ANALISIS NARASI BISEKSUAL SEBAGAI BENTUK HYSTERIA TULISAN PEREMPUAN DALAM NOVEL WUTHERING HEIGHT KARYA EMILY BRONTE Oleh Mariatul Qibtiah Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45” Bekasi Abstract This research is a literature study with the novel as an object of the research. This research focuses on analyzing bisexual narration in Emily Bronte’s novel, Wuthering Heighst. The bisexual narrations themselves are shown in the ambiguities of the narration; whether it is feminine or masculine. This research aims to show the ambiguity or bisexuality narration as ‘hysteria’ of women's writing in one of the literary works written by Emily Bronte Wuthering Heights. The result of this research show that narration in Wuthering Heights is bisexual which is proven by the ambiguity of the narration, and that bisexual narration can be regarded as ‘hysteria’ of women’s writing. Keywords: Bisexuality, narration, and hysteria
PENDAHULUAN Jaman Viktoria, salah satu periode kesusastraan Inggris yang berkembang pada tahun 1830-1901, memiliki latar belakang kehidupan borjuis yang patriarkal. Hal ini didasari oleh keadaan atau sistem sosial yang terbentuk pada saat itu yang menggambarkan posisi ketidakseimbangan antara lelaki dan perempuan. Selain menggambarkan posisi ketidakseimbangan antara lelaki dan perempuan, keadaan sosial saat itu menggambarkan posisi ketidakseimbangan antara kelas atas dan kelas bawah pula. Ketidakseimbangan posisi antara laki-laki dan perempuan ini terlihat dari peranan dan perlakuan terhadap perempuan pada saat itu; perempuan
kelas bawah harus bekerja dengan upah yang minim tetapi dituntut untuk tidak menelantarkan kehidupan domestiknya. Begitu pula dengan perempuan pada kelas bangsawan, walaupun mereka tidak bekerja namun mereka dituntut untuk selalu berada di wilayah domestik saja dan tidak diperkenankan untuk berada pada wilayah publik, terutama untuk berpartisipasi dalam tatanan sosial, politik, dan pemerintahan. Penggambaran latar belakang sosial tersebut disebabkan karena adanya stereotip yang masih mengakar; bahwa perempuan adalah makhluk yang pasif dan lelaki lebih aktif, perempuan adalah makhluk yang lemah dan lelaki adalah manusia yang kuat, lelaki itu stabil
sedangkan perempuan labil. Stereotip tersebut menimbulkan pertanyaan tentang cara perempuan pada saat itu bersuara dan menjalani kehidupannya karena hidup sebagai perempuan dalam aturan dan sistem sosial patriarki memang bukan hal yang mudah. Latarbelakang sosial dan stereotip yang terbentuk pada saat itu memberikan banyak kesulitan bagi perempuan untuk bersuara dan memilih karena mereka memang tidak diperkenankan untuk bersuara dan memilih. Kesempatan yang ada untuk mereka pun terbatas. Setinggitingginya pendidikan yang mereka dapat hanyalah sebagai perawat atau penulis. Lalu, seperti yang diungkapkan oleh Mitchell bahwa penggambaran latar belakang dan ketidakseimbangan yang begitu borjuis patriarkal ini membuat para novelis perempuan ingin membuktikan keberadaan dirinya dalam sistem sosial yang terbentuk tersebut (Mitchell dalam Lodge, 1988: 426). Stereotip dan ketidakseimbangan ini menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perempuan untuk mengemukakan pendapat dan pilihannya. Sehingga, kesulitankesulitan ini menyebabkan kecenderungan perempuan untuk menjadi histeris. Terlebih lagi untuk para penulis perempuan karena tak banyak kesempatan bagi perempuan untuk menulis. Kesempatan disini bisa berarti adanya waktu yang cukup untuk menulis, adanya lahan atau tempat untuk menyalurkan tulisantulisan mereka, dan tidak adanya larangan-larangan yang menganggap tabu bagi perempuan untuk menulis.
