11
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyuluhan Pembangunan Konsep dan pengertian penyuluhan
pembangunan
sebagai
ilmu,
dikemukakan oleh Slamet (2003 :32-33), seorang pakar dan pelopor penyuluhan pembangunan Indonesia di bawah ini: “Ilmu penyuluhan pembangunan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen. Oleh karena penyuluhan pembangunan selalu menitikberatkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan bathin, maka kegiatan yang dilakukan pun selalu erat kaitannya dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya”. Dengan menelusuri asal usul perkembangannya, Slamet mengatakan bahwa ilmu penyuluhan pembangunan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Agricultural Extension (penyuluhan peranian), terutama di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Karena berkembang ke bidang lain, maka namanya berubah menjadi Extension Education dan di beberapa negara lain disebut Development Communication. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di Indonesia, disiplin ilmu ini disebut ilmu penyuluhan pembangunan sebagai pengembangan dari ilmu penyuluhan pertanian (Sumardjo, 1999: 33). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah berdiri sendiri. Oleh karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan sering dikatakan sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat interdisiplin. Dengan demikian, praktek penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan interdisiplin. Pembangunan pertanian misalnya, yang melibatkan berjuta-juta petani, tidak mungkin berhasil bila hanya mengandalkan ilmu pertanian dalam arti monodisiplin. Pembangunan pertanian di Indonesia dapat berhasil karena sejak
12 semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 2003:33, Sumardjo, 1999:32). Menurut Slamet dan Asngari (1969), penyuluhan adalah suatu usaha pendidikan non formal, merupakan suatu sistem pendidikan praktis, yang orangorangnya belajar sambil mengerjakan (Sumardjo: 1999: 34). Karena penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan non formal, maka di dalam kegiatannya berbagai konsep pendidikan dijadikan kerangka teoritis dan diramu sedemikian rupa sehingga menjadi suatu operasional pendidikan yang memberikan manfaat pemberdayan bagi kelompok sasaran. Di dalam proses penyuluhan itu terdapat komunikasi informasi timbal balik di antara penyuluh dan yang disuluh. Van den Ban dan Hawkins (1999 : 25) mengatakan bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya dalam memberikan pendapat sehingga diperoleh keputusan yang benar. Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal kata tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang menyukainya, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa penyuluhan merupakan bentuk komunikasi dalam penyampaian pesan dari penyuluh kepada sasaran. Lahirnya penyuluhan pertanian merupakan jawaban terhadap tantangan dari pertumbuhan dan kemajuan masyarakat dalam pembangunan untuk melayani kebutuhan petani yang menjadi pelaku utama proses perubahan pertanian. Mulailah perkembangan dari pengertian penyuluhan, yaitu tidak hanya sebagai ilmu dan seni untuk menyampaikan suatu subjek pengetahuan, tetapi juga pengertian penyuluhan pertanian sebagai lembaga yang melayani kebutuhan petani akan informasi, ilmu, dan teknologi, dan memanfaatkan lingkungan (Dudung, 1994). Johnson, Creighton dan Norland (2006) mengatakan bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan dimana para petugas yang dilatih secara khusus mendatangi klien, membantu mereka menggunakan metoda penyuluhan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru yang dapat membantu mereka
13 dalam meningkatkan produksi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup. Karena itulah penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) bagi para petani dan keluarganya bertujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang
profesinya,
serta
mampu
dan
sanggup
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003). Mengacu pada pendapat Savile, Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa penyuluhan adalah suatu bentuk pengembangan
masyarakat
terutama
dalam
bidang
pertanian
dengan
menggunakan proses pendidikan sebagai alat untuk mengatasi masalah dalam masyarakat. Penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan program untuk mencapai tujuan yang tidak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran. Penyuluhan adalah: (1) program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani, (2) sistem yang berfungsi secara berkelanjutan dan bersifat ad hoc, dan (3) program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) bagi para petani dan keluarganya memiliki tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warganegara yang baik sesuai dengan bidang
profesinya,
serta
mampu
dan
sanggup
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003). Seorang penyuluh yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penyuluhan harus menyadari falsafah dasar penyuluhan seperti yang dikatakan oleh Slamet (Sumardjo, 1999; Suparta, 2003) yakni bahwa : (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam falsafah penyuluhan sebagai proses pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspekaspek perilaku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam falsafah yang kedua yakni penyuluhan sebagai proses demokrasi, penyuluh pertanian harus mampu mengembangkan suasana bebas untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh pertanian harus mampu mengajak sasaran penyuluhan berpikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak
14 bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka sehingga berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Dalam falsafah yang ketiga yaitu penyuluhan sebagai proses kontinyu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang ada tersebut (real need) menjadi felt need, kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (Sumardjo, 1999:35). Selain menyadari falsafah penyuluhan, penyuluh juga harus mengetahui prinsip-prinsip penyuluhan, sehingga kegiatan penyuluhan benar-benar berpijak pada prinsip-prinsip penyuluhan yang benar. Mengutip Dahama dan Bhatnagar, Sumardjo (1999:37) mengemukakan sekurang-kurangnya 12 prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan oleh penyuluh dalam menjalankan tugasnya, yaitu (1) penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat (principles of interest and needs); (2) penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga/kerabatnya (grass-roots principle of organization); (3) penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya yang memerlukan keragaman pendekatan (principle of cultural difference); (4) kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya (principle of cultural change);
(5)
penyuluhan
harus
mampu
menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerja sama dalam merencanakan dan
melaksanakan
program
penyuluhan
(principle of cooperation and
participation); (6) penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah dan metoda apa yang digunakan dalam penyuluhan (principle of applied science and democratic approach); (7) prinsip belajar sambil bekerja (principle of learning by doing); (8) penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh (principle of trained specialist); (9) penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode
15 yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) spesifik sasaran (adaptability principle in the use of extention teaching
methods);
(10)
penyuluhan
harus
mampu
mengembangkan
kepemimpinan (principle of leadership); (11) penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial (whole family principle) karena alasan-alasan : (a) penyuluhan ditujukan untuk seluruh keluarga, (b) setiap anggota keluarga berpengaruh dalam pengambilan keputusan, (c) penyuluhan menimbulkan saling pengertian, (d) penyuluhan menyangkut kemampuan pengelolaan keuangan keluarga, (e) penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani, (f) penyuluhan mencakup pendidikan untuk anggota muda, (g) penyuluhan mengembangkan kegiatan keluarga,
(h)
penyuluhan
memperkokoh
kesatuan
keluarga,
baik
yang
menyangkut masalah sosial, ekonomi maupun keluarga, dan (i) penyuluhan mengembangkan pelayanan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat; dan (12) penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya kepuasan sasarannya (principle of satisfaction). Akumulasi berbagai proses terjadi secara serempak dalam suatu kegiatan penyuluhan. Mardikanto (Rejeki & Herawati, 1993) menyebut sekurangkurangnya ada lima proses yang terjadi dalam suatu kegiatan penyuluhan yaitu : (1) proses penyebaran informasi, (2) proses penerangan, (3) proses perubahan perilaku, (4) proses pendidikan, dan (5) proses rekayasa sosial. Dalam proses informasi, penyuluh menyampaikan berbagai pesan (message) dan informasi pembangunan kepada kelompok sasaran. Penyampaian informasi ini bertujuan agar kelompok sasaran mengetahui tentang sesuatu yang belum diketahui (proses penerangan). Penyuluhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ’’suluh,” ’yang berarti
“lampu,” “obor,” yang digunakan untuk menerangi sehingga
penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk melaksanakan atau menerapkan proses pembangunan. Dampak dari penerangan itu adalah adanya proses perubahan perilaku dalam hal pengetahuan, sikap dan keterampilan. Tujuan dari suatu penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mau menjadi mau, dari tidak mampu
16 menjadi mampu. Penyuluhan bukan semata-mata transformasi ilmu, dimana petani hanya sebagai pendengar, tetapi ilmu yang ditransfer itu dimengerti dan dipahami secara aktif oleh petani dan dari proses belajar terjadi “feed back” terhadap pesan yang disampaikan, ada perubahan perilaku dalam bidang pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Penyampaian pesan, informasi tentang segala sesuatu yang belum diketahui itu bersifat mendidik, mengajarkan dan membimbing masyarakat untuk mengubah perilakunya dari yang kurang menguntungkan menjadi yang positif demi pembangunan diri, keluarga dan masyarakatnya. Penyuluh menyampaikan sesuatu yang berguna dan positif untuk masyarakat, disampaikan secara santun tanpa memaksakan kehendak. Masyarakat diberi pencerdasan, penyadaran dalam bentuk muatan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai serta sikap hidup yang bermanfaat. Di sinilah terjadi proses pendidikan. Semua proses yang disampaikan itu menuju kepada suatu “rekayasa sosial”, suatu perubahan sosial, perubahan cara berpikir, pola sikap dan pola ketrampilan yang menjadikan suatu masyarakat sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan untuk mengubah hidup dan kehidupannya. Tugas dan Peranan Penyuluh Pertanian Menurut Padmanagara, tugas ideal seorang penyuluh adalah : (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, (3) memberikan rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha yang lebih menggairahkan sasaran penyuluhan, dan (5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan dalam usaha perbaikan. Oleh sebab itu, tugas penyuluhan dinilai berhasil apabila klien secara aktif belajar, bukan saja dalam ruangan belajar tertentu, tetapi juga di ladang, kebun atau tegalan, tempat mereka bekerja setiap hari. Bahkan tempat belajar yang baik justru berada di kebun saat mereka melakukan praktek langsung (Bunyatta, dkk, 2006). Tugas-tugas ini perlu disesuaikan dengan tuntutan perubahan paradigma penyuluhan yang di masa sekarang lebih berorientasi agrobisnis dan agroindustri (Soedijanto, 2004: 61-62). Karena itu dalam melaksanakan tugasnya, penyuluh
