II.
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Rotan merupakan hasil hutan non kayu yang berasal dari hutan tropis dan budidaya. Penentuan besarnya persediaan sangat penting bagi perusahaan, karena persediaan berdampak langsung terhadap keuntungan perusahaan. Kesalahan dalam menentukan besarnya persediaan akan menekan keuntungan perusahaan. Adanya persediaan bahan baku yang terlalu besar dibandingkan kebutuhan perusahaan akan menambah biaya untuk persediaan seperti biaya pemesanan (ordering costs) dan biaya penyimpanan (carrying costs), serta kemungkinan
terjadinya
keusangan
dan
kualitas
yang
tidak
bisa
dipertahankan, sehingga semuanya ini dapat mengurangi keuntungan perusahaan. Demikian pula sebaliknya, persediaan bahan baku yang terlalu kecil dalam perusahaan akan mengakibatkan kemacetan dalam proses produksi,
sehingga
perusahaan
akan
mengalami
kerugian
juga
(Sakkung dan Sinuraya, 2011). Provinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi rotan yang cukup besar, dengan luas hutan sebesar 4.394.932 ha atau sekitar 64% dari luas wilayah provinsi sebesar 6.803.300 ha. Dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 produk hasil rotan olahan di Sulawesi Tengah sebanyak 28.638,38 ton. Industri furniture berbasis rotan merupakan salah satu industri yang memiliki nilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja serta memberikan kontribusi cukup penting terhadap perekonomian. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Palu yang masih mengandalkan bahan baku rotan sebagai produk andalan yang berada di Kelurahan Ujuna kini hanya 4 unit usaha, salah satunya adalah Meubel Rotan Tora-Tora. Meubel Rotan Tora-Tora menempati posisi ke tiga terbesar hasil produksinya. Namun, dengan kondisi bahan baku rotan yang berfluktuasi, meningkatnya jumlah produksi, serta belum optimalnya sistem pengadaan dan persediaan bahan baku memerlukan perhatian yang cukup serius dari Industri meubel rotan Tora-Tora, dalam bidang manajemen persediaan bahan baku rotan. Setelah
8
9
dilakukan perhitungan maka diketahui bahwa biaya persediaan perusahaan lebih tinggi dari biaya persediaan menurut perhitungan EOQ. Biaya persediaan meubel rotan Tora-Tora periode Oktober 2012 – Maret 2013 untuk rotan jenis polish sebesar Rp 389.557,47 yang merupakan biaya persediaan terbesar, rotan pitrit Rp 305.970,45 dan rotan asalan Rp 292.440,81. Jadi, total persediaan bahan baku rotan dari ketiga jenis rotan yaitu sebesar Rp 987.968,73. Sedangkan menurut perhitungan EOQ besarnya biaya persediaan minimum untuk pengadaan bahan baku sebesar Rp 257.239,83 rotan polish, Rp 206.709,15 rotan pitrit dan Rp 219.731,56 rotan asalan. Jadi, diperoleh total biaya persediaan yang harus disediakan Meubel Rotan Tora-Tora sebesar Rp 683.264,58 (Widyastuti, 2014). Pembelian bahan baku kayu Cempaka yang optimal menurut metode Economic Order Quantity selama periode tahun 2013 untuk setiap kali pesan lebih besar daripada yang dilakukan perusahaan. Pembelian bahan baku optimal yang harus dilakukan perusahaan pada tahun 2013 adalah sebesar 4,448 m³ dengan frekuensi pemesanan yang harus dilakukan adalah sebanyak 2 kali. Kuantitas persediaan pengaman (Safety Stock) yang harus tersedia digudang adalah sebesar 0,24 m³ dan titik pemesanan kembali (Re Order Point) menurut Economic Order Quantity yaitu pada saat persediaan digudang tinggal 0,603 m³. Total biaya persediaan untuk proses produksi yang dikeluarkan UD. Batu Zaman berdasarkan perhitungan metode Economic Order Quantity lebih kecil dari total biaya persediaan yang dilakukan oleh perusahaaan (Simbar et al 2014). Penelitian Mochammad Arief Sulistyo Nugroho (2007) diperoleh hasil perhitungan pada Industri menengah (CV Pesona Rattan Nusantara), kuantitas pemesanan optimal berdasarkan metode EOQ yang dapat meminimalkan biaya persediaan untuk batang poles (28 – 30 mm) adalah sebesar 1.243,51 Kg, core (15 mm) adalah sebesar 175,43 Kg, untuk fitrit (3,5 mm) adalah sebesar 1.190,85 Kg, dan untuk asalan semambu (26 – 28 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 695,41 Kg. Pada Industri besar (PT Rotan Habemindo Mutiara), kuantitas pemesanan optimal untuk core (11 mm)