Kehisterisan ini dapat terlihat dari narasi tulisan mereka karena tulisan mereka, mengutip dari perkataan Mitchell, adalah tulisan dari sebuah proses pembentukan diri dan pengalaman perempuan –baik pengalaman domestik maupun personal mereka– namun dalam aturan, bahasa, dan sistem sosial yang dominan; patriarki. Akhirnya, lanjut Mitchell pula dengan merujuk pada Kristeva, dalam proses ini tulisan mereka terlihat seperti autocriticism. (Ibid: 427). Autocriticism itu terlihat dari isi tulisan mereka yang mengkritisi kehidupan dan pengalaman mereka sebagai perempuan dalam aturan dan tatanan sosial patriarki namun dengan susunan dan keteraturan tulisan lakilaki. Dalam hal ini, Wuthering Heights, sebuah karya sastra karangan Emily Bronte yang merupakan salah satu novelis perempuan pada jaman Viktoria merepresentasikan autocriticism tersebut. Hal ini penulis asumsikan terlihat dari narasinya yang ambigu atau biseksual; menyampaikan pengalaman dan perasaan perempuan namun dalam keteraturan tulisan yang dibentuk oleh laki-laki. Dengan kata lain, narasi novel ini bisa bersifat laki-laki ataupun perempuan (biseksual), dan narasi biseksual itu sendiri merupakan salah satu bentuk bahwa tulisan perempuan itu histeris. Ada beberapa kritikus yang berbicara serupa dalam mengkritisi novel ini, diantaranya; Mitchell yang mengatakan bahwa setiap penulis perempuan pasti histeris oleh karena itu Mitchell juga menyebut novel ini
sebagai autocriticism (Ibid). Selain itu Kristeva juga menyebutkan bahwa tulisan novelis perempuan adalah“The discourse of hysteric”. Histeria ini seolah tergambar sebagai suara perempuan dari kepasifan yang mereka miliki. Stereotip tentang perempuan seperti di atas tadi; perempuan pasif dan lemah sedangkan laki-laki adalah manusia yang lebih aktif dan kuat memperkuat hal tersebut. Bagaimana perempuan harus bersuara dalam dunia patriarkal itu sendiri adalah hal yang membuat tulisan atau perempuan itu sendiri histeris. Novel ini memiliki tema yang sama dan cenderung tipikal dengan novel-novel yang ditulis oleh perempuan lainnya yang menghadirkan cerita cinta dan romansa kehidupan perempuan dan juga memiliki teknik narasi hampir sama seperti novel-novel yang ditulis oleh perempuan lainnya. Narasi novel ini menggunakan teknik berbentuk seperti jurnal atau pelaporan. Mengomentari teknik narasi ini, Genette juga berpendapat; teknik narasi novel ini berbentuk seperti penulisan diary (novel by letters) namun lebih mirip seperti “a ‘live’ running commentary” (1980: 217). Penggambaran dan pendapat tentang narasi novel ini meyakinkan penulis bahwa teknik narasi seperti ini adalah teknik narasi yang biasa dilakukan oleh penulis perempuan pada saat itu karena dengan bertulis surat dan diary perempuan dapat bersuara. Novel ini memiliki dua narrator, jadi seolah-olah ada satu narasi dalam narasi yang lain. Namun narasi yang
kedua tak mungkin ada kalau tanpa narasi yang pertama walaupun narrator pertama mengambil narasi dari narrator yang kedua. Selain itu novel ini juga menyajikan penggambaran keambiguan atau kebiseksualitasn narasi dan kehisterisan perempuan dalam dunia dan aturan yang patriarkal. Oleh karena itu, analisis mengenai kebiseksualitasan narasi dalam novel ini yang penulis asumsikan sebagai salah satu bentuk kehisterisan tulisan perempuan akan tertuang dalam jurnal ilmiah ini. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan dan memperlihatkan keambiguan narasi yakni narasi yang biseksual sebagai salah satu bentuk kehisterisan tulisan perempuan dalam salah satu karya sastra karangan Emily Bronte yang berjudul Wuthering Heights. METODE PENELITIAN Penelitian untuk jurnal ilmiah ini merupakan sebuah studi pustaka dengan novel sebagai objek penelitiannya dan sumber-sumber pustaka lainnya diambil dari teoriteori yang berhubungan dengan pembahasan dalam jurnal ini. Untuk membahas penelitian ini, penulis hanya akan membahas karya sastra karangan Emily Bronte dalam level penceritaan atau narasi. Namun, pembahasan penarasian ini tidak akan lepas dari pembahasan mengenai penggambaran setiap karakter dan plot yang berkembang dalam novel ini. Untuk membahas bisexuality dan
hysteria penulis akan merujuk pada istilah patriarki, stereotype, dan symbolic order. Untuk membahas patriaki dan sedikit tentang hysteria penulis menggunakan pemikiran Moi dalam Robert Condavis dan Ronald Schleifer (1994) dan Mitchell dalam Lodge (1988) untuk membahas mengenai stereotype yang ditimbulkan oleh sistem sosial patriarki, penulis menggunakan pemikiran Simone De Beauvoir dalam essaynya yang berjudul “second Sex”. (Adams, 1992) Selanjutnya, penulis akan menjelaskan tentang narasi biseksual yang tergambar dalam segi penceritaan. Dalam level penceritaan, penulis akan membahas teori feminine writing Showalter. Dan untuk melihat bentuk narasi novel ini, penulis menggunakan istilah epistolary writing oleh Gennete. PEMBAHASAN Penggambaran Narasi Novel Wuthering Heights Pada awal penceritaan yang dimulai dengan pernyataan Lockwood setibanya dia di Wuthering Heights. Pernyataan Lockwood: “I have just returned from a visit to my landlord – the solitary neighbour that I shall be troubled with.” (Bronte, 1959: 9) mengungkap satu hal bahwa Lockwood ditampilkan sebagai narrator sekaligus karakter yang berkembang dalam cerita novel ini. Namun, narasi Lockwood berpindah kepada narasi Mrs. Dean karena keingintahuan Lockwood mengenai keadaan atau cerita Wuthering
