KODE NARASI DALAM NOVEL ‘KING SOLOMON’S MINES’ Oleh Heri Yusup Dosen Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45”Bekasi Abstract This paper discusses the narrative technique of ‘King Solomon’s Mines’, an adventure story novel written by Rider Haggard. This thesis aims to show that technique of the narration is the narrator’s effort to attract curiosity and to bring out imaginative fantasy. The technique is analyzed through the textual signifiers used in describing the characters and presenting the details. The method of analysis is based on Roland Barthes’s Textual Analysis that reveals what is known as narrative code. The research finding shows that the narrative codes which the novel has serve as ‘the appetizer’ to attract reader’s curiosity and as facilitator to bring out the imaginative fantasy. Keywords: adventure story, narrative code, textual analysis PENDAHULUAN Perkembangan kesusastraan zaman Victoria (abad ke-19) di Inggris tidak bisa terlepas dari kehadiran para penulis novel yang mengambil tema petualangan, sebagai penyeimbang dari maraknya karya-karya sastra beraliran realisme yang cenderung menggambarkan halhal yang lazimnya terjadi di dunia nyata. Selain mengambil ide cerita yang tidak seperti kebanyakan novel pada waktu itu, novel bertemakan petualangan juga ditulis dengan gaya bahasa sederhana dengan jumlah halaman yang relatif singkat, berbeda dengan novel-novel periode Victoria pada umumnya yang dikemas dengan bahasa yang tidak familiar serta jumlah halaman yang
panjang. Seiring dengan perubahan signifikan dari segi sosial dan ekonomi yang terjadi pada masyarakat Inggris, perubahan selera membacapun ikut terpengaruhi. Novel dengan cerita petualangan menjadi alternatif bacaan orangorang Inggris di masa itu dan pada akhirnya melambungkan nama-nama penulis yang sebelumnya tidak begitu dikenal. Salah satu penulisnya adalah Henry Rider Haggard yang sukses menerbitkan novel petualangan dengan judul “King Solomon’s Mines” (1885). Yang akan menjadi bahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana narasi novel petualangan di atas dikemas dengan sedemikian rupa sehingga memberikan efek yang bisa membuat pembaca tertarik keingintahuannya dan termunculkan
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
29
fantasi imajinatifnya. Di era bertahtanya Ratu Victoria (1837-1901), masyarakat Inggris mengalami perubahan sosial yang penting serta perkembangan ekonomi dan teknologi yang pesat. Perubahan itu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penulisan karya sastra terutama prosa (Clark, 1962:229-230). Oleh karena itu, zaman Victoria menjadi periode dalam sejarah kesusatraan Inggris yang bentuk karya sastra utamanya adalah prosa. Juga, dengan semakin meningkatnya pendidikan umum, maka jumlah pembaca terbitanterbitan berkala berupa surat kabar seperti koran dan majalah semakin membengkak—surat kabar tersebut memuat berbagai macam informasi, kritikan, gagasan dan sebagainya. Seiring dengan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, tuntutan akan peningkatan jumlah penerbitan buku-buku baik yang ilmiah maupun non-ilmiah, yang membahas tentang alam dan segala aspek kehidupan manusia, menjadi meningkat pula. Tuntutan ini menimbulkan kegairahan tinggi bagi para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang berkualitas, termasuk dalam hal ini, novel. Novel dapat dijadikan suatu sarana efektif untuk penyampaian gagasan dan masalah. Dengan kata lain, sesuai dengan cirri kesusasteraan periode tersebut, novel bisa menjadi alat untuk meningkatkan moral masyarkat. Novel-novel yang dihasilkan pada periode itu pada
