selalu dilakukan pada lokasi yang sama yaitu di Legon Anggasa, namun saat ini rusa timor dapat ditemukan di hampir seluruh pantai yang mengelilingi pulau ini. Pulau Panaitan yang tersusun atas hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, hutan mangrove sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa dan padang rumput dengan topografi secara umum datar dan titik tertinggi Gunung Raksa pada ketinggian 320 m merupakan potensi habitat bagi rusa timor, karena rusa timor dapat ditemukan pada padang rumput, semak belukar, hutan rawa, hutan mangrove, hutan pegunungan dengan ketinggian hingga 2600 m (Mukhtar et al. 2011). Komponen sindrom pulau yang paling menakjubkan adalah perubahan perilaku (Blondel 2000). Data dalam Adler dan Levins (1994) menunjukkan bahwa wilayah jelajah Mus musculus di pulau secara individu lebih menetap bila dibandingkan dengan di daratan. Perbedaan ukuran pulau yang menentukan tingkat habitat tentunya akan mempengaruhi perilaku satwa dalam membangun wilayah jelajah dan penggunaan habitat. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan wilayah jelajah dan penggunaan habitat rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Metode Penelitian Wilayah jelajah Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah focal animal sampling (Altmann 1974) yaitu dengan mengikuti individu target mulai pukul 08.00 s/d 16.00 dengan menghidupkan track pada Global Positioning System (GPS) sehingga alur pergerakan rusa timor tercatat dalam GPS. Individu target dibedakan ke dalam kelas umur yaitu anak, jantan muda, betina muda, jantan
22 dewasa dan betina dewasa. Data track dalam GPS kemudian dipindahkan ke dalam komputer dengan menggunakan program Mapsource. Luas wilayah jelajah diestimasi menggunakan metode Minimum Convex Polygon yang sederhana dan telah banyak digunakan (Powell 2000) yang dianalisa menggunakan ekstensi Hawths Tool (Beyer 2006) dan Xtool Pro 10.1 pada software ArgGIS 10.1. Penelitian Nilsen et al. (2008) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada pilihan penduga wilayah jelajah dalam mempengaruhi interpretasi biologi dalam studi komparatif. Powel dan Mitchell (2012) menyatakan bahwa tidak terdapat penduga wilayah jelajah yang universal. Uji Mann Whitney U digunakan untuk mengetahui perbedaan luas wilayah jelajah antara rusa timor di Pulau peucang dan Pulau Panaitan denngan tingkat kepercayaan 0.05. Penggunaan habitat Polygon wilayah jelajah Rusa digunakan untuk menganalisis habitat yang digunakan rusa timor dengan cara mengeplotkan polygon wilayah jelajah kedalam peta tutupan lahan, peta ketinggian dan peta kelerengan. Peta tutupan lahan diperoleh dari Kementerian Kehutanan dan dilengkapi dengan pengamatan kondisi lapangan. Peta ketinggian dan kelerengan diperoleh dari DEM yang kemudian diklasifikasikan menggunakan spatial analysis tool dalam ArcGIS 10.1.
Hasil dan Pembahasan Wilayah Jelajah Hasil uji Mann Whitney U menunjukkan bahwa wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau untuk kelas umur jantan muda berbeda secara signifikan, sedang kelas umur lainnya tidak berbeda nyata (Tabel 4.1). Meskipun rusa timor tinggal di Pulau Panaitan dengan area yang jauh lebih besar akan tetapi perilaku dalam mendirikan wilayah jelajah masih sama dengan nenek moyangnya. Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain pengalaman rusa timor ketika masih hidup di Pulau Peucang dan distribusi sumberdaya yang ada di Pulau Panaitan yang mirip dengan distribusi sumberdaya di Pulau Peucang. Kelas umur jantan muda di Pulau Peucang mempunyai wilayah jelajah yang lebih luas dibanding dengan jantan muda di Pulau Panaitan. Kelas umur remaja merupakan kelas umur yang mulai mandiri termasuk mulai mandiri dalam membangun wilayah jelajah. Kelas umur jantan muda di Pulau Peucang kemungkinan sedang mempelajari wilayah untuk mendirikan wilayah jelajahnya sehingga wilayah jelajahnya lebih luas, seperti yang dilaporkan pada orang utan (Susanto 2012), namun menurut Carvalho et al. (2008) peningkatan wilayah jelajah digunakan untuk mendapatkan makanan yang cukup dan untuk menemukan pasangan. Sementara Lindstedt et al. (1986) menyatakan bahwa kelas umur jantan muda mempunyai wilayah jelajah yang lebih luas karena mereka disingkirkan oleh jantan dominan sehingga wilayah jelajahnya tersebar dan berpindah-pindah, selain itu juga karena jantan muda membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk pertumbuhan sementara ketrampilan untuk mendapatkan makanan masih kurang. Berbeda dengan rusa jantan muda di Pulau Panaitan yang mempunyai wilayah jelajah jauh lebih sempit, hal ini kemungkinan berkaitan dengan distribusi
23 sumberdaya yang diperlukan berada dalam wilayah yang berdekatan. Rusa jantan muda yang berada di Cibariang Pulau Panaitan mempunyai wilayah jelajah sempit (0.254 ha) kemungkinan karena wilayahnya berdekatan dengan predator (buaya muara di muara sungai Cibariang atau ular python di lubang pohon nyamplung yang besar dan tumbang) sehingga predator telah membatasi wilayah jelajah rusa jantan muda. Kemungkinan lainnya adalah rusa timor jantan muda menggunakan strategi optimal patch use (Brown 1988) dan optimal foraging (Krebs dan Davies 1990). Di Cibariang terdapat vegetasi pantai dan mangrove, rusa timor dapat menggunakan dua tipe vegetasi ini sebagai sumber pakan maupun cover. Air minum dapat diperoleh dari rawa dan garam mineral dapat diperoleh dari laut. Penemuan ini juga mendukung hipotesis wilayah jelajah lebih kecil ketika sumberdaya penting melimpah (Anderson et al. 2005). Tabel 4.1 Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Kelas Umur Jantan dewasa Betina dewasa Jantan muda Betina muda Anak *= signifikan
Luas wilayah jelajah (mean±SE) P. Peucang (Ha); n=15 P. Panaitan (Ha); n=15 3.95±1,39 6.26±4.52 4.31±2.69 3.61±0.05 11.23±0.78 1.72±1.37 3.75±1.95 2.20±1.55 4.35±2.66 5.97±2.36
Uji Mann Whitney U P=0.827 P=0.513 P=0.05* P=0.513 P=0.275
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa timor di kedua pulau ini menggunakan ruang yang hampir sama luasannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun Pulau Panaitan mempunyai luasan yang jauh lebih besar dibanding Pulau Peucang, tidak diikuti dengan meningkatnya ukuran wilayah jelajah rusa di pulau ini. Penemuan ini mendukung teori optimal patch use yaitu satwa mampu mengidentifikasi dan mengarahkan upaya mereka untuk mencari makan di lingkungan (patch) yang rata-rata tingkat hasil panen atau keuntungannya lebih tinggi dibanding lingkungan pada umumnya (Brown 1988). Mitchell dan Powell (2012) menjelaskan bahwa dua strategi untuk mengefisienkan wilayah jelajah yaitu maksimalisasi sumberdaya dan minimalisasi area sehingga akan menurunkan energi untuk melakukan perjalanan. Wilayah jelajah menghubungkan pergerakan satwa dengan distribusi sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan reproduksi (Borger et al. 2008). Pada musim bunga atau buah, maka rusa akan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mencari bunga atau buah. Beberapa jenis bunga/buah yang teramati dimakan oleh rusa di Pulau Peucang antara lain buah dahu (Dracontomelon dao), buah kiara (Ficus sp), kulit buah melinjo (Gnetum gnemon), ranting dan bunga ketapang (Terminalia catappa), kulit buah ketapang (Terminalia catappa), bunga dan buah calincing (Averrhoa bilimbi). Bunga yang teramati dimakan rusa di Pulau Panaitan adalah bunga dan ranting bunga ketapang (Terminalia catappa) dan bunga kigentel (Diospyros frustescens). Ketika belum musim bunga atau buah, maka rusa timor akan berjalan dari lokasi satu ke lokasi lain yang menyediakan daun baik daun segar (rumput, semai, semak, pohon tingkat tiang) maupun daun jatuh dari pohon. Selain itu rusa juga memakan jamur yang tumbuh pada pohon tumbang yang sudah mulai lapuk. Rusa timor di Pulau
24 Panaitan yang menggunakan habitat mangrove, selain makan daun tumbuhan mangrove (Sonneratia spp dan Bruguiera spp), mereka juga makan kecambahnya. Dalam memenuhi kebutuhan air minum, rusa timor di Pulau Peucang minum di kubangan atau rawa, sedang rusa timor di Pulau Panaitan minum di rawa, sungai dan air sumur di dekat Kantor Resort Legon Butun. Rusa timor di kedua pulau ini menggunakan hutan sebagai pelindung dari teriknya matahari. Rusa timor di Pulau Peucang menggunakan padang rumput selain sebagai tempat mencari makan juga sebagai ruang untuk berinteraksi sosial seperti aktivitas perawatan antar individu, bermain dan aktivitas seksual. Sedang rusa timor di Pulau Panaitan menggunakan area hutan yang tidak rapat (pepohonan cukup besar dan banyak yang sudah tumbang, sedikit pohon tingkat tiang atau pancang dan sedikit semai) sehingga hanya tampak tanah yang tertutup sedikit serasah sebagai tempat untuk beristirahat dan beraktivitas sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih wilayah jelajah diantara seluruh kelas umur rusa timor di kedua pulau. Namun untuk rusa di Cibariang Pulau Panaitan selama pengamatan hanya ditemukan jantan muda, betina dewasa dan jantan dewasa dengan jantan lebih banyak. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan terdapatnya predator (buaya muara dan ular python) di wilayah ini, sehingga betina dewasa akan membesarkan anaknya di lokasi lain yang jauh dari predator. Penggunaan habitat Tutupan lahan Di Pulau Peucang, selama pengamatan (08.00 s/d 16.00) kelas umur anak, jantan muda dan betina dewasa menggunakan rumput dan hutan lahan kering sekunder sebagai daearah jelajahnya (Gambar 4.1; Tabel 4.2), dengan rata-rata penggunaan rumput cukup kecil. Kelas umur anak, menjelajahi rumput rata-rata hanya sebesar 1.47% dari wilayah jelajahnya, demikian juga dengan jantan muda (1.02%) dan betina dewasa (1.48%). Hal ini karena luasan padang rumput yang juga cukup kecil (1% dari luas kawasan). Meskipun prosentase luasan daerah jelajah ketiga kelas umur ini dalam menggunakan rumputcukup kecil, namun mereka menggunakan padang rumput cukup lama. Rata-rata rusa berada di padang rumput mulai sore hari (14.00 – 18.00) hingga menjelang pagi (04.0005.00). Kelas umur betina muda akan memasuki padang rumput ketika menjelang malam, sementara jantan dewasa mengunjungi padang rumput ketika musim kawin untuk mencari betina dewasa. Padang rumput merupakan tempat mencari makan, aktivitas sosial dan sebagai tempat beristirahat. Pada pagi hingga menjelang kelompok rusa ini berada di hutan untuk menghindari suhu yang tinggi di padang rumput (hutan sebagai cover). Selain sebagai cover, hutan juga berfungsi sebagai tempat mencari makan. Daun semai, daun jatuh, buah jatuh, bunga dan jamur merupakan pakan rusa timor yang diperoleh di dalam hutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan padang rumput sangat penting bagi keberlangsungan hidup rusa timor di pulau ini. Di Pulau Panaitan (Gambar 4.2; Tabel 4.2), rata-rata kelas umur anak menjelajahi air laut (7.24%) dan hutan rawa sekunder (92.76%), betina muda menempati rumput (1.98%) dan hutan wara sekunder (92.02%), jantan muda menjelajahi air laut (3.55%), rumput (1.33%) dan hutan rawa sekunder (95.12%).