17 pertanian harus memiliki kemampuan (1) meningkatkan partisipasi petani, pengusaha dan pedagang pertanian sebagai pelaku utama agribisnis, (2) memaksimalkan peran organisasi petani dan pelaku agribisnis lainnya, (3) memperkuat kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya untuk menghimpun dirinya dalam paguyuban, forum, asosiasi atau organisasi baik secara horisontal maupun vertikal, (4) memulihkan kepercayaan petani dan pelaku agribisnis lainnya terhadap pemerintah terutama pemerintah daerah, (5) untuk berfokus pada pembangunan sistem agribisnis, bukan berfokus pada pembangunan komoditas, (6) untuk keluar dari jebakan alam pikiran “ego sektoral” yang me nghasilkan pengkotak-kotakan sub sektor yang semakin tajam, (7) meningkatkan efisiensi manajemen penyuluhan pertanian baik di pusat maupun di daerah, (8) melengkapi struktur dan kelembagaan penyuluhan pertanian terutama di daerah, dan (9) menghilangkan citra penyuluhan sebagai proses transfer teknologi, tetapi sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dengan menggunakan metode partisipatif. Seorang penyuluh pertanian memiliki multi peran yang bersifat dinamis dan fleksibel. Menurut Ginting (1999), penyuluh memiliki peran yang sangat banyak, diantaranya adalah sebagai: (1) guru, (2) agen pengubah prilaku, (3) pemberi dan pelaksana komunikasi dua arah antara peneliti dan
petani, (4)
merupakan mediator antara penemuan hasil riset pertanian dan praktek, (5) penghubung antar usaha tani dan suplay input yang efektif, (6) penemu dan pengembang kepemimpinan yang potensial, dan (7) katalis dari perubahan pembangunan. Fungsi dan peran seorang penyuluh pertanian akan efektif jika didukung pula oleh kemampuan-kemampuan individual, kesehatan rohani dan jasmani, serta kualitas personal dan profesional. Yang dimaksud dengan kualitas personal, adalah : (1) kemampuan berkomunikasi dengan petani, (2) kemampuan bergaul dengan orang lain, (3) antusias terhadap tugas, dan (4) berpikir logis dan memiliki inisiatif. Kualitas professional adalah (1) memiliki keluasan dan wawasan ilmu sesuai bidangnya secara profesional, (2) memiliki empati yakni kemampuan untuk melihat sesuatu masalah melalui indera keenam, (3) me miliki kredibilitas dan
18 integritas pribadi, (4) memiliki kerendahan hati, dan (5) tanggung jawab profesional (Suhardiyono, 1992). Multi peran yang dimainkan oleh seorang penyuluh pertanian sangat menentukan keberhasilannya di dalam mendidik, melatih, membimbing, dan memberdayakan kelompok sasaran. Menurut Soekandar (Marzuki, 1999), multi peran itu dapat dikategorikan sebagai : (1) pemrakarsa/initiator, yang selalu menyarankan gagasan-gagasan baru dan pandai menjelaskan persoalan-persoalan, (2) pemberi jalan/fasilitator, yang memberi atau pandai mencari kesempatan untuk menerangkan/mendiskusikan masalah-masalah, (3) pemberi hati/encorager, yang selalu memberi hati atau dorongan, (4) penyelaras/harmonizer,yang selalu menengahi pertengkaran/konflik, mempertemukan pihak-pihak yang berlawanan, (5) penilai, yang selalu menilai hasil kegiatan, (6) penganalisa, yang menganalisa segala kemungkinan, (7) penyimpul, yang mempersatukan saran-saran dan pembicaraan dari berbagai pihak, (8) pembagi bahan/expeditur, yang memeriksa dan membagikan bahan-bahan untuk pertemuan dari dan ke segala pihak, (9) pencari keterangan, yang mencari dan menginginkan lebih banyak fakta dan keterangan, (10) pemberi fakta, yang memberi keterangan dan fakta mengenai lapangan, (11) pemberi kedudukan/status, yang memberikan dorongan agar petani menjadi anggota kelompok tani, dan (12) penengah, yang selalu menengahi perbedaan-perbedaan pendapat. Penyuluh Pertanian adalah orang yang mengemban tugas untuk memberi dorongan kepada petani agar me ngubah cara berpikir, cara kerja, dan cara hidupnya yang lama dengan cara-cara yang baru kepada perkembangan teknologi pertanian yang lebih maju. Menurut Suhardiyono (Marzuki, 1999), tanggung jawab yang besar untuk membawa perubahan yang progresif di bidang pertanian terletak ditangan para penyuluh. Mutu dan Kinerja Penyuluhan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), mutu berarti (ukuran) baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajad (kepandaian, kecerdasan dan sebagainya). Mutu juga berarti kualitas, berbobot. Kinerja berarti sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja. Dari pengertian itu nampak bahwa kata mutu dan kinerja memiliki pengertian yang hampir sama
19 bahkan sama. Kinerja adalah semua hasil kerja yang dituntut dihasilkan oleh pejabat atau petugas berkaitan dengan jabatannya atau tugas pekerjaannya. Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas akan menjadi ukuran tinggi atau rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam menduduki jabatannya atau prestasi petugas tersebut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya (Soedijanto, 2004:12). Mutu adalah wujud konkrit dari kinerja itu
(apakah berbobot atau
tidak). Derajad pencapaiannya bisa diukur melalui sejauh mana orang-orang atau kelompok orang yang menjadi tujuan atau sasaran suatu pekerjaan itu merasa puas, merasa senang, merasa apa yang diinginkannya terpenuhi. Untuk menghasilkan jasa pelayanan yang bermutu, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang dimaksudkan dengan mutu ditinjau dari aspek manajemen mutu terpadu. Slamet (2005) mendefinisikan mutu sebagai keseluruhan sifat-sifat barang dan jasa yang mampu memenuhi (menyamai atau melebihi) kebutuhan dan/atau harapan seseorang. Atau dengan kata lain, mutu adalah paduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang tersirat. Secara runut filosofi manajemen mutu menurut pakar penyuluhan pembangunan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) setiap pekerjaan menghasilkan benda dan /atau jasa, (2) benda dan jasa itu diproduksi karena ada yang memerlukan, (3) orang-orang yang memerlukan benda dan/ atau jasa itu disebut pelanggan (customer), (4) produk dan jasa itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh pelanggan, (5) benda dan jasa itu harus dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggannya, dan (6) benda dan jasa yang dapat memenuhi harapan pelanggannya disebut benda dan jasa yang bermutu. Definisi yang tidak berbeda tentang mutu juga dikemukakan oleh Juran (1995). Menurut Juran (1995), banyak arti untuk kata mutu. Dua diantaranya sangat penting bagi para manajer, yaitu: keistimewaan produk adalah salah satu dari definisi tersebut. Di mata para pelanggan, semakin baik keistimewaan produk, semakin tinggi mutunya; bebas defisiensi adalah definisi lain dari mutu. Di mata pelanggan, semakin sedikit defisiensi, semakin baik mutunya. Juran juga mengatakan bahwa beberapa perusahaan telah mendefinisikan mutu dalam
20 pengertian seperti misalnya kesesuaian terhadap spesifikasi atau kesesuaian terhadap standar. Pengertian mutu juga dikemukakan oleh Crosby (Mutis dan Gasperz, 1994). Ia mengatakan bahwa mutu atau kualitas sebagai conformance to requirements (pemenuhan tingkat standar yang ditentukan oleh para konsumen terhadap suatu barang atau jasa). Deming mengatakan bahwa “quality control does not mean achieving perfection” (pengendalian kualitas bukan berarti mencapai kesempurnaan), melainkan upaya untuk mencapai tingkat produksi sesuai dengan sesuatu yang diharapkan oleh pasar. The American Society for Quality and The American National Standard Institute mendefinisikan mutu sebagai “the totality of features and characteristics of product or service that bear on its ability to satisfy a given need” (keseluruhan feature dan karakteristik yang ada pada produk atau jasa yang dapat memuaskan kebutuhan). Harington mengatakan, “kualitas atau mutu sebagai meeting or excceding costumer expectation at a cost that represent value to them” (memenuhi bahkan melampaui harapan pelanggan atas dasar ketepatan biaya sesuai dengan nilai yang ada). ISO 9000 (Hadiwiardjo dan Wibisono, 2000) menginterpretasikan mutu sebagai perpaduan antara sifat-sifat dan karakteristik yang menentukan sampai seberapa jauh keluaran dapat memenuhi kebutuhan pembeli. Pembeli yang menilai sampai seberapa jauh sifat-sifat dan karakteristik keluaran memenuhi kebutuhannya. Karena itu pengertian mutu bermakna : (a) mutu mencakup hal atau melebihi harapan pelanggan; (b) mutu berlaku untuk produk, jasa, orang, proses dan lingkungan; dan (c) mutu adalah suatu keadaan yang selalu berubah (artinya apa yang saat ini bermutu mungkin pada waktu lain tidak lagi disebut bermutu). Dari semua hal tersebut, mutu dapat didefinisikan sebagai keadaan dinamik yang diasosiasikan dengan produk, jasa, orang dan lingkungan yang mencapai atau melebihi harapan. Kegiatan penyuluhan adalah jasa informasi yang diberikan kepada pelanggan terutama para petani dan keluarganya. Hasil dari penyuluhan adalah mutu penyuluhan yang memberikan kepuasan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran merasa puas karena apa yang ditawarkan (disampaikan oleh penyuluh) memenuhi apa yang mereka butuhkan. Mutu penyuluhan berarti
21 keseluruhan sifat-sifat barang dan jasa (dalam hal ini penyuluhan) mampu memenuhi (menyamai atau melebihi) kebutuhan dan/atau harapan kelompok sasaran. Mutu penyuluhan adalah keistimewaan produk seperti yang disampaikan oleh Juran (1995) dan Crosby (Mutis dan Gasperz, 1984). Penyuluhan adalah produk yang ditawarkan kepada kelompok sasaran. Jika penyuluhan itu memenuhi kebutuhan kelompok sasaran, mampu memecahkan masalah mereka, mampu mengubah pola pikir mereka, mampu mengubah sikap mereka, maka penyuluhan itu disebut produk isitimewa yang memberikan kepuasan kepada petani. Karena itu Penyuluh Pertanian harus menyadari bahwa kegiatan penyuluhan adalah salah satu bentuk penawaran jasa informasi yang berorientasi pada mutu dan kepuasan pelanggan; penyuluhan adalah penawaran produk yang berorientasi pada kepuasan petani sebagai kelompok sasarannya. Sebagai pejabat fungsional, kinerja Penyuluh Pertanian akan dapat diukur berdasarkan tugas pekerjaannya sebagai Penyuluh dan kelompok sasaran merasa puas akan hasil kegiatan penyuluhan itu. Kinerja (performance) adalah hasil kerja, prestasi atau daya guna dan hasil pelaksanaan penyelenggaraan sesuatu. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kinerja penyuluhan adalah mutu atau kualitas penyuluhan yang diukur melalui tingkat kepuasan pelanggan penyuluhan terutama petani; yang diukur secara intens dalam penelitian ini adalah tingkat kepuasan petani terhadap jasa penyuluhan yang diterima oleh petani. Parameterparameter kinerja penyuluhan adalah tingkat kepuasan petani sebagai pelanggan eksternal primer terhadap fungsi-fungsi penyuluhan yang seharusnya dilakukan berdasarkan desentralisasi wewenang yang diberikan ke Kabupaten/Kota sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor:130-67/Tahun 2002 tentang Pengakuan Wewenang Kabupaten dan Kota di bidang Penyuluhan Pertanian adalah : (1) tingkat kepuasan petani terhadap kebijakan dan program penyelenggaraan penyuluhan pertanian, (2) tingkat kepuasan petani terhadap materi dan metode penyuluhan yang sesuai dengan kondisi lokal; (3) tingkat kepuasan petani terhadap pembentukan, pengembangan kelompok tani dan kelembagaan ekonomi petani, (4) tingkat kepuasan petani terhadap kerja sama antara petani, penyuluh, peneliti dan LSM; (5) tingkat kepuasan petani terhadap
22 pembinaan kepemimpinan petani, wanita tani, dan pemuda tani, dan (6) tingkat kepuasan petani terhadap layanan informasi penyuluhan.
Kompetensi Penyuluh Pertanian Kata kompetensi adalah terjemahan dari kata Inggris “competency”. The American Heritage Dictionary mendefinisikan “competency”sebagai “the state or quality of being properly or well qualifie”. Dalam definisi ini, kompetensi berarti mutu yang seharusnya, atau syarat atau standar yang baik dari suatu pekerjaan. Menurut Lucia dan Lepsinger (1999: 2-3), definisi ini masih bersifat umum dan belum
menguraikan
secara
lengkap
substansinya.