umumnya adalah novel-novel masalah (problem novels). Selain itu, karena tujuannya adalah untuk meningkatkan moral masyarakat, maka muncullah istilah novel-novel mendidik (didactic novels). Para pelopor penulisan novel-novel jenis tersebut adalah Charles Dickens (1812-1870), Mary Ann Evans atau George Elliot (1819-1880), serta William M. Thackeray (1811-1863). Mereka bertiga dipandang sebagai novelis-novelis besar peridoe Victoria, sehubungan dengan mutu, jumlah, sifat, serta pengaruh karyakarya mereka baik terhadap masyarakat pembaca ataupun para penulis lainnya. Tema-tema yang disajikan sebagai ide cerita dalam novel-novel karya penulis di atas memunculkan istilah yang disebut realisme. Unsur realisme yang disajikan melalui tema dan ide cerita dalam novel-novel tersebut lebih mengarahkan perhatian pada hal-hal yang terjadi di dunia nyata. Dalam hubungannya dengan karya sastra, realisme dalam novel merupakan usaha penulis untuk memasukkan lebih banyak aspek-aspek kehidupan sosial dalam karya-karyanya, termasuk juga kehidupan kaum dari kelas sosial yang rendah dengan pengalaman-pengalaman hidupnya yang secara sekilas memang tidak pantas untuk digambarkan secara artistik (Hawthorn, 1985:27). Antara tahun 1870-1880 pendidikan umum di Inggris semakin meningkat sehingga memicu pesatnya pertumbuhan jumlah orang yang dapat membaca. Meskipun
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
30
demikian, para pembaca buku di tahun tersebut tidak biasa membaca novel-novel dengan jumlah halaman panjang yang menjadi patokan periode tersebut. Pertumbuhan dunia modern yang cepat semenjak dimulainya era revolusi industri menyebabkan orang-orang menjadi sibuk dan tidak mempunyai banyak waktu luang untuk membaca novelnovel tebal. Pada awalnya pengusaha penerbitan tidak menyadari akan adanya perubahan tersebut, tetapi kemudian mereka mengetahui bahwa buku-buku yang lebih tipis dan murah lebih mudah mendapatkan keuntungan. Salah satu pelopor penulisan karya sastra dengan jumlah halaman yang tidak terlalu panjang dan menyuguhkan bacaan menarik yang temanya merupakan kebalikan dari realisme adalah Robert Louis Stevenson (1850-1894). Melalui novel fantasinya, yaitu Treasure Island (1883), dia meraih kesuksesan karena novelnya menjadi sangat terkenal di kalangan pembaca. Novel jenis ini menawarkan bacaan sederhana tapi menyenangkan, tanpa analisis rumit mengenai psikologi atau watak tokoh-tokoh dalam ceritanya. Permintaan pasar akan jenis karya fiksi yang mudah dibaca dan tidak terlalu panajang semakin meningkat. Semenjak itu, pada periode ini dapat dilihat dua golongan penulis fiksi, yaitu para penulis yang sengaja menyesuaikan diri dengan keinginan pembaca dan para penulis yang tetap setia mementingkan mutu dibandingkan ketenaran. Rider Haggard menjadi salah
satu penulis tipe pertama, bersamasama dengan Conan Doyle dan Rudyard Kipling. Dengan bermodalkan pengalamannya selama bekerja di daerah Afrika Selatan, Haggard menulis novel-novel yang bertemakan petualangan yang sebagian besar latarnya mengambil latar daerah-daerah di belantara Afrika. Tema yang diangkat dalam novel-novelnya bukanlah hal-hal yang terjadi di dunia nyata pada umumnya seperti dalam realisme. Dia menyuguhkan tema yang berhubungan dengan masalah yang imajinatif, seperti mencari puteri sakti dan abadi, menemukan harta karun ribuan tahun, dan sebagainya. Novel-novelnya juga dikemas dalam gaya bahasa sederhana dengan jumlah halaman yang tidak terlalu panjang. Dengan kata lain, Haggard menulis novel-novel yang bisa menjadi bacaan yang menyenangkan (Greene, 1969:158) Haggard lahir di Inggris Zaman Victoria pada tanggal 22 Juni 1856 di rumah peternakan Wood Farm, daerah Bradenham, Norfolk. Latar belakang tanah kelahiran tersebut memberikan kesan yang kuat dan mendalam pada diri Haggard yang selanjutnya mempengaruhi gaya tulisannya. Saat masih muda Haggard lebih tertarik pada kegiatankegiatan yang berhubungan dengan alam bebas di sekitar tempat tinggalnya ketimbang hal-hal yang berkaitan dengan kajian karya sastra. Namun, bukan berarti dia tidak suka membaca. Dalam pengakuannya yang ditulis tahun 1887, dia