25 Betina dewasa rata-rata menjelajahi air laut (0.22%) dan hutan rawa sekunder (99.78%) sedang jantan dewasa menempati air laut (4.35%), hutan lahan kering sekunder (14.85%), hutan rawa sekunder (80.64%) dan hutan mangrove sekunder (0.16%). Selain itu di lain waktu penulis pernah menemukan kelas umur anak, betina dewasa dan jantan dewasa mengunjungi padang rumput. Kelas umur betina dewasa juga pernah penulis temukan mencari makan di hutan mangrove sekunder. Sebagai tambahan penulis belum pernah menemukan kelas umur anak di hutan mangrove sekunder. Hal ini disebabkan medan yang sulit untuk dilalui dan wilayahnya yang berdekatan dengan predator. Dari seluruh kelas umur rusa timor terlihat bahwa daerah jelajah rusa timor di Pulau Panaitan paling banyak menempati hutan rawa sekunder.
Gambar 4.1 Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Peucang
Gambar 4.2 Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Panaitan
26 Tabel 4.2 Penggunaan habitat oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Kelas umur Anak Individu 1 Individu 2 Individu 3 Betina muda Individu 1 Individu 2 Individu 3 Jantan muda Individu 1 Individu 2 Individu 3 Betina dewasa Individu 1 Individu 2 Individu 3 Jantan dewasa Individu 1 Individu 2 Individu 3
Pulau Peucang (Ha) rumput HLKS
Air laut
Pulau Panaitan (Ha) rumput HLKS HRS
HMS
0.13 0.11 0.00
2.28 11.57 2.019
1.54 0.00 0.03
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00
11.31 4.69 4.11
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00
3.02 1.76 8.53
0.00 0.00 0.00
0.11 0.00 0.05
0.00 0.00 0.00
1.71 0.40 5.83
0.00 0.00 0.00
0.39 0.00 0.00
12.06 13.33 12.67
0.17 0.00 0.07
0.00 0.09 0.00
0.00 0.00 0.00
0.43 5.65 0.35
0.00 0.00 0.00
0.13 0.11 0.00
2.28 11.57 1.88
0.00 0.00 0.03
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00
4.70 4.69 4.11
0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00
6.52 6.46 1.88
0.29 0.70 0.00
0.00 0.00 0.00
0.00 3,38 0.00
4.46 13.54 0.36
0.00 0.00 0.04
Keterangan : HKLS : Hutan Lahan Kering Sekunder HRS : Hutan Rawa Sekunder HMS : Hutan Mangrove Sekunder
Ketinggian Pulau Panaitan mempunyai ketinggian berkisar antara 0-320 m, akan tetapi seluruh kelas umur rusa timor di pulau ini hanya menggunakan ketinggian 0-25 m, sementara di Pulau Peucang rusa timor kelas umur anak, jantan muda, betina muda dan betina dewasa menggunakan ketinggian 0-25 m dan satu individu dari kelas umur jantan dewasa menggunakan ketinggian 0-50 m (Gambar 4.4) dengan prosentase 77.11% untuk ketinggian 0-25 m dan 22.89% untuk ketinggian 25-50 m. Sebenarnya rusa timor dapat hidup hingga ketinggian 2500 m (di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang, pengamatan pribadi). Rusa timor membutuhkan garam mineral untuk pertumbuhan ranggahnya (Semiadi 2004) yang dapat diperoleh dari air laut, vegetasi pantai menyediakan pakan dan cover, sehingga meskipun rusa timor hanya menggunakan ketinggian 0-25 m sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Penemuan ini membuktikan implementasi teori optimal patch use (Brown 1988) oleh satwa.
27
Pulau Peucang
Gambar 4.3 Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Peucang
Cibariang Pulau Panaitan
Legon Butun
Gambar 4.4 Penggunaan ketinggian oleh rusa di Pulau Panaitan Kelerengan Seluruh kelas umur rusa timor di kedua pulau menggunakan kelerengan 015% (Gambar 4.5 dan 4.6). Berdasarkan ukuran tubuh, rusa timor termasuk ukuran sedang (Jesser 2005) yang tentunya tidak akan keberatan dalam
28 menyangga tubuhnya ketika berjalan pada kelerengan lebih dari 15%. Namun pada kenyataannya rusa timor di kedua pulau ini memilih lokasi dengan kelerengan 0-15%. Hal ini karena pada kelerengan 0-15% sudah dapat ditemukan seluruh sumberdaya yang dibutuhkan rusa timor untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Hal ini sesuai dengan teori optimal patch use (Brown 1988) untuk menghemat energi. Tabel 4.3 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan Kelas umur Anak Individu 1 Individu 2 Individu 3 Betina muda Individu 1 Individu 2 Individu 3 Jantan muda Individu 1 Individu 2 Individu 3 Betina dewasa Individu 1 Individu 2 Individu 3 Jantan dewasa Individu 1 Individu 2 Individu 3
Pulau Peucang (Ha) 0 – 8% 8 – 15%
Pulau Panaitan (Ha) 0 – 8% 8 – 15%
2.042 8.041 2.020
0.361 3.643 0.000
1.354 11.056 2.402
2.796 0.284 2.287
8.527 3.044 1.426
0.000 0.000 0.388
0.440 1.888 0.064
1.384 3.996 0.328
12.399 12.148 10.980
0.933 0.524 1.475
0.580 2.250 0.347
0.000 3.490 0.003
2.042 8.041 1.875
0.361 3.643 0.000
1.317 1.354 2.402
3.344 2.796 2.287
6.093 1.882 6.356
0.422 0.000 0.106
0.394 1.991 16.681
0.000 2.640 0.344
Pulau Peucang
Gambar 4.5 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang
29
Cibariang g
Pulau Panaitan
Legon Butun
Gambar 4.6 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Panaitan
Simpulan Ukuran wilayah jelajah seluruh kelas umur rusa timor pada kedua pulau secara umum tidak berbeda signifikan, hanya kelas umur jantan muda yang berbeda dengan luas wilayah jelajah rusa timor jantan muda di Pulau Peucang lebih luas dibanding di Pulau Panaitan. Dalam mendirikan wilayah jelajah, rusa timor menggunakan strategi optimal patch use. Perilaku rusa timor di kedua pulau dalam penggunaan habitat baik tutupan lahan, ketinggian dan kelerengan hampir sama yaitu menggunakan strategi optimal patch use dan optimal foraging.
30
5 PERBANDINGAN ALOKASI WAKTU RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Pendahuluan Rusa timor yang saat ini hidup di Pulau Panaitan (± 17 500 Ha) merupakan hasil reintroduksi dari Pulau Peucang (± 450 Ha), yang dilakukan pada tahun 1978 s/d 1982 sejumlah 16 individu (3♂: 13♀). Kegiatan ini dimaksudkan untuk membangun kembali populasi rusa timor setelah tidak diketemukan lagi pada tahun 1920 (Hoogerwerf 1970). Introduksi merupakan suatu sarana konservasi jenis (Griffith et al. 1989) dan sudah banyak dilakukan pada berbagai jenis satwa dan lokasi (Fischer dan Lindenmayer 2000). Introduksi dianggap berhasil apabila mampu menghasilkan populasi yang lestari (Griffith et al. 1989). Saat ini, rusa timor di Pulau Panaitan masih dapat ditemukan dan bahkan telah menyebar di pulau ini dengan ukuran tubuh yang lebih besar dibanding dengan rusa timor di Pulau Peucang. Perubahan yang terjadi pada morfologi, perilaku dan demografi dalam proses ekologi dan evolusi kolonisasi populasi pulau disebut sindrom pulau (Blondel 2000) yang didorong oleh perbedaan ukuran pulau dan isolasi (Adler dan Levins 1994). Pulau Panaitan dengan ukuran yang jauh lebih besar dibanding dengan Pulau Peucang tentunya akan memberikan kondisi ekologi yang berbeda yang akan mempengaruhi morfologi, perilaku dan demografi rusa timor. Keberhasilan satwa untuk bertahan hidup dan bereproduksi tergantung pada perilakunya dan perilaku yang berbeda merefleksikan ekologi yang berbeda (Krebs dan Davies 1990). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
Metode Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Desember 2013, di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon. Peta lokasi penelitian sebagaimana pada Gambar 5.1. Metode Pengamatan Perilaku Pengamatan perilaku rusa dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling (Altmann 1974) yaitu dengan mengikuti individu target dan mencatat aktivitas dan durasinya mulai pukul 08.00 s/d 16.00 WIB. Apabila individu target yang diikuti menghilang, segera diganti dengan individu lain satu kelas. Pengamatan di Pulau Peucang dilakukan terhadap 16 individu rusa selama 16 hari yang setara dengan 7200 menit dan di Pulau Panaitan dilakukan pengamatan terhadap 24 individu selama 24 hari yang setara dengan 7200 menit. Pengamatan dibagi ke dalam 3 periode yaitu: pagi (08.00-12.00), siang (12.0013.00) dan sore hari (13.00-16.00).
31
Gambar 5.1 Peta Lokasi Penelitian Rusa diklasifikasikan ke dalam 5 kelas yaitu anak, jantan muda, betina muda, jantan dewasa dan betina dewasa. Penentuan kriteria umur berdasarkan ukuran tubuh dan perilaku masing-masing kelas umur (Yuliawati 2011). Kelas umur anak ditandai dengan ukuran tubuh yang masih kecil dengan bulu-bulu yang masih halus, masih dalam asuhan induknya sehingga selalu berada di dekat induknya. Kelas umur muda dicirikan dengan ukuran tubuh sedang (lebih besar dari anak), beraktivitas dalam kelompok satu kelas umur. Pada jantan muda dicirikan dengan mulai tumbuhnya ranggah tunggal. Kelas umur dewasa dicirikan dengan ukuran tubuh besar. Pada jantan dewasa ditandai dengan ranggah yang telah berkembang dan pada betina dewasa biasanya diikuti anaknya. Untuk menandai satwa target dengan menggunakan ciri-ciri khusus yang terdapat pada satwa misalnya bentuk ranggah pada jantan muda, ada yang masih berbentuk bulatan ada juga yang sudah tumbuh memanjang tetapi masih tunggal. Pada jantan dewasa, dengan menggunakan bentuk ranggah, meskipun semuanya bercabang 3 tetapi ada yang tumbuh lurus ke atas dan ada yang agak ke belakang. Untuk mengamati anak dilakukan bersamaan dengan pengamatan induknya karena keberadaan anak selalu berdekatan dengan induknya. Pola aktivitas rusa dibagi ke dalam 6 kategori yaitu makan, bergerak, istirahat, perawatan, anti predator dan aktivitas lain-lain. Aktivitas makan meliputi mencari makan, memasukkan makanan dan mengunyah, memamah biak, minum dan minum susu induknya. Aktivitas bergerak meliputi berjalan dan berlari. Perilaku istirahat meliputi berdiri diam, duduk diam dan tidur. Aktivitas perawatan meliputi menjilati diri sendiri, menggaruk diri sendiri menggunakan kakinya dan menjilati individu lain dan dijilati oleh individu lain. Aktivitas anti predator meliputi berdiri mengamati hal-hal yang mencurigakan, postur waspada
32 (kepala tegak dan pandangan lurus ke arah yang dianggap sebagai sumber bahaya) dan mengeluarkan signal alarm. Aktivitas lain-lain meliputi buang air kecil, buang air besar, bermain, berkelahi, berkubang, display (menggosokkan kepala atau ranggah pada vegetasi dan menghias ranggah dengan vegetasi) dan aktivitas seksual (Sharaichandra and Gadgil 1980; Xu et al. 2012). Untuk mempermudah pengamatan perilaku rusa ini digunakan alat bantu binokuler. Analisis Statistik Persentase masing-masing jenis aktivitas dari masing-masing individu dihitung. Tes Mann Whitney U digunakan untuk menguji perbedaan alokasi waktu untuk setiap jenis aktivitas masing-masing kelas umur rusa timor pada kedua pulau. Proses pengolahan data menggunakan Microsoft Excel dan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 16.0.
Hasil Dan Pembahasan Prosentase alokasi waktu anak rusa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan dari pagi hingga sore hari dapat dilihat pada Gambar 5.1 dan 5.2. Anak rusa di Pulau Peucang menghabiskan lebih banyak waktu untuk aktivitas perawatan daripada anak rusa di Pulau Panaitan pada pagi hari dan siang hari, sementara pada aktivitas lainnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan (Tabel 5.1 s/d Tabel 5.2). Hal ini berkaitan dengan penggunaan habitat oleh anak rusa di kedua pulau tersebut. Anak rusa di Pulau Peucang tinggal di hutan pada pagi dan siang hari, dan pada sore hari berpindah ke padang rumput. Anak rusa ini dapat memaksimalkan waktu untuk makan di padang rumput pada sore hingga malam hari dan dilanjutkan pada awal pagi, sehingga anak rusa ini dapat meningkatkan waktunya untuk melakukan kegiatan lain seperti untuk perawatan pada pagi dan siang hari.