Keduanya
kemudian
mempertegas definisi kompetensi menurut Klemp, yakni, “an underlying characteristic of a person which results in effective and/or superior performance on the job,”, kompetensi adalah sifat dasar seseorang yang berpengaruh pada kinerja kerjanya yang efektif dan sangat menonjol. Secara lebih lengkap, definisi kompetensi dikemukakan oleh Parry mengacu kepada pendapat para pakar dalam konferensi tentang kompetensi di Johannesburg tahun 1995, yakni, “a cluster of related knowledge, skills, and attitudes that affects a major part of one’s job (a role or responsibility), that correlates with performance on the job, that can be measured againts well accepted standards, and that can be improved via training and development”(Lucia dan Lepsinger: 1999: 5). Di sini, kompetensi didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang berhubungan satu sama lain yang berpengaruh pada sebagian besar pekerjaan seseorang (peranan atau tanggungjawab), yang berkorelasi dengan kinerja dan dapat diukur dan diterima sebagai suatu standar kinerja yang baik; dan pengetahuan, ketrampilan dan sikap itu dapat diperbaiki melalui pelatihan dan pengembangan. Menurut Lucia dan Lepsinger, model kompetensi (competency model) sebagai kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan dan sikap diperlukan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu organisasi sehingga terbentuk suatu cara kerja dan pencapaian hasil yang diinginkan. Jika pengetahuan, sikap dan ketrampilan belum dapat dicapai sesuai dengan standar yang diperlukan untuk suatu pekerjaan, maka ketiga unsur kompetensi itu bisa dikembangkan melalui
23 pelatihan-pelatihan. Dari ketiga elemen kompetensi itu (pengetahuan, ketrampilan dan sikap), dimensi sikap atau sifat-sifat personal adalah yang paling kompleks dan tidak mudah diukur sebagaimana pengetahuan dan ketrampilan. Hal itu disebabkan oleh luasnya wilayah sifat personal itu. Sifat-sifat individual bisa berupa bakat, talenta bawaan sejak lahir atau kehendak/dorongan nurani; atau juga kepribadian seseorang. Dalam kepribadian terdapat unsur-unsur individual yang berbeda dengan individu lain seperti rasa percaya diri, stabilitas emosi, kepekaan, keyakinan diri dan sebagainya. Manifestasi dari semua unsur yakni sifat-sifat pribadi (personal characteristic),
bakat bawaan (aptitude),
pengetahuan
(knowledge) dan ketrampilan (skill) akan terwujud dalam rupa pola tingkah laku (behaviour). Istilah kompetensi diartikan sebagai “kecakapan yang memadai untuk melakukan suatu tugas” atau sebagai “memiliki keterampilan dan kecakapan yang dipersyaratkan.” Dalam pengertiannya yang lebih luas ini jelas bahwa setiap cara yang digunakan dalam pelajaran yang ditujukan untuk mencapai kompetensi adalah
untuk
mengembangkan
manusia
yang
bermutu
yang
memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan sebagaimana dipersyaratkan dalam suatu pekerjaan.
Kata kompetensi dipilih untuk menunjukkan tekanan pada
“kemampuan mendemonstrasikan pengetahuan (Suparno, 2001: 14).” Kompeten diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan (Rujukan dari Diknas, 2003, diacu oleh Sumardjo, Faperta IPB, 2005). Menurut Puspadi (2003: 115), kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif. Secara fisik dan mental, kemampuan manusia yang terdiri dari kognitif, psikomotor dan afektif dapat muncul secara bersama pada saat menjalankan suatu tugas (Klausmeier dan Goodwin, 1966: 97-98). Klemp (Puspadi 2003: 115) mengatakan, “a job competency in an underlying characteristic of a person which results in effective and or superior performance in a job. A job competency is an underlying characteristic of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one’s self image or social role, or a body of knowledge which he or she uses. “ Dengan demikian, kompetensi kerja adalah
24 segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Pengetahuan-pengetahuan khusus yang mencerminkan berbagai kompetensi belum dapat dikatakan sebagai kompetensi kerja. Secara harafiah, pengetahuan mengacu kepada kumpulan informasi. Kemampuan menggunakan pengetahuanpengetahuan khusus secara efektif merupakan hasil menggunakan pengetahuan yang lain. Dalam hubungannya dengan proses belajar, kompetensi menunjuk kepada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu ketika proses belajar berlangsung. Dikatakan perbuatan yang bersifat rasional karena kompetensi tampak dalam perilaku yang dapat diamati, meskipun sering pula terlihat proses yang tidak nampak seperti pengambilan pilihan sebelum perbuatan dilakukan. Kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa dan bagaimana” perbuatan tersebut dilakukan. Lebih lanjut
dikatakan
kompetensi
merupakan
perpaduan
dari
pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi yang dibutuhkan seorang Penyuluh Pertanian Dalam menjalankan tugasnya, Penyuluh Pertanian harus memiliki kompetensi atau kemampuan, mutu, kecerdasan intelektual (unsur kognitif), kecerdasan sikap, moralitas, integritas kepribadian (unsur afektif) dan ketrampilan yang tinggi dan menonjol (unsur psikomotorik). Menurut Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 19/Kep/MK Waspan/5/1999, tugas pokok Penyuluh Pertanian adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian. Seorang Penyuluh Pertanian yang profesional harus dapat menunjukkan dan terutama mewujudkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokok tersebut. Kompetensi Menyiapkan Penyuluhan Unsur-unsur yang penting dalam persiapan penyuluhan adalah : mengidentifikasi potensi wilayah dan agroekosistem, serta kebutuhan teknologi
25 pertanian; penyusunan program penyuluhan; dan penyusunan rencana kerja penyuluhan. Mengidentifikasi Potensi Wilayah dan Agroekosistem Bagi seorang penyuluh pertanian, identifikasi potensi wilayah dan agroekosistem sebuah tempat dimana penyuluhan diadakan adalah sangat penting dan mendasar karena berdasarkan data tentang potensi wilayah dan agroekosistem itulah, penyuluh pertanian kemudian dapat menyusun materi penyuluhannya dan metode yang akan digunakannya. Dari data tentang potensi wilayah dan agroekosistem, penyuluh pertanian akan menemukan berbagai hal tentang keadaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia atau tidak tersedia, karaktersitik budaya dan norma setempat, keadaan topografi tanah dan penggunaannya, keadaan iklim dan curah hujan
dan
sebagainya. Data tentang potensi wilayah dan agroekosistem ini bisa dikumpulkan oleh seorang penyuluh pertanian baik berupa data primer yakni hasil pengamatan, wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten, maupun hasil pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber seperti monografi desa, dokumen-dokumen tertulis dari Kabupaten/Kecamatan/ desa, Badan Pusat Statistik dan lain-lain. Data potensi wilayah dan agroekosistem yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara teratur, sistematis dan rapih. Berdasarkan data yang lengkap, obyektif dan mendetail itu, penyuluh pertanian dapat menyusun perencanaan programa penyuluhan, metode penyuluhan dan sebagainya. Kemampuan mengumpulkan dan mengolah data ini sangat penting karena dengan data yang lengkap tentang masyarakat, penyuluh pertanian dapat memperoleh gambaran yang utuh tentang kondisi masyarakat secara riil. Hal lain yang harus dilakukan oleh penyuluh pertanian dalam persiapan penyuluhan adalah memandu penyusunan rencana tanaman usaha tani kelompok tani-nelayan, merekapitulasi rencana usaha tani wilayah dan agroekosistem dan membuat peta usahatani wilayah dan agroekosistem
26 Menyusun Program Penyuluhan Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 41.1/Kpts/OT.210/2/2000 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, disebutkan bahwa program penyuluhan pertanian adalah rencana kerja tentang kegiatan penyuluhan pertanian yang memadukan aspirasi petani-nelayan dan masyarakat pertanian dengan potensi wilayah dan program pembangunan pertanian, yang menggambarkan keadaan sekarang, tujuan yang ingin dicapai, masalah-masalah dan alternatif pemecahannya serta cara mencapai tujuan yang disusun secara partisipatif, sistematis dan tertulis setiap tahun. Definisi program penyuluhan hampir sama bahkan sama dengan definisi perencanaan program penyuluhan seperti yang disampaikan oleh para ahli. Venugopal (1957) mengatakan bahwa perencanaan program adalah suatu prosedur kerja bersama-sama masyarakat dalam upaya merumuskan masalah dan upaya pemecahannya demi tercapainya tujuan dan sasaran yang diinginkan. Dalam membuat perencanaan atau program penyuluhan, penyuluh pertanian tidak bekerja sendiri tetapi bersama masyarakat dan didukung oleh para spesialis, peneliti, konsultan dan stakeholder lain. Masyarakat dilibatkan karena merekalah yang mengetahui kebutuhannya. Oleh karena itu, mereka secara bersama merumuskan, mengkaji masalah yang dihadapi, memikirkan pemecahannya, merumuskan cara memecahkan masalah dan memilih alternatif yang paling meyakinkan. Kemampuan mengkoordinasikan perencanaan/penyusunan program penyuluhan itu harus dimiliki oleh seorang Penyuluh. Martinez (1987) mengatakan
bahwa
perencanaan
program
adalah
upaya
merumuskan,
mengembangkan dan melaksanakan program-program dan berkelanjutan, tidak terputus-putus sampai mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan program ini harus menjadi suatu dokumen tertulis yang menjadi pedoman dalam pelaksanaannya. Di dalam dokumen ini semua sumberdaya dikerahkan, jadwal ditetapkan, program-program dirumuskan, personil pelaksana dan penanggungjawab, jadwal evaluasi dan monitoring dan lain-lain. Dalam membuat suatu perencanaan program/program penyuluhan, fakta dan keadaan dikumpulkan, kemudian dilakukan analisis situasi menyangkut berbagai sumber daya, kelembagaan, sarana dan prasarana, kekuatan sekaligus
27 kelemahan sumberdaya (SDA, SDM, finansial, kelembagaan dan sebagainya). Selanjutnya permasalahan dikaji dan ditemukan dan mengidentifikasinya. Setelah masalah ditemukan, maka ditetapkan cara mengatasi masalah dan tujuan yang mau dicapai. Dari hasil analisis yang dilakukan secara komprehensif itu barulah disusun rencana kerja, pelaksanaan rencana kerja, penentuan indikator keberhasilan, evaluasi dan monitoring. Menyusun Rencana Kerja Penyuluhan Rencana kerja penyuluh pertanian adalah jadwal kegiatan yang disusun oleh para penyuluh pertanian berdasarkan program penyuluhan pertanian setempat yang mencantumkan hal-hal yang perlu disiapkan dalam berinteraksi dengan petani-nelayan. Program/rencana kerja penyuluhan pertanian yang baik adalah program/rencana kerja yang dibuat berdasarkan fakta, data, potensi wilayah yang akurat dan benar. Sebelum menetapkan rencana kerja penyuluhannya, penyuluh sebaiknya mengkaji semua potensi dan sumberdaya dengan menggunakan analisis SWOT (Slamet, 2004). Ketajaman dalam membuat analisis rencana kerja penyuluhan akan sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien (Asngari, 2004). Kompetensi Melaksanaan Penyuluhan Pertanian Menyusun Materi Penyuluhan Pertanian Sebagai seorang pemberdaya bagi petani, penyuluh pertanian harus mampu menyusun materi penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan petani. Materi penyuluhan adalah segala pesan yang dikomunikasikan oleh seorang penyuluh pertanian kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah pesan-pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan (Mardikanto, 1993: 95). Menyusun materi penyuluhan adalah suatu kegiatan akademis yang tidak hanya bertumpu pada ilmu secara teoritik, tetapi terutama perpaduan antara ilmu dan kenyataan praktis. Dalam menyusun materi penyuluhan, seorang penyuluh pertanian harus mampu memadukan teori yang dipelajarinya dengan fakta yang dihadapi oleh masyarakat sebagai sasaran penyuluhan. Penyuluh pertanian akan
