PENERJEMAHAN PUISI HEUSCA KEDALAM BAHASA INDONSIA OLEH CHAIRIL ANWAR Oleh Nuryadi Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45” Bekasi Abstract This paper discusses English-poetry translation, Heusca by John Conford into Indonesian translated by Chairil Anwar. The purpose of this study is to determine how the translator considers aesthetic and expressive values from the source language and translate them into target language. Aesthetic values are the means of delivery thought through the use of poetic language such as diction or word choice, metaphor, imageri, and others figurative language. Meanwhile, the expressive values are the means of delivery thoughts through the author's mind or emotions such as structure, rhyme, and pronunciation. The method used in this study is a qualitative descriptive analysis of the meaning. The results of analysis show that in terms of meaning, aesthetic values, and structures, Heusca is the result of a semantic translation and faithful to source language. Translator managed to retain the meaning of source language. In other word, the translation can meet the requirements of fidelity. In terms of expressive values in particular aspects of meter and rhyme are not so faithful to source language because the source language and the target language have some differences. Basically, this is acceptable that the Indonesian language as target language has a very big difference in terms of pronunciation with English as the source language. As a result, meter and rhyme of target language may not be forced into the source language without damaging the naturalness of meaning for target language readers. It can be said that the translation can meet the transparency criteria because source language appeared in poetry comes naturally to native speakers of English. Keywords: Translation of poetry, aesthetic and expressive values, analysis of
meaning, fidelity, transparency
PENDAHULUAN Penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran dengan padanan alami yang sedekat mungkin (Nida dan Taber, 1974:12). Hal yang harus dipahami dalam penerjemahan adalah bahwa yang dialihkan adalah pesan atau message yang terdapat dalam teks bahasa sumber sehingga teks bahasa sasaran yang dihasilkan dikatakan sepadan (equivalent). Menurut Catford (1974:73-74), kesepadanan pesan merupakan hal yang harus diprioritaskan dalam penerjemahan. Karya sastra merupakan karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusasteraan yang menggunakan kata-kata yang indah, majas, dan gaya cerita yang menarik. Karya sastra adalah hasil ciptaan yang berasal dari imajinasi pengarang dan dituliskan dengan bentuk dan bahasa yang menarik supaya dapat menyampaikan pesan moral pengarang. Karya sastra dapat berbentuk puisi, prosa dan drama. Puisi merupakan bentuk karya sastra yang ditulis dalam bait-bait dengan aturan-aturan tertentu untuk menciptakan keindahan. Menurut Newmark (1981), masalah-masalah yang dihadapi penerjemah dalam menerjemahkan karya sastra adalah pengaruh budaya sumber (BSu) dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair aslinya. Pengaruh BSu berupa aturanaturan kebahasaan dalam BSu, majas, latar, dan tema. Sementara itu, berkaitan dengan pesan moral,
penerjemah dapat menemukan kesulitaan karena pesan moral terintegrasi dalam kekhasan pengarang. Menerjemahkan cerpen atau novel cenderung lebih mudah dari pada menerjemahkan puisi karena kata-kata yang digunakan dalam prosa tidak sepadat dan sehemat dalam puisi. Keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu tergantung pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada alur cerita dan pengembangan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita itu. Penerjemahan karya sastra sarat dengan suasana sentimental (Fuad Hasan, 2001). Dengan memiliki perasaan sentimental, penerjemah akan memiliki kemampuan untuk mengalihkan bukan saja bahasa, bahan atau materi, budaya, tetapi juga perasaan, dan suasana batin pengarang. Menerjemahkan puisi sangat memerlukan kemampuan untuk mengalihkan suasana batin ini sehingga pesan yang disampaikan pengarang akan sampai kepada pembaca puisi dengan baik. Sebagai salah satu bentuk karya sastra, puisi memiliki kekhasan dalam pemilihan kata (Newmark, 1988:163). Tidak seperti kata-kata dalam prosa yang bersifat deskriptif , kata-kata dalam puisi memiliki makna yang sangat padat (Newmark, 1988:163). Kata dalam puisi merupakan unit makna yang sangat penting, demikian juga baris-baris puisi. Begitu padatnya makna kata dalam puisi membuat sebuah kata dalam puisi dapat memiliki
bermacam-macam arti. Misalnya, kata blue dalam bahasa Inggris tidak selalu dapat kita artikan biru, melainkan kadang-kadang harus kita artikan sedih. Latar belakang kehidupan penyair dan kondisi geografis tempat tinggal penyair seringkali menambah padatnya makna sebuah kata dalam puisi. Misalnya, kata kemarau bagi penulis yang tinggal di daerah kering akan dikonotasikan sebagai bencana, tetapi oleh penulis yang berasal dari daerah dengan curah hujan tinggi akan dikonotasikan sebagai anugerah Tuhan yang besar. Sebagai salah satu jenis karya sastra, puisi merupakan salah satu target penerjemahan yang penting karena karya sastra dapat memainkan peran penting dalam upaya menyebarluaskan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial dan perdamaian. Karya sastra secara umum mengungkapkan pikiran, perasaan, atau ide pengarang tentang kehidupan yang didasarkan pada pengalaman dan pengamatan tentang realitas sosial. Sejak tahun 3000 S.M., puisi tergolong karya sastra tertua yang mulai diciptakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik petani, tentara, ilmuwan, pengacara, dokter, filsuf, hingga raja dan ratu (Encarta, 2005). Meskipun demikian, hingga kini puisi tetap merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari karena puisi dapat diciptakan oleh siapa saja dan di mana saja untuk menggambarkan realitas sosial dalam kehidupan di sekitar kita.