Heights terlebih lagi kepada Catherine. Keingintahuan Lockwood ini timbul karena ketidaksengajaan Lockwood membaca diary Catherine yang ia temukan dalam kamar Catherine. Kalimat; “An immediate interest kindled within me for the unknown Catherine, and I began, forthwith, to decipher her faded hieroglyphics” (Ibid: 25) adalah kalimat yang memisahkan antara narasi Lockwood dan narasi Catherine dalam diarynya. Atau dengan kata lain, kalimat ini yang mengantar narasi Lockwood kepada narasi Catherine dalam diarynya. Awal penceritaan menggunakan ‘point of view’ Lockwood sebagai tamu Wuthering Heights. Namun, narrator berubah setelah Lockwood membaca buku harian Catherine. Posisi Catherine yang pada awalnya sebagai narrate juga dapat dikatakan sebagai narator dalam buku hariannya. Buku harian Catherine menarik keingintahuan Lockwood sebagai narrator. Keingintahuan inilah yang kemudian dijawab oleh Mrs. Nelly Dean. Keingintahuan ini merubah posisi narrator dari Lockwood kepada Mrs. Nelly Dean. Keingintahuan Lockwood terhadap Catherine ini pun mengungkapkan narasi Mrs. Nelly Dean yang omniscient dan membunuh narasi Lockwood yang limited. Seperti yang diungkapkan Lockwood ketika berada di Thrushcross Grange: “I desired Mrs. Dean, when she brought in supper, to sit down while I ate it, hoping sincerely she would prove a regular gossip, and either rouse me to
animation or lull me to sleep by her talk.” (Ibid: 37) menjelaskan bahwa narasi Mrs. Dean terkuak oleh Lockwood. Namun dalam narasi ini Mrs. Dean lah yang menjadi narrator. Pada awal penceritaan, narasi atau penceritaan dibawa oleh Lockwood. Narasi yang dibawa oleh Lockwood ini bukan melalui sudut pandang orang ketiga yang tahu segalanya melainkan narasi ini begitu terbatas karena menggunakan sudut pandang Lockwood. Narasi yang dibawa Lockwood ini seperti melihat satu sudut pandangan ke sudut yang lainnya atau dengan kata lain teknik narasi ini bergerak satu per satu karena narasi ini dibawa oleh orang luar keluarga Earnshaw atau orang yang baru pertama kali datang. Sedikit mengomentari teknik narasi ini, penulis beranggapan bahwa teknik narasi yang dibawa oleh Lockwood ini seperti tahu bahwa semua hal terbatas dalam hidup dan tidak ada yang omniscient dalam hidup ini. Dengan kata lain teknik dan sudut pandang penceritaan novel ini begitu terbatas atau bisa juga dibatasi oleh Mrs. Dean yang penulis asumsikan sebagai narrator kedua. Pendapat atau anggapan ini pun tetap bertahan karena narrator yang kedua dalam novel ini, Mrs. Nelly Dean adalah seorang pelayan perempuan setia keluarga Earnshaw. Narasi yang dibawa oleh Mrs. Dean ini tetap menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Mrs. Nelly Dean sendiri. Namun posisi Mrs. Dean sebagai pelayan dalam rumah itu memungkinkan dirinya untuk tahu lebih banyak sekalipun tentang
perasaan dan pikiran karakterkarakter dalam novel ini. Narasi Mrs. Nelly Dean yang omniscient ini pun terkuak karena narasi yang dibawa oleh Lockwood. Namun keseluruhan tetap saja terlihat begitu terbatas karena cerita Mrs. Dean hanya terkuak berdasarkan pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh Lockwood. Dua narrator ini lah yang akhirnya menceritakan dan menguasai penceritaan dalam novel Wuthering Heights. Selain dari pendapat Mitchell yang berpendapat tentang tulisan Emily Bronte yang berbahasa lelaki atau phallocentric: “…she is clearly working within the terms of a language which has been defined as phallocentric”. (Mitchell dalam Lodge, 1988: 429) novel ini juga sepintas menghadirkan beberapa kepentingan maskulin mengingat bahwa narrator pertama dalam narasi novel ini adalah laki-laki, Lockwood. Namun, penulis berasumsi, novel ini juga menjabarkan dan mengangkat tema tentang pengalaman serta perasaan perempuan atau lebih jelas lagi novel ini memiliki kekhasan akan tulisan perempuan itu sendiri (feminine writing). Namun ada baiknya sebelum penulis menjabarkan mengenai tulisan perempuan (feminine writing), penulis akan menjabarkan sedikit tentang tulisan lelaki itu sendiri. Penggambaran Hysteria Tulisan Perempuan Dalam Narasi Novel Wuthering Heights Penggambaran histeria dalam narasi ini terlihat dari beberapa hal.
Hal ini terlihat dari sifat tulisannya sendiri. Pada satu sisi, sifat tulisan dalam novel ini bergender laki-laki namun pada satu sisi lain sifat tulisan narasi ini bergender perempuan. Dari kedua hal ini, terlihat sifat tulisan narasi novel ini biseksual. Biseksual itu bisa berarti bergender antara lakilaki atau perempuan. Mengutip Heath dalam essaynya yang berjudul Difference, bahwa histeria adalah: “Unsure as to being woman or man…hers is a body in trouble with language…” (Heath dalam Wolfrey, 1999: 214) penulis mengungkap bahwa ungkapan diatas adalah termasuk dari pengertian biseksual, atau mengungkap satu hal juga bahwa histeria itu adalah sesuatu yang biseksual. Oleh karena itu sifat narasi atau tulisan yang bergender laki-laki atau perempuan disebut juga narasi yang biseksual. Penggambaran narasi biseksual diatas dapat juga berarti
