STRATEGI MEDIA RELATIONS PUBLIC RELATIONS PT LIPPO CIKARANG, TBK Oleh Tatik Yuniarti Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Public Relations have to cooperate with mass media. In its implementation dealing with journalist, Public Relations should apply strategies and trick to build mutual benefit. The unit of analysis in this research is Public Relations of PT Lippo Cikarang, Tbk. The aim of research is to analyze media relation strategies of Public Relations and aspects of consideration from the strategies at PT Lippo Cikarang, Tbk. Theoretical foundation used is Public Relations strategy known as the Nine Steps of Strategic Public Relations. It consist of four stages that must be applied, Formative Research, Strategy, Tactics, Evaluative Reseach. The methodology applied is qualitative descriptive, aiming to describe the data systematically, factual, and accurately. Data collection was done through indept interview, observation, and documentation from media relations activities by Public Relations of PT Lippo Cikarang, Tbk. The analysis was conducted by using interactive model with Miles and Huberman model consisting of 3 components: data reduction, data display, drawing and verifying conclusions. The results showed that there were differentiation in how Public Relations maintained good relationships with local and national journalists. That's because the editorial policies between local and national media are different. In the implementation of its performance, Public Relations of PT Lippo Cikarang Tbk tends to serve national media journalists better than local media journalists. However, the loading of the news about the Lippo Cikarang in the media can exceed the target set, that is more than 80%. That's because the provision of facilities and easy access to information provided by the Public Relations Lippo Cikarang to reporters. Keywords: Media relations, public relations, public relations strategies
PENDAHULUAN Secara eksternal, salah satu komunikasi yang dilakukan Public Relations adalah dengan media massa. Hal itu dilakukan karena melalui media massa semua kegiatan ataupun informasi yang berkaitan dengan perusahaan dapat disebarkan secara
massal kepada masyarakat. Informasi yang positif akan mengakibatkan citra perusahaan baik di mata publik, sebaliknya apabila informasi negatif yang disampaikan, maka publik akan beranggapan buruk terhadap perusahaan.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
1
Salah satu cara yang bisa digunakan oleh Public Relations dalam memperoleh citra positif dalam pemberitaan adalah dengan cara menjaga hubungan baik dengan wartawan. Hal itu dilakukan karena wartawan yang bertugas melakukan peliputan langsung dari kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan. Apabila sebuah kegiatan tidak diliput oleh wartawan, maka sudah bisa dipastikan kegiatan yang dilakukan tidak dimuat dalam media massa. Untuk itulah menjaga hubungan baik dengan wartawan itu sangat diperlukan agar terjadi timbal balik hubungan yang saling membutuhkan. Public Relations membutuhkan publikasi di media massa, sedangkan wartawan membutuhkan berita untuk dimuat di medianya. Hubungan antara Public Relations dengan media massa lebih dikenal dengan media relations. Definisi dari media relations adalah berhubungan dengan para wartawan dalam upaya untuk membina hubungan yang baik dengan media siaran, cetak dan online yang merupakan bagian dari Public Relations eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dan publikpubliknya untuk mencapai tujuan organisasi. Media relations berkenaan dengan media komunikasi yang diperlukan sebagai sarana yang sangat penting dan efisien dalam berkomunikasi dengan publik. Media relations dilakukan untuk mempromosikan organisasi melalui media massa. Media relations pada dasarnya berkenaan dengan pemberian informasi atau
memberi tanggapan pada media pemberitaan atas nama organisasi atau klien. (Iriantara, Yosal, 2005;29-30). Pemberian informasi dan tanggapan kepada media tersebut bukan menjadi tujuan utama dari aktivitas media relations. Hal itu seperti ditegaskan Wragg berikut ini : Wragg argues (in Bland et al. 1996: 66–7) that : The purpose of press relations is not to issue press releases, or handle enquiries from journalists, or even to generate a massive pile of press cuttings. The true purpose of press relations is to enhance the reputation of an organisation and its products, and to influence and inform the target audience. (Theaker. Alison, 2004;148) Artinya Wragg berpendapat bahwa tujuan press relations/ media relations tidak untuk mengeluarkan siaran pers, atau menangani pertanyaan-pertanyaan dari wartawan, atau bahkan mengumpulkan berita yang dimuat di media. Tujuan sebenarnya dari press relations/media relations adalah untuk meningkatkan reputasi organisasi dan produk-produknya, dan untuk mempengaruhi dan menginformasikannya kepada target audience. Berdasarkan pengertian di atas, menunjukkan bahwa kegiatan media relations bertujuan untuk membentuk reputasi suatu organisasi dan atau produk-produk yang dihasilkan. Membuat siaran pers untuk wartawan merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Public Relations dalam mencapai tujuan yang sebenarnya
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
3
yakni memberikan informasi dan mempengaruhi target audience. Menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan juga hanya merupakan salah satu bagian dari aktivitas media relations. Public Relations menjawab pertanyaan wartawan dalam beberapa kesempatan, antara lain saat bertemu, melalui telepon, email, dan atau pada saat menggelar konferensi pers. Kegiatan yang dilakukan Public Relations tersebut merupakan bagian dari menjaga hubungan baik dengan wartawan yang mempunyai tujuan akhir reputasi suatu organisasi. Permasalahannya adalah menjaga hubungan baik dengan wartawan tidak mudah dilakukan. Padatnya aktivitas wartawan untuk melakukan reportase membuat fokus pemberitaan tidak hanya terpaku pada satu kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan tertentu. Seorang Public Relations perlu melakukan pelbagai strategi agar hubungan baik dengan wartawan dapat terjalin. Salah satu contoh dari wujud hubungan yang baik dengan wartawan, adalah setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan, selalu mendapat respon bagus dari wartawan untuk melakukan peliputan. Hal yang sebaliknya adalah apabila hubungan baik dengan wartawan tidak dijaga, maka wartawan juga enggan untuk melakukan peliputan, apalagi event atau kegiatan yang dilakukan perusahaan tersebut tidak memiliki nilai berita. Permasalahan lain berhubungan dengan wartawan adalah bermunculannya wartawan yang berasal dari media yang tidak jelas, atau lebih dikenal dengan wartawan gadungan.
Wartawan gadungan atau wartawan gadungan adalah wartawan yang hanya mementingkan uang bukan fakta dari suatu berita. Ciri-cirinya adalah wartawan tersebut biasanya langsung mendatangi Public Relations atau pihak yang berkepentingan dalam suatu acara untuk meminta uang dari pemberitaan yang akan dibuatnya. Dalam beberapa peristiwa, kelompok wartawan ini secara terang-terangan meminta uang dengan disertai ancaman bahwa apabila tidak diberikan uang maka perusahaan atau institusi tertentu akan diberitakan jelek di medianya. Sebelum bertemu dengan Public Relations atau pihak yang berkepentingan dari suatu perusahaan atau instansi, kelompok wartawan ini mengumpulkan informasiinformasi berkaitan dengan perusahaan tertentu yang cenderung jelek. Hal itu menyebabkan, Public Relations atau pihak lain yang berkepentingan kerap kebingungan dan akhirnya memilih menuruti apa yang diminta oleh kelompok wartawan tersebut. Dalam penelitian ini unit analisis yang dipilih adalah Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk. Perusahaan ini merupakan bagian dari Lippo Group dan anak perusahaan PT Lippo Karawaci, Tbk yang berada di Tangerang. PT Lippo Land Development, Tbk yang berada di Tangerang beroperasional di Indonesia mulai tahun 1987 sampai dengan 2001. Mulai tahun 2002 PT Lippo Land Development Tbk berubah nama menjadi PT Lippo Karawaci Tbk. Perusahaan ini berada di bawah naungan Lippo Group Asia International
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
4
dengan nama PT Lippo Land Development, Tbk. Selain di Indonesia, proyek Lippo Land berada di Malaysia, Singapura, Hongkong, Korea Selatan dan negara asia lainnya. Proyek Lippo Land juga mencakup beberapa negara di Amerika, Eropa dan Australia. Lippo Group merupakan salah satu perusahaan properti terbesar dan terbaik di Indonesia dan masuk dalam daftar perusahaan properti terbesar dan terbaik dengan urutan peringkat ke-8 di Asia Pasific PT Lippo Cikarang, Tbk adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan kota yang berada di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lippo Cikarang memiliki luas lahan 3.000 hektar. Dalam mengembangkan kawasannya, sejumlah perusahaan besar digandeng Lippo Cikarang, seperti perusahaan Jepang yang dikenal sebagai East Jakarta International Park (EJIP) dan perusahaan Korea yang bernama Hyundai Inti Development. Di kawasan Lippo Cikarang juga terdapat branded mark automotif manufaktur berskala Internasional, seperti Danon Dairy Indonesia, Panasonic, Sanyo, Toshiba, dan Indonesia Epson Industry. Sebagai kawasan yang tumbuh pelbagai macam industri, Lippo Cikarang berupaya untuk menyediakan fasilitas pendukung yakni tempat tinggal bagi pekerjanya dan sarana rekreasi. Sejumlah cluster perumahaan saat ini telah tersedia di Lippo Cikarang yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung lainnya seperti sekolah, mall, tempat hiburan. Kawasan ini semakin berkembang dengan diterapkannya kawasan hijau dan ramah
lingkungan melalui konsep tata ruang 60 persen bangunan dan 40 persen kawasan hijau. Realisasi dari konsep tersebut terlihat dari Kawasan Industri yang dikenal sebagai ‗Light Industry‘ atau industri ringan (non polluted) yang artinya bebas polusi suara dan udara. Semua keistimewaan dan keunggulan kawasan tersebut, Lippo Cikarang semakin dikenal sesuai motonya: The best place to live, work and play. To Live diartikan sebagai kawasan yang telah mengembangkan pelbagai fasilitas dan infrastruktur modern yang menjamin rasa aman dan kehidupan yang nyaman bagi warganya. Lippo Cikarang juga menyediakan tempat hunian, taman umum dan taman bermain, sekolah negeri dan swasta serta transportasi umum, yakni perhentian dan halte bis yang berada pada setiap jarak 200400 meter untuk mempermudah akses ke layanan ―shuttle bus‖ ke Jakarta dan di dalam Lippo Cikarang 24 jam sehari. Menciptakan reputasi bahwa kawasan Lippo Cikarang sebagai ―The best place to live, work and play” membutuhkan waktu yang cukup lama. Seorang Public Relations membutuhkan pelbagai strategi yang tepat untuk menciptakan image tersebut betul-betul tertanam di benak masyarakat. Lippo Cikarang yang merupakan salah satu anak perusahaan dari Lippo Group juga menjadi tantangan bagi Public Relations-nya untuk menjaga nama besar Lippo tetap positif di mata masyarakat. Salah satu alat yang digunakan oleh Public Relations Lippo Cikarang
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
5
untuk menciptakan image dan menjaga reputasi tersebut adalah media massa. Hal tersebut contohnya dapat diamati dari pelbagai pemberitaan mengenai Lippo Cikarang. Untuk itulah dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis bagaimana strategi media relations Public Relations Lippo Cikarang dalam menjaga hubungan baik dengan wartawan. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu (Kriyantono, 2007:69). Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka, dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut (Moleong, 2010:11). Berkaitan dengan jenis metode yang digunakan tersebut, dalam penelitian ini bertujuan untuk menguraikan strategi yang dilakukan oleh PR Lippo Cikarang dalam berhubungan dengan wartawan. Gambaran mengenai apa saja yang dilakukan PR Lippo Cikarang dalam menjalin hubungan baik dengan wartawan diuraikan secara jelas dalam penelitian ini. Uraian berasal dari kutipan wawancara PR Lippo Cikarang dipadu dengan kutipan wawancara dengan wartawan, kemudian dianalis dengan teori yang digunakan. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain : wawancara mendalam (depth interiew), observasi, dokumentasi. Pada penelitian ini, depth interview dilakukan peneliti dengan informan yakni Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk dan 4 wartawan. Wawancara dilakukan dengan Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk ditujukan untuk mengetahui bagaimana strategi Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk dalam membina hubungan dengan wartawan. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagian besar adalah dokumen eksternal. Dokumen diperoleh dari PR Lippo Cikarang dan pencarian data melalui webstite Lippo Cikarang di http://www.lippo-cikarang.com/. Observasi secara terbuka dilakukan dengan melakukan pengamatan pada kegiatan yang dilakukan PR Lippo Cikarang, yakni konferensi pers dan kegiatan lainnya yang mendatangkan wartawan. Pada kegiatan tersebut, peneliti mengamati dan mencatat aktivitas yang dilakukan PR Lippo Cikarang ketika berhubungan dengan wartawan. Fokus yang diamati adalah sikap, tindakan, dan pelayanan terhadap wartawan. Sedangkan metode observasi partisipan dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pencatatan hubungan PR Lippo Cikarang kepada wartawan ketika peneliti bertugas menjadi wartawan. Metode dokumentasi digunakan peneliti untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data. Metode tersebut digunakan untuk menemukan dokumen maupun data-data pendukung yang
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
6
berhubungan dengan aktivitas PR Lippo Cikarang dalam menjalin hubungan baik dengan wartawan. Dokumen yang diperoleh dari PR Lippo Cikarang antara lain press release, foto kegiatan dan media internal ―Good News‖. Sementara data-data pendukung yang diperlukan diperoleh dari dokumentasi peneliti ketika melakukan observasi dan penelitian di lapangan. Data-data tersebut antara lain berupa foto-foto dokumentasi aktivitas PR Lippo Cikarang pada saat menggelar kegiatan dan melakukan konferensi pers dengan wartawan. Data pendukung lain yang diperlukan adalah dokumentasi pemberitaan di media massa. Data diperoleh dengan cara mendokumentasikan berita-berita mengenai Lippo Cikarang yang dimuat di media massa. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisa interaktif (interactive model of analysis).Teknik analisis data model Miles dan Huberman (1994) terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions) (Punch, 1998: 202-204). Untuk lebih mengetahui keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi data, yaitu, teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (1978) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang meman-
faatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori.
PEMBAHASAN Dalam analisis strategi yang telah dilakukan Public Relations PT Lippo Cikarang, Tbk, peneliti menggunakan teori tentang the Nine Steps of Strategic Public Relations. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis bagaimana strategi yang digunakan oleh Public Relations PT Lippo Cikarang dalam berhubungan dengan wartawan. Dalam Strategic Planning for Public Relations terdapat 9 langkah untuk melakukan perencanaan dan manajemen komunikasi oleh Public Relations. Sembilan langkah tersebut dikenal dengan ‖The Nine Steps of Strategic Public Relations” adalah sebagai berikut: Phase One : Formative Research Step 1 : Analyzing the Situation Step 2 : Analyzing the Organization Step 3 : Analyzing the Publics
Phase Two : Strategy Step 4: Establishing Goals and Objectives Step 5: Formulating Action and Response Strategies Step 6: Using Effective Communication Phase Three : Tactics Step 7: Choosing Communication Tactics Step 8: Implementing the Strategic Plan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
7
Phase Four: Evaluative Research Step 9: Evaluating the Strategic Plan ( Smith , 2005 :10 ) Dalam hubungannya dengan wartawan (media relations), PR Lippo Cikarang memiliki keinginan yang hendak dicapai, antara lain : 1. Pemberitaan baik tentang Lippo Cikarang dapat dimuat semua media yang diundang dalam setiap kegiatan. Apabila dipresentasikan sebanyak 70-80 % media massa yang diundang memuat baik pemberitaan. Dari hasil yang dicapai pada kenyataannya menurut Ria Sormin 100 persen media memberitakan kegiatan yang diselenggarakan. 2. Kedatangan wartawan di setiap kegiatan Lippo Cikarang mencapai 85 %. Banyaknya wartawan yang datang di setiap kegiatan yang diselenggarakan Lippo Cikarang menjadi peluang bagi Lippo Cikarang untuk diberitakan atau diexpose di media massa. Banyaknya media yang memberitakan akan menaikkan citra yang baik untuk Lippo Cikarang, yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah investor dan konsumen Lippo Cikarang. Strategi Media Relations PR PT Lippo Cikarang, Tbk Media relations adalah suatu kegiatan khusus dari pihak PR untuk melakukan komunikasi penyampaian pesan, atau informasi tertentu mengenai aktivitas yang bersifat kelembagaan, perusahaan/institusi, produk dan hingga kegiatan bersifat individ-
ual lainnya yang perlu dipublikasikan melalui kerjasama dengan pihak pers/media massa untuk menciptakan publisitas dan citra positif‖ (Ruslan, 2003:146). Menurut Frank Jefkins media relations adalah suatu kegiatan untuk mencapai publikasi atau penyiaran berita semaksimal mungkin, sedangkan informasi yang disebarkan melalui PR adalah menciptakan pengenalan dan pengertian. Peranan hubungan media (media relations) dalam public relations adalah sebagai saluran (channel) dalam penyampaian pesan dalam upaya peningkatan pengenalan (awareness), informasi dan pemberitaan dari pihak publikasi public relations. Fungsi pers/ media adalah sebagai kekuatan pembentuk opini (power of opinion) yang sangat efektif. Kerja sama dengan pers/ media akan menghasilkan frekuensi publisitas yang cukup tinggi. Dampak pemberitaan bersifat : efek keserempakan (stimultaneity effect), efek dramatisir, efek publisitas tinggi, waktu relatif singkat, pembentukan opini, khalayak yang sangat luas dalam waktu yang bersamaan (Jefkins, 1992:92 ). Media relations berkenaan dengan media komunikasi yang diperlukan sebagai sarana yang sangat penting dan efisien dalam berkomunikasi dengan publik. Media relations dilakukan untuk mempromosikan organisasi melalui media massa. Media relations pada dasarnya berkenaan dengan pemberian informasi atau memberi tanggapan pada media pemberitaan atas nama organisasi atau klien (Iriantara, 2005;29-30).
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
8
Berkaitan dengan hal tersebut strategi media relations yang dilakukan oleh PR Lippo Cikarang, Tbk adalah : 1. Menciptakan Event yang Mempunyai Nilai Berita ( Creating News Value ). Nilai berita (news value) merupakan keistimewaan dari suatu berita. Wartawan selalu memperhatikan nilai berita apabila hendak melakukan peliputan. Nilai berita terdiri dari : aktualitas, kedekatan, dampak, dan human interest. Nilai berita tersebut kemudian yang diperhatikan oleh PR Lippo Cikarang dalam menyelenggarakan suatu kegiatan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar wartawan yang diundang memiliki ketertarikan untuk melakukan reportase dari kegiatan yang dilakukan oleh PR Lippo Cikarang. Penciptaan nilai berita ( news value ) salah satunya dilakukan dengan kreatif dalam menyelenggarakan kegiatan. Salah satu kegiatan yang cukup kreatif sehingga menarik banyak wartawan untuk melakukan peliputan adalah kegiatan penghijauan dengan nama ―mini nursery program‖. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang cukup menarik karena berbeda dari kegiatan penghijauan lainnya. Mini nursery program (program kebun bibit) dilakukan dengan melibatkan siswa SDSMA.
Mini Nursery Program adalah merupakan salah satu program penghijauan yang
dimulai dari gerakan penanaman bibit tanaman sampai dengan penanaman pohonnya di kawasan Lippo Cikarang. Program tersebut merupakan kegiatan unggulan yang dilaksanakan oleh PR Lippo Cikarang pada periode 20092011. Program ini melibatkan siswa-siswa dan guru-guru sekolah dari mulai SD-SMA di kawasan Lippo Cikarang. Segmentasi dari program ini ditujukan untuk siswa sekolah dan guru di kawasan Lippo Cikarang untuk membangkitkan kesadaran dari anak didik, siswa sekolah untuk peduli lingkungan. Sedangkan untuk gurunya diharapkan selain peduli, juga bisa menanam pohon dan merawatnya dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan PR Lippo Cikarang, RS, program tersebut dilaksanakan dengan mengajak siswa-siswa di sekolah-sekolah untuk sadar tentang pentingnya penghijauan. Program tersebut juga melibatkan guru-guru sekolah untuk bisa menanam pohon dengan baik. Berikut ini pernyataan RS : ―Dengan mini nursery program kita ingin membangkitkan kesadaran dari anak didik, siswa sekolah untuk peduli lingkungan, itu adalah salah satu pendidikan yang kita berikan. Ini tidak hanya anaknya, tetapi kepada gurunya, dimana kita ajarkan si guru ini untuk bisa menanam pohon‖
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
9
Program yang diselenggarakan oleh PR Lippo Cikarang tersebut merupakan kegiatan CSR. Kegiatan tersebut memberikan dampak bagi image (citra) Lippo Cikarang sebagai perusahaan yang cinta lingkungan. Citra yang baik mendatangkan keuntungan yang besar bagi perusahaan, yakni menarik investor, tenant, dan masyarakat yang berkeinginan untuk tinggal di Lippo Cikarang, karena citra yang sudah terbangun asri dan hijau. Dasar dari kegiatan tersebut adalah untuk menciptakan citra kawasan Lippo Cikarang yang hijau sesuai dengan tujuan (goal) yang dijabarkan di awal pelaksanaan program. Kegiatan yang dilaksanakan tersebut sebagai bagian untuk mewujudkan tujuan ‖menciptakan positif image Lippo Cikarang sebagai kota terlengkap di Timur Jakarta yang memiliki konsep hijau‖. Menurut PR Lippo Cikarang, RS kegiatan mini nursery program memang tidak hanya sebatas menanam saja, namun juga diberikan pendidikan perawatan penanaman pohonnya. Berikut ini pernyataan dari RS: ―Dengan memberikan bibit biji yang disemai bersama2 kita berikan pendidikan bagaimana menanamnya, bagaimana perawatannya. Kemudian kita mengadakan kontrol secara periodik, setelah 3 bulan bibit
biji sudah tumbuh kita pindahkan ke polibag, masih di tempat yang sama 3 bulan selanjutnya kita tanam di lahan Lippo Cikarang, baik di sekolah, lahan siswa di rumah atau di ruang terbuka.‖ Pada kegiatan tersebut anakanak diajarkan mencintai lingkungan mulai dari menyemai bibit benih di lingkungan sekolah. Salah satu program Cinta Lingkungan yang diluncurkan oleh Lippo Cikarang lewat mini nursery program (program kebun Bibit) bersama sekolah 11 dari total 18 Sekolah di lingkungan kawasan ikut dalam program tersebut. Kegiatan yang dilaksanakan selain menciptakan positif image Lippo Cikarang, juga sebagai strategi agar kegiatan yang jarang dilakukan di pengembang kawasan lain tersebut bisa menarik wartawan atau media untuk membuat reportasenya. Kegiatan yang dimuat di media massa membuat masyarakat lebih percaya, dibanding iklan yang dimuat di media. Hal tersebut terbukti dengan meningkatkannya penjualan properti di kawasan Lippo Cikarang setelah program penghijauan dilakukan. Menurut General Manager Marketing PT Lippo Cikarang Tbk, Endang Sutrisna, sejak penerapan Go Green pada tahun 2008, penjualan di tahun 2009 meningkat hingga 28 persen. Hal tersebut menjadikan target penjualan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
10
properti di tahun 2010 dinaikkan menjadi minimal sekitar 30 persen. Endang Sutrisna menyatakan, dengan konsep kawasan hijau, total penjualan tahun 2009 mencapai 500 milyar rupiah. Pada kuartal pertama tahun 2010, PT Lippo Cikarang mencanangkan penanaman 5.000 pohon per tahun di kawasan perumahan yang mereka bangun, dengan jenis pohon jati, trembesi, dan mahoni (www.kompas.com). Selengkapnya mengenai berita peningkatan penjualan di Lippo Cikarang dapat dilihat di lampiran. Rekomendasi dari kegiatan mini nursery program yang dilakukan oleh PR Lippo Cikarang tersebut antara lain kesadaran untuk menanam pohon. Dengan timbulnya kesadaran di kawasan Lippo Cikarang, maka citra hijau dan asri akan menjadi andalan bagi Lippo Cikarang. Kegiatan penghijauan dengan program ‖Go Green‖ secara massal dilakukan di kawasan Lippo Cikarang pada tahun 2008, kemudian pada April 2009 dikembangkan kegiatan mini nursery program. Kegiatan mini nursery program (program kebun bibit) dilaksanakan secara periodik setiap 3 bulan sekali, dari mulai proses pembibitan, pemindahan bibit dari polybag ke lokasi tanam di kawasan, hingga kontrol atau monitoring dari bibit yang disemai dan ditanam. Program lanjutan
dilaksanakan pada bulan Juni 2011 dengan memulai kembali menyemai bibit tanaman. Kegiatan penghijauan dengan program ‖Go Green‖ secara massal dilakukan di kawasan Lippo Cikarang pada tahun 2008, kemudian pada April 2009 dikembangkan kegiatan mini nursery program. Kegiatan mini nursery program (program kebun bibit) dilaksanakan secara periodik setiap 3 bulan sekali, dari mulai proses pembibitan, pemindahan bibit dari polybag ke lokasi tanam di kawasan, hingga kontrol atau monitoring dari bibit yang disemai dan ditanam. Program lanjutan dilaksanakan pada bulan Juni 2011 dengan memulai kembali menyemai bibit tanaman. Kegiatan yang diciptakan oleh PR Lippo Cikarang tersebut kemudian dikomunikasikan kepada wartawan melalui pelaksanaan konferensi pers dan mengundang wartawan pada pelaksanaan program penghijauan serta mengirimkan press release ke media berkaitan dengan kegiatan tersebut. Hal tersebut kemudian memberikan dampak yang besar pada pemberitaan di media massa. Beberapa berita yang berhubungan dengan kegiatan mini nursery program selengkapnya dapat dilihat di lampiran yakni dimuat di harian umum Republika yang memuat tentang penghijauan.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
11
2.
