Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
Oleh: Adi Susila1 dan Yayan Rudianto2 Abstract
The development and progress of UNISMA organization which is slow up compared to other universities is caused by the gap between organization culture that is internalized with daily practice in organization. In the formulation from the expert, organization has no strong dominant culture so the culture that is developed is disfunctional culture or also known as toxic culture. With instrument formulated by Gostick & elton (2012), consisted of 14 questions with yes or no answer, the result shows that 1 respondent (1,7%) perceives that there is no problem in existed values in organization. 10 respondents (16,6 %) perceive that there is problem symptom in organization culture that needs to be cautioned and the organization must study to do improvement. And the rest, 49 respondents (81,74%) perceive that is there is gravity in organization culture because the existing culture is disfunctioned (toxic culture) toward organization that needs help from other to fix.
Keywords: Toxic Culture, organizational culture, Unisma Bekasi.
A. Latar Belakang Pada era persaingan sekarang ini semua entitas bisnis dituntut untuk dapat memenangkan persaingan minimal bertahan untuk tetap hidup. Kotler (1996) dalam Purwanto (2008:84) mengatakan bahwa ekonomi global lebih banyak menciptakan resiko sekaligus peluang bagi setiap orang, mendorong perusahaan-perusahaan untuk membuat kemajuan dramatis tidak hanya dari segi kemampuan bersaing dan kepemilikan asset, tetapi juga semata-mata untuk tetap bertahan. Perubahan lingkungan bisnis yang cepat dan semakin kompetitif menuntut perusahaan atau organisasi mengaplikasikan nilai-nilai dominan yang inovatif dan berorientasi pada pelanggan. Dalam beberapa kasus perusahaan atau organisasi yang dapat bertahan umumnya memiliki budaya organisasi yang kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 2
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam 45 Bekasi Dosen program Studi Ilmu Pemerintahan, STISIP Tasikmalaya
1
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
Budaya organisasi dibentuk berdasarkan corporate philosophy dari pendiri yang terdiri dari nilai-nilai yang diyakini memberi kebaikan bagi jalannya perusahaan. Nilai-nilai tersebut diinternalisasikan untuk menjadi pegangan atau pedoman bagi semua anggota organisasi. Pilihan nilai-nilai dalam budaya organisasi merupakan cerminan bahwa organisasi/perusahaan tidak hanya memiliki tujuan material dalam bentuk keberhasilan financial (financial goals) tetapi juga mempertimbangkan moralitas dan etika. Oleh karena nilai-nilai yang terkandung dalam budaya organisasi menjadi pedoman bagi anggota organisasi dalam berpikir, bersikap dan berperilaku maka budaya organisasi harus selalu disosialisasikan secara terus-menerus. Satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan nilai dalam budaya organisasi adalah harus dimengerti, artinya setiap anggota organisasi mengadopsi nilai-nilai tersebut bukan karena terpaksa tetapi karena kesadaran dan juga bukan kepura-puraan. Rumusan budaya organisasi bukan hanya pertimbangan keindahan rangkaian kata-kata penghias dinding tetapi pertimbangan berdasarkan corporate philosophy yang applicable. Kasali (2012) mengatakan kasus Enron yang diterpa skandal kebohongan, manipulasi dan korupsi tahun 2001 menunjukkan bahwa rumusan budaya organisasi hanya sebagai penghias dinding yang tidak diimplentasikan secara sungguh-sungguh oleh organisasi. Disamping kisah Enron diatas, ada beberapa perusahaan yang dapat bertahan berabad-abad karena memiliki budaya organisasi yang kuat. Sebut saja, Stora Enso sebuah perusahaan kertas, biomaterial, produk kayu dan industry pengemasan yang memiliki pabrik di 35 negara tahun ini telah berumur 727 tahun, memiliki 3 tata nilai, yakni: create = kreativitas untuk mnemukan kembali diri dan mencapai kesusksesan bisnis; renew = setiap hari membangun masa depan yang berkesinambungan; trust = mengenali talenta-talenta SDM dengan kesempatan untuk belajar dan tanggung jawab menuju sukses (2010:86). Toraya sebuah perusahaan makanan kecil di Jepang yang telah berumur 478 tahun memiliki nilai-nilai yang diwariskan secara turun temurun sehingga Toraya telah pegang oleh generasi ke-17. Demikian juga Faber Castell yang berdiri tahun 1761 di Jerman dan sekarang dipegang oleh generasi ke-8 memiliki tata nilai yang terdiri dari 4 komponen, yakni: 1.