Gambar 5.2 Alokasi waktu anak rusa di Pulau Peucang
Gambar 5.3 Alokasi waktu anak rusa di Pulau Panaitan
Sementara anak rusa di Pulau Panaitan tinggal di hutan sepanjang hari, anak rusa akan mengunjungi padang rumput (halaman Kantor Resort Legon Butun yang ditumbuhi rumput) ketika tidak terdapat manusia yang sedang beraktivitas disini. Penemuan ini sama dengan perilaku zebra yang menghindari padang
33 rumput ketika singa hadir di padang rumput tersebut (Fischhoff et al. 2007). Sebagai tambahan, satwa yang hidup dengan sumber daya yang berlimpah akan lebih ekstrim dalam merespon gangguan dibandingkan dengan satwa yang hidup dengan sumber daya terbatas (Beale dan Monaghan 2004). Sepertinya hal ini juga terjadi pada rusa timor di Pulau Panaitan, rusa timor menghindari padang rumput ketika manusia hadir disana. Mereka dapat menemukan pakan di lokasi lain karena sumber daya di pulau ini lebih melimpah dengan kepadatan rusa yang lebih rendah. Anak rusa di kedua pulau ini memberikan respon yang berbeda terhadap kehadiran manusia seperti yang dilaporkan dalam perilaku satwa oleh Beale dan Monaghan (2004). Tabel 5.1 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode pagi hari. Pola Aktivitas (rata-rata±SD) Kelas Umur Anak
Peucang Panaitan Signifikan Betina Peucang muda Panaitan Signifikan Jantan Peucang Muda Panaitan Signifikan Betina Peucang dewasa Panaitan Signifikan Jantan Peucang Dewasa Panaitan Signifikan * = Signifikan NS = tidak signifikan
makan
bergerak
51.66±19.81 60.66±22.67 NS 65.95±13.64 66.86±7.44 NS 50.79±9.95 63.89±24.34 NS 70.99±8.90 85.75±7.68 NS 68.30±9.35 63.67±5.99 NS
14.34±12.24 15.86±5.26 NS 8.29±6.72 8.74±9.57 NS 17.00±8.85 11.32±4.61 NS 11.23±11.30 4.39±2.97 NS 11.73±4.92 5.72±2.72 NS
Gambar 5.4 Alokasi waktu betina muda di Pulau Peucang
istirahat 25.36±13.35 16.95±14.37 NS 15.78±17.49 19.09±5.75 NS 12.69±8.03 12.47±13.36 NS 9.30±8.45 3.83±2.71 NS 4.37±2.43 19.75±2.41 *
perawatan 3.89±0.85 1.63±1.06 * 2.97±3.55 2.05±2.05 NS 8.17±6.83 6.17±8.60 NS 2.59±1.32 1.88±1.94 NS 2.26±2.86 5.18±4.7 NS
anti predator 4.60±3.02 4,80±3.66 NS 4.85±2.03 3.15±2.41 NS 8.08±9.31 5.06±4.23 NS 5.80±3.46 3.99±0.96 NS 10.45±7.5 5.53±2.51 NS
Lain-lain 0.17±0.04 0.10±0.07 NS 2.17±2.98 0.11±0.08 NS 3.26±4.10 1.09±0.65 NS 0.08±0.07 0.14±0.08 NS 2.90±4.02 0.14±0.20 NS
Gambar 5.5 Alokasi waktu betina muda di Pulau Panaitan
Rusa betina muda di Pulau Peucang menghabiskan waktu lebih banyak untuk bergerak dan menghabiskan lebih sedikit waktu untuk perawatan dari pada
34 rusa betina muda di Pulau Panaitan pada siang hari. Rusa betina muda di Pulau Peucang perlu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mencari makan dalam rangka memenuhi kebutuhan pakannya seperti yang terjadi pada rusa di Texas selatan yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari makan selama musim kering yang panjang (Fulbright dan Wiemers 2011). Disaat rusa betina muda di Pulau Peucang ini meningkatkan waktunya untuk bergerak, akan dibarengi dengan penurunan waktunya untuk perawatan. Pada sore hari, rusa betina muda di Pulau Peucang menghabiskan lebih banyak waktu untuk aktivitas anti predator daripada di Pulau Panaitan. Alokasi waktu rusa betina muda untuk aktivitas lainnya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.1 s/d 5.3). Pada sore hari rusa betina muda di Pulau Peucang masih berada di dalam hutan. Rusa betina muda ini akan bersikap waspada dengan kehadiran pengunjung yang melintasi hutan menuju Karangcopong untuk menikmati matahari tenggelam. Selain itu, rusa betina muda ini juga akan bersikap waspada ketika mendengar suara dari binatang lain seperti dari kera individu panjang, babi hutan atau kijang. Meskipun rusa betina muda di Pulau Panaitan juga berada di hutan pada sore hari, akan tetapi frekuensi berperilaku anti predator lebih rendah karena di Pulau Panaitan tidak terdapat pengunjung yang melintasi hutan. Tabel 5.2 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode siang hari Kelas Umur Anak
Peucang Panaitan Signifikan Betina Peucang Muda Panaitan Signifikan Jantan Peucang Muda Panaitan Signifikan Betina Peucang Dewasa Panaitan Signifikan Jantan Peucang Dewasa Panaitan Signifikan * = Signifikan NS = tidak signifikan
makan 23.02±20.35 68.45±26.06 NS 79.98±11.72 71.37±9.13 NS 52.99±37.53 56.44±28.83 NS 40.42±12.29 40.27±8.80 NS 28.45±9.22 40.11±12.39 NS
bergerak 6.51±8.46 19.57±22.19 NS 8.23±3.02 2.30±1.76 * 4.89±6.92 9.53±7.26 NS 0.84±1.19 4.32±5.88 NS 7.57±3.78 7.45±8.80 NS
Pola Aktivitas (rata-rata±SD) istirahat perawatan anti predator 25.54±18.09 3.37±2.25 1.56±1.42 4.17±4.78 0.04±0.06 7.44±4.24 NS * NS 9.61±7.74 0.13±0.18 1.98±1.64 13.30±14.96 12.8±12.75 0.19±0.27 NS * NS 7.33±8.47 22.38±28.62 0.02±0.02 22.55±31.20 5.00±7.07 6.40±4.95 NS NS NS 12.67±16.61 4.11±2.77 1.85±2.13 12.23±12.16 1.62±2.13 1.49±1.97 NS NS NS 19.28±14.5 2.10±2.92 2.52±2.35 1.27±1.79 9.13±8.60 2.05±2.89 NS NS NS
Lain-lain 0.00±0.00 0.33±0.46 NS 0.07±0.09 0.00±0.00 NS 12.4±17.54 0.08±0.12 NS 0.11±0.15 0.07±0.10 NS 0.07±0.10 0.00±0.00 NS
Rusa jantan muda di Pulau Peucang menghabiskan lebih sedikit waktunya untuk aktivitas anti predator daripada di Pulau Panaitan pada sore hari. Alokasi waktu rusa jantan muda untuk aktivitas lainnya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.1 s/d Tabel 5.3). Pada sore hari, rusa jantan muda di Pulau Peucang mulai berpindah ke padang rumput dan tinggal di padang rumput hingga awal pagi hari. Lokasi padang rumput ini dikelilingi oleh penginapan, restoran dan kantor resort pengelolaan taman nasional, sehingga kehadiran manusia selalu ada disini. Rusa jantan muda ini telah terbiasa dengan kehadiran manusia (Griffiths dan Schaik 1993). Selain itu, kehadiran predator di padang rumput ini sangat jarang, dan predator juga menghindari kehadiran manusia. Penemuan ini juga
35 mengindikasikan bahwa rusa jantan muda mengubah habitat yang digunakan untuk menghindari predasi seperti yang dilaporkan pada zebra (Fischhoff et al. 2007).
Gambar 5.6 Alokasi waktu jantan muda di Pulau Peucang
Gambar 5.7 Alokasi waktu jantan muda di Pulau Panaitan
Tabel 5.3 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan periode sore hari Pola Aktivitas (rata-rata±SD) Kelas Umur Anak
Peucang Panaitan Signifikan Betina Peucang Muda Panaitan Signifikan Jantan Peucang Muda Panaitan Signifikan Betina Peucang Dewasa Panaitan Signifikan Jantan Peucang Dewasa Panaitan Signifikan * = Signifikan NS = tidak signifikan
makan
bergerak
istirahat
40.76±23.32 52.28±23.63 NS 73.69±14.06 72.64±21.85 NS 59.81±29.47 56.61±36.10 NS 69.57±11.75 67.87±13.74 NS 52.51±27.62 46.79±22.30 NS
13.13±6.8 13.81±7.85 NS 10.15±6.04 4.64±5.05 NS 9.95±9.76 7.97±5.63 NS 1.78±1.41 6.76±3.33 NS 21.72±13.29 9.60±6.16 NS
41.46±20.32 28.35±20.67 NS 5.01±3.95 20.08±16.82 NS 17.08±14.67 26.10±25.37 NS 20.89±7.81 16.86±12.34 NS 3.77±2.69 20.47±15.82 NS
anti predator 1.52±0.89 3.06±1.98 0.87±0.62 4.70±2.14 NS NS 3.51±4.52 7.39±1.89 1.49±1.96 1.04±1.07 NS * 9.84±6.97 0.58±0.54 2.05±2.87 6.06±0.89 NS * 2.21±1.94 5.45±4.30 0.04±0.03 8.12±4.95 * NS 5.35±6.59 7.74±7.53 10.19±14.09 7.95±2.65 NS NS perawatan
Lainlain 0.08±0.11 0.00±0.00 NS 0.26±0.19 0.10±0.08 NS 2.74±3.80 1.21±1.50 NS 0.09±0.07 0.35±0.07 * 8.91±12.52 5.00±7.07 NS
Rusa jantan muda di Pulau Panaitan tinggal di dalam hutan pada sore hari. Rusa jantan muda ini akan bersikap waspada ketika mendengar panggilan tanda bahaya dari satwa lain seperti dari kijang, seperti yang dilaporkan pada zebra (Fischhoff et al. 2007). Satwa dapat memperoleh informasi mengenai resiko predasi dengan menguping pada panggilan tanda bahaya dari jenis lain (MorandFerron et al. 2010). Suara gaduh monyet berkelahi, suara dahan atau cabang pohon yang jatuh dan gemuruh angin juga dapat menyebabkan rusa jantan muda ini bersikap waspada. Pada tupai tanah, suara gemuruh angin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap waktu untuk waspada (Fairbanks dan Dobson 2007).
36 Aktivitas anti predator juga terkait dengan ukuran kelompok, tingkat kewaspadaan individu akan menurun seiring dengan meningkatnya ukuran kelompok (Roberts 1996). Pada sore hari, rusa jantan muda di Pulau Panaitan tinggal sendiri di dalam hutan, sementara rusa jantan muda di Pulau Peucang tinggal di padang rumput dan jumlah rusa yang berada di padang rumput di Pulau Peucang dapat mencapai 35 individu. Mekanisme pengaruh ukuran kelompok telah dikemukakan oleh Roberts (1996); Fairbanks dan Dobson (2007); Pays et al. (2007); Li dan Jiang (2008); Michelena dan Deneubourg (2011) dan Li et al. (2012). Pada sore hari, rusa betina dewasa di Pulau Peucang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk perawatan dan menghabiskan lebih sedikit waktunya untuk aktivitas lain-lain dari pada rusa betina dewasa di Pulau Panaitan. Alokasi waktu rusa betina untuk aktivitas lainnya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.1 s/d 5.3). Rusa betina dewasa di Pulau Peucang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk aktivitas lain-lain di sore hari. Hal ini berkaitan dengan habitat yang digunakan oleh rusa betina dewasa ini. Pada sore hari, rusa betina dewasa di Pulau Peucang megunjungi padang rumput, sementara rusa betina dewasa di Pulau Panaitan tinggal di hutan. Frekuensi buang air kecil dan buang air besar rusa betina dewasa di padang rumput lebih rendah dari pada di hutan. Buang air besar dan buang air kecil merupakan salah satu bentuk penandaan (Decima dan Black 2000) yang berfungsi untuk komunikasi (Gomes et al. 2013), sebagai sinyal kondisi kesehatan (Zala et al. 2004), sinyal untuk teritori dan pasangan (Roberts 2012). Dalam waktu yang bersamaan, rusa betina dewasa di Pulau Peucang meningkatkan waktunya untuk perawatan dari pada di Pulau Panaitan di sore hari. Rusa betina dewasa dan anaknya di Pulau Peucang tinggal di padang rumput mulai sore hari hingga awal pagi (pukul 05.00 WIB) meskipun banyak pengunjung yang tinggal di sekelilingnya. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka telah terbiasa dengan kehadiran manusia (Griffiths dan Schaik 1993).