Evaluasi kegiatan dilakukan dengan cara memantau media massa (media monitoring). Klipingan berita Lippo Cikarang di media dikumpulkan untuk kemudian dikelompokkan ke dua bagian yakni berita positif dan negatif. Keberhasilan pemuatan berita di media, salah satunya karena kegiatan atau program yang dilaksanakan unik dan berbeda dengan perusahaan lain. Hal lain disebabkan karena hubungan media yang sudah terjalin dengan baik, sehingga kegiatan apa pun yang diselenggarakan oleh PR Lippo Cikarang akan mendapat perhatian dari wartawan. Apalagi di beberapa media terdapat rubrik properti yang menjadi salah satu peluang bagi Lippo Cikarang memanfaatkan sisi tersebut. Mengatasi Konflik dengan Wartawan Hubungan dengan media tidak selalu lancar dilakukan. PR seringkali berbenturan dengan wartawan yang bertugas di lapangan. Hal tersebut tak jarang mengakibatkan hubungan yang semula baik berubah menjadi buruk yang mengakibatkan terjadi krisis komunikasi. Dalam implementasi di lapangan, PR Lippo Cikarang beberapa kali pernah berbenturan dengan wartawan, karena pemberitaan yang negatif tentang Lippo Cikarang. Kecenderungan banyak wartawan melakukan reportase berita yang lebih bersifat ―mir-
3.
ing‖ menjadi tantangan bagi PR untuk menjalin hubungan baik dengan media massa. Sampai sekarang, media lebih tertarik apabila ada berita yang sensasional, dan negatif. Dalam dunia jurnalistik kerap disebut dengan “Good News is Bad News‖. Pandangan sebagian wartawan tersebut merugikan bagi PR yang bertugas menciptakan image dan reputasi baik bagi perusahaan. Image dan reputasi baik yang sudah dibangun dengan susah payah, dapat jatuh hanya dalam waktu singkat apabila ada pemberitaan jelek di media massa. Masalah kemudian yang harus dihadapi adalah mengembalikan reputasi baik tersebut menjadi masalah tidak mudah untuk dilakukan. Pelayanan Wartawan Nasional dan Lokal Wartawan nasional adalah wartawan yang skala pemberitaannya secara nasional, sedangkan wartawan lokal adalah wartawan yang lingkup pemberitaannya lebih lokal (kedaerahan). Kedua jenis wartawan tersebut di lapangan ternyata mendapat pelayanan yang berbeda dari PR Lippo Cikarang. Pada prakteknya ketika Lippo Cikarang mengadakan kegiatan, wartawan yang kebanyakan diundang adalah wartawan nasional. Menurut RS, pemilihan wartawan nasional lebih pada bidang usaha Lippo yang banyak di properti, maka dari itu memilih wartawan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
12
juga yang bidang liputannya di bidang yang sama. Sehingga wartawan yang kerap diundang adalah yang asal medianya nasional. Hal itu juga dikarenakan cakupan liputannya yang luas. Strategi pemilihan wartawan tersebut juga dimaksudkan untuk menghindari datangnya wartawan bodrex (wartawan gadungan) di acara yang diselenggarakan oleh Lippo Cikarang. Pemilihan wartawan menurut R mempermudah pihaknya untuk mengontrol penempatan berita di media. Namun pemilihan wartawan tersebut dikeluhkan oleh DS, wartawan Radar Bekasi yang pernah bertugas di Kabupaten Bekasi selama 1,5 tahun. Pengutamaan wartawan nasional mengakibatkan medianya selalu tertinggal berita dengan media lain, khususnya informasi properti di Bekasi. Informasi biasanya diketahui DS diketahui setelah acara selesai dilaksanakan. Berikut ini pernyataan DS, ―Saya sempat curhat juga kenapa lebih mengutamakan media nasional. Kenapa memperhatikan media nasional daripada media lokal. Saya bilang sama mbak R kalau ada acara jangan telat kasih tahunya. Jangan kegiatan sudah dilaksanakan baru kasih tahu. Dia bilang ―Kan udah aku kasih tahu, emang gak nyampe informasinya ? Info dari mana ? Dari wartawan Jakarta ? Kita memang ada hubungan
4.
dengan yang di Jakarta. Tapi kan kita punya ritme kerja sendiri‖. Hal senada disampaikan oleh H, wartawan Koran Tempo di Bekasi. Dalam hal teknis menurut H, wartawan lokal tidak disediakan fasilitas jemput dari dan menuju Lippo Cikarang, berbeda dengan wartawan media nasional yang di antar jemput. Hal lain adalah mengenai sebaran informasi dimana Lippo Cikarang lebih memprioritaskan media massa nasional dibandingkan wartawan media lokal. Wartawan lokal kata H, kerap tidak mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang dilaksanakan, sehingga wartawan media lokal kerap tidak meliput peristiwa ketika sedang berlangsung atau mewawancarai narasumber yang hadir pada acara. Wartawan lokal seringkali hanya kebagian press realese yang dinilai tidak bisa menjelaskan secara utuh acara Lippo Cikarang. Mengatasi Wartawan Gadungan Selain berita yang bernada negatif, wartawan gadungan kerap ditemui R, ketika penyelenggaraan suatu acara atau kegiatan. Tanda-tandanya adalah wartawan kelompok ini tidak berkumpul bersama dengan wartawan yang asal medianya jelas. Kedatangan wartawan tersebut memiliki tujuan untuk mencari uang, tidak memiliki tujuan utama mencari berita seperti wartawan lainnya. Keberadaan wartawan gadungan yang kerap muncul di setiap
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
13
kegiatan yang dilaksanakan Lippo Cikarang menjadi masalah bagi perusahaan. Hal ini disebabkan kelompok wartawan ini kerap membawa berita negatif yang berhubungan dengan perusahaan. Kelompok wartawan ini memanfaatkan berita yang negatif tersebut untuk memeras perusahaan. Public relations adalah bagian dari perusahaan yang ditemui oleh kelompok wartawan ini. Berdasar situasi tersebut, public relations membutuhkan strategi yang tepat untuk menghadapi kelompok wartawan ini, agar tidak mengakibatkan timbulnya masalah baru yang mengancam reputasi perusahaan. Langkah yang dilakukan PR Lippo Cikarang adalah dengan melakukan pendataan wartawan mana saja yang jelas asal medianya baik lokal maupun nasional. Data tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengundang wartawan dari asal media mana saja yang diundang dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan. Dengan cara tersebut, menurut PR Lippo Cikarang, R dapat mengatasi banyaknya wartawan yang tidak dikenal dalam setiap kegiatan yang diselenggarakannya. Informasi dari mulai undangan sampai dengan press release hanya diberikan kepada wartawan yang sudah terdata oleh PR. Agar informasi mengenai kegiatan yang diselenggarakan tidak menyebar ke wartawan gadungan, PR Lippo Cikarang, R
selalu berpesan kepada wartawan yang diundangnya untuk tidak memberitahu wartawan lainnya. Informasi kepada wartawan lainnya, menurut R akan disampaikan secara langsung dari pihak Lippo Cikarang. Langkah tersebut dilakukan, karena setelah dianalisis situasi yang terjadi di lapangan, kebanyakan wartawan gadungan mengetahui kegiatan yang diselenggarakan PR Lippo Cikarang karena pesan berantai yang biasa dilakukan oleh wartawan. 5.
Hubungan Intensif Secara Nonformal dengan Wartawan Hubungan yang intensif diperlukan antara PR dengan wartawan. Hubungan yang intensif tidak hanya saat perusahaan melakukan kegiatan, namun juga dilakukan pada setiap saat. Tujuannya adalah untuk menjalin kedekatan secara personal dengan wartawan. Hubungan yang sifatnya personal akan menimbulkan rasa ―tidak enak‖ bagi wartawan apabila tidak hadir pada kegiatan yang dilaksanakan. Dalam kegiatan ini, PR Lippo Cikarang telah melaksanakan hubungan yang bersifat nonformal atau di luar kegiatan untuk menjalin hubungan dengan wartawan. Kegiatan yang pernah dilaksanakan adalah mengunjungi wartawan di Kota Bekasi di saat wartawan sedang berkumpul dan ngobrol. Dari hasil pengamatan di lapangan, PR Lippo Cikarang juga membawa roti donat yang
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
14
dibagikan kepada wartawan yang sedang berkumpul. Dalam kegiatan tersebut PR Lippo Cikarang turut serta berdialog dan berdiskusi dengan wartawan. Kegiatan yang dilakukan tersebut cukup membuat PR Lippo Cikarang dekat dengan wartawan karena terlibat dalam acara yang diselenggarakan oleh wartawan. Bertemu dalam suasana nonformal yang pernah dialami oleh wartawan Republika, AF. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Plaza Semanggi Jakarta pada 17 Juni 2011. Berdasarkan wawancara dengan AF, dalam pertemuan tersebut tidak ada pembicaraan yang serius seperti biasanya yang membicarakan tentang event atau kegiatan. Berikut ini kutipan wawancara dengan AF : ―kita ngobrol biasa aja, gak ada yang istimewa, dia ngajak ketemu, ya sudah karena waktu itu gak ada acara ya kita ketemuan‖. Kegiatan non formal lainnya yang dilakukan RS adalah berkunjung ke rumah salah seorang wartawan yang istrinya melahirkan. Kegiatan yang dilakukan PR Lippo Cikarang ini merupakan kegiatan di luar jam kerja. Kunjungan yang dilakukan dengan membawa kado yang diberikan kepada istri wartawan Tempo, H. Kegiatan tersebut mengakibatkan hubungan yang lebih dekat antara wartawan Tempo dengan PR Lippo Cikarang.
6.
7.
Sikap Proaktif dengan Wartawan Pelayanan menjadi hal yang utama yang dilakukan oleh seorang PR apabila berhubungan dengan wartawan. Pelayanan tersebut akan mengakibatkan wartawan betah untuk berinteraksi dengan PR yang bersangkutan, dan dapat memenuhi kebutuhan wartawan saat peliputan. Pelayanan yang dimaksud adalah berupa pelayanan fasilitas dan informasi. Apalagi jika PR dapat secara aktif melayani dan memberikan informasi pada saat tertentu dibutuhkan oleh wartawan. Berdasarkan hasil wawancara dengan PR Lippo Cikarang, RS, ketika mengadakan acara press conference launching kawasan Citiwalk Lippo Cikarang, pihaknya menyediakan bis khusus untuk menjemput wartawan yang hadir dalam acara tersebut. PR Lippo Cikarang sengaja menyewa freeder busway Lippo Cikarang untuk menjemput sekitar 8 wartawan dari Jakarta. Mereka antara lain Khalsa (Guo Ji RiBao-media Korea), Tiwi (Bisnis Indonesia), Lastri (Okezone), Eko (Investor Daily), Firly (Hannah Press), Samsul (Housing Estate), Nita (Properti Indonesia), Primus (Kompas.com). Sebelumnya wartawan-wartawan tersebut telah dihubungi melalui sms mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan. Mengundang Wartawan Konferensi Pers
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
15
PR Lippo Cikarang selalu mengundang wartawan ketika ada launching produk perumahan terbaru. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Di satu sisi, perusahaan mendapatkan keuntungan dari publikasi media. Kegiatan yang pernah dilakukan adalah konferensi pers ―Launching produk perumahan klaster baru Florencia‖ pada tanggal 11 Desember 2010 dan konferensi pers mengenai pembangunan Citywalk pada tanggal 16 Desember 2010. Acara konferensi pers diawali dengan kegiatan sosialisasi produk perumahan baru kepada calon investor yang hadir pada acara tersebut. Wartawan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengikuti acara yang sedang berlangsung. Sebelum acara konferensi pers dimulai, wartawan sudah menerima press release mengenai material produk yang akan dilaunching. Setelah acara sosialisasi selesai, PR Lippo Cikarang kemudian mengumpulkan wartawan di suatu sudut ruangan yang sudah ada General Manager Commercial Lippo Cikarang, Endang Sutrisna, dan Steve Sudijanto, Associate Director Colliers International sebagai Eksklusif Marketing Consultant Lippo Cikarang Citywalk. Dalam acara tersebut PR Lippo Cikarang menjadi fasilitator dan menghubungkan wartawan dengan General Manager Commercial Lippo Cikarang,
8.
9.
Endang Sutrisna, dan Steve Sudijanto, Associate Director Colliers International sebagai Eksklusif Marketing Consultant Lippo Cikarang Citywalk. Mengirimkan Press Release kepada wartawan Press release adalah siaran pers yang disusun oleh PR dan dikirimkan ke media dengan tujuan untuk dipublikasikan. PR Lippo Cikarang selalu mengirimkan press release kepada wartawan berkaitan dengan kegiatan yang sudah diselenggarakan. Seperti press release yang berjudul "Akses Tol Lippo Cikarang Km 34.700 Dimulai", yang dikirim pada 14 April 2011. Press release tersebut dikirim melalui email ke sejumlah wartawan media massa di tingkat lokal Bekasi, dan juga wartawan media nasional di Jakarta. Selain itu, Lippo Cikarang juga membagikan press release dalam bentuk foto copy kepada wartawan yang datang pada setiap kegiatan yang dilaksanakan. Press realese yang dikirim melalui email bertujuan memberikan informasi awal kepada wartawan mengenai kegiatan yang dimaksud. Penggunaan Komunikasi yang Efektif (Using Effective Communication) Komunikasi eksternal dengan wartawan dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yakni melalui telepon, sms, blackberry massanger dan e-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
16
mail. Berdasarkan hasil wawancara dengan wartawan Tempo, H dan wartawan Republika, AF menyatakan bahwa informasi mengenai kegiatan yang dilaksanakan kerap diterima informasinya dari sms. Setelah sms RS juga melakukan hubungan dengan telepon. Dalam prakteknnya, RS sebagai PR menghubungi langsung wartawan melalui telepon. Selain memberikan informasi, menghubungi langsung wartawan dapat sekaligus mengakrabkan secara pribadi antara PR dengan wartawan. Namun terkadang RS memerintahkan sekretarisnya untuk menghubungi wartawan apabila ada undangan kegiatan atau informasi pengiriman press release kepada wartawan. Cara lain yang digunakan adalah dengan menggunakan e-mail dalam mengundang wartawan atau menyampaikan press release. Apabila wartawan tidak bisa datang ke acara yang diselenggarakan informasi mengenai kegiatan tersebut disampaikan melalui email
kan di media nasional, peran wartawan untuk mendapatkan berita dan urusan pemasangan iklan di media terpisah. Artinya, wartawan dilarang untuk menawarkan iklan kepada PR, karena akan mengganggu obyektifitas berita. Perbedaan kebijakan media lokal dan nasional tersebut seharusnya menjadi tolak ukur bagi Public Relations Lippo Cikarang dalam berhubungan dengan wartawannya. Namun dalam implementasinya, hal tersebut tidak dilakukan oleh PR Lippo Cikarang, sehingga hubungan baik yang tercipta lebih banyak kepada wartawan dari media nasional dibandingkan dengan wartawan dari media lokal. Dalam kaitannya dengan implementasi dari strategi yang dilakukan PR Lippo Cikarang, dapat disimpulkan bahwa Public Relations Lippo Cikarang telah memberikan pelayanan yang baik kepada wartawan dalam hal pemberian fasilitas yang mempermudah wartawan melakukan peliputan dan mendapatkan informasi.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, membina hubungan baik antara wartawan lokal dan nasional ternyata ada perbedaan pelayanan. Hal itu dikarenakan kebijakan redaksi antara media lokal dan nasional cenderung berbeda. Kebijakan media lokal memberikan peluang kepada wartawan untuk melakukan negosiasi iklan dengan Public Relations. Sedangkan kebija-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
17
DAFTAR PUSTAKA Iriantara, Yosal. 2005. Media Relations: Konsep, Pendekatan, dan Praktik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Jefkins, Frank. 1992. Public Relations. Fourth Edition, London: Pitman Publishing
PressSmith, Ronald D. 2002. Strategic Planning For Public Relations. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Theaker, Alison. 2004. The Public Relations Handbook. London: Routledge Sumber Lain :
Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group Punch, Keith F. 1998. Introduction To Social Research: Quantitative & Qualitative Approaches. London: Sage Publications dalam Pawito: Penelitian Komunikasi Kualitatif, 2007. Yogyakarta: Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS)
Robert Adhi Kusuma, 2010. Lippo Cikarang Fokus Kawasan Komersial dan Residensial melalui
[13/07/10]
Ruslan, Rosady. 2003. Manajemen Public Relations. Jakarta: Rajawali
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
18
REPRESENTASI SOSIAL PEREMPUAN “CANTIK” DALAM IKLAN POND`S KOSMETIKS Oleh Siti Khadijah Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract This paper discusses the social representation of women "beautiful" in advertisements Pond `s cosmetics. beautiful definition keeps changing from time to time, one of only guest formation is the result of mass mediated advertising there. Construction of the concept of beauty in advertising on television `s Pond can be seen in the form of visual and copy that into representation and conception of female beauty. Brand ambassadors who represent the beauty products is a sign to represent the concept of beauty presented by Pond `s. Almost the entire ad `s Pond starring celebrities who raised the themes of the sheer physical beauty like smooth white skin, slim, free acne, dark spots free and without wrinkles on the face. Keywords: Representation, womens, beauty
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
28
PENDAHULUAN Menurut Tri Hastuti Nur R dalam Jurnal Perempuan/ edisi 28/ 3/ 2003 mengatakan bahwa media massa dan perempuan merupakan dua hal yang selalu berkaitan. Terbukti dengan berhasilnya media massa merepresentasikan perempuan melalui iklan. Senada dengan Tri Hastuti, dr. Heru Prasetya Gumay mengatakan dalam Republika. co.id pada Rabu, 21 Desember 2011 mengatakan bahwa warna kulit yang putih hingga saat ini masih dijadikan ukuran kecantikan perempuan Indonesia sehingga banyak wanita yang ingin menjadikan kulitnya lebih putih. Sampai saat ini menurut dr. Gumay yang juga Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Estetika (Perdesti) Jawa Tengah, masih banyak wanita yang datang ke klinik kecantikan ingin membuat kulitnya lebih putih, Dari rata-rata pasien yang datang setiap hari, 50 persen di antaranya menginginkan kulitnya lebih putih, 20-30 persen menginginkan tampil langsing, dan sisanya hanya melakukan perawatan kecantikan rutin. Pada umumnya penggambaran perempuan di media massa diwarnai oleh stereotype dan komoditisasi alias pelaris. Penggambaran perempuan di media semakin berani. Perempuan tidak hanya digambarkan ―cantik‖ dari warna kulit, bertubuh langsing, tetapi juga menampilkan bagian-bagian tubuh perempuan yang ―tabu‖ untuk dikonsumsi publik. Seringkali kecantikan dan keindahan perempuan dipandang sebagai physical belaka, dan mengabaikan aspek-aspek kerohanian, perasaan, pikiran dan spiritualitas. Iklan telah menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan
manusia. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali kita pasti menjumpai iklan, karena iklan ada dimana-mana. Secara sederhana iklan merupakan sebuah informasi yang disuguhkan oleh produsen kepada masyarakat dengan harapan agar khalayak mau mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Tetapi lebih jauh lagi, iklan bukan hanya sekedar memberikan informasi tapi juga memanipulasi psikologi konsumen. Iklan telah menjual nilai-nilai ideal dalam gaya hidup masyarakat. Berbagai pengaruh psikologi yang bersifat individu dari iklan, lambat laun akan mengkristal secara kolektif dan menjadi representasi sosial dalam bentuk prilaku. Perilaku publik ini membentuk sistem nilai, gaya hidup, standar budaya tertentu, termasuk standar moral, etika maupun estetika. Iklan telah menjadi agen yang memformulasikan kerangka-kerangka pencitraan dan gaya hidup yang terus menerpa kehidupan masyarakat. Iklan yang dapat membentuk representasi sosial dapat memunculkan sistem nilai baru dan merubah sistem nilai yang sudah ada di masyarakat, iklan dapat menciptakan suatu sistem yang seragam secara keseluruhan. Melalui kegiatan periklanan standar mengenai kecantikan diciptakan dan tertanam kuat di benak masyarakat. Para pembuat iklan menciptakan konsep sosok ideal mengenai wanita cantik dengan berbagai ciri-ciri sehingga produk kecantikan yang diiklankan dapat ditawarkan dan terjual kepada masyarakat luas, misalnya untuk menjadi cantik harus berkulit putih dan mulus. Begitulah iklan menanamkan nilai-nilai dan konsep ideal kecantikan yang baru.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
29
Secara lugas iklan telah membentuk sebuah representasi sosial tentang image gaya hidup dan penampilan terutama tentang konsep kecantikan bagi perempuan. Hal ini memperjelas bahwa iklan yang disampaikan melalui media massa memiliki peran yang sangat besar dalam memproduksi dan mengkonstruksi arti gaya hidup dengan kecantikan sebagai big ideanya (Winarni, 2009:3) Makna kecantikan yang hadir saat ini merupakan realitas konstruksi dari iklan, maka model iklan yang cantik selalui muncul dalam iklaniklan yang menyasar ke segmen perempuan. Perempuan cantik selalu ditampilkan dalam model iklan, perempuan dan bagian-bagian tubuhnya dapat menjual segalanya mulai dari makanan hingga mobil. Ada beberapa alasan yang menjadikan perempuan sebagai model dalam iklan, antara lain karena sosok perempuan dibutuhkan untuk memperkuat daya jual dari sebuah produk, perempuan dijadikan objek promosi dan eksploitasi, kecantikan ―tubuh ― perempuan bisa dijadikan stopping power dalam iklan (Winarni, 2009: 3). Pond`s merupakan produk kecantikan bagi wajah yang sudah dikenal oleh perempuan di Indonesia. Melalui iklan di televisi, Pond`s ingin menyampaikan bahwa brand Pond`s dapat membantu mewujudkan impian perempuan Indonesia untuk memiliki kecantikan wajah dengan standar yang dikomunikasikan melalui iklan Pond`s dan menjadi awet muda. Kecantikan tersebut menambah rasa percaya diri, sehingga memunculkan aura cantik yang inspiratif dan membawa pengaruh positif bagi orang-orang sekitarnya. Untuk mempromosikan
produk Pond`s, selebriti sering digunakan untuk menyampaikan pesan promosi, termasuk Pond`s. Beberapa selebriti pernah menjadi brand ambassador produk Pond`s. Dalam memilih seorang selebriti sebagai brand ambassador, pastinya Pond`s sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan, karena brand ambassador cukup penting untuk merek yang dibintanginya. Seorang brand ambassador memegang peranan penting karena brand ambassador merupakan bagian dari penciptaan image dimata perempuan Indonesia. Dalam kaitannya dengan hal tersebut diatas, terlihat bahwa dalam iklan-iklan Pond`s berusaha mengkonstruksi sebuah pemahaman baru mengenai sosok wanita cantik Indonesia yaitu seorang wanita yang memiliki kecantikan kulit wajah putih alami, bebas kerutan yang dijaga sejak dini disertai sosok yang percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki, sehingga dapat memancarkan aura cantik yang inspiratif dan dapat memberikan pengaruh positif bagi orang-orang disekitarnya. Untuk menyampaikan makna cantik seorang perempuan versi Pond`s, maka Pond`s memilih beberapa selebriti sebagai brand ambassador yang mereka anggap sesuai dengan akarakter brand untuk menjadi celebrity endorser dalam iklan Pond`s.
Representasi sosial Moscovici mendefinisikan representasi sosial yaitu: “systems of values, ideas and practices with a two-fold function; first, to establish an order which will enable individuals to orientate themselves in their material and social
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
30
world and to master it; secondly, to enable communication to take place amongst members of a community by providing them with a code for social exchange and a code for naming and classifying unambiguously the various aspects of their world and their individual and group history” (Moscovici, 1973) Menurut Hollander (1981) dalam Pidarta (2007), psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar individu. Jodelet (2005) menjelaskan istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran umum (common sense). Pikiran umum adalah cara berpikir rasional‟ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari (Putera dkk, 2009). Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemenelemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik (central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik (periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika
kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core. Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, yang mana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara individu dan dibagikan secara kolektif (Johar, 2011). Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang. Sesuai dengan pernyataan Abric (1989). Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa tingkah laku para subyek ataupun kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situai tersebut. ...‖ (Abric, 1989, Terdapat 3 (tiga) tipe trasformasi genesis dari teori representasi sosial yaitu: Pertama, kita dapat menyadari proses bagaimana representasi sosial berkembang dan berubah, pertimbangan tersebut dapat kita sadari berasal dari pola sosiogenesis. Proses ini tidak hanya meliputi penjelasan representasi yang tersebar dalam masyarakat, tetapi juga proses historisnya bagaimana representasi itu berubah. Saat kita terlahir, pengetahuan telah ada dan di share oleh banyak orang, jadi bentuk pengetahuan yang dibicarakan sosial yang telah ada tidak bisa kita tolak karena itu telah terjadi dan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
31
didiskusikan bahkan sebelum kita lahir. Kedua, kita menyadari dalam proses yang terjadi dalam representasi sosial terlibat pula individu di dalamnya. Kita menyebut istilah ini dengan ontogenesis. Bayi terlahir ke dalam dunia yang sudah tercipta disekitarnya struktur dan representasi sosial dari komuitasnya, budayanya, dan tentunya anak tersebut bukanlah aktor yang bebas dalam dunia ini, akan tetapi, sebagai individu, dia juga akan menafsirkan pengetahuan yang ada menurut pengalaman yang dia punya. Di sini sifat individu oleh Jodelet di bagi ke dalam 3 keadaan yaitu : Subjektif sphere (expreesive, meaningful), inter-subjektive sphere (a mean to understand, a toor for interpretation), tran-subjektive sphere (cultural apparatus, social norms, values people link to social relations, allows to build tools for interpretations). Kesimpulannya adalah representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari saling mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut. Menurut Moscovici (1984) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan objectifying.