Kompetensi dan tradisi;
2.
Kualitas yang terkenal;
3.
Inovasi dan kreativitas;
4.
Tanggung jawab social dan lingkungan.
2
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
Disamping perusahaan skala dunia, kita juga memiliki beberapa perusahaan yang tetap bertahan selama puluhan tahun, seperti: Perhutani, PT. Pos Indonesia, BRI, Pertamina, Astra, Sidomuncul, Sampurna dan masih banyak lagi. Kesemua perusahaan tersebut tetap eksis karena memiliki budaya perusahaan yang kuat dan applicable. Dalam dunia pendidikan di Indonesia terutama perguruan tinggi kita mengenal Universitas Islam Indonesia sebagai perguruan tinggi swasta pertama di Indonesia, sedang UI, ITB, UGM dikenal sebagai perguruan tinggi negeri tua di negeri ini. Universitas Islam ‘45’ Bekasi sebagai perguruan tinggi pertama di Bekasi tetap bertahan di umurnya yang ke 27. Tentu saja keadaan lingkungan organisasi pada awal berdiri dengan saat ini sudah jauh berbeda, saat berdiri UNISMA tidak memiliki saingan dan 15
kemudian
UNISMA telah dikelilingi oleh pesaing. Dilihat dari kemampuan bertahan dapat dipersepsikan bahwa UNISMA sebagai organisasi memiliki budaya atau tata nilai yang kuat, namun apabila kita membandingkan dengan perguruan tinggi yang seumur maka kondisi UNISMA jauh tertinggal. Pada perjalanannya UNISMA pernah merumuskan tata nilai amar makruf nahi mungkar sebagai spirit untuk mewujudkan kampus khairu ummah, kemudian tata nilai tersebut diperbaiki dengan mengintrodusir nilai-nilai sidiq, amanah, fathonah dan tablig. Menurut pengamatan awal nilai-nilai luhur tersebut kurang berhasil diinternalisasikan pada anggota organisasi, secara fisik kondisi kampus jauh dari islami: halaman kotor, parkir sembarangan, kamar mandi jorok, ruang kelas tidak teratur, sampah berserakan, merokok sembarangan dan sebagainya. Sedang kondisi non fisik tercermin dari iklim organisasi yang banyak konflik, semangat kerja karyawan rendah, suksesi kepemimpinan tidak pernah mulus, saling curiga (kurang adanya trust), berkembangnya rumor terkait pimpinan maupun owner. Dengan demikian terjadi gap antara nilai-nilai dalam budaya organisasi dengan eksisting perilaku para anggota organisasi. Kondisi yang terjadi seperti digambarkan diatas terbentuk karena kuatnya budaya disfungsional dan lemahnya budaya fungsional. Organisasi kurang berhasil merumuskan nilai-nilai yang disepakati dan menyadarkan pentingnya tata nilai dalam organisasi. Sehingga penting kiranya untuk melakukan kajian atau penelitian terkait budaya organisasi di UNISMA dengan mengambil judul: Hubungan Status Pegawai dengan Persepsi Adanya Toxic Culture di Universitas Islam ‘45’ Bekasi.
