IDEOLOGI DAN POPULAR CULTURE Oleh Endang S. Priyatna Dosen Program Studi Sastra Inggris Fakultas Komunikasi, Sastra dan Bahasa Universitas Islam “45” Bekasi Abstract During New Order Regime (Orba) in Indonesia, Pancasila was conceptualized and internalized as the state and national ideology. However, the regime turned it into a state control ideology, legitimizing repressive act conducted by the state. Nowadays, in the period of post new order regime, the calls to return to the reconceptualization and reinternalization of Pancasila seem to be very immanent. At least, that is what can be inferred and interpreted from the speech given by four national leaders during the commemoration of the birth of Pancasila in 1 June 2011. This essay tries to analyze how the ideas of reconceptualization of Pancasila as state ideology are conferred in the speech. By relating the speech to certain discursive formations surrounding Pancasila and recent cultural phenomenon and practices in Indonesian public sphere, the essay tries to contest the validity of such conceptualizations. The result shows that Pancasila as state ideology seems to be irrelevant and obscured in the cultural practices and activities of the public. It shows that Pancasila resides at the heart of the political elites, but not inside the everyday life. Keywords: Ideology, everyday life, new media,
PENDAHULUAN Satu Juni adalah tanggal yang sarat dengan pemaknaan terhadap nasionalisme, jati diri bangsa, patriotisme, dan nilai-nilai abstrak lainnya yang berhubungan dengan konteks berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang bagi saya terlalu sulit untuk dicerna dalam suatu kehidupan keseharian; meminjam istilah Lefebvre dalam 'the Everyday Life'. Kesan yang 'unfamiliar' dapat ditangkap dari pidato Presiden SBY, Megawati,
Habibie, dan Taufik Kemas ketika mereka memberikan pandangan mengenai pentingnya keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Berangkat dari kesan unfamiliar tersebut, muncul satu pertanyaan sederhana dibenak saya: bagaimana konsep yang unfamiliar ini dicerna dan diterjemahkan ke dalam bentuk visual? Pertanyaan sederhana ini akhirnya mengarahkan untuk menemukan dua bentuk terjemahan visual berikut ini:
Gambar 2:
Gambar 1 Sumber: http://jakar ta45.wordp ress.com
Secara sekilas, bendera Merah Putih merupakan benang merah dari kedua gambar tersebut. Namun, bila dilakukan suatu pembacaan yang lebih ‘mendalam’, konstruksi ideologis yang membingkai keduanya mungkin bisa diuraikan lebih jauh. Mengacu pada konteks inilah, pertanyaan-pertanyaan yang agak lebih kompleks dikemukakan: bagaimana konsep-konsep pancasila dan kebangsaan dinarasikan dari sudut pandang, mengutip Bourdieu, official point of view. Konstruksikonstruksi ideologis seperti apa yang muncul ketika konsep ini diterjemahkan dan divisualisasikan? Dan apakah niai-nilai yang dikonstruksikan pada Pancasila sebagai identitas bangsa yang utuh dan statis masih relevan dalam konteks kekinian ketika batasan antara bangsa sudah sebegitu porous-nya? Konteks konteks inilah yang akan dikupas.