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
31
menyebutkan bahwa diantara sekian banyak buku, yang paling dia suka adalah Robinson Crusoe, Arabian Nights, The Three Musketeers, dan karya-karya Edgar Allan Poe (Green, 1969:162) Karena orang tuanya selalu berpindah-pindah, Haggard mendapatkan pendidikan dari berbagai temapat yang berbeda. Namun, yang paling berkesan adalah ketika dia bersekolah di daerah Garsington, Oxford, yang lokasinya kemudian dia gambarkan dengan begitu indah di bab pertama salah satu novelnya yang berjudul Allan’s Wife. Di sekitar tempat tersebut tinggal seorang petani bernama Quatermain yang selalu baik dan ramah pada siswa-siswa yang belajar di situ. Haggardpun kenal akrab dengan petani tersebut, yang namanya kemudian dia abadikan dalam tokoh petualang fiksi ciptaannya, yaitu Allan Quatermain. Setelah Haggard menyelesaikan sekolahnya Ipswich Grammar School, tak lama kemudian ayahnya memperoleh pekerjaan untuk Haggard sebagai sekretaris pribadi Gubernur Natal (suatu kawasan di Afrika) yang baru, yaitu Sir Henry Bulwer. Mereka berdua, Haggrad dan Sir Henry, lalu berangkat ke Afrika Selatan di bulan Juli 1875. Selama mengalami masa kerja di Natal tersebut, Haggard memberikan perhatian khusus terhadap bentuk geografis tanah Afrika, kehidupan liarnya, masyarakatnya yang terdiri dari
berbagai macam suku bangsa, dan kehidupan masa lalu di Afrika yang misterius. Perhatian tersebut selanjutnya membuahkan hasil pada bentuk dan ide cerita karya-karyanya. Haining dalam bukunya “The Best Short Stories of rider Haggard” menyatakan bahwa rasa simpati yang secara instingtif muncul dalam diri Haggard terhadap masyarakat primitif dan cara hidup mereka yang keras dan liar telah menyumbangkan pengaruh yang signifikan terhadap buku-buku terbaik yang ditulisnya (1981:8). Di sana juga Haggard sempat menyaksikan tarian perang besar-besaran dan melihat seorang dukun wanita pribumi yang memberikan inspirasi untuk penciptaan Gagool, tokoh fiksi dalam novel terlarisnya, “King Solomon’s Mines”. Setelah perang Zulu meletus, Haggard memutuskan untuk kembali ke Inggris pada tahun 1879 dan menikahi Louisa Margitson, yang kemudian menempati rumah di Norfolk. Masih di tahun tersebut mereka berdua lalu kembali ke Transvaal, Afrika. Pada tahun 1881 pemberontakan Boer pecah dan memaksa Haggard untuk kembali ke Inggris dan mulai memusatkan perhatiannya pada buku-buku. Haggard menulis lebih dari 50 novel petualangan. Novel yang pertama ditulis olehnya adalah “Cetwayo and His White Neighbour”, yang diterbitkan tahun 1882. Haggard lalu menulis dua novel lainnya yang masing-masing berjumlah tiga volume, yaitu “Dawn” dan “The Witch’s Head”. Dari ketiga
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
32
novel tersebut tak satupun yang meraih sukses. Baru pada tahun 1885 Haggard berhasil menyelesaikan novel “King Solomon’s Mines” yang menjadi buku tersukses sepanjang karirnya sebagai penulis (Haining, 1981:8). Novel ini bercerita tentang petualangan seorang pemburu kulit putih di belantara Afrika. Haggard menggambarkan panorama Afrika berdasarkan pengetahuan dan pengalaman pribadinya sendiri di benua tersebut. Novel ini secara tidak langsung memperlihatkan pengetahuan mendalam Haggard mengenai Afrika, meliputi sejarah dan kehidupan masyarakatnya, terutama suku bangsa Zulu (Green, 1969:162). Selanjutnya Haggard menulis “She”, novel yang mengisahkan tentang puteri sakti dan abadi bernama