Gambar 5.8 Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Peucang
Gambar 5.9 Alokasi waktu betina dewasa di Pulau Panaitan
Rusa jantan dewasa di Pulau Peucang menghabiskan lebih sedikit waktunya untuk istirahat daripada rusa jantan dewasa di Pulau Panaitan pada pagi hari. Alokasi waktu untuk aktivitas lainnnya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 5.1 s/d Tabel 5.3). Rusa jantan dewasa di Pulau Panaitan mencari makan di pantai
37 pada pagi hari. Mereka makan vegetasi pantai seperti daun butun (Barringtonia asiatica Kurz), daun waru (Hibiscus tiliaceus L.) dan daun ketapang (Terminalia catappa L.). Setelah makan, rusa jantan dewasa duduk sambil memamah biak di pasir di bawah vegetasi pantai. Selain makan vegetasi pantai mereka juga minum air laut. Salah satu fungsi garam mineral adalah untuk membentuk ranggah (Semiadi dan Nugraha 2004). Mereka duduk di pantai ini hingga sebelum siang. Di pulau ini sangat jarang sekali terdapat pengunjung yang mengunjungi pantai di pagi hari. Pada siang hari, rusa jantan dewasa mencari makan di dalam hutan untuk menghindari suhu yang tinggi di pantai. Hal ini mengindikasikan bahwa tenperatur mempengaruhi aktivitas rusa seperti yang dilaporkan oleh Beier dan McCullough (1990) pada rusa individu putih. Sebaliknya, rusa jantan dewasa di Pulau Peucang mengunjungi pantai dan minum air laut pada awal pagi dan mereka hanya lewat saja (tidak tinggal berlama-lama di pantai). Hal ini berkaitan dengan kehadiran pengunjung di pantai pada pagi hari. Pada pagi hari, rusa jantan dewasa di pulau ini mendedikasikan waktunya untuk makan, bergerak dan berkelahi di dalam hutan. Mereka mencari tunas, daun semai dan pancang, daun yang jatuh, bunga yang jatuh, buah yang jatuh dan jamur. Fenomena diatas mengindikasikan bahwa kehadiran manusia telah mempengaruhi perilaku rusa jantan dewasa di kedua pulau seperti yang dilaporkan pada satwa liar di Ketambe (Griffiths dan Schaik 1993).
Gambar 5.10 Alokasi waktu jantan Gambar 5.11 Alokasi waktu jantan dewasa di Pulau Peucang dewasa di Pulau Panaitan
Simpulan Secara umum, alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan hampir sama. Seluruh kelas umur rusa di kedua pulau mengalokasikan waktunya paling banyak untuk makan.Terdapat beberapa perbedaan alokasi waktu pada beberapa aktivitas masing-masing kelas umur yang menunjukkan terdapatnya perbedaan kondisi ekologi rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Perbedaan kondisi ekologi ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan dan kehadiran predator atau manusia. Hasil penelitian ini mendukung pernyataan Kreb dan Davies (1990) dan Blondel (2000).
38
6
PEMBAHASAN UMUM
Bukti Manifestasi Sindrom Pulau Ukuran pulau menentukan tingkat habitat, ketika area meningkat, predator, kompetitor, dan struktur habitat meningkat dalam keanekaragaman (Adler dan Levins 1994). Hal ini juga ditemukan pada Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan. Hasil penelitian pada vegetasi sebagai habitat rusa timor di kedua pulau menunjukkan bahwa hampir seluruh strata vegetasi di kedua pulau mempunyai indeks diversitas yang tinggi, namun karena ukuran Pulau Panaitan lebih besar maka daya dukung Pulau Panaitan lebih besar dibanding Pulau Peucang. Selain itu, tumbuhan pakan di Pulau Panaitan juga lebih beragam, karena lebih beragamnya tipe ekosistem di pulau ini. Sebagai contoh, rusa timor di Pulau Panaitan mengkonsumsi daun dan kecambah pidada (Sonneratia spp.), sementara rusa timor di Pulau Peucang tidak makan tumbuhan pidada karena memang di Pulau Peucang tidak terdapat ekosistem mangrove. Kompetitor yang hadir di Pulau Peucang lebih kecil baik jumlah jenis (kijang, monyet ekor panjang) maupun jumlah individu (jarang bertemu kijang) bila dibanding dengan kompetitor yang hadir di Pulau Panaitan (kijang, kancil, monyet ekor panjang). Dengan sedikitnya kompetitor memungkinkan rusa timor di Pulau Peucang untuk mengakses sumberdaya terutama pakan menjadi lebih leluasa. Tercukupinya sumberdaya pakan akan meningkatkan ukuran tubuh. Predator di Pulau Peucang juga lebih kecil baik dalam jumlah jenis maupun jumlah individu dibanding Pulau Panaitan. Ketidakhadiran predator memungkinkan populasi pulau untuk meningkatkan kepadatan populasi dan ketika populasi meningkat maka populasi akan menurunkan reproduksi dan meningkatkan ukuran tubuh (Adler dan Levins 1994). Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan cenderung lebih besar dibanding di Pulau Peucang, meskipun kehadiran predator dan kompetitor di Pulau Peucang lebih kecil. Ukuran populasi rusa timor di Pulau Peucang yang sudah mencapai 0.33 dari daya dukung, sementara populasi rusa timor di Pulau Panaitan mencapai 0.10 dari daya dukung akan berimplikasi pada akses sumber daya. Rusa timor di Pulau Panaitan akan lebih leluasa dalam mengakses sumberdaya dibanding rusa timor di Pulau Peucang. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan pakan menjadi faktor penting yang menentukan ukuran tubuh. Hare (2009) menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan pakan akan meningkatkan pertumbuhan individu yang pada akhirnya akan meningkatkan ukuran tubuh. Ukuran populasi Pulau Peucang lebih kecil dibanding Pulau Panaitan kemungkinan karena rusa timor di Pulau Peucang bermigrasi ke Semenanjung Ujung Kulon hanya berjarak ± 500 m sementara populasi rusa timor di Pulau Panaitan tidak dapat menyeberang ke pulau lain karena jarak dengan pulau lain mencapai ± 10 km. Isolasi mengontrol migrasi ke dan dari pulau (Adler dan Levins 1994). Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang lebih tinggi dibanding Pulau Panaitan, kemungkinan karena jumlah jenis dan kepadatan predator maupun kompetitor di Pulau Peucang lebih kecil dibanding Pulau Panaitan. Adler dan Levins (1994) menyatakan bahwa pulau dengan ukuran yang lebih kecil
39 mempunyai kepadatan populasi yang lebih tinggi, karena absennya predator dan kompetitor. Ketersediaan sumberdaya mempengaruhi perilaku rusa timor dalam mendirikan wilayah jelajah karena wilayah jelajah menghubungkan pergerakan satwa dengan distribusi sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan reproduksi (Borger et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa timor di kedua pulau ini menggunakan ruang yang hampir sama luasannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun Pulau Panaitan mempunyai luasan yang jauh lebih besar dibanding Pulau Peucang, tidak diikuti dengan meningkatnya ukuran wilayah jelajah di pulau ini. Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan yang cenderung lebih besar juga tidak berpengaruh signifikan dalam mendirikan wilayah jelajah. Namun karena Pulau Panaitan mempunyai wilayah yang jauh lebih besar, rusa timor di Pulau Peucang mempunyai wilayah jelajah yang lebih menetap, sementara rusa timor di Pulau Panaitan dapat berpindah-pindah dalam menjelajahi kawasan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya dengan luasan yang tidak berbeda signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa distribusi sumberdaya antara kedua pulau hampir sama dan distribusi sumberdaya menjadi faktor penting dalam pendirian wilayah jelajah bagi rusa timor di kedua pulau tersebut. Selain itu penemuan ini turut membuktikan teori optimal patch use yaitu satwa mampu mengidentifikasi dan mengarahkan upaya mereka untuk mencari makan di lingkungan (patch) yang rata-rata tingkat hasil panen atau keuntungannya lebih tinggi dibanding lingkungan pada umumnya (Brown 1988). Mitchell dan Powell (2012) menjelaskan bahwa dua strategi untuk mengefisienkan wilayah jelajah yaitu maksimalisasi sumberdaya dan minimalisasi area sehingga akan menurunkan energi untuk melakukan perjalanan. Di Pulau Peucang, rusa timor menggunakan padang rumput sebagai tempat mencari makan, istirahat dan aktivitas sosial. Vegetasi hutan digunakan untuk mencari makan, istirahat, berlindung dan juga aktivitas sosial. Di Pulau Panaitan, rusa timor juga menggunakan padang rumput untuk mencari makan, istirahat dan aktivitas sosial. Berbagai tipe vegetasi hutan (hutan rawa, mangrove, hutan lahan kering) dan semak belukar digunakan untuk berlindung, mencari makan, istirahat dan aktivitas sosial. Selain itu rusa timor di Pulau Panaitan juga mengunjungi pantai untuk minum air laut dan makan vegetasi pantai. Pulau Panaitan yang mempunyai luasan padang rumput lebih sempit dan kelimpahan pohon buahbuahan yang lebih kecil dibanding Pulau Peucang akan mempengaruhi perilaku rusa timor di pulau ini dalam menjelajahi kawasan. Kandungan nutrisi pada rumput dan buah-buahan lebih tinggi dibanding pada daun-daunan, sehingga untuk memenuhi garam mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan ranggah, rusa timor mengambilnya dari air laut. Wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang cenderung lebih menetap yang menghubungkan padang rumput dan vegetasi hutan, sedang wilayah jelajah rusa timor di Pulau Panaitan kurang menetap. Hal ini kemungkinan karena ukuran Pulau Panaitan yang lebih besar dengan daya dukung yang lebih besar sehingga menyediakan ruang yang lebih luas untuk pergerakan rusa timor. Temuan ini sesuai dengan data dalam Adler dan Levins (1994) yang menunjukkan bahwa wilayah jelajah Mus musculus secara individu di pulau lebih menetap dibanding di daratan.
40 Selain mempengaruhi perilaku dalam mendirikan wilayah jelajah, lingkungan juga mempengaruhi perilaku satwa dalam mengalokasikan waktunya. Secara umum, alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan hampir sama. Seluruh kelas umur rusa di kedua pulau mengalokasikan waktunya paling banyak untuk makan. Terdapat beberapa perbedaan alokasi waktu pada beberapa kelas umur pada periode waktu tertentu yang berkaitan dengan ketersediaan sumber pakan maupun kehadiran manusia.
Implikasi Konservasi Hasil penelitian membuktikan bahwa meskipun ukuran populasi rusa timor yang direintroduksi ke Pulau Panaitan relatif kecil, dalam kurun waktu kurang lebih 36 tahun dapat berkembang dengan baik. Kekhawatiran akan terjadinya kepunahan akibat tekanan silang dalam tidak terwujud dalam populasi rusa di Pulau Panaitan. Manifestasi sindrom pulau dapat ditemukan pada populasi rusa timor di kedua pulau. Rusa timor di Pulau Panaitan yang mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dibanding rusa timor di Pulau Peucang dan ukuran populasinya yang berkembang dengan baik merupakan informasi yang berharga dalam konservasi. Salah satu pilar konservasi adalah pemanfaatan sehingga kondisi perkembangan ukuran populasi dan ukuran tubuh yang baik diharapkan akan mampu memberikan manfaat yang optimal. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ± 13 466 pulau (BIG 2007) diantaranya terdapat pulau-pulau kecil. Pulau kecil adalah pulau dengan luasan kurang atau sama dengan 2000 km2/200 000 ha. Salah satu kebijakan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ini adalah untuk kepentingan konservasi (Kementerian KP 2000) sehingga pulau-pulau kecil ini dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi maupun reintroduksi satwa liar. Berdasarkan hasil penelitian, pulau kecil dengan ukuran yang besar dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi berpotensi sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar. Dengan dibangunnya populasi baru di pulau-pulau kecil ini diharapkan dapat meningkatkan populasi satwa liar terutama untuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi, sehingga apabila populasinya telah mencukupi dapat dikeluarkan dari daftar jenis satwa yang dilindungi dan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat akan lebih optimal bila dibanding jenis yang dilindungi. Pengembangbiakan populasi suatu spesies dalam pulau-pulau kecil ini selain dapat meningkatkan ukuran populasi juga dapat dimanfaatkan baik sebagai atraksi wisata maupun untuk diambil hasilnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Letak Pulau Panaitan yang tidak jauh dari Jakarta, akses ke Pulau Panaitan yang cukup menantang dengan gelombang laut yang cukup tinggi, medan Pulau Panaitan yang cukup sulit dan rusa timor yang masih liar merupakan daya tarik bagi wisatawan buru. Namun karena status Pulau Panaitan merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Ujung Kulon maka menurut aturan yang berlaku tidak diperkenankan untuk dilakukan kegiatan wisata buru, namun hal ini dapat dijadikan sebagai wacana ke depan. Pemanfaatan rusa di Pulau Panaitan yang saat ini dimungkinkan untuk dikembangkan adalah sebagai daya tarik obyek wisata dan sebagai bibit untuk kegiatan penangkaran (konservasi exsitu).