Happy Independence's Day Sumber: http://www.flickr .com/photos/mid nightangel
PEMBAHASAN Pancasila dalam Tiga Pemaknaan Sebelum menganalisis terhadap pemakanan terhadap pancasila, di bawah ini adalah kutipan dari pernyataan keempat tokoh tersebut: Taufik Kemas: "Kebangkitan Nasional merupakan bagian dari sejarah membentuk negara sehingga negara ini merdeka. Tidaklah berlebihan pada tanggal 1 Juni juga diperingati seperti halnya Hari Kebangkitan Nasional,…..Sehubungan dengan hal itu, maka wajarlah kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional serta Hari Peringatan Pidato Bung Karno." Habibie: "Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki
era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit," Megawati: "Sebagai salah satu bukti bahwa Pancasila mampu tetap menjadi perekat bangsa yaitu sewaktu pergantian kekuasaan pada periode 1998-2004 telah terjadi empat kali pergantian kepemimpinan nasional tetapi bangsa Indonesia masih bersatu, sama halnya dengan apa yang terjadi pada masa krisis yang lalu, Pancasila selalu hadir sebagai solusi kebangsaan," SBY: "Bangsa Indonesia mesti teguh dan tegas terhadap pentingnya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Marilah saudara-saudara, kita semakin bersatu melangkah bersama dan bekerja lebih keras untuk membangun negeri ini ke arah masa depan yang lebih baik berdasarkan Pancasila," Bila menganalisis pandangan yang disampaikan oleh keempat tokoh politik pada saat peringatan hari kelahiran Pancasila (“Presiden hadiri peringatan pidato Bung Karno, 1 Juni 1945”, http://www.presidenri.go.id/index.ph p/fokus/2011/06/01/6862.html),terlih at ada tiga pemaknaan Pancasila sebagai suatu ideologi bangsa. Pertama Pancasila dikaitkan dengan konsep pembentukan bangsa dan identitas bangsa, meminjam istilah Anderson, bagian konsepsi dari the imagined community; konsep yang dimplikasikan dalam pernyataan Taufik Kemas sebagai "bagian dari sejarah membentuk negara", Habibie
sebagai "Jati diri bangsa", dan Megawati sebagai "alat pemersatu bangsa" . Kedua, Pancasila dikaitkan dengan ketokohan Soekarno yang dianggap sebagai representasi dari Pancasila, dalam konteks ini bisa dilihat sebagai suatu 'official nomination' (Bourdieu); seperti yang diatribusikan oleh SBY, Taufik Kemas, dan Megawati. Ketiga, Pancasila dikaitkan dengan konteks permasalahan global-lokal (globalisasi), dalam hal ini Pancasila diposisikan sebagai alat yang resistensi terhadap ancaman dari luar, dalam analogi Appadurai: pertarungan antara "imagined community" vs "imagined worlds"; seperti yang dimplikasikan oleh SBY, Habibie, dan Megawati. Dalam konteks pemaknaan tersebut, Pancasila didefinisikan sebagai suatu ideologi yang " 'expresses a will, a hope or a nostalgia, rather than describing a reality'; it is fundamentally a matter of fearing and denouncing, reverencing and reviling, all of which then sometimes gets coded into a discourse which looks as though it is describing the way things actually are" (Eagleton 19). Berangkat dari pernyataan ini, ketiga pemaknaan Pancasila terlihat lebih pada adanya ketakutan akan hilangnya konsepsi bangsa-negara di tengah kehidupan 'berbangsa dan bernegara' dalam konteks kekinian, atau dalam konteks konstelasi dunia global, melalui penciptaan dan pengingatan akan adanya suatu 'memori kolektif', realitas, dan identitas yang sama: di masa lalu,
sekarang, dan masa depan; sosok pahlawan sentral dalam pemersatuaan bangsa; serta musuh dan ancaman yang sama. Eagleton menyebutkan bahwa suatu ideologi akan berjalan efektif apabila ideologi tersebut ".... make at least some minimal sense of people's experience, must conform to some degree with what they know of social reality from their practical interaction with it" (14). Namun demikian, pertanyaannya adalah apakah realitas sosial yang dialami oleh 'the people' akan sama dengan realitas sosial yang dipersepsikan oleh 'the founding fathers' ataupun oleh para pemimpin yang berkumpul di peringatan hari kebangkitan nasional tanggal 1 Juli kemarin? Sementara itu sebagai dampak dari global cultural transaction (dalam pernyataan ke empat tokoh politik di atas; konteks globalisasi), batasan-batasan bangsanegara (mengadaptasi sudut pandang Appadurai)menjadi semakin porous; landscapes yang menjadi pijakan konsep bangsa-negara menjadi semakin cair (fluid). Sehingga kemungkinan terciptanya alterasi dan variasi persepsi terhadap realitas sosial serta pemaknaan terhadap konsep bangsa-negara akan semakin multivocal dan multiprespectives. Dalam konteks ini, terilihat adanya perbedaan realitas antara konsep realitas yang mengacu pada konsepsi “Normal Life” dan “Everyday Life” Lefebvre. ‘Normal Life’ dan ‘Everyday Life’ : Rational dan Irrational Dalam pidato kenegaraannya, pada hari dan tempat yang sama,