3
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
B. Identifikasi Masalah: 1. Bagaimana persepsi dosen dan pegawai (staf administrasi) tentang adanya toxic culture di Universitas Islam ‘45’ Bekasi. 2. Adakah ada perbedaan persepsi adanya toxic culture pada dosen dan pegawai (staf administrasi). 3. Budaya-budaya disfungsional apa saja yang dipersepsikan oleh dosen dan pegawai berkembang dalam organisasi. C. Kerangka Teori Beberapa penelitian yang relevan untuk menjadi acuan antara lain penelitian yang dilakukan oleh Budihardjo (2008) yang mengemukakan bahwa dominasi budaya organisasi (nilai-nilai berasosiasi positif) berkorelasi dengan kinerja organisasi. Budaya kuat memfasilitasi keefektifan organisasi yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan organisasi dalam bersaing dan berhasil. Organisasi yang memiliki budaya kuat akan mengarahkan perilaku pegawai untuk lebih konsisten, terkoordinasi dan terkendali serta mengurangi ketidakpastian dan mendorong motivasi, sehingga organisasi berbudaya kuat memiliki kinerja yang lebih baik dibanding organisasi berbudaya lemah (disfungsional). Rashid et al (2002) dalam penelitiannya membuktikan bahwa budaya perusahaan dan komitmen karyawan mempengaruhi kinerja financial perusahaan, hal ini didukung oleh Kotter & Heskett (1992) yang menyatakan bahwa budaya perusahaan mempunyai pengaruh signifikan pada kinerja jangka panjang perusahaan. Rashid menggunakan konsep
budaya dari Deshpande dan Farley (1999) yang mengklasifikasikan budaya
sebagai competitive, entrepreneurial, bureaucratic dan consecual serta menggunakan konsep komitmen dari Allen & Meyer (1990) yaitu affective, continuance dan normative commitment. Terakhir
penelitian
ini
terinspirasi
oleh
beberapa
pengamatan
maupun
pengalaman yang dilakukan oleh Kasali dalam mengawal perubahan budaya organisasi dari perusahaan milik Negara (BUMN) seperti Pertamina, Garuda, PT. Pos Indonesia, Sidomuncul, Astra Internasional dan sebagainya. Semua pengamatan dan pengalaman tersebut tertuang dalam beberapa buku antara lain: Change!, Re-code DNA, Craking Value. Ada beberapa kemungkinan timbulnya gap antara rumusan budaya organisasi dengan praktek yang tercermin dalam perilaku anggota organisasi. Kemungkinan rumusan nilai-nilai dalam budaya organisasi memiliki abstraksi yang terlalu tinggi sehingga sulit diimplementasi dalam dunia nyata. Nilai-nilai yang tercermin dalam budaya
4
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
organisasi sebaiknya dipilih nilai yang benar-benar diinginkan atau disepakati anggota organisasi, sehingga ada kesesuaian antara yang diinginkan/ideal (das sollen) dengan yang senyatanya dipraktekan (das sein). Kemungkinan kedua, tidak adanya role model dalam organisasi yang bias menjadi panutan bagi anggota organisasi, dalam hal ini pada umumnya diperankan oleh pendiri atau owner serta jajaran pimpinan. Tanpa role model sulit bagi seseorang untuk merubah perilaku, karena sebagian besar perilaku manusia dilakukan berdasarkan imitasi (meniru). Kemungkinan ketiga, organisasi tidak memiliki strategi untuk mensosialisasikan nilai-nilai tersebut pada anggota organisasi. D. Metode Penelitian Untuk mendapatkan hasil yang seobyektif mungkin, maka dalam penelitian ini memakai jenis penelitian deskriptif, yaitu metode yang digunakan untuk laporan penelitian dengan maksud merekam suatu hal dengan sejelas-jelasnya, selengkap-lengkapnya dan seutuhnya. Selain itu metode ini bertujuan untuk membahas serta menggambarkan seluruh masalah ataupun keadaan yang terjadi di lapangan. Menurut Tan dalam Koentjaraningrat (1996:42) mengatakan penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan adanya hubungan tertentu, atau untuk menentukan adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.. Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: intrumen yang dirumuskan oleh Gostick dan Elto (2012) yaitu berupa angket/kuis yang berisi 14 pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak. Disamping itu, instrumen yang diperlukan adalah pedoman
wawancara (interview guide), digunakan sebagai pedoman untuk
melakukan focus group discussion dengan informan (sumber data primer) yang terpilih. Penelitian ini memakai instrumen yang dirumuskan oleh Gostick dan Elto yang terdiri dari 14 pernyataam dimana responden diminta memberi ceklis apabila
setuju
dengan pernyataan atau kondisi organisasi cocok dengan pernyataan dan membiarkan apabila pernyataan tidak cocok dengan keadaan organisasi. Analisis dilakukan dengan menghitung banyaknya ceklis pada lembar kuesioner, apabila tidak ada satu ceklispun pada lembar kuesioner artinya tidak ada masalah budaya organisasi pada obyek yang diteliti, apabila jumlah ceklis sebanyak 1-4 maka ada indikasi adanya masalah budaya organisasi pada organisasi yang diteliti. Apabila banyaknya jumlah ceklis sebanyak lebih
5
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
dari 4 artinya terdapat masalah budaya organisasi yang cukup gawat sehingga perlu melibatkan pihak luar (konsultan) untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut. Dalam kuesioner peneliti juga meminta informasi terkait status pegawai (dosen atau staf administrasi) untuk memperoleh informasi apakah terdapat keterkaitan atau perbedaan persepsi antara status pegawai dengan adanya budaya disfungsi (toxic culture) dalam organisasi. Disamping itu peneliti juga menganalisis apakah ada hubungan antara masa kerja pegawai dengan persepsi adanya toxic culture. E. Pembahasan Hasil
1.
