RUANG KAJIAN
POLA HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH Oleh : Yayan Rudianto
Abstract The base of government implementation is the 1945 constitution of Indonesian Republic (UUD 45). The pattern of power relation built inter government institution is the constitutional power of synergity, included the relationship between the government institutions relating to the Procurement of Goods / Services, the government, president, The Government Institute for the Policy of Procurement good/service (LKPP), Logistic ministry (KemenPAN), National Planning Board (Bappenas), Financial Ministry (Kemenkeu), Domestic Affair Ministry (Kemendagri), Local Government, and others as regulated in President’s regulation (PerPres) Number 106 in 2010 about The Government Institute for the Policy of Procurement good/service (LKPP). There are two facts implicating the formation of power relation pattern in the procurement of good/services in the government. First, president’s regulation about the procurement good/service, and LKPP regulation, both are the products of president’s authority. Second, this regulation regulates K/L/D/I to obtain Good/Service that implicates on: 1). The relationship between President with K/L/D/I, 2). The relationship between President with /D/ province, and 3). The relationship between President with /D/ district/city. The result of analysis is the following recommendations: president’s regulation revision of LKPP, not developing LKPP institutional because the function is on ULP in each K/L/D/I, the integration duty and function of Law Deputy and Sanggah solution becomes the duty and function of the development and formulation for the procurement good/service policy with a new name: for instance: the Deputy of Law and the Government’s Service of Procurement of Good/service, forming Law Service Unit, and the Solution of LKPP Sanggah in Province. And, LKPP doesn’t form Law Service Unit, and the Solution of LKPP Sanggah, but does the increasing function in each ULP in the district/city. Keywords: President’s Authority, Synergistic, The Government Procurement of Good/Service
I.
PENDAHULUAN Menurut Undang-undang Dasar 1945, kedudukan dan kewenangan
Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia tinggi dan sangat luas. Tinggi karena ia adalah Kepala
Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, sangat luas karena kewenangannya melingkupi mulai dari kekuasaan eksekutif hingga yustisial. Fakta ini mengharuskan Presiden tunduk dan patuh pada konstitusi negara. Artinya tinggi kedudukan dan sangat luasnya kewenangan yang dimiliki Presiden tidak bisa serta-merta lepas kendali, karena batas-batas kewenangannya jelas telah diatur dalam konstitusi negara kita. Kemungkinan penyimpangan kekuasaan Presiden semakin kecil mengingat bentuk pemerintahan negara kita adalah republik. Secara asasi paham republik (republicanism) mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan (state institutions) dalam republik harus senantiasa mencerminkan penyelenggaraan oleh dan untuk kepentingan umum, Kepala Negara sebagai salah satu pemangku jabatan dalam pemerintahan republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan berdasarkan kehendak 1 umum (publik). Salah satu kekuasaan yang dimiliki Presiden adalah membuat undang-undang, peraturan presiden, keputusan presiden, instruksi presiden. Dalam hal membuat undang-undang Presiden melakukannya bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. 1
Proses pembuatan undangundang tersebut tidak selamanya berjalan mulus, karena latar belakang visi dan misi partai yang berbedabeda. Walaupun tidak sampai pada tahap stagnan, karena produk kebijakan dari kedua lembaga negara ini tetap ada, tetap saja semangat membangun sinergitas di antara keduanya harus ditempatkan sebagai prioritas dibandingkan membuka ruang perbedaan yang semakin lebar. Hal ini untuk menghindarkan pengkhianatan lembaga negara terhadap pilihan rakyat Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau membentuk pemerintahan yang berfaham republik. Kekuasaan Presiden yang relatif jauh dari campur tangan legislatif dalam proses perumusan kebijakan adalah dalam hal membuat peraturan presiden, keputusan presiden, instruksi presiden. Jenis kebijakan ini memang bersumber dari perundangundangan yang berlaku, Presiden hanya merincinya ke dalam peraturan yang lebih teknis. Untuk itu diperlukan sinkronisasi oleh Presiden terhadap isi kebijakan tersebut. Di sisi lain, terdapat pula kekuasaan mandiri yang dimiliki Presiden dalam membuat peraturan. Dalam kondisi sangat mendesak, karena kebijakan tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak, Presiden dapat membuat peraturan yang berhubungan dengan kepentingan (kehendak) umum tadi sepanjang tidak melanggar konstitusi negara. Misalnya, ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah sampai dengan tahun 2010 belum
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, cetakan kedua, 2003, halaman 3.