SBY mengemuakakan bahwa sekitar 79,26% responden dari survei yang dilakukan oleh BPS menunjukan kesetiaannya untuk mempertahankan Pancasila (Situs Presiden RI). Menurut survei tersebut alasan mengapa respondent memilih untuk tetap mempertahankan Pancasila adalah karena “permasalahan bangsa, seperti tawuran, konflik antar kelompok masyarkat dan antar umat beragama terjadi karena kurangnya pemahaman nilai-nilai Pancasila” (“Tawuran dan Konflik sosial”, presidenri.go.id). Konstruksi ideologis yang bisa dilihat dari pernyataan di atas adalah adanya suatu sudut pandang rasional dalam menafsirkan suatu realitas sosial. Berangkat dari sudut pandang rasional ini, kompleksitas yang terjadi dalam suatu realitas sosial diabstraksikan dan disederhanakan dengan menggunakan ‘bahasa’ rasional; angka dan presentasi, untuk mengkonstruksi pemaknaan akan adanya suatu realitas sosial yang tak terbantahkan. Karena itu, dalam sudut pandang rasional ini, terjadinya suatu kekacauan (tawuran, konflik) dimaknai sebagai akibat dari tidak adanya suatu rasionalitas di masyarakat (nilai-nilai Pancasila). Dengan mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan lain yang menjadi penyebab dan juga solusi terhadap permasalahan yang terjadi dalam realitas sosial, Pancasila ditempatkan sebagai satu-satunya solusi rasional yang bisa membebaskan masyarakat dari permasalahan tersebut dengan
menciptakan suatu versi kehidupan dan realitas sosial yang normal (normal life); versi kehidupan dan realitas yang vacuum dan steril dari pengaruh konfigurasi pemaknaan lain. Dengan posisi Pancasila sebagai pusat dari tatanan kehidupan ini, terlihat bahwa versi kehidupan dan realitas sosial yang dimunculkan ini merupakan, mengutip Lefebvre, “one of ideological distortion, of absorption into the language of domination, of the internalization of the false prescriptions and ideals of the hegemonic institutions” (qtd.in Poster 744). Kehidupan yang normal ini, seolah dikonstruksikan sebagai oposisi dari kehidupan dan realitas sosial yang terjadi dan dialami oleh masyarakat (Dalam konteks Eagleton: people’s experience dan practical interaction ); dari suatu kehidupan dan realitas keseharian yang dialami oleh masyarakat itu sendiri (everyday life). Seolah berbicara berdasarkan realitas yang ada, SBY mendistorsikan, mengarahkan, dan memberikan penilaian akan pengalaman-pengalaman dan realitas yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Terlihat bahwa konteks dan realitas sosial yang dipaparkan SBY ataupun para tokoh politik lainnya merepresentasikan suatu “official point of view” (bourdieu) dalam menciptakan dan "....impos[ing] legitimate vision of the world" (Bourdieu 20), sehingga versi kehidupan dan realitas yang dipersepsikan dari sudut pandang ini adalah versi kehidupan yang jauh dari realitas sosial yang dialami oleh
masyarakat, suatu persepsi ideologis dalam melihat suatu realitas sosial. Karena itu ketakutan, harapan, dan impian yang dimplikasikan oleh para tokoh politik dalam peringatan hari kebangkitan nasional tersebut terlihat lebih pada penyuaraan kepentingan dan perspektif politik belaka yang jauh dari realitas yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, terlihatlah letak bermasalahnya konsepsi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Ideologi ini seolah diposisikan sebagai suatu authorised version terhadap suatu realitas sosial yang dynamic dan porous terhadap konstruksi dan konfigurasi lain selain dari kepentingan negara. Realitas dan kehidupan sosial seolah harus selalu dibingkai dalam suatu versi kerangka imaginasi yang sama; alterasi dan appropriasi bentuk dan pemaknaan lain terhadap versi ini seolah dimaknai sebagai suatu hal yang menyimpang dari kerangka besar narasi ataupun imaginasi bangsa. Dua Bentuk Visualisasi Konsep Bangsa, Nasionalisme, dan Ideologi Visualisasi konteks dan konsep yang saya sebutkan di bagian sebelumnya bisa terlihat dari kedua gambar yang saya tampilkan. Bila dikaitkan dengan konsepsi pancasila yang saya intepretasikan dari pernyataan (narasi) tokoh-tokoh politik dalam peringatan hari kelahiran Pancasila, kedua gambar yang ditampilkan terlihat merupakan bentuk appropriasi dan konstruksi pemaknaan (visualisasi) dari konsepsi tersebut.