Perrine (1973: 3) menyatakan bahwa puisi merupakan karya sastra yang penting karena memiliki sesuatu yang khusus, yaitu nilai-nilai tentang kehidupan atau pesan moral yang diungkapkan dengan majas tertentu yang unik, khusus dan bernilai tinggi. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila puisi banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia untuk menyebarluaskan pesan moral yang terdapat dalam puisi. Menurut Baker (2005: 170), praktik penerjemahan puisi sudah berlangsung lebih dari 2000 tahun. Tulisan ini berusaha melihat aspek-aspek apa saja yang terdapat dalam penerjemahan puisi Huesca karya John Cornford ke dalam bahasa Indonesia oleh Chairil Anwar. Untuk mencapai tujuan itu, puisi terjemahan dan puisi aslinya dianalisis dan dibandingkan untuk melihat aspek apa saja yang diperhatikan dalam penerjemahan puisi. Temuan yang diperoleh diharapkan dapat berkontribusi bagi praktik penerjemahan puisi ke dalam bahasa Indonesia. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah puisi bahasa Inggris Huesca karya John Cornford yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar kedalam bahasa Indonesia. Analisis dilaksanakan dengan menggunakan metode gabungan atau eklektik antara berbagai teori analisis penerjemahan puisi yang diuraikan oleh Newmark (1988), McGuire (1980). Pembahasan
dilakukan dengan menganalisis puisi asli dan terjemahan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, analisis difokuskan pada perbandingan makna antara puisi asli dan terjemahannya. Setelah itu, analisis dilanjutkan pada perbandingan nilai-nilai estetis seperti diksi, metafora, imageri, dan bahasa figuratif atau kiasan. Pada tahap ketiga, analisis dilanjutkan pada struktur puisi dan nilai-nilai ekspresif. PEMBAHASAN Huesca, puisi yang dianalisis kali ini, ditulis oleh John Cornford, seorang sastrawan dan aktivis kelompok sosialis Inggris yang terlibat dalam Perang Saudara di Spanyol (1936-39) antara faksi Republik yang berhaluan sosialis dan kubu Nasionalis yang berhaluan fasis. Konflik politik internal itu bukan hanya menyeret sesama warga Spanyol dalam peperangan melainkan juga telah mengundang intervensi internasional. Hal tersebut karena masing-masing kubu didukung oleh kelompok ideologi fasis dan sosialis yang saling bertentangan dan melampaui batasbatas negara. Penulis puisi ini, John Cornford, dan banyak penulis serta sastrawan sosialis Eropa, tergabung dalam front sosialis International Brigade. Perang Saudara itu bahkan telah membuka perang para penyair dunia antara sastrawan dan intelektual yang berideologi fasis dan sosialis. Diantara penulis yang berideologi fasis terdapat nama Ortegay Gasset dan Ezra Pound
sedangkan di kubu sosialis terdapat nama André Malraux, W.H. Auden, Pablo Neruda, George Orwell, John Cornford, dan masih banyak lagi. Puisi dan surat-surat John Cornford diperuntukkan bagi Margot Heinemann, kekasih dan sahabatnya sejak mereka sama-sama kuliah di Cambridge. Menurut arsip Brigade Internasional, John Cornford tewas dalam sebuah pertempuran di Lopera, 28 Desember 1936, sehari setelah usianya baru genap 21 tahun. Sebetulnya, puisi John Cornford ini tanpa judul tetapi terdapat baris persembahan. Berkat terjemahan Chairil Anwar, puisi ini di Indonesia lebih dikenal sebagai Huesca Apabila kita perhatikan dengan seksama, penerjemahan puisi yang dilakukan Chairil Anwar itu berhasil dengan sangat baik. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah suku kata yang tidak terlalu banyak berbeda antara puisi asli dengan terjemahannya. Diksi atau pilihan kata yang digunakan Chairil Anwar juga akurat sehingga makna puisi terjemahan dapat dipahami secara wajar. Perbandingan Makna Imageri adalah representasi makna melalui penggunaan citra atau image yang digunakan penulis karya sastra untuk membuat perbandingan yang biasanya dapat membangkitkan pengalaman yang lebih bermakna bagi pembaca (Newmark, 1988 : 163). Jadi imageri adalah gambaran mental atau mendasarkan pengalaman. Imageri dapat dibedakan menjadi visual, auditorial, olfactorial,