Ayesha (She-whomust-be-obeyed). Kedua novel di atas paling menarik perhatian pembaca karena mempunyai apa yang disebut oleh Graham Greene sebagai enchantment atau daya pemikat yang sanggup menarik perhatian pembaca (1969:157). Novel-novel terkenal lainnya adalah “Allan Quatermain” (1890), “Nada the Lily” (1892), “Eric Bright Eyes” (1891), “Marie” (1912), “Child of Storm”, (1913) dan “Finished” (1917). Haggard mendapat gelar kebangsawanan Sir tahun 1912 dan kemudian meninggal tahun 1925. Selanjutnya, untuk ringkasan cerita dalam novel “King Solomon’s Mines” adalah sebagai berikut. Dalam novel ini Allan Quatermain, narator sekaligus tokoh utama,
mengisahkan perjalanan petualangannya dengan dua tokoh protagonis lain, yaitu Sir Henry Curtis dan Kapten John Good, untuk menemukan harta karun peninggalan Raja Solomon (atau dalam ajaran Islam dikenal dengan Nabi Sulaeman) sekaligus mencari adiknya S.H. Curtis yang dikabarkan hilang di belantara Afrika. Di sini Allan mendapatkan kekuasaan sebagai narator tunggal, sehingga narasi petualangannya terbentuk sesuai dengan gaya bahasa dia sendiri, di mana penuturannya selalu diikuti oleh komentar-komentar hasil penafsirannya mengenai peristiwa dan panorama yang digambarkan. Sementara itu, ide cerita terungkap melalui dialog antar tokoh. Alur ceritanya maju dengan suguhan konflik yang berkutat di sepanjang perjalanan petualangan. Latarnya sendiri mengambil latar belakang daerah pedalaman di belantara Afrika. Ceritanya dimulai dengan pertemuan antara Allan dengan S.H. Curtis dan Kapten John Good di sebuah kapal. Lewat perbincangan mereka, legendan tentang keberadaan lokasi harta karun Raja Solomon dan berita tentang hilangnya adik S.H. Curtis terungkap. Mereka akhirnya setuju untuk melakukan pencarian. Setelah melakukan berbagai persiapan, petualangannyapun dimulai. Perjalan mereka diawali dengan kunjungan ke daerah Inyati, yang membawa mereka ke peristiwa perburuan gajah. Dalam peristiwa ini, Khiva, orang pribumi pembawa
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
33
barang Kapten Good, tewas terbunuh oleh amukan gajah yang juga hamper menghilangkan nyawa Kapten tersebut. Lalu mereka meneruskan perjalanan melalui padang pasir gersang yang panas menuju pegunungan Sheba’s Breast. Sesampainya di puncak pegunungan mereka berhasil menemukan Solomon’s Road, tetapi harus membayarnya dengan kematian Ventvogell, pembantu Allan, akibat salju dan udara dingin di puncak gunung. Ketika memutuskan untuk berkemah di Solomon’ Road, mereka disergap oleh suku Kukuana dan nyaris terbunuh. Untungnya penampilan aneh dan modern mereka berhasil mengelabui suku tersebut yang percaya bahwa Allan dan kawan-kawan turun dari langit sehingga akhirnya mereka dipertemukan dengan Twala, Raja Kukuanaland. Di kerajaan tersebut mereka menyaksikan upacara pembunuhan ritual tahunan yang dipimpin oleh seorang dukun wanita tua bernama Gagool yang meminta korban jiwa ratusan suku pribumi, dan membangkitkan amarah Allan karena percobaan praktek upacara tersebut terhadap pembantu Allan, yaitu Umbopa. Konflikpun terjadi dan perang besar-besarana antara pihak Allan beserta suku pribumi yang menginginkan rajanya mati dan pihak Twala dan pasukannya menjadi tak terhindarkan. Peperangan diakhiri oleh duel satu lawan satu antara Sir Henry Curtis dengan Twala, yang dimenangkan oleh Sir Henry Curtis. Setelah perang usai,