Soekarno the Ubermensch Gambar dibawah ini adalah gambar yang diambil dari situs http://jakarta45.wordpress.com.
Dalam situs ini, identitas online dan offline pemilik situs diberikan secara detil, dan data mengarahkan pada Pandji R. Hartono.
Foto profil sumber : http://www.faceboo k.com/people/Pandji -RHadinoto/12327689 93
Dengan mengenakan jas partai politik PKPI, konstruksi penanda identitas, mengutip istilah Mark Poster, ‘virtualization (Konsep-konsep virtualitas dan online identitas bisa dilihat dalam CyberDemocracy : Internet and the Public Sphere) terhadap pemilik situs ini seolah diarahkan pada pemaknaan akan adanya afiliasi politik pemiliknya ataupun mengarah pada penyusunan konstruksi pemaknaan nasionalisme. Memperhatikan konten artikel di dalam situs ini, informasi yang ditulis dan disampaikan berputar sekitar isuisu mengenai nasionalisme dan kebangsaan tertentu, dan konsep mengenai Pancasila merupakan salah satu isu yang sering diangkat. Dari gambar yang saya ambil dari situs ini (gbr.1) konsep-konsep mengenai kebangsaan dan Pancasila direpresentasikan dan dinominasikan pada sentralitas Soekarno dalam konsep pembentukan bangsa. Diposisikan di tengah kerumunan dan
lambaian tangan-tangan (seperti posisi tangan penari kecak, atau kerumunan orang yang mengeluelukan seorang pahlawan/artis), berlatar bendera Merah Putih dan Burung Garuda Pancasila, pemaknaan Soekarno sebagai tokoh sentral dari kelahiran Pancasila dan bangsa Indonesia terkesan begitu diperkuat. Kesan acuan pada masa lalu terlihat dikonstruksi dengan appropiasi foto Soekarno ketika berorasi di depan publik. Acuan dan appropiasi ini terlihat megkonstruksi pemaknaan akan heroisme Soekarno dalam pembentukan bangsa Indonesia, atau bisa juga diarahka pada pemaknaan identitas Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan; kesan Soekarno sebagai liberator bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan kolonialisme bisa terlihat disini. Diperkuat dengan penulisan teks kapital “KEMBALI KEPADA JATI DIRI BANGSA PANCASILA 1 JUNI 1945”,
sentralisme dan pentingnya Soekarno bagi bangsa Indonesia semakin tegas. Secara keseluruhan, gbr 1 ini mengkonstruksi pemaknaan bahwa 1)identitas kebangsaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari bendera Merah Putih, Pancasila, dan perwujudannya dalam bentuk manusia super dan superhero; Soekarno, dan 2) Jati diri dan tokoh superhero inilah yang menyatukan dan melahirkan bangsa Indonesia. Melalui sentralitas ini, terlihat adanya suatu konstruksi dan rekonstruksi pada pengingatan akan suatu memori kolektif yang mengacu pada konteks kejadian, tokoh, maupun semangat yang sama. Dalam hal ini, nasionalisme maupun konsep kebangsaan seolah diarahkan pada ‘kembali’ lagi pada masa dulu; nasionalisme dibangun pada masa lalu, pada masa ketika bangsa ini didirikan. Dan konteks pemakaan terhadap identitaspun diarahkan pada bentuk identitas yang statis dan esesensialist, yang mengacu pada