Persepsi Dosen dan Staf Administrasi Adanya Toxic Culture Berdasarkan data primer yang diperoleh dari penyebaran angket dari responden
yang terdiri dari 30 dosen dan 30 staf administrasi dapat disajikan dalam tabel 3.2. berikut ini. Tabel 5.3. Jawaban Responden n = 60 No 1
Keterangan Tidak ada diceklis
Dosen 0
Staf Administrasi 1
2
Ceklis 1-4
5
5
3
Ceklis > 4
25
24
Jumlah
30
30
Sumber: Hasil Penelitian, 2015
Merujuk pada analisis yang diberikan oleh Gostick dan Elton bahwa apabila pertanyaan dalam instrumen tes tersebut dijawab oleh responden tidak ada ceklis pada 13 pernyataan yang diajukan berarti organisasi tidak memiliki masalah budaya disfungsi, apabila memiliki jumlah ceklis kurang dari atau sama dengan 4 berarti organisasi butuh meninjau ulang nilai-nilai budaya yang berlaku dalam organisasi dan apabila banyaknya ceklis lebih dari 4 maka organisasi membutuhkan pertolongan konsultan untuk memperbaiki budaya organisasi yang selama ini berjalan. Oleh karena itu, data diatas dapat kita simpulkan bahwa hanya 1 responden (1,7%) yang mempersepsikan bahwa tidak ada masalah pada nilai-nilai yang eksis dalam organisasi. Selanjutnya 10 responden (16,6%) mempersepsikan bahwa ada gejala masalah pada budaya organisasi yang perlu diwaspadai dan organisasi harus mengkaji untuk dilakukan perbaikan. Sedangkan
6
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
sisanya 49 responden (81,74%) mempersepsikan bahwa ada kegawatan dalam budaya organisasi, karena budaya yang ada selama ini disfungsi (toxic culture) terhadap organisasi sehingga perlu bantuan orang luar untuk memperbaikinya. Menurut peneliti istrumen yang dibuat Gostik dan Elton mampu memotret realita terkait budaya organisasi, hasil data yang kami peroleh seperti disajikan pada di atas merupakan realita yang terjadi di Universitas Islam’45’, bahwa memang kenyataan Unisma memiliki budaya organisasi yang disfungsional (toxic culture). Hal ini harus diterima untuk dilakukan perbaikan, karena budaya disfungsi yang ada dalam sebuah organisasi membuat organisasi stagnag bahkan mengalami kemunduran, padahal saat ini semua organisasi menghadapi lingkungan yang dinamis, memiliki persaingan yang sangat tinggi. Tanda perubahan dalam budaya organisasi akan kalah bersaing. 2.
Perbedaan Persepsi Dosen dan Staf Administrasi Adanya Toxic Culture Merujuk pada data diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi
antara dosen dengan staf administrasi terhadap kondisi organisasi utamanya dalam hal budaya organisasi fungsional maupun disfungsional yang berlaku selama ini. Dosen dan staf administrasi yang memberi tanda ceklis 1-4 pada umumnya dosen dan staf administrasi yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun sehingga belum begitu mengenal organisasi atau dapat juga mereka masih takut bahwa pengisian kuesioner ini berdampak pada karier karena menguragi kondite yang bersangkutan. Apabila dilihat dari per-item pernyataan yang diajukan (sesuai instrumen dari Gostick dan Elton) terdapat berbedaan antara pernyataan yang dipilih oleh dosen dengan staf. Hal itu dapat diinterpertasikan bahwa apa yang dianggap penting pada nilai-nilai dalam budaya organisasi berbeda antara dosen dengan staf. Berikut ini peneliti sajikan rekapitulasi jawaban responden dalam tabel 5.4.