gustatorial, taktial, dan kinestetikal. Imageri visual diperoleh melalui indera penglihatan, auditorial melalui pendengaran, olfaktorial melalui penciuman, gustatorial melalui rasa, taktial melalui sentuhan dan kinetetik melalui gerakan. Imageri yang paling banyak digunakan dalam puisi adalah imageri visual dan auditorial. Contoh imageri visual dalam puisi adalah matahari cerah dan langit biru (the sun is warm, the sky is clear ) sedangkan contoh imageri aditorial adalah suara kota yang lembut seperti Solitude (The city’s voice it self is soft, like Solitude). Kedua imageri tersebut digunakan untuk melukiskan keindahan Westminter Bridge di Inggris oleh William Wordsworth sebelum era revolusi industri karena pada era revolusi industri langit kota jadi kotor dan tidak lagi biru oleh asap pabrik, suara kota jadi kasar tidak lembut seperti Solitude (Encarta, 2005 : 9). Untuk menyampaikan makna yang sama, imageri dapat sama atau berbeda. Imageri dapat sama karena ada hal-hal yang bersifat universal dalam bahasa seperti ungkapan matahari yang cerah dan langit yang biru. Namun imageri dapat berbeda seperti suara kota tidak lagi lembut seperti Solitude. John Cornford menggunakan kata world untuk menyatakan dunia atau situasi yang dekat dengan dirinya dan yang terjadi di negaranya. Situasi itu adalah perang saudara yang sedang berkecamuk. Pada situasi ini orang kehilangan hati nurani (jiwa) sebagai manusia sehingga tega saling
membinasakan. Dunia yang kehlangan jiwa adalah dunia yang kejam karena tidak bernurani lagi. Kata world diterjemahkan menjadi dunia yaitu alam yang dekat atau yang berada di sekitarnya yang dapat dipahami dengan baik oleh penikmat puisi bahasa Indonesia yaitu revolusi di Spanyol. Puisi Heusca karya John Cornford ditulis di Eropa dan diterjemahkan oleh Chairil Anwar di Indonesia, dua wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, imageri musim gugur (autumn), yang dapat dimaknai sebagai suasana duka akibat perang saudara yang dapat menimbulkan banyak korban jiwa. Contoh imageri yang lain adalah senja (evening) , yang dapat dimaknai sebagai menjelang akhir kehidupan, karena pada waktu senja matahari akan terbenam. Imageri ini baru dapat dimakna dengan jelas apabila penerjemah mengetahui karakteristik kebudayaan bahasa sumber, termasuk kondisi geografis tempat karya sastra ditulis, suasana ketika puisi ditulis, dan jiwa penulis. John Cornford dan Chairil Anwar adalah penyair muda yang tumbuh pada zaman revolusi. Pada bait kedua dari puisi itu, kita mendapati penggambaran tentang angin (wind) yang bangkit ketika senja (evening) dan disusul baris kedua autumn yaitu musim gugur, dan disusul baris ketiga tentang kecemasan akan berpisah dengan seseorang yang ternyata masih kalah mengerikan dibanding dengan kecemasan penyair pada ketakutannya sendiri. Musim gugur di negara empat musim itu terjadi