1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu. 2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kodekode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut. Perempuan dalam Iklan Televisi Sebenarnya televisi hanya mengandalkan kemampuan audio visual dan prinsip-prinsip komunikasi massa sebagai media konstruksi, sehingga sesungguhnya copywriter dan visualiser-lah yang paling besar perannya dalam memberi nuansa ―hidup‖ kepada iklan televisi. Mereka telah mengubah realitas sosial bahkan mereproduksi realitas sosial dan mengkomunikasikan dalam bahasa informasi kepada audiens, sehingga realitas tersebut tidak lagi menjadi sekedar realitas iklan televisi namun menjadi realitas informasi komunikasi yang sarat dengan makna. Disadari atau tidak, media massa televisi yang ada hingga tingkat tertentu berfungsi sebagai ―agen-agen industri komunikasi transnasional‖
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
32
yang mempromosikan nilai-nilai yang melekat dalam industrialisasi yang dianut masyarakat. Iklan dengan gencar menawarkan berbagai produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan fisik yang sifatnya sementara : alat kecantikan, makanan, minuman, pakaian dan kendaraan, yang umumnya hanya dapat dijangkau oleh keluarga yang berada (Deddy Mulyana, 1996). Misal iklan alat kecantikan yang demikian mencolok mampu memberikan kesan seolah-olah yang terpenting dalam hidup ini adalah wajah yang cantik yang dapat memikat perhatian lawan jenis. Lewat pesan-pesannya yang sugestif, iklan mengaktifkan dorongandorongan bawah sadar yang mendominasi kehidupan manusia yang selalu tertarik kepada dan menarik orang lain, penampilan, kecantikan dan misteri mereka. Iklan dapat memperkokoh mitos-mitos budaya paling kuat, yakni pentingnya daya tarik secara fisik dan awet muda, bagi kaum perempuan, khususnya. Bila kita membeli dan menggunakan produk tertentu, orang tersebut akan menjadi tampak muda dan menarik seperti model pada iklan tertentu, demikian inti pesan yang disampaikan melalui iklan di media. Iklan tidak sekadar menjual barang, tapi juga seksualitas, keindahan, kemudaan, kemodernan, kebahagiaan, kesuksesan, status dan kemewahan (Bungin, 2011: 113). Dengan tujuan utama iklan adalah untuk mempersuasi konsumen agar menggunakan produk atau jasa sebuah badan, maka penggunaan cara baik strategi dan bentuk iklan yang disampaikan menjadi sangat bervariatif. Para agen periklanan memeras otak untuk mencari jenis iklan yang belum ada tapi bisa dengan mudah mendapat perhatian dari khalayak. Disinilah ber-
laku hukum keindahan, bahwa setiap yang indah secara naluri akan lebih mendapat perhatian indera manusia. Peranan wanita menjadi sangat dominan sebagai unsur pembawa keindahan dalam iklan di media massa khususnya televisi. . Dengan penampilan yang dominan bagaimana potret wanita ditampilkan di media massa televisi. Ternyata dalam memandang dan memperlakukan wanita, televisi bersifat paradoks. Di satu pihak, media mempromosikan kemajuan-kemajuan dan prestasi-prestasi wanita, misalnya memunculkan wanita sebagai tokoh wanita karir dalam iklan dan programprogram lainnya, namun pada saat yang sama iklan juga melemparkan mereka kembali pada keterbelakangan, dengan tetap menonjolkan keutamaan wanita (sekadar) sebagai makhluk yang dapat menarik perhatian lawan jenisnya (Kompas, 1999: No 51). Dari tayangan-tayangan iklan televisi, terlihat bahwa iklan televisi khususnya merupakan pengabadian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum wanita. Streotipe perempuan tersebut menjadi wacana dalam rancangan iklan televisi, menempatkan streotipe tersebut dalam konteks sentral iklan televisi. Perempuan harus tampil menyenangkan suami, seperti terdapat dalam iklan Pond`s flawless white versi Bunga Citra Lestari dan Ashraf Sinclair. Data yang diperoleh Survey Research Indonesia (SRI) menunjukkan bahwa kecenderungan produk komersial yang diiklankan dalam televisi adalah alat-alat kelengkapan kecantikan seperti kosmetik, sabun, sampo, pasta gigi, deodoran, dan lain-lain. Iklan-iklan ini membujuk kaum wanita
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
33
agar mereka menjadi menarik dan mempesona. Pesan-pesan iklan ini memeperteguh mitos-mitos budaya paling kuat, yaitu pentingnya daya tarik fisik dan usia muda bagi kaum wanita. Iklan-iklan ini, juga banyak sinetron-sinetron yang sekarang lagi mewabah, adalah banyak ditokohi oleh para mereka wanita yang cantik dan berusia muda. Meskipun ada tokohtokoh tua, biasanya tokoh-tokoh tersebut menjadi pelengkap penderita. Maka dapat dipahami bila tidak sebuah pun iklan kosmetik yang dibintangi oleh seorang kakek-nenek yang sudah peot, meskipun terkenal. Dalam konteks inilah media massa (khususnya televisi) leluasa untuk memperteguh dan mengkonstruksi pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma kaum wanita yang sudah ada sehingga membentuk representasi sosial. Konstruksi tersebut antara lain adalah pentingnya wanita menjadi cantik secara fisik (bugar, ayu, ramping, muda, dan sebagainya). Maka ketika pemirsa melihat iklan Pond`s beauty white sebagai misal, dengan semua bintang iklannya yang seluruhnya adalah artis dan model perempuan cantik seperti Dewi Sandra, Citra Bunga Lestari, Gita Gutawa, Rianti Cartwright dan lain-lain. Dalam iklan tersebut si bintang iklan memperlihatkan wajah cantik dengan kategori putih, tanpa jerawat, halus, tanpa bintik hitam, merona dan tanpa kerutan. Hal tersebut mempersonifikasikan secara utuh pandangan perempuan cantik adalah memiliki kulit wajah putih merona, halus, tanpa bintik hitam dan tanpa kerutan. Mitos “Cantik “ dan Perempuan
Cantik, kata itu menjadi lekat dengan perempuan ketika ada konstruksi masyarakat tentang penampilan fisik seseorang. Cantik bagi perempuan juga dianggap anugrah tuhan. Ketika seorang laki-laki ditanya tentang keinginan punya pasangan, maka kebanyakan mereka akan memilih perempuan cantik dan kemudian unsur lainnya seperti kecerdasan bisa menjadi pilihan setelah itu. Namun ada konstruksi lain yang menyebut bahwa tidak berguna jika hanya memiliki kecantikan fisik. Ini berarti selain fisik, perempuan juga dituntut memiliki kecantikan dari dalam hati (inner beauty). Menurut mitos, Inner beauty biasanya dimiliki perempuan yang tidak cantik secara fisik, karena tuntutan perempuan harus tampil sempurna, Naomi Wolf (1962 ) dalam buku The Beauty Myth (cetakan pertama pada tahun 1991, lalu dicetak ulang pada tahun 2002) menjelaskan mengenai konsep dari mitos kecantikan. Persoalan feminisme yang terus berkembang telah membuka ruang gerak yang lebih leluasa bagi perempuan. Namun, persoalan bagi perempuan tidak berhenti pada keleluasaan ruang gerak semata. Ada kontrol sosial yang baru yang mencoba tetap memasung perempuan dalam kotak patriarki. Kontrol sosial tersebut disebut sebagai mitos kecantikan. Mitos kecantikan adalah standar mengenai kecantikan fisik yang diciptakan untuk perempuan. Mitos ini menjadi standar ganda bagi perempuan untuk berkegiatan di ruang publik. Standar dalam mitos ini kemudian menjadi sebuah obsesi yang memenjarakan perempuan modern dalam lingkaran harapan. Kesadaran yang diraih oleh perempuan dalam keleluasaan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
34
gerak di ruang publik tergantikan oleh kesadaran semu yang berstandar ganda. Para perempuan kemudian kembali terjebak pada persoalan atribut, dalam konteks ini sebagai bentuk kecantikan fisik yang menghambat pembebasan pemikirannya. Mereka akan tetap membenci dirinya ketika tidak dapat memenuhi standar kecantikan ―umum‖. Mitos kecantikan adalah perwujudan lain dari pengekangan bagi perempuan dalam masyarakat patriarkal. Selain pengaruh langsung dari lingkungan sekitar, media massa turut berperan dalam penyebarluasan dampak dari pemikiran fitur kecantikan. Studi terhadap 4294 iklan televisi di Inggris menunjukkan pernyataan tentang kemenarikan fisik perempuan paling umum ditampilkan melalui profil perempuan dan disuarakan oleh lakilaki (Meilliana, 2006: 109).. Karena adanya pengaruh media massa tadi fitur ideal perempuan barat diinginkan oleh perempuan-perempuan termasuk Indonesia. Sehingga berbagai produk dari luar negeri dikonsumsi untuk memperbaiki bentuk tubuh sesuai dengan yang dilihatnya. Selain itu berdasarkan beberapa studi, citra tubuh negatif tersebut bisa mempengaruhi kehidupan seksual karena mungkin banyak anggapan tubuhnya tak cukup menarik bagi pasangannya. Perempuan sering salah kaprah memahami hal-hal yang bisa membangkitkan gairah atau libido padahal tidak demikian. Perempuan “Cantik” dan Iklan Televisi Cantik identik dengan kaum perempuan sebagai representasi dan manifestasi dari anutan nilai-nilai
perilaku dan penampakan. Cantik membawa sejarah dari mitologi atau teologi, lalu mengalami derivasi dengan pemahaman etik, estetik, dan teknik. Saat ini konsumen telah dibanjiri oleh bermacam-macam produk yang hadir melalui media televisi, radio, maupun media Iainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan penetrasi ruang bawah sadar konsumen dengan beragam trik persuasi komunikasi. Banyaknya informasi yang menyerbu benak konsumen menyebabkan kondisi over communicated, suatu keadaan di mana konsumen tidak mampu lagi bahkan untuk, mengingat produk-produk yang ditawarkan. Hanya produk istimewa saja yang mampu mendapat perhatian penonton. Iklan produk-produk kecantikan menawarkan perubahan warna kulit, anti penuaan, dan sebagainya. Hal tersebut membuat perempuan (calon konsumen yang melihat iklan) menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Kulit yang halus, putih, bersih, tanpa bintik hitam adalah impian setiap perempuan di Indonesia, sehingga perempuan Indonesia di-setting sedemikian rupa untuk ikut menggunakan produk kecantikan yang ditawarkan agar impian-impiannya tercapai (Rumambi, 2009:9). Perempuan merupakan segmen pasar yang sangat potensial. Banyaknya produk-produk kecantikan perempuan yang beredar di pasaran merupakan bukti bahwa perempuan adalah pasar yang potensial untuk digarap oleh produsen, karena perempuan merupakan segmen pasar yang potensial, maka terdapat banyak iklan yang menggunakan wanita perempuan yang dianggap cantik sebagai model iklan,
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
35
tujuannya adalah untuk merayu para perempuan agar mau menggunakan produk yang diiklankan. Kita dapat melihat iklan produk-produk kecantikan di media cetak ataupun elektronik, model-model dan bintang-bintang dalam iklan tersebut adalah kebanyakan perempuan Indo. Sehingga warna kulit yang putih adalah tema yang muncul berulang-ulang untuk mendefinisikan kecantikan dan feminitas (Rumambi, 2009:1O). Iklan mempunyai muatan makna eksploitasi organ tubuh dan daya tarik seksualitas perempuan. Artinya, ketika perempuan cenderung distereotipkan secara sosial, bahwa nilai lebihnya itu hanya terdapat pada daya tarik seksualnya, dengan indikasinya adalah terletak pada kecantikan, kemulusan, kesegaran, serta kemontokan tubuhnya, maka tanpa disadari, akhimya perempuan didorong dan bahkan ‗dipaksa‘ untuk memenuhi tuntutan tersebut, jika ingin mendapatkan penghargaan dari masyarakat, yang didominasi oleh sistem budaya patriarkis (Kasiyan, 2008:275). Perempuan cantik memang selalu ditampilkan untuk model iklan, perempuan dan bagian-bagian tubuhnya dapat menjual segalanya mulai dari makanan hingga mobil. Ada beberapa alasan menjadikan perempuan sebagai model dalam iklan, antara lain karena sosok perempuan dibutuhkan untuk memperkuat daya jual dan sebuah produk, perempuan dijadikan wahana promosi barang-barang produksi dan produsen, dan karena kecantikan ―tubuh‖ perempuan bisa dijadikan stopping power dalam suatu iklan. Stopping power ―kekuatan‖ yang digunakan oleh tim kreatif agar dapat menanik perhatian audience. Selain itu juga yang lebih diharapkan dari itu
adalah bisa menciptakan locking power, kekuatan kreatif dalam mengunci ingatan (memori) audience terhadap pesan yang diterimanya (Winarni,2009: 14). Dalam tulisan ini melihat bahwa perempuan sangat sering dijadikan sebagai model atau bintang dalam iklan, alasan utama karena sebagian besar iklan ditujukan kepada perempuan sebagai pembeli potensial dari produk yang diiklankan. Dampaknya, akhirnya kecantikan didefinisikan secara sempit, bahwa kecantikan hanya soal urusan fisik saja, karena kebanyakan model-model perempuan yang tampil dalam iklan selalu mengedepankan kecantikan lewat konstruksi tubuh mereka, yaitu kulit putih dan halus, rambut panjang dan hitam berkilau, serta tubuh yang langsing. Dalam kegiatan periklanan model yang dijadikan bintang iklan turut mempengaruhi representasi sosial yang tertentu. Iklan seringkali menggunakan model iklan sebagai alat untuk mempengaruhi konsumen. Modelmodel iklan tersebut juga seringkali hadir dari kalangan selebritis. Penggunaan model-model tersebut dalam kegiatan periklanan disebut dengan product endorser. Product endorser sendiri terbagi menjadi dua tipe yaitu selebriti dan orang biasa. Selebriti yang menjadi seorang endorser disebut dengan celebrity endorser. Selebriti seringkali digunakan di dalam iklan, karena dengan representasi ideal yang mereka miliki diharapkan dapat mempengaruhi para calon konsumen Royan (2004: 5) mengatakan bahwa alasan yang masuk akal dari produsen menggunakan selebriti dalam iklannya adalah personality artis mempengaruhi personality merek, pilihan bintang yang tepat dapat mem-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
36
pengaruhi tumbuhnya market share, diharapkan personality sang bintang akan melekat pada merek dan diharapkan sang bintang menjadi endorser yang handal sehingga menarik minat beli konsumen. Pemilihan selebriti yang tepat akan memiliki keterkaitan erat dengan brand produk menjadi brand seperti yang diwakili oleh selebriti. Menurut Philip Kotler (dalam Royan,2004:8) seorang selebriti yang sangat berpengaruh disebabkan memiliki kredibilitas yang didukung faktor keahlian, sifat dapat dipercaya, dan adanya kesukaan. Kredibilitas merupakan bagian dari selebriti yang dianggap paling penting oleh konsumen. Kredibilitas selebriti menggambarkan persepsi konsumen terhadap keahlian, dan pengetahuan selebriti mengenai produk yang diiklankan dan kepercayaan selebriti (kejujuran selebriti mengenai produk yang diiklankan)
Representasi Sosial Perempuan “Cantik” dalam Iklan Pond`s Definisi mengenai kecantikan perempuan yang terus berubah dari era ke era sampai saat ini, salah satunya merupakan hasil bentukan dan tempaan iklan yang terus menerus. Iklaniklan yang membentuk standar kecantikan itu merupakan iklan-iklan kosmetik dari produk kecantikan perempuan yang rata-rata iklannya menggunakan perempuan dengan berbagai kriteria cantik yang ingin disampaikan sebagai modelnya (Model Iklan Pond`s terlampir). Pond`s sebagai sebuah produk kecantikan yang berfokus pada kecantikan kulit wajah telah ikut berandil besar dalam merepresentasikan men-
genai konsepsi kecantikan di Indonesia melalui iklan-iklan dan kegiatan promotional yang mereka lakukan. Pond`s merupakan salah satu brand produk kecantikan kulit wajah yang melakukan kegiatan pemasaran produk mereka melalui cara beriklan di media cetak dan elektronik. Dalam iklan-iklannya Pond`s menggunakan selebriti perempuan sebagai endorser dan brand ambassador untuk menanamkan nilainilai mengenai kecantikan kepada khalayak sasaran mereka. Kecantikan perempuan yang direpresentasikan oleh selebriti perempuan dalam iklan-iklan Pond`s merupakan preferred meaning Pond`s mengenai kecantikan yang mereka sampaikan kepada khalayak. Selebriti perempuan sebagai endorser dan brand ambassador yang digunakan dalam iklan televisi Pond`s adalah:
1. Bunga Citra Lestari (Pond`s Flawless White) 2. Gita Gutawa (Pond's White Beauty) 3. Sandra Dewi (Pond's Flawless White) 4. Rianti Cartwright (Pond`s Flawless White) 5. Bow Benchawan Artner (Pond`s Flawless White) 6. Eriska Reinisa 7. Natasha Rizki Pradita 8. Syaifatu Rizki Azhari Konstruksi mengenai konsep kecantikan dalam iklan Pond`s di televisi dapat dilihat dari wujud visual dan copy yang ditampilkan dalam iklan tersebut yang menjadi representasi dan konsepsi mengenai kecantikan. Iklan Pond`s di televisi memiliki banyak versi, diantaranya versi Bunga Citra
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
37
Lestari bersama Ashraf Sinclair, versi Bow Benchawan Artner, versi Bunga Citra Lestari dengan Gita Gutawa serta Rianti dan lain-lain, hampir seluruh iklan Pond`s menggunakan selebriti yang sudah dikenal publik secara luas untuk mewakili citra ‖kecantikan‖ produk tersebut. Sosok selebriti inilah yang menjadi tanda untuk representasi dominan dan konsep kecantikan yang ingin disampaikan oleh Pond`s. Bahwa perempuan ―cantik‖ menurut Pond`s wujudnya adalah artis yang menjadi brand ambassador. Sedangkan tanda-tanda yang lain bersifat memperkuat keberadaan mereka sebagai representasi dari tema kecantikan. Keseluruhan kecantikan dalam iklan Pond`s versi Bunga Citra Lestari bersama Ashraf Sinclair, versi Bow Benchawan Artner, versi Bunga Citra Lestari dengan Gita Gutawa serta Rianti dan sosok selebriti lainnya dikonstruksikan secara sama. Tema-tema seperti tubuh Iangsing, kulit wajah putih mulus, bebas jerawat, bebas bintik hitam, tanpa kerutan di wajah dan awet rnuda, masih muncul dalam iklan Pond`s sebagai representasi dari konsep kecantikan. Ini berarti kecantikan secara fisik masih menjadi acuan utama dalam menggambarkan tentang makna kecantikan. Dalam iklan Pond‘s Flawless White dengan tema '7 Days to Love' versi Bow Benchawan Artner dan Pond‘s Flawless White versi Rianti, Cartwright kecantikan dikonstruksikan dengan merepresentasikan Bow Benchawan Artner dan Rianti Cartwright sebagai tanda kecantikan yang berorientasi pada westernculture. Dalam iklan tersebut, Bow Benchawan Artner dan Rianti Cartwright yang merupakan perem-
puan ―belasteran‖ dengan profesi sebagai model dan artis sinetron serta film berpenampilan mengenakan baju yang terbuka, dan menonjolkan kulit putih dan segar yang ia miliki. Melalui iklan ini, khalayak tanpa sadar digiring pada ukuran ideal yang dicitrakan yaitu citra Indo-Eropa baik dalam warna kulit, postur, maupun garis wajah (Kompas, Minggu Mei, 2008). Untuk iklan Pond`s versi Bunga Citra Lestari dan Gita Gutawa, makna kecantikan tetap dikonstruksikan secara sama dengan menggunakan atribut-atribut fisik yang juga terdapat dalam iklan Pond`s versi Bow Benchawan Artner dan Rianti Cartwright. Pada iklan versi Bunga Citra Lestari dan Ashraf makna perempuan cantik berdasarkan citra pergaulan. Perempuan dilambangkan dengan makhluk yang indah dan anggun, seperti dalam iklan Pond`s (Bungin, 2011: 123). Perempuan dilihat sebagai sosok yang indah dan keindahan perempuan dilihat dari fisik yang menarik dimata laki-laki. Versi Bunga Citra Lestari dan Ashraf diceritakan bahwa dua orang perempuan sedang melakukan fitting baju pengantin, ketika keduanya berada didepan cermin, terlihat perbedaan diantara keduanya, yang satu kulit wajah putih bersih tanpa noda, sementara yang satu punya noda dan kusam, dan si calon pengantin yang memiliki kulit wajah kusam dengan noda hitam tidak percaya diri, sementara yang memiliki wajah putih bersih tanpa noda hitam (Bunga Citra Lestari) tampak sangat percaya diri dan Ashraf sebagai calon pasangan Bunga begitu senang dengan wajah calon mempelai wanitanya yang putih tanpa noda hitam. Iklan tersebut membentuk makna bahwa kulit putih, ber-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
38
sih, halus dan lembut terawat yang membuat Ashraf jatuh cinta pada Bunga dan itu semua karena Pond`s yang telah membantu membuat kulit putih bersih. Sementara pada iklan Pond`s versi Bunga Citra Lestari dan Gita Gutawa diceritakan bahwa karena kulit wajah Bunga Citra Lestari yang putih tanpa noda hitam membuat Ashraf masih tetap bertahan mencintai Bunga. Kedua iklan Pond`s, yang dibintangi oleh Bunga Citra Lestari sama-sama membentuk makna bahwa ketertarikan kaum pria disebabkan oleh kecantikan yang dimiliki oleh perempuan secara fisik, seperti kulit wajah putih, tanpa noda hitam, tanpa kerutan wajah serta awet muda. Penggunaan brand ambassador Gita Gutawa, Natasha Rizki Pradita, Eriska Reinisa, dan Syaifatu Rizki Azhari, mengindikasikan bahwa remaja sebagai pasar sasaran yang potensial produk Pond`s. Remaja dijadikan pasar sasaran karena memberikan keuntungan yang berlipat ganda bagi para pemasar. Dari sini, dapat dilihat bahwa ideologi tentang kecantikan berusaha ditanamkan sejak konsumen berusia remaja. Artinya, konsep kecantikan yang ditanamkan sejak remaja menitikberatkan pada atribut usia muda dalam konsep kecantikan secara fisik. . Kemudian, memilih remaja sebagai pasar sasàran dalam sudut pemasaran merupakan langkah yang cermat, karena remaja merupakan konsumen masa depan yang harus didapatkan loyalitasnya Konsistensi dalam memelihara remaja sebagai pasar masa depan akan memberikan captive market yang loyal bagi pemasar untuk memaintain brand. Artinya apabila pasar remaja ini terus dijaga keberadaannya,
maka dalam jangka waktu pendek dapat menghidupkan brand. awareness, kèmudian menciptakan brand personality, dan dalam jangka waktu panjang akan memberikan brand loyality bagi produk terhadap pasar remaja tadi. Apalagi, untuk produk kecantikan para perempuan biasanya memilih produk yang cocok bagi mereka dan apabila telah cocok maka mereka akan loyal terhadap produk tersebut, jadi apabila kecocokan terhadap produk ini bisa didapatkan sejak konsumen masih remaja, maka ia akan menjadi konsumen loyal dari produk tersebut. Dalam iklan Pond`s versi Bunga Citra Lestari dan Gita Gutawa, terbentuk pemahaman mengenai kecantikan perempuan mulai dari usia remaja, hingga dewasa berdasarkan kulit wajah yang putih bersih serta terawat sehingga membuat seorang perempuan tampil utuh dan percaya diri dan menjadi sosok yang menarik bagi yang melihatnya, khususnya lawan jenisnya. Wajah menempatkan kecantikan fisik yang utama dalam menarik lawan jenis dan menarik perhatian orang-orang sekitar. Inilah yang disampaikan oleh Pond`s dalam iklan Pond`s dihampir semua versi. Terkait dengan konstruksi kecantikan mengenai penampilan fisik dari iklan Pond`s dalám kajian ini, kecantikan dengan instrument-instrumen kulit wajah putih tanpa bintik hitam, tidak berjerawat, bebas kerutan, rambut hitam berkilau, tubuh langsing, dan awet muda merupakan akibat dari hegemoni media massa yang menampilkan pemujaan terhadap nilai-nilai asing melalui siaran-siaran televisi dan iklan. Dalam banyak iklan produk kecantikan, doktrin yang dikeluarkan mengindikasikan bahwa hanya mereka yang berkulit wajah putihlah yang can-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
39
tik. Jika demikian, maka terdapat ketimpangan sosial dan rasial jika iklaniklan tersebut disampaikan di Indonesia yang memiliki beragam suku dan ras dengan warna kulit yang berbedabeda. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa memiliki penampilan cantik merupakan impian semua wanita. Dalam memasarkan sebuah produk, berbeda audiens sasarannya maka berbeda pula cara penyampaian pesannya. Jadi apabila iklan produk kecantikan berpikir bahwa audiens adalah sama, yaitu pria dan perempuan akan merespon sama sebuah iklan, maka mereka keliru. Dalam memasarkan produk untuk perempuan melalui iklan, maka bahasa dan karakter iklan tersebut seharusnya lebih disesuaikan dengan bahasa Venus (Rumambi,2009:59). Dari hasil Survey Litbang Kompas pada bulan Februari 2008, didapatkan bahwa standarisasi mengenai kulit putih sebagai acuan kecantikan bukanlah apa yang dinginkan wanita. Kecantikan tidak hanya diukur secara fisik semata, melainkan ada faktor lainnya seperti kecerdasan, kematangan, kecantikan dari dalam ―inner beauty‖ dan lain-lain. Tetapi yang terdapat dalam banyak iklan konstruksi kecantikan adalah kulit putih dan atribut-atribut lain seperti tubuh langsing, rambut hitam berkilau, dan usia muda merupakan konsep kecantikan yang didamba-dambakan oleh banyak perempuan. Dalam memasarkan produk bagi wànita melalui iklan, informasi yang disampaikan harus menyesuaikan dengan sifat, sikap, dan keinginan perempuan yang menjadi audiens, lalu mengapa kenyataanya dogma-dogma seperti kulit putih, tubuh langsing, dan usia muda terus menjadi instrumen kecantikan yang disampaikan melalui iklan, ataukah
mungkin karéna rnayoritas tim kreatif sebuah biro iklan yang kebanyakan diisi oleh laki-laki sehingga mereka menyampaikan ide mengenai kecantikan dari sudut kacamata laki-laki. Pond`s sendiri dalam menyampaikan iklan-iklan di televisi terlihat gencar mengincar pasar remaja dan perempuan muda yang dewasa sebagai target market mereka. Televisi memang mempunyai segmen penonton para perempuan remaja dan perempuan berusia muda. Dari sini terlihat bahwa Pond`s selain berusaha mengejar remaja sebagai target market mereka, ini terlihat dari brand ambassador yang digunakan, segmentasi produk yang kebanyakan untuk usia muda dengan labeling bahwa Pond`s dapat mencegah kerutan sedari dini sehingga menjadi ketika usia bertambah, kulit tetap awet muda tanpa kerutan. Konsepsi tentang kecantikan berusaha disampaikan Pond`s sejak para perempuan masih berusia rernaja, karena remaja merupakan pasar sasaran yang potensial yang dapat menjadi konsumen loyal di masa depan. Ini berarti konsep kecantikan yang ditanamkan kepada remaja adalah tentang usia muda sebagai instrumen kecantikan fisik. KESIMPULAN 1. Definisi mengenai kecantikan perempuan terus berubah dari era ke era sampai saat ini, salah satunya merupakan hasil bentukan dan tempaan iklan yang terus menerus. Iklan-iklan yang membentuk standar kecantikan tersebut adalah iklan-iklan kosmetik dari produk kecantikan perempuan yang ratarata iklannya menggunakan perempuan dengan berbagai kriteria cantik yang ingin disampaikan.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
40
2.
3.
Konstruksi mengenai konsep kecantikan dalam iklan Pond`s di televisi dapat dilihat dari wujud visual dan copy yang ditampilkan dalam iklan tersebut yang menjadi representasi dan konsepsi mengenai kecantikan. Dalam iklan Pond`s di televisi versi Bunga Citra Lestari bersama Ashraf Sinclair, versi Bow Benchawan Artner, versi Bunga Citra Lestari dengan Gita Gutawa serta Rianti dan sosok selebriti lainnya, menggambarkan bahwa sosok selebriti inilah yang menjadi tanda untuk representasi dominan dan konsep kecantikan yang ingin disampaikan oleh Pond`s. Bahwa perempuan ―cantik‖ menurut Pond`s wujudnya adalah artis yang menjadi brand ambassador. Sedangkan tanda-tanda yang lain bersifat memperkuat keberadaan mereka sebagai representasi dari tema kecantikan. Hampir keseluruhan iklan Pond`s di televisi yang dibintangi oleh para selebritis mengangkat tematema kecantikan dari sisi fisik seperti tubuh Iangsing, kulit wajah putih mulus, bebas jerawat, bebas bintik hitam, tanpa kerutan di wajah dan awet rnuda, masih. Hal tersebut yang membentuk representasi dari konsep kecantikan. Ini berarti kecantikan secara fisik masih menjadi acuan utama dalam merepresentasikan makna kecantikan. Makna tentang perempuan ―cantik‖ dikonstruksi dari ketertarikan kaum pria disebabkan oleh kecantikan yang dimiliki oleh perempuan secara fisik, seperti kulit wajah putih bersih, tanpa jerawat, tanpa noda hitam,
4.
tanpa kerutan wajah dan awet muda. ―Everything has it`s beauty but not everyone sees it” (segala sesuatu memiliki kecantikan, namun tidak semua orang melihatnya) kata-kata bijak Confucius ini merupakan gambaran bahwa kecantikkan, bukan sekedar halhal yang kasat mata saja atau terlihat tetapi setiap hal termasuk juga perempuan akan memperlihatkan semua kualitas kecantikannya yang senantiasa bukan sekedar fisik. Tetapi juga berbagai hal lain yang dimilikinya sebagai daya tarik (Rumambi, 2009:5). Dan kalimat ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsepsi kecantikan yang ideal adalah kecantikan fisik yang disertai dengan kecantikan dari sisi personality, sehingga akan melahirkan sosok perempuan cantik yang seutuhnya.
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2011. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada. Deaux,
Kay dan Gina Philogene. 2001. Representations of the Social. USA: Blackwell Publisher
Gunawan, Elia Agus. 2003. Pengaruh Representasi Sosial Tentang Kerja dan Sosialisasi Nilai Gender Terhadap Performa Kerja Perempuan Kasus Usaha Pengkacipan Mente di Lombe Sulawesi Tenggara. Tesis Program Studi Sosiologi Pedesaan Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
41
Jodelet, Denise. 2006. Representasi Sociales. Paris:PUF Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak Meilliana, Annastasia. 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta: LkiS Nadra, Hurriyatun. 2010. Representasi Sosial Pertanian pada Pemuda Tani di Komunitas Lahan Kering. Skripsi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Pandjaitan, Nurmala, K. 1998 Representasi Profesional Petani Padi-Sawah dalam Hubungannya dengan Praktek Pengenalan Hama. Sodality Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Sumarwan, Ujang.2003. Perilaku Konsumen. Jakarta: Ghalia Indonesia Winarni, Rina Wahyu. 2009. Representasi Kecantikan Perempuan dalam Iklan. Jakarta: Jurnal Deiksis Program Desain Komunikasi Visual. Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Sumber Lain: http://www.pondsinstitute.com/id/prou cts.aspx?cat_id=15 Kompas, Minggu 4 Mei 2008 Kompas, 1999: No 51 Republika. co.id Rabu, 21 Desember 2011 http://www.femina.co.id/cantik/beauty. news/perjalanan.sang.pionir/00 2/001/75
Royan, Frans M. 2004. Marketing Selebrities: Selebriti dalam Iklan Strategi Selebriti Memasarkan Diri Sendiri. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Rumambi, Leonid Julivan. 2009. Pemasaran Produk Kecantikan ala Indonesia (Kisah Lux, Pond`s, Dove, Citra dan Giv). Yogyakarta: Graha Ilmu
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
42
GRUP NOMINA KOMPLEKS PADA NOVEL LORD OF THE RINGS KARYA J. R. R. TOLKIEN Oleh Novita Puspahaty Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract This research is entitled Nomina Group Complexes in English: A Functional and Transformational grammar approach. This research discusses: 1) what groups usually appear on nomina group complexes based on functional grammar approach and 2) what phrase usually appear on nomina group complexes based on transformational grammar approach. This research method used is descriptive method which employs classification of groups, and nomina group complexes. This research, employs theory of M.A.K Halliday for functional grammar approach and Chomsky‟s theory for transformational grammar approach. The result of this research shows that: 1) Group usually appear on nomina group complexes based on functional grammar approach is only prepositional group, 2) Groups usually apear on nomina group complexes based on transformational approach are adjetive phrase and prepositional phrase. Keywords: Nomina Group Complexes, Fungsional Grammar, Tansformasional Grammar PENDAHULUAN Bahasa Inggris dikenal sebagai sebagai salah satu bahasa terpenting di dunia. Sekilas mungkin itu adalah penilaian sementara pada bahasa Inggris. Dimana sesungguhnya ada ribuan bahasa yang berbeda di dunia, dan masing-masing bahasa adalah unik dan penting bagi penuturnya terutama sebagai bahasa ibu, bahasa yang mereka dapatkan sebagai bahasa pertama. Penguasaan bahasa Inggris tidak dapat di pisahkan dari tata baha-
sa. Pelajar harus mengetahui pengetahuan dasar tentang bagaimana kalimat dalam bahasa Inggris diatur untuk membentuk suatu makna. Menurut Richard (1989:125), grammar is a description on the structure of a language and the way in which linguistic units such as words and phrases are combined to produce sentence in the language. It usually takes into account the meanings and functions these sentences have in the overall system of the language. It may or
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
44
may not include the description of the sounds of a language. Tata bahasa merupakan sebuah deskripsi struktur bahasa dan cara sebuah unit linguistik membentuk kosakata dan frasa yang di kombinasikan untuk membentuk kalimat pada suatu bahasa. Biasanya membawa makna tertentu dan fungsi dari kalimat secara keseluruhan dalam suatu sistem bahasa. Tata bahasa juga dapat mengikut sertakan deskripsi suara pada suatu bahasa. Pada bahasa Inggris, diketahui ada tiga jenis tata bahasa. Mereka adalah tata bahasa tradisional, tata bahasa transformasional, dan tata bahasa fungsional. Ketiga jenis tata bahasa ini memiliki perbedaan, namun saling berkaitan satu sama lain. Pada tata bahasa tradisional dan transformational, analisis terfokus hanya pada tulisan. Istilah teknis pada tata bahasa ini adalah kata, frasa, dan unit terbesarnya, kalimat. Sementara pada tata bahasa fungional, analisis tidak hanya terfokus pada tulisan namun juga pada tutur kata. Istilah teknis yang digunakan pada tata bahasa ini adalah kata, grup, dan unit terbesar pada tata bahasa ini adalah klausa. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada tata bahasa fungsional (juga dikenal dengan tata bahasa Halliday) istilah frasa berubah menjadi grup. Namun beberapa ahli bahasa tetap menggunakan istilah frasa, misalnya, frasa nomina (FN) dan frasa verba (FV) untuk grup nomina (GN) dan grup verba (GV). Pada bahasa Inggris, GN tidak dapat diletakan disembarang tempat pada sebuah klausa. Penem-
patan GN lebih rumit dari yang terlihat sebelumnya. Sebuah GN kompleks dapat memiliki grup lain selain GN itu sendiri. Dengan menggunakan pendekatan tata bahasa fungsional hasil yang ditemukan belum tentu sama dengan menggunakan tata bahasa transformasional. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, penulis menggunakan kajian pustaka. Data yang akan di analisis berasal dari novel fiksi karya J.R.R Tolkien yang berjudul The Lord of The Rings, The Return of The King. Novel fiksi dipilih karena ini merupakan salah satu literatur Inggris modern yang paling aktif dan kreatif pada area literasi pada sastra Inggris kontemporer (Traugott: 1980). The Lord of the Rings karya J. R. R. Tolkien di pilih karena novel ini merupakan karyanya yang paling terkenal. Selain itu, popularitas dan pengaruh karya-karya Tolkien yang bertahan lama telah menjadikannya sebagai "bapak" dari genre fantasi tinggi modern. J. R. R. Tolkien tidak hanya dikenal sebagai seorang novelis, ia juga merupakan profesor dalam Bahasa Inggris di Universitas Leeds pada 1920-1925, sebagai profesor Bahasa Anglo-Saxon di Universitas Oxford pada 1925-1945, dan bahasa Inggris dan sastra, juga di Oxford, pada 1945-1959. Sehingga data grup nomina kompleks yang di peroleh diharapkan akan sangat baik dan jauh dari kesalahan. Pertama-tama penulis mengklasifikasi data berdasarkan tipe grup pada klausa. Setelah mengklasi-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
56
fikasi grupnya, dalam hal ini, GN kompleks, penulis menganalisis grup apa yang dapat masuk kedalam GN kompleks. Langkah terakhir yang penulis lakukan adalah membandingkan apakah GN kompleks dengan pendekatan tatabahasa fungsional ini sama dengan pendekatan tata bahasa transformasional. PEMBAHASAN Tata Bahasa Fungsional Tata bahasa fungsional menurut Gerot and Wignell (1994: 6) views language as a resource for making meanings. This grammar attempt to describe language in actual use and so focus on texts and their contexts. They do not only concern with the structure, but also with how those structures construct. Functional grammar start with the question
“how are the meanings of this text realized”. Tata bahasa fungsional mencoba untuk mendeskripsikan bahasa dalam penggunaan yang sebenarnya dan sangat fokus pada teks dan konteksnya. Tata bahasa fungsional diperkenalkan oleh Michael Halliday pada tahun 1985. Bagi Halliday, bahasa adalah ‗sebuah sistem makna‘. Maka dapat dikatakan ketika orang menggunakan bahasa, bahasa mereka berfungsi sebagai ungkapan-ungkapan makna. Bermula dari sudut pandang inilah tata bahasa menjelma menjadi sebuah kajian tentang bagaimana makna terbentuk melalui menggunaan kata-kata dan bentuk-bentuk linguistik lainnya (Bloor and Bloor, 1995: 1).