10
adalah sebesar 1.419,2 Kg, batang poles (26 – 28 mm) sebesar 5.075,42 Kg, fitrit (3 mm) sebesar 3.670,84 Kg dan tohiti poles (18 – 20 mm) kuantitas pemesanan optimal adalah sebesar 1.905,25 Kg. Penelitian Tunjung (2010) yang dilakukan pada Industri kecap juga menggunakan alat analisis EOQ dan meneliti tentang persediaan bahan baku. Melalui penelitian tersebut diperoleh hasil perhitungan berdasarkan metode EOQ lebih efisien daripada kebijakan perusahaan. Untuk kuantitas pembelian optimal per pemesanan diperoleh hasil perhitungan secara berturut-turut dari tahun 2005-2009 adalah 72031,50 kg; 73783,90 kg; 66448,88 kg; 58808,08 kg; dan 68541,79 kg. Kemudian diketahui bahwa total biaya persediaan bahan baku kedelai pada tahun 2005-2009 secara berurutan adalah sebesar Rp 608.454.181,0 Rp 640.816.267,11; Rp 652.965.422,87; Rp 930.191.551,90; dan Rp 973.139.182,26. Safety stock yang diperoleh dari hitungan dengan metode EOQ adalah sebesar 5408,81 kg dan reorder point selama tahun 20052009 secara berurutan sebesar 10536,64 kg; 10859,14 kg;10626,81 kg; 10278,81 kg; dan 10393,64 kg. Selain itu diperoleh hasil proyeksi kebutuhan bahan baku kedelai pada tahun 2010 adalah sebesar 162583,74 kg. Penelitian Noer Novijanto (2010), pengolahan data menggunakan metode ramalan penjualan, perputaran persediaan (inventory turn over), kebutuhan bahan baku, jumlah pengadaan bahan baku, pembelian bahan baku yang ekonomis (EOQ), dan frekuensi pengadaan bahan baku. Melalui penelitian tersebut, diperoleh hasil perhitungan yaitu nilai peramalan hasil penjualan produk tempe pada Maret 2010 sebesar 23250 pak, sedangkan pada April 2010 sebesar 22980 pak. Perolehan tersebut kemudian menghasilkan persediaan awal pada bulan Maret 2010 sebesar 440 kg dan pada April 2010 sebesar 75 kg. Kemudian diperoleh persediaan akhir sebesar 75 kg pada bulan Maret 2010 dan 433,8 kg untuk bulan April 2010. Dari kelima penelitian tersebut terdapat persamaan yaitu menggunakan metode analisis EOQ (Economic Order Quantity). Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian saya. Pada penelitian Rizqi Widyawati (2014) meneliti komoditas rotan pada perusahaan mebel
11
rotan, dan dalam penelitiannya tidak terdapat perbedaan dalam penggunaan alat analisis data dengan penelitian saya. Mutiara Simbar et al. (2014) meneliti komoditas kayu dan obyek penelitian dilakukan pada UD (Unit Dagang), kemudian data persediaan yang digunakan sebagai acuan hanya data satu tahun. Kemudian dari penelitian Mochammad Arief Sulistyo Nugroho (2007) komoditas yang diteliti sama seperti Rizqi Widyawati yang meneliti rotan, tetapi lebih pada rotan mentah dan obyek penelitian berfokus pada tiga perusahaan pengolah rotan yang berbeda skala (kecil, menengah, besar), dan dalam perhitungan analisisnya diperoleh hasil pengendalian persediaan yang lebih efisien dengan metode EOQ daripada kebijakan perusahaan. Penelitian Tunjung (2010), melakukan penelitian terhadap persediaan bahan baku pada komoditas kedelai di perusahaan kecap. Penelitian Tunjung tersebut memiliki persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu dengan menggunakan metode perhitungan EOQ untuk memperoleh biaya tota persediaan yang