28 berhadapan dengan berbagai latar belakang dan karakteristik pendengar yang tidak memudahkannya untuk menyiapkan materi penyuluhan yang me muaskan semua pihak. Materi penyuluhan berisi ilmu pengetahuan, inovasi-inovasi pembangunan yang disampaikan kepada petani dalam suatu waktu dan keadaan tertentu yang juga akan ditanggapi secara beragam. Kendatipun kelompok pendengarnya beragam, namun seorang penyuluh pertanian tetap dituntut untuk menyiapkan materi penyuluhan yang diasumsikan mampu memenuhi kebutuhan sebagian besar pendengarnya. Kemampuan memahami berbagai latarbelakang pendengar dan kemudian menyesuaikannya dengan materi penyuluhan yang akan disiapkan mutlak perlu bagi seorang penyuluh pertanian. Arboleda memberikan acuan agar setiap penyuluh pertanian mampu membeda-bedakan ragam materi penyuluhan yang ingin disampaikan pada setiap kegiatannya ke dalam beberapa bagian, yaitu (1) materi pokok, adalah materi yang benar-benar dibutuhkan dan harus diketahui oleh sasaran utamanya. Materi pokok sedikitnya mencakup 50 persen dari seluruh materi yang ingin disampaikan pada saat yang sama; (2) materi yang penting, yaitu materi yang berisi dasar pemahaman tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh sasarannya. Materi ini diberikan sedikitnya 30 persen dari seluruh materi yang ingin disampaikannya; (3) materi penunjang yaitu materi yang masih berkaitan dengan kebutuhan yang dirasakan, yang sebaiknya diketahui oleh sasaran untuk memperluas cakrawala pemahamannya tentang kebutuhan yang dirasakannya itu. Materi ini maksimal sebanyak 20 persen dari seluruh materi yang diberikan; dan (4) materi yang mubazir adalah materi yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada kaitannya dengan kebutuhan sasaran. Karena itu dalam penyuluhan, materi jenis ini harus dihindari (Mardikanto, 1994:107-108). Materi penyuluhan disampaikan baik secara verbal dan langsung kepada sasaran, maupun melalui media cetak dan elektronik. Melalui media cetak misalnya tulisan di surat kabar/majalah atau media elektronik seperti siaran pedesaan melalui radio. Penerapan Metode Penyuluhan Pertanian Ada tiga metode yang lazim diterapkan dalam penyuluhan pertanian di Indonesia, yakni : (1) metode penyuluhan pertanian perseorangan (2), metode
29 penyuluhan pertanian kelompok dan (3) metode penyuluhan pertanian massal (Samsudin, 1994:43). Penyuluhan adalah kegiatan pendidikan non formal yang sangat kompleks yang melibatkan keseluruhan kepribadian seseorang, baik dari sisi penyuluh maupun sisi petani atau kelompok sasaran. Keterlibatan rasio, emosi, cipta, karsa, kondisi kejiwaan, kondisi sosial ekonomi dalam berbagai tingkatan kualitasnya membuat suatu metode penyuluhan tidak bisa diklaim sebagai yang paling efektif dari yang lainnya. Berdasarkan itu pula, maka Kang dan Song menyimpulkan tentang tidak adanya satupun metode yang selalu efektif untuk diterapkan dalam setiap kegiatan penyuluhan. Bahkan menurut mereka, dalam banyak kasus kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan menerapkan beragam metode sekaligus yang saling menunjang dan melengkapi (Mardikanto, 1994:109). Dalam menerapkan metode penyuluhan pertanian perseorangan, seorang penyuluh pertanian melakukan hubungan/kontak langsung dengan individu tani. Hubungan ini bisa dilakukan melalui surat menyurat, percakapan, telepon, kunjungan
ke
rumah
atau
ladang/sawah
petani
tersebut,
pemberian
penghargaan/pengakuan secara perseorangan. Keuntungan metode ini adalah bahwa petani dan penyuluh bisa secara intensif melakukan pertukaran informasi, mudah pengorganisasiannya. Kekurangannya: membutuhkan banyak penyuluh, dana dan waktu serta pengaruhnya relatif sukar diukur, komunikator tersamar (Abbas, 1995:45). Dalam penyuluhan pertanian dengan metode pendekatan kelompok, penyuluh pertanian mendatangi petani yang sudah terbagi dalam kelompokkelompok tani. Petani secara berkelompok diberikan pelatihan, kursus, karyawisata, demonstrasi, simulasi, kunjungan lapangan, perlombaan kelompok dan sebagainya. Kelebihan metode ini adalah relatif lebih efisien, pendekatan aktivitas bersama, komunkator tidak tersamar. Kekurangannya adalah adanya permasalahan dalam pembentukan kelompok, kesulitan dalam pengorganisasian aktivitas diskusi, memerlukan pembinaan calon pemimpin kelompok yan cakap dan dinamis. Metode penyuluhan yang lain adalah metode penyuluhan pertanian massal. Sasarannya bersifat massal dan heterogen. Dalam metode ini, penyuluh pertanian
30 menyampaikan materi penyuluhan secara massal baik melalui tatap muka secara langsung maupun tidak langsung melalui media massa cetak ataupun elektronik. Keuntungannya adalah tidak terlalu resmi, penuh kepercayaan, langsung dapat dirasakan pengaruhnya. Kekurangannya adalah memakan waktu lebih banyak, biaya lebih besar dan bersifat kurang efisien (Samsudin, 1994:45). Pengembangan Swadaya dan Swakarya Petani-Nelayan Dalam pengembangan swadaya dan swakarya petani-nelayan, seorang penyuluh pertanian dituntut untuk mampu: (1) menumbuhkan organisasi petani nelayan berupa pengembangan dan pembinaan kelompok tani-nelayan dan mengembangkan dan membina kelompok asosiasi; (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani nelayan dari kelompok pemula menjadi kelompok lanjut, dari lanjut menjadi madya dan dari madya ke kelompok utama; (3) melakukan penilaian perlombaan pertanian; (4) memandu kegiatan swadaya pertanian berupa karyawisata/widyawisata, kursus tani, sekolah lapang, dan demonstrasi (baik demonstrasi plot, demonstrasi farm maupun demonstrasi area). Pembentukan, pembinaan dan pengembangan kelompok tani-nelayan sangat penting guna mempersatukan para petani dalam satu wadah kerja sama yang bisa memberikan keuntungan bagi penyelesaian masalah yang dihadapi. Penyuluh pertanian sebagai “guru” dan sahabat petani menanamkan motivasi bagaimana mengembangkan wadah kelompok sebagai media kerja sama dan wahana terciptanya solidaritas sosial di antara petani. Kompetensi Mengevaluasi dan Melaporkan Hasil Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Seorang penyuluh pertanian harus memiliki kemampuan dalam melakukan evaluasi kegiatan penyuluhan dan melaporkannya secara sistematis kepada pihak yang berwewenang atau atasannya. Evaluasi adalah membuat penilaian menyeluruh dengan membandingkan antara kriteria yang dipersyaratkan dari suatu program berdasarkan standar dan tujuan yang diinginkan dengan kenyataan pencapaian ketika program itu dilaksanakan. Hasil evaluasi akan melahirkan suatu penilaian apakah tujuan program tercapai, apakah ada masalah dalam
31 menjalankan program dan bagaimana rekomendasi pemecahan masalah dan lainlain (Boyle, 1981). Evaluasi merupakan alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevan dan efektif serta konsekuensinya ditentukan secara sistematis dan seobyektif mungkin. Evaluasi adalah data dan analisis mengenai :(a) tujuan program, (b) standar atau kriteria, (c) keadaan atau situasi yang ada, dan (d) masalah yang dihadapi dalam pencapaian tujuan. Menurut Mardikanto (1993), evaluasi merupakan suatu kegiatan terencana dan sistematis yang meliputi: (a) pengamatan untuk mengumpulkan data atau fakta; (b) penggunaan pedoman yang telah ditetapkan; dan (c) pengukuran atau membandingkan hasil pengamatan dengan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Boyle (1981) mengidentifikasi lima hal yang dikaji dalam evaluasi suatu program yakni (1) kualitas (quality):sejauh mana kualitas program itu dan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap program itu? Apakah mutunya memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak?; (2) menilai kelayakan program. Apakah program itu sesuai dengan keinginan masyarakat? Apakah harapan masyarakat terhadap program itu terpenuhi? Apakah program itu layak diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat?; (3) efektivitas program. Apakah program itu dijalankan dengan efektif?; Apakah sesuai dengan tujuan yang diinginkan atau hanya sebuah proyek yang sebetulnya tidak efektif; (4) efisien. Bagaimana penggunaan sumberdaya (sumberdaya manusia, sumberdaya alam, keuangan, fasilitas dan lain-lain) dalam pelaksanaan program itu? Apakah efisien atau tidak? ; dan (5) manfaat program. Bagaimana manfaat langsung dan nyata program itu bagi masyarakat. Hal yang sama berlaku pada evaluasi kegiatan penyuluhan. Dalam evaluasi
penyuluhan,
terdapat
prinsip-prinsip
yang
menjadi
landasan
dilaksanakannya evaluasi itu. Slamet (1975) mengemukakan prinsip-prinsip evaluasi dalam penyuluhan antara lain : (a) evaluasi harus berdasarkan fakta; (b) evaluasi penyuluhan adalah bagian integral dari proses pendidikan atau keseluruhan program penyuluhan; (c) evaluasi hanya dapat dilakukan dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan dari program penyuluhan yang bersangkutan; (d) evaluasi menggunakan alat pengukuran yang berbeda; (e) evaluasi penyuluhan
32 dilakukan baik terhadap metode penyuluhan yang digunakan maupun terhadap hasil kegiatan penyuluhan; (f) evaluasi perlu untuk mengukur baik hasil kualitatif maupun hasil kuantitatif yang dicapai dari suatu kegiatan penyuluhan; (g) evaluasi mencakup enam hal pokok yang perlu dipertimbangkan dengan teliti, yakni: tujuan program penyuluhan, metode/kegiatan yang digunakan, pengumpulan, analisa, dan interpretasi data, membandingkan hasil yang dicapai dengan yang diharapkan, pengambilan keputusan, dan penggunaan hasil evaluasi untuk menyusun program penyuluhan selanjutnya; dan (h) evaluasi harus dijiwai oleh prinsip mencari kebenaran. Ada beberapa kriteria dalam pengukuran evaluasi yaitu: (a) effectivenes, melihat kinerja program ditinjau dari tujuan/keputusan/konsekuensi yang ingin dicapai; (b) efficiency, melihat hubungan antara hasil program dan biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan program-memaksimumkan nilai hasil program per unit biaya/meminimumkan biaya per unit hasil; (c) cost effectiveness, membandingkan biaya yang sepadan dengan tingkat layanan/melaksanakan kegiatan dengan upaya yang minim; (d) productivity, upaya meningkatkan efisiensi sumberdaya manusia dan sumberdaya untuk melaksanakan program yang mengarah kepada kualitas layanan yang lebih tinggi; (e) cost-benefit analysis, mengukur seluruh biaya yang dikorbankan dan keuntungan yang diperoleh dari program (dalam bentuk rupiah/jumlah uang); (f) adequacy, mengukur derajad pencapaian suatu tujuan program/tingkatan layanan yang dapat mengatasi masalah; (g) appropriateness, melihat nilai suatu tujuan program/strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan program; (h) equity, melihat sebaran keuntungan yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan oleh program tersebut dan (i) responsiveness, melihat derajad pencapaian program sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya, dalam hal ini bagaimana respons masyarakat/ kelompok sasaran terhadap program itu. Kompetensi Mengembangkan Penyuluhan Penyuluhan bukanlah proses yang statis, melainkan selalu dinamis sesuai dengan perkembangan yang ada. Karena itu penyuluhan selalu dievaluasi, diperkaya dan diperbaharui agar relevan dengan kebutuhan masyarakat dalam hal ini petani (Slamet, 2003). Penyuluhan adalah kegiatan pendidikan non formal
33 yang harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat terutama petani yang menjadi sasaran penyuluhan itu (Sumardjo, 1999; Suparta, 2001). Karena penyuluhan selalu dinamis maka penyuluh harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan, mengkaji, menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Dalam pengembangan penyuluhan, penyuluh harus mampu menyusun pedoman/petunjuk pelaksanaan penyuluhan, perumusan kajian arah kebijaksanaan pengembangan penyuluhan/ sistem kerja penyuluhan.