Tabel 1. Perbedaan Perspektif Utama dari Tiga Buah Tata Bahasa (Gerot and Wignell, 1994: 7) Formal + Traditional grammar Bagaimana kalimat ini terbentuk? Unit analisis Kalimat Fokus pada Sintax level bahasa Bahasa = sebuah kumpulan aturanaturan untuk membuat kalimat = sesuatu yang telah kita ketahui Fokus utama
Functional Grammar Bagaimana makna dari teks dapat dipahami? Keseluruhan teks Semantik = sebuah sumber dalam pembentukan makna = sesuatu yang kita lakukan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
57
Kelas Kata Seperti halnya tata bahasa tradisional, tata bahasa Halliday juga memiliki delapan kelas kata, namun, mereka tidak sama persis dengan
kelas kata pada tata bahasa trdisional. Mereka adalah nomina, adjektiva, numeralia, penentu, verba, proposisi, adverbia, konjungsi dan interjeksi.
Tabel 2. Kelas kata (Bloor dan Bloor, 1995:16) Nomina Adjektiva Numeral Determiner/penentu Verba Preposisi Adverbia Konjungsi
System, flood, barriers, branch, canal Massive Numerous, two, several A Was, developed, consisting Of Soon, largely And
Beberapa nomina dapat kembali dikelompokan menjadi nomina umum, nomina sepadan, dan kata ganti. Sebagai contoh, Shakespeare merupakan anggota dari sub kelas kata nomina sepadan, yang secara tradisional mendeskripsikan nama individu dari orang, tempat, perahu, kereta, pesawat terbang, institusi atau organisasi. Nomina (selain kata ganti) yang tidak termasuk kedalam sub kelas kata nomina umum disebut nomina umum (se-
dams,
bagai contoh, buku, keju, tas, rumput). Sedikit berbeda dengan tata bahasa fungsional, tata bahasa transformasional memiliki dua kategori utama, kategori leksikal dan kategori non leksikal. Kategori leksikal memegang peranan yang sangat penting dalam formasi kalimat. Sedangkan ketegori non leksikal secara umum memiliki makna yang lebih sulit untuk di definisikan dibandingkan dengan kategori leksikal.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
56
Tabel 3. kelas kata (O’Grady, 1996: 182) Kategori leksikal Nomina (N) Verba (V) Adjective (A) Preposisi (P) Adverb (Adv) Kategori non leksikal Determiner (Det) Degree word (Deg) Qualifier (Qual) Auxiliary (Aux) Conjunction (Con)
Contoh Harry, boy, wheat, policy, moisture, bravery Arrive, discuss, melt, hear, remain, dislike Good, tall old, intelligent, beautiful, food To, in, on, near, at, by Silently, slowly, quietly, quickly, now
Contoh The, a, this, these Too, so, very, more, quite Always, perhaps, often, never, almost Will, can, may, must, should, could And, or, but
Nomina Grup Nomina adalah sebuah kata yang (berdiri sendiri atau dengan modifier) dapat berfungsi sebagai subjek(rice pada ‗rice is grown in this country), atau objek langsung ( I like rice), atau pelengkap preposisi (this is made from rice). Sedangkan sebuah FN adalah sebuah frasa yang memiliki head (ada kemungkinan hanya satu kata) adalah sebuah nomina (coffee pada ‗I prefer black coffeee‘), sebuah pronomina (that pada ‗I prefer that‘), atau sebuah nomina adjektiva (elderly pada 'I prefer catering for the elderly'). Tidak semua nomina bisa berdiri sendiri seperti nomina sepadan dan banyak kata ganti atau beberapa nomina umum. Sebagai contoh, money is the root of all evil. Nomina juga tentu saja, bisa mengalami modifikasi secara lebih luas. Seperti pada a so-
phisticated computer or a computer with an external drive. Apabila sebuah FN hanya terdiri dari satu buah nomina, maka nomina tersebutlah headnya. Namun demikian, sebuah FN bisa terdiri dari elemen-elemen nomina seperti (bagian dari) FN internal modifier, sebuah FN dapat lebih dari satu buah nomina. A noun phrase usually begins with a determiner. It normmally has a noun as its most imortant word, or headword. (But often the headword is a pronoun) a noun phrase can act as subject, object, or compliment in the clause. It can also follow a preposition (Leech, 2003:323). FN biasanya dimulai dengan sebuah determiner (penentu). Biasanya FN ini hanya memiliki satu buah nomina sebagai kata yang paling penting atau head. (namun head biasanya berbentuk pronomina) sebuah FN dapat ber-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
57
fungsi sebagai subjek, objek, atau komplemen dalam sebuah klausa. Oleh karenanya, sebuah GN biasanya adalah sebuah grup dengan satu buah nomina (atau kata ganti) sebagai kepalanya dan ini dapat di modifikasi, namun ini tidak harus di modifikasi untuk membentuk suatu grup. Kepala (head) dari grup ini adalah nomina yang berfungsi sebagai petunjuk eksistensi yang merepresentasikan benda, dimana benda ini termasuk didalamnya benda hidup dan benda mati, termasuk untuk manusia. Istilah benda ini digunakan untuk merujuk pada fungsi ini. Sementara elemen sisa pada nomina grup adalah modifier (penentu sifat). Deictic Deictic berfungsi untuk menyatakan ‗benda yang mana‘. Ini menspesifikasi bagaimana benda yang ditanyakan dapat diidentifikasi dalam hubungannya dengan konteks. Contoh, jika seseorang mengatakan ‗the snake‟, maka dia mengacu pada ular yang berada dekat dengannya atau pada semua ular secara keseluruhan (the snake is reptile). Jika seseorang berkata ‗this snake‘, maka dia mengacu pada yang berada didekat tangan. Deictic biasanya ada pada awal nomina grup. Ada beberapa fungsi deictic, tetapi semuanya termasuk tingkat spesifikasi. Deictic dapat spesifik (the) atau non spesifik (a atau an). Non spesifik deictic menyatakan apakah semua, tidak sama sekali sesuatu yang sedang diidentifikasi tersebut. Deictic juga bisa berbentuk post deictic. Post deictic mengidentifikasi sub kelas dari benda tapi merujuk pada sesuatu yang sudah dikenal, ini adalah status didalam teks, atau persa-
maan dan perbedaannya pada beberapa sub kelas lainnya. Numeratif Hal kedua adalah numeratif. Elemen numeratif dapat dilihat dari unsur numerik seperti: two, second, many, several, few, dan lots of. Numeratif sendiri tebagi menjadi dua bagian, yaitu: quantifying numeratives (atau kuantitatif) menentukan baik penomoran secara terperinci (penomoran pokok, seperti two trains) maupun penomoran yang tidak terperinci (sebagi contoh, a subsequent trains). Ephitet Struktur nomina grup berikutnya adalah epithet. Ini mengindikasikan kualitas dari benda, yang bersifat ‗objektif‘ seperti, ‗old‘, ‗big‘, ‗small‘ atau bisa jadi sebuah ekspresi dari perilaku pembicara seperti, ‗loathsome‘, ‗nasty‘. Subjunctive ephitet cenderung hadir sebelum objektif; namun, ini adalah sebuah kecenderungan, bukan merupakan sebuah aturan. Ephitet biasanya terdiri dari satu adjektiva atau lebih dan dapat menjawab dua pertanyaan utama: ‗apa yang anda pikirkan tentang benda tersebut?‘ dan ‗seperti apakah benda tersebut?‘. Pada prinsipnya memungkinkan ada beberapa ephitet. Classifier Menurut Longman dictionary of applied linguistics (1989:39), classifier is a word in a noun group which shows the subclass to which a person or thing belongs. Classifier adalah sebuah kata yang membentuk GN yang menunjukan keterangan orang atau benda. Seperti telah disebutkan sebelumnya, classifier menunjukan keterangan dari benda yang mungkin
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
58
menjadi pertanyaan, sebagai contoh: electric trains, passenger trains, toy trains. Electric, passenger dan toy merupakan classifier karena kata-kata tersebut memberi keterangan pada trains. Terkadang satu kata dapat berfungsi baik sebagai ephitet maupun sebagai classifier, seperti pada: fast train dapat berarti ‗kereta yang melaju dengan cepat (fast = ephitet) atau salah satu klasifikasi dari kereta yang dapat juga diartikan sebagai kereta ekspres (fast = classifier). Perbedaan antara ephitet dan classifier tidaklah begitu jelas, namun kita masih dapat membedakannya. Classifier tidak dapat digunakan untuk membandingkan sesuatu, misalnya kita tidak bisa menyebut a very passenger train atau a more electric train. Thing Hal terpenting pada GN adalah thing. Secara sederhana, thing adalah sebuah nama yang diberikan kepada satu dari enam buah fungsi yang ada pada struktur GN. Dalam
hal ini, thing dapat berupa benda, binatang, orang, zat, atau bahkan sebuah konsep abstrak. Qualifier Elemen terakhir, qualifier menurut Longman dictionary of applied linguistics (1989: 235) adalah any linguistic unit that is part of a group, gives added information about the HEAD of the group, and follows the head. Unit linguistik yang merupakan baigan dari sebuah grup yang memberikan informasi tentang head pada grup tersebut, dan mengikuti headnya disebut qualifier. Dalam bahasa Inggris, sering kali qualifier berfungsi sebagai FP. Pada The wind in the willows, yang berfungsi sebagai thing adalah wind sedangkan qualifiernya adalah in the willows. Contoh lain untuk GN yang juga terdiri atas frasa proposisi sebagai qualifiernya dapat dilihat pada diagram berikut.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
59
Gambar 1. Frasa Proposisi sebagai Qualifier
Susunan elemen yang membentuk frasa dalam tata bahasa transformasional diatur oleh mekanisme yang disebut phrase structure rule: FN -> (Det) Nomina (FP) FV -> (Qual) Verba (FN) FA -> (Deg) Adjektiva (FP) FP -> (Deg) Preposisi (FN) Namun demikian, banyak kalimat dalam bahasa Inggris tidak termasuk kedalam phrase structure rules, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam kalimat pretty girls whispered softly. Sehingga di perlukan aturan tambahan, mereka adalah:
Aturan pertama menyatakan bahwa sebuah FN dapat terdiri dari sebuah determiner, sebuah nomina dan sebuah FP; aturan kedua menunjukan fakta bahwa sebuah FV dapat terbentuk dari sebuah qualifier, sebuah verba, dan sebuah FN; dan seterusnya. FN -> (Det) (FA) Nomina (FP) FV -> Verba (FN) (FP) (Adv) FA -> Adjektiva (FP) Dengan demikian kalimat pretty girls whispered softly dapat dilihat pada diagram pohon berikut.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
60
Gambar 2. Kalimat Pretty Girls Whispered Softly
\
Grup nomina kompleks dengan pendekatan tata bahasa fungsional: Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
57
Data 1
Data 2
Dari data, diperoleh fakta bahwa berdasarkan teori Halliday, pada sebuah GN kompleks hanya terdapat satu grup lainnya, yaitu grup preposisi (GP). GP ini bertindak sebagai qualifier yang berfungsi memberikan informasi tentang head pada grup tersebut. Dan pada kasus GN kom-
pleks yang didalamnya terdapat GP, GP kompleks sendiri dapat terdiri dari GN dan GP yang lain. GP yang menjadi anggota GN sebelumnya, terdiri dari dua GN dan satu GP. Sedangkan pada GN yang lebih kompleks, GP yang menjadi anggota GN kompleks sebelumnya
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
58
memiliki tiga GN dan dua GP. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa GN dan GP memiliki hubungan sangat erat. Karena pada GN kompleks, pasti terdapat palingtidak satu buah GP; dan pada GP kompleks paling tidak terdapat dua buah GP. Sehingga didapat: GN
=> (deictic) (numeral) (ephitet) (classifier) (qualifier) Qualifier => GP GP => preposisi (GN) Selain itu, dari penjabaran diatas dapat kita lihat bahwa menurut
teori Halliday, adjektiva tidaklah membentuk grup baru, melainkan menjadi satu kesatuan dengan grup nomina. Adjektiva pada grup nomina kompleks ini dapat bertbentuk ephitet dan atau classifier. Hal itulah yang menyebabkan melalui pendekatan ini, grup nomina hanya terdiri dari grup preposisi yang berfungsi sebagai qualifier. Grup nomina kompleks dengan pendekatan tata bahasa transformasional:
Data 1
Data 2
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
58
Sedangkan berdasarkan teori Chomsky, dari data yang sama, didapat bahwa pada grup nomina kompleks atau dalam istilah tata bahasa transformasional frasa nomina (FN) dapat terdiri dari frasa preposisi (FP), dan frasa adjektiva (FA). Hasil yang diperoleh pun cukup bervariasi, terdapat data yang terdiri dari satu buah FP dan satu buah FN; data yang terdiri dari satu buah FA, buah FN dan satu FP; data yang terdiri dari empat buah FN, satu FA, dan dua buah FP; data yang terdiri dari lima buah FN, tiga buah FP dan satu buah FA; data yang terdiri dari tiga buah FN, satu
buah FP dan satu buah FA; dan buah data yang terdiri dari tiga buah FN, dua buah FP dan satu buah FA. Dari data tersebut, phrase structure rulenya adalah: 1) FN kompleks => (FN) (FP) (FN) 2) FN kompleks => (FA) (FN) (FP) (FN) 3) FN kompleks => (FN) (FP) (FN) (FP) (FN) (FA) (FN) 4) FN kompleks => (FN) (FP) (FN) (FP) (FN) (FP) (FN) (FA) (FN) 5) FN kompleks => (FN) (FP) (FN) (FA) (FN) 6) FN kompleks => (FN) (FP) (AP) (FN) (FP) (FN)
SIMPULAN Berdasarkan teori utama yang telah digunakan untuk menganalisis
data dari buku sumber, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa temuan yang didapat mengenai grup nomina
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
58
kompleks pada bahasa Inggris. Temuannya adalah: 1. Grup yang biasa muncul pada grup nomina kompleks pada pendekatan tata bahasa fungsional adalah grup preposisi. Grup preposisi pada grup nomina kompleks berfungsi sebagai qualifier. Qualifier sendiri merupakan pemberi informasi tentang head pada grup tersebut. Hal ini kerena pada tata bahasa fungsional adjektiva yang ada pada grup nomina kompleks tidak disebut sebagai grup adjektiva, melainkan tetap sebagai grup nomina. 2. Grup yang dapat muncul pada grup nomina kompleks melalui pendekatan tata bahasa transformasional adalah grup preposisi dan grup adjektiva. Grup yang pada tata bahasa transformasiona disebut frasa ini, baik grup preposisi maupun grup adjektiva berfungsi memberikan informasi atau keterangan tentang head pada grup tersebut. Dimana headnya selalu adalah nomina. Aturan struktur frasa yang didapat dari pendekatan ini adalah bahwa FN terdiri dari (Det) (FA) Nomina (FP).
Borjars, Kersti and Kate Burridge. 2001. Introducing English Grammar. London: Arnold.
DAFTAR PUSTAKA
Lock, Graham. 1996. Functional English Grammar An Introduction for second Language Teachers. Australia: Cambridge Language Education.
Bloor, Thomas and Meriel Bloor. 1995. The Functional Analysis of English A Hallidayan Approach. London. Arnold.
Fromkin, Victoria and Robert Rodman. 2003. An Introducing ot Language. Australia: Thomson. Gerot, Linda and peter Wignell. 1994. Making Sense of Functional Grammar. Australia: Antipodean Educational Enterpress. Halliday, M. A. K., 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: The Chauser. Jack, John Platt and heidi Weber, Richard. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. England: Longman. Jacobs, Roderick A. 1995. English Syntax A Grammar for English Language Professionals. New York: Oxford University Press. Leech, Geoffrey and Benita Cruickshank. 2003. An A-Z of English Grammar and Usage. Malaysia: Longman.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
72
Martin, Christian M I M Matthiessen & Clare Painter. 1997. Working with Functional Grammar. London: Arnold.
Thompson, Geoff. 1996. Introducing Functional Grammar. London: Arnold.
Murcia, Marianne Celce & Freeman, Diane Larsen. 1999. The Grammar Book An ESL/EFL Teacher‟s Course. O‘Grady, William and Michael Dobrovolsky. 1997. Contemporary Linguistics An Introduction. London: Longman.
BAHASANTARA : KETIKA KESALAHAN BERBAHASA DILIHAT SEBAGAI SEBUAH KEUNIKAN Oleh Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
73
Sya’baningrum Prihhartini Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract This paper discusses the uniqueness of the language learner or interlanguage. Interlanguage, or bahasantara, shown from the mistakes of language produced by learners. Mistakes are part of the development process while demonstrating proficiency learners who have achieved the level of proficiency. By showing that the error is a unique language, this paper aims to change the perception that the error was a thorn in language acquisition, and is expected timbuk new understanding that the error is an indication of the development of language second language learners Keywords: Bahasantara, creativity, mistakes, finesse, feedback
PENDAHULUAN Perjalanan panjang seseorang dalam mencapai kemahiran berbahasa kedua dapat kita samakan seperti bayi dan proses panjang yang harus ia lalui sebelum dapat berjalan dan berlari. Bayi tersebut harus melewati serangkaian fase seperti merangkap dan berjalan tertatih-tatih, dan dalam proses itu ia akan mengalami banyak sekali fase jatuh bangun. Jatuh bangun yang ia alami itu memiliki peranan penting karena melalui proses tersebut fisik sang bayi menjadi lebih kuat. Fase yang ia harus lalui pun bertahap, dari tengkurap, duduk, berdiri, berjalan, dan kemudian berlari. Dan dengan bantuan orang –orang disekitarnya, sang bayi tersebut pada satu waktu tertentu akan mencapai tujuan akhirnya: berjalan dan berlari secara mandiri. Sebagaimana proses yang harus dilalui seorang bayi sampai akhirnya ia dapat berjalan dan berlari, begitu pula proses panjang yang ha-
rus dilalui seorang pelajar bahasa kedua dalam mencapai kemahiran berbahasa. Dalam prosesnya mencapai kemahiran itu, pelajar ini tidak hanya harus melalui tahapan demi tahapan, namun juga harus mengalami proses jatuh bangun didalamnya. Proses jatuh bangun dalam pemerolehan bahasa, yang dalam analogi bayi tadi berfungsi menguatkan fisiknya, dapat diartikan sebagai proses membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan berbahasa. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut memiliki kedudukan penting dalam perjalanan panjang seorang pelajar memperoleh kemahiran berbahasa. Hal ini bisa jadi menjadi tantangan baru bagi para pendidik, yaitu bagaimana melihat kesalahan berbahasa melalui kacamata positif. Mungkin sebagian besar dari kita sudah terbiasa melihat kesalahan – kesalahan berbahasa sebagai jamur yang tidak boleh ada dan harus sese-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
72
gera mungkin disingkirkan. Dan mungkin sebagian besar dari kita terkadang menggunakan ukuran kesalahan dalam memberikan label terhadap anak didik kita: apakah anak ini pandai atau tidak. Pelajar yang jarang membuat kesalahan adalah murid yang pandai, sedangkan yang terus membuat kesalahan adalah murid yang kurang pandai. Hal itu tentulah sesuatu yang normal dan manusiawi mengingat kita sebagai pendidik menginginkan anak didik kita mampu berbahasa, baik secara lisan maupun tulisan, secara sempurna, tanpa ada kesalahan-kesalahan berbahasa didalamnya. Namun yang terkadang kita tidak sadari adalah proses luar biasa kompleks yang bekerja didalam otak si pelajar dalam usahanya memproduksi tuturan/tulisan dalam bahasa kedua, terlepas dari adanya kesalahan didalamnya atau tidak. Kekompleksitasan proses inilah yang melahirkan interlanguage, satu istilah yang dicetuskan linguis Amerika Larry Selinker (Ellis: 1997) , yang dimaknai sebagai learner language, atau bahasa pelajar. Interlanguage, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi bahasantara atau kependekan dari ―bahasa antara‖, merupakan bentuk bahasa yang berada di antara dua bahasa, yaitu bahasa ibu pela-
jar/bahasa yang dikuasai (B1) dan bahasa sasaran yang ingin dikuasai/bahasa target (B2/BT) (Suwarna: 2012). Melalui tulisan ini saya akan membahas secara lebih mendalam mengenai apakah bahasantara itu dan apa pengaruh bahasa pertama dalam pemerolehan bahasa kedua, serta bagaimana menyikapi kesalahan dalam bahasantara secara lebih positif. Bahasantara Dalam proses pemerolehan bahasa kedua (B2), pelajar B2 membentuk kaidah-kaidah kebahasaan yang disebut sebut ―interlanguage‖ atau bahasantara. Jika digambarkan, sebagaimana terlihat pada Figur 1 di bawah ini, maka bahasantara akan terletak diantara bahasa pertama dan bahasa target. Pada awalnya bahasantara pelajar akan lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa pertama. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya pemahaman terhadap bahasa target, maka arsiran/area bahasantara tersebut akan semakin meninggalkan bahasa pertama, dan bergerak menuju bahasa target. Semakin besar bagian bahasantara yang berada di bahasa target, maka tingkat profisiensi pelajar tersebut semakin tinggi atau mendekati level profisiensi native speaker atau penutur jati.
Gambar 1. Proses Bahasantara
Figur 1. Bahasantara Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
72
Karena sifatnya yang berada diantara dua bahasa, pola-pola kebahasaan yang berada di bahasantara tidak sepenuhnya menyerupai bahasa ibu pelajar namun juga tidak sama dengan pola-pola dalam bahasa target. Hal ini yang dianggap sebagai konstruksi kreatif dari seorang pelajar (Suwarna: 2012) atau ―unique linguistic system‖ (Selinker dalam Ellis: 1997). Dalam analisisnya mengenai konstruksi kreatif pelajar bahasa kedua, Suwarna mengemukakan bahwa gejala bahasantara diperlihatkan dari penyimpangan-penyimpangan dari aturan baku berbahasa yang disebut sebagai kesalahan berbahasa. Penyimpangan ini terjadi karena pelajar menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan yang ia kuasai untuk diterapkan pada bahasa target. Sebagai contoh adalah masyarakat Indonesia yang multibahasawan dan multikultural. Penduduk Indonesia umumnya menguasai setidaknya dua bahasa; bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Bagi masyarakat perkotaan, kebutuhan menguasai bahasa asing juga menjadi tuntutan sehingga semakin banyak orang yang belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris, Mandarin, Ko-
rea, Jepang, dan lain sebagainya. Ketika seorang pelajar, yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pertama, masuk ke sekolah dan belajar bahasa Indonesia, maka ia akan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan dari bahasa yang ia kuasai, yaitu bahasa Jawa, untuk ia terapkan dalam mengkonstruksi tuturan dan tulisan dalam bahasa Indonesia. Demikian pula ketika seorang pelajar yang menguasai dua bahasa, Sunda dan bahasa Indonesia, mempelajari bahasa Inggris. Pelajar tersebut kemungkinan akan menggunakan salah satu dari dua bahasa yang ia kuasai, atau salah satu bahasa yang ia gunakan sebagai bahasa primer, untuk ia terapkan ke dalam bahasa target. Bukan tidak mungkin dalam satu situasi tertentu, pelajar ini akan beralih atau switch, dari satu kaidah bahasa satu ke yang lain. Berikut adalah contoh analisis dengan mengaplikasikan metode dari Suwarna yang digunakan dalam mengalisis bahasantara mahasiswa Yogyakarta (2012). Contoh kalimat saya ambil dari tuturan mahasiswa Unisma Bekasi yang mengambil mata kuliah Bahasa Inggris Umum I.
Gambar 2. Pola Bahasantara
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
76
Dari bagan diatas, dapat dilihat pola-pola bahasantara yang dihasilkan terbentuk dari konstruksi bahasa Indonesia, namun demikian menghasilkan pola yang berbeda, baik dari bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Pada contoh diatas, pelajar menggunakan konstruksi bahasa Indonesia dengan cara menerjemahkan kata per kata. Hanya saja, terlihat bahwa terjemahan tersebut menghasilkan kesalahan gramatika. Dalam kaidah bahasa Indonesia, kata ―sekolah‖ dapat digunakan sebagai frasa kerja (FK), sedangkan terjemahan kata sekolah ―school‖ dalam bahasa Inggris adalah frasa benda (FB). Kata yang bisa digunakan yang memiliki makna setara dengan ―sekolah‖ adalah ―study‖. Dengan demikian, dari pemaparan contoh diatas, dapat dilihat bagaimana kaidah kebahasaan yang dikuasai oleh pelajar akan mempengaruhi pola-pola kebahasaan dalam bahasa kedua yang dihasilkan. Dari penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa pengaruh bahasa pertama ke bahasa kedua adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Berikut akan dijelaskan bagaimana pengaruh bahasa pertama diposisikan dalam pembelajaran bahasa kedua. Transfer bahasa pertama Salah satu aspek psikolinguistik dari bahasantara adalah L1 transfer, atau transfer bahasa pertama.