7
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
Tabel 5.4. Rekapitulasi Jawaban Responden
Peryataan 1
2
3
4
5
6
7
1 8
9
8
Uraian Pernyataan
Dosen (F)
Staf (F)
Pemimpin-pemimpin disini tampak sangat tidak focus dalam menghadapi berbagai tantangan penting dan kesempatan yang muncul dari berbagai masalah yang timbul Terlalu banyak penekanan pada hasil-hasil jangka pendek (short term result) atau semata-mata mengejar bonus. Seringkali mengorbankan investasi jangka panjang Terlalu banyak penekanan pada hasil-hasil jangka pendek (short term result) atau semata-mata mengejar bonus. Seringkali mengorbankan investasi jangka panjang Akuntabilitas penilaian kinerja disini terlalu rendah, jauh dibawah standar. Tim tidak memiliki kewenangan untukmenyelesaikan masalah/pekerjaan melewati batas-batas fungsi untuk bekerjasama. Tidak banyak kepercayaan dalam manajemen, melainkan kita vs mereka Rasa urgensi untuk berkembang tidak banyak terlihat, pemimpin-pemimpin nampaknya berfikir semuanya sudah cukup bagus dengan cara ini. 2
12
17
18
12
19
17
12
10
13
12
19
15
17
17
3
4
Belum banyak ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini. Dalam banyak kesempatan, kita tidak tahu apa yang
23
19
17
21
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
tengah terjadi di dalam perusahaan atau bahkan di dalam departemen kita sendiri Kami tidak terbiasa memberikan umpan balik nyata atau berdiskusi secara tangguh. Saya rasa tidak pantas memberikan penilaian yang jujur. Banyak perhatian yang diberikan kepada keberhasilan masa lalu, dan bukannya jujur menilai situasi saat ini Tidak banyak merayakan pencapaian keberhasilan Orang-orang terbaik kami tampaknya meninggalkan perusahaan/lembaga menuju tempat lain
10
11
12 13
11
11
9
12
17
14
13
23
Sumber: Hasil Penelitian 2015.
Merujuk data pada table 2.3. terlihat bahwa pernyataan yang paling banyak dipilih oleh dosen adalah pernyataan nomor 8 (belum banyak ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini) dapat diinterpetasikan bahwa menurut para dosen inovasi merupakan nilai yang perlu dibudayakan, disemai dan difasilitasi agar tumbuh dan menyebar di seluruh lini organisasi. Artinya kondisi seperti dalam pernyataan nomor 8 ini yang tidak ada pada Unisma dan para dosen memandang nilai-nilai tersebut perlu ada dalam organisasi. Selain nomor 8, para dosen juga memilih pernyataan nomor 3 (Terlalu banyak penekanan pada hasil-hasil jangka pendek (short term result) atau semata-mata mengejar bonus. Seringkali mengorbankan investasi jangka panjang) dan nomor 6 (Tidak banyak kepercayaan dalam manajemen, melainkan kita vs mereka). Para dosen memandang apa yang dilakukan oleh manajemen lebih berorientasi pada jangka pendek, tidak pernah berfikir
ataupun
memiliki
rencana
jangka
panjang
yang
secara
konsisten
diimplementasikan, memang secara formal organisasi memiliki dokumen rencana jangka panjang. Perlu disadari bahwa kualitas lembaga pendidikan tidak bisa dibangun dalam waktu yang pendek, melainkan jangka panjang lewat pendidikan yang berkelanjutan dan tidak dapat dilakukan secara instan. Pemikiran jangka panjang tersebut kurang dimiliki manajemen (maupun Yayasan) sehingga perkembangan Unisma sangat lambat dibanding perguruan tinggi pesaing, Unisma kurang mampu membuat loncatan ke depan.
9
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
Selanjutnya dosen memperssepsikan bahwa banyak ketidak percayaan pada manajemen, manajemen yang notabene diisi oleh para dosen, namun pada saat duduk dalam jajaran manajemen bertindak sebagai
entitas tersendiri yang berbeda dengan