bentuk penggambaran kehisterisan tulisan perempuan itu sendiri. Pada satu sisi narasi novel ini bersifat feminin dengan menampilkan pengalaman dan kekhasan tulisan perempuan. Namun di lain sisi, narasi novel ini menolak atau juga bersifat maskulin dengan menampilkan narasi yang memiliki keteraturan kata-kata dalam tiap susunan kalimatnya dan juga menghadirkan suara kepentingan-kepentingan dan kekhasan maskulin. Dibawah ini penulis akan membahas satu per satu hal-hal yang mendukung atau membuktikan bahwa penggambaran narasi dalam novel ini adalah penggambaran narasi yang biseksual. Hal-hal yang mendukung penggambaran histeria tulisan perempuan dalam narasi yang biseksual adalah seperti yang dijelaskan tabel dibawah ini:
Tabel 1. Penggambaran Narasi Biseksual Narasi Biseksual Tulisan bersifat maskulin Tulisan bersifat feminine a. Keteraturan kata-kata a. Menyajikan kepentingan suarab. Menyajikan kepentingan suara perempuan suara-suara maskulin b. Plot yang pecah (split) c. Epistolary writing Tabel ini menjelaskan bahwa hal-hal mendukung yang tertulis diatas terlihat dari: Pada awal penceritaan, dengan susunan kalimat yang teratur dan penggunaan katakata yang teratur penulis mengasumsikan ini sebagai tulisan
yang bergender laki-laki. Sedangkan pada sisi lain, dengan plot yang tidak tersusun dan penyajian tentang pengalaman emosi dan perasaan perempuan, penulis mengasumsikan narasi novel ini terlihat bergender feminin. Hal ini lebih jelasnya akan
penulis bahas pada sub-bab di bawah ini. Penggambaran Narasi Maskulin Keteraturan kata-kata pada narasi Lockwood terlihat penuturannya yang teratur karena penyampaian kata-kata Lockwood pun teratur. Penulis berasumsi bahwa untuk mengetahui tulisan perempuan terlebih dahulu harus mengetahui tulisan lelaki itu sendiri. Dalam essaynya Susan Gubar dan Sandra M. Gilbert yang berjudul A Madwoman in The Attic, terdapat asumsi bahwa tulisan itu bergender laki-laki atau terkenal dengan istilah ‘Pena itu adalah penis metaforis’. Akibat asumsi ini, setiap tulisan akhirnya dianggap sebagai hasil dari pengalaman dan kekhasan laki-laki serta berkenaan dengan seksualitas laki-laki. Metafora inilah yang akhirnya menimbulkan kegelisahan dalam diri perempuan atau penulispenulis perempuan karena penis envy yang dimiliki oleh perempuan mempertanyakan bagaimana seorang perempuan dapat menulis (Gezari). Metafora ini jugalah yang akhirnya mengkaji dan mendefinisikan bagaimana dan apakah tulisan lakilaki itu. Lanjut Gubar dan Gilbert juga mengatakan bahwa sebuah tulisan itu adalah kelanjutan dari tulisan lain, dan akan dilanjutkan dengan tulisan baru. Mereka juga menyebut ini dengan istilah ‘relation of sonship’, karena tulisan adalah anak dari bapak , dan akan menjadi bapak bagi tulisan yang lain (Ibid). Argument ini juga yang akhirnya
mendefinisikan bahwa tulisan itu bergender laki-laki. Ketidakbisaan perempuan untuk menjadi bapak menimbulkan pertanyaan kembali tentang kemampuan penulis perempuan dalam menggambarkan atau menuangkan teks itu sendiri atau dengan kata lain ketidakbisaan itu menyebabkan tidak ada tempat bagi perempuan untuk menulis. Penggambaran tulisan maskulin dalam novel ini terlihat dari: pertama novel ini menyajikan kepentingan-kepentingan atau suarasuara maskulin. Kedua novel ini memiliki keteraturan kata-kata dalam penyusunan tiap kalimatnya. Teknik penceritaan novel ini sepintas menghadirkan kepentingankepentingan atau suara-suara maskulin. Hal ini terlihat dari; pertama, narrator keseluruhan adalah Lockwood, seorang figur laki-laki yang bukan hanya ingin banyak tahu tapi juga dia lah yang menggerakkan narasi Mrs. Dean. Sedangkan Mrs. Dean hanyalah pelayan perempuan yang terbiasa dan diharuskan untuk menjadi pasif dengan tidak banyak bicara dan menjabarkan cerita apalagi cerita mengenai majikannya sendiri. Maka dari sini, terlihat bahwa sebenarnya narasi Lockwood lah yang memiliki kekuasaan akan narasi Mrs. Dean, karena narasi Mrs. Dean terkuak oleh narasi Lockwood. Kedua, hal ini terlihat dari absurditas yang ditampilkan oleh Heathcliff. Ketika awal penceritaan, Heathcliff menampilkan kekuasaan patriarki yang dimilikinya. Dia merasa lebih kuat dan berkuasa akan Young Catherine, Hareton dan juga seluruh
anggota seisi rumah. Tetapi, di lain sisi Heathcliff hanyalah seseorang yang lemah dan menderita karena tak kuasa untuk mendapatkan kekasih yang ia cintai, Catherine. Keberadaan Heathcliff sebagai pemilik Wuthering Heights sepeninggalan Catherine membuat dirinya berkuasa atas tanah Wuthering Heights berikut juga orang-orang yang berada dalam Wuthering Heights. Kekuasaan Heathcliff terlihat dari banyaknya orang yang patuh terhadap setiap perkataan yang diperintahkan olehnya. Kepatuhan ini juga dilakukan oleh Young Catherine, anak perempuan Catherine dengan Edgar Linton, dan juga Hareton, anak laki-laki Hindley. Bukti kuasa yang dimiliki oleh Heathcliff terlihat dari senyuman Heathcliff atas jawaban dari pertanyaan Lockwood yang menyangka Hareton sebagai anak laki-lakinya: ”And this young man is – ” “Not my son, assuredly!” Heathcliff smiled again, as if it were rather too bold a jest to attribute the paternity of that bear to him.” (Ibid: 19)
Senyum Heathcliff tersebut menyimbolkan kuasa yang ia miliki terhadap seluruh anggota Wuthering Heights. Kuasa ini pun terlihat ketika Heathcliff menjawab pertanyaan Lockwood perihal keberadaan Young Catherine: “The clown at my elbow, who is drinking his tea out of basin and eating his bread with unwashed hands, may be her husband.