41 Drajat (2002) menyatakan bahwa rusa timor mempunyai daya adaptasi yang besar sehingga dapat hidup di daerah terbuka atau di hutan yang lebat, namun menurut Puttman (1988) rusa timor sebenarnya merupakan satwa pemakan rumput, demikian juga dengan Hoogerwerf (1970) yang menyatakan bahwa rusa timor sangat bergantung pada padang rumput. Kondisi habitat rusa timor di Pulau Panaitan sangat minim akan padang rumput (0.22 Ha), oleh karena itu untuk pengelolaan habitatnya perlu diperkaya dengan perluasan padang rumput. Padang rumput selain sebagai sumber pakan yang kaya mineral juga merupakan tempat untuk berbagai aktivitas.
42
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Bukti berlakunya sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan dapat diketahui dari terdapatnya perbedaan dalam ukuran tubuh, ukuran populasi beserta kepadatannya, dan alokasi waktu antara rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Meskipun luas wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau tidak berbeda nyata, tetapi wilayah jelajah individu rusa timor di Pulau Peucang yang lebih menetap dibanding di Pulau Panaitan turut membuktikan berlakunya sindrom pulau. Pulau berukuran besar dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi merupakan lokasi yang berpotensi sebagai tujuan introduksi satwa liar.
Saran Pulau-pulau dengan luasan diatas 10 000 ha dan mempunyai keanekaragaman yang tinggi dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar. Penelitian lebih lanjut yang dapat dilakukan antara lain mengenai asupan gizi, reproduksi dan genetika rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.
43
DAFTAR PUSTAKA Adler GH, Levins R. 1994. The island syndrome in rodent populations [Abstract]. Q Rev Biol. 69(4):473-490. Altmann J. 1974. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Behaviour. 49: 227-267. Amarello M, Nowak EM, Taylor EN, Schuett GW, Repp RA, Rosen PC, Hardy DL. 2010. Potential environmental influences on variation in body size and sexual size dimorphism among Arizona populations of the western diamond-backed rattlesnake (Crotalus atrox). Journal of Arid Environments. (74):1443-1449. Anderson DP, Forester JD, Turner MG, Frair JL, Merrill EH, Fortin D, Mao JS, Boyce MS. 2005. Factors influencing female home range sizes in elk (Cervus elaphus) in North American landscapes. Landscape Ecology. 20:257–271. [BAPPENAS] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2003. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan National Document. The National Development Planning Agency (BAPPENAS). Jakarta (ID): BAPPENAS. [BIG] Badan Informasi Geospasial. 2007. Info survey pulau-pulau di Indonesia [Internet]. Bogor (ID). [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada: http://www.big.go.id. Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. John Wiley and Sons.New York Chichester Brisbane Toronto Singapore. Beale CM, Monaghan P. 2004. Behavioural responses to human disturbance: a matter of choice?. Anim. Behav. 68: 1065-1069. Beier P, McCullough DR. 1990.Factors influencing White-Tailed Deer Activity Patterns and Habitat Use. Wildl. Monogr.109:1-51. Beyers H. 2006. Hawth’s analysis tools for ArcGIS. Version 3.27 [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Bogor (ID). [diunduh 2014 Mar 19] Tersedia pada: http://www.spatiaecology.com/htools. Blondel J. 2000. Evolution and ecology of birds on islands: trends and prospects. Vie et milieu.50(4): 205-220. Boback SM. 2003. Body Size Evolution in Snakes: Evidence from Island Populations. Copeia.1: 81–94 Borger L, Dalziel BD, Fryxell JM. 2008. Are there general mechanisms of animal home range behaviour? A review and prospects for future research. Ecology Letters. 11: 637–650 Bromham L, Cardillo M. 2007. Primates follow the Island Rule : implication for interpreting Homo floresiensis. Biol. Lett. 3:398-400. Brown JS, 1988. Patch use as an indicator of habitat preference, predation risk, and competition. Behav Ecol Sociobiol (1988) 22:37- 47. [BTNUK] Balai Taman Nasional Ujung Kulon. 2008. Inventarisasi potensi rusa timor di Taman Nasional Ujung Kulon. Labuan (ID): Balai TNUK. [BTNUK] Balai Taman Nasional Ujung Kulon. 2011. Potensi rusa, manfaat bagi lingkungan dan kemungkinan pemanfaatannya di Taman Nasional Ujung Kulon. Labuan (ID): Balai TNUK dan Laboratorium Ekologi Satwa Liar Fahutan IPB.
44 [BTNUK] Balai Taman Nasional Ujung Kulon.2013. Statistik Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Labuan (ID): Balai TNUK. Burt WH. 1943. Territoriality and Home Range Concepts as Applied to Mammals. Journal of Mammalogy. 24(3): 346-352. Carvalho P, Nogueira AJA, Soares AMVM, Fonseca C. 2008.Ranging behavior of translocated roe deer in a Mediterranean habitat: seasonal and influences on home range size and patterns of range use. Mammalia.72: 89-94. Clegg SM, Owen IPF. 2002. The island rule in birds : medium body size and its ecological explanation. Proc. R. Soc. Lond. B. 269:1359–1365. Creekmore TE, Creekmore LH. 1999. Health assessment of White-tailed Deer of the Cuyahoga Valley National Recreation Area, Ohio. USGS. Creighton JH, Baumgartner DM. 1997. Wildlife ecology and forest habitat. Washington State University. Decima, Black P. 2000. Home range, social structure, and scent marking behavior in brown brocket deer (Mazama gouazoubira) in a large enclosure. J. Neotrop. Mammal. 7(1):5-14. Demetrius L. 2000. Directionality theory and the evolution of body size. The Royal Society. 267: 2385 – 2391. Drajat AS. 2002. Satwa harapan budidaya rusa. Mataran (ID): Mataram University Press. Elbrocha, LM and Wittmera, HU. 2012. Puma spatial ecology in open habitats with aggregate prey. Mammalian Biology. 77: 377–384 Fairbanks B, Dobson FP. 2007. Mechanisms of the group-size effect on vigilance in Columbian ground squirrels: dilution versus detection. Anim. Behav. 73:115-123. Farida WS, Setyorini LE, Sumaatmadja O. 2003. Habitat dan keragaman tumbuhan pakan kancil (Tragulus javanicus) dan kijang (Muntiacus muntjak) di Cagar Alam Nusakambangan Barat dan Timur. BIODIVERSITAS. 4(2): 97-102. Fischer J, Lindenmayer DB. 2000. An assessment of the published results of animal relocations. Biol. Cons. 96 : 1-11. Fischhoff IR, Sundaresan SR, Cordingley J, Rubensteina DI. 2007. Habitat use and movements of plains zebra (Equus burchelli) in response to predation danger from lions. Behav. Ecol. doi:10.1093/ beheco/arm036 Foster, J.B. 1964. "The evolution of mammals on islands". Nature. 202 (4929): 234–235. Frid A, Dill LM. 2002. Human-caused disturbance stimuli as a form of predation risk. Conserv. Ecol. 6(1): 11. Fulbright T, Wiemers D. 2011. Are deer more or less active during drought? Deer Associated eNews. Caesar Kleberg Wildlife Research Institute. Germano JM, Bishop PJ. 2008. Suitability of Amphibians and Reptiles for Translocation. Conservation Biology, Volume 23. No. 1:7–15. Gomes LAP, Mira APP, Barata EN. 2013. The role of scent marking in patchy and highly fragmented population of Cabrera vole (Microtus Cabrera Thomas, 1906). Zool. Sci. 30: 248-254. Griffith B, Scott JM, Carpenther JW, Reed C. 1989. Translocation as a Species Conservation Tool: Status and Startegy. Science. 245: 477-479
45 Griffiths M, Schaik CPV. 1993. The impact of human traffic on the abundance and activity periods of Sumatran rain forest wildlife. Conserv. Biol. 7(3): 623-626. Haeruman H, Ontario Y, Susanto M. 1977.Penelitian dinamika populasi rusa (Rusa timorensis) di Cagar Alam Pulau Peucang.Bogor (ID): Laporan Kerjasama Lembaga Kerjasama Fakultas Kehutanan IPB dengan Proyek Penyelamatan Badak Bercula Satu dan Suaka Alam Direktorat PPA, Dirjen Kehutanan. Hare EJ. 2009. Island syndrome in rodents; a comparative study on island forms of the bank vole, Myodes glareolus [dissertation]. London (UK): School of Biological and Chemical SciencesQueen Mary, University of London. Harmon, LJ, Kolbe, JJ, Cheverud, JM and Losos, JB. 2005. Convergence and The Multidimensional Niche. Evolution. 59(2): 409–421 Hedges S, Duckworth JW, Timmins RJ, Semiadi G, Priyono A. 2008. Rusa timorensis The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014. 2 [Internet]. [diunduh 2014 Agustus 26]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org. Hoogerwerf A. 1970. Ujung Kulon the land of the javan rhinoceros. Leiden E.J. Brill. Huffman B. 2004. Rusa timorensis. An Ultimate Ungulate Fact Sheet [Internet]. Tersedia pada: http://www.ultimateungulate.com. Irvin SK, Smith MD, Ditchkoff SS. 2012. Managing White-tailed Deer Collecting Data from Harvested Deer. The Alabama Cooperative Extension System. [IUCN/SSC]International Union for Conservation of Nature/Species Survival Commision. 2013. Guidelines for Reintroductions and Other Conservation Translocations. Version 1.0.Gland. Switzerland (CH): IUCN Species Survival Commission, viiii + 57 pp. Jensen SP, Gray SJ, Hurst JL. 2003. How does habitat structure affect activity and use of space among house mice?. Animal Behavior. 66: 239-250. Jesser P. 2005. Deer in Queensland, pest status review series-land protection. Natural Resources and Mines.Queensland Govenrment. Kartono AP. 2000. Teknik Inventarisasi Satwa Liar dan Habitatnya. Bahan Pengajaran. Laboratorium Ekologi Satwa Liar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan. [KEMENHUT] Kementerian Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan. [KEMEN KP] Kementerian Kelautan dan Perikanan.Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000 Tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. Krausmann P. 1999. Some basics primciple of habitat use. In Launchbaugh KL, Sanders KD, Mosley JC. Grazing Behavior of Livestock and Wildlife.Idaho Forest, Wildlife & Range Exp. Sta. Bull.#70, Univ. of Idaho, Moscow, ID.