mereka meneruskan perjalanan menuju gua raja Solomon dengan Gagool sebagai penunjuk jalan. Di dalam gua tersebut Gagool berkhianat dan mencoba menjebak Allan dan kawan-kawan supaya terkubur hiduphidup dalam gua itu. Namun, Gagool akhirnya mati karena terhimpit oleh pintu batu yang menutupi jalan keluar. Setelah berusaha keras akhirnya mereka menemukan jalan keluar. Dalam perjalanan pulang secara tidak sengaja mereka menemukan gubuk yang ternyata dihuni oleh adiknya S.H.Curtis yang hilang, dan petualangannyapun berakhir. METODE PENELITIAN Karya sastra merupakan suatu kesatuan teks, sebuah struktur, yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Struktur ini dibangun oleh suatu rangkaian yang tak terpisahkan yang terbentuk oleh susunan penanda (signifier) yang kemudian membentuk satu tulisan utuh. Penanda-penanda tekstual ini oleh Roland Barthes disebut sebagai lexia (Barthes dikutip dari Lodge, 1988:180). Barthes memperkenal analisis karya sastra secara tektual (textual analysis) yang memusatkan pembahasannya pada penyusunan penanda-penanda tekstual tertentu (lexia) yang memberikan kontribusi signifikan terhadap daya tarik karya sastra tersebut. Lexia ini tidak lain adalah kata-kata tertentu yang sengaja dimasukan dalam narasi. Analisis tekstual ini berusaha untuk
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
34
menunjukkan bahwa dalam sebuah karya sastra, terutama dalam narasi prosa baik itu cerita pendek ataupun novel, terdapat lexia yang mengacu pada pengertian yang sesuai dengan fungsinya sebagai bagian dari narasi tersebut. Lexia tersebut merupakan suatu kode narasi (narrative code) yang menjadi bagian dari retorika penceritaan (rhetoric of narration). Kode narasi yang muncul dalam novel bisa memunculkan hal yang disebut Barthes sebagai ‘appetiser’ atau penarik perhatian (Ibid). Dalam suatu narasi bisa terdapat kode-kode narasi yang bertujuan untuk menarik perhatian pembaca, diantaranya yaitu kode metalinguistik (metalinguistic code) dan kode sosial (social code). Kode metalinguistik dalam narasi novel ditandai oleh teknik narasi di mana naratornya diposisikan sebagai narator tunggal yang sadar akan posisinya sebagai pencerita dan seolah mengetahui bahwa ada pembaca yang mengikuti jalan ceritanya. Sementara kode sosial merupakan realita sosial yang dimunculkan melalui pemberian identitas tertentu terhadap tokohtokoh dalam cerita. Selain itu, terdapat juga kode-kode narasi berupa lexia yang yang bermakna denotatif dan konotatif. Lexia bermakna denotatif dalam novel bertujuan untuk memudahkan pemunculan fantasi imajinatif tentang peristiwa dan panorama yang digambarkan. Sementara yang bermakna konotatif berfungsi untuk memperkuat apa yang disebut
Kenney sebagai ‘the suggestive powers of language’, yaitu kekuatan bahasa untuk memroduksi konsep dan makna yang beragam sesuai dengan konteks di mana bahasa tersebut digunakan (1966:67). Lexia bermakna denotatif bisa berupa pencitraan secara harfiyah (literal imagery) yang fungsi dasarnya adalah untuk memuaskan pembaca akan gambaran rinci dan spesifik tentang hal-hal yang ada dalam cerita. Lexia ini berbentuk specific-concrete words yang makna katanya mengacu pada hal-hal yang bisa dilihat dan dirasakan. Roberts menyebutkan bahwa suatu kata tergolong concrete apabila pengertiannya mengacu pada tindakan atau keadaan yang bisa dibayangkan oleh panca indera (1983:184). Lexia bermakna konotatif bisa berupa pencitraan secara non-harfiyah (figurative imagery) dengan menggunakan gaya bahasa-gaya bahasa seperti metafora, simile, dan sebagainnya. Terakhir, peristiwa dan panorama yang digambarkan dalam novel biasanya menggunakan sistem kala berbentuk lampau (past tense). Ketika naratornya tiba-tiba beralih ke sistem kala berbentuk masa sekarang (present tense) maka akan tercipta efek dramatis karena gaya penceritaan seperti ini memunculkan kesan bahwa pembacanya seolaholah sedang menyaksikan langsung peristiwa yang digambarkan (Martin, 1986:131). Peralihan tersebut juga berfungsi sebagai pengingat akan kehadiran narator dalam setiap penceritaannya (Kenney, 1966:78).