Heathcliff, junior, of course. Here is the consequence of being buried alive: she has thrown herself away upon that boor, from sheer ignorance that better individuals existed! A sad pity – I must beware how I cause her to regret her choice.” (Ibid)
Perkataan Heathcliff yang seenaknya terhadap young Catherine dan Hareton adalah salah satu simbol kuasa yang ia miliki. Ungkapan diatas menghadirkan suara-suara atau kepentingan-kepentingan maskulin yang tersaji melalui penggambaran karakter Heathcliff. Penggambaran karakter Heathcliff yang arogan dan semena-mena terhadap Young Catherine pun merupakan salah satu bentuk kuasa yang ia tunjukkan atas kekuasaan yang ia miliki. Hal ini ditunjukkan oleh hinaan Heathcliff terhadap Catherine:”There you are, at your idle tricks again? The rest of them do earn their bread – you live on my charity! Put your trush away, and find something to do. You shall for me for the plague of having you eternally in my sight – do you hear damnable jade?” (Ibid: 35) Selain menampilkan suarasuara atau kepentingan-kepentingan maskulin, ciri dari bahasa laki-laki itu sendiri adalah teratur. Novel ini memiliki keteraturan kata-kata dalam penyusunan setiap kalimat didalamnya. Hal ini disebabkan karena narator utama dan pertama narasi cerita novel ini adalah Lockwood. Sehingga narasi yang tercipta pun sesuai dengan Lockwood itu sendiri. Pada awal penceritaan Lockwood memulai narasi dengan
perkataan:”I have just returned from a visit to my landlord.” (Ibid: 9) ungkapan narasi Lockwood tersebut mengesankan kewibawaan dan keteraturan bahasa. Hal ini ditambahkan pula oleh narasinya:”I do not believe that I could have fixed on a situation so completely removed from the stir of society. A perfect misantropist’s heaven.” (Ibid). Ungkapan tersebut terkesan memiliki tone kesehajaan lelaki dan tuturan yang teratur. Dua hal inilah – keteraturan kata-kata dan penyajian kepentingan-kepentingan dan suarasuara maskulin– yang menggambarkan tulisan yang bergender laki-laki dalam novel ini. Suara kepentingan maskulin lainnya juga dapat terlihat pada penjabaran kepentingan-kepentingan dan kekhasan laki-laki. Kebanggaan dan harga diri adalah salah satu kekhasan laki-laki. Hal ini terepresentasi dalam narasi novel Wuthering Heights. Hal ini terlihat ketika Heathcliff harus datang dalam jamuan natal yang dirayakan oleh keluarga Earnshaw. Heathcliff yang selalu kotor dan tidak pernah mandi, pada akhirnya mulai membersihkan dirinya dan berpakaian rapi. Namun tetap saja kesan yang didapat darinya tetap Heathcliff seperti sebelum ia mandi dan berpakaian. Hindley ketika melihat kedatangan Heathcliff, memintanya untuk bersalaman dengan Catherine. Tetapi, Heathcliff tidak mau melakukannya karena ia tidak akan mempertaruhkan harga dirinya. Heathcliff pun menjawab:” ’I shall not,’ replied the boy, finding his tounge at last; ’I shall not stand
to be laughed at. I shall not bear it!’” ( Ibid: 57). Hal ini menjelaskan bahwa suara kepentingan maskulin dalam narasi novel ini terepresentasikan dalam harga diri yang dipegang teguh oleh Heathcliff dan kebanggaan yang diperlihatkan oleh Hindley. Penggambaran Narasi Feminin Seperti yang dikemukakan oleh Mitchell diatas, bahwa tulisan Emily Bronte, penulis novel Wuthering Heights, berbahasa lakilaki, namun apakah Wuthering Heights itu sendiri benar benar berbahasa laki-laki dan menghadirkan kepentingankepentingan serta kekhasan maskulin? Atau sebaliknya, novel ini menyajikan tentang pengalaman dan kekhasan perempuan? Namun, dari seluruh penceritaan novel ini juga penulis asumsikan begitu feminin karena narasi novel ini menggambarkan dengan jelas pengalaman perasaan dan emosi perempuan. Seperti yang dikemukakan oleh Showalter bahwa teori feminine writing itu harus memiliki perbedaan. Perbedaan disini berarti tidak menyuarakan suara maskulin. Feminine writing bisa berarti tulisan tentang perasaan dan emosi mereka, karena teori tekstual dan linguistik dari feminine writing mempertanyakan “…whether men and women use language differently; whether sex differences in language use can be theorized in terms of biology, socialization, or culture; whether women can create new