suatu bentukan dan konfigurasi identitas yang utuh, terperangkap dalam konteks masa lalu. Selanjutnya, bila dari gambar ini ditarik kostruksi ideologi maupun mythology yang melatarinya bisa dilihat adanya nya proyeksi nasionalisme, patriotisme, ataupun ide-ide revolusi dan pembebasan. Bila dikaitkan dengan tiga pemaknaan Pancasila dalam narasi tokoh-tokoh politik dalam peringatan kelahiran Pancasila, visualisasi ini menunjukan kesamaan perspektif: 1)mengacu pada konsep nation building (dengan merekonstruksi kesan waktu masa revolusi), 2) pengacuan pada sentralitas Soekarno (Hero), dan 3) resistensi (revolusi kemerdekaan). Akan tetapi bila diperhatikan lebih dekat lagi, pada elemen pesusun gambar, ataupun pada appropriasi gambar terlihat ada elemen yang bisa memberikan pemaknaan yang bertolak belakang dari konstruksi makna sebelumnya.
Gambar 3 Hitler in the Reichstag
Gambar 1
Sumber: http://ww2hist ory.com/blog/c ategory/ww2relevance/
Sumber: http://jaka rta45.word press.com
Gambar 4 Hurrah, Hurrah for the Great Japanese Empire! Picture of the Assault on Songhwan, a Great Victory for Our Troops Sumber: http://ocw.mit.edu/an s7870/21f/21f.027/thr owing_off_asia_02/toa _essay01.html
Bila memperhatikan dua gambar yang lain, gbr. 1 terlihat mengappropriasi elemen-elemen yang juga terdapat pada gbr 3 dan 4. Latar bendera yang tersamar di gbr. 1, terlihat merupakan bendera yang sering juga dipergunakan oleh kekaisaran Jepang selama perang dunia ke II (Seperti yang terlihat pada gbr 4). Mungkin, maksud dari gbr.1 adalah untuk ‘meminjam’ dan memperkuat konstruksi kesan cahaya, pembebasan, atau kejayaan yang diacukan pada bangsa Indonesia dan Soekarno. Akan tetapi, dan disini letak kontradiksinya, bendera tersebut merupakan penanda khas identitas kebangsaan Jepang. Di satu sisi, gambar dan pemaknaan terhadapnya diarahkan pada adanya jati diri, dan identitas khas bangsa Indonesia, namun di sisi lain logika
ini terdekonstruksi dengan dimasukannya penanda identitas bangsa lain. Terlebih lagi, apabila gambar tersebut diarahkan untuk mengkonstruksi waktu dan semangat revolusi kemerdekaan, penggunaan bendera kekaisaran Jepang ini tentunya akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda; karena pada konteks waktu tersebut bendera Jepang merupakan simbol imperialisme nya kekaisaran Jepang, seperti ditunjukan pada gbr 4 (Hurrah for the Great Japanese Empire!); dan dalam konteks ini Indonesia merupakan bagian dari penguasaan imperialisme Jepang. Sehingga pemaknaan waktu dan semangat revolusi melawan penjajahan terdekonstruksi oleh pemaknaan waktu dan semangat
imperialisme. Dari sini bisa terlihat bahwa acuan pada adanya jati diri yang khas akan menemukan kesulitan pengacuannya. Essensialisme akan berbenturan dengan keterkonstruksian dan fluiditas identitas. Kemudian, bila dikaitkan dengan gbr 3, sentralitas Soekarno, kerumunan, lambaian tangan, posisi bendera dan burung garuda, ‘mengingatkan’ akan situasi dan latar Hitler dengan Nazi Jerman. Bila dikaitkan dengan konteks ini tentunya pemaknaan dan sentralitas Soekarno menunjukan kesamaan dengan konstruksi pemaknaan terhadap Hitler. Pemaknaan tentang Soekarno, jati diri bangsa, dan konsep nasionalisme tentunya akan menunjukan kontradiksi yang sangat bertolak belakang, bentuk ekstrim dari pemaknaannya sebagai: fasist, chauvinist. Bila konteks-konteks ini dikaitkan secara keseluruhan, bisa terlihat persamaan ideologi yang mengkonstruksinya. Ketiga gambar tersebut menghadirkan konsep nasionalisme dan patriotisme yang berhubungan dengan pemaknaan