aspirasinya dengan dosen pada umumnya, sehingga secara umum terjadi kurangnya trust antara manajemen dengan dosen. Keadaan ini terjadi karena secara implisit ada kekurangpercayaan antara civitas dengan yayasan dan masyarakat Unisma tidak dapat berkomunikasi langsung dengan yayasan melainkan diwakili oleh manajemen dan karena kekurangterbukaan serta ketidaktegasan manajemen terhadap yayasan memunculkan jarak antara manajemen dengan masyarakat Unisma tertutama dosen. Berbeda dengan pilihan pernyataan oleh dosen, pilihan pernyataan yang banyak dipilih oleh karyawan (staf administrasi) adalah penyataan nomor 13 (Orang-orang terbaik kami tampaknya meninggalkan perusahaan/lembaga menuju tempat lain). Artinya para karyawan mempersepsikan bahwa kondisi yang sangat menghawatirkan pada organisasi adalah banyaknya SDM terbaik yang keluar atau pindah bekerja di tempat lain. Realita ini memang terjadi pada organisasi, beberapa tahun terakhir ini ubanyak dosen yang keluar dan pindah ke tempat lain. Persepsi karyawan ini agak mengherankan karena justru pada kalangan karyawan (staf administrasi) sendiri tidak ada arus keluar atau pindah kerja, kebanyakan SDM yang melakukan pindah kerja (turn over) adalah dosen, tetapi justru yang koncern terhadap fenomena tersebut adalah karyawan. Realita ini merupakan indikasi bahwa terdapat budaya yang disfungsi (toxic culture) yang membuat orang-orang terbaik tidak kerasan atau tidak nyaman dalam organisasi. Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan diatas rata-rata berada dalam organisasi yang memiliki banyak budaya disfungsi dapat membuat potensi yang dimiliki SDM menjadi tidak berkembang, atau tidak berkembang maksimal. Selanjutnya, pernyataan yang paling banyak dipilih sesudah nomor 13 adalah nomor 9 (Dalam banyak kesempatan, kita tidak tahu apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan atau bahkan di dalam departemen kita sendiri) dan nomor 8 (belum banyak ide-ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini). Pernyataan nomor 9 dapat diinterpetasikan bahwa ada hambatan komunikasi atau terjadi kesenjangan komunikasi dan ketidaktransparanan pada hal-hal yang terjadi dalam organisasi, sehingga karyawan atau orang-orang yang ada dalam organisasi tidak tahu menahu apa sesungguhnya yang terjadi dalam unit
maupun organisasi secara keseluruhan dan mengembangkan
persepsinya sendiri-sendiri. Kondisi seperti ini menandakan buruknya budaya organisasi, terdapat
budaya
bahwa
masing-masing
personil
dapat
(memiliki
potensi)
menyembunyikan informasi dari orang lain atau mendominasi informasi hanya untuk
10
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
kelompoknya, mereka tidak sadar bahwa perilaku tersebut sangat merugikan organisasi. Informasi yang seharusnya diketahui semua anggota organisasi hanya diketahui oleh orang-orang tertentu sehingga masalah-masalah yang timbul dalam organisasi tidak dapat dicari solusi secepatnya, masalah kurang bisa diantisipasi atau menimbulkan reaksi/keputusan
yang
tidak
seragam
karena
masing-masing
orang
dapat
mengembangkan persepsinya sendiri terhadap masalah dan solusinya. Ranking ketiga adalah pernyataan nomor 8 (belum banyak ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini), pilihan pernyataan ini adalah sama dengan yang dipilih dosen (ranking 1 untuk kelompok responden dosen). Artinya, apa yang dipersepsikan dosen sama dengan karyawan tetapi dengan tingkat urgensi yang berbeda. Karyawan juga melihat bahwa terdapat kondisi dimana stagnasi pemikiran terjadi dalam organisasi. Kondisi ini bisa diinterpetasikan bermacam-macam, bisa jadi memang terjadi penurunan kualitas SDM dalam organisasi karena banyak SDM yang berpotensi keluar/pindah kerja sehingga di dalam organisasi yang terttinggal hanya SDM kelas 2 yang kurang berkualitas. Hal ini juga merupakan indikator menurunnya semangat kerja SDM sebagai dampak dari iklim organisasi yang tidak memberi ruang dan memberi respon yang negatif pada orang-orang yang melontarkan ide-ide bagus pada organisasi, sehingga ada keengganan untuk menyampaikan ide-ide pada organisasi.
3.