25 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
dalam bentuk undang-undang, tetapi dalam bentuk Peraturan Presiden. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai kekuasaan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan dan sinergitas di antara lembaga-lembaga negara/pemerintah dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
4.
II. A.
PENDEKATAN KONSEP Presiden sebagai Penyelenggara Pemerintahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan eksekutif, juga membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakkan hukum (grasi, amnesti, dan abolisi) dan sebagainya. Sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil. Untuk mencapai maksud tersebut, UUD 1945 menggunakan prinsip-prinsip : 1. Sistem eksekutif tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini penyelenggaraan dan kendali pemerintahan ada pada satu tangan, yaitu Presiden. 2. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan (cheif executive) di samping kepala negara (head of state). 3. Berdasarkan Perubahan Ketiga UUD 1945, Presiden tidak bertanggung jawab baik kepada
5.
DPR maupun MPR. Kedudukan ini akan lebih memperkuat kedudukan Presiden. Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (di samping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Bahkan dengan alasan kepentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang sederajat dengan undang-undang. Presiden dapat menolak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa suatu mekanisme balances. Untuk menunjukkan kehendak DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat adalah yang supreme mestinya menyediakan klausula untuk meniadakan penolakan Presiden. Meskipun demikian, selama UUD 1945 berlaku, baru satu kali Presiden menggunakan kewenangan menolak mengesahkan RUU yang telah disetujui DPR yaitu RUU tentang Penyiaran (1997). Presiden menolak mengesahkan dan meminta DPR membahas kembali RUU yang telah disetujui tersebut. Pada tahun 1960, DPR hasil Pemilihan Umum menolak menyetujui RAPBN yang diajukan Presiden yang kemudian menjadi
26 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
badan legislatif dalam membuat undang-undang. Di samping itu Presiden berwenang membuat peraturan perundang-undangan sendiri baik atas dasar kewenangan mandiri maupun yang didasarkan pada pelimpahan dari suatu undangundang. Kewenangan mandiri dalam membentuk peraturan perundang-undangan ada yang bersifat ”normal” atau ”biasa”, dan ada pula yang ”tidak normal” atau ”luar biasa”. Kekuasaan di bidang Perundang-undangan ini meliputi: a. Kekuasaan Membentuk Undang-undang. Dalam pembentukan undang-undang, ada empat bentuk keikutsertaan Presiden, yaitu : (1) Perancang, (2) Keikutsertaan dalam pembahasan di DPR, (3) Presiden dapat menolak (tidak) mengesahkan RUU yang sudah disahkan DPR, dan (4) Pengesahan dan pemuatan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. b. Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) hanya untuk melaksanakan undang-undang. Jadi, PP harus didasarkan pada undang-undang tertentu. PP ditetapkan berdasarkan perintah tegas undang-undang (delegasi) atau semata-mata
salah satu alasan Presiden membubarkan DPR dan membentuk DPRGR. Terdapat beberapa jenis kekuasaan Presiden, yaitu : 1. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan UUD 1945; sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan penyelengaraan pemerintahan yang bersifat khusus. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara, seperti : di bidang keamanan dan ketertiban, tata usaha pemerintahan, bidang pelayanan umum, bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum. Sementara yang dimaksud dengan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus adalah penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan secara konstitusional ada pada pribadi Presiden yang memiliki sifat prerogatif (di bidang pemerintahan), seperti : Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa. 2. Kekuasaan di bidang Perundangundangan; kekuasaan Presiden di bidang ini juga luas. Presiden turut berbagi kekuasaan dengan
27 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
berdasarkan pertimbangan Presiden untuk melaksanakan undang-undang. Dalam hal tidak ada perintah tegas dari undang-undang, Presiden bebas memilih bentuk peraturan lain seperti Keputusan Presiden (yang bersifat mengatur), kecuali apabila hal tersebut akan melanggar asas-asas umum peraturan perundangundangan yang baik atau pembatasan teknis lainnya, misalnya larangan pemuatan sanksi pidana. Pembuatan undang-undang yang baik termasuk mengurangi sesedikit mungkin peraturan delegasi baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun peraturan lainnya. Karena itu dalam pembuatan undang-undang seyogianya segala sesuatu yang mungkin dimasukkan dalam undangundang tidak perlu didelegasikan. Beberapa kelemahan peraturan delegasi adalah : 1) Materi muatan PP yang merupakan pelaksanaan undang-undang luput dari pengawasan DPR (karena ditetapkan sendiri oleh Presiden). Dalam praktek tidak tertutup kemungkinan PP yang dibuat melampaui atau menyimpangi ketentuan undang-undang. 2) Pengalaman menunjukkan bahwa kelambatan atau dilambatkannya proses
3.