46 Krebs JR, Davies NB. 1990. An introduction to Behavioural Ecology 2nd ed. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne: Blackwell Scientific Publications. Lagos VO, Contreras LC, Meserve PL, Gutierrez JR, Jaksic FM. 1995. Effects of Predation Risk on Space Use by Small Mammals: A Field Experiment with a Neotropical Rodent. Oikos.Vol. 74 (2): 259-264. Li C, Jiang Z, Li L, Li Z, Fang H, Li C, Bauchamp G. 2012. Effects of reproductive status. Social rank, sex and group size on vigilance patterns in Przewalski’s gazelle. PLoS ONE 7(2): e32607. doi:10.1371/journal. pone.0032607. Li Z, Jiang Z. 2008. Group size effect on vigilance: Evidence from Tibetan gazelle in Upper Buha River, Qinghai-Tibet Plateau. Behav.Process. 78: 25–28. Lindstedt SL, Miller BJ, Buskirk SW. 1986. Home range, time and body size in mammals. Ecology. 67(2): 413-418 Lomolino MV. 2005. Body size evolution in insular vertebrates: generality of the island rule. Journal of Biogeography. 32: 1683-1699. Masy’ud B, Kusuma IH, rachmandani Y. 2008. Potensi vegetasi pakan dan efektivitas perbaikan habitat rusa timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Tanjung pasir Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi. 13 (2): 59-64. Meiri S. 2007. Size evolution in island lizards.Global Ecology and Biogeography. 16: 702–708. Meiri S, Cooper N, Purvis A. 2008. The island rule: made to be broken?. Proc. R. Soc. B. 275, 141–148. Michelena P, Deneubourg JL. 2011. How Group Size Affects Vigilance Dynamics and Time Allocation Patterns: The Key Role of Imitation and Tempo. PLoS ONE 6(4): e18631. doi:10.1371/journal.pone.0018631. Mitchell MS, Powell RA. 2012. Foraging optimally for home ranges. Journal of Mammalogy. 93(4):917–928. Monnes J. 1999. Pemanenan ranggah muda sebagai tambahan nilai usaha penangkaran Rusa timor (Rusa timorensis de Blainville) Perum Perhutani di Jonggol Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Morand-Ferron J, Doligez B, Dall SRX, Reader SM. 2010.Social Information Use. In Encyclopedia of Animal Behavior 3 (ed. M.D. Breed & J. Moore) pp: 242-250. Oxford: Academic Press. Mukhtar, A. S. 2004. Populasi dan Daya Dukung Habitat Rusa dan Biawak di Taman Nasional Ujung Kulon. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.Vol. 1 (1) 2004:1-13. Mukhtar AS, Garsetiasih R, Iskandar S. 2011.Habitat dan populasi. Di dalam: Mukhtar AS, Bismark M, Siran SA, Ismanto AD, Semiadi G. Sintesis hasilhasi litbang: pengembangan penangkaran rusa timor. Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 47. Mysterud A. 1998. The relative roles of body size and feeding type on activity time of temperate ruminants. Oecologia. 113: 442-446. Nilsen EB, Pedersen S, Linnell JDC. 2008. Can minimum convex polygon home ranges be used to draw biologically meaningful conclusions?. Ecol Res 23: 635–639.
47 Pairah. 2007. Tumpang Tindih Relung Ekologis Banteng (Bos javanicus, d’ Alton 1823) dan Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Padang Penggembalaan Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur [tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Pays O, Renaud PC, Loisel P, Petit M, Gerard JF, Jarman P. 2007.Prey synchronize their vigilant behavior with other group members. Proc. R. Soc. B. 274: 1287–1291. Powell RA. 2000. Animal home ranges and territories and home range estimator in Boitani L, Fuller TK. Research technique in animal ecology. Columbia University Press. New York. Powel RA, Mitchell MS. 2012. What is home range. Journal of Mammalogy 93(4): 948-958. Puttman R. 1988. The Natural History of Deer. Christopher Helm. London. Raia P, Guarino FM, Turano M, Polese G, Rippa D, Carotenuto F, Monti DM, Cardi M, Fulgione D. 2010. The blue lizard spandrel and the island syndrome. Evolutionary Biology.10:289. Relyea RA, Lawrence RK, Demarais S. 2000. Home range of desert mule deer: testing the body-size and habitat-productivity hypothesis. J. Wildl. Manage. 64(1): 146-153. Roberts G. 1996. Why individual vigilance decline as group size increases. Anim. Behav. 51: 1077-1086. Roberts SC. 2012. On the Relationship between Scent-Marking and Territoriality in Callitrichid Primates. Int J Primatol. 33(4): 749-761. Russell JC, Ringler D, Trombini A, Le Corre M, 2011. The island syndrome and population dynamics of introduced rats. Oecologia. 167:667–676. Sarrazin F, barbault R. 1996. Reintroduction: challenges and lessons for basic ecology. TREE. 11: 474-478 Schmidt NM, Berg TB, Jensen TS. 2002. The influence of body mass on daily movement patterns and home ranges of the collared lemming (Dicrostonyx groenlandicus). Can. J. Zool. 80: 64–69 Schmidt NM, Jensen PM. 2003. Changes in mammalian body length over 175 years-adaptations to a fragmented landscape? [Internet]. Conservation Ecology 7(2):6. Tersedia pada: http://www.consecol.org/vol7/iss2/art6. Seaman DE, Powell RA. 1990. Identifying patterns and intensity of home range use. Int. Conf. Bear Res. and Manage. 8: 243-249. Semiadi G, Nugraha RTP. 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Bogor (ID): Puslit Biologi LIPI. Setio P, Takandjandji M, Junaidi MA, Wienanto R, Sudaryo C. 2011. Penilaian cepat populasi rusa di Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon. Balai TNUK-Puslit Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Bogor [ID]. Puslit Konservasi dan Rehabilitasi Hutan. Sharaichandra HC, Gadgil M. 1980. On the time budget of differernt life-history stages of chital (Axis axis). Bombay nat. Hist. Soe 75: 949-960. Shaw JH, 1985. Introduction to Wildlife Management. McGraw-Hill Book Company. New York St. Louis San Fransisco Auckland Bogota Hamburg Johannesburg London Madrid Mexico Montreal New Delhi Panama Paris Sao Pauko Sydney Tokyo Torornto.
48 Sudibyo M, Santosa Y, Masy’ud B, Toharmat T. 2012. Ekologi habitat rusa timor (Rusa timorensis) di kawasan konservasi Pulau Peucang. (Tipologi Rusa timorensis dan produk ranggah muda). Laporan hasil penelitian. Medan (ID): Fakultas MIPA UNIMED. Susanto TW. 2012. Pola jelajah dan pemanfaatan habitat orang utan (Pongo pygmaeus wurmbii) di stasiun penelitian cabang panti, Taman Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Thomas, J. W. 1979. Wildlife habitats in managed forests: The Blue Mountains of Oregon and Washington. USDA Forest Service Handbook 553. Washington, D.C. Wirdateti, Brahmantiyo B, Reksodiharjo A, Semiadi G, Dahruddin H. 2009. Karakteristik Morfometrik Rusa Sambar (Rusa unicolor) Sebagai Dasar Kriteria Seleksi Sifat Pertumbuhan. Jurnal Veteriner. Vol. 10(1): 7-11 Xu F, Ma M, Wu Y, Yang W. 2012. Winter daytime activity budgets of asiatic ibex Capra sibirica in Tomur National Nature Reserve of Xinjiang, China. Pakistan J. Zool. 44(2): 389-392. Yuliawati A. 2011. Penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari rusa timor (Rusa timorensis) berdasarkan parameter demografi. Studi kasus di Taman Wisata Alam/Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Nasional Alas Purwo [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Walter HS. 2004. The mismeasure of islands: implications for biogeographical theory and the conservation of nature. Journal of Biogeography.31:177-197. Witting L. 1997. A General Theory of Evolution. Peregrine Publisher Arhus. Denmark. Zala SM, Potts WK, Penna DJ. 2004. Scent-marking displays provide honest signals of health and infection. Behav. Ecol. 15(2): 338-344.
49 Lampiran 1 Jenis-jenis tumbuhan pakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama lokal Rumput emprit -
Nama ilmiah Eragrostis tenella Lindernia crustacea Murdania spirata Polytrias amaura Kylinga sp. Boreria repend Digitaria longiflora Hedyotis biflora Stachytarpeta jamaicensis Axonopus compressus Pterospermum diversifolium Lagerstroemia speciosa Barringtonia asiatica Averrhoa bilimbi
10
-
11 12 13
Areuy Kidang Babakungan Bayur
14
Bungur
15
Butun
16
Calincing
17 18 19 20
Cangkudu Ceplukan Dahu Dom-doman
21 22 23
Emilia Heas Huru
24
Jambu kopo
25 26
Jampang pait Jamur kuping
27
Jamur Supa
28
Jejerukan
29 30 31 32
Katang- Katang Kadaka Kampis Kanyere Laut
33
Ketapang
Acronychya laurifolia Ipomoea pes capare Asplenium nidus Hernandia peltata Desmodium umbellatum Terminalia catappa
34
Kiara
Ficus sp.
Fagraea racemosa Physalis angulata Dracontomelon dao Chrysopogon aciculatus Eugenia sp. Diospyros althioides Eugenia subglauca Paspalum sp. Auricularia auricula Pleurotus ostreatus
Bagian yang dimakan daun daun daun daun daun daun daun daun daun
rumput Herba herba rumput rumput herba rumput herba perdu
daun
rumput
daun daun daun
liana Perdu Pohon
√
daun
Pohon
√
daun
Pohon
daun, bunga, buah daun
Pohon
√
Pohon herba Pohon rumput
√ √ √
herba Pohon Pohon
√ √ √
Pohon
√
rumput herba
√ √
Tudung, batang daun
herba
√
daun daun daun daun
herba perdu Pohon Pohon
Daun, bunga, tangkai bunga, kulit buah daun, buah
buah
daun daun Daun, buah
Habitus
Lokasi Peucang Panaitan √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √
√ √
√
√ √ √
√
√ √
√ √
Pohon
√ √ √
√ √
Pohon
√
√
Pohon
√
50 Lampiran 1 Jenis-jenis tumbuhan pakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan (lanjutan) No.
Nama lokal
35
Kigentel
36 37 38 39
Kihampelas Kitulang Kokosan hutan Lame Peucang
40 41 42 43 44
Lampeni Malapari Manggis hutan Mata keuyeup Melinjo
45
Meniran
46 47
Meuncang Laut Nampong
48 49 50
Owar Pandan laut Pidada
51 52
Rom-roman Rotan
53
Salam
54
Sariawan
55 56 57
Sayar Semanggi gunung Teki
58 59 60
Turuptomo Wareng Waru laut
Nama ilmiah
Diospyros frutescens Ficus ampelas Galearia filiformis Aglaea dookoo Alstonia angustiloba Ardisia humilis Pongamia pinnata Garcinia celebica Gnetum gnemon Phyllanthus urinaria Eupatorium odoratum Pandanus tectorius Sonneratia acida Daemonorops melanochaetes Eugenia polyantha Symplocos cochinoniensis Caryota mitis Oxalis sp. Cyperus compressus Hibiscus tiliaceus
Bagian yang dimakan
Daun, bunga buah daun buah Daun, bunga daun daun Buah Daun, kulit buah
Habitus
Lokasi Peucang Panaitan
√
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon
√ √ √ √
Pohon Pohon Pohon herba Pohon
√
Herba
√
√ √ √ √
√ √ √
daun daun
Pohon Perdu
√ √
Daun Daun Daun, kecambah daun daun
liana perdu Pohon
√ √ √
liana liana
√
Daun, buah
Pohon
√
herba
√
perdu herba
√ √
√
rumput
√
√
√
√ √ √
daun
daun daun Daun, ranting muda
Pohon Pohon Pohon
√
51 Lampiran 2 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No.
Nama Lokal
Nama ilmiah Pantai
1 2 3
Ampelas Bayur Benger
4 5 6 7 8 9
Bintaro Bungur Cangcaratan Cangkudu Ceri Cerlang
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Dahu Dahu burung Gadog Gempol Hampelas Hantap Heas Huni Huru batu Huru gemplong Huru medang Ipis kulit Jambu kopo Jaura Jelutung Jengklot Kakaduan Kampis Kelapa ciung Kendal Kenanga Kepuh Ketapang Kiara Kibeureum Kicalung Kiciap Kigentel Kijahe Kikacang Kilaja Kilangir Kilangsir Kililin Kilutung Kipare Kipuak Kitanjung Kitulang Kokosan hutan Lame
Ficus ampelas Pterospermum javanicum Lagerstroemia flosregineae Cerbera manghas Lagerstroemia speciosa Neonauchea calycina Moringa citrifolia Gercinia diodica Pterospermum diversifolium Dracontomelon dao Dracontomelon puberulum Bischofia javanica Nauclea orientalis Ficus ampelas Sterculia coccinea Eugenia polycephala Antidesma bunius Diospyros althioides Schima wallichii Decaspermum fruticosum Eugenia subglauca Dyera costulata Aglaia argentea Hernandia peltata Ailanthus triphysa Cordia subcordata Canangium odoratum Sterculia foetida Terminalia catappa Ficus gibbosa Eugenia spicata Diospyros macrophylla Ficus septica Diospyros frutescens Croton argyratus Stombossia javanica Oxymitra cunneiformis Chisocheton sp. Pometia pinnata Podocarpus amara Diospyros cauliflora Glachidion rubeum Paederia scandens Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Rinorea sp. Alstonia angustiloba