optimal, namun penelitian tersebut memiliki perbedaan yaitu dari segi proyeksi. Penelitian yang dilakukan Tunjung tersebut tidak hanya menganalisis perbandingan antara kebijakan perusahaan dengan perhitungan metode EOQ saja, melainkan juga melakukan perhitungan proyeksi kebutuhan bahan baku kedelai pada tahun berikutnya dengan menggunakan regresi linier. Penelitian Noer Novijanto (2010) memiliki perbedaan yaitu menggunakan analisis trend linier dengan metode least square untuk mencari peramalan penjualan dan menggunakan ITO (Inventory Turn Over) atau perputaran persediaan untuk mengetahui persediaan akhir pada periode yang diramalkan. Adanya penelitian tersebut terlihat manfaat dari penggunaan metode EOQ yaitu dapat memberikan hasil yang optimal terhadap jumlah bahan baku. Kelebihan perhitungan EOQ tersebut adalah mampu menunjukkan kuantitas yang optimal dalam setiap pembelian bahan baku serta total biaya persediaan bahan
baku
untuk
menghindari
adanya
risiko
kelebihan
maupun
kekurangan/kehabisan bahan baku, agar dapat meminimalisasi biaya bahan baku sehingga dapat lebih efisien. Kasmari et al. (2011), kelemahan dari
12
metode EOQ adalah akan timbulnya beban biaya penyimpanan, hal ini disebabkan terlalu banyaknya bahan baku yang dipesan. Metode EOQ juga sesuai dengan keaadaan obyek yang akan diteliti. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini juga dilakukan penelitian tentang bahan baku yang bertujuan untuk mencari titik atau total biaya persediaan bahan baku yang paling efisien. Selain itu, metode yang digunakan saling melengkapi untuk acuan dalam penelitian ini, maka peneliti mencantumkan kedua penelitian tersebut sebagai acuan penelitian. B. Tinjauan Pustaka 1. Rotan Salah satu hasil hutan bukan kayu yang dikenal oleh masyarakat adalah rotan. Produk tanaman rotan yang paling umum digunakan dan merupakan bagian yang memiliki nilai ekonomi adalah bagian batang. Rotan banyak dimanfaatkan secara umum karena mempunyai sifat yang lentur, kuat, serta relatif seragam bentuknya (Gautama, 2008). Rivai (1988) dalam Tellu (2006) menyebutkan bahwa pengelompokan rotan dalam klasifikasi tumbuhan, hingga saat ini masih didasarkan pada ciri morfologi. Pengelompokan suatu takson seperti itu sering menimbulkan keraguan dalam klasifikasi terutama kelompok tumbuhan yang memiliki anggota (spesies) yang cukup besar seperti halnya rotan. Menurut Uhl dan Dransfield (1987) dalam Oteng-Amoaka dan Ebanyele (2003), rotan merupakan suatu istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan tanaman yang memiliki subfamily Calamoidae dari keluarga Palmae. Subfamily ini terdiri dari 13 macam, dan diperkirakan terdapat total 600 spesies di seluruh dunia. Di hutan Indonesia, terdapat beragam jenis rotan yang tumbuh secara alami. Jenisnya mencapai jumlah hingga lebih dari 300 jenis. Namun demikian, potensi rotan yang dapat digunakan menjadi bahan baku Industri hanya terdapat pada sekitar 20-an jenis saja. Dari jumlah itu pun, hanya terdapat 6 jenis rotan yang biasa dijadikan komoditas ekspor ke berbagai negara seperti, rotan Batang, Lambang, Umbul, Tohiti, Susu dan
13
Merah. Beberapa jenis yang lainnya yang sering digunakan sebagai bahan baku Industri kerajinan nasional dan juga memiliki peluang untuk ekspor meliputi rotan Manau, Tabu-Tabu, Suti, Pahit, Kubu, Lacak, Slimit, Cacing, Semambu dan Pulut. Beragamnya jenis rotan yang tumbuh di tanah air memiliki potensi ekonomis yang cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut melalui inovasi dan kreativitas dalam produksi dan promosi yang efektif (Kemendag, 2013). Berdasarkan tingkat pengolahannya, rotan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut : a. Rotan Mentah Rotan yang diambil / ditebang dari hutan, masih basah dan mengandung air getah rotan, warna hijau atau kekuning-kuningan (lapisan berklorofil), belum digoreng dan belum dikeringkan. b. Rotan Asalan Rotan yang telah mengalami proses penggorengan, penjemuran, dan pengeringan. Permukaan kulit berwarna coklat kekuning-kuningan, masih kotor belum dicuci, bergetah-kering, permukaan kulit berlapisan silikat. c. Rotan Natural Washed & Sulphured (W/S) Rotan bulat natural yang masih berkulit, sudah mengalami proses pencucian dengan belerang (sulphure), ruas/tulang sudah dicukur maupun tidak dicukur (trimmed atau untrimmed), biasanya kedua ujungnya sudah diratakan, sudah melalui sortasi ukuran diameter maupun kualitas. d. Rotan Poles Rotan bulat yang telah dihilangkan permukaan kulit bersilikatnya dengan menggunakan mesin poles rotan, biasanya melalui 3 tahap amplas yang berbeda. 1) Amplas (grit 30, 36, 40, atau 60) untuk menghilangkan permukaan kulit silikatnya, disebut sebagai poles kasar. 2) Amplas (grit 80 atau 100) untuk membersihkan permukaan rotan
14
3) Amplas (grit 120, 150, 180 atau 240) untuk menghaluskan permukaan rotan, disebut sebagai poles halus. Tingkat Rotan Poles Halus yang dibutuhkan oleh Industri mebel dapat dibedakan sebagai berikut : 1) Rattan Sanded-Polished Dilakukan pengamplasan tiga tingkat seperti tersebut diatas, rotan dipoles hanya menghilangkan permukaan kulit bersilikat termasuk kulit dibawah ruas rotan. Bentuk rotan maupun lekukan-lekukan masih dipertahankan sesuai dengan ciri rotan, namun permukaan sudah tidak berkulit. 2) Rattan Full-Polished Rotan dipoles dengan meratakan semua ruas-ruas sehingga tidak bergelombang diantara ruas dengan permukaan lainnya. 3) Rattan Autoround-Polished Sebelum rotan dipoles, terlebih dahulu dikupas kulitnya untuk diratakan diameternya dengan menggunakan Autoroud Rod Machine (Mesin Serut), sehingga rotan tersebut mempunyai diameter yang sama dari ujung ke ujung lainnya, lalu dipoles sampai halus. Rotan ini meyerupai tongkat karena diameternya sama. e. Hati Rotan Merupakan isi/hati rotan tanpa berkulit dengan berbagai bentuk. Diproses dengan mempergunakan mesin pembelah atau mesin kupas rotan (rattan splitting machine). Bentuk hati rotan antara lain : 1)
Round-Core, hati rotan berbentuk bulat dengan berbagai diameter
2)
Square-core, hati rotan berbentuk segi empat
3)
Star core, hati rotan berbentuk bintang
4)
Double oval core, hati rotan berbentuk lonjong
5)
Flat oval core, hati rotan berbentuk tali rotan
6)
Flat flat core, hati rotan berbentuk lempengan
15
7)
Half round core, hati rotan berbentuk setengah lingkaran, dan lainlain
Selain tersebut diatas juga terdapat skin core yang merupakan hati rotan yang masih tersisa kulitnya, untuk kegunaan tertentu dalam Industri mebel/kerajinan rotan. Segala bentuk hati rotan dikemas dalam satu bentuk dan ukuran dalam pengepakannya. f. Kulit Rotan Merupakan lembaran rotan yang diperoleh dari hasil pembelahan rotan bulat natural dan atau rotan bulat poles. Terdiri dari : 1) Kulit Rotan Tebal yaitu kulit rotan (baik natural maupun sanded) yang belum ditipiskan, sehingga lebar dan ketebalan dari kulit rotan ini masih belum merata ukurannya. 2) Kulit Rotan Tipis yaitu kulit rotan (baik natural maupun sanded) yang sudah ditrimmed dengan menggunakan rattan peel trimming machine (mesin penipis kulit rotan). Lebar dan ketebalan kulit rotan ini sudah merata. g. Serbuk Rotan Merupakan sisa dari proses poles rotan. Dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan obat nyamuk bakar maupun briket (KPPU, 2010). 2. Industri Mebel (Furniture) dan Kerajinan (Handicraft) Produk jadi rotan umunya berupa furniture dan barang kerajinan seperti lampit, keranjang, partisi, dan lain sebagianya. Indonesia merupakan produsen bahan baku rotan terbesar di dunia, namun Industri hilir yang mengolah bahan baku rotan tidak berkembang dengan baik (Johan et al. 2012). Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) ekspor produk jadi rotan Indonesia tahun 2009 senilai $ 395.139.212 menurun dari tahun 2008 sebesar $ 432.297.220. Adanya masalah penurunan pangsa dan nilai ekspor produk jadi rotan Indonesia menuntut adanya upaya untuk meningkatkan daya