terhadap jati diri bangsa. Chauvinisme dan Fasisme yang diusung oleh Nazi Jerman dan Jepang pada perang dunia ke II dalam konteks ini tidak bisa dilepaskan dari pemaknaan tentang konsepsi identitas, konsep melihat diri yang superior dan lebih dari lian. Nah, apakah konsep jati diri seperti inikah yang berusaha dikonstruksikan dan diproyeksikan ke dalam pemaknaan bangsa dan negara melalui pemaknaan identitas yang utuh dan statis di tengah landscapes konstelasi dan konsepsi bangsa dan negara yang porous? Indigenized Superheroes, Globalized Concept Gbr. 2 saya ambil dari situs jejaring sosial Flickr dari akun online Girl Enchanted. Berbeda dengan situs sebelumnya, pemilik akun Girl Enchnated tidak memberikan acuanacun yang mengarahkan pada identitas offline nya. Dan foto profil yang dimunculkannya pun hanya berupa avatar, seakan mengkonstruksi ketidak beradaannya identitas yang utuh dan pasti.
Sumber: http://www.flickr.com/photos/m idnightangel/sets/721576000263 05282/
Berbeda juga dengan gambar nomor satu yang berusaha mengasosiasikan konsep nasionalisme dan kebangsaan pada sentralitas karakter Soekarano, pada gambar nomor dua ini konsep nasionalisme dan penandaan identitas nasional diacukan pada adanya bendera merah putih dan judul gambar ini: “Happy Independence's Day”. Konsep kepahlawanan dan patriotisme pun diacukan dan diterjemahkan menjadi karakterkarakter komik, manga, dan anime yang berjajar membentuk kerumunan. Konteks pemaknaan yang terbaca dari gambar ini adalah adanya penafsiran bahwa konsep nasionalisme dan patriotisme hanyalah konsep penanada yang abstrak yang bisa diacukan pada siapa saja. Konteks acuan rasionalitas dan sentralitas yang berusaha dimunculkan oleh gbr.1 didekonstruksikan menjadi pemaknaan yang seolah-olah irasional (dengan karakter fiksi) dan difference. Keutuhan identitas yang berusaha dikonstruksi oleh gbr.1 diacukan pada keanekaragaman Identitas bangsa. Bila dikaitkan dengan konteks waktu yang diacukan oleh gambar ini, terlihat bahwa pemaknaan akan moment terbentuknya konsep nation bukan berlangsung di masa lalu, sekarang, ataupun masa depan. Konsep konfigurasi kebangsaan, dengan mengacukan pada karakter fiksi, seolah memaknai bahwa pembentukan nation adalah konteks yang tak terbatas pada konteks waktu,
ahistoris, dan tak berwaktu. Konfigurasi nation merupakan suatu konfigurasi yang akan selalu menjadi (becoming); bisa terjadi kapan saja, dimana saja, dan tersusun oleh siapa saja. Dengan kata lain, konsep nation adalah konsep yang imaginer, bukan suatu konsep yang harus termaterialisasikan menjadi suatu bentuk rasionalitas yang satu, mengacu pada letak batas geografis tertentu; dengan kata lain tidak termaterialisasikan menjadi satu bentuk negara bangsa. Bila mengutip pendapat Appadurai, konsep nation yang dikonstruksi bukanlah konsep yang mengacu pada konfigurasi “imagined