setelah musim panas yang mengeringkan daun-daun di pepohonan. Angin pada musim gugur bertiup lebih kencang, yang menyebabkan daun-daun yang berwarna keemasan dan rantingranting bergugurannya. Suasana ini lazim digunakan untuk menyimbolkan kesedihan. Makna tersebut diperkuat dengan kata senja yang dapat dimaknai sebagai menjelang kematian. Apalagi sesudah musim gugur, datanglah musim dingin. Musim dingin dapat digunakan untuk menyatakan tidak tampaknya kehidupan karena pada musin dingin suasananya menjadi beku. Pepohonan tampak meranggas tetapi angin bertiup kencang dan meyebabkan dedaunan berguguran. Dan jika mau dilanjutkan, tidak tampaknya kehidupan itu dapat berarti kematian. Simbolisme ini banyak dipergunakan dalam karya seni, baik puisi, novel, lukisan, maupun musik untuk menyatakan keberpisahan, kematian, kesedihan, suasana yang dingin dan mencekam. Chairil Anwar menejemahkan autum menjadi musim gugur dan dalam bahasa Indonesia kata gugur dapat bermakna kematian yang biasanya dihubungkan dengan revolusi. Dalam bahasa Indonesia, pahlawan yang meninggal di medan perang dikatakan gugur sebagai kusuma bangsa atau ungkapan bunga berguguran. Dengan demikian makna gugur dapat dimengerti oleh penikmat puisi BSa karena menyampaikan hal yang sama. Demikian juga angin (wind) yang
bangkit ketika senja (evening), baik pada bahasa sumber maupun sasaran senja dapat dimaknai sebagai menjelang kematian. Angin yang bertiup pada musim gugur akan menyebabkan daun-daunan berguguran lebih cepat. Angin dapat digunakan sebagai simbolisasi keadaan yang menyebabkan daundaunan berguguran. Perang saudara di Spanyol ini telah membuat John Cornford takut dan cemas kehilangan kekasih yang dicintainya karena puisi ini ditujukan kepada sahabatnya yang sekaligus menjadi kekasihnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Huesca merupakan salah satu contoh terjemahan puisi yang berhasil. Hal yang penting pada penerjemahan puisi adalah integrasi kata-kata dan baris-baris dalam puisi, penerjemah harus mampu menerjemahkannya sesuai dengan konteksnya (Newmark, 1988 : 163). Puisi terjemahan itu bernyawa karena Chairil Anwar menguasai kedua bahasa, memahami persoalan dengan sangat baik, dan terutama memiliki kepekaan sebagai seorang sastrawan bahwa kata dan baris dan bait merupakan hal yang sangat penting pada penerjemahan puisi. Baik Chairil Anwar maupun John Cornford adalah penyair muda yang tumbuh, berkarya dan gugur pada masa peperangan dalam usia yang masih sangat muda, sekitar duapuluh tahun serta meninggalkan karyakarya yang terus dibicarakan orang hingga kini. Puisi Huesca pada hakikatnya merupakan sebuah puisi yang eskpresif yang mampu
mengungkapkan suasana hati penulis yang masih muda, penuh dengan gejolak jiwa muda yang terpaksa harus meninggalkan kekasih yang sangat dicintainya untuk bergabung dengan para pejuang. Sewaktu membaca puisi ini penikmat puisi seolah-olah dihadapkan pada sebuah situasi yang berat, perang merupakan pilihan yang tidak dapat ditolak dalam situasi revolusi. Pada bait-bait puisi, penyair dihadapkan pada pilihan yang serba sulit, meninggalkan kekasihnya dan bergabung dalam front sosialis International Brigade. Dilihat dari detail makna yang diungkapkan, kedua puisi ini tidak memiliki perbedaan. Dengan kata lain, Chairil Anwar berhasil secara semantis menerjemahkan makna dalam Huesca ke dalam bahasa Indonesia (semantic translation) sebagaimana dinyatakan oleh Newmark (1988 : 163). Puisi Huesca lebih menekankan pada sifat manusia yang kehilangan jiwa, tidak mempunyai rasa kemanusiaan lagi sehingga tega saling membunuh, bahkan dengan saudaranya sendiri. Dilihat dari diksi yang digunakan, jelaslah bahwa puisi ini juga mengungkapkan suasana hati penyair yang masih muda, sedang jatuh cinta tetapi cemas karena terpaksa harus pergi meninggalkannya. Hal tersebut tampak pada pilihan kata love, dear heart, I am afraid of lose you, heartless world, autumn is near, fear, shallow grave, chills my view, dan pain at my side yang digunakan penyair.