Kompetensi Berkomunikasi Kegiatan
penyuluhan
adalah
kegiatan
berkomunikasi.
Hovland
mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy,2000). Dengan kata lain, menurut Laswell, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2000). Komunikasi adalah proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu dengan yang lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Kincaid). Dalam proses belajar seperti kegiatan penyuluhan terdapat proses komunikasi. Unsur-unsur komunikasi dalam belajar atau penyuluhan adalah adanya komunikator (guru/penyuluh), pesan (materi ajar/mata pelajaran/ materi penyuluhan), chanel (media pengajaran/penyuluhan), komunikan (siswa/ masyarakat sasaran penyuluhan), dan efek (umpan balik guru-murid, penyuluhmasyarakat sasaran). Dalam komunikasi itu terjadi proses kognitif antara komunikator dengan komunikan, antara Penyuluh dengan masyarakat sasaran. Sebagai komunikator yang profesional, Penyuluh Pertanian pertama-tama harus mengetahui, menguasai dan mendalami informasi (pesan) yang akan disampaikan kepada pendengarnya/komunikan (masyarakat sasaran). Ia harus memiliki pengetahuan yang luas tentang informasi pembangunan, ilmu, teknologi yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Kompetensi ini harus dilengkapi dengan kemampuan tentang cara, metode dan teknik menyampaikannya sehingga mencapai hasil yang maksimal. Masyarakat sasaran harus bisa merasakan kegunaannya karena mampu memenuhi kebutuhan mereka dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi. Penyuluh Pertanian pada dasarnya
34 adalah orator yang mampu mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat sasaran oleh karena kepandaiannya dalam mengkomunikasikan ide, gagasan, pesan dan informasi pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai orator, Penyuluh Pertanian harus memiliki kefasihan berbicara dan berkomunikasi, memahami psikologi pendengarnya, mampu menggunakan alat-alat dan media komunikasi secara baik, memiliki semangat dan kepercayaan diri yang tinggi, memiliki kejujuran dan integritas pribadi, mampu membangkitkan semangat dan motivasi pendengarnya sehingga selalu ingin belajar tentang segala sesuatu yang penting untuk kehidupannya. Kompetensi Berinteraksi Sosial Penyuluh Pertanian adalah seorang pribadi yang berhubungan dengan banyak orang, baik anggota organisasi penyuluhan, LSM, lembaga peneliti, tenaga ahli, konsultan, lembaga-lembaga pemerintahan, petani, nelayan maupun tokohtokoh masyarakat. Karena ia bersinggungan dengan multi individu dengan berbagai latarbelakang, maka Penyuluh Pertanian harus memiliki kemampuan bergaul, mampu membina hubungan dan relasi, trampil dan luwes dalam bersikap dengan semua orang. Kemampuan membina hubungan sosial antar manusia dalam berbagai strata tanpa membeda-bedakannya atas dasar suku, budaya, agama, etnik, pendidikan, status sosial disebut kemampuan atau kompetensi sosial. Kemampuan membina hubungan yang sehat baik secara vertikal dengan atasan atau bawahan maupun secara horizontal dengan rekan atau teman yang berada setara tidak terlepas dari konsep hubungan antarpersonal. Hubungan paling intim yang kita miliki dengan orang-orang lain dalam tingkat pribadi, antarteman, sesama sebaya, biasanya disebut sebagai hubungan antarpersonal (Pace dan Faules, 1993:202). Penyuluh Pertanian akan selalu bertemu dengan masyarakat sasaran, peneliti, tokoh-tokoh masyarakat, pekerja sosial, agen perubahan lain dan sebagainya. Kemampuan menjalin relasi sosial dengan semua orang akan menentukan keberhasilan kegiatan penyuluhan. Menurut Pace dan
Boren (Pace dan Faules, 1993:202), sifat-sifat hubungan
antarpersonal yang efektif terjadi bila melakukan hal-hal berikut: (1) menjaga kontak pribadi yang akrab tanpa menumbuhkan perasaan bermusuhan, (2) menetapkan dan menegaskan identitas anda dalam hubungan dengan orang lain
35 tanpa membesar-besarkan ketidaksepakatan, (3) menyampaikan informasi kepada orang lain tanpa menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, penyimpangan atau perubahan lainnya yang disengaja, (4) terlibat dalam pemecahan masalah yang terbuka tanpa menimbulkan sikap bertahan atau menghentikan proses, (5) membantu orang-orang lainnya untuk mengembangkan gaya hubungan personal dan antarpersonal yang efektif, (6) ikut serta dalam interaksi sosial informal tanpa terlibat dalam muslihat atau gurauan atau hal-hal lainnya yang mengganggu komunikasi yang menyenangkan. Pemikiran Pace dan Boren ini sangat relevan dengan tugas seorang Penyuluh. Kemampuan membina hubungan sosial berarti kemampuan menempatkan diri dan orang lain secara proporsional tanpa adanya perasaan dan anggapan superior atau inferior satu terhadap yang lain. Menurut Pace, Boren dan Peterson (Pace dan Faules, 1993:202-2003), hubungan antarpersonal cenderung menjadi lebih baik bila kedua belah pihak melakukan hal-hal berikut : (1) menyampaikan perasaan secara langsung dan dengan cara yang hangat dan ekspresif, (2) menyampaikan apa yang terjadi dalam lingkungan pribadi mereka melalui penyingkapan diri (self-disclosure), (3) menyampaikan pemahaman yang positif, hangat kepada satu sama lainnya dengan memberikan respons-respons yang relevan dan penuh pengertian, (4) bersikap tulus kepada satu
sama lainnya
dengan menunjukkan sikap menerima secara verbal maupun non verbal, (5) selalu menyampaikan pandangan positif tanpa syarat terhadap satu sama lainnya melalui respons-respons yang tidak menghakimi dan ramah, (6) berterus terang mengapa menjadi sulit atau bahkan mustahil untuk sepakat satu sama lainnya dalam perbincangan yang tidak menghakimi, cermat, jujur dan membangun. Menurut Zemke (Pace dan Faules, 1993:2003), hubungan antarpersonal memiliki pengaruh yang besar dan menembus kehidupan organisasi. Bila kondisi untuk hubungan antarpersonal yang baik hadir, kita juga cenderung menemukan respons-respons positif terhadap penyelia, sikap tanggap atas kebutuhankebutuhan pribadi dan organisasi, kepekaan terhadap perasaan pegawai dan kesediaan berbagai informasi.
36 Karakteristik Individu Penyuluh Pertanian Karakteristik individu penyuluh pertanian adalah identifikasi internal yang melekat pada diri seorang penyuluh pertanian seperti pendidikan formal, pendidikan non formal, umur, bidang keahlian, jenis kelamin, pengalaman kerja sebagai penyuluh (jumlah masa kerja), sifat kosmopolitan yang dimiliki, pendapatan dan motivasi (intrinsik dan ekstrinsik) akan mempengaruhi kompetensi dan kinerja penyuluhan. Pendidikan Formal dan Non Formal. Cooms et al. (1973) menawarkan konsepsi pendidikan seumur hidup atau dinyatakan bahwa hidup itu adalah belajar. Mereka membagi pendidikan dengan tiga jalur antara lain, (1) pendidikan formal (pendidikan melalui bentuk sekolah), (2) pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah yang masih diorganisasikan), (3) pendidikan informal (pendidikan dalam masyarakat dan keluarga tanpa pengorganisasian tertentu). Cooms dengan kawan-kawannya kemudian mendefinisikan pendidikan non formal sebagai suatu aktivitas pendidikan yang diorganisasikan yang ada di luar sistem pendidikan formal yang sudah mapan, berorientasi pada ciri-ciri warga belajar dalam mencapai tujuan pendidikannya (Ruwiyanto, 1994). Umur. Umur adalah faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses belajar dan efisiensi belajar baik langsung maupun tidak langsung. Umur 25 tahun adalah umur yang optimal untuk belajar. Pada umur 46 tahun, kemampuan belajar mulai menurun dan akan menurun drastis pada umur 60 tahun. Variasi umur yang dimiliki oleh Penyuluh Pertanian akan juga berpengaruh pada pengembangan kompetensi dan kinerjanya. Pengalaman sebagai penyuluh (masa kerja). Pengalaman adalah sumber belajar. Orang yang memiliki banyak pengalaman akan lebih mudah mempelajari sesuatu. Rakhmat (2001:21) mengatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya jalan kepemilikan pengetahuan. Empirisme, salah satu aliran dalam filsafat mengatakan bahwa pengetahuan terbentuk dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku, tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu karena pengalaman masa lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku.
37 Masa kerja sebagai penyuluh pertanian dengan sendirinya ikut membentuk pengetahuan, sikap, watak, karakter dan ketrampilan. Makin lama seseorang menekuni suatu bidang tertentu, pengetahuanya tentang bidang itu pun semakin tinggi. Dengan pengetahuan yang dikembangkan melalui pengalamannya, seorang Penyuluh Pertanian akan mampu membentuk kompetensi pribadinya dan kinerja serta etos kerjanya. Pengalaman yang banyak membentuk kompetensi dan kecerdasan, sikap dan ketrampilan. Sifat Kosmopolitan. Sifat kosmopolitan adalah sikap keterbukaan terhadap ide, gagasan, pengetahuan, informasi yang datang dari luar suatu sistem sosial. Sifat kosmopolitan ini terbentuk karena adanya akomodasi dan adaptasi terhadap ide, gagasan atau informasi yang berasal dari luar atau tempat lain. Hubungan dan relasi sosial yang luas tanpa dibatasi oleh ruang, waktu, tempat, sekat-sekat primordialisme, budaya yang dianut akan membentuk sikap-sikap kosmopolitan. Sikap-sikap kosmopolitan ini adalah sumber belajar yang dapat mempertajam kualitas dan kemampuan nalar, kecerdasan, kompetensi dan kecakapan seseorang yang pada akhirnya akan juga mempengaruhi kinerja seseorang. Pendapatan. Pendapatan adalah jumlah pendapatan atau “reward” yang diperoleh seseorang dari hasil kerjanya. Pendapatan di sini bisa bersifat pendapatan tetap setiap bulan ataupun pendapatan tidak tetap. Makin tinggi pendapatan ekonomi, makin tinggi pula kesempatan ia membelanjakan uangnya baik untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan, maupun untuk kebutuhan rekreasi atau aktualisasi diri. Orang yang memiliki pendapatan yang cukup lebih memiliki peluang untuk mengakses berbagai kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan mengembangkan dan meningkatkan kualitas pengetahuan dan kecakapannya.
Motivasi Bagi siapapun, termasuk Penyuluh Pertanian, suatu kegiatan tertentu dilaksanakan
karena didorong oleh keinginan tertentu yang disebut motivasi.