4.
penetapan PP sehingga bagian-bagian tertentu dari suatu undang-undang yang telah dibuat belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya (dengan alasan belum ada peraturan pelaksanaan). c. Kewenangan Menetapkan Keputusan Presiden. Kewenangan ini dapat dibedakan berdasarkan sumber kewenangannya dan sifat materi muatannya. Dari sumber kewenangan Keputusan Presiden dapat dibedakan menjadi. Pertama, kewenangan dalam rangka menjalankan administrasi negara yang umum maupun khusus yang bersumber pada kewenangan yang bersifat prerogatif (memberi gelar dan tanda jasa, dan lain-lain). Kedua, Keputusan Presiden yang bersifat delegasi untuk melaksanakan UUD 1945, TAP MPR, dan Undangundang atau PP. Kekuasaan di Bidang Yustisial. Kekuasaan ini berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Kekuasaan Presiden dalam Hubungan Luar Negeri. Kekuasaan ini tergolong sebagai bentuk kekuasaan di bidang administrasi negara.
B.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pedoman pengaturan mengenai Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa
28 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Harapan terhadap peraturan tersebut adalah dapat meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/APBD. Juga untuk meningkatkan keberpihakan terhadap industri nasional dan usaha kecil, serta menumbuhkan industri kreatif, inovasi, dan kemandirian bangsa dengan mengutamakan penggunaan industri strategis dalam negeri. Peraturan tersebut juga diarahkan dapat meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap proyek/kegiatan yang pelaksanaannya dilakukan melalui skema pembiayaan bersama (co-financing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bertujuan untuk mensinergikan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa dengan kebijakan-kebijakan di sektor lainnya. Langkah-langkah kebijakan yang akan ditempuh Pemerintah dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ini meliputi : 1. Peningkatan penggunaan produksi Barang/Jasa dalam negeri yang sasarannya untuk memperluas kesempatan kerja dan basis industri dalam negeri dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi dan daya saing nasional; 2. Kemandirian industri pertahanan, industri alat utama sistem senjata (Alutsista), dan industri alat
Pemerintah terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan ini ditetapkan sehubungan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Untuk melaksanakan prinsip good governance and clean government, maka Pemerintah harus melaksanakan prinsip-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya melalui tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independent), serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, dan akuntabel. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih ini perlu didukung dengan pengelolaan keuangan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dibiayai APBN/APBD, sehingga diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya
29 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
3.
4.
5. 6.
7.
8. 9. 10.
11.
12.
13.
masing-masing Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya kepada masyarakat luas. Hal-hal mendasar yang terdapat dalam peraturan ini antara lain: 1) diperkenalkannya metode pelelangan/seleksi sederhana, pengadaan langsung, dan kontes/sayembara dalam pemilihan penyedia barang/jasa selain metode pelelangan/seleksi umum dan penunjukan langsung. Lebih lanjut juga diatur secara khusus mengenai Alutsista TNI dan Almatsus Polri yang pengadaannya diutamakan terlebih dahulu dari industri strategis dalam negeri, dan pengaturan pengadaan melalui sistem elektronik (eprocurement). Dalam peraturan ini juga diatur mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan persyaratan keikutsertaan perusahaan asing untuk meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri dan keberpihakan terhadap pengusaha nasional, pengaturan kontrak payung dan kontrak pembiayaan bersama (cofinancing) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta peningkatan nilai pengadaan yang diadakan untuk menumbuhkembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
material khusus (Almatsus) dalam negeri; Peningkatan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, koperasi kecil dan kelompok masyarakat dalam Pengadaan Barang/Jasa; Perhatian terhadap aspek pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup secara arif untuk menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan; Peningkatan penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik; Penyederhanaan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan keputusan dalam Pengadaan Barang/Jasa; Peningkatan profesionalisme, kemandirian, dan tanggung jawab para pihak yang terlibat dalam perencanaan dan proses Pengadaan Barang/Jasa; Peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan; Penumbuhkembangan peran usaha nasional; Penumbuhkembangan industri inovatif, budaya dan hasil penelitian laboratorium atau institusi pendidikan dalam negeri; Memanfaatkan sarana/prasarana penelitian dan pengembangan dalam negeri; Pelaksanaan Pengadaaan Barang/Jasa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk di Kantor Perwakilan Republik Indonesia; dan Pengumuman secara terbuka rencana dan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di
C.