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah
Dat. Tinggi 4.42
76.70 2.11 3.41 6.73 2.22 8.00
24.96
7.31 12.57
9.03
22.14 9.14
12.93 8.04 6.85 11.84 4.55 5.09 4.42 13.81 9.77
55.59 14.40 3.72
7.08 6.54
10.27 1.10 9.78 2.13 10.21 2.38 8.01
4.67 7.23 2.10
33.64 2.25 7.85 1.08 2.79 9.84 1.88 8.08
14.53
1.07 2.22 4.43 2.17
4.03 15.66 3.48 2.26 4.38 5.03 2.06 4.55 2.12
50.25
7.62 13.29
53.68
1.38 2.35 7.95 8.33 2.64 8.89 7.63 9.75
3.29 2.07 4.27 4.14 4.56
52 Lampiran 2 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang (lanjutan) No.
Nama Lokal
Nama ilmiah Pantai
51 Lame peucang 52 Langkap 53 Malapari 54 Mangga 55 Manggis hutan 56 Merbau 57 Mengkudu 58 Melinjo 59 Padali 60 Pangsor 61 Parengpeng 62 Peuris 63 Pisitan hutan 64 Nyamplung 65 Putat 66 Randu hutan 67 Salam 68 Seuheun 69 Sp.1 70 Taritih 71 Teureup 72 Tokbray 73 Tongtolok 74 Waru 75 Waru laut Indeks Diversitas
Alstonia angustiloba Arenga obtisifolia Pongamia pinnata Mangifera caesia Garcinia celebica Instia bijuga Morinda citrifolia Gnetum gnemon Radermachera gigantea Ficus collasa Croton argyratus Aporosa aurita Glianthus populacus Calophyllum inophyllum Plachonia valida Cassampelos heptaphylla Syzygium polyanthum Orophea anncandra Drypetes sumatrana Artocarpus elastica Blumeodendron tokbrai Pterocymbium javanicum Hibiscus tiliaceus Thespesia populnes
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah 1.06 7.54
13.20 7.29
197.53
1.59 1.24 34.59 5.44 1.70 6.00 5.26 1.25 3.87 2.60 2.35
Dat. Tinggi 2.01 2.67 4.09 2.26 8.46 15.61
2.13
17.66 2.02 6.27
19.97 12.02 2.38
4.62
1.58 7.35 2.68 1.51 2.92
1.05 12.54
18.33
17.60 2.43 15.45 2.67
9.19
53 Lampiran 3 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No. 1 2 3 4
Nama Lokal Bayur Bintaro Bungur Cerlang
5 Ceuri 6 Clengkot 7 Dahu burung 8 Hanja 9 Heas 10 Huru gemplong 11 Ipis kulit 12 Jambu kopo 13 Jelutung 14 Kakaduan 15 Kecepot 16 Kiciap 17 Kigentel 18 Kijahe 19 Kikacang 20 Kilangir 21 Kilangsir 22 Kililin 23 Kipare 24 Kitanjung 25 Kitulang 26 Kokosan hutan 27 Laban 28 Laban laut 29 Lame 30 Lame peucang 31 Lampeni 32 Langkap 33 Leungsir 34 Manggis hutan 35 Mara 36 Nyamplung 37 Padali 38 Peuris 39 Pisitan hutan 40 Rukem 41 Salam 42 Sauheun 43 Sayar 44 Segel 45 Taritih 46 Tokbray 47 Turalak Indeks Diversitas
Nama ilmiah Pterospermum javanicum Cerbera manghas Lagerstroemia speciosa Pterospermum diversifolium Gercinia diodica Anthocephalus chinensis Eugenia polycephala Decaspermum fruticosum Eugenia subglauca Dyera costulata Aglaia argentea Ficus septica Diospyros frutescens Croton argyratus Stombossia javanica Chisocheton sp. Pometia pinnata Podocarpus amara Glachidion rubeum Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Rinorea sp. Vitex pubescens Vitex regundo Alstonia angustiloba Alstonia angustiloba Ardisia humilis Arenga obtisifolia Pometia pinnata Garcinia celebica Macarenga blumeunus Calophyllum inophyllum Radermachera gigantea Aporosa aurita Glianthus populacus Flcourtia rukem Syzygium polyantha Orophea anncandra Caryota mitis Dillenia exelsa Drypetes sumatrana Blumeodendron tokbrai Drypetes macrophyla
Pantai
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah
Dat. Tinggi
16.49 18.50
55.90
27.72
5.40 5.70 12.22
9.10 6.66
6.48 40.28
27.72
42.19 51.62
17.99 7.73 17.99 30.95 5.10 6.22
32.31 29.69
56.69
5.87 5.95
26.76 11.43 5.74
13.31 48.26 7.14 12.14 6.04 10.36 7.26 5.33 51.19 18.87
5.78 11.66
24.77 5.21 20.57 13.31
22.93 6.85
6.51 7.61 18.82
7.58
106.61
18.43 25.21 8.75
7.47 5.46 5.53
21.53 11.81
3.44
4.01
8.63
40.56 24.87 5.89 6.61
54 Lampiran 4 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No. 1 2 3 4 5
Nama Lokal Benger Bintaro Bungur Burahol Cerlang
6 Gempol 7 Haraq haq 8 Heas 9 Huru gemplong 10 Ipis kulit 11 Jambu kopo 12 Kakaduan 13 Kiapuk 14 Kiciap 15 Kienteh 16 Kigentel 17 Kijahe 18 Kilaja 19 Kilangir 20 Kilangsir 21 Kipare 22 Kitanjung 23 Kitulang 24 Laban laut 25 Lampeni 26 Lengsir 27 Manggis hutan 28 Merbau 29 Moncong bebek 30 Nyamplung 31 Pisitan hutan 32 Putat 33 Rukem 34 Salam 35 Sauheun 36 Sulangkar 37 Taritih 38 Tokbray 39 Tongtolok 40 Turalak Indeks Diversitas
Nama ilmiah Lagerstroemia hexaptera Cerbera manghas Lagerstroemia speciosa Stelecocarphus burahol Pterospermum diversifolium Nauclea orientalis Eugenia polycephala Decaspermum fruticosum Eugenia subglauca Aglaia argentea Ficus septica Diospyros frutescens Croton argyratus Pseuduvaria reticulata Chisocheton sp. Pometia pinnata Glachidion rubeum Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Vitex regundo Ardisia humilis Pometia pinnata Garcinia celebica Intsia bijuga Calophyllum inophyllum Glianthus populacus Planchonia valida Flcourtia rukem Syzygium polyantha Orophea anncandra Leea sambucina Drypetes sumatrana Blumeodendron tokbrai Pterocymbium javanicum Drypetes macrophyla
Pantai
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah
Dat. Tinggi 3.03
11.60 19.62 4.82
10.11
11.07 13.03
3.03 5.26 3.03 4.15 3.03
13.03 18.11
3.03
15.28 19.44
20.23 44.37 6.51
23.68
3.03 6.07 3.03 3.03 4.15
11.07 15.28
10.11 20.23
83.33 51.39
4.15 7.18 8.21
13.56 11.07
25.17 3.03 6.07 6.07 11.32
15.28 21.50
10.11
4.82 9.90 11.33
3.03 3.03 3.03
37.47 43.91
24.57 35.68
10.11 2.89
4.44
5.76
4.15 7.13
55 Lampiran 5 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No.
Nama Lokal
1 2
Angsana Bayur
3 4 5
Bintaro Bungur Cerlang
6 7 8 9 10 11 12
Ceuri Gempol Hareumeung Heas Huni Huru gemplong Ipis kulit
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jambu kopo Jelutung Kakaduan Karebak Kasongket Kelapa ciung Kiapuk Kibatok Kiciap Kienteh Kigentel Kijahe Kilangsir Kililin Kilutung Kisabun Kitulang Kokosan leuweung Laban Lampeni Malapari Manggis hutan Merbau Melinjo Nyamplung Parempeng Pelatuk manuk Pisitan hutan Palumpung Putat Renghas Sauheun Segel
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Nama ilmiah Pterocarpus indicus Pterospermum javanicum Cerbera manghas Lagerstroemia speciosa Pterospermum diversifolium Gercinia diodica Nauclea orientalis Cratoxylon recemosum Eugenia polycephala Antidesma bunius Decaspermum fruticosum Eugenia subglauca Dyera costulata Aglaia argentea Horsfieldia sp. Ficus septica Diospyros frutescens Croton argyratus Pometia pinnata Podocarpus amara Diospyros aurea
Pantai
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah 2.33
6.76
2.33 5.56 2.33
2.33 32.15 2.33 4.66 9.69 11.65
5.42 5.42 13.75 5.42 5.42 5.42 5.42
12.92 5.42
4.66 10.59 7.50 41.67 22.69 2.33 2.33 29.17 12.55 4.13
5.42
4.66 2.33 6.46
5.42
70.83
16.25
Rinorea sp. Vitex pubescens Ardisia humilis Pongamia pinnata Garcinia celebica Intsia bijuga Gnetum gnemon Calophyllum inophyllum Croton argyratus Glianthus populacus Merremia umbellata Planchonia valida Gluta renghas Orophea anncandra Dillenia exelsa
Dat. Tinggi
4.13 7.97 6.76
16.68 2.33
128.31
29.17
5.42 5.42 10.83 5.42
2.33 2.33 3.23 2.33 12.92 2.33 10.83 5.56 4.66 2.33
17.08
56 Lampiran 5 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang (lanjutan) No.
Nama Lokal
46 Sulangkar 47 Taritih 48 Tarum 49 Tokbray 50 Tundun Sayong 51 Turalak 52 Waru laut Indeks Diversitas
Nama ilmiah Leea sambucina Drypetes sumatrana Indigofera tinctoria Blumeodendron tokbrai Drypetes macrophyla Hibiscus tiliaceus