Mc.Donald (Djamarah :
2002) mengatakan bahwa motivation is an energy
change within the person characterized by affective arousal and anticipatory
38 goal reactions (motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan). Afeksi dan reaksi untuk mencapai tujuan tertentu ini menjadi pemicu bagi orang untuk berusaha, berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Pemicu tindakan itu disebut motivasi seperti yang dikatakan oleh Terry (1997) bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang untuk melakukan tindakan. Motivasi yang ada pada manusia baik motivasi intrinsik yakni dorongan dari dalam diri untuk melakukan sesuatu dan motivasi ekstrinsik yakni dorongan dari luar diri untuk melakukan sesuatu melekat pada setiap orang, termasuk Penyuluh Pertanian. Keinginan untuk belajar dan meningkatkan kecerdasan, kecakapan, sikap dan ketrampilan didorong oleh motivasi tertentu yang bisa bersifat intrinsik ataupun ekstrinsik. Seorang penyuluh pertanian didorong oleh motivasi intrinsiknya agar memiliki kompetensi yang tinggi dalam bidang penyuluhan selalu mempertajam nalarnya dengan belajar, membaca, mengikuti diklat, seminar, diskusi, demonstrasi dan sebagainya. Dorongan intrinsik ini bisa menjadi lebih kuat jika ada pula dorongan ekstrinsik yang menyertainya. Misalnya: penyuluh pertanian yang memiliki kecerdasan, kompetensi yang tinggi akan lebih mudah untuk naik pangkat atau dipromosi dan pendapatan ekonominya pun akan lebih meningkat. Atau juga dorongan intrinsik ini menjadi lebih kuat karena adanya persaingan yang tinggi di antara penyuluh pertanian, atau adanya desakan dari pihak luar seperti atasan, keluarga, teman agar kecerdasan dan kompetensi selalu ditingkatkan. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik selalu berjalan bersama-sama. Dalam penelitian ini, motivasi penyuluh pertanian dianalisis untuk melihat pengaruhnya terhadap kompetensi dan kinerja penyuluhan. Pendidikan dan Pelatihan Penyuluhan Cooms et al. (1973) menawarkan konsepsi pendidikan seumur hidup atau dinyatakan bahwa hidup itu adalah belajar. Mereka membagi pendidikan dengan tiga jalur antara lain, (1) pendidikan formal (pendidikan melalui bentuk sekolah), (2) pendidikan non formal (pendidikan luar sekolah yang masih diorganisasikan), (3) pendidikan informal (pendidikan dalam masyarakat dan keluarga tanpa pengorganisasian
tertentu).
Cooms
dengan
kawan-kawannya
kemudian
39 mendefinisikan pendidikan non formal sebagai suatu aktivitas pendidikan yang diorganisasikan yang ada di luar sistem pendidikan formal yang sudah mapan, berorientasi pada ciri-ciri warga belajar dalam mencapai tujuan pendidikannya (Ruwiyanto, 1994). Lebih lanjut para ahli pendidikan itu mengatakan bahwa pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang, dimulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk ke dalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademis dan umum, program spesialis dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, ketrampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa. Pendidikan non formal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.. Baik pendidikan formal, informal dan non formal mengandung substansi yang sama yakni unsur pendidikan, terlepas dari unsur keteraturan, terorganisasi, tersistematis, berjenjang dan terstruktur, disengaja atau tidak disengaja. Di dalam proses belajar itu ada komunikasi yang menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif
(penalaran,
penafsiran,
pemahaman
dan
penerapan
informasi),
peningkatan kompetensi (ketrampilan intelektual dan sosial), pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan dan perasaan serta kemauan untuk berbuat atau merespon sesuatu rangsangan (stimuli). Proses perubahan (belajar) itu dapat terjadi dengan disengaja atau tidak disengaja (Sudjana, 2004). Adanya perubahan dalam ketiga dimensi perilaku manusia itu yakni kognisi, afeksi dan psikomotor menunjukkan bahwa proses belajar adalah suatu proses pendidikan. “The International Standard Classification of Education (ISCE-UNESCO,
1975)
merumuskan
pendidikan
sebagai
komunikasi
40 terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang untuk menumbuhkan belajar (“education as organized and sustained communication designed to bring about learning”). Sikap dan perilaku belajar itu bukan sekedar belajar untuk mengetahui sesuatu (learning how to know), melainkan belajar untuk memecahkan masalah (learnings how to solve problems), malah yang paling esensial adalah belajar untuk kemajuan kehidupan diri dan lingkungannya (learning to live to be). Dengan demikian, pendidikan adalah sejumlah pengalaman yang dengan pengalaman itu seseorang atau kelompok orang dapat memahami sesuatu yang sebelumnya mereka tidak pahami. Pengalaman terjadi karena adanya interaksi antara
seseorang
atau
kelompok
dengan
lingkungannya.
Interaksi
itu
menimbulkan proses perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau kelompok dalam masyarakat (Kleis, 1974). Pengembangan kompetensi penyuluh pertanian dilakukan melalui ketiga jenis pendidikan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Cooms dkk itu. Untuk kepentingan penelitian ini, pengembangan kompetensi penyuluh pertanian terutama melalui pendidikan formal dan non formal. Pengembangan kompetensi penyuluh pertanian melalui pendidikan formal dilakukan melalui kebijaksanaan tugas belajar atau izin belajar. Penyuluh pertanian yang berlatar belakang pendidikan SLTA dapat melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang yang lebih tinggi seperti Akademi atau Sarjana (S1). Atau penyuluh pertanian yang telah berpendidikan Sarjana (S1) dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang pascasarjana (S2 atau S3). Selain pengembangan kompetensi penyuluh pertanian melalui pendidikan formal, upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia penyuluh pertanian juga dilakukan melalui pendidikan non formal seperti pelatihan-pelatihan, magang, studi banding, diklat-diklat teknis atau semacamnya. Pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah salah satu bentuk pendidikan non formal sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Non Formal. Satuan pendidikan non formal adalah keluarga, kelompok belajar, kursus-kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis. Unesco (1972) menjelaskan bahwa pendidikan non formal mempunyai keketatan dan
41 keseragaman yang lebih longgar dibanding dengan tingkat keketatan dan keseragaman pendidikan formal. Pendidikan non formal memiliki bentuk dan isi program yang bervariasi sedangkan pendidikan formal umumnya memiliki bentuk dan isi program yang seragam untuk setiap satuan, jenis dan jenjang pendidikan. Perbedaan ini pun tampak pada teknik-teknik yang digunakan dalam mendiagnosis, merencanakan dan mengevaluasi proses, hasil dan dampak program pendidikan. Tujuan program pendidikan non formal tidak seragam sedangkan tujuan pendidikan formal seragam untuk setiap satuan dan jenjang pendidikan. Peserta didik (warga belajar) dalam program pendidikan non formal tidak memiliki persyaratan ketat sebagaimana persyaratan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan formal (Sudjana, 2004). Pendidikan dan pelatihan yang disingkat dengan diklat bagi Penyuluh Pertanian bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan kapasitas yang telah dimiliki. Sebagai seorang figur yang “menjual” jasa infomasi penyuluhan, penyuluh pertanian dan organisasi penyuluhan yang melaksanakan penyuluhan pertanian harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh pelanggannya dalam hal ini petani. Kussriyanto (1993:10) mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan ketrampilan pekerja dapat mempunyai dampak paling langsung terhadap produktivitas. Little (Soepeno, 1981:27) dalam penelitiannya mengatakan bahwa pendidikan berkaitan dengan produktivitas adalah suatu kebenaran yang begitu jelas membuktikan dirinya sehingga hanya sedikit orang yang mempertanyakan. Pendidikan dapat membentuk pegawai menjadi ahli sehingga dapat dipersiapkan untuk menilai berbagai situasi, memilih cara yang paling tepat dalam melaksanakan tugas pokoknya, memilih alternatif yang baik dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dan akhirnya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Keberhasilan suatu diklat membentuk peserta didiknya sehingga memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan kecerdasan, sikap serta ketrampilan yang memadai ditentukan oleh sejauh mana unsur-unsur kediklatan seperti kurikulum, proses belajar, metode mengajar, Widyaiswara/Instruktur/Pelatih, lingkungan belajar, dukungan dana, sarana dan prasarana bersinergi secara terintegrasi menciptakan diklat yang dibutuhkan oleh pesertanya.
42 Kurikulum Berbasis Kompetensi Dari banyak definisi tentang kurikulum, untuk penelitian ini, penulis mengutip beberapa definisi dari beberapa ahli. Willes Bundy (Atmodiwirio, 2002) mendefinisikan kurikulum sebagai suatu tujuan atau sekumpulan nilai-nilai yang digerakkan melalui suatu proses pengembangan yang mencapai puncaknya dalam pengalaman di kelas untuk siswa. Tanner dan Tanner (1975) mengartikan kurikulum sebagai pernyataan belajar yang direncanakan, dibimbing, ada hasil yang
diinginkan,
diformulasikan
melalui
rekonstruksi
pengetahuan
dan
pengalaman secara sistematik di bawah bantuan sekolah untuk kelanjutan dan pertumbuhan belajar dalam kompetensi pribadi sosial. Tyler (1957) mengatakan bahwa kurikulum adalah seluruh pelajaran siswa yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Dari beberapa definisi itu dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah keseluruhan materi pelajaran yang disusun secara sistematik dan diberikan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks diklat penyuluhan, kurikulum adalah keseluruhan materi diklat yang telah disusun secara sistematik dan diajarkan kepada peserta diklat melalui proses belajar mengajar orang dewasa. Kurikulum penyuluhan berbasis kompetensi penyuluhan yang berarti kurikulum yang diberikan sesuai dengan profesi penyuluh. Penyuluh Pertanian adalah orang-orang dewasa yang telah berpengalaman, karena itu kurikulum diklat penyuluhan berorientasi pada penambahan pengetahuan, pembentukan sikap dan ketrampilan yang telah dimiliki. Dengan materi diklat itu mereka dapat menambah wawasan pengetahuan, sikap dan ketrampilannya.
Proses Belajar Houle (Padmowihardjo, 1994) mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif yang menghasilkan perubahan perilaku baik pengetahuan, ketrampilan dan perasaan. Proses belajar adalah usaha aktif seseorang yang dilakukan secara sadar untuk mengubah perbuatannya, perilaku atau kemampuannya baik pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dan hasilnya bisa benar atau salah. Dalam proses belajar, ada pengajar/guru/pelatih, ada murid/peserta yang dilatih. Proses interaksi
43 timbal
balik
antara
pengajar/pelatih
dengan
murid/peserta
inilah
yang
menghasilkan perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan). Dalam dikat penyuluhan, Widyaiswara/Instruktur/Pelatih berinteraksi dengan peserta diklat. Pihak yang satu mengajarkan, memberikan materi, membimbing dan pihak yang lain mendengarkan, menanggapi, memberi respons dan memberikan umpan balik. Hasil interaksi itu akan terwujud dalam peningkatan pengetahuan, pembentukan sikap dan ketrampilan. Peserta diklat penyuluhan bersama-sama dengan Widyasiwara atau Pelatih saling berinteraksi, memberikan respons satu sama lain dan membentuk kompetensi, kecerdasan, penajaman nalar, pembentukan watak, sikap, karakter, serta peningkatan ketrampilan. Widyaiswara Widyaswara
adalah
Pegawai
Negeri
Sipil
yang
diberi
tugas,
tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengembangan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pada Lembaga Pendidikan dan Latihan Pemerintah (Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PERr/66/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya). Kriteria utama yang harus dimiliki oleh seorang Widyaiswara secara akademik menurut Keputusan Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) Nomor 304 A/IX/6/4 1995 adalah (1) menguasai materi yang akan diajarkan, (2) terampil mengajar secara sistematik, efektif dan efisien, (3) mampu menggunakan metode dan media yang relevan dengan Tujuan Instruksional Umum dan Tujuan Khusus mata pelajarannya. Pranoto (1993) merinci kompetensi yang harus dimiliki seorang Widyaiswara yaitu (1) memiliki kompetensi dalam penelitian dan penulisan, (2) memiliki kompetensi dalam mengembangkan kurikulum, (3) memiliki kompetensi dalam penguasaan metodologi dan media teknologi diklat, (4) memiliki kompetensi pribadi dan kompetensi profesi yang berkaitan dengan kemampuan dasar teknik edukatif dan administratif yang meliputi (a) penguasaan materi/bahan ajar, (b) mengelola program belajar mengajar, (c) mengelola kelas, dan (d) penggunaan media/sumber belajar.