Puisi ini dimulai dengan memperlihatkan bagaimana jiwa (manusia) yang kehilangan jiwa, yang tidak lagi menjadi manusia utuh yang mempunyai jiwa saling mengasihi dan menyayangi sesama. Penyair kemudian memperlihatkan kecemasannya meninggalkan kekasihnya untuk berjuang saat revolusi. Sebelum mengulangi gambaran tentang kecemasannya, penyair memperlihatkan bahwa cinta tetaplah cinta yang kekal walaupun harus dibawa pergi untuk selamanya. Setelah menelusuri detil makna yang dalam pada Huesca dan terjemahannya terlihat bahwa keduanya sama-sama mengungkapkan gejolak jiwa muda penyair yang harus maju berperang dan mengorbankan cintanya yang dalam pada kekasihnya. Cinta dan perang adalah sesuatu yang berbeda, bahkan bertentangan. Perang tidak menghiraukan perasaan pihak yang menjadi lawannya. Perang yang terjadi sebagaimana dipuisikan oleh John Conford ini merenggut cinta penyair kepada kekasihnya. Urutan detail isi yang disampaikan kedua puisi ini juga serupa. Jadi, dapat dikatakan bahwa Chairil Anwar berhasil menerjemahkannya secara semantis puisi Heusca ke dalam bahasa Indonesia tanpa penyimpangan makna yang berarti karena berhasil mempertahankan isi melalui pilihan kata yang terangkai dalam bait-bait puisi sebagaimana dikatakan oleh Newmark (1988 : 163). Perbandingan Nilai-Nilai Estetis
Nilai-nilai estetik dalam karya sastra digunakan sebagai sarana penyampaian keindahan melalui penggunaan diksi atau pilihan kata (diksi), dan majas seperti metafora, dan personifikasi. Untuk menghasilkan terjemahan yang baik, penerjemah harus memindahkan seluruh nilai-nilai tersebut dari BSu kedalam BSa. Sebagai sebuah puisi deskriptif yang melukiskan gejolak jiwa muda yang bergelora (cinta) dalam keadaan revolusi, Huesca banyak menggunakan imageri visual yang bermakna metaforis atau kiasan dan meminta pembaca dapat memahami ungkapan dalam puisi ini. Chairil Anwar menggunakan pilihan kata yang tepat, padat dan penuh makna. Baris-baris dalam bait puisi ini menggunakan kata-kata yang meminta pembaca untuk memaknai pilihan kata secara mendalam. Pada bait pertama, penyair mengungkapkan dunia yang tidak lagi mempunyai nurani. Dunia yang dimaksudkan disini pihak-pihak yang terlibat dalam perang saudara di Spanyol. Penulis puisi ini, John Cornford, tergabung dalam front sosialis International Brigade. Bait pertama di akhiri dengan bayangan yang bikin tinjauan beku. Bayangan akibat perang telah membuat frustasi sehingga harapan bertemu kekasihnya menjadi beku. Pada bait kedua puisi diawali dengan angin bangkit ketika senja, dan diteruskan dengan ngingatkan musim gugur akan tiba. Pada musim gugur angin bertiup lebih kencang dan menyebabkan gugurnya
dedaunan. Semakin cepat angin bertiup semakin banyak daun-daun yang berguguran. Angin dibandingkan dengan perang yang menyebabkan gugurnya para pejuang. Bahasa kiasan yang digunakan adalah personifikasi atau penginsanan karena seolah-olah angin mempunyai sifat seperti manusia yang bisa bangkit. Kata senja menandakan kehidupan yang akan berakhir. Aku takut kehilangan kau adalah baris ketiga puisi ini yang mengungkapkan ketakutan penyair kehilangan kekasihnya. Pada bait ketiga, puisi BSu menggunakan pilihan kata on the last mile yang diikuti dengan the last fence for our pride yang diterjemahkan menjadi di batu penghabisan ke Heusca, dan dilanjutkan dengan batas terakhir kebangaan kita. Pilihan kata yang digunakan pada bait ketiga ini menambah kuat pemaknaan pada baris sebelumnya yang berkisah tentang perpisahan antara penyair dan kekasihnya karena perang tidak memberi tempat bagi bersemainya benih-benih cinta. Bait puisi ini dapat dimaknai sebagai akhir dari perjalanan kehidupan dan cinta mereka. Baris ketiga dan keempat masing-masing adalah think so kindly, dear, that I dan sense you at my side yang diterjemahkan kenanglah sayang dengan mesra dan kau kubayangkan disisiku ada. Pada bait keempat diawali and if bad luck should lay my strength dan diikuti dengan into the shallow grave yang diterjemahkan menjadi dan jika untung malang