Pantai
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah 29.17 8.79
Dat. Tinggi 13.75
20.75 19.17
6.76 2.36
2.90
2.33 2.33
12.92
9.03
7.85
57 Lampiran 6 Jenis-jenis semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No.
Nama Lokal
1 Areuy 2 Kecepot 3 Kirinyu 4 Liana asahan 5 Melati hutan 6 Pandan laut 7 Rom-roman Indeks Diversitas
Nama ilmiah Chromolaena odorata Tetracera indica Pandanus tectorius -
Pantai
Nilai Penting Dat. Ekoton Rendah 100.00
Dat. Tinggi 50.00
45.00 133.33 65.00 66.67 90.00 2.09
1.55
100.00 1.62
150.00 1.48
58 Lampiran 7 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Peucang No.
Nama Lokal
1
Babadotan
2 3
Bulu mata munding Dom-doman
4
Jampang kawat
5
Jampang pait
6
Katang-katang
7 8 9
Kirapet Mata kancil Meniran
10 Rane 11 Seuseureuhan 12 Sp 1 13 Sp. 2 Indeks Diversitas
Nama ilmiah Ageratum conyzoides Fimbristylis acuminata Chrysopogon aciculatus Axonopus compressus Ischaemum muticum Ipomoea pes caprae Borreria repens Phyllanthus urinaria Selaginella sp. -
Pantai
Nilai Penting Dat. Dat. Ekoton Rendah Tinggi 200.00
Pdg Penggemb 3.78 27.99 4.90 73.53 3.78
200.00 18.74 29.92 19.30 6.02 200.00
1.00
1.00
1.00
3.78 8.25 3.81
59 Lampiran 8 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama daerah
Nama ilmiah
Bangka Bangka jingkang Bayur Bendeuy Bintaro Bisoro Bungur Ceuri Ceurlang
Rhizophora apiculata Pterospermum javanicum Cerbera manghas Ficus hispida Lagerstroemia speciosa Gercinia diodica Pterospermum diversifolium Erythrina variegate Dracontomelon dao Bischofia javanica Nauclea orientalis Antidesma bunius Diospyros althioides Eugenia subglauca Acronychya laurifolia Aglaia argentea Hernandia peltata Desmodium umbellatum Bridelia monoica Sandoricum koetjape
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Dadap Dahu Darunak Gadog Gempol Huni Huru Jambu kopo Jejerukan Kakaduan Kampis Kanyere Kanyere badak Kecapian Kedondong hutan Kenanga Ketapang Kiapu Kiara Kibatok Kibeureum Kicalung Kidangdeur Kiganik Kigentel Kihuru Kijaret Kikampak Kilaja Kilalayu Kilangir Kileles Kipoleng Kisingkil Kitanjung
45 46
Kitulang Kondang
Pantai
1.81 1.81 23.23
Nilai Penting Dat. Mangrove Rendah 68.04 19.19 22.75
5.15 14.72 4.36 6.04 1.81
21.54 39.83
3.94 5.23 3.18 10.09 16.15 8.69 17.86 2.17 2.90
3.78 14.35
5.08 7.23 2.26
Spondias pinnata Canangium odoratum Terminalia catappa Sapium baccatum Ficus gibbosa Cynometra ramiflora Eugenia spicata Diospyros macrophylla Bombax malabaricum Diospyros frutescens Dehaasia caesia Oxymitra cunneiformis Lepisanthes tetraphylla Chisocheton sp. Ficus retusa Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Ficus veriegata
Dat. Tinggi
65.22 5.72 11.45 14.66
20.76 2.65
17.50 1.81
64.70
12.55
26.53 3.34 7.76 2.04 7.68 6.31 2.08 2.56 4.14 2.09 2.29
5.89 5.48
5.13 18.78
8.35 6.66 1.81 4.21
16.06 12.88 6.42
60 Lampiran 8 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan (lanjutan) No. 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Nama daerah
Nama ilmiah
Kuhkuran Viburnum rutescens Laban Vitex bupescens Lame besar Alstonia scholaris Lame peucang Alstonia angustiloba Leles Ficus retusa Lowa Ficus glomerata Malapari Pongamina pinnata Mamuncangan Meuncang laut Mindi Melinjo Gnetum gnemon Nyamplung Calophyllum inophyllum Padali Radermachera gigantea Padi-padi Lumnitzera rasemosa Pidada Sonneratia caseolaris Purut Callophyllum javanicum Putat Plachonia valida Sp.9 Tangkele Sumbaviopsis albiccans Teureup Artocarpus elastica Tongtolok Pterocymbium javanicum Tundu leuweung 69 Turuptomo 70 Waru laut Thespesia populnes Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Nilai Penting Dat. Mangrove Rendah 7.50 5.39 5.33 2.42 3.18 2.26
1.81
32.80
Dat. Tinggi 5.07 7.21
22.05 1.81 2.08 16.15
8.19
48.67 9.74 31.49 166.62 6.78 18.57 9.47 18.27 3.54 5.02
7.23
2.11 27.51 13.85 5.62
2.33
10.88
6.28
61 Lampiran 9 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan Nilai Penting No.
Nama
1 2 3 4 5 6 7
Bangka Bayur Bintaro Bisoro Cangkudu Ceuri Ceurlang
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Dinar Huni Jambu kopo Jejerukan Kanyere Kanyere laut Kecapian Kibatok Kibeureum Kidangdeur Kigentel Kihuru Kikampak Kilaja Kilalayu Kileho Kipoleng Kisingkil Kitanjung
Nama Ilmiah Rhizophora apiculata Pterospermum javanicum Cerbera manghas Ficus hispida Moringa citrifolia Gercinia diodica Pterospermum diversifolium Antidesma bunius Eugenia subglauca Acronychya laurifolia Desmodium umbellatum Desmodium umbellatum Sandoricum koetjape Cynometra ramiflora Eugenia spicata Bombax malabaricum Diospyros frutescens Dehaasia caesia Oxymitra cunneiformis Lepisanthes tetraphylla Sauranea sp. Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Alstonia angustiloba Ardisia humilis Gnetum gnemon Planchonella obovata Calophyllum inophyllum Radermachera gigantea Eugenia polyantha Leea sambucina Sumbaviopsis albiccans Thespesia populnes
27 Kitulang 28 Lame 29 Lampeni 30 Melinjo 31 Nanangkaan 32 Nyamplung 33 Padali 34 Salam 35 Sulangkar 36 Tangkele 37 Turuptomo 38 Waru laut Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Mangrove
Dat. Rendah
Pantai -Dat. Tinggi
300.00 4.99 51.88 23.36 5.78 10.61 56.60 16.00
12.06 23.65
27.00 42.78 24.84 24.84
10.23 22.42 33.82 24.12 99.37
41.99 17.06
15.27 20.09 22.32
3.54 26.25
14.34 12.48
8.53 9.60 17.05 10.61 4.99
5.16 5.27 5.11
16.09
19.97 10.38 10.20 3.54 3.54 41.57 3.54 26.25 5.71 4.36
1.00
6.40
5.21
62 Lampiran 10 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Nama Bangka Bayur Bintaro Bisoro Ceurlang Dinar Huni Jambu kopo Jambu-jambuan Jejerukan Jinjing kulit Kakaduan Kanyere Kecapian Kibatok Kibeureum Kibuaya Kigentel Kihampelas Kihuru Kijaret Kilaja Kilalayu Kileho Kipoleng Kitanjung
Nama Ilmiah Rhizophora apiculata Pterospermum javanicum Cerbera manghas Ficus hispida Heritiera peroariaceae Antidesma bunius Eugenia subglauca Acronychya laurifolia Zizypus horsfeldii Aglaia argentea Desmodium umbellatum Sandoricum koetjape Cynometra ramiflora Eugenia spicata Leea angulata Diospyros frutescens Ficus ampelas Cryptocarya densiflora Oxymitra cunneiformis Lepisanthes tetraphylla Sauranea sp. Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Viburnum rutescens Uncaria gambir Alstonia angustiloba Ardisia humilis Pongamia pinnata Gnetum gnemon Calophyllum inophyllum Glianthus populacus Eugenia polyantha Leea sambucina
27 Kitulang 28 Kokopian 29 Kuhkuran 30 Kukuhelang 31 Lame 32 Lampeni 33 Malapari 34 Melinjo 35 Nyamplung 36 Pisitan hutan 37 Salam 38 Spesies 3 39 Spesies 7 40 Sulangkar Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Nilai Penting Dat. Mangrove Rendah 200.00
Dat. Tinggi
2.91 12.10 5.32 5.32
5.81
6.90 2.91 5.81 3.99 2.91 52.15 10.63
2.91 2.91 45.00 2.91 10.89 2.91 8.72 8.72 2.91 2.91
38.35
24.31 15.97
17.99
5.66 11.33 11.33 5.66 13.51 11.55
7.63
28.76 17.21
18.95 7.63
5.66 7.63 7.63 5.66
25.04 30.09 12.10 10.63
2.91 2.91
5.32 3.99 2.91
4.32
1.00
6.50
7.63 15.03 11.55 6.83
63 Lampiran 11
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan
Nama Bangka Bayur Bintaro Bisoro Ceurlang Huru Jejerukan Kakaduan Kampis Kanyere badak Ketapang Kiasahan Kibuaya Kigentel Kihampelas Kihuru Kilaja Kilalayu Kileho Kitanjung
Nama Ilmiah Rhizophora apiculata Pterospermum javanicum Cerbera manghas Ficus hispida Pterospermum diversifolium Diospyros althioides Acronychya laurifolia Aglaia argentea Hernandia peltata Bridelia monoica Terminalia catappa Tetracera indica Leea angulata Diospyros frutescens Ficus ampelas Cryptocarya densiflora Oxymitra cunneiformis Lepisanthes tetraphylla Diospyros cauliflora Saccopetalum heterophylla Diospyros aurea Viburnum rutescens Uncaria gambir Alstonia angustiloba Pongamia pinnata Calophyllum inophyllum Areca catechu Flocourtia rukem Leea sambucina Sophora tomentosa Pterocymbium javanicum -
21 Kitulang 22 Kuhkuran 23 Kukuhelang 24 Lame 25 Malapari 26 Nyamplung 27 Palem 28 Rukem 29 Spesies 1 30 Spesies 2 31 Spesies 4 32 Spesies 5 33 Spesies 7 34 Species A 35 Species B 36 Sulangkar 37 Tarum 38 Tongtolok 39 Turuptomo Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Nilai Penting Dat. Mangrove Rendah 200.00 19.08
Dat. Tinggi*
6.93 10.86
12.67 3.58
5.43 6.70 18.83
15.47 3.58 11.77 15.56 3.58 15.23
17.56
12.13 13.03
7.16 18.82 5.43 7.96 3.58 77.90
45.94
5.43 16.82
3.58 10.16 10.63 38.35 3.58
5.43 5.43 5.43 13.40 6.70 24.42 9.23
10.16 11.77 11.76 5.32 4.22 15.95 4.83
1.00
3.53
7.09
64 Lampiran 12 Jenis-jenis semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan No. 1 2 3 4 5
Nama Babakungan Owar Pandan laut Pulus Rotan
Nama Ilmiah Lilium sp. Flagellaria indica Pandanus tectorius Dendrocnide stimulans Daemonorops melanochaetes
Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Nilai Penting Dat. Mangrove Rendah
Dat. Tinggi*
37.04 93.33 162.96 83.33
1.39
106.67 1.61
116.67 1.60
65 Lampiran 13 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi di Pulau Panaitan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama -
Nama Ilmiah Adiantum sp. Axonopus Sp. Borreria repens Cyperus compressus Cyperus rotundus Digitaria longiflora Chrysopogon aciculatus Eragrostis tenella Gramineae Hedyostis biflora Ipomoea pescaprae Kyllinga Lindernia crustacea Phyllanthus urinaria Murdannia spirata Oxalis sp. Cycas rumphii Piper sp. -
Dom-doman Katang-katang Lempuyang Meniran Pakis Sirih hutan Suweg Tales Indeks Diversitas Keterangan: * sumber data IAR & BTNUK 2013
Pantai
Nilai Penting Padang Dat. Rumput Rendah
Dat. Tinggi* 63.97
3.25 25.82 28.89 12.05 2.70 26.03 13.21 29.37 4.92 2.29 10.47 32.54 34.72 19.18 14.17 2.29 200.00
1.00
200.00
5.09
1.00
16.83 30.79 13.97 12.54 3.48
66
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman pada tanggal 20 Desember 1971 sebagai anak bungsu dari pasangan Dalimin Suyoto Utomo (alm) dan Sudinah (alm). Pendidikan sarjana ditempuh di program Studi Botani Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa S2 Ilmu Kehutanan di perguruan tinggi yang sama dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2009, penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai teknisi kehutanan pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II tahun 1999 sampai dengan tahun 2003. Tahun 2003 hingga saat ini penulis bekerja di Balai Taman Nasional Ujung Kulon sebagai staf. Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis beberapa makalah yang sebagian besar merupakan bagian dari disertasi. Makalah yang berjudul ”Permasalahan dan Manfaat Program Relokasi Satwa Liar” yang disusun bersama dosen pembimbing telah terseleksi sebagai makalah penunjang dalam Seminar “Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Versus Konservasi Hidupan Liar Indonesia” Menciptakan Sinergi Kepentingan Ekonomi dan Ekologi dalam Pengelolaan yang Berkelanjutan yang dilaksanakan di IPB International Convention Center pada tanggal 5-6 Oktober 2011. Makalah lain yang berjudul “Potential Role of Mothers in Climate Change Mitigation” telah disajikan dalam The Fourth International Graduate Student Conference on Indonesia (4th IGSCI) “Indigenous Communities and The Projects of Modernity” yang diselenggarakan pada tanggal 30 s/d 31 Oktober 2012 di University Club, UGM, Yogyakarta. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi yang berjudul “A Comparative study on body size of Javan deer: Case study in Peucang Island and Panaitan Island, Ujung Kulon National Park” telah terseleksi sebagai penyaji poster dalam International Biogeography Society 6th Biennial Conference yang diselenggarakan pada tanggal 9 s/d 13 Januari 2013 di Miami, Florida, USA. Karya ilmiah yang berjudul “The Time Budget of Javan Deer in Panaitan Island, Ujung Kulon National Park” sedang dalam proses revisi ke-2 pada jurnal HAYATI. Karya ilmiah yang berjudul “Comparison of Javan Deer (Rusa timorensis) Time Budget in Peucang Island and Panaitan Island, Ujung Kulon National Park, Indonesia” sedang dalam proses review di Journal Biotropia.