Transfer bahasa pertama ini, jika ternyata membantu penguasaan bahasa kedua, dianggap sebagai transfer positif. Sebagai contoh, pelajar Indonesia, pada umumnya tidak menemukan kesulitan dengan urutan kalimat dalam bahasa Inggris, karena baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia memiliki pola kalimat yang sama, SPOK/SVOA. Dalam hal ini, bahasa Indonesia berperan sebagai transfer positif karena pelajar Indonesia dapat menggunakan konstruksi bahasa Indonesia untuk memproduksi kalimat dalam bahasa Inggris. Contoh lain adalah pelajar yang mengenal dan mampu melafalkan huruf Arab Hija‘iyah. Dalam prakteknya, pelajar tersebut kemungkinan tidak menemukan kendala dalam melafalkan bunyi / Ɵ/ untuk ―th‖ karena ia dapat mengkorelasikan bunyi tersebut dengan bunyi / ث/ dalam alpabet Arab. Dari dua contoh diatas, dapat dilihat bagaiamana bahasa yang dikuasai oleh pelajar dapat membantu penguasaan bahasa target. Disisi yang lain, aspek-aspek bahasa pertama yang menghambat penguasaan bahasa kedua disebut sebagai transfer negatif. Sebagai contoh, pelajar Korea umumnya akan mengalami kesulitan menyusun kalimat dalam bahasa Inggris karena adanya perbedaan pola kalimat pada bahasa Korea dan bahasa Inggris. Ka-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
81
limat dalam bahasa Inggris umumnya berpola SPO, sedangkan konstruksi bahasa Korea umumnya berpola SOP. Contohnya adalah ungkapan ―I love you‖ dalam bahasa Inggris. Kalimat tersebut disusun dengan kosntruksi pola Subjek (I) + Predikat (love) + Objek (you). Sedangkan dalam konstruksi bahasa Korea atau Hangul, ekspresi tersebut dituliskan ke dalam bentuk ―나 너를 사랑해요‖, atau나 (saya/ Subjek) +너를 (kamu/ Objek) + 사랑해요 (cinta/ Predikat). Perbedaan sistem pola kalimat ini tentunya akan memberikan sebuah tantangan bagi pelajar Korea ketika harus menyusun kalimat dalam bahasa Inggris. Contoh kesulitan lainnya yang ditemui pelajar Korea adalah pengucapan bunyi /r/ pada akhir kata. Dalam bahasa Korea, bunyi /r/ pada akhir satu suku kata akan berubah menjadi /l/. Sebagai contoh, kata ‗darling‘ akan dibaca /dal-ling/. Dari dua contoh tersebut dapat dilihat bagaimana struktur kalimat dan sistem pelafalan yang berbeda antara bahasa Korea dan bahasa Inggris akan sedikit menyulitkan pelajar Korea dalam menguasai bahasa Inggris. Hal yang demikian ini yang disebut sebagai transfer negatif. Ada perubahan cara pandang terhadap fenomena ini. Pada masa sebelumnya, kaum behavioris menyebut kesalahan yang disebabkan oleh pengaruh bahasa pertama sebagaimana diperlihatkan contoh diatas sebagai interference atau transfer negatif. Hal ini yang akhirnya berujung pada berkembangnya Contrastive Analysis Hypothesis (CAH) atau Hipotesa Analisis Kontrastif. Dengan mengacu pada pendekatan-pendekatan behavi-
oristik dan strukturalis, CAH berpandangan bahwa hambatan pemerolehan bahasa kedua adalah karena adanya interfensi sistem bahasa pertama dan sistem bahasa kedua (Brown: 2007). Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, CAH membandingkan kaidah bahasa antara bahasa pertama dan bahasa kedua, dan muncul dengan daftar kontras linguistik terhadap dua bahasa tersebut, yang pada gilirannya akan memungkinkan para linguis dan pengajar untuk memprediksi kesulitankesulitan yang akan dialami pelajar bahasa kedua. Pandangan ini mengalami pergeseran saat masuk ke tahun 1960an. Ketika pelajar bahasa kedua mencoba memproduksi tuturan atau tulisan dalam bahasa target, mereka sebenarnya sedang berusaha mencari tahu bagaimana bahasa baru ini bekerja dengan menerapkan pengetahuan kebahasaan yang ia miliki. Pelajar mencoba menyusun hipotesa dengan menggunakan informasi apapun yang ada di dalam memori mereka, termasuk dengan pengetahuan kaidah kebahasaan bahasa pertama (Ellis: 1997). Alih-alih menganggap ini sebagai transfer negatif, Selinker memandang bahasa pertama disini berperan sebagai input (masukan) dari dalam, atau disebut sebagai cognitive process atau proses kognisi. Disisi yang lain, Ellis melihat kembali peranan bahasa pertama ini dengan menggarisbawahi penggunaan kata ―transfer‖ dalam mendeskripsikan situasi tersebut. Jika kita menggunakan contoh dalam dunia perbankan, kata ―transfer‖ berarti mengalih-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
81
kan satu barang/uang dari satu pihak ke pihak yang lain. Dalam hal ini, harta/barang dari pihak yang melakukan transfer akan ―berkurang‖ dan dipihak yang menerima transfer akan bertambah. Namun tidak demikian halnya dengan bahasa. Bahasa yang melakukan transfer tidak mengalami kekurangan apapun, dan demikian pula dengan bahasa yang menerima transfer. Berkaca pada kondisi ini, Ellis menawarkan istilah baru yaitu cross linguistic influence. Kesalahan Berbahasa sebagai Gejala Bahasantara Bahasantara, sebagai telah disebutkan sebelumnya, mencerminkan penyimpangan-penyimpangan kaidah kebahasaan atau yang sering disebut sebagai kesalahan berbahasa. Kesalahan tersebut muncul karena pelajar menerapkan kaidah kebahasaan yang ia kuasai ke dalam kaidah kebahasaan bahasa kedua. Namun sebagaimana telah dijelaskan diatas, kesalahan ini merupakan salah satu fase penting dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Hal ini karena jenis kesalahan akan menunjukkan level kompetensi pelajar bahasa kedua. Berikut akan dijabarkan tipe-tipe kesalahan dalam bahasantara. Kesalahan atau error muncul, menurut Ellis, sebagai bentuk usaha pelajar agar proses mempelajari dan menggunakan bahasa kedua menjadi lebih mudah. Usaha tersebut muncul dalam bentuk omission dan overgeneralization. Omission muncul ketika pelajar menghilangkan elemen linguistik tertentu seperti akhiran –s untuk benda jamak dan kata kerja untuk
orang ketiga tunggal, atau menghilangkan artikel a/an/the untuk nomina. Sedangkan overgeneralization muncul ketika pelajar menggunakan satu teknik yang sama pada struktur atau situasi yang berbeda supaya lebih mudah dipelajari. Sebagai contoh, beberapa pelajar mengucapkan ―goed‖, ―drinked‖ sebagai bentuk lampau dari ―go‖ dan ―drink‖. Hal ini terjadi ketika pelajar mengaplikasikan teknik akhiran –ed untuk bentuk lampau dari kata kerja beraturan seperti ―look looked‖, ―help helped‖ ke kata kerja tak beraturan. Kasus seperti ini banyak terjadi di banyak negara. Jenis kesalahan yang lain, yang terjadi karena pengaruh bahasa pertama, adalah transfer error. Pelajar Indonesia, sebagai contoh, kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menggunakan kata kerja be sebagai predikat (attributive) karena pola demikian tidak ada dalam kaidah bahasa Indonesia. Demikian pula dengan sistem tenses dalam bahasa Inggris yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa transfer error terjadi ketika pelajar menerjemahkan begitu saja tuturan dalam bahasa pertama ke dalam bahasa kedua tanpa melakukan penyesuaian gramatika ke dalam tuturan tersebut. Oleh karena itu, bentukbentuk tuturan ―She beautiful‖ atau ― I school in…‖ alih-alih ―She [is] beautiful‖ dan ―I go to…/I study in…‖ akan cukup banyak ditemukan pada pelajar Indonesia. Tahap perkembangan bahasantara Djiwandono (2013) dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk Baha-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
82
santara: Menyusuri Jalan Panjang Mencapai Penguasaan Kemampuan Berbahasa, mengemukakan bahwa bahasantara pelajar akan menempuh rute yang sangat panjang dalam usahanya mencapai kemahiran berbahasa. Rute itu berawal dari titik 0 dan berakhir pada satu tujuan: kemahiran berbahasa. Clahsen dan Pienemann (dikutip dalam Djiwandono: 2013) melihat jalan panjang tersebut sebagai tahap perkembangan bahasa yang terdiri dari beberapa tahap. a. Formulaic utterance atau uangkapan baku seperti ―How are you?‖ ―Nice to meet you‖, Thank you very much‖, dsb. Ini adalah tahap awal atau dapat dikatakan sebagai starting point seorang pelajar dalam memulai perjalanan panjangnya mencapai kemahiran berbahasa. Pada tahap ini pelajar hanya mampu menggunakan ungkapan-ungkapan yang sudah ada tanpa mampu menganalisis pola. b. Canonical order atau lexicalization. Setelah mampu menggunakan ungkapan-ungkapan siap pakai seperti diatas, pelajar ingin menguasai tahapan yang lebih tinggi. Maka mulailah ia menyusun ungkapan-ungkapan dari kata-kata yang sudah ia ketahui. Pada tahap ini pelajar bisa menyusun kata-kata dan menghasilkan ujaran dengan pola-pola tertentu sesuai dengan bahasa pertamanya. Beberapa contoh dari tahapan ini adalah ― Me can no speaking French‖ [I can‘t speak French] atau ― I no have many money”[ I don‟t have much mon-
c.
d.
e.
ey]. Di tahap ini pelajar belum dapat menginternalisasi penyusunan kalimat dengan memperhatikan kelas kata dan pola kalimat. Yang ia ketahui adalah makna per kata dan menggabungkannya menjadi satu. Invensi kalimat untuk mengujarkan kalimat tanya. Contoh dari tahapan ini adalah ―you sick?‖ atau ― where you going?‖ alihalih ―are you sick?” dan ―where are you going?‖ Pada tahapan yang sudah selangkah lebih maju ini pelajar mencoba menggunakan kalimat-kalimat tanya namun dengan konstruksi yang terbatas, walaupun secara makna pesan yang ingin disampaikan masih dapat ditangkap. Subject-Verb agreement, yang oleh Larsen – Freeman disebut sebagai syntactization (Djiwandono: 2013). Di tahap ini pelajar sudah mulai menyusun kalimat dengan struktur yang lebih lengkap, namun masih terkendala adanya aturan kesesuaian subjek dengan predikat. Secara perlahan-lahan ia akan mampu mengubah tuturan seperti ―She go to market‖ menjadi ―She goes to the market‖. Disini peran pendidik/pengajar sebagai pemberi umpan balik/feedback akan sangat menentukan. Embedded clause. Pada tahapan ini pelajar sudah mampu menguntai tuturan yang lebih panjang dengan menggabungkan klausaklausa. Sebagai contoh adalah jika sebelumnya pelajar hanya mampu mengucapkan klausa se-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
cara terpisah, ―I didn‟t know. She was sick yesterday.‖ , maka kemudian dia dapat menggabungkannya menjadi ―I didn‟t know that she was sick yesterday‖. Hal ini juga diikuti dengan keakuratan dalam menggunakan tenses yang tepat dan juga ketepatan kolokasi. Fasi ini memperlihatkan bahwa bahasantara pemelajar sudah semakin mendekati bahasa target. Dengan demikian tahapan ini dapat dilihat sebagai sebuah tonggak pencapaian, karena pada akhirnya pelajar tersebut berhasil menjalankan misinya: menguasai cara berkomunikasi dalam bahasa target. Menyikapi kesalahan dalam bahasantara secara lebih positif Rute bahasantara yang harus ditempuh pelajar untuk dapat mencapai kemahiran berbahasa sangatlah panjang dan berliku. Tak jarang pula seorang pelajar merasa putus asa karena merasa kemampuannya tidak meningkat setelah sekian tahun belajar bahasa. Kaum behavioris berkeyakinan bahwa pemerolehan bahasa adalah serangkaian pembentukan kebiasaan (habit formation), yang diciptakan melalui rangsangan/pancingan atau stimulus yang kemudian menghasilkan respons atau tindakan. Bagi kaum behavioris, kebiasaan yang baik terbentuk dari pemberian respons yang benar. Oleh karena itu, aktifitas –aktifitas seperti menghafal dialog dan latihan-latihan sesuai dengan struktur yang sudah ada sangat digalakkan supaya kemungkinan timbul-
nya kesalahan bisa diminimalisir. (Richards & Rodgers: 2001). Mereka juga berpendapat bahwa belajar merupakan perilaku menirukan ujaran yang didengar, untuk kemudian diinternalisasikan pada dirinya, dan selanjutnya dikeluarkan persis seperti yang didengar (Suwarna: 2012). Singkatnya mereka beranggapan bahwa input atau masukan akan sama persis dengan output atau keluaran. Namun hal ini dapat memberikan gambaran yang menyesatkan karena kecakapan dalam menghafalkan dialog belum tentu mengindikasikan level kompetensi bahasa yang tinggi. Paham ini ditentang habishabisan oleh Chomsky yang berpendapat bahwa keyakinan kaum behavioris tersebut, yang berkeyakinan bahwa masukan bahasa akan sama persis dengan keluaran, tidak mengindahkan salah satu sifat terbaik manusia: kreatifitas. Pada kenyataannya, pelajar tidak selalu berada dalam situasi yang memungkinkannya untuk sekedar mentransfer apa yang pernah ia dengar untuk diekspresikan kembali. Pelajar, dalam situasi tertentu, mampu untuk memproduksi ujaran jauh lebih banyak dari yang pernah didengarnya, dan mampu mengkonstruksi jauh lebih banyak dari apa yang sudah dipelajari. Dan pada situasi tertentu pula, pelajar diharuskan mampu memodifikasi apa yang telah ia kuasai untuk bisa mengeluarkan ekspresi yang baru. Pemikiran inilah yang akhirnya membuka pemahaman baru akan proses pemerolehan bahasa, yang didalamnya terkandung proses kreatifitas pelajar, penggunaan bahasa dalam situasi dan konteks yang ber-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
84
makna, serta memungkinkan pelajar untuk terus belajar dan berevolusi melalui kesalahan-kesalahan yang mereka buat. Pemahaman ini sekaligus mencerminkan terjadinya pergeseran paradigma dalam memandang pelajar bahasa kedua (Ellis: 1997). Sebelumnya mereka dianggap sebagai producers of malformed, imperfect language replete with mistakes, atau pembuat bahasa kacau balau yang penuh dengan kesalahan dimana-mana. Kini mereka disebut sebagai intelligent and creative beings proceeding through logical, systematic stages of acquisition, creatively acting upon their linguistic environment as they encountered its forms and functions in meaningful contexts. Mereka adalah manusia kreatif dan unik karena mampu melewati urutan fase-fase pemerolehan bahasa, dan mampu bertindak kreatif ketika dihadapkan pada situasi dan konteks-konteks tertentu. Mereka juga mampu menyesuaikan cara berpikir mereka dengan mengakomodir informasi dan kaidah bahasa baru. Disini peran pendidik sangat krusial dalam memotivasi pelajar untuk terus berusaha dan juga dalam memberikan feedback atau umpan balik yang efektif. Sama halnya dengan bayi yang sedang berlatih berjalan dan berlari. Pada awalnya batuan yang diberikan oleh orangtua ataupun pengasuh akan sangat besar, dalam artian menopang seluruh badan. Namun seiring dengan meningkatnya kemampuan bayi tersebut dalam menopang dirinya, semakin berkurang pula intensitas orangtua/pengasuh da-
lam memberikan bantuan. Pada satu waktu tertentu, ketika bayi tersebut sudah mampu berjalan secara mandiri, orangtua/pengasuh akhirnya memutuskan untuk melepas atau menghentikan bantuan dan lebih bertindak sebagai pengawas. Demikian pula peran pendidik/pengajar dalam mengantarkan pelajar mencapai tingkat kemahiran berbahasa. Jika pada awalnya, sistem pemberian umpan balik bersifat sangat intensif, maka lambat laun, seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan berbahasa si pelajar, maka bentuk umpan balik yang diberikan haruslah lebih bersifat mengingatkan. SIMPULAN Bahasantara adalah bahasa pelajar yang terbentuk dari unsur-unsur bahasa pertama dan bahasa target, namun memiliki karakteristik tersendiri yang tidak terdapat di dalam bahasa pertama maupun bahasa target. Gejala yang ada pada bahasantara adalah adanya penyimpanganpenyimpangan kaidah kebahasaan yang disebut sebagai kesalahan berbahasa. Pelajar menggunakan kaidah kebahasaan yang ia ketahui untuk mengkonstruksi ujaran dalam bahasa kedua. Disini terlihat bagaimana bagaimana bahasa pertama dijadikan sebagai kerangka berpikir untuk bahasa kedua. Hal ini menunnjukkan adanya pengaruh lintas bahasa dalam bahasantara. Seiring dengan berkembangnya pemahaman terhadap proses pemerolehan bahasa, kesalahan bukan lagi dilihat sebagai sesuatu yang harus dikikis habis dan dihindari, namun justru dijadikan sarana bagi pelajar
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
85
untuk mampu bereksplorasi dengan bahasa target, sehingga kemahiran
dalam menggunakan bahasa target dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. Fifth Ed. New York: Pearson Longman
guage Teaching. Edinburg: Pearson Education Limited
Djiwandono, Patrisius Istiarto. 2013. Bahasantara: Menyusuri Jalan Panjang Mencapai Penguasaan Kemampuan Berbahasa. << www.machungsaiwo.com/20 13/07/08/bahasantara_dan_un iversitas_ma_chung/ >>Diakses 25 Juli 2013 Ellis, Rod. 1997. Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Suwarna. 2012. Bahasantara: Suatu Konstruksi Kreatif Pembelajar Bahasa. << www. eprints.uny.ac.id/Bahasantara _Suatu_Konstruksi_Kreatif/ >> Diunggah 5 September 2012. Diakses 25 Juli 2013 Richards, Jack C & Theodore S. Rodgers. 2001. Approaches and Methods in Language Teaching. New York. Cambridge University Press. Kumaravadivelu, B. 2006. Understanding Language Teaching: From Method to Postmethod. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
Harmer, Jeremy. 2012. Essential Teacher Knowledge: Core Concepts in English Lan
REPRESENTASI ISLAM DALAM SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI THE SERIES Oleh
Rido Budiman Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Tukang Bubur Naik Haji The Series is one of the most popular television drama in Indonesia. The series is about a poor pious muslim porridge seller who could perform the expensive hajj pilgrimage. Islamic teachings dominate this tv drama through its plot, characters and setting. The aim of this reJurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
86
search is to know what kind of Islamic teachings represented in the tv drama and how does the audience response about this representation of Islam in Tukang Bubur Naik Haji The Series. The method of the research is qualitative with the approach in Cultural Studies by using representation and encodingdecoding theory by Stuart Hall. The results are Islamic representation in this tv drama are represented through the five pillars of Islam conveyed in plot, characters, and setting. The audience responded this representation of Islam through three different positions which are dominant-hegemonic, negotiated, and opposition. . Keywords: Representation, Islam, encoding-decoding.
PENDAHULUAN Televisi sebagai media komunikasi hiburan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia modern sehari-hari. Setiap hari orang-orang yang memiliki perangkat elektronik ini pasti menyempatkan waktunya untuk menonton beberapa jam berbagai program yang disajikan oleh media ini. Menonton televisi sudah menjadi budaya yang tidak terpisahkan dengan segala strukturnya yang khas. Di zaman yang menyajikan televisi multikanal sekarang, program-program televisi semakin banyak macamnya dan masing-masing kanal membuat programprogram yang khas untuk merebut perhatian penonton. Programprogram berkategori hiburan, berita, dan olahraga ditayangkan hampir selama 24 jam nonstop. Salah satu program televisi yang masuk kategori hiburan adalah sinetron yang merupakan singkatan dari sinema elektronik. Istilah sinetron pertama kali dikenalkan oleh salah satu pengajar di Institut Kesenian Jakarta bernama Soemardjono untuk
menjelaskan film cerita berseri yang tayang di televisi. Sinetron yang pertama kali muncul di Indonesia berjudul ‗Losmen‘ yang ditayangkan sekitar tahun 80-an oleh TVRI, stasiun televisi milik pemerintah Indonesia sekaligus satu-satunya televisi yang ada saat itu. Losmen bercerita tentang kehidupan sehari- hari keluarga Pak Broto yang mengelola penginapan (Losmen). Drama ini dibintangi oleh aktor dan aktris senior seperti Dewi Yull, Mieke Wijaya dan Mathias Muchus. Berbeda dengan sinetron sekarang yang penayangannya setiap hari, drama Losmen ditayangkan sebulan sekali karena jam siaran TVRI yang masih terbatas. Jadi, untuk menonton episode selanjutnya harus menunggu bulan berikutnya. Meskipun demikian, istilah sinetron baru digunakan pada drama berseri, Jendela Rumah Kita pada tahun 1989. Tidak lama kemudian muncul televisi-telvisi swasta yang diawali oleh RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia), yang mengudara pada
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
82
pada 13 November 1988. Kemudian RCTI diresmikan 24 Agustus 1989. Akan tetapi RCTI mulai diakses oleh masyarakat sekitar akhir 1991. Tayangan sinetron pun mulai membanjiri saluran tv swasta. Sebutlah diantaranya Si Cemplon, Si Doel Anak Sekolahan dan masih banyak lainnya. Diantara sinetron-sinetron yang ada pada masa itu, Si Doel Anak Sekolahan adalah sinetron paling populer dan mendapat tempat di hati masyarakat. Sampai akhirnya sinetron Si Doel Anak sekolahan dibuat hingga beberapa sekuel dengan pemeran utamanya, Rano Karno. Memasuki tahun 1995 hingga 1998, tema sinetron sedikit bergeser. Para sutradara membuat sinetron yang diadaptasi dari film layar lebar tahun 80-an, semisal Lupus, Olga dan Catatan Si Boy. Di era ini pula, sinetron dari negeri Latin, alias telenovela membanjiri layar kaca Indonesia. Diantara yang populer adalah Maria Mercedes yang melambungkan nama pemainnya, Thalia. Berikutnya di tahun 1998, Multivision Plus sebagai salah satu perusahaan pembuat film di Indonesia, membuat sinetron ‗Tersanjung‘. Sinetron ini adalah sinetron terpanjang yang pernah dibuat, terdiri dari 356 episode yang dibagi beberapa sekuel. Pada masa ini, tema sinetron kembali berubah. Kebanyakan sinetron yang diproduksi merupakan adaptasi dari novel- novel terkenal seperti Karmila. Era Millenium, yang ditandai pergantian tahun dari 1999 ke 2000 menjadi puncak bagi dunia sinetron Indonesia. Tema sinetron lebih bera-
gam, mulai dari horor sampai kehidupan masyarakat Jakarta. Hingga kini terdapat beberapa pembagian jenis sinetron misalnya : sinetron religi (agama), sinetron komedi, sinetron horor, sinetron dewasa, sinetron remaja dan sinetron anak. Sinetron religi dalam artian sinetron bernafaskan Islam pertama kali muncul di televisi swasta berawal dari beberapa sinetron religi karya Dedy Mizwar tahun 1992 diantaranya Abu Nawas, Hikayat Pengembara dan Mat Angin. Diluar dugaan Ketiga sinetron ini bisa memikat hati pemirsa. Buktinya sinetron ini bertahan sampai puluhan episode. Abu nawas mencapai 52 episode sedangkan Hikayat Pengembara menembus lebih dari 100 episode. Sinetron religi kemudian melejit meramaikan telivisi nasional berbarengan dengan sinetron lainnya pada era millenium. Namun sayangnya sinetron religi pada masa itu jauh dari label keislaman sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Aroma mistik muncul menghisasi sinetron seperti Taubat, Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Kuasa Ilahi, Misteri Ilahi, dan insyaf. Mistik tampak bagaimana siksa kubur yang diderita si mayat dipertontonkan kepada masyarakat. Kemudian semenjak tahun 2008 sinetron religi yang beraroma mistik mulai di tinggalkan dan hanya ditayangkan ketika bulan Ramadhan. Sinetron seperti Para Pencari Tuhan dan Tukang Bubur Naik Haji adalah beberapa judul yang populer di mata pemirsa Indonesia. Khusus untuk sinetron Tukang Bubur Naik Haji ternyata kepopulerannya begitu me-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
luas sehingga sinetron yang tayang setiap kurang lebih jam 20.00 WIB ditayangkan juga di luar bulan Ramadhan. Sinetron produksi Sinemart ini cerita keseluruhannya seperti menonton kehidupan masyarakat seharihari, yang di dalamnya termasuk perilaku kita sendiri. Kita yang seolaholah seorang dermawan sejati, padahal sebenarnya kita sangat mengharapkan pujian orang. Sebenarnya ada kecenderungan kita ingin pamer. Bagaimana kita selalu berpenampilan suci, padahal apa yang kita lakukan seringkali keji. Bahkan kepada orang yang pernah menolong kita sekalipun. Kepalsuan-kepalsuan yang hanya kita sendiri yang tahu, selalu membuat kita tersenyum jengah. Kesemuanya disajikan secara manis dan lucu dalam serial ini. Ada tokoh Bang Sulam, yang penyabar, selalu tersenyum, ia memiliki usaha bubur ayam. Berkat ketekunan dan keikhlasannya, akhirnya ia bisa naik haji dan memperbesar usaha bubur ayamnya. Bang Sulam tinggal bersama Rodiah istrinya, dan Emak. Tetangga Bang Sulam, H. Muhidin dan Hj. Maemunah, entah mengapa selalu memusuhi keluarganya. Bahkan anak mereka, Rumanah dilarang berhubungan dengan Robby, adik Bang Sulam. Fitnahfitnah tentang keluarga Bang Sulam pun berdatangan. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series inilah yang menjadi fokus penelitian saya kali ini. Saya ingin membahas bagaimana Islam di representasikan dalam sinetron ini dan juga saya ingin melihat bagaima-
na respon pemirsa sinetron ini tentang Islam yang ditampilkan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series. Adapun tujuan penelitian yang ingin saya capai adalah untuk mengetahui representasi Islam seperti apa saja yang ditampilkan dalam sinetron ini dan bagaimana respon pemirsa terhadap representasi Islam yang ditampilkan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series. Dalam membahas tentang representasi Islam dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series saya akan menggunakan teori representasi dari Stuart Hall . Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‗pengalaman berbagi‘. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‗bahasa‘ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Dalam pembicaraan kita, representasi merujuk kepada konstuksi segala bentuk media (terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau film. Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
84
bagaimana identitas budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah teks tapi juga dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyakarat yang mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan tadi Stuart Hall menganggap bahwa ―ada yang salah‖ dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Ungkapnya, “There is something radically wrong with the way black immigrants-West Indians,Asians, Africansare handled by and presented on the mass media”. Hall mengamati bahwa media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyrakat yang sudah teratur, sementara orang kulit hitam digambarkan sebagai ―kelompok luar‖, ―diluar konsensus‖, ―relatif tidak terorganisir‖, ―kelas pekerja‖. Lebih lanjut, media semakin mengagungkan institusi masyarakat, dimana masyarakat kulit hitam bermasalah dalam area kekuasaan sensitif itu; pekerjaan, diskriminasi publik, perumahan, legalisasi parlemen,pemerintahan lokal, hukum dan polisi. Persoalan representasi ini membawa kita pada beberapa pertanyaan penting: Apakah gambaran di media membantu kita untuk memahami atau mengerti bagaimana dunia bekerja ? Gambaran orang kulit hitam yang seperti apa yang direpresentasikan dalam media ? Representasi,biasanya , dipahami sebagai gambaran sesuatu yang
akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti ―to present‖, ―to image‖, atau ―to depict‖. Kedua, gambaran politis hadir untuk merepresentasikan kepada kita. Kedua ide ini berdiri bersama untuk menjelaskan gagasan mengenai representasi. ―representasi‖ adalah sebuah cara dimana memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hal ini terjadi antara representasi dan benda yang digambarkan. Berlawanan dengan pemahaman standar itu, Stuart Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. “so the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we‟re talking about” Hall menunjukkan bahwa sebuah imaji akan mempunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta. Hall menyebutkan ―Representasi sebagai konstitutif‖. Representasi tidak hadir sampai setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
85
bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstititif darinya. Standard view of representation = representation as accurate or distorted. A new view of representation = representation as creative and active the people‟s relations to the world and their place within it. Budaya Sebagai yang Utama ―Culture is the way we make sense if, give meaning to the world‖. Budaya terdiri dari peta makna, kerangka yang dapat dimengerti, hal-hal yang membuat kita mengerti tentang dunia kita yang eksis. Ambiguitas akan muncul sampai pada saat dimana kita harus memaknainya (make sense of it). Jadi, makna muncul sebagai akibat dari berbagi peta konseptual ketika kelompok-kelompok atau anggota-anggota dari sebuah budaya atau masyarakat berbagi bersama. Konsep budaya mempunyai peran sentral dalam proses representasi. Meskipun kapasitas untuk menggunakan konsep untuk mengklasifikasi adalah ciri dasar genetik makhluk hidup, beberapa sistem tertentu dalam klasifikasi yang digunakan dalan sebuah masyarakat dipelajari. Faktanya, budaya sendiri adalah sebuah sistem representasi. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‗pengalaman berbagi‘. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam
‗bahasa‘ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Konsep-konsep adalah representasi-representasi, yang memperbolehkan kita untuk berpikir. Tetapi kita belum selesai dengan sirkulasi representasi ini, karena seharusnya kita berbagi peta konseptual yang sama, sehingga kita dapat memahami dunia melalui sistem klasifikasi yang sama yang ada di kepala kita. Akhirnya, pertanyaan mengenai komunikasi dan bahasa melengkapi sirkulasi representasi. Kita bisa saling berkomunikasi karena adanya kemunculan bahasa-bahasa (linguistik). Bahasa mengeksternalisasi makna yang kita buat tentang dunia kita. Sampai pada titik ini representasi benar-benar mulai dan menutup sirkulasi representasi. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‗merepresentasikannya‘. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imej-imej yang kita gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut. Realitas dan Wacana Lihatlah pada 2 kalimat dibawah ini, yang kelihatannya sama atau
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
86
bahkan identik tetapi sebenarnya berbeda: 1. nothing meaningful exists outside of discourse‖ (benar) – ANDA MEMBUTUHKAN WACANA, KERANGKA UNTUK MEMAHAMI DAN MENGINTERPRETASI UNTUK MEMBERI MAKNA PADA APAPUN.. ―nothing exists outside the discourse‖ (salah) 2. acana (Discourse) dan kerangka yang dapat dimengerti (framework of intengibility) adalah tentang bagaimana orang memberi makna pada benda-benda dan bagaimana mereka menjadi bermakna, tidak hanya jika mereka eksis (secara fisik). Hall menegaskan bahwa tanpa bahasa, makna tidak dapat dipertukarkan. Media yang berbeda menggunakan tanda bahasa yang berbeda, tetapi tanpa bahasa, tidak akan ada representasi; tanpa representasi, tidak akan ada makna. Praktek Signifikansi Yang dimaksud oleh Hall dengan praktek signifikansi (signifying process) adalah: there is a kind of smybolic work, an activity, a practice, which has to go on in giving meaning to things and in communicating that meaning to someone else.‖ Pertanyaan mengenai sirkulasi makna secara otomatis melibatkan isu kekuasaan. Siapa yang mempunyai
kekuasaan, di channel yang mana, untuk mensirkulasikan makna kepada siapa ?. Hall memahami bahwa komunikasi selalu berhubungan dengan― kekuasaan. Kelompok yang memiliki dan menggunakan kekuasaan dalam masyarakat mempengaruhi apa yang direpresentasikan melalui media. Pesan-pesan tersebut bekerja secara kompleks. Pengetahuan dan kekuasaan saling bersilangan. Isu kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan representasi. W Makna dan Ketidakadaan (Absence) Makna secara manifest berhubungan dengan apa yang pertama kali kita harapkan untuk temukan, yang tampak tidak dimanapun di dalam imaji, bahkan berlawanan dengan yang ada di dalam imaji. Kadang kala yang terekspresikan adalah ketiadaan (atau ketidakhadiran).Apa yang menjadi tertanda (signified), tidak secara sederhana bermakna seperti yang sudah tertanda, tetapi mereka lebih dalam lagi dapat menumbangkan harapan kita. Namun hal-hal yang tidak kita harapkan atau tidak muncul secara nyata dalam imaji menjadi sama pentingnya dengan apa yang secara nyata ada di imaji itu. Ketidakhadiran itu (absence) BUKANNYA tidak bermakna atau tidak memberi signifikansi. Yang tidak hadir bermakna sesuatu dan memberikan signifikansi, sama seperti yang hadir (presence). Identitas, Identifikasi, dan Penonton Tuntutan (claim) dapat diciptakan tanpa kata-kata. Tuntuan terse-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
87
but dapat dibuat melalui manipulasi obyek. Iklan bekerja atas dasar identifikasi. Iklan hanya bekerja ketika kita mengidentifikasi apa yang direpresentasikan oleh imaji-imaji. Imajiimaji itu mengkonstruksi kita, melalui hubungan kita dengan mereka (imaji-imaji) makna adalah interpretasi. Ideologi dan Kekuatan Makna Tetap Makna tidaklah pernah dapat tinggal tetap (atau ditetapkan). Makna dapat berubah jika makna tidak dapat ditetapkan. Kuasa (power) terdiri atas memilih satu makna diantara banyak makna yang cocok dengan interes tertentu. Karena jika makna akan tinggal ‗tetap‘ atau berubah tidak dapat digaransi maka makna dapat menjadi longgar dan berjerumbai. Tujuan dari kekuasaan (power), ketika mengintervensi (mengganggu) bahasa adalah untuk memberbaiki secara absolut. Itulah yang dilakukan oleh ideologi. Ambisi dari ideologi adalah untuk memperbaiki makna tertentu untuk gambaran (image) spesifik. Kekuasaan (power) dalam proses signifikansi selalu mempunyai tendensi untuk menutup bahasa, menutup makna dan memberhentikan alirannya. Menantang Stereotip: Makna Positif Stereotip menetapkan makna yang diberikan kepada kelompokkelompok. Misalnya, gambaran orang kulit hitam yang terbatas, memberikan efek pada apa yang dipahami masyarakat mengenai orang kulit hitam
dalam dunia nyata. Gambaran (images) memproduksi pengetahuan tentang bagaimana kita melihatnya direpresentasikan. Sehingga perjuangan untuk membuka praktik stereotip kadang adalah sebuah perjuangan untuk meningkatkan perbedaan, celakanya, semakin memperlihatkan identitas yang memungkinkan dari orangorang yang belum direpresentasikan sebelunnya. Itulah politik gambaran (politics of the image). Ada kesulitan tersendiri ketika ingin membalikkan stereotip negatif tersebut, sebagaimana juga sulit untuk mempertahankan (atau memperbaiki) representasi positif. Menantang Stereotip: Mengesampingkan Imaji Gambaran menaturalisasikan representasi. Praktik representasi itu sendiri melakukan naturalisasi representasi sampai anda tidak bisa melihat siapa yang memproduksi mereka. Gambaran-gambaran ini telah menyembunyikan proses representasi. Sehingga tampaknya seperti itulah realita yang terjadi. Sehingga mengarah pada praktik representasi ada beberapa pertanyaan terlontar antara lain: 1. darimana gambarangambaran ini datang ? 2. siapa yang memproduksi gambaran-gambaran tersebut ? 3. siapa yang dibungkam dalam produksi gambarangambaran tersebut ? Menginterogasi praktik stereotip membuat mereka tidak dapat didiami (unihabitable), itu akan menghancurkan ―kenaturalan dan kenormalannya‖
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
88
Masa Depan Representasi Representasi terbuka pada pengetahuan-pengetahuan baru untuk diproduksi dalam dunia, berbagai macam subyektivitas untuk dieksplor, dan dimensi baru makna yang tidak pernah menutup sistem kekuasaan yang sedang beroperasi. Pemaknaan Penonton terhadap media lewat encoding/decoding Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah pesan yang sama dapat dikirmkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan, pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Pada model ini, teks media dilihat sebagai sebuah jalan untuk menghadirkan „preffered reading‟ kepada audiens tetapi mereka tidak perlu menerima preffered reading‟ tersebut. „Preferred reading‟ mengacu pada cara untuk menyandikan kembali (decode) pesan yang menawarkan audiens untuk mengintrepetasikan pesan media pada segala kemungkinan yang dapat diperdebatkan (Rayner, dkk, 2004: 97-98). Pesan yang telah dikirimkan akan menimbulkan berbagai macam efek kepada audiens. Hall (dalam Durham dan Kellner, 2002: 174-176) mengidentifikasi tiga kategorisasi
audiens yang telah mengalami proses encode/decode sebuah pesan: Dominant-hegemonic position yaitu keadaan di mana audiens menerima makna dari sebuah pesan dan menyandikannya kembali sesuai dengan makna yang dimaksud oleh pengirim. Audiens setuju dengen nilai dominan yang diekspresikan dengan „preferred reading‟ dari sebuah teks. Negotiated position yaitu keadaan dimana khalayak memahami hampir sama dengan apa yang didefinisikan dan ditandakan. Audiens bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. Oppositional position yaitu keadaan di mana audiens menerima kode atau pesan dan membentuknya kembali dengan kode alternatif. Dalam bentuk yang ekstrim, mereka mempunyai pandangan yang berbeda langsung menolak pandangan dari pesan tersebut. Audiens tidak setuju dengan nilai dominan yang diekspresikan oleh „preferred reading‟ dari teks media. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan kami gunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan bidang Cultural Studies yaitu teori representasi yang dicetuskan oleh ilmuwan Cultural Studies bernama Stuart Hall dengan melihat plot, karakter dan latar yang ditampilkan di sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series (TBNH) dan teori encoding-decoding untuk melihat respon pemirsa terhadap sinetron tersebut.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
89
Adapun proses pengumpulan data yang akan kami gunakan adalah dengan mengobservasi sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series dan respon pemirsa sinetron tersebut dalam media sosial Facebook dan Twitter. Hasil observasi tersebut akan kami analisis dan tafsirkan dengan menggunakan teori representasi hingga tercapai suatu kesimpulan yang valid berdasarkan penelitian di lapangan. PEMBAHASAN Konstruksi Representasi Islam dalam Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Sebagai salah satu dari banyak sinetron yang bertemakan Islam yang tayang di televisi Indonesia, Tukang Bubur Naik Haji The Series banyak merepresentasikan konsep Islam dalam cerita dan adegannya. Konsep Islam yang paling menonjol direpresentasikan adalah konsep Haji yang merupakan bagian dari Rukun Islam yang kelima. Rukun Islam sendiri terdiri daripada lima perkara: Mengucap dua kalimat syahadat dan menerima bahwa Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad s.a.w itu rasul Allah. Menunaikan salat lima kali sehari. Mengeluarkan zakat. Berpuasa pada bulan Ramadan. Menunaikan Haji bagi mereka yang mampu. Di dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji (TBNH) saya meli-
hat hampir semua rukun Islam ini direpresentasikan lewat plot cerita, adegan, maupun karakter-karakter yang ditampilkan. Berikut saya akan uraikan representasi tersebut berdasarkan rukun Islam. Syahadat Syahadat merupakan Rukun pertama dimana seorang yang beragama Islam diwajibkan untuk mengucapkan janji: Bersaksi tidak ada ilah yang berhak disembah secara hak melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat (persaksian) ini memiliki makna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati lalu mengamalkannya melalui perbuatan. Adapun orang yang mengucapkannya secara lisan namun tidak mengetahui maknanya dan tidak mengamalkannya maka tidak ada manfaat sama sekali dengan syahadatnya. Makna "''La ilaha Illallah''" '''Ibadah beraneka ragam:''' Di antara bentuk ibadah : Istighotsah (memohon bantuan), istianah (memohon pertolongan) dan istiadzah (memohon perlindungan). Tidak ada yang boleh dimintai bantuan ataupun pertolongan ataupun perlindungan kecuali Allah saja. Allah ta‘ala berfirman dalam Al Qur‘an Al karim : Manusia tidak boleh bertawakal selain kepada Allah, tidak boleh berharap selain kepada Allah, dan tidak boleh khusyu' melainkan kepada Allah semata.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
90
Makna Syahadat “Muhammad Rasulullah” Makna syahadat Muhammad Rasulullah adalah mengetahui dan meyakini bahwa Muhammad utusan Allah kepada seluruh manusia, dia seorang hamba biasa yang tidak boleh disembah, sekaligus rasul yang tidak boleh didustakan. Akan tetapi harus ditaati dan diikuti. Siapa yang menaatinya masuk surga dan siapa yang mendurhakainya masuk neraka. Selain itu anda juga mengetahui dan meyakini bahwa sumber pengambilan syariat sama saja apakah mengenai syiar-syiar ibadah ritual yang diperintahkan Allah maupun aturan hukum dan syariat dalam segala sector maupun mengenai keputusan halal dan haram. Semua itu tidak boleh kecuali lewat utusan Allah yang bisa menyampaikan syariat-Nya. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh menerima satu syariatpun yang datang bukan lewat Rasul SAW. Allah ta‘ala berfirman : ― Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah (Al Hasyr:7) ‖ ― Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati (An Nisa‘:65)‖ Makna kedua ayat : Pada ayat pertama Allah memerintahkan kaum muslimin supaya
menaati Rasul-Nya Muhammad pada seluruh yang diperintahkannya dan berhenti dari seluruh yang dilarangnya. Karena beliau memerintah hanyalah berdasarkan dengan perintah Allah dan melarang berdasar larangan-Nya. Pada ayat kedua Allah bersumpah dengan diri-Nya yang suci bahwa sah iman seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya hingga ia mau berhukum kepada Rasul dalam perkara yang diperselisihkan antara dia dengan orang lain, kemudian ia puas keputusannya dan menerima dengan sepenuh hati. Rasul SAW bersabda : ― Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak ada contohnya dari urusan kami maka ia tertolak. Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya ‖ Amalan yang dianggap termasuk agama namun tidak ada contohnya dari Rasul dikenal dengan istilah bid'ah. Di dalam sinetron TBNH sendiri saya secara spesifik tidak menemukan plot, adegan ataupun karakter yang bisa merepresentasikan rukun ini karena biasanya kalimat ini diucapkan oleh orang yang baru masuk Islam. Selama saya melakukan observasi tidak saya temukan plot atau adegan yang menggambarkan karakter tertentu yang baru masuk Islam. Tetapi kalimat ini juga biasa diucapkan ketika seorang muslim melakukan rukun Islam yang kedua yaitu salat. representasi seorang muslim mengucapkan kalimat ini dalam salat saya temukan beberapa kali lewat penggambaran beberapa karakter melakukan adegan ini seperti yang dila-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
91
kukan karakter Haji Sulam dan Haji Muhidin yang sedang salat di mesjid. Salat Salat lima waktu sehari semalam yang Allah syariatkan untuk menjadi sarana interaksi antara Allah dengan seorang muslim dimana ia bermunajat dan berdoa kepada-Nya. Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan akhirat. Allah mensyariatkan dalam salat, suci badan, pakaian, dan tempat yang digunakan untuk salat. Maka seorang muslim membersihkan diri dengan air suci dari semua barang najis seperti air kecil dan besar dalam rangka mensucikan badannya dari najis lahir dan hatinya dari najis batin. Salat merupakan tiang agama. Ia sebagai rukun terpenting Islam setelah dua kalimat syahadat. Seorang muslim wajib memeliharanya semenjak usia baligh (dewasa) hingga mati. Ia wajib memerintahkannya kepada keluarga dan anak-anaknya semenjak usia tujuh tahun dalam rangka membiasakannya. Allah ta‘ala berfirman : "Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (An Nisa: 103) Salat wajib bagi seorang muslim dalam kondisi apapun hingga pada kondisi ketakutan dan sakit. Ia menjalankan salat sesuai kemampuannya baik dalam keadaan berdiri,
duduk maupun berbaring hingga sekalipun tidak mampu kecuali sekedar dengan isyarat mata atau hatinya maka ia boleh salat dengan isyarat. Rasul mengkhabarkan bahwa orang yang meninggalkan salat itu bukanlah seorang muslim entah laki atau perempuan. Ia bersabda : "―Perjanjian antara kami dengan mereka adalah salat. Siapa yang meninggalkannya berarti telah kafir‖ Hadits shohih. Salat lima waktu itu adalah salat Shubuh, salat Dhuhur, salat Ashar, salat Maghrib dan salat Isya‘. Waktu salat Shubuh dimulai dari munculnya mentari pagi di Timur dan berakhir saat terbit matahari. Tidak boleh menunda sampai akhir waktunya. Waktu salat Dhuhur dimulai dari condongnya matahari hingga sesuatu sepanjang bayangbayangnya. Waktu salat Ashar dimulai setelah habisnya waktu Dhuhur hingga matahari menguning dan tidak boleh menundanya hingga akhir waktu. Akan tetapi ditunaikan selama matahari masih putih cerah. Waktu Maghrib dimulai setelah terbenamnya matahari dan berakhir dengan lenyapnya senja merah dan tidak boleh ditunda hingga akhir waktunya. Sedang waktu salat Isya‘ dimulai setelah habisnya waktu maghrib hingga akhir malam dan tidak boleh ditunda setelah itu. Seandainya seorang muslim menunda-nunda sekali salat saja dari ketentuan waktunya hingga keluar waktunya tanpa alasan yang dibenarkan syariat diluar keinginannya maka ia telah melakukan dosa besar. Ia ha-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
92
rus bertaubat kepada Allah dan tidak mengulangi lagi. Sinetron TBNH dalam beberapa adegan, plot, dan karakter terli-
hat merepresentasikan rukun islam yang kedua ini seperti yang terlihat dalam foto berikut:
Gambar 1. Adegan Salat Tukang Bubur Naik Haji
Dalam adegan ini terlihat dua karakter yang bernama Robi dan Rumana. Kedua karakter ini merupakan salah satu dari beberapa karakter utama dalam sinetron ini yang diceritakan berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Robi merupakan keponakan dari Haji Sulam yang merupakan karakter utama dalam sinetron ini. Haji Sulam mempunyai mu-
suh bebuyutan bernama Haji Muhidin yang merupakan ayah dari Rumana. Hubungan percintaan Rumana dan Robi pada mulanya ditentang terutama oleh Haji Muhidin yang sangat iri dengan keluarga Haji Sulam yang berhasil merubah nasib keluarganya dari seorang tukang bubur yang miskin menjadi salah satu orang terkaya di Kampung Dukuh. Karakter
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
93
Haji Muhidin meskipun digambarkan sebagai orang jahat tetapi dia digambarkan sering beribadah salat lima waktu di masjid. Namun ibadahnya tersebut hanya dia tunjukkan untuk
merepresentasikan kesombongan dia akan ketaatannya sebagai seorang muslim.
Gambar 2. Adegan Salat Tukang Bubur Naik Haji
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Puasa Puasa pada bulan Ramadan yaitu bulan kesembilan dari bulan hijriyah. Sifat puasa: Seorang muslim berniat puasa sebelum waktu shubuh (fajar) terang. Kemudian menahan dari makan, minum dan jima‘ (mendatangi istri) hingga terbenamnya matahari kemudian berbuka. Ia kerjakan hal itu selama hari bulan Romadhon. Dengan itu ia menghendaki ridho Allah ta‘ala dan beribadah kepada-Nya.
Dalam puasa terdapat beberapa manfaat tak terhingga. Di antara yang terpenting : Merupakan ibadah kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya. Seorang hamba meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya demi Allah. Hal itu di antara sarana terbesar mencapai taqwa kepada Allah ta‘ala. Adapun manfaat puasa dari sudut kesehatan, ekonomi, sosial maka amat banyak. Tidak ada yang dapat mengetahuinya selain mereka yang berpuasa atas dorongan akidah dan iman.
Gambar 3. Adegan Makan Sahur
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
84
Lewat foto di atas terlihat keluarga Haji Sulam sedang melaksanakan makan sahur pada saat bulan Ramadhan. Terlihat dari adegan dan plot cerita ini berusaha untuk merepresentasikan konsep islam dalam melakukan puasa ketika memasuki bulan Ramadhan.
Nishab emas sebanyak 20 mitsqal. Nishab perak sebanyak 200 dirham atau mata uang kertas yang senilai itu. Barang-barang dagangan dengan segala macam jika nilainya telah mencapai nishab wajib pemiliknya mengeluarkan zakatnya manakala telah berlalu setahun. Nishab bijibijian dan buah-buahan 300 sha‘. Rumah siap jual dikeluarkan zakat nilainya. Sedang rumah siap sewa saja dikeluarkan zakat upahnya. Kadar zakat pada emas, perak dan ba-
Zakat Allah telah memerintahkan setiap muslim yang memilki harta mencapai nisab untuk mengeluarkan zakat hartanya setiap tahun. Ia berikan kepada yang berhak menerima dari kalangan fakir serta selain mereka yang zakat boleh diserahkan kepada mereka sebagaimana telah diterangkan dalam Al Qur‘an. rang-barang dagangan 2,5 % setiap tahunnya. Pada biji-bijian dan buahbuahan 10 % dari yang diairi tanpa kesulitan seperti yang diairi dengan air sungai, mata air yang mengalir atau hujan. Sedang 5 % pada bijibijian yang diairi dengan susah seperti yang diairi dengan alat penimba air. Di antara manfaat mengeluarkan zakat menghibur jiwa orangorang fakir dan menutupi kebutuhan mereka serta menguatkan ikatan cinta antara mereka dan orang kaya.
Gambar 4. Adegan Saat Pertemuan Warga
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
82
Haji Rukun Islam kelima adalah haji ke baitullah Mekkah sekali seumur hidup. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu. Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini. Adapun lebihnya maka merupa-
kan sunnah. Dalam ibadah haji terdapat manfaat tak terhingga : Pertama, haji merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta‘ala dengan ruh, badan dan harta. Kedua, ketika haji kaum muslimin dari segala penjuru dapat berkumpul dan bertemu di satu tempat. Mereka mengenakan satu pakaian dan menyembah satu Robb dalam satu waktu. Tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, kaya maupun miskin, kulit putih maupun kulit hitam. Semua merupakan makhluk dan hamba Allah. Sehingga kaum muslimin dapat bertaaruf (saling kenal) dan taawun (saling tolong menolong). Mereka samasama mengingat pada hari Allah membangkitkan mereka semuanya dan mengumpulkan mereka dalam satu tempat untuk diadakan hisab (penghitungan amal) sehingga mereka mengadakan persiapan untuk kehidupan setelah mati dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah ta‘ala.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Gambar 5. Adegan Ketika H. Sulam akan Berangkat Haji
Sinetron TBNH merepresentasikan konsep haji lewat karakter seperti Haji Sulam dan juga Haji Muhidin. Seperti terlihat dalam foto-foto diatas yang menampilkan Haji Sulam yang sedang melaksanakan persiapan untuk melaksanakan ibadah haji untuk yang ketiga kalinya. Haji Muhi-
din yang hadir dalam acara tersebut terlihat gusar karena dia hanya baru naik haji dua kali. Pemaknaan Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Oleh Pemirsanya Lewat pemaparan sebelumnya terlihat bahwa sinetron TBNH beru-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
saha mengkonstruksi representasi Islam seperti yang tercantum dalam rukun islam. Proses konstruksi ini oleh Stuart Hall di istilahkan sebagai encoding dimana sering terjadi di dalam media yang kemudian membuat pemirsanya memiliki suatu pemaknaan tertentu tentang representasi Islam. Untuk melihat proses encodingnya saya melihat dari berbagai media sosial maupun internet yang memberikan respon terhadap sinetron TBNH. Dominant-hegemonic position yaitu keadaan di mana audiens menerima makna dari sebuah pesan dan
menyandikannya kembali sesuai dengan makna yang dimaksud oleh pengirim. Audiens setuju dengen nilai dominan yang diekspresikan dengan „preferred reading‟ dari sebuah teks. Negotiated position yaitu keadaan dimana khalayak memahami hampir sama dengan apa yang didefinisikan dan ditandakan. Audiens bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. Dua posisi audiens di atas saya lihat muncul lewat akun Facebook dan Twitter seperti berikut:
Gambar 6. Komentar Penonton melalui Akun Facebook dan Twitter
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Oppositional position yaitu keadaan di mana audiens menerima kode atau pesan dan membentuknya kembali dengan kode alternatif. Dalam bentuk yang ekstrim, mereka mempunyai pandangan yang berbeda langsung menolak pandangan dari
pesan tersebut. Audiens tidak setuju dengan nilai dominan yang diekspresikan oleh „preferred reading‟ dari teks media. Hal terlihat lewat tanggapan Masyarakat Televisi Sehat Indonesia berikut:
Sinetron Rendahkan Islam, KPI Panggil Stasiun TV Hari Ini
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Monday, 22 April 2013, 05:58 WIB Komentar : 1 KPI Gambar 7. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memastikan Senin (22/4) pagi dua stasiun televisi swasta nasional, RCTI dan SCTV akan datang untuk memberikan penjelasan terkait keluhan sinetron penokohan 'Pak Haji' yang ditayangkan kedua stasiun televisi tersebut. Kedatangan dua stasiun televisi swasta nasional ini, setelah pihak KPI melayangkan surat panggilan. Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto mengatakan, surat panggilan sudah dilayangkan ke RCTI dan SCTV beberapa hari yang lalu. Hari ini, Senin (22/4) pagi pukul 10.00 WIB mereka dijadwalkan akan bertemu KPI. "Mereka kita undang ke KPI, untuk kita minta penjelasan terkait alasan dan latar belakang penayangan sinetron yang menokohkan karakter 'Pak Haji' yang banyak dikeluhkan masyarakat belakangan ini," ujar Ezki kepada Republika, Ahad (21/4) malam. Ia menambahkan, isi sinetron penokohan 'Pak Haji' dan tokoh agama di cerita sinetron tersebut, dianggap telah menghina dan menjelekkan simbol agama Islam. Beberapa judul sinetron yang menjadi keluhan diantaranya Islam KTP (RCTI), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Haji Medit (SCTV) dan Ustad Fotocopy (SCTV). SIMPULAN Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Konstruksi Representasi Islam dalam Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Sebagai salah satu dari banyak sinetron yang bertemakan Islam yang tayang di televisi Indonesia, Tukang Bubur Naik Haji The Series banyak merepresentasikan konsep Islam dalam cerita dan adegannya. Konsep Islam yang paling menonjol direpresentasikan adalah konsep Haji yang merupakan bagian dari Rukun Islam yang kelima. Rukun Islam sendiri terdiri daripada lima perkara: Mengucap dua kalimat syahadat dan menerima bahwa Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad s.a.w itu rasul Allah. Menunaikan salat lima kali sehari. Mengeluarkan zakat. Berpuasa pada bulan Ramadan. Menunaikan Haji bagi mereka yang mampu. Pemaknaan Sinetron Tukang Bubur Naik Haji Oleh Pemirsanya Lewat pemaparan sebelumnya terlihat bahwa sinetron TBNH berusaha mengkonstruksi representasi Islam seperti yang tercantum dalam rukun islam. Proses konstruksi ini oleh Stuart Hall di istilahkan sebagai encoding dimana sering terjadi di dalam media yang kemudian membuat pemirsanya memiliki suatu pemaknaan tertentu (decoding) tentang representasi Islam. Untuk melihat proses encodingnya saya melihat dari berbagai media sosial maupun internet yang memberikan respon terhadap sinetron TBNH. Proses decoding ada tiga posisi yaitu
Dominant-hegemonic position yaitu keadaan di mana audiens menerima makna dari sebuah pesan dan menyandikannya kembali sesuai dengan makna yang dimaksud oleh pengirim. Audiens setuju dengen nilai dominan yang diekspresikan dengan „preferred reading‟ dari sebuah teks. Negotiated position yaitu keadaan dimana khalayak memahami hampir sama dengan apa yang didefinisikan dan ditandakan. Audiens bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. Dua posisi audiens di atas saya lihat muncul lewat akun Facebook dan Twitter. Kemudian posisi ketiga Oppositional position yaitu keadaan di mana audiens menerima kode atau pesan dan membentuknya kembali dengan kode alternatif. Dalam bentuk yang ekstrim, mereka mempunyai pandangan yang berbeda langsung menolak pandangan dari pesan tersebut. Audiens tidak setuju dengan nilai dominan yang diekspresikan oleh „preferred reading‟ dari teks media. Hal terlihat lewat tanggapan Masyarakat Televisi Sehat Indonesia yang melihat sinetron TBNH sebagai salah satu sinetron yang merendahkan Islam.