menhamparkan diikuti dengan aku dalam kuburan dangkal. Pilihan kata pada baris pertama dan kedua menunjukkan penyair masih berharap namun apabila yang terjadi adalah yang terburuk, penyair meminta kekasihnya mengenang kebersamaan mereka. Dan pada bait keempat, baris ketiga dan keempat remember all the good you can, dan don’t forget my love yang diterjemahkan menjadi ingatlah sebisamu segala yang indah dan baris keempat cintaku yang kekal. Pilihan kata yang digunakan menyatakan bahwa penyair puisi masih muda. Namun juga harapan yang akan tinggal sebagai kenangan. Jadi, ditinjau dari segi nilainilai estetis yaitu pilihan kata yang digunakan, Huesca BSa merupakan terjemahan yang baik dari Huesca BSu melalui pilihan kata yang terintegrasi dengan baik dengan baris-baris puisi, tanda baca, dan image (Newmark, 1988 : 163). Bahkan Newmark mengatakan bahwa metafora merupakan unsur yang mengendalikan dan membangkitkan makna melalui imageri visual (1988 : 164). Puisi hadir untuk menyampaikan perasaan, sikap dan pandangan penyair tentang suatu hal. Perang tidak membawa harapan dan yang terbayang hanyalah derita dan kematian. Hal tersebut terungkap pada bait keempat puisi Heusca. Aku dalam kuburan dangkal dan cintaku ynag kekal. Hal tersebut dapat dirunut pada pilihan kata pada setiap bait puisi BSu dan BSa. Pilihan kata yang digunakan bermakna dalam dan dapat menimbulkan imajinasi bagi penikmat puisi BSa.
Sebagai puisi yang mengungkapkan emosi jiwa yang masih muda dan harus meninggalkannya untuk berperang, Huesca banyak menggunakan pilihan kata yang menggunakan makna kiasan seperti metafora dan personifikasi. Baris-baris dalam keempat bait puisi ini menggunakan bahasa figuratif seperti world, wind, chill, evening, grave, dan autumn. Dalam puisi terjemahannya metafora ini diterjemahkan dengan tepat menjadi dunia, angin, beku, senja, kuburan dan musim gugur. Metafora BSu ditejemahkan dengan metafora BSa dan dapat menyampaikan makna puisi BSu. Di samping metafora, Huesca juga menggunakan personifikasi untuk meningkatkan kesan hidup kedua puisi tersebut. Dalam Huesca, terdapat personifikasi the wind rises in the evening yang diterjemahkan menjadi angin bangkit ketika senja. Sehubungan dengan itu, ditinjau dari segi pilihan kata, Heusca BSu merupakan terjemahan yang relatif baik dari Heusca BSa karena penerjemah berhasil mempertahankan isi dan makna melalui pilihan kata, baris-baris bait-bait puisi dan elemen makna baik melalui bahasa kiasan maupun literal. Perbandingan Struktur dan NilaiNilai Ekspresif Huesca dalam bahasa Inggris memiliki struktur yang sangat rapi. Puisi yang ditulis dalam empat bait ini memiliki jumlah baris yang sama—empat baris—di setiap bait. Rima akhir (end-rhyme) setiap bait
tidak begitu ketat. Bait pertama berpola a-b-a-b; bait kedua berpola ab-c-b; bait ketiga berpola a-b-c-b; dan bait keempat juga berpola a-b-cb. Variasi akhir rima ini karena John Cornford dalam berpuisi cenderung melanjutkan tradisi puisi Inggris lama yang kolot. Disamping itu mungkin juga dimaksudkan untuk mencegah kemonotonan bunyi. Selain itu, agar pembaca dapat segera akrab, penyair menggunakan pengulangan, yakni menggunakan seluruh baris pertama dan kedua dan pada bait pertama sebagai baris pertama dan kedua pada bait kedua, ketiga dan keempat. Fungsi pengulangan ini mungkin dapat dibandingkan dengan fungsi penggunaan “refrain” dalam lagu. Pola tekanan kata (meter) seluruh baris dalam setiap bait juga relatif baik. Sebagai contoh, baris kedua dan ketiga pada bait pertama sama-sama mengandung enam suku kata. Namun demikian jumlah suku kata pada bait kedua, ketiga, dan keempat tidak sama persis namun juga tidak berbeda jauh. Pada bait kedua, jumlah suku kata baris ketiga dan empat tujuh suku kata, sedangkan pada bait ketiga tujuh dan lima suku kata. Pada bait keempat, jumlah suku kata baris kedua dan keempat sebanyak enam dan lima. Struktur, rima, dan ‘meter’ ini membuat puisi ini indah didengar. Jika dibaca bersuara, puisi ini terdengar seperti pantun, jadi sangat sesuai dengan judul yang diberikan padanya. Heusca yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, juga diterjemahkan menjadi empat bait. Akan tetapi