Budaya-budaya
Disfungsional
yang
di
persepsikan
Dosen
dan
Staf
Administrasi Selanjutnya dari hasil diskusi fokus grup yang dilakukan pada kelompok dosen dan staf dengan membahas rangking 1, 2, 3 dari pernyataan yang dipilih oleh masingmasing kelompok. Untuk kelompok dosen fokus diskusi diarahkan untuk membahas dan mengidentifikasi budaya disfungsi yang tersirat pada pernyataan nomor 8 (rangking 1), pernyataan nomor 3 dan nomor 6 (rangking 2 dan 3). Sedangkan untuk kelompok staf adminitrasi fokus diskusi diarahkan untuk mengkaji dan mengidentifikasi budaya disfungi yang tersirat pada pernyataan nomor 13 (rangking 1), pernyataan nomor 9 (rangking 2) dan pernyataan nomor 8 (rangking 3). Dalam fokus grup kelompok dosen yang mengkaji pernyataan nomor 8, 3 dan 6 dapat diidentifikasi beberapa budaya disfungi yang terjadi dalam praktek organisasi sehari-hari, antara lain: budaya tidak menghargai keahlian seseorang, pendapat atau ideide bawahan, kurang cepat menanggapi masalah, lambat mengambil keputusan karena takut salah atau tidak berani mengambil resiko, lambat mengeksekusi yang sudah
11
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
diputuskan, kurang adanya trust antara owner dengan manajemen dan antara manajemen dengan unit, berpikir reaksioner, kurang visioner dan kurang mampu memanfaatkan data,
manipulatif, kurang transparan, kurang mampu memilih skala
prioritas. Pada fokus grup yang dilakukan pada kelompok staf administraasi yang mengkaji pernyataan nomor 13, 9 dan 8 dapat diidentifikasi beberapa budaya disfungi yang terjadi dalam praktek organisasi sehari-hari, antara lain: tidak mampu mengelola dan mengembangkan SDM, diskriminatif, lempar tanggungjawab, sering menunda masalah, kurang empati satu dengan yang lain (ego sektoral, ego kelompok), tidak ada teladan, tidak konsisten terhadap aturan (terkadang sangat taat aturan, suatu waktu aturan dilanggar), kurang mampu membedakan yang penting dan kurang penting, nilai-nilai unggul hanya sekadar hiasan. Dari identifikasi budaya disfungsi tersebut maka peneliti memberikan rekomendasi bahwa budaya disfungsi tersebut sedikit demi sedikit harus diganti dengan budaya yang fungsional. Proses penciptaan budaya fungsional harus dilakukan bersama antara unsurunsur yang ada dalam organisasi. Komitmen tersebut harus ditumbuhkan bersama agar proses sosialisasi budaya fungsional dapat berlangsung berkesinambungan, bukan karena keinginan satu pihak saja melainkan kepentingan bersama. Proses introdusir budaya baru yang fungsional tersebut harus dilakukan agar iklim organisasi dapat diperbaiki dan dalam jangka waktu tertentu kinerja organisasi dapat meningkat, seperti telah dibuktikan oleh beberapa penelitian sebelumnya bahwa budaya yang fungsional dapat meningkatkan kinerja organisasi dan kinerja keuangan dalam jangka panjang. Hal-hal jangka pendek yang dapat dilakukan manajemen untuk merubah atau mengganti budaya disfungsi menjadi budaya yang fungsional antara lain: dengan memperbaiki sistem manajemen yang lebih transparan, memperbaiki sistem dan cara berkomunikasi antar unit maupun antar individu, memberbaiki akuntabilitas para pejabat struktural baik pada jajaran rektoriat maupun unit sehingga akan tercipta trust antar unit maupun antar individu. Sebagai organisasi yang bernafaskan Islam kita telah merumuskan nilai-nilai yang menjadi ciri atau sifat kenabian yang sangat ideal, tinggal bagaimana membumikan dan mensosialisasikan nilai-nilai tersebut pada praktek seharihari dalam organisasi, perlu adanya seorang yang dapat menjadi tauladan (referens) perilaku bagi civitas akademika Unisma.
12
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
A. Simpulan 1.
Penelitian ini membuahkan berbagai simpulan, antara lain bahwa hanya 1 responden (1,7%) yang mempersepsikan bahwa tidak ada masalah pada nilai-nilai yang eksis dalam organisasi. Selanjutnya 10 responden (16,6%) mempersepsikan bahwa ada gejala masalah pada budaya organisasi yang perlu diwaspadai dan organisasi harus mengkaji untuk dilakukan perbaikan. Sedangkan sisanya 49 responden (81,74%) mempersepsikan bahwa ada kegawatan dalam budaya organisasi, karena budaya yang ada selama ini disfungsi (toxic culture) terhadap organisasi sehingga perlu bantuan orang/pihak luar (konsultan) untuk memperbaikinya.
2.
Selanjutnya, tidak ada perbedaan persepsi antara dosen dengan staf administrasi terhadap kondisi organisasi utamanya dalam hal budaya organisasi fungsional maupun disfungsional yang berlaku selama ini. Dosen dan staf administrasi yang memberi tanda ceklis 1-4 pada umumnya dosen dan staf administrasi yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun sehingga belum begitu mengenal organisasi atau dapat juga mereka masih takut bahwa pengisian kuesioner ini berdampak pada karier karena menguragi kondite yang bersangkutan.
3.