Lembaga Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah LKPP adalah lembaga pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. LKPP merupakan perluasan dari Pusat
30 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
3.
Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan; 4. Deputi Bidang MonitoringEvaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi; 5. Deputi Bidang Pengembangan dan Pembinaan Sumber Daya Manusia; 6. Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Terkait dengan fokus kajian ini diuraikan pula mengenai kedudukan, tugas, dan fungsi Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Deputi ini adalah unsur pelaksana tugas LKPP yang berada dan bertanggung jawab kepada Kepala yang dipimpin oleh Deputi yang mempunyai tugas memberikan saran, pendapat, rekomendasi dalam penyelesaian sanggah dan permasalahan hukum lainnya di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Dalam melaksanakan tugas, Deputi menyelenggarakan fungsi : 1. Pemberian bimbingan teknis dan advokasi kepada seluruh stakeholders terkait dengan aturan/regulasi pengadaan barang/jasa Pemerintah; 2. Pemberian pendapat, rekomendasi dan tindakan koreksi kepada pengelola pengadaan yang sedang atau akan melakukan proses pengadaan barang/jasa; 3. Pemberian bantuan, nasihat dan pendapat hukum kepada pengelola pengadaan yang sedang menghadapi permasalahan dari proses pengadaan yang telah lalu;
Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik, dan satu-satunya lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan perumusan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah. Dalam melaksanakan tugasnya LKPP memiliki fungsi : 1. Penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan dan standar prosedur di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah termasuk pengadaan badan usaha dalam rangka kerjasama Pemerintah dengan badan usaha; 2. Penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah; 3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaannya; 4. Pembinaan dan pengembangan sistem informasi serta pengawasan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa Pemerintah secara elektronik (electronic procurement); 5. Pemberian bimbingan teknis, advokasi dan bantuan hukum; dan 6. Penyelenggaraan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan, penatausahaan, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan serta rumah tangga. Susunan organisasi LKPP terdiri dari: 1. Kepala; 2. Sekretariat Utama;
31 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
4.
Pemberian pendapat hukum dan kesaksian ahli di bidang pengadaan/jasa Pemerintah.
III.
POLA HUBUNGAN KEKUASAAN DALAM PELAYANAN BIDANG HUKUM DAN PENYELESAIAN SANGGAH DI SELURUH PROVINSI
A.
Pelayanan Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah di Seluruh Provinsi.
pembangunan guna mencapai tujuan nasional atau tujuan negara. Wewenangnya ada pada Presiden. Bentuk atau hasil kebijakan umum berupa PP, Perpres, Keppres, dan Inpres. Atas dasar fakta ini, pengembangan kelembagaan LKPP baru dapat dilakukan jika ada nomenklatur yang mengharuskan perubahan pada kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja Pengadaaan Barang/Jasa dan LKPP. Jika tidak, mekanisme lain bisa digunakan yakni mekanisme kekuasaan Presiden dalam membuat ketentuan perundangundangan. Terdapat dua mekanisme kewenangan yang dimiliki Presiden yakni kewenangan mandiri, dan kewenangan yang didasarkan pada pelimpahan dari suatu undangundang. Kewenangan mandiri ini, ada yang bersifat ”normal” atau ”biasa”, ada pula yang ”tidak normal” atau ”luar 2 biasa”. Dalam menjawab permasalahan ini, kewenangan mandiri tampaknya lebih realistis karena Presiden dapat memutuskan sendiri tanpa persetujuan DPR. Jika mekanisme ini yang dipilih, komunikasi awal dengan Presiden dapat dilakukan oleh stakeholders Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Karena LKPP satu-satunya lembaga pemerintah non departemen yang mempunyai tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah, inisiatif seharusnya bermula dari Kepala LKPP, baru kemudian
Beberapa hasil kajian, baik yang dilakukan oleh akademisi maupun para pejabat di lingkungan lembaga pemerintah seperti LKPP, KemenPAN, Kemendagri, dan lain-lain menghendaki LKPP seperti sekarang dalam kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja. Tetapi ada juga yang menghendaki LKPP mengembangkan kelembagaannya. Dalam kajian ini akan disajikan analisis mengenai pengembangan kelembagaan LKPP, khususnya beberapa alternatif yang berhubungan dengan Pelayanan Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah di Seluruh Provinsi. 1. Terdapat fakta bahwa Perpres Pengadaan Barang/Jasa dan Perpres LKPP, keduanya samasama produk dari kekuasaan Presiden. Kedua kebijakan tersebut termasuk kebijakan umum yakni kebijakan yang lingkupnya menyeluruh bersifat nasional dan berisi mengenai ketentuan garis besar dalam tugas umum pemerintahan dan
2
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Yogyakarta, cetakan kedua, 2003, 128.