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
35
PEMBAHASAN Dalam novel petualangan “King Solomon’s Mines” ditemukan sejumlah kode narasi yang memiliki fungsi tertentu sebagai bagian dari narasinya. Kode yang pertama ditemukan adalah kode metalinguistik. Kemunculannya dapat terlihat dalam kutipan berikut: ‘I try to write a history. The fact of the matter is that I thought that the best plan would be to tell the story in a plain, straight forward manner,…in a plain language…[since] a true story, however strange it may be, does not require to be decked out in fine words.’ (Haggard, 1957:4) Dari kutipan tersebut terlihat bahwa teknik narasinya menggunakan sudut pandang orang pertama tunggal, yang ditandai dengan penggunaan kata ganti ‘I’ untuk naratornya. Naratornya selain diposisikan sebagai sebagai tokoh yang bercerita juga diperankan sebagai penulis kisah yang akan diceritakannya. Bahkan dia memberikan informasi secara terangterangan bagaimana gaya penulisannya, yaitu dengan sesederhana dan sejelas mungkin supaya mudah dimengerti. Hal ini menunjukkan bahwa narasi di atas secara sadar menerangkan bahwa akan ada kisah yang diceritakan oleh seseorang tokoh dan secara tidak langsung menyiratkan juga akan
adanya pembaca. Dengan demikian, bentuk narasi seperti di atas mengandung kode metalinguistik. Selanjutnya, narator yang ada dalam novel ini termasuk personified narrator yang tidak hanya berperan sebagai pencerita tetapi sebagai tokoh utama yang memegang peranan penting dalam kisah petualangan di novel tersebut, yaitu Allan Quatermain. Dengan gaya penceritaan seperti di atas, yang menyatakan bahwa narasi petualangan Allan Quatermain merupakan ‘a true story’, efek yang ditimbulkan adalah bahwa kisah petualangan yang akan diceritakan pantas untuk disimak dan dapat dipercaya kredibilitasnya karena berdasarkan kisah nyata penulisnya sendiri. Ini adalah kode narasi yang berperan untuk menarik keingintahuan pembaca karena teksnya mengandung apa yang disebut Barthes sebagai ‘appetizer’ atau penarik perhatian (dikutip dari Lodge, 1988:180). Setelah memulai penceritaannya dengan kode metalinguistik untuk menarik keingintahuan pembaca, naratornya mulai memperkenalkan satu per satu tokoh-tokoh protagonis yang akan terlibat dalam kisah petualangannya sekaligus juga menjadi center of interest dalam narasinya. Ketika menggambarkan tokoh-tokoh tersebut, kata-kata yang dipilih sebagian besar menonjolkan ciri-ciri fisik yang bisa memunculkan gambaran mental dalam benak pembaca. Berikut adalah contoh
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
36
kutipan dalam penggambaran salah satu protagonis, yaitu Sir Henry Curtis: ‘A man of about thirty was one of the biggest-chested dan the longest-armed men I ever saw. He had yellow hair, a big yellow beard, clear-cut features, large grey ayes set deep into his head. I remember seeing a picture of a kind of white Zulus. They were drinking out of big horns, and their long hair hung down their backs, and as I look at my friend standing there by the companion ladder, I thought that if he only let his hair grow a bit, put one of those chain onto those great shoulders of his, and gave him a battle ax and a horn mug, he might have sat a model for that picture. I never saw such a finer looking man, and somehow he reminded me of an Ancient Dane’ (Haggard, 1957:8) Dalam kutipan di atas banyak ditemukan lexia atau penanda tekstual berupa specific-concrete words yang dapat membantu pembaca untuk dengan mudah memunculkan bayangan tentang gambaran fisik tokoh tersebut, seperti biggest-chested, longest-armed, big yellow beard, clear-cut features, dan large grey eyes. Selain itu, dalam narasinya juga disinggung istilah seperti white Zulus dan Ancient Dane. Gaya narasi seperti ini memicu