languages of their own…” (Showalter dalam Lodge, 1988:339) Penggambaran tulisan feminin dalam novel terlihat dari adanya beberapa penyajian pengalaman emosi dan perasaan perempuan. Pertama, hal ini terbukti dengan pilihan yang Catherine lakukan adalah seperti pilihan perempuan kebanyakan. Pada akhirnya, mereka akan patuh dan tunduk walaupun pada hal-hal yang tidak mereka inginkan. Kedua, terlihat saat kejadian ketika Edgar hampir mengetahui kedatangan Heathcliff untuk menemui istrinya Catherine secara diam-diam. Dengan mengedipkan mata, Catherine mengatakan bahwa dia tidak bertemu dengan Heathcliff. Mengedipkan mata disini serupa dengan apa yang dilakukan oleh wanita kebanyakan. Kedipan mata menyimbolkan suatu tanda bahwa ia berkata jujur atau dengan kata lain ia ingin dipercaya bahwa ia jujur. Namun Edgar tidak begitu bodoh untuk tertipu oleh Catherine dan tanpa pikir panjang Catherine pun seolah mempunyai cara yang lain untuk meyakinkan Edgar. Catherine pun mulai”:...dropped down on her knees by a chair, and set to weeping in serious earnest” (Ibid: 74). Langkah ini adalah langkah yang juga sering dilakukan oleh perempuan kebanyakan. Catherine mencoba meyakinkan Edgar dengan tangisannya. Kejadian-kejadian diatas merupakan beberapa kejadian pengalaman yang mungkin hanya dialami oleh perempuan. Kedipan
mata atau menangis sudah menjadi stereotip perempuan sebagai makhluk yang bersifat lemah. Namun, pada akhirnya tulisan perempuan itu adalah tulisan pengalaman perasaan dan emosi mereka. Narasi yang menceritakan kejadian tangisan atau hal-hal lain mengenai pengalaman perempuan itu sendiri adalah narasi akan tulisan perempuan. Selain menyajikan pengalaman perasaan dan emosi perempuan, tulisan perempuan juga seperti yang dikemukakan oleh Cixous, harus “split open the closure of binary opposition and revel the pleasure of open-ended textuality” (Cixous). Split dalam novel ini terlihat dari plotnya yang terbagi-bagi atau tidak berurutan sesuai dengan kejadian yang terjadi. Hal ini bertolakbelakang dengan susunan kata-kata setiap kalimatnya yang berurutan. Plot yang tidak tersusun ini terlihat dari pelaporan yang dikemukakan oleh Mrs. Dean. Hal ini disebabkan oleh narasi novel yang berbentuk seperti jurnal pelaporan atau lebih jelasnya Genette menamakan narasi berbentuk seperti sebagai epistolary writing. Narasi Mrs. Dean terkuak tergantung pada pertanyaan yang dikemukakan oleh Lockwood sebagai narator utama dan pertama. Hal ini juga disebabkan oleh penggambaran keterbatasan ingatan Mrs. Dean. Sehingga terkadang Lockwood harus menguak narasi baru dari Mrs. Dean dengan mengajukan pertanyaan lain yang berbeda dengan kejadian sebelumnya. Hal ini ditunjukkan ketika narasi Mrs. Dean yang tertuju pada
penggambaran Heathcliff setelah dia menjadi pemilik dari Wuthering Heights dan perlakuannya terhadap young Catherine dan Hareton. Namun Narasi Mrs. Dean terhenti dengan alasan ia lupa akan kejadian setelah young Catherine masuk dalam anggota keluarga Wuthering Heights sepeninggalan suaminya Linton. Lalu Mrs. Dean mengarahkan kejadian yang jauh dari sebelumnya mengenai penggambaran Mr. Earnshaw. Hal lain yang menggambarkan kehisterisan tulisan perempuan yang terwakilkan dalam sebuah narasi biseksual dalam novel ini adalah susunan plotnya yang terpecah. Pecahan-pecahan plot dalam novel ini mengasumsikan sebagai salah satu tulisan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Cixous bahwa tulisan perempuan itu harus “split open the closure of binary opposition and revel the pleasure of open-ended textuality” (Cixous) Penggambaran Plot yang Terpecah Plot yang tersusun dalam novel Wuthering Heights merupakan plot yang terpecah. Hal ini dikarenakan bentuk narasi novel ini yang berbentuk seperti pelaporan. Oleh karena itu, plot dalam novel ini pun bergerak sesuai dengan kepentingan narrator menarasikan atau melaporkan narasinya. Selain itu, Wuthering Heights merupakan novel yang memiliki dua narrator yaitu Lockwood dan Mrs. Dean, dimana Lockwood menjadi jembatan naratee, narration, dan reader. Maka dari itu, narasi yang disampaikan oleh
Mrs. Dean pun sesuai dengan kebutuhan pertanyaan Lockwood atau bisa disebut juga bahwa narasi Mrs. Dean tergantung kepada Lockwood sebagai narrator pertama ataupun utama, karena narasi Mrs. Dean dikuasai oleh Lockwood sebagai narator. Hal inilah yang menyebabkan plot dalam novel ini terpecah. Plot yang terpecah berarti susunan plot yang tidak sesuai dengan kronologis kejadian yang terjadi. Atau dengan kata lain, kejadian atau peristiwa yang disampaikan oleh narasi atau berada dalam susunan narrative discourse berbeda dengan susunan kejadian yang sama yang berada dalam susunan story. Narration seperti ini dinamakan narrative anacharonies. Narrative anachronies itu sendiri adalah: “the various types of discordance between the two orderings of story and narrative” (Genette, 1980: 35-36). Menurut Genette pula dalam bukunya, Narrative Discourse bahwa untuk membahas narasi seperti ini diperlukan satu istilah yang dinamakan order. Sedangkan order yang tersusun sesuai dengan kronologis peristiwa disebut temporal order. Untuk memecahkan atau menyusun bentuk narasi anachronies sehingga menjadi temporal order adalah harus dibandingkan terlebih dahulu peristiwa yang terjadi dalam susunan discourse dengan peristiwa yang sama yang terjadi dalam susunan story. Oleh karena itu untuk membahas temporal order ini,