kesamaan dalam hal struktur ini tidak diikuti oleh kesamaan dalam hal meter dan rima. Rima akhir berbeda dengan puisi BSu. Perbedaan pada rima akhir dan meter dapat disebabkan oleh sulitnya mencari padanan kata atau ungkapan yang mempunyai makna yang sama dengan makna yang dimaksud penerjemah. Jumlah suku kata pada masing-masing bait juga tidak sama. Pada bait pertama dengan rima akhir a-b-a-b diterjemahkan menjadi a-b-b-b. Pada bait kedua dengan rima akhir a-b-c-b diterjemahkan menjadi a-a-b-c. Pada bait ketiga dengan rima a-b-a-b diterjemahkan menjadi a-a-a-a. Pada bait keempat dengan rima akhir a-bc-b diterjemahkan menjadi a-b-c-b. Jumlah suku kata tidak sama namun tidak berbeda jauh. Sebagai contoh, rima akhir bait ketiga puisi terjemahan berakhir dengan bunyi yang sama yaitu a-a-a-a yang berbeda baik dengan bait pertama, kedua maupun keempat. Bait ketiga puisi asli berakhir dengan rima a-b-c-b. Namun demikian hasil terjemahan dapat menyampaikan makna dengan baik karena mampu menyampaikan makna sebagaimana dimaksud oleh penulis walaupun terdapat perbedaan dalam hal struktur dan pilihan kata yang dihubungkan dengan pelafalan. Chairil Anwar juga menggunakan pengulangan bunyi untuk memunculkan keindahan puisi. Pada bait pertama baris kedua, ketiga, dan keempat berakhir dengan rima yang sama. Demikian juga dengan baris kedua dan keempat yang berakhir dengan rima yang sama
yaitu dangkal dan kekal. Oleh sebab itu, dilihat dari segi struktur dan nilainilai ekspresif, Heusca tidak sepadan dengan puisi aslinya. Hal tersebut, disamping faktor kebahasaan sebagaimana sudah disampaikan di atas, karena Chairil Anwar yang merupakan pelopor Angkatan ‘45 tidak mau terikat oleh pakem-pakem bentuk kesusasteraan seperti pada generasi Angkatan ’33. Dilihat dari segi struktur, Heusca BSu dan BSa tidak jauh berbeda. Keduanya sama-sama memiliki empat bait. Bait pertama dan kedua masing-masing puisi ini dibentuk oleh empat baris, demikian juga dengan bait ketiga dan keempat. Kedua puisi ini juga sama-sama menggunakan baris-baris yang pendek, berkisar antara lima hingga delapan suku kata. Dengan demikian, dilihat dari struktur dan nilai-nilai ekspresif, puisi Heusca dalam bahasa Inggris merupakan hasil terjemahan yang sepadan dengan Heusca dalam bahasa Indonesia. Perbedaan yang paling jelas dari kedua puisi itu adalah perbedaan bentuk (form) puisi asli dan terjemahan. Puisi aslinya masih menggunakan persajakan yang cukup teratur sedangkan dalam terjemahannya, persajakan dalam puisi aslinya tidak dipertahankan lagi. Hal ini karena John Cornford dalam berpuisi cenderung melanjutkan tradisi puisi Inggris lama yang kolot sedangkan Chairil Anwar, dan para peyair Indonesia sezamannya, merupakan generasi sastrawan yang mencoba membebaskan diri dan tidak mau terikat oleh pakem-pakem
bentuk kesusasteraan seperti pada generasi Angkatan ‘33. Karena karakteristiknya yang demikian, Chairil Anwar bersama Rivai Apin dan Asrul Sani dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Angkatan ’45 memiliki konsep seni yang menyatakan bahwa mereka ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Pengalaman hidup dan gejolak sosialpolitik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan. Jadi penulis puisi Heusca, John Conford, dan penerjemah puisi ini, Chairil Anwar adalah sama-sama sastrawan yang dibesarkan pada situasi perang sehingga mengkaji puisi John Cornford yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar menjadi sangat menarik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis di atas, terungkap bahwa dari segi makna, nilai-nilai estetis, dan struktur, Heusca merupakan hasil terjemahan semantis. Masing-masing BSa itu berhasil mempertahankan makna BSu. Dengan kata lain, penerjemahan puisi tersebut dapat memenuhi persyaratan fidelity. Dilihat dari segi nilai-nilai ekspresif khususnya aspek meter dan rima penerjemahan puisi tersebut tidak begitu mengacu pada