pemunculan fantasi imajinatif tentang petualangan yang seru karena protagonisnya digambarkan menyerupai tokoh dalam kisah-kisah petualangan epik, seperti ‘Beowulf’ yang di dalamnya terdapat pertarungan seru dengan monstermonster ganas. Dalam naskah puisi naratif kesusateraan Inggris kuno yang berjudul ‘Beowulf ’ dikisahkan bahwa yang bertempur melawan monster jahat bernama Grendel adalah keturunan bangsa Dane. Dengan demikian, cara penggambaran tokoh di atas mengandung kode-kode narasi yang acuannya bersifat intertekstual yang fungsinya memunculkan fantasi imajinatif tentang bayangan petualangan dan pertempuran seru yang akan diceritakan. Kemudian, kode narasi lain yang mucul adalah lexia gelar ‘Sir’ yang diatributkan pada protagonis tersebut. Menyebut ‘Sir Henry Curtis’ tidak sama dengan ‘Henry Curtis’. Adanya penanda tekstual ‘Sir’ memberikan pengaruh tentang realita sosial, yang disebut sebagai kode sosial (Barthes, dikutip dari Lodge, 1988:177). Di sini protagonisnya digambarkan bukan sebagai tokoh sembarangan, melainkan tokoh yang terpandang di mata masyarakat, bagian dari golongan status sosial tertentu, sehingga mendapatkan gelar kebangsawanan ‘Sir’. Oleh sebab itu, kisah petualangan yang melibatkan tokoh-tokah tersebut juga bukanlah peristiwa yang biasa-biasa karena protagonisnya bukan orang biasa juga. Jadi, kode-kode narasi yang
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
37
muncul dalam penggambaran tokoh (character description) di atas memiliki fungsi selain untuk menarik keingintahuan pembaca akan cerita petualangannya tetapi juga untuk memberikan bayangan imajinatif tentang kisah petualangannya. Untuk mendukung pemunculan fantasi imajinatif ini, selain pada penggambaran tokoh, kode narasinya juga muncul dalam penyajian rincian peristiwa seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: ‘And as for that Dunkeld, she is a flatbottomed punt, and going up light as she was, she rolled very heavily. It almost seemed as though she would go right over, but she never did. It was quite impossible to walk about, and so I stood near the engines, where it was warmed and amused myself with watching the pendulum, which was fixed opposite to me, swinging slowly backward and forward as the vessel rolled, marking the angle she touched at each lurch’ (Haggard, 1957:10) Teknik narasi di atas menampilkan latar yang jelas namun dibatasi, yaitu ‘near the engines (of the vessel)’. Peristiwanya juga bersifat perseorangan, yang hanya melibatkan gerak-gerik seorang tokoh saja, yaitu naratornya sendiri (Allan Quatermain). Dari segi gambaran yang berhubungan dengan tempat peristiwa tersebut berlangsung, teknik
narasinya menarik pembaca untuk membayangkan bagaimana pendulum yang menjadi bagian dari mesin kapal itu berayun ke depan dan ke belakang seiring dengan gerakan kapal yang sedang melaju di atas permukaan air. Dari segi waktu terjadinya peristiwa tersebut, teknik narasi seperti ini seolah-olah membawa pembaca berada di waktu yang sama pada saat kejadian. Teknik narasi pada saat menceritakan kejadian-kejadian dalam petualangannya disajikan dengan menggunakan teknik scenic yang akan membuat pembaca merasa berada begitu dekat dengan peristiwa yang sedang digambarkan, baik dari segi jarak (spatial) ataupun waktu (temporal) (Kenney, 1966:77). Cara lain untuk membuat pembaca seolah-olah melihat langsung peristiwa petualangan yang dikisahkan adalah dengan teknik narasi yang penanda-penanda tektualnya dalam bentukan sistem kala present tense. Contoh kutipan dalam novel di mana naratornya tibatiba mengganti sistem kala dalam narasinya adalah sebagai berikut: ‘By now we are running down the passage, this what light from the lamp falls on. The door of rock is slowly closing down; it is not three feet from the floor. Near it struggle Foulata dan Gagool. The red blood of the former runs to her knee, but still the brave girl hold the old witch, ho fights like a wild cat. Ah! She is free! Foulata falls, and