44 Kompetensi dan kemampuan Widyaswara untuk tampil secara prima akan berpengaruh pada peningkatan wawasan, pengetahuan, sikap, kompetensi dan ketrampilan peserta diklat. Kecakapan, kecerdasan dan ketrampilan Widyasiwara dalam mengajar tentu dipengaruhi oleh pendidikan formal dan informalnya, umur, pengalaman bekerja, pendapatan ekonomi, sikap kosmopolit, keterbukaan dan keluasan wawasan dan pengetahuannya. Dukungan Finansial, Sarana dan Prasarana Kegiatan apa saja membutuhkan uang, walaupun uang bukanlah satusatunya penentu keberhasilan kegiatan itu. Hal yang sama berlaku pada sebuah diklat penyuluhan. Selain uang, diklat juga membutuhkan fasilitas, sarana dan prasarana.
Menurut
Atmodiwirio
(2002),
ada
tiga
unsur
utama
yang
memungkinkan berjalannya sebuah organisasi, yakni sumber fisik, sumber keuangan dan sumberdaya manusia. Yang dimaksudkan dengan sumber fisik adalah mesin-mesin, material, fasilitas, perabot dan komponen-komponen lain yang merupakan bagian dari produksi. Ketersediaan sumber fisik ini sangat penting karena produksi organisasi bergantung kepada sumber fisik ini. Asset korporasi ini dapat dilihat dengan jelas (tangible) sehingga setiap orang mampu mengukur kebutuhan organisasi dari sudut sumber fisik ini. Di
kabupaten-kabupaten
yang
menjadi
lokasi
penelitian
ini,
pengembangan kompetensi penyuluh pertanian baik melalui pendidikan formal maupun non formal belum menjadi prioritas kebijakan pemerintah daerah. Kebijakan pemberian tugas belajar atau izin belajar kepada para penyuluh pertanian hampir tidak ada sama sekali. Hal ini mengakibatkan pengetahuan dan ketrampilan para penyuluh pertanian kurang sebanding dengan perubahanperubahan sosial yang terjadi. Para penyuluh pertanian yang sebagian besar adalah tamatan SLTA kalah jauh dengan sebagian putra-putri desa yang telah mengenyam pendidikan tinggi (sarjana) tetapi belum mempunyai pekerjaan. Kesenjangan pendidikan ini kadang-kadang menjadi persoalan tersendiri bagi penyuluh pertanian karena para petani lebih mendengarkan anak-anak mereka yang telah sarjana.
45 Keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan penyuluh pertanian tidak saja disebabkan oleh pendidikan formal mereka yang terbatas, tetapi juga karena kurang ada kesempatan untuk mengembangkan kompetensi melalui pendidikan non formal. Para penyuluh pertanian di lokasi-lokasi penelitian umumnya merasakan kurangnya kesempatan mengikuti diklat-diklat teknis apalagi yang diselenggarakan di luar daerah. Keterbatasan anggaran pemerintah daerah untuk pengembangan sumberdaya manusia penyuluh ini selalu menjadi alasan utama. Di dalam daerah pun, pemerintah daerah belum menunjukkan perhatian yang tinggi terhadap pengembangan kompetensi penyuluh. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana diklat. Lingkungan Kemampuan seseorang tidak saja disebabkan oleh potensi yang ada dalam dirinya (faktor internal), tetapi juga oleh faktor di luar dirinya (faktor eksternal). Ndraha (1999) mengatakan bahwa terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi) maupun lingkungan horizontal (geografik, fisik, sosial). Dengan kata lain perilaku manusia akan terbentuk tidak saja secara alami, tetapi juga karena faktor lingkungan.baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat secara umum. Pendidikan informal dan kebiasaan dalam keluarga akan turut mempengaruhi perkembangan fisik dan mental seseorang. Pengetahuan, kecakapan dan kecerdasan tidak saja dibentuk di sekolah melalui pendidikan formal atau non formal, tetapi juga melalui pendidikan informal dalam keluarga. Demikian juga lingkungan sosial umum memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan, sikap dan ketrampilan seseorang. Dalam penelitian ini, dukungan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial akan mempengaruhi kompetensi seorang Penyuluh Pertanian. Aspek lingkungan sosial dalam penelitian ini adalah : (a) sikap politik pemerintah, (b) pelaksanaan otonomi daerah/dukungan pemda, (c) dukungan finansial, sarana dan prasarana, (d) perubahan paradigma penyuluhan, (e) dukungan organisasi penyuluhan, (f) dukungan masyarakat dan kebutuhan petani, (g) dukungan keluarga, (h) dukungan informasi, (i) sumberdaya alam, dan (j) dukungan teknologi.
46
Sikap Politik Pemerintah Penyuluhan pertanian adalah bagian dari pembangunan pertanian. Sikap politik Pemerintah terhadap pembangunan pertanian di Indonesia secara umum akan juga mempengaruhi penyuluhan pertaniannya. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia dimungkinkan oleh dukungan dua hal yang penting yaitu : (1) stabilitas sosial politik dan keamanan yang sangat diperlukan dalam pembangunan, dan (2) komitmen yang kuat dari pimpinan tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten (Wardoyo, 1992). Dalam Bab 19 Revitalisasi Pertanian, ada lima program yang akan dilaksanakan dalam periode 2005-2009, yaitu: (1) peningkatan ketahanan pangan, (2) pengembangan agribisnis, (3) peningkatan kesejahteraan petani, (4) pengembangan sumberdaya perikanan, dan (5) pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan. Selain lima program ini, terdapat 12 program pendukung yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan Revitalisasi Pertanian, seperti keamanan dalam negeri, kerja sama perdagangan Internasional, pengembangan ekspor, sistem pendukung usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), penataan ruang, pengembangan kelembagaan keuangan, ekonomi lokal, perlindungan dan konservasi sumberdaya alam serta pengelolaan cadangan irigasi. Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam program peningkatan kesejahteraan petani adalah: (1) revitalisasi sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan yang secara intensif perlu dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten; (2) penumbuhan dan penguatan lembaga pertanian dan pedesaan untuk meningkatkan posisi tawar menawar petani dan nelayan; (3) penyederhanaan mekanisme dukungan kepada petani dan pengurangan hambatan usaha pertanian; (4) pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia pertanian (antara lain petani, nelayan, penyuluh dan aparat pembina; (5) perlindungan terhadap petani dari persaingan usaha yang tidak sehat dan perdagangan yang tidak adil; dan (6) pengembangan upaya pengentasan kemiskinan.
47 Implementasi sikap politik pemerintah terhadap pembangunan pertanian penting artinya bagi organisasi penyuluhan yang melakukan kegiatan penyuluhan di tingkat masyarakat. Sikap politik yang jelas akan menjadi pijakan bagi organisasi penyuluhan untuk menyusun strategi pengembangan dan peningkatan kompetensi Penyuluh Pertanian yang ada. Pelaksanaan Otonomi Daerah Kebijakan otonomi daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan agar Pemerintah Daerah memiliki wewenang yang luas dalam mengatur dan membangun daerahnya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Dengan desentralisasi
wewenang
diharapkan
terjadinya
perubahan
kehidupan
pemerintahan daerah yang demokratis untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan (Widodo, 2001:38). Dalam kenyataannya, pelaksanaan Otonomi Daerah yang terutama dilaksanakan di Kabupaten/Kota belum menghasilkan dampak positif yang berarti seperti yang diharapkan sebelumnya. Perhatian Pemerintah Daerah khususnya di Kabupaten yang menjadi lokasi penelitian terhadap pembangunan pertanian secara umum belum kelihatan secara nyata. Dukungan politik Pemda khususnya dalam meningkatkan kompetensi Penyuluh Pertanian agar mampu mengubah perilaku masyarakat sebagai sasaran penyuluhan belum kelihatan bahkan semakin menurun jika dibandingkan dengan dukungan politik Pemda di tahun 1980-an. Terbatasnya dana yang disiapkan Pemda untuk para Penyuluh Pertanian mengikuti diklat-diklat teknis terutama yang diselenggarakan di luar Daerah adalah salah satu contoh menurunnya dukungan politik Pemda di bidang penyuluhan. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian pun seringkali macet karena terbatasnya dana yang ada; para Penyuluh Pertanian tidak bisa melakukan kegiatan secara reguler kepada para petani, padahal petani di desa-desa yang masih tradisional sangat mengharapkan adanya bimbingan para penyuluh pertanian. Perhatian Pemda terhadap pengembangan dan kemajuan sektor industri dan non pertanian jauh lebih besar daripada sektor pertanian.
48 Minimnya dukungan politik ini terutama terlihat dalam kebijakankebijakan publik di bidang pertanian yang tidak mengakomodasi kepentingan petani secara signifikan. Dalam kondisi kurangnya dukungan politik Pemda terhadap pembangunan pertanian, motivasi para Penyuluh Pertanian pun ikut menurun. Adanya restrukturisasi organisasi-organisasi penyuluhan sebagai salah satu akibat diterapkannya Otonomi Daerah ikut serta mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian. Puspadi (2003:116) mengatakan bahwa tingkat motivasi kerja penyuluh pertanian saat ini berhubungan dengan: pertama, perubahan-perubahan organisasi penyuluhan. Pengorganisasian penyuluhan pertanian yang berubahubah menyebabkan penyuluh pertanian bersikap agak negatif terhadap profesinya. Penyuluh Pertanian merasakan profesinya sebagai kelinci percobaan, merasakan profesinya diremehkan sehingga semangat kerja menurun; kedua, penghargaan terhadap penyuluh pertanian relatif sangat rendah. Dulu penghargaan terhadap penyuluh pertanian sangat tinggi dan diperhatikan baik oleh pemerintah maupun oleh petani. Ketiga, kegiatan penyuluh pertanian lapangan bersifat rutin dari tahun ke tahun. Penyuluh Pertanian sering merasa jenuh karena yang dikerjakan setiap tahun adalah hal yang sama, bersifat rutin dan membosankan. Berbagai hal ini akan mempengaruhi semangat dan motivasi mereka di dalam upaya meningkatkan kompetensi di bidang penyuluhan. Dukungan Finansial, Sarana dan Prasarana Pelaksanaan Otonomi Daerah yang cenderung mereduksi peranan para penyuluh pertanian tidak saja membatasi peningkatan kompetensinya, tetapi juga kinerja penyuluhan pertanian itu sendiri;
Ketersediaan dana yang tidak
mencukupi kebutuhan penyuluhan menyebabkan kinerja penyuluhan pun menjadi macet. Menurut Atmodiwirio (2002), ada tiga unsur utama yang memungkinkan berjalannya sebuah organisasi, yakni sumber fisik, sumber keuangan dan sumberdaya manusia. Ketiga sumberdaya ini saling melengkapi satu sama lain. Kekurangan sumberdaya yang satu akan mempengaruhi sumberdaya lainnya. Selama pelaksanaan otonomi daerah, ketiga sumberdaya ini praktis tidak memadai dalam rangka menciptakan kinerja penyuluhan yang diharapkan petani.