penulis membagi beberapa langkah: langkah pertama adalah memilih susunan peristiwa yang terjadi dalam susunan discourse. Kedua adalah memilih susunan peristiwa dalam susunan story. Langkah ketiga adalah membandingkan keduanya dengan melabelkan susunan alphabet pada susunan peristiwa dalam discourse dan menomori susunan peristiwa dalam story. Namun langkah-langkah ini adalah langkah yang sederhana untuk menyusun temporal order. Sebut saja langkah-langkah ini sebagai langkah awal. Langkah yang kedua itu dilakukan dengan menyesuaikan penomeran dalam susunan peristiwa dalam susunan story dengan story time. Plot yang terpecah dalam novel ini terlihat dari ketidaksinkronan peristiwa yang diceritakan oleh Mrs. Nelly Dean yang bergerak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan oleh Lockwood. Gaya penceritaan yang diceritakan oleh Mrs. Dean pun terlihat hanya pada hal-hal yang ia anggap penting dan perlu. Walaupun, Lockwood mengharapkan lebih banyak penjelasan mengenai narasi yang ia ceritakan. Jelasnya, Lockwood hanya melihat tiap detail dari setiap naratee pada ’point of view’ Mrs. Nelly Dean. Sebagai contoh ketika Lockwood ingin mendengar lebih banyak mengenai diri Heathcliff atau sejarah tentang keberadaan dirinya di Wuthering Heights, Mrs Dean dengan hanya berkata: ”But, Mr. Lockwood, I forget these tales cannot divert you. I’m
annoyed how I should dream of chattering on at such a rate; and your gruel cold, and you nodding for bed! I could have told Heathcliff’s history, all that you need hear, in half a dozen words.” (Bronte: 64). Jawaban Mrs. Dean menjelaskan rasa keberatan Mrs. Dean untuk menceritakan tentang sejarah Heathcliff karena Mrs. Dean memiliki alasannya tersendiri. Dengan sopan, Mrs. Dean mempersilahkan Lockwood untuk tidur. Namun Lockwood tak menginginkan cerita tersebut diakhiri. Akhirnya Mrs. Dean pun melanjutkan kisah mengenai Kelahiran Hareton yang menyebabkan ibu Hareton sendiri, istri Hindley, meninggal. Pilihan kata yang dipilih Mrs. Dean untuk menerangkan setiap detail narasi novel ini juga berhubungan dengan gaya penceritaan dalam novel ini. Hal ini juga berhubungan dengan tekhnik penceritaan novel ini, karena keterhubungan ini yang menyebabkan narasi novel ini terlihat biseksual. Penggambaran Bentuk Narasi yang Epistolaris Wuthering Heights karya Emily Bronte memiliki bentuk teknik narasi yang lebih unik dibandingkan dengan beberapa novelis pada jamannya. Pertama, teknik narasi novel ini, seperti yang telah dikemukakan oleh Genette, berbentuk seperti jurnal atau bisa juga dikatakan novel by letters. Melihat teknik narasi novel ini penulis teringat akan istilah Epistolary Writing. Epistolary
writing adalah tulisan yang berbentuk dan terbentuk dari penulisan surat atau surat menyurat dan bisa juga berbentuk seperti penulisan diary. Epistolary writing mulai terkenal pada abad delapan belas dan biasanya tulisan berbentuk seperti ini digunakan oleh perempuan karena selain bertulis surat dan diary adalah kebiasaan perempuan, hal ini juga merupakan salah satu sarana mereka untuk berbicara dan mengungkapkan pendapatnya. Dan mulai dari abad inilah para penulis perempuan mulai dikenal. Penggambaran bentuk narasi yang epistolaris ini, seperti yang diungkapkan Genette, bahwa narasi yang epistolaris adalah: “much like a ‘live’ running commentary –a common practice with correspondence and private diary, and therefore with the ‘novel by letters’ or the narrative in the form of a journal” (Genette, 1980: 217) Dengan pendapat diatas, bentuk narasi yang epistolaris dalam novel ini terlihat dari pelaporan yang disampaikan atau dilaporkan oleh Mrs. Dean kepada Lockwood. Seperti yang telah diungkapkan oleh Genette bahwa narasi yang berbentuk seperti jurnal atau berbentuk seperti penulisan diary disebut epistolary writing. Sedangkan novel yang berbentuk atau bernarasikan seperti jurnal atau penulisan diary disebut epistolary novel. Wuthering Heights bisa juga dikatakan sebagai epistolary novel atau narasinya berbentuk epistolary writing. Dalam novel ini, banyak sekali narasi yang didukung oleh penulisan surat atau buku harian.