DAFTAR PUSTAKA Barker,Chris. 2004. Cultural Studies Theory and Practice, New Delhi: Sage
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
82
Baumann, Gerd. 1999. The Multicultural Riddle: Rethinking National, Ethnic, and Religious Identities. New York: Routledge Downing, John, Ali Mohammadi, Annabelle SrebernyMohammadi. 1990. Questioning the media; a critical introduction.. New Delhi: SAGE Publications Durham, Meenakshi Gigi, dan Douglas M. Kellner. 2006. Media and Cultural Studies Keywork.. United Kingdom: Blackwell Publishing
Grant, Barry Keith. 2007. Film Genre from Iconography to Ideology.. London: Wallflower Press Hall, Stuart. 2003. Representation: Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publication Hidayatullah, M.Syarif. 201. Buku Pintar Ibadah : Tuntunan Lengkap Semua Rukun Islam. Jakarta: Suluk,
Gorton, Kristyn. . 2009. Media Audience. Edinburg: Edinburg University Press Ltd
THE FOCALIZER AND THE NARRATOR IN FILM AND FICTION Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
83
Oleh Heri Yusup Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract Tulisan ini membahas tentang signifikan sinarator dalam penceritaan suatut eksnarasi dan mendiskusikan persamaan dan perbedaan peran narrator yang ada dalam narasi fiksi dan film. Tujuan utamanya untuk mengetahui seberapa penting peran narrator dalam suatu narasi dan apa saja efek-efek yang bias mucul dari keunikan masing-masing cara penceritaannya. Teori-teori yang digunakan sebagai landasan termasuk di dalamnya adalah teori tentang narasi dan fokalisasi menurut Gennette (1980), Toolan (2001) dan Jahn (2007), serta teori analisis fiksi dan film menurut Chatman (1980), Bordwel (1985) dan Kroeber (2006). Hasilnya menunjukkan bahwa narrator adalah bagian tak terpisahkan dari suatu teks narasi karena tanpa adanya narrator maka tidak mungkin ada cerita. Namun, narrator dapat dikatakan tidak ada dalam narasi film. Yang ada dalam narasi film bukanlah narator, melainkan sejumlah omniscient dan omnipresent focalizers yang berperan sebagai „invisible observers‟ dan tidak bercerita. Narator dalam fiksi lebih menekankan pada property linguistik yang mampu merangsang kebebasan berfantasi secara imajinatif, sedangkan focalizer dalam film pada representasi audio-visual yang menyuguhkan gambarannya tadi depan mata. Keywords: Narrator, film and fiction
INTRODUCTION The issue whether the narrative process in film is approachable using the theory of literary narrativity has remained a matter for debate. It rather stays fuzzy if the film narrator can be regarded as having an identical function to the role of a narrating mediator present in literary prose. The controversy concerning the comparable capacity of narrators in film and fiction narratology indicates the problem in determining which theories of narrative exactly apply to film studies (Schmidt, 2009). Some critics argue that film is different from fic-
tion in terms of the medium used for communicating meanings. Prose fiction such as novels and short stories employs verbal language to achieve a particular communicative purpose, whereas film is considered to utilize ―another kind of semiotic system with ‗articulations‘ of its own‖ (Metz, quoted in Chatman, 1990:124). Nevertheless, although film may be viewed as ―an independent art form‖ (Schmidt, 2009) which should be separated from literature, it still can be categorized under the same super ordinate term ‗the cultural products of human signification system‘. With
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
97
this idea in mind, the separate classification of film and fiction with regard to the distinctive aspects of communication mode may lead to a clear perspective concerning which application of semiotics or linguistics theory is best applied for analyzing them. However, when it comes to the comparison and contrast of their narrative technique, it remains an intricate topic since it is both easy and difficult to determine its similarities and differences. The primary purpose of this paper is to compare and contrast the narrative technique employed in film and fiction. In addition to that, there will be some parts of it which discuss the importance of a narrator in conveying textual narrative information. The key argument of this study centers on the idea that, ―with the exception of the character narrator and the cinematic device of the voice-over (whether homo- or heterodiegetic)‖ (Schmidt, 2009), the role of the narrator in film has been replaced by a number of external omnipresent and omniscient focalizers whose affordances are similar to those of the narrator in fiction. The focalizers in cinematic narratives are story-showing agents that are capable of visually presenting the narrative elements but lacking the fiction narrators‘ capacity to verbally describe, report and comment on them. Those significant differences and relative similarities may result in various effects emerging from the manners of the conveyance. Narration and Focalization
Narrator is both fundamental and integral in textual narrative. It cannot be disavowed from a written narrative since the story is bound to possess an agent who acts as the teller. In order to exist, a verbal narrative demands the presence of a narrator. The absence of the narrator equals the inexistence of a character that is supposed to possess the knowledge regarding the story world. Consequently, it results in the loss of a mediator with the ability to recount and retell. Toolan (2001:8) defines narrative as a series of interrelated events directly or indirectly experienced by human beings or other living entities. This indicates that a narrative requires an intelligent being that can chronologically, but not necessarily in that way, arrange the ―non-randomly connected events‖ (2001:8) or the ‗fabula‘ (see Bal, 1997) to shape a total unity. Thus, in this sense the narrator is basically the most essential part of a narrative text without which ―the transition from one state to another state, caused or experienced by actors‖—that may or may not involve the narrator itself— cannot be recalled and told to the audience (Bal, 1997:182). Nonetheless, what has been explained above is only one aspect of the narrator importance in the transference of a narrative text. Additionally, it can also be argued that the presence of the narrator not only gives birth to the narrative‘s existence but also contributes to the production of the narrative‘s meaning. The way of ―the recounting […] of one or more real or fictitious events communi-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
2
cated by one, two, or several (more or less overt) narrators to one, two or several (more or less overt) narratees‖ (Prince 2003:58) influences the point of view or the position in seeing the ‗fabula‘. The manners of the narrative conveyance play a vital function in the delivery of a narrative text because they affect the construction of the elements existing within the boundary of the story realm. The narrator in fiction usually owns a complete set of ―cognitive, emotive and ideological perspectives‖ (Toolan, 2001:60) communicated throughout the story. Before the narrative information reaches the audience, it may be selected and filtered through the eyes, the heart and the mind of the narrator in order to convey a particular meaning. Therefore, the arrangements of events, the portrayal of characters and the description of settings as well as the employment of style cannot be detached from the role of the narrator. In general, those are some of the roles assigned to the narrator in a narrative text. It has been explained above that an agent of storyteller is present within a piece of narrative text. However, the narrator is only held responsible for ―the immediate source and authority for whatever words are used in the telling‖ (Toolan, 2001:60). By way of explanation, the narrator is the one who always does the speaking but not constantly does the seeing. The narrator sometimes acts as a reporter who receives narrative information but may not perceive it by itself. Instead, the narrator notices it through the sensory reception
of other characters. The term used by literary scholars to refer to this narrative phenomenon is ‗focalization‘. Toolan (2001:60) points out that the term focalization is coined by Gerard Genette to refer to ―the angle from which things are seen – where ‗seen‘ is interpreted in broad sense, not only (though often most centrally) in terms of visual perception‖. Later on, he continues to explain that focalization reflects the presence of the subject and the object of the process, i.e. the focalizer and the focalized. Both of them can be either animate or inanimate objects. A character may become a focalizer when they submit perceptual information to the narrator as part of the story being narrated. The general similarity between the narrator and the focalizerin a narrative text is that they are both characters in the story world. The underlined difference is that the narrator is a character that has the capacity not only for observing things as sources of narrative information, but also for telling about them. Meanwhile, the focalizer stays only as a character that observes. Therefore, the narrator is also labeled the ‗external focalizer‘ when they are narrating but not participating, whereas a participating character that does only the seeing is named the ‗internal focalizer‘ (2001:61). Unlike the narrator that may or may not become a participant in the story, the internal focalizer is part of the story that it tells. To sum up, a narrator is automatically a focalizer, but a focalizer is not necessarily a narrator.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
3
The Narrative Technique in Literary Prose In general, there are three types of literary prose narrators which have been classified by narratologists with regard to their position inthe story and their relationship to it. They are non-involved third-person (heterodiegetic), a partly involved first-person (homodiegetic), and a wholly-involved first-person (autodiegetic) (Gennete, 1980:248). Each of the narrators offers various ways of narrating a story according to their point of view. A heterodiegetic narrative technique generally includes two subtypes of narrator, i.e. the unlimited (omniscient) and the limited. The unlimited narrating agent has the access to all of the aspects in the story world without being restricted by the boundary of space and time. The narrator possesses the capacity not only for seeing what was happening in the story, but also what had happened. It can tell what the characters think, how they feel, and other inner sensations and activities which they experience. In other words, it has the all-seeing attribute of God. Classic novels employing omniscient narrators include Bleak House by Charles Dickens and Emma by Jane Austin. Meanwhile, the limited version is different from the first one in the sense that it relatively lacks some of the aforementioned capabilities and it is usually characterized by its adherence to a personified single perspective. In other words, this latter type is more humane despite the fact that it can also read the mind of the characters. The novel entitled The Portrait
of a Lady by Henry James is narrated by a limited third-person narrator. First person narration is also subdivided into two types depending on the role of the narrator in the story. The first type is when the narrator is the protagonist who narrates their own story. Prose fictions which employ this narrative technique are Daniel Defoe‘s Moll Flanders and Mark Twain‘s Huckleberry Finn. The second type is when the narrator serves mostly asan observer and a non-participant in the actions and events. Examples of this type include Wuthering Heights by Emily Bronte and The Great Gatsby by F. Scot Fitzgerald. Some literary critics argue that first person narrative technique has unique features in relation to major characters analysis. It provides greater emphasis on the way a main character sees their world and how they socially interact with other characters. A narrative told in firstperson can be unreliable as well since the presentation of the story is solely at the hand of someone who may have interests or direct relationships with certain aspects of the story. Several gothic short stories by American writer Edgar Allan Poe, such as The Black Cat and The Tale-Tell Heart, contain some degree of narrator unreliability. Nevertheless, first person narration can also deliver an effect to make the story more believable and engaging as the one who tells it can also be the one who experiences it. In other words, to some extent it grants the narrative a high level of authority and credibility. However, unlike in
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
4
third-person narrative technique, the narrator does not have the ability to describe the realm of the story in wider panoramic view. The Narrative Technique in Cinematic Narrative In contrast with verbal narrative, cinematic narrative uses various aspects of multimodality with the emphasis on audiovisual features in which a narrating speaker may be withdrawn completely. Therefore, the notion whether a narrator is really present in cinematic narrative will remain controversial. Bordwel declares that ―to give every film a narrator or implied author is to indulge in an anthropomorphic fiction‖ (1985: 62). This would suggest that to associate the camera eye with human being‘s appears to be problematic. Even if the camera existing in film is identified as a persona, its all seeing and all being capabilities can only be associated with a superhuman or a divine person. Schmidt (2009) mentions that a number of terms have been suggested by many narratologists to ―overcome the logical impasse of having a narration without a narrator‖. They include ‗first-degree narrator,‘ ‗supra-narrator‘ ‗heterodiegetic narrator‘ and ‗invisible observer‘. The last term proposed by Bordwell (1985: 9–10), ‗invisible observer‘, seems to be more representative compared to the others. This supports the idea that films conventionally present objective observations of the focalized narrative information. Bordwell contends that one of the most fundamental views regarding
the issue of film narrator is that ―a narrative film represents story events through the vision of an invisible or imaginary witness‖ (1985:9). If the invisible observer here is represented by the camera, some individuals suggest that the best provisional answer to the debate is to view the camera as the narrator. Yet, the term ‗narrator‘ itself to be applied in film in not unproblematic. It does not seem to fit and perhaps is logically not appropriate to refer to the seeing but nonnarrating agent in cinematic narrative. Therefore, the search for a mediating agent in cinematic narrative should focus on and be limited to the question ―who is the character whose point of view orients the narrative perspective?‖(Genette, 1980:186).The reason is because narrative voice generally does not exist in film and it basically belongs to fiction. In literary prose, the narrator linguistically constructs a story through speech. Language has become an authentic code which signals the presence of a story-telling agent. The fictitious story realm cannot be established in the readers‘ imagination without the meaningful linguistic properties that stimulate their cognitive perception. This particular characteristic exists in textual narrative but not in visual one. Thus, the process of mediation in televisual/cinematic narrative should be addressed as focalization instead of narration. Unlike fiction which tells the story via a narrating agent using linguistic forms, film presents it by
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
5
means of moving images via an eyesubstituting technical apparatus, i.e. the camera. Chatman argues that the camera in film ―does not need coincide with the perceptual point of view of any character… [and it] identified in no way with any character‖ (1978:159). However, if the camera in film is to be regarded as a nonspeaking storytelling character that does the focalization only, then it can be said that what exists in film is not a narrator, but afocalizer. Furthermore, since the film point of view most dominantly, but not always, resembles an external agent of seeing in textual narrative that directs ―an orientation outside the story [but] (the orientation is not associable with that of any character within the text) [and thus]…the narrator/focalizer separation is neutralized‖ (Toolan, 2001:61), then it is probably unproblematic if the term ‗narrator‘ in film is changed into ‗focalizer‘. When a literary prose is adapted into film, the role of the narrating agent will be reduced to a minimum or even deprived of it completely. One of the reasons for the removal of narrative voice in film is probably because it is totally unnecessary. A film does not need a narrator to tell the story. Even if the film maintains the original autodiegetic narrative technique, as in the film adaptation of Stephanie Meyer‘s Twilight, the first person narrator (Isabella Swan) who is also the protagonist can only deliver her occasionally emotional and ideological thoughts without being granted a full opportunity to narrate. Even though she is
actually the narrator, in film she must appear on the screen in full at most times. Thus, it is likely that she will dominantly emerge as the focalized besides being the focalizer. In order to do that, the film demands the presence of anomni presentand omniscient focalizer who will follow her wherever she goes and see her anywhere she is. That focalizer serves to play the role as the major focalizer. Besides that, there are also other focalizers able to see what other characters do in different places simultaneously. Those can be labeled as minor focalizers. Hence, it can be argued that actually there is more than one focalizer in film. The major focalizer focuses on the major character that becomes the center of interest in the story. Meanwhile, the other minor focalizers depict the events that happen without the awareness of the protagonist or in which other characters are present and the protagonist is absent. Deleyto declares that ―in film several internal and external focalisers can appear simultaneously at different points inside or outside the frame, all contributing to the development of the narrative and the creation of a permanent tension between subjectivity and objectivity‖ (quoted in Schmidt, 2009). An example of the employment of numerous focalizers can be found in Hollywood disaster films such as Independence Day and The Day After Tomorrow. Many events happening in multiple places involving different characters are occasionally presented as happening at the same time despite the consecutive
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
6
appearances on the screen. In summary, the mediators that exist in cinematic narrative are not narrators but a number of omniscient and omnipresent focalizers. Fiction Narrator vs. Film Focalizer In cinematic/televisual narrative, the perception of events, objects, other characters and places are not linguistically transferred via narrating agents. They are replaced by real images perceived and presented by a number of focalizers. The focalizers do not have the same exact function as narrators. According to Jahn (2007:94), focalization is ―the submission of (potentially limitless) narrative information to a perspectival filter‖. Therefore, all the information in the film story is received by the focalizers and they transfer the narrative information to the viewers. Besides that, the mediators in film are constantly external focalizers because they present the narrative information from ―an orientation outside the story‖ (Toolan, 2001:61). Some scenes in film may involve the use of internal focalizers as well, where the viewers can see things from the point of view of the participating characters. Generally, film will dominantly employ an external focalizer technique for its cinematic presentation. The external focalizers in cinematic narrative are relatively similar to the omniscient third-person narrators in literary prose as they both are capable of bringing ―the neutral establishing shot of a panoramic view‖ (Schmidt, 2009).
The narrative technique in literary prose and film also differs in the sense that the focalizers in cinematic narrative merely exhibit the details instead of communicating them verbally (Chatman, 1980:125). Yet, more dramatic effects towards the audience are likely to be achieved in particular aspects. One of them is the uninterrupted building of suspense. In film, since events in the plot are presented to the viewers in the form of continuously moving images, the outcome of critical situations can be anticipated at all times because the focalizers keep presenting relevant plot information. Meanwhile, in textual narrative there may be irrelevant verbal interference along the way as the narrator may give their ―cognitive, emotive and ideological perspectives‖ (Toolan, 2001:60) while narrating an event. As a consequence, a conflict may occur in the understanding of what Chatman (1980:129) identifies as the ―story-time‖ and the ―discourse time‖. For example, a narrator tells an event in which someone is being halted by a gang of robbers. While in film their ‗story-time‘ will naturally flow along with the ‗discourse-time‘ of the viewers and present immediately with what happens next to the victim, the narrator may divert to the description of the filthy clothing worn by the bad guys. Thus, it results in the postponing of suspense which may affect the readers‘ attitude towards the story. However, according to Chatman, it can also be argued that the seemingly pause effect created by the interrupting descrip-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
7
tion may also indicate the gang in the story slowly approaches the victim and hence there is vacant time best filled with details of objects or characters. Therefore, the narrator‘s interruption may also be regarded as a method for the construction of suspense in itself. Yet, it is just another theory and the readers‘ attitude may vary considering its value laden nature. The point is that the establishment of suspense in literary prose may be affected by the narrator‘s irrelevant verbal intrusiveness. According to Kroeber (2006:2), another difference between the story mediators in textual and cinematic narratives lies in their distinctive nature as verbal storytellers and visual story-presenters. Since the narrators in written narrative rely solely on linguistic properties in presenting the details of events, settings and characters in the story, they will make the most out of the linguistic signifiers to describe those elements as imaginative as possible. The linguistic properties conveyed by the narrators afford to make the readers mentally visualize the narrative information. In other words, they allow the readers to freely imagine what happens in the story. The better the narrator employs a particular literary style to create a particular effect, the more vivid the imagination that it may evoke. Furthermore, it does not only stop in the imagination of the events described by the narrator. Chatman declares that ―evaluative description in verbal narrative …can invoke visual elaboration in the reader‘s mind‖
(1980:131). As the narrators may give their own interpretation and assessment (e.g. commenting, explaining and comparing) during the telling of an event, they may become sources of imagination as well. For instance, Kroeber (2006:1) gives an example of an event taken from a novel written by Fyodor Dostoyevsky, Crime and Punishment, in which an old lady is being brutally murdered. During the recounting of the tragic event the narrator makes a remark, ―the blood poured out as from an overturned glass‖. The narrator‘s comment above may lead the readers to freely fantasize the mental picture of the happening. The narrator may intensively provide such materials for the fulfillment of the readers‘ imagination. As a result, reading fiction may be more captivating than watching film because the former stimulates more creative illusion. On the contrary, there is a strong possibility that the focalizers in the cinematic version will not present the part in which a glass full of blood flips over and the blood spills freely. It is highly likely that this part will be excluded from the scene since it will intervene and make the killing scene appear over dramatic and less realistic. In addition to that, the literary prose narrator may also be more elaborative in providing details of objects. For instance, even before the killing happens the narrator may emphasize the sharpness of the knife used in a murder scene by speaking metaphorically that it can slice a piece of wood easily. This may incite
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
8
the readers to imagine what if the same knife sporadically used to jab the victim. As a result, greater effects upon the readers may be transmitted more successfully. Chatman also points out that ―story-time stops as the narrator characterizes a story object, a prop‖ (1980:124). This suggests that the narrator allocates some amount of time for readers to mentally visualize a particular quality of things being described. During the time, the movement of the plot seems to pause for a while before moving on to the upcoming event. By employing this effect, any details of the physical objects are effectively presented and contemplated by the readers. Although this method may not apply to all textual narratives, ―the start-and-stop effect‖ (Chatman, 1980:124) is one of the specific characteristics of literary prose which may not be easily imitated by cinematic narrative. It will be odd if the focalizers in film frequently pause in order to allow viewers meticulously pay attention to every detail of the properties shown on the screen. However, film can present more abundant number of details with the dramatization and the uses of special effects. The focalizers afford to provide audiovisual features so that the viewers are given a privilege to watch the events happening live before their very eyes. Since cinematic narrative relies on motion pictures and sound effects, it suggests that the focalizers allow the viewers to witness the events by themselves. This is done by the technical application of various three-dimensional seeing an-
gles by the focalizers. The techniques include ―framing the shot in a certain way… concentrating on the most significant details of the action …[and] the change of shot‖ (Bordwell, 1985:9). The slow and sudden movements of the focalizers as well as the zooming in and out contribute to the establishment of the illusion of real-live drama and actions. All of those aspects can be easily found and appreciatedin film. In general, although the literary prose narrators may richly evoke readers‘ imagination, the imagination can only go as far as what the narrators tell. In film, the focalizers may supply the viewers with so many things to see that they are often overlooked. CONCLUSIONS To conclude, narrators cannot be said to exist in televisual/cinematic narrative since they are associated with the linguistic construction of narrative information, whereas the story mediator in film generally present it audio-visually. The camera can only be regarded as the external focalizer since it only observes without narrating. Thus, it can be argued that the mediating agents in film are actually a number of omnipresent and omniscient focalizers. The focalizers submit the narrative information directly to the viewers in the form of motion pictures. Conversely, the narrator in fiction counts on the linguistic properties in the establishment of the story realm. With regard to the differences and similarities, each of them has several unique features which contri-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
9
bute to the creation of particular effects upon their audience. The narrator in textual narrative seems to let the readers embark for richer imaginative fantasy because the narrator not only narrates but also elaborately provides explanation, evaluation and assessment. However, in some cases the narrator‘s elaboration may also be intrusive and interrupting. Meanwhile, the focalizers in film are generally objective in terms of the story presentation. They merely show what happens and give the viewers a privilege to see the story world by themselves, not only to imagine of it.
Vice Versa)‘. Critical Enquiry. 7/1: 121-39 Gennette, G. 1980. Narrative Discourse: An Essay in Method. Jane E. Lewin (Trans.) New York: Cornell University Press Jahn, M. 2007. ‗Focalization‘.The Cambridge Companion to Narrative.Ed. David Herman.Cambridge University Press, 2007.94-108. Kroeber, K. 2006. Make Believe in Film and Fiction: Visual vs. Verbal Story Telling. New York: Palgrave Macmillan Prince, G. 2003. A Dictionary of Narratology. Nebraska: University of Nebraska Press
BIBLIOGRAPHY nd.
Bal, M. 1997, 2 .Narratology: Introduction to the Theory of Narrative. Toronto: Toronto University Press Bordwell, D. 1985. Narration in the Fiction Film. Wisconsin: The Wisconsin University Press Chatman, S. 1978. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. London: Cornell University Press Chatman, S. 1980. ‗What Novels Can Do That Films Can‘t (and
Schmidt, Johann N. 2009."Narration in Film". In: Hühn, Peter et al. (eds.)The Living Handbook of Narratology. Hamburg: Hamburg University Press. Retrieved April 17, 2013 from hup.sub.unihamburg.de/lhn/index.php ?title=Narration in Film &oldid=1988 Toolan, M. 2001, 2nd. Narrative: A Critical Linguistic Introduction. London: Routledge Website
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
10
‗Narrative Theory: A Brief Introduction‘. Retrieved April 21, 2013 from
http://courses.nus.edu.sg/course/ellibs t/NarrativeTheory/chapt7.htm#7.3
LAGU DANGDUT POPULER : ANTARA EKSPLOITASI DAN EKSHIBISI TUBUH DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN Oleh Maria Qibthia Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam ―45‖ Bekasi Abstract
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
11
Thispaperdiscusses therepresentations ofwomen'sbodiesandsexualities whicharemediatedinthe lyrics ofdangdut popular, sothis essaywill bewrittenby usingfeminismperspective wheremediasuchas songsasthe sources.By analyzing three popular dangdut song lyrics, there are two assumptions about how women's bodies and sexuality represented and constructed by the media. The first assumption, that the lyrics of the song that contains elements of female sexuality can be a trigger to the exploitation of women. However, the second assumption states that the dangdut song can be regarded as exhibition of women‟s bodies and sexuality. Key words: Dangdut song, Woman‟s body, Sexuality, Exploittion, and Exhibition PENDAHULUAN Topik mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi memang permasalahan yang tabu untuk dibahas tetapi dapat menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni dan media massa tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru namun karena sifatnya yang timbul tenggelam, maka tema perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video klip artis yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa/siswa, pameran foto-foto nudis beberapa artis sampai aksi panggung artis dangdut yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas penyanyinya dan lirik lagunya yang mengandung kata-kata seksual.Maka,
wacana mengenai unsur-unsur seksualitas, erotika, dan pornografi adalah tentang tubuh perempuan itu sendiri. Wacana mengenai tubuh dan seksualitas perempuan telah ada sedari dulu. Seperti yang tertuang dalam penggalan lirik lagu ini, ―Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu‖ merefleksikan posisi dan penggambaran perempuan dalam masyarakat. Kata ‗dijajah‘ mengidentifikasikan posisi superordinat dan subordinat dimana perempuan berada dalam posisi subordinat, sedangkan kata ‗sangkar madu‘ seperti menegaskan bahwa perempuan harus dijaga dan dilindungi. Dan tubuh perempuan, hingga saat ini sekalipun emansipasi sudah digaungkan berpuluh tahun masih menjadi wacana publik. Seperti yang dikatakan Aquarini Prabasmoro bahwa ―tubuh perempuan, lebih dari sekedar facticity, adalah bagian dari dirinya sebagai manusia. Disinilah kontradiksi terjadi pada perempuan. Sebagai seorang manusia, dia adalah subjek, suatu kesadaran, tetapi sebagai seorang perempuan, dia adalah ‗Liyan yang mutlak‘. Dia ada-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
113
lah objek.‖ (Prabasmoro, 2006 p.45) Pernyataan Prabasmoro tersebut memperjelas bahwa keliyanan yang mutlak yang terjadi pada diri perempuan adalah karena dia seorang perempuan. Pernyataan ini jelasnya didukung oleh stereotip-stereotip yang masih mengakar hingga saat ini. Stereotip bahwa perempuan adalah perempuan lemah yang harus diatur sudah tertanam jelas dalam setiap pemikiran patriarki. Selain itu, Prabasmoro pun menegaskan bahwa, ―Kontradiksi antara menjadi subjek dan pada saat yang sama dihadapkan pada objektivasi, seorang perempuan mungkin mendapatkan dirinya menjadi kaki tangan kejahatan terhadap dirinya sendiri‖ (p.45) Stereotip yang berkembang dan mengakar hingga saat ini telah menjelaskan objektivasi yang dimiliki perempuan dimana perempuan dianggap lemah hingga mampu untuk menjadi korban kekerasan dan yang disayangkan adalah apa yang terjadi pada dirinya selalu berujung pada tanpa tindakan dan diam. Disinilah perempuan distereotipkan sebagai makhluk yang pasif. Hal ini dibuktikan semakin banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan baik secara fisik ataupun mental, baik yang terekpos dalam media ataupun tidak. Eksploitasi terhadap tubuh dan seksualitas perempuan tersebut pun tertuang dalam lirik-lirik lagu dangdut populer dimana penyanyinya pun adalah seorang perempuan. Berangkat dari pemikiran diatas, esai ini akan membahas representasi-representasi tubuh dan seksualitas perempuan yang termediasikan dalam lirik-lirik lagu dangdut populer.