32 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
koordinasi dengan stakeholders lainnya seperti para Menteri terkait, dan para pimpinan K/L/D/I. Agenda utamanya adalah melakukan revisi Perpres LKPP agar lingkup dan tingkatannya menyeluruh dan bersifat nasional, memuat ketentuan garis besar dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan guna mencapai tujuan nasional atau tujuan negara, khsusnya di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Dengan demikian peluang pengembangan kelembagaan LKPP sampai ke seluruh provinsi (bahkan seluruh kabupaten/kota) memiliki dasar hukum yang kuat yang kecil kemungkinan ditolak Daerah. Tidak seperti sekarang, LKPP menjalankan dua kategori tugas, di samping pada sifat aslinya (sifat yang diturunkan Perpres) yakni sebagai lembaga perumus kebijakan Presiden dalam mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah, tetapi juga sekaligus mengerjakan hal-hal teknis. Hal ini terlihat dari pola hubungan yang bertentangan dengan sinergitas yang ingin dibangun dengan K/L/D/I. Misalnya terdapat klausul dalam Perpres LKPP bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LKPP dikoordinasikan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan 3 Nasional. Fakta ini melemahkan kedudukan LKPP sebagai satu-satunya lembaga pemerintah non depertemen yang mempunyai tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan
pengadaan barang/jasa Pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Untuk mewujudkan sinergitas konstitusional ini perlu dipertimbangkan kembali mengenai kedudukan LKPP sebagai satusatunya Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 2. Terdapat fakta bahwa Perpres Pengadaan Barang/Jasa mengatur K/L/D/I untuk memperoleh Barang/Jasa. Implikasi dari fakta tersebut di atas, terdapat tiga kategori hubungan kekuasaan antara Presiden dengan para pimpinan K/L/D/I. Pertama, Presiden dengan K/L/D/I; kedua Presiden dengan /D/ (provinsi); dan ketiga Presiden dengan /D/ (kabupaten/kota). Pertama, hubungan Presiden dengan K/L/D/I. Hubungan ini telah jelas sebagai hubungan berdasarkan jalur komando (perintah). Tugas dan fungsi dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I ditangani oleh ULP. ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau 4 melekat pada unit yang sudah ada. K/L/D/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan pelayanan/pembinaan di bidang Pengadaan Barang/Jasa. ULP pada K/L/D/I dibentuk oleh
3
4
Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007, Pasal 4.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 1 poin 8.
33 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala 5 Daerah/Pimpinan Institusi. Kedua, hubungan Presiden dengan /D/ provinsi. Hubungan ini menggunakan dua mekanisme sekaligus, yaitu mekanisme fungsional dan mekanisme dekonsentrasi. Dalam mekanisme fungsional, fungsi pengadaan barang/jasa Pemerintah dilaksanakan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP). Hubungan ini tidak berimplikasi pada pengembangan kelembagaan LKPP secara keseluruhan (4 deputi), namun memungkinkan pada satu deputi yang memiliki sifat kegiatan yang samasama teknis yakni Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Kedudukan unit ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur, tugas, fungsi dan kewenangannya tidak berubah, susunan organisasi terintegrasi dalam ULP yang sudah ada, baik /D/ provinsi membentuknya sebagai unit yang berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. LKPP tinggal menyesuaikan saja. Jadi fungsi bidang hukum dan penyelesaian sanggah sebagai tambahan dari fungsi ULP yang sudah ada. Tambahan tugas dan fungsi ini tidak serta merta menambah jumlah pegawai di ULP, tapi bisa juga mengoptimalkan pegawai yang sudah ada dalam rangka efisiensi anggaran, atau berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya demi peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah,
khususnya di bidang hukum dan penyelesaian sanggah. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas ULP dibebankan pada mekanisme co-financing (APBN dan APBD) sebagai konsekuensi dari serah-terima sebagian urusan LKPP (Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah) kepada /D/ Provinsi (ULP). Jika alternatif ini yang dipilih, kedudukan Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah di LKPP tidak berubah, tetap merupakan unsur pelaksana LPND yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada 6 Kepala. Perubahan yang terjadi atas pilihan ini adalah penyesuaian tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja yakni sama persis dengan ketiga deputi yang sudah ada yang menunjukkan sifat asli LKPP yang memiliki tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sehingga kedudukan tetap berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu mekanisme dekonsentrasi berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengadaan barang/jasa dari Pemerintah kepada Pejabat-pejabatnya di Daerah. Gubernur selaku wakil Pemerintah dapat menjalankan sebagian urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah yakni politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan
5
6
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, Pasal 14 ayat (1) dan (2).