Selain dari narasi yang disampaikan Mrs. Dean berbentuk epistolaris, novel ini pun memiliki narasi lain yang juga berbentuk epistolaris tetapi tidak sampaikan oleh Mrs. Dean. Walaupun narasi yang disampaikannya juga tidak terlepas dari narasi Lockwood. Narasi yang berbentuk epitolaris yang pertama adalah narasi buku harian Catherine. Narasi yang berbentuk epistolaris kedua adalah narasi surat Isabella kepada Edgar dan Mrs. Dean. Penggambaran narasi seperti ini dengan pengertian histeria yang diungkapkan diatas dan juga pengertian histeria menurut Mitchell: “Hysteria is the woman’s simultaneous acceptance and refusal of the organization of sexuality under patriarchal capitalism. It is simultaneously what a woman can do both to be feminine and to refuse femininity, within patriarchal discourse.”(Ibid: 427) mengungkap satu kesimpulan bahwa narasi dalam novel ini adalah histeris. Terlepas dari bentuk narasinya yang epistolaris, karena penulis asumsikan bahwa bentuk narasi seperti ini adalah kekhasan akan tulisan perempuan –seperti yang dikatakan Woolf bahwa perempuan untuk menulis harus bersembunyi dan tulisan yang mungkin untuk mereka adalah surat. (Dalam Adams, 1992: 820). Narasi novel ini terlihat antara bergender laki-laki atau perempuan (biseksual), dan bisexual itu sendiri adalah sebagai salah satu bentuk kehisterisan tulisan perempuan. Atau
dengan kata lain narasi dalam novel ini pun terlihat histeris. Kehisterisannya juga didukung oleh penggambaran narasi dalam novel ini. Penjelasan akan kehisterisan narasi dalam novel ini terlihat dari susunan kata yang menampilkan sisi pilihan atau suara-suara maskulin namun pada lain sisi narasi novel ini pun terasa begitu feminin karena menampilkan pengalamanpengalaman perempuan. Narasi novel ini pun terlihat seperti menolak sisi femininnya dengan susunan kata yang terlihat maskulin namun dilain sisi lain narasi ini pun menerimanya dengan menjabarkan tentang pengalaman perasaan dan emosi perempuan. Pada awal narasi yang dibawa oleh Lockwood, narasi novel ini menjabarkan keteraturan kata-kata dan kesehajaan seorang Lockwood. Keteraturan kata-kata ini pun berkesinambungan pada setiap detail penceritaan yang dibawa oleh Lockwood. Narasi ini menggambarkan suara-suara maskulin dan kekhasan laki-laki. Kekhasan laki-laki yang lain yang tergambar dalam narasi novel ini terlihat dari karakter Heathcliff yang atau penulisan diary. Maka dari itu novel ini terlihat seperti novel yang memiliki narasi yang juga menggambarkan kekhasan perempuan, karena bertulis diary merupakan salah satu kekhasan perempuan. Selain itu, plot dalam narasi novel ini pun adalah plot yang terbagi-bagi atau tidak berurutan secara kronologis peristiwa yang sesuai. Atau dengan kata lain, plot
digambarkan begitu memiliki power akan seluruh anggota Wuthering Heights. Namun hal ini terbantahkan oleh narasi-narasi yang menggambarkan pengalaman perasaan dan emosi perempuan yang tergambar melalui karakter Catherine. Dua pola narasi ini menegaskan bahwa narasi dalam novel ini memiliki dua kelamin atau biseksual. Narasi dalam novel ini menghadirkan kepentingankepentingan atau suara-suara maskulin tetapi juga menampilkan pengalaman-pengalaman perempuan. Pada satu sisi, narasi ini menjabarkan mengenai suara kepentingankepentingan maskulin dengan kata lain novel ini tetap bergender maskulin. Hal ini juga dijabarkan dan dibuktikan dengan susunan setiap kata-kata dalam kalimatnya. Tetapi dalam novel ini terdapat sifat narasi lain yang menjabarkan pengalaman perasaan dan emosi perempuan. Sehingga novel ini terlihat bergender feminin. Hal ini dikuatkan pula oleh bentuk narasi novel berbentuk epistolary. Epistolary itu sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Genette, adalah narasi yang berbentuk seperti jurnal pelaporan dalam narasi novel ini split. Sedangkan split itu sendiri, merujuk pada pendapat Cixous, adalah salah satu kekhasan dari tulisan perempuan. KESIMPULAN Seperti yang dikemukakan ole Heath bahwa histeria itu adalah: unsure as to being woman or man…hers is a body in trouble with
language…” (Ibid) dan juga pendapat dari Mitchell diatas: It is simultaneously what a woman can do both to be feminine and to refuse femininity, within patriarchal discourse.”(Ibid) mengungkap satu kesimpulan bahwa histeria itu adalah keterjebakan antara menjadi perempuan atau laki-laki, atau juga bersifat feminin namun juga menolak keperempuanannya itu sendiri pada saat bersamaan. Oleh karena itu, histeria tulisan perempuan itu dapat terlihat dari narasi yang biseksual. Penggambaran narasi biseksual diatas dapat juga berarti penggambaran histeria tulisan perempuan dalam narasi yang mereka tuliskan. Wuthering Height karya Emily Bronte merepresentasikan narasi biseksual tersebut. Hal ini terlihat pada satu sisi narasi novel ini yang bersifat feminin dengan menampilkan pengalaman dan kekhasan tulisan perempuan. Namun di lain sisi, narasi novel ini menolak Reader. Ed. David Lodge. 4. London: Longman Press Sandra M Gilbert and Susan Gubar. 2009. Madwoman in The Attic. Columbia, USA: University of Missouri Press
atau juga bersifat maskulin dengan menampilkan narasi yang memiliki keteraturan kata-kata dalam tiap susunan kalimatnya dan juga menghadirkan suara kepentingankepentingan dan kekhasan maskulin. DAFTAR PUSTAKA Bronte, Emily. 1858. Wuthering Heights. New York: Harper and Brothers Publishers Davis
Con, Robert. 1989.Contemporary Literary Criticism. Ed. Robert and Schleifer, Ronald Davis Con. 2. London: Longman Press
Genette, Gerard. 1983. Narrative Discourse, As Essay in Method. Trans. E, Jane Lewis. New York: Cornell University Press Lodge,
David. 1988. Modern Criticism and Theory: a
Simone, de Beauvoir. 1998.Second Sex. New York: Manchester University Press