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
38
Gagool throws herself on the ground, to twist herself like a snake through the crack of the closing stone. She is under— ah, God! Too late! The stone nips her she yells in agony. Down, down it comes, all the thirty tons of it, slowly pressing her old body against the rock below’ (Haggard, 1957:247). Teknik narasi seperti di atas memberikan pengaruh dramatis yang kuat karena menciptakan kesan seakan-akan pembaca tiba-tiba berada langsung di tempat kejadian and terlibat langsung dalam peristiwanya (Martin, 1986:131). Kutipan di atas merupakan klimaks dari kisah petualangan dalam ‘King Solomon’s Mines’. Oleh karena itu, penceritaannya disajikan dengan sedramatis mungkin, yang menceritakan bagaimana salah satu tokoh jahat dalam novel ini, yaitu Gagool, terhimpit secara perlahanlahan oleh pintu batu besar dan berat ketika dia berusaha untuk merangkak keluar. Penyajian rincian peristiwa secara dramatis ini memunculkan fantasi imajinatif yang jelas bagi pembacanya. SIMPULAN Teknik narasi novel ‘King Solomon’s Mines’ menimbulkan sejumlah efek yang mempengaruhi keingintahuan pembaca dan menimbulkan fantasi imajinatif tentang kisah petualangan yang diceritakan. Efek-efek tersebut
dihasilkan oleh kode-kode narasi berupa penanda-penanda tekstual tertentu. Kode narasi yang terdapat dalam novel di atas diantaranya adalah kode metalinguistik dan kode sosial. Kode metalinguistik dan kode sosial ini muncul dalam bentuk penggambaran tokoh-tokoh dalam kisah petualangannya. Tokoh utama petualangannya, yaitu Allan Quatermain, selain berperan penuh dalam cerita, dia juga diposisikan sebagai narator tunggal yang menuliskan kisah petualangannya sendiri yang diadopsi dari kisah nyata, yang memberikan kesan bahwa petualangannya bukanlah rekaan semata. Selanjutnya, tokohtokoh protagonis lainnya digambarkan dengan narasi yang mengandung lexia atau penanda tekstual berupa literal images untuk memudahkan fantasi imajinatif tentang gambaran fisik tokohnya. Efek pemunculan fantasi imajinatifnya juga ditemukan pada penyajian rincian peristiwa dalam petualangannya. Penyajian rincian peristiwanya ada yang menggunakan teknik scenic dan juga teknik penggantian sistem kala dari past tense (lampau) ke present tense (kini) secara tiba-tiba untuk memberikan pengaruh dramatis seolah-olah pembaca dapat menyaksikan langsung peristiwa yang sedang digambarkan. DAFTAR PUSTAKA Barthes, R. 1988. “Textual Analysis: Poe’s Valdemar” dalam Modern Criticism and Theory,
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
39
D.Lodge (Ed.) 1988. England: Longman Group UK Ltd. Clark, G.Kitson. 1962. The Making of Victorian England. London: Methuen and Co.Ltd. Green, R.L. 1969. Tellers of Tales. Norwich: Fletcher and Son Ltd. Greene, G. 1969. Collected Essays. New York: Penguin Books Haggard, H.R. 1957. King Solomon’s Mines. New York: Random House Haining, P. 1981. The Best Short Stories of Rider Haggard. London: Hollen Street Press Ltd. Hawthorn, J. 1985. Studying the Novel. London: Edward Arnold Ltd. Kenney, W. 1966. How to Analyze Fiction. U.S.A.: Monarch press. Martin, W. 1986. Recent Theories of Narrative. New York: Cornell University Press. Roberts, E.V. 1983. Writing Themes about Literature. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Jurnal Makna, Volume 1. Nomor 2. September 2010 – Pebruari 2011
40