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, Pasal 87 ayat (1).
34 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
7
agama. Jika Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah atau /D/ diartikan sebagian urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, maka Pembentukan Unit Layanan Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah dapat dilakukan di provinsi. Jika alternatif ini yang dipilih, prosesnya lebih mudah, karena kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja sama persis dengan Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Mekanisme dekonsentrasi dianalogikan sebagai pintu masuk LKPP untuk membentuk instansi vertikal di /D/ provinsi. Implikasi pada APBN memang berat karena harus membiayai segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas unit ini di 33 provinsi. Namun untuk tahap awal bisa fokus pada /D/ provinsi yang jumlah paket dan total pagu Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang paling besar. Ketiga, hubungan Presiden dengan /D/ kabupaten/kota. Hubungan yang dibangun berdasarkan mekanisme desentralisasi. Presiden tidak seleluasa berhubungan dengan Gubernur, karena sebagian besar urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah telah diserahkan pada Daerah (kabupaten/kota). Pemerintah hanya menangani enam urusan meliputi : politik luar negeri;
pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan 8 agama. Ketidakleluasaan Presiden dalam berhubungan dengan Bupati/ Walikota berkaitan dengan sumber anggaran yang digunakan dalam Pengadaan Barang/Jasa yakni APBD. Termasuk juga dalam menggunakan anggaran secara co-financing (APBN dan APBD) kemungkinan tidak mendapat kesepakatan juga bisa terjadi, sekalipun Perpres Pengadaan Barang/Jasa ini diarahkan untuk meningkatkan ownership Pemerintah Daerah terhadap proyek/kegiatan yang pelaksanaannya dilakukan melalui skema pembiayaan bersama (co-financing) antara Pemerintah 9 Pusat dan Pemerintah Daerah. Tugas dan fungsi dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di /D/ kabupaten/kota telah ditangani oleh ULP. Hubungan ini tidak berimplikasi pada Pembentukan Unit Layanan Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah di /D/ kabupaten/kota. Kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja LKPP tidak berubah, namun sebagai konsekuensi dari hubungan yang ada antara Presiden dan /D/ kabupaten/kota, Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah dapat meningkatkan fungsinya pada ULPULP yang ada di kabupaten/kota.
8
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 10 ayat (3). 9 Penjelasan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, halaman 2.
7
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 10 ayat 3.
35 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
IV. PENUTUP
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dasar penyelenggaraan pemerintahan adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pola hubungan kekuasaan yang dibangun antar institusi kenegaraan adalah sinergitas kekuasaan yang konstitusional, termasuk hubungan antara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan salah satu stakeholders yakni LKPP sebagaimana Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Perpres Nomor 106 Tahun 2007. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, penulis merumuskan rekomendasi sebagai berikut : 1. Melakukan revisi Perpres LKPP. 2. Tidak melakukan pengembangan kelembagaan LKPP, karena pengadaan barang/jasa Pemerintah merupakan fungsi ULP di setiap K/L/D/I . 3. Integrasi tugas dan fungsi Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah pada ULP Provinsi, Reposisi Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah menjadi pada tugas dan fungsi pengembangan dan perumusan kebijakan dengan penamaan baru: Deputi Bidang Pengembangan Hukum dan Pelayanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Membentuk Unit Layanan Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP di Provinsi. 4. LKPP melakukan peningkatan fungsi masing-masing ULP kabupaten/kota.
Huda, Ni’matul. (2007). Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi. UII Press: Yogyakarta. Manan,
Bagir. (2003). Lembaga Kepresidenan. FH UII Press: Yogyakarta.
Nazir, Moh. (1988). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta. Purwoko, Herudjati, Pradjarta Dirdjosanjoto. (Penyunting). Desentralisasi Dalam Perspektif Lokal. Pustaka Percik. Salatiga.
Ketentuan Peraturan undangan :
Perundang-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.
36 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010
37 Jurnal Madani Edisi II/Nopember 2010