BSu, karena penerjemah puisi ini, Chairil Anwar yang merupakan pelopor angkatan ‘45 tidak mau terikat oleh pakem-pakem kesusasteraan. Pada dasarnya hal ini dapat diterima mengingat bahwa bahasa Indonesia sebagai BSa memiliki perbedaan yang sangat besar dalam hal pelafalan (pronounciation) dengan bahasa Inggris sebagai BSu. Akibatnya, meter dan rima BSa tidak mungkin dipaksakan ke dalam BSu tanpa merusak kealamian atau naturalitas BSu bagi pembaca target yaitu penutur asli bahasa Indonesia. Karena BSu muncul sebagai puisi yang alami bagi penutur asli bahasa Inggris, dapat dikatakan bahwa penerjemahan itu mampu memenuhi kriteria transparency. Melihat keberhasilan Chairil Anwar dalam menerjemahan puisi John Cornford ke dalam bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa penerjemah menggunakan prosedur dan metode yang baik untuk menerjemahkan puisi bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Disamping itu, Chairil Anwar pasti memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi penerjemah puisi yang baik. Saran Analisis ini hanya menggunakan satu puisi asli dan terjemahannya, sehingga untuk memperoleh kesimpulan yang lebih valid, disarankan menganalisis beberapa puisi asli yang diterjemahkan oleh penerjemah yang sama. Hal tersebut bermanfaat untuk mengetahui karakteristik penerjemah
dalam mengintegrasikan pilihan kata atau diksi, dan baris-baris dalam baitbait puisi serta penggunaan majas dalam puisi. DAFTAR PUSTAKA Bassnett-McGuire. 1980. Translation Studies. NY: Mathuen & Co. Ltd. Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman. Berman D. & Epstein M. D. (1983). The Health Guide to Poetry. Massachusetts: D.C. Heath and Company. Guches, Richard C. 1980. Sequel: A Handbook for the Critical Analysis for Literature. Palo Alto: Peek Publications. Hirsch, Edward. 1999. How to Read a Poem and Fall in Love with Poetry. New York: Harcourt Brace. McGlynn, John H. (Ed. & Transl.). 1990. On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry. Jakarta: The Lontar Foundation. Newmark, Peter. 1988a. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. _____. 1988b. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.
_____. 1991. About Translation. Clevedon: Multilingual Matters Ltd. Perrine, L. (1973). Sound and Sense. New York: Harcount Brace Jovanovich INC. Taylor, Richard. 1981. Understanding the Elements of Literature. New York: Prentice Hall Inc.
I am afraid of my fear. On the last mile to Huesca, The last fence for our pride, Think so kindly, dear, that I Sense you at my side. And if bad luck should lay my strength Into the shallow grave, Remember all the good you can; Don't forget my love.
Catford, J.C. 1969. Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press.
John Cornford, 1936
Larson, Mildred L.. 1984. Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Bahasa. Jakarta: ARCAN
Jiwa di dunia yang hilang jiwa Jiwa sayang kenangan padamu adalah derita di sisiku bayangan yang bikin tinjauan beku
Nida, Eugene A. dan Charles R. Taber. 1982. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Bril
Huesca Heart of the heartless world, Dear heart, the thought of you Is the pain at my side, The shadow that chills my view. The wind rises in the evening, Reminds that autumn is near. I am afraid to lose you,
Heusca
angin bangkit ketika senja Ngingatkan musim gugur akan tiba aku cemas bisa kehilangan kau Aku cemas pada kecemasanku sendiri di batu penghabisan ke Huesca batas terakhir dari kebanggaan kita kenanglah sayang dengan mesra Kau ku bayangkan di sisiku ada dan jika untung malang menghamparkan aku dalam kuburan dangkal ingatlah sebisamu segala yang indah Dan cintaku yang kekal
Chairil Anwar