community” tetapi lebih pada konfigurasi “imagined worlds”. Berkebalikan dengan gbr.1 yang berusaha menawarakan pemaknaan akan identitas, nation,dan nilai-nilai yang seolah mengacu pada nilai-nilai lokalitas yang sebenarnya cukup sulit untu didefinisikan, gbr. 2 justru menawarkan, menerima, dan menerjemahkan konsep global. Walaupun dalam konteks ini karakter anime, komik, maupun kartun berasal dari latar budaya yang berbeda, namun semua keasingan ini bertransaksi dalam pemaknaan ‘lokalitas’ bendera merah putih; dengan kata lain satu-satunya pemaknaan akan nasionalisme yang khas hanyalah bendera merah putih, yang tentunya juga imaginer. Maka bila dikaitkan dengan pemaknaan Pancasila dan konsep nation yang dinarasikan dalam pernyataan para tokoh dan visualisasi gbr.1, pemaknaan pada visualisasi
gbr 2 menunjukan bentuk kebalikannya: 1)nation building dalam kerangka imagined community didekonstruksi menjadi konsep imagined worlds: “…constituted by the historically situated imaginations of persons and groups spread around the globe” (Appadurai 51), dengan memasukan karakter fiksi popular; 2) sentralitas tokok dan kepahlawanan yang diacukan pada sosok ubermnesch Soekarno didekonstruksi menjadi rangkaian karakter fiksi; 3) resistensi dan lokalitas didekonstruksi menjadi cultural transaction antara lokal dan global (karakter fiksi dan bendera merah putih). Dengan kata lain pemaknaan Pancasila dan nasionalisme didekonstruksi dan dihadirkan menjadi bentuk yang fiksi, yang tidak mengacu pada penandaan realitas; hyperreality. KESIMPULAN Berdasarkan analisis-analisis di atas, konsepsi Pancasila sebagai satu-satunya bingkai (ideologi) yang mengikat imaginasi kebangsaan dan DAFTAR`PUSTAKA Adams, Peter. Space, difference, everyday life: Reading Henri Lefebvre Edited by. Ed. Barthes, Roland. 1972. Mythologies. Translated. Annette Lavers. New York: The Noonday Press. Bourdie, Piere. 2009. “Social Space and Symbolical Power.” Sociological Theory. 7.1
kehidupan berbangsa akan berbenturan dengan realitas yang lebih besar dari imaginasi yang berusaha dikonstruksikannya. Hal ini disebabkan, imaginasi yang berusaha dimunculkan akan merupakan suatu bentuk yang unfamiliar; antara menjadi bentuk yang elitist (dalam konsepsi rasionalitas), surreal dan kontardiktif (gbr.1), ataupun hyperreal (gbr.2). Dan hal ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Pancasila sendiri yang sebenarnya tidak mengacu pada ‘people’s experience’ dan tak berhubungan dengan ‘practical interaction’, dengan kata lain sebgai ideologi yang tidak efektif dalam penciptaan suatu realitas sosial, suatu ideologi yang unfamiliar.
Kanishka Goonewardena et al. New York: Routledge, 2008. http://doi.wiley.com/10.1111/j. 1745-7939.2009.01167_6.x Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. London: Verso Hall, Stuart. “Cultural Identity and Diaspora.” Identity: Community, Culture, Difference. Ed. Jonathan Rutherford. London: Lawrence&Wishart Limited. 222-237.
Poster, Mark. “Everyday (Virtual) Life.” New Literary History 33.4 (2002): 743-760. 28 Nov. 2010
ossref/journals/new_literary_hi story/v033/33.4poster.html>.