Maka esai ini akan ditulis dengan perspektif feminisme dimana media seperti lagu sebagai sumber datanya. Pembahasan ini jelasnya mengandung perdebatan, pada satu sisi lirik-lirik lagu yang mengandung unsur seksualitas tersebut bisa menjadi dan memberikan peluang sebuah eksploitasi terhadap perempuan, namun pada satu sisi lirik-lirik lagu tersebut mampu memberikan akses terciptanya ekspresi dan ekshibisi perempuan yang lebih bebas karena apabila hal tersebut dilihat dalam perspektif feminisme, tubuhdan seksualitas perempuan adalah milik perempuan itu sendiri.Adapun metode yang akan saya gunakan adalah studi pustaka dengan mendeskripsikan lirik-lirik lagu dangdut populer, dan lirik-lirik lagu yang saya ambil sebagai data adalah tiga lirik lagu yang saya asumsikan mengandung unsur seksualitas perempuan: Belah Duren, Hamil Duluan, dan Jablay (Jarang dibelai). Dangdut Sebagai Budaya Populer Dengan berasumsi bahwa budaya dapat berarti the way of thinking and living, maka budaya itu sendiri dapat dipandang sebagai segala hal yang berkaitan dengan everyday life karena segala hal kecil dalam keseharian hidup seseorang dapat dibahas dan dikritisi. Oleh karena itu saya beranggapan bahwa terlalu sempit apabila budaya dikategorikan menjadi budaya rendahan (low culture), dan budaya adiluhung (high culture).Seperti yang diungkapkan oleh John Storey mengutip pendapat Raymond William bahwa ―culture here means the text and practices whose
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
2
principal function is to signify, to produce or to be the occasion for the production of meaning‖ (Storey, 2009 p.2). Dari pendapat tersebut bisa dilihat bahwa budaya bisa berhubungan dengan segala sesuatu yang bisa memproduksi makna karena ada proses signifikasi terhadap teks-teks ataupun praktek-praktek budaya dan sosial yang ada di masyarakat. Teksteks disini bisa berupa cerita fiksi, benda-benda historis, fenomena, film, iklan, program televisi, dan lagu atau musik. Sedangkan praktek-praktek disini dapat berupa aktifitas dan kegiatan dalam keseharian masyarakat baik pada masa lampau ataupun saat ini. Maka terkadang kajian budaya bisa terletak pada pembahasan bagaimana sebuah produk diregulasikan, kemudian dikonsumsi, dan direpresentasikan tergantung bagaimana produk tersebut dilihat, ditonton, didengar, dipakai atau digunakan, dan digemari atau disukai (termasuk berapa banyak orang yang menyukainya). Dari sinilah muncul sebuah istilah budaya populer. Budaya populer tergantung bagaimana orang melihat dan mendefinisikannya, karena budaya populer tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Secara harfiahnya budaya populer dapat berarti ―any cultural product that has a mass audience.‖ (Zeisler, 2008 p.1) Semakin banyak orang yang menyukai produk budaya tersebut, maka semakin populer lah produk budaya tersebut. Apa yang populer saat ini pastinya bukan yang populer pada saat dulu, dan mungkin tidak akan populer lagi di masa mendatang. Oleh karena itu produk budaya popu-
ler dari tahun ke tahun akan selalu berbeda hal ini didasari karena pergerakan dan permunculan budaya baru bisa sangat cepat berubah. Nonton di bioskop seperti Blitz atau CinemaXXI saat ini mungkin tidak sepopuler nonton di layar tancap pada tahun 7080an. Bermunculannya video-video tari populer yang sangat cepat dan masif di video streaming seperti YouTube; dari mulai Shuffle berganti menjadi Gangnam Style, dan sekarang Harlem Shake. Ataupun lagu dangdut yang lebih populer dan memasyarakat dari pada lagu Jazz, komik yang lebih disukai daripada novel, dan nonton sinetron yang lebih digemari daripada menonton teater. Maka, budaya populer dapat berangkat dari budaya yang dianggap sebagai low culture. Ketika ada pengkategorian low culture, dapat dimaknai bahwa low culture itu bukan sesuatu yang mahal, langka, mendidik, ataupun mewah, tetapi sesuatu yang memasyarakat, menghibur, dan terjangkau. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Walter Benjamin yang dikutip oleh Zeisler bahwa, ―The masses seek distraction whereas art demands concentration from the spectator.‖ dan Zeisler pun menambahkan, ―High art was supposed to entertain, yes, but it was also supposed to inform, enrich, and inspire. It was considered enough, however, for popular culture to simply amuse.‖ (p.1) Pernyataan tersebut menegaskan bahwa budaya populer dapat dipahami sederhananya sebagai sesuatu yang menghibur, masif dan disukai masyarakat. Maka, lagu dangdut tidak dapat dipungkiri
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
3
merupakan sesuatu yang menghibur, memasyarakat, dan populer. Dalam perkembangan musik di Indonesia, lagu dangdut terkadang dikategorikan sebagai lagu yang rendahan, kampungan, dan norak. Hal ini mungkin didasari karena adanya pelevelan dan pelabelan yang ada di masyarakat serta hal ini pun dapat berhubungan dengan selera. Lagu dangdut dianggap sebagai lagu yang murahan dan kampungan mungkin karena penyuka lagu dangdut adalah masyarakat kalangan kelas bawah. Bagi masyarakat kalangan atas ataupun menengah jelasnya akan lebih memilih lagu yang lebih prestisius seperti Jazz ataupun Blues. Mengenai selera dan kelas Bourdieu dalam bukunya yang berjudul Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, memberikan analisa mengenai adanya habitus sebagai the system of disposition berdasarkan perbedaan praktek budaya yang dilakukan oleh individu dalam kelas sosial di masyarakat. Perbedaan praktek budaya tersebut terlihatberdasarkan perbedaan latar belakang keluarga, asal (social origin), serta pendidikan formal. (1984 p.6) Perbedaan habitus tersebut memunculkan adanya aturan yang terbentuk berdasarkan kelas sosial dimana individu tersebut berasal, hingga memunculkan perbedaan kelas dan selera yang lebih tinggi dan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kelas sosial cenderung distandarkan untuk menentukan minat dan kesukaan seseorang yang menyebabkan suatu perbedaan berdasarkan kelas sosial. Namun, Aquarini Prabasmoro dengan mengutip Featherstone me-
nyatakan hal yang berkebalikan bahwa pengkategorisasian seperti itu ―kehilangan perspektifnya dalam kompleksitas ‗ruang sosial‘ yang memuat pelbagai ‗cita rasa‘ yang dihasilkan secara sosial dan kultural.‖ (p.402) Hal ini menyatakan bahwa dalam konteks ruang sosial masyarakat saat ini yang semakin kompleks, selera bukanlah sesuatu yang harus dikelompokkan dalam perbedaan kelas, karena selera itu bisa tumbuh karena rasa suka, kenyaman, dan kebiasaan yang bergerak secara perlahan. Selera juga dapat menunjukkan identitas seseorang yang dapat terkonstruksi secara kultural dan relasi sosialnya. Maka, lagu dangdut yang dipandang kampungan dan norak bisa saja disukai oleh kalangan menengah apabila keseharian secara sosial dan kultural, dia mendengarkan lagu dangdut karena budaya populer dapat termanifestasi atau dimanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, melihat perkembangannya lagu dangdut sekarang tidak sama dengan lagu dangdut dahulu. Lagu dangdut yang berasal dari lagu-lagu melayu dengan sedikit nada yang berbeda, saat ini sudah dapat melampaui kepopuleran lagu Jazz. Selebritis lagu dangdut dapat lebih dikenali oleh masyarakat Indonesia dari pada penyanyi Jazz atau Blues. Lagu dangdut sudah menjadi keseharian orang Indonesia. Tetapi, lagu dangdut yang mayoritas penyanyinya adalah perempuan dapat menjadi pembahasan dalam kacamata feminisme dimana dengan goyangan dan kesensualan serta lirik-lirik lagunya yang ―mengundang‖ dan men-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
4
gandung unsur seksualitas perempuan. Penggambaran Perempuan dalam Media Bermula dari buku Feminine Mystique (1965) karya Betty Friedan yang melihat dan menganalisis image perempuan yang terkonstruksi dalam media; majalah dan iklan dalam majalah, memunculkan banyak pembahasan mengenai konstruksi image perempuan dalam media.Image atau penggambaran tentang perempuan merupakan hal yang penting dalam kajian media menurut perspektif feminisme. Dalam perspektif feminisme, image perempuan selalu dihubungkan dengan dominasi dan pandangan laki-laki yang mengkonstruksiimage perempuan itu sendiri. Seperti kutipan dibawah ini: All visions of woman are contaminated by male-defined notionsof the truth offemininity. This is true not only of the negative culturalimages of women (prostitute, demon, medusa,bluestocking, vaginadentata) but also of positive ones (woman as nature, woman asnurturingmother, or innocent virgin, or heroic amazon) Womanis always a metaphor, dense with sedimented meanings. (Thornham, 2007 p.23) Maka, berdasarkan kutipan diatas, image perempuan yang selalu termunculkan selalu tergantung pada bagiamana pandangan laki-laki melihat perempuan, dan image yang selalu terkonstruksi adalah kalau tidak pe-
rempuan baik selayaknya seorang istri dan ibu bagai ―angel in the house‖ atau perempuan yang dikonotasikan negatif seperti medusa. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wolf dalam Beauty Image bahwa image perempuan dalam fiksi ataupun layar kaca digambarkan hanya pada dua penggambaran, cantik tapi tidak pintar atau pintar namun tidak cantik. (2002 p.60) Image yang terkonstruksi tersebut dapat menyebabkan adanya perdebatan tentang image perempuan bagi perempuan itu sendiri. Perdebatan yang muncul berkisar mengenai bahwa image perempuan dalam media merupakan sebuah distorsi, dan stereotip yang merusak image perempuan itu sendiri. Untuk mengemukakan hal ini Thornham berpendapat bahwa,―Print and electronic media in most countriesdo not provide a balanced picture of women'sdiverse lives and contributionsto society in a changing world. In addition, violent anddegradingor pornographic media products are also negatively affectingwomen and their participation in society.”(p.24) Hal ini menegaskan bahwa image perempuan yang dikonstruksi dan digambarkan dalam media bukan tidak ada hubungannya dengan perempuan, tetapi sangat mempengaruhi kehidupan dan peran perempuan dalam masyarakat. Pengaruh yang terlihat dapat berupa produk yang berkonten pornografi dalam media yang berefek terhadap perempuan itu sendiri. Analisis lebih jauh terhadap image perempuan adalah tentang konsep dan konstruksi cantik itu sendiri sebagai standar yang diakui. Standar cantik yang terkon-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
5
struksi disini digambarkan bahwa perempuan harus tinggi, langsing, seksi, berkulit putih dan tanpa noda. Konsep cantik ini pula termediasikan dalam sebuah layar TV ataupun teks-teks lainnya seperti majalah ataupun fiksi. Namun, hal ini seperti menjelaskan bahwa perempuan melihat keidealan diri mereka sebagai seorang perempuan dalam sebuah layar atau teks. Selain itu, Image yang terkonstruksi bukan saja melalui gambar-gambar yang dimunculkan dalam majalah atau televisi, tetapi juga narasi-narasi yang termunculkan dalam media.Terdapat dua perdebatan analisis mengenai narasi yang mengeksplorasikan image perempuan, pertama, adanya narasi tentang tubuh dan seksualitas perempuan dapat diasumsikan sebagai ekploitasi terhadap tubuh dan seksualitas perempuan, tetapi pada sisi kedua narasi tentang tubuh dan seksualitas tersebut dapat memberikan kesempatan bagi perempuan mengekspresikan diri. Lirik Lagu Dangdut Populer; Ekploitasi Tubuh dan Seksualitas Perempuan Kebudayaan Indonesia menstigmakan bahwa pembicaraan seks dan seksualitas masih berada pada ruang privat, maka seksualitas akan menjadi tabu apabila dibicarakan dalam ruang publik. Walaupun demikian, wacana seksualitas dan tubuh perempuan tidak pernah dapat terlepas dari produk budaya atau pembicaraan di media. Banyak media baik langsung ataupun tidak langsung mengekpos wacana seksualitas perempuan tersebut. Ataupun banyak
produk budaya dari budaya yang dikategorikan sebagai budaya rendahan hingga adiluhung, ataupun budaya populer merepresentasikan tubuh dan seksualitas perempuan. Representasi tubuh dan seksualitas perempuan yang termediasikan baik dalam media elektonik ataupun cetak, saya asumsikan masih bersifat ambivalen. Hal ini mungkin disebabkan pembicaran seksualitas yang dianggap tabu, tetapi mengundang rasa ingin tahu. Maka, dari sinilah tersebut istilah voyeurism, yang dapat dipahami sebagai suatu keadaan ‗mengintip‘ yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Banyak para feminis yang merelasikan voyeurism ini dengan image perempuan yang terepresentasikan dalam media. Ketika ketabuan akan tubuh dan seksualitas perempuan mengundang rasa ingin tahu laki-laki, makavoyeurism ini dapat menjadi suatu analogi aktifitas menonton dangdut dimana mayoritas penontonnya adalah laki-laki. Tontonan dangdut di Indonesia, biasanya selalu akan tampak menyenangkan apabila penyanyinya adalah perempuan dengan pakaian seksi, dan goyangan yang sensual. Aktifitas menonton dangdut ini biasanya juga akan disertai dengan ‗saweran‘ sebagai hadiah dari seorang penonton karena sudah bergoyang bersama. Lagu yang ditampilkan dalam video-video klipnya pun tak jauh berbeda, menampilkan penyanyi perempuan cantik dan seksi dengan goyangan yang sensual. Ditambah lagi, lirik-lirik lagu dangdut masa kini terlihat semakin berani menonjolkan kesensualan tersebut. Seperti dalam lirik laguHamil
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
6
Duluan(Penyanyi, Tuti Widjaya, pencipta lagu anonim)dibawah ini: Awalnya aku cium-ciuman Akhirnya aku peluk-pelukan Tak sadar aku dirayu setan Tak sadar aku kebablasan Ku hamil duluan sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran tidurnya berduaan Ku hamil duluan sudah tiga bulan Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan Dalam lirik lagu tersebut menampilkan kata-kata sensual yangtanpa sensor, dan metafora. Kata ‗ciumciuman‘ jelasnya berbeda dari kata ‗cium‘, karena ‗cium‘ adalah kata kerja yang dapat dimaknai sebagai sebuah aktifitas mencium sesuatu. Tetapi kata ‗cium-ciuman‘ terdapat makna saling didalamnya yang menyiratkan makna negatif dan dapat dikonotasikan kedalam sebuah aktifitas seksual yang masih tabu dilakukan dan dinarasikan. Analisis inipun berlaku dalam kata ‗peluk-pelukan‘. Kemudian, kata ‗kebablasan‘ dalam konteks lagu ini dan dengan menghubungkan kata ‗cium-ciuman‘ dan peluk-pelukan‘ pada baris sebelumnya tidak mungkin dapat dimaknai secara positif, tetapi dapat menyiratkan makna sebuah aktifitas seksual yang sudah terlanjur terjadi. Ditambah lagi dengan kalimat ‗ku hamil duluan‘, semakin menegaskan makna kata ‗kebablasan‘ itu sendiri. Sedangkan kata ‗hamil‘ dapat direferensikan kepada tubuh perempuan yang ‗kebablasan‘. Dari setiap kata-kata dalam
lirik lagu ini memperlihatkan sebuah lirik yang mengandung unsur seksualitas yang referensinya tertuju pada tubuh dan seksualitas perempuan dimana lirik lagu ini seperti bercerita pengalaman perempuan yang tidak sengaja melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan dalam kultur Indonesia, ‗tidur berduaan‘ dan ‗pacaran gelap-gelapan‘ hingga ‗hamil duluan‘ (di luar nikah). Kemudian lirik lagu kedua yang akan saya analisis adalah lagu Jablay (Jarang dibelai) yang merupakan Ost film ―Mendadak Dangdut‖ dengan penyanyinya adalah Titi Kamal, dan pencipta lagunya adalah Monty Tiwa. Liriknya adalah sebagai berikut: Waktu tamasya ke binaria Pulang pulang ku berbadan dua Meski tanpa restu orang tua sayang Aku rela abang bawa pulang Ngga kerasa uda setahun Si abang mulai berlagak pikun Uda ngga pernah pulang ke rumah sayang Kepincut janda di pulo gebang Lay.. lay.. lay.. lay.. lay.. lay.. Panggil aku si Jablay Abang jarang pulang aku jarang di belai Anak kita skarang uda besar Mulai bingung kok bapaknya nyasar Kenapa bapak ngga pulang-pulang emak (Kata tetangge…emangnya enak) Tidak berbeda dengan lirik lagu sebelumnya, lirik lagu diatas
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
7
menggunakan bahasa dengan unsur seksualitas yang juga menceritakan tentang pengalaman perempuan ‗berbadan dua‘ akibat ‗tamasya ke binaria‘, namun cerita dalam lirik lagu ini lebih detail dengan menceritakan hal yang terjadi setelah ditinggalkan oleh si abang yang tidak pulang-pulang yang terepresentasikan dalam kata ‗jarang dibelay‘. Perbedaan lain yang terlihat dari lirik lagu pertama dan kedua adalah bahasa yang ditampilkan pada lirik lagu pertama terlihat lebih vulgar yang terlihat dari kata ‗cium-ciuman‘ dan ‗peluk-pelukan‘ yangtidak pantas secara moralitas dan pendidikan anak dan remaja. Sedangkan lirik lagu kedua terkesan lebih seperti bercerita dan membutuhkan pemaknaan ulang untuk memahaminya. Namun, dua lirik lagu dangdut ini merepresentasikan pengalaman akan tubuh dan seksualitas perempuan yang mampu menimbulkan suatu stereotip bahwa perempuan akan tidak masalah sekalipun dia ‗berbadan dua‘ dan ditinggalkan. Hal ini jelasnya mampu menyuarakan pengalaman kepasifan dan kerelaan perempuan ketika mengalami tindakan seperti yang tertuang dalam lirik lagu tersebut. Dengan kata lain, dua lirik lagu dangdut tersebut merepresentasikan sekalipun perempuan telah mengalami tindakan ketidakadilan (hamil dan ditinggalkan), mereka akan menerima. Disinilah letak representasi ekploitasi terhadap tubuh dan seksualitas perempuan dalam lirik lagu terjelaskan. Selain itu, melihat peregulasian lagu-lagu dangdut tersebut yang dikonsumsi oleh pendengar atau pe-
nonton dangdut yang mayoritas lakilaki akan terkonstruksi sebuah image perempuan yang distereotipkan pasif, dan lemah yang akan semakin dilanggengkan dalam dominasi patriarki dan media yang merepresentasikannya, dan dari hal ini lah perempuan terepresentasikan sebagai objek, karena wacana seksualitas bukan semata hanya permasalahan tubuh perempuan saja tetapi juga permasalahan akan kekuasaaan dan dominasi, dalam kuasa dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, dan media seperti lagu dangdut yang dibahas mampu merepresentasikan dan melanggengkan hal tersebut. Namun, hal ini berbeda, jika lirik lagu dangdut yang merepresentasikan tubuh dan seksualitas perempuan dipandang sebagai ekpresi dan ekshibisi tubuh dan seksualitas perempuan. Lirik Lagu Dangdut Populer; Sebuah Narasi Feminitas Kritik- Kritik yang berkenaan dengan perempuan baik yang berkenaan dengan seksualitas ataupun tidak salah satunya adalah teks atau narasi itu sendiri. Menurut perspektif feminisme, untuk mengetahui narasi feminitas terlebih dahulu harus mengetahui narasi maskulinitas itu sendiri. Dalam essaynya Susan Gubar dan Sandra M. Gilbert yang berjudul A Madwoman in The Attic, terdapat asumsi bahwa narasi itu bergender laki-laki atau terkenal dengan istilah ‗Pena itu adalah penis metaforis‘. Akibat asumsi ini, setiap teks akhirnya dianggap selalu berkenaan dengan seksualitas laki-laki. Metafora inilah yang akhirnya menimbulkan
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
8
kegelisahan dalam diri perempuan atau para penulis perempuan karena penis envy yang dimiliki oleh perempuan mempertanyakan bagaimana seorang perempuan dapat menulis. Metafora ini jugalah yang akhirnya mengkaji dan mendefinisikan bagaimana dan apakah narasi maskulinitas itu. Lanjut Gubar dan Gilbert juga mengatakan bahwa sebuah teks itu adalah kelanjutan dari teks lain, dan akan dilanjutkan dengan teks baru. Mereka juga menyebut ini dengan istilah „relation of sonship‟, karena teks adalah anak dari bapak, dan akan menjadi bapak bagi teks yang lain. Argumen ini juga yang akhirnya mendefinisikan bahwa tulisan itu bergender laki-laki. Ketidakbisaan perempuan untuk menjadi bapak menimbulkan pertanyaan kembali tentang kemampuan perempuan dalam menggambarkan atau menuangkan teks itu sendiri atau dengan kata lain ketidakbisaan itu menyebabkan tidak ada tempat bagi perempuan untuk sebatas menulis.Ketidakmampuan perempuan untuk menulis ini juga dapat menjelaskan tentang ketidakmampuan perempuan untuk bicara tubuh dan seksualitasnya sebagai perempuan. Maka, dalam perspektif feminisme, narasi feminitas bisa berupa narasinarasi yang menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan. Melalui narasi feminitas terartikulasikan kepentingan-kepentingan perempuan tersebut. Dengan melihat menganalisis lirik dangdut berikut ini, saya akan menganalisis narasi feminitas yang mampu memberikan kesempatan pe-
rempuan dalam menyuarakan tubuh dan seksualitasnya; Makan duren dimalam hari Paling enak dengan kekasih Dibelah bang dibelah Enak bang silahkan di belah… Jangan lupa mengunci pintu Nanti ada orang yang tau Pelan-pelan dibelah Enak bang silahkan dibelah.. Semua orang pasti suka belah duren Apalagi malam pengantin Sampai pagi pun yo wis ben.. Yang satu ini durennya luar biasa Bisa bikin abang gak tahan Sampai-sampai ketagihan Kalo abang suka tinggal belah saja Kalo abang mau tinggal bilang saja Dilihat dari kata-kata dalam lirik lagu yang ditulis dan dinyanyikan oleh Julia Perez dengan judul Belah Duren ini, mengesankan ada representasi kata-kata yang ‗mengundang‘dari kata ‗dibelah bang dibelah‘. Lirik lagu yang penuh dengan metafora ini dapat diasumsikan sebagai representasi selebrasi dan ekshibisi perempuan terhadap tubuh dan seksualitasnya. Lirik lagu ini sepintas merefleksikan seorang perempuan yang berada dalam subjevikasinya sebagai perempuan. Namun, narasi dalam lirik lagu ini saya asumsikan menyuarakan kepentingan-kepentingan perempuan dimana perempuan dalam narasi lirik lagu ini memanfaatkan laki-laki untuk memperoleh kenikmatan seksual yang menguntungkannya. Hal ini menjelaskan secara tidak langsung perem-
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
9
puan dalam lirik lagu tersebut menempatkan tubuh dan seksualitasnya sebagai objek, tetapi justru dia memainkan perannya sebagai subjek. Dengan kata lain, dia bukanlah objek dari kekuasaan dan keinginan patriarkal tetapi dia merasa bahwa subjektifitasnya pun dibangun oleh penghargaan dan ekspresi dirinya akan tubuh dan seksualitasnya sebagai perempuan. SIMPULAN Dari analisis-analisis terhadap tiga lagu dangdut populer diatas, terdapat dua asumsi tentang bagaimana tubuh dan seksualitas perempuan direpresentasikan dan dikonstruksi oleh media, dalam hal ini lagu. Asumsi pertama, bahwa lirik lagu yang mengandung unsur seksualitas perempuan dapat menjadi pemicu atau memberikan peluang adanya eksploitasi terhadap perempuan. Tetapi, asumsi kedua menyatakan bahwa lirik lagu dangdut tersebut mampu menjadi ekshibisi perempuan akan tubuh dan seksualitasnya melalui narasi feminitas yang menarasikan kepentingankepentingan perempuan.
Gubar, Sandra M Gilbert and Susan. 2009. Madwoman in The Attic. Kamal,
Titi. "Jablay (Jarang Dibelay). 2008. By Monty Tiwa
Perez, Julia. "Belah Duren. 2008. By Julia Perez. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra Thornham, Sue. 2007. Woman, Feminism, and Media. Edinburgh: Edinburgh University Press. Pdf. Widjaya,
Tuti. 2011. Duluan."
"Hamil
Wolf, Naomi. 2007. The Beauty Myth, How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: Harper's Collin. Pdf. Zeisler, Andi. 2008. Feminism and Pop Culture. California: Seal Press. Pdf.
DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre.1984. Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste. Massachusetts: Harvard University Press. Pdf.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
10
Makna
ISSN 2086-7069
Jurnal Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra
Volume 4, Nomor 1, Maret – Agustus 2013
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab Dekan Fakultas Komunikasi, Bahasa dan Sastra (Andi Sopandi, SS, M.Si.) Pembina
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi (Tatik Yuniarti, S.Sos., M.I.Kom) Ketua Program Studi Sastra Inggris (Nuryadi, SS, M.Hum.) Ketua Penyunting Dr. Afrina Sari, Dra, M.Si. Sekretaris Siti Khadijah, S.Sos. Bendahara Widya Iswari Penyunting Pelaksana
.. M.S.Sc Saepudin, S.S., Sirkulasi & Distribusi Pipih Salapiah Arria Ilhamahesa Alamat Redaksi Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi Jalan Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113 Telp: 021-8803153 Fax: 021-8801192 Email: [email protected] Penerbit Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
2
Makna Jurnal Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra
ISSN 2086-7069 Volume 4, Nomor1, Maret – Agustus 2013
DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI 1-15 STRATEGI MEDIA RELATIONS PUBLIC RELATIONS PT LIPPO CIKARANG, TBK Tatik Yuniarti 16-30 REPRESENTASI SOSIAL PEREMPUAN “CANTIK” DALAM IKLAN POND`S KOSMETIKS Siti Khadijah 31-43 GRUP NOMINA KOMPLEKS PADA NOVEL LORD OF THE RINGS KARYA J. R. R. TOLKIEN Novita Puspahaty 44-52 BAHASANTARA : KETIKA KESALAHAN BERBAHASA DILIHAT SEBAGAI SEBUAH KEUNIKAN Sya‟baningrum Prihhartini 53-73 REPRESENTASI ISLAM DALAM SINETRON TUKANG BUBUR NAIK HAJI THE SERIES Rido Budiman 74-82 THE FOCALIZER AND THE NARRATOR IN FILM AND FICTION Heri Yusup 83-91 LAGU DANGDUT POPULER : ANTARA EKSPLOITASI DAN EKSHIBISI TUBUH DAN SEKSUALITAS PEREMPUAN Maria Qibthia
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
2
PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya, penyusunan Jurnal Makna Volume 3. Nomor 1. dapat diselesaikan. Jurnal yang memuat kajian ilmiah tentang ilmu komunikasi, sastra dan bahasa ini menyajikan artikel ilmiah, baik hasil penelitian maupun kajian pustaka. Komunikasi, sastra dan bahasa merupakan fenomena sosial yang beraKda di tengah-tengah kehidupan kita sehari-hari. Usaha untuk menjelaskannya dan menggambarkannya telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati melalui penelitian, pengajaran dan penulisan ilmiah. Jurnal ilmu komunikasi, sastra dan bahasa ini berusaha untuk ikut berperan aktif memberikan gambaran berkala melalui penulisan ilmiah sebagai hasil penelitian atau kajian sesuai dengan prinsip-prinsip akademik. Tulisan-tulisan yang ada dalam jurnal ini merupakan hasil kajian ilmiah yang dilakukan untuk ikut berkontribusi dalam dunia akademik dengan harapan dapat memberikan sumbangsih kepada pihak yang berkepentingan. Tak ada gading yang tak retak, namun milik kami adalah gading gajah Afrika. Kami menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Demikian pula dengan segala kekurangan yang ada dalam edisi kali ini. Namun demikian, kami berusaha memberikan tulisan yang terbaik sebagai kajian ilmiah. Akhir kata, semoga paparan dalam jurnal ini dapat memberikan nuansa baru bagi pembaca guna pengembangan ilmu pengetehuan, khususnya pada bidang komunikasi, sastra dan bahasa serta kebudayaan.
Bekasi, 01 Maret 2013
Redaksi
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
3
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL I.
ARTIKEL YANG DIPUBLIKASIKAN 1. Artikel merupakan ringkasan hasil penelitian, baik penelitian lapangan atau kajian pustaka di bidang Ilmu Komunikasi, Bahasa dan Sastra Inggris. 2. Artikel yang dikirim ke redaksi bersifat orisinil/belum dipublikasikan sebelumnya. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia baku atau Bahasa Inggris. II. SISTEMATIKA PENULISAN 1. JUDUL Judul ditulis secara singkat dan mencerminkan isi tulisan. Jika judul terlalu panjang, maka dipecah menjadi judul utama dan sub judul. 2. NAMA PENULIS Nama penulis dicantumkan tanpa gelar. Di bawah nama penulis dicantumkan afiliasi institusi/alumni. 3. ABSTRAK 1) Abstrak ditulis sebanyak 100-200 kata, diketik dengan huruf miring dengan menggunakan Bahasa Inggris bagi artikel yang menggunakan Bahasa Indonesia dan sebaliknya. 2) Jika artikel yang ditulis merupakan hasil penelitian, maka abstrak harus mengandung tujuan penelitian, metode yang digunakan, hasil penelitian dan kesimpulan. 3) Kata kunci sebanyak 3-5 kata dicantumkan di bawah abstrak. 4. STUKTUR NASKAH 1) Hasil Penelitian memuat: Pendahuluan, Metode Penelitian, Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan Daftar Pustaka. 2) Kajian Pustaka memuat: Pendahuluan, Sub topik disesuaikan dengan kebutuhan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (jika ada), Daftar Pustaka, dan Lampiran (jika perlu). III. FORMAT PENULISAN 1. Panjang naskah 15-25 (maksimal) halaman kuarto, menggunakan program Microsoft Word, spasi ganda (spasi 2), jenis huruf Time New Roman, ukuran 12, marjin kanan-kiri, atas-bawah 3 cm. 2. Tabel, gambar, dan bagan diberi nomor judul serta sumber. 3. Tabel diketik 1 (satu) spasi, nomor tabel berurut sesuai dengan penyebutan dalam teks. Setiap kolom diberi sub judul singkat. Jumlah tabel maksimal 5 buah. 4. Kutipan menggunakan catatan perut. Contoh:… (McQuail, 1994: 40) 5. Sub judul tidak diberi nomor, dicetak tebal, huruf kecil dan font 12 6. Penulisan daftar pustaka menggunakan model: Nama Belakang, Nama Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (Cetak Miring). Kota: Penerbit. Contoh: Creswell, John W. 1998. Qualitaive Inquiry and Research Design; Coosing Among Five Traditions. London: Sage Publication 7. Semua rujukan yang dirujuk/dikutip dalam artikel harus dituliskan dalam Daftar Pustaka dan sebaliknya, karya-karya yang tidak dirujuk, tetapi ditulis di Daftar Pustaka akan dihilangkan oleh penyunting. 8. Naskah diserahkan dalam bentuk 1 (satu) cetakan (hard copy) dan 1 (satu) soft copy yang disimpan dalam CD dengan format RTF. 9. Naskah diserahkan paling lambar 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: JURNAL MAKNA Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa (FKSB) Universitas Islam ―45‖ Bekasi Jalan Cut Meutia No. 83 Bekasi 17113 Telp: 021-8803153 Fax: 021-8801192 Email: [email protected] 4. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan secara tertulis. 5. Penulis yang artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat akan dikembalikan kepada penulis.
Jurnal Makna, Volume 4, Nomor 1, Maret 2013 – Agustus 2013
4