Terdapat perbedaan peryataan (berasal dari kuesioner) yang paling banyak dipilih antara dosen dengan staf adminitrasi, untuk dosen pernyataan nomor 8 (Belum banyak ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini), nomor 3 (Terlalu banyak penekanan pada hasil-hasil jangka pendek (short term result) atau semata-mata mengejar bonus. Seringkali mengorbankan investasi jangka panjang) .dan nomor 6 (Tidak banyak kepercayaan dalam manajemen, melainkan kita vs mereka). Sedangkan untuk staf administrasi, pernyataan yang paling banyak dipilih nomor 13 (Orang-orang terbaik kami tampaknya meninggalkan perusahaan/lembaga menuju tempat lain), nomor 9 (Dalam banyak kesempatan, kita tidak tahu apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan atau bahkan di dalam departemen kita sendiri) dan nomor 8 (Belum banyak ide baru yang bagus dapat muncul akhir-akhir ini).
B. Rekomendasi Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: 1.
Budaya organisasi disfungsi (toxic culture) tersebut sedikit demi sedikit harus diganti dengan budaya yang fungsional. Proses penciptaan budaya fungsional harus dilakukan bersama antara unsur-unsur yang ada dalam organisasi. Komitmen tersebut harus ditumbuhkan bersama agar proses sosialisasi budaya fungsional
13
Jurnal AKP│ Vol. 6 │ No.2 │Agustus 2016
dapat berlangsung berkesinambungan, bukan karena keinginan satu pihak saja melainkan kepentingan bersama. Proses introdusir budaya baru yang fungsional tersebut harus dilakukan agar iklim organisasi dapat diperbaiki dan dalam jangka waktu tertentu kinerja organisasi dapat meningkat, seperti telah dibuktikan oleh beberapa penelitian sebelumnya bahwa budaya yang fungsional dapat meningkatkan kinerja organisasi dan kinerja keuangan dalam jangka panjang. 2.
Program jangka pendek yang dapat dilakukan manajemen untuk merubah atau mengganti budaya disfungsi menjadi budaya yang fungsional antara lain: dengan memperbaiki sistem manajemen yang lebih transparan, memperbaiki sistem dan cara berkomunikasi antar unit maupun antar individu, memberbaiki akuntabilitas para pejabat struktural baik pada jajaran rektoriat maupun unit sehingga akan tercipta trust antar unit maupun antar individu. Sebagai organisasi yang bernafaskan Islam kita telah merumuskan nilai-nilai yang menjadi ciri atau sifat kenabian yang sangat ideal, tinggal bagaimana membumikan dan mensosialisasikan nilai-nilai tersebut pada praktek sehari-hari dalam organisasi, perlu adanya seorang yang dapat menjadi tauladan (role model) perilaku bagi civitas akademika Unisma.
3.
Apabila diperlukan pihak lembaga harus melibatkan pihak luar (konsultan) untuk membantu proses introdusir budaya baru yang lebih fungsional, karena pihak Pengembangan Organisasi (PO) telah memiliki pengalaman dalam membantu organisasi yang akan memperbaiki budaya organisasinya. Diharapkan dengan keterlibatan konsultan proses dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efektif.
14
Adi Susila dan Yayan Rudianto – Persepsi Dosen dan Pegawai Adanya Toxic Culture di Universitas Islam “45” Bekasi
Daftar Pustaka
Budihardjo, Andreas, 2011, Menuju Pencapaian Kinerja Optimum, Jakarta, Prasetiya Mulya Publising. Febransyah, Ade dan Eko Y. Napitupulu (Editor), 2010, Prasetiya Mulya on Innovation, Jakarta, Prasetiya Mulya Publishing. Ivancevich, John M, Robert Konopaske dan Michael T.Matteson, 2008, Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jilid 1 dan 2, Jakarta, Penerbit Erlangga. Kasali, Renald, 2012, Cracking Value, Jakarta, PT. Gramedia Utama. Poerwanto, 2008, Budaya Perusahaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Robbins, Stephen P, 1994, Teori Organisasi, Struktur, Desain & Aplikasi, Jakarta, Penerbit Arcan. Robbins, Stephen P, 2006, Perilaku Organisasi, Jakarta, PT. Indeks Schein, Edgar H, 1997, Organizational Culture and Leadership, Second Edition, San Francisco, Jossey-Bass Publisher Wursanto, Ig, 2003, Dasar-dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta, Penerbit Andi. Bahan Bacaan: Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Volume 17, Number 2, Mei-Agustus 2010 Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Volume 20, Number 2, May 2013. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Volume 16, Nomor 1 (Mei 2012)
15