49
Perubahan Paradigma Penyuluhan Perubahan paradigma penyuluhan terjadi sebagai akibat perubahan paradigma pembangunan pertanian. Adanya perubahan context dan content pembangunan pertanian membawa konsekuensi perlu adanya penataan kembali penyuluhan pertanian kita (Soedijanto, 2004:2). Menurut Soedijanto, perubahan orientasi pembangunan pertanian akan membawa konsekuensi perubahan contentnya. Pembangunan pertanian sebelum masa krisis bertujuan untuk meningkatkan produksi terutama pangan sebagai realisasi dari Revolusi Hijau di Indonesia, yang kemudian disusul dengan produksi bahan baku industri dan bahan ekspor. Untuk mencapai tujuan ini, maka yang dibangun pemerintah adalah usaha tani (on farm) yang pada saat itu dilakukan melalui kebijaksanaan Trimatra (usaha tani terpadu, komoditi terpadu dan wilayah terpadu) dengan empat usaha pokok yaitu: (1) intensifikasi, (2) ekstensifikasi, (3) rehabilitasi, dan (4) diversifikasi. Kebijakan pembangunan pertanian mengalami perubahan terutama setelah terjadinya krisis moneter dan ekonomi dan semakin tajamnya persaingan produk pertanian di tingkat Internasional. Tujuan pertanian bukan lagi hanya untuk meningkatkan produksi pangan tetapi juga meningkatkan pendapatan dan nilai tambah dari produktivitas pertanian itu. Untuk mencapai tujuan itu, masih menurut Soedijanto, yang kita bangun adalah pertanian agribisnis meliputi pembangunan subsistem hulu, on farm (usaha tani), hilir dan jasa penunjang. Sebagai bagian dari sistem agribisnis membangun subsistem usaha tani (on farm) tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa membangun subsistem lainnya, yaitu hulu, hilir dan penyedia jasa penunjang. Pertanian agribisnis yang dibangun adalah agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi. Berdasarkan perubahan context dan content pembangunan pertanian itu, maka paradigma penyuluhan pertanian pun berubah. Dulu sasaran penyuluhan pertanian adalah petani dan keluarganya, sekarang sasaran penyuluhan pertanian adalah pelaku agribisnis yang berada di lima subsistem agribisnis, yaitu: (1) pengusaha hulu, (2) pengusaha tani, (3) pengusaha hilir, (4) pedagang, dan (5) penyedia jasa penunjang. Pengusaha hulu misalnya produsen pupuk, produsen bibit/benih, produsen pestisida, produsen alat dan mesin pertanian; pengusaha tani
50 teridir dari petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternak; pengusaha hilir adalah pengusaha yang bergerak di bidang pengolahan hasil (agroindustri) seperti pembuat bahan pengepakan (keranjang, kotak kayu, kotak kardus), pembuat bahan labeling, pengusaha processing dan pengolahan hasil, pengusaha yang melakukan sortasi dan grading hasil; pedagang terdiri dari pedagang hulu dan pedagang hilir. Yang termasuk pedagang hulu misalnya pedagang pupuk, pedagang bibit/benih, pedagang pestisida, pedagang alat dan mesin pertanian, kios dan toko sarana produksi; pedagang hilir terdiri dari pedagang produk primer dan pedagang produk olahan seperti pedagang pengumpul, pedagang perantara, grosir, pengecer, yang mereka lakukan di lokasi agribisnis, terminal agribisnis, lapak-lapak pinggir jalan, warung, toko dan pasar. Yang termasuk penyedia jasa penunjang adalah perbankan, perkreditan, koperasi, pergudangan, transportasi dan sebagainya (Soedijanto, 2004: 27). Dukungan Organisasi Penyuluhan Dukungan organisasi/lembaga penyuluhan dalam bentuk kekondusifan lembaga secara struktural dan sistematik memungkinkan semua elemen organisasi termasuk penyuluh pertaniannya memiliki modal sosial untuk bekerja sesuai dengan peranannya dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Pencapaian tujuan organisasi diukur dari kinerjanya dalam memuaskan pelanggannya. Pemenuhan kebutuhan pelanggan akan tercapai jika semua elemen organisasi memiliki kapasitas tertentu dalam bentuk kecakapan, kemampuan, strategi dan sebagainya. Kapasitas penyuluh pertanian ditentukan oleh kecakapannya dalam memberikan penyuluhan. Kecakapan (kompetensi) ini akan tercapai jika organisasi/lembaga penyuluhan memiliki berbagai sumberdaya sebagai aspek pendukungnya, baik sumberdaya ekonomi maupun sumberdaya berupa sistem yang kondusif serta akses untuk memudahkan tercapainya kecakapan-kecakapan tersebut. Dukungan Masyarakat (LSM, PT) Menurut UNDP (Widodo, 2001) dalam konsep negara modern ada tiga elemen kunci yang saling terkait dan menentukan pembangunan suatu negara, yaitu: (1) state (negara/pemerintah) yakni lembaga-lembaga politik dan lembaga sektor publik, (2) sektor swasta/pasar (market) meliputi perusahaan-perusahaan
51 swasta yang bergerak di berbagai bidang dan sumber informasi lain di pasar, dan (3) masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi dengan aturan formal ataupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi sebagai bagian dari civil society organizations memainkan peran tersendiri dalam pembangunan pertanian dan penyuluhan baik dalam bentuk aksi sosial dan advokasi maupun kegiatan pemberdayaan masyarakat pada umumnya. Organisasi-organisasi swasta dan universitas adalah elemen penting lain dalam memberdayakan masyarakat. Universitas tidak boleh hanya mengembangkan teori tetapi juga menggunakan teori untuk menolong rakyat miskin (van den Ban dan Hawkins, 1999). Dukungan Keluarga Dalam suatu sistem sosial, keluarga adalah subsistem terkecil yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak manusia selanjutnya. Pada awal kehidupan manusia, agen sosialisasi seorang anak adalah orang tua dan saudara kandungnya. Dalam masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended familiy), agen sosialisasi lebih banyak lagi seperti nenek, kakek, paman, bibi dan lain-lain (Sunarto, 2000). Di dalam dan melalui keluargalah seorang anak manusia mulai belajar bagaimana ia hidup. Kebiasan-kebiasan belajar, norma, kelakuan dalam rumah tangga akan sangat menentukan perilaku selanjutnya. Fenonena proses belajar yang berawal dari keluarga juga menjadi fenomena proses belajar seorang penyuluh pertanian. Keluarga adalah tempat awal semua tata nilai disosalisasikan dan kemudian diteruskan di sekolah, lingkungan bermain, lingkungan sosial masyarakat secara umum. Perilaku disiplin, jujur, keingintahuan, suka belajar dan mencari hal-hal baru berawal dari didikan keluarga. Keluarga adalah “sekolah”pertama bagi seorang anak manusia. Situasi, kondisi, norma yang berlaku dalam keluarga, perilaku rumah tangga akan mempengaruhi perilaku seseorang. Dukungan awal keluarga terhadap keseluruhan perilaku orang termasuk penyuluh pertanian menentukan perilaku dan sikapnya. Motivasi untuk maju dan suka bekerja keras, hidup yang disiplin dan kemauan
52 untuk belajar tidak muncul begitu saja. Semua perilaku itu berada dalam suatu proses yang bermula dari kehidupan keluarga. Dukungan Informasi Kekayaan informasi akan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang penyuluh pertanian
akan
menjadi
landasan
yang
kuat
dalam
melaksanakan tugasnya sebagai komunikator pembangunan. Informasi diperoleh dari berbagai sumber baik buku, majalah, media komunikasi modern baik cetak maupun elektronik, maupun dari hasil pergaulan dan hubungan sosial dengan orang lain. Semua ide, gagasan, wacana yang digali dari berbagai sumber itu dapat memperkaya pengetahuan, sikap dalam melihat berbagai nilai dan menambah ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan sebagai Penyuluh. Makin banyak informasi yang dipelajari seseorang makin tinggi pula nilai, kreativitas yang dihasilkan dari proses belajar itu yang pada gilirannya mampu mengembangkan kompetensi. Di lain pihak, menurut sumber dan alur informasinya, Lionberger dan Gwin (1983) membagi informasi berupa: (1) informasi tentang hasil-hasil temuan yang dihasilkan oleh para peneliti (melalui para penyuluh) kepada masyarakat penggunanya, dan (2) umpan balik (baik berupa laporan keberhasilan maupun masalah yang dijumpai/dihadapi) dari penerapan hasil penelitian yang disampaikan masyarakat pengguna (melalui penyuluh kepada peneliti). Dukungan Teknologi Pertanian Teknologi sebagai hasil daya cipta manusia berfungsi untuk memudahkan cara manusia bekerja. Teknologi, mulai dari yang paling tradisional sampai yang paling modern menjadi bagian dari kebudayaan dan cara hidup manusia itu. Kahar (Dyah, 1997:26) mengatakan bahwa teknologi bukan sekedar alat, melainkan suatu sistem yang kompleks terdiri dari berbagai unsur yang mewujudkan fungsi transformasi. Teknologi merupakan kombinasi empat komponen dasar yang saling berinteraksi dan bersama-sama mewujudkan fungsi transformasi. Ke empat komponen tersebut adalah (1) peralatan atau mesin yang merupakan perwujudan fisik dari teknologi (technoware), (2) ketrampilan dan pengetahuan yang merupakan perwujudan yang melekat pada manusia yang terkait dengan teknologi
53 tersebut (humanware), (3) informasi dan fakta yang merupakan perwujudan yang melekat pada dokumen yang relevan dengan operasi teknologi (infoware), dan (4) pengorganisasian dan keterkaitan sistem yang memungkinkan pengaturan ketiga komponen sebelumnya secara efektif melaksanakan fungsi transformasi (orgaware). Teknologi khususnya teknologi pertanian adalah alat yang memudahkan petani untuk mencapai tujuan usahataninya secara maksimal. Ada dua jenis teknologi pertanian yaitu (1) teknologi kimiawi biologis seperti bibit unggul hasil rekayasa genetik, pupuk atau obat-obatan/pestisida, dan (2) teknologi mekanisasi seperti traktor, alat penggiling padi/jagung, alat bajak modern dan sebagainya. Penggunaan teknologi pertanian dalam usahatani bertujuan agar petani mampu meningkatkan produktivitas hasil panennya sesuai dengan harapannya. Struktur Organisasi Penyuluhan Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau sekolompok tujuan. Struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti (Robbins, 1994:46). Dengan kata lain, struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi tersebut mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur hubungan antar orang dan antar kelompok untuk mencapai tujuan (Slamet, 2004). Dalam penelitian ini, ada enam variabel struktur organisasi yang ingin dikaji yakni (1) besaran organisasi, (2) pengawasan (3) struktur wewenang (4) struktur komunikasi, (5) pola kepemimpinan, dan (6) sistem “reward and punishment”
dikaji hubungannya dengan kompetensi penyuluh pertanian dan
kinerja penyuluhan. Struktur organisasi penyuluhan yang selama pelaksanaan otonomi
daerah
mengalami
perubahan-perubahan
dan
mempengaruhi moral kerja para penyuluh dan kinerja penyuluhan.
restrukturisasi