16
saing rotan melalui perbaikan pengembangan produk rotan terutama dalam pembaharuan desain. Walaupun mengalami penurunan ekspor produk jadi rotan akan tetapi setelah adanya pelarangan ekspor rotan mentah, terjadi peningkatan dari tahun 2011 ke tahun 2012. Seperti yang telah dikatakan oleh Alex S. W. Retraubun sebagai menteri perindustrian, beliau menyatakan bahwa dampak dari pelarangan ekspor rotan mentah membuat total nilai ekspor produk rotan pada tahun 2012 mencapai U$ 202,67 juta yang terdiri dari rotan
furniture sebesar U$ 151,64 juta dan rotan kerajinan/anyaman
sebesar U$ 51,03 juta. Angka tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2011 yang hanya mencapai U$ 143,22 juta yang terdiri dari rotan furniture sebesar U$ 128,11 juta dan rotan kerajinan/anyaman sebesar U$ 15,11 juta (Rudya, 2013). Persaingan dagang atas penjualan produk hasil kerajinan tangan dan mebel, khususnya yang berbahan baku dari rotan, saat ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional seperti di tingkat antar pedagang, melainkan juga telah merambah pasar internasional. Dalam perkembangannya, Industri kerajinan tangan dan mebel dari rotan di dalam negeri masih harus mengalami perjuangan berat menghadapi persaingan di pasar global. Salah satu kendala kritis yang dihadapi adalah tingkat ketersediaan bahan baku di dalam negeri yang kadang membuat frustasi para pengusaha produk rotan. Eksportir rotan di dalam negeri cenderung untuk mengekspor bahan baku rotan mentah yang mereka hasilkan karena tergiur nilai jual yang ditawarkan oleh pembeli dari luar negeri. Seiring dengan bertumbuhnya Industri rotan di luar wilayah Indonesia, hal tersebut membutuhkan ketersediaan bahan baku dan Indonesia terkenal dengan kualitas rotan unggulan yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkan Industri barang jadi rotan dalam negeri mengalami kelangkaan rotan yang menyebabkan mahalnya harga rotan mentah untuk bahan baku bagi Industri yang pada akhirnya juga berpengaruh pada mahalnya produk rotan asal Indonesia dan menurunkan daya saing produk (Kemendag, 2013).
17
Perkembangan Industri mebel di Indonesia tidak lepas dari kerjasama yang terjalin dengan negara lain. Ekspor merupakan bentuk paling sederhana dalam perdagangan internasional dan merupakan suatu strategi dalam memasarkan produksi keluar negeri, sehingga dapat menambah devisa negara. Kerjasama ekspor furnitur Indonesia ke Amerika Serikat saling menguntungkan dan berkesinambungan, karena para pengusaha furnitur Indonesia telah mendapat pasar yang cukup baik di Amerika Serikat dan juga tingkat permintaan yang tinggi oleh masyarakat Amerika Serikat. Akan tetapi terjadinya krisis finansial tahun 2008 di AS menyebabkan perubahan pola permintaan masyarakat AS dan berakibat pada penurunan ekspor furnitur (Rizky, 2013). 3. Persediaan Bahan Baku a. Pengertian Persediaan Bahan baku merupakan bahan yang digunakan sebagai komponen utama untuk memproduksi suatu barang. Persediaan merupakan bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya digunakan dalam proses produksi atau perakitan, dijual kembali, ataupun sebagai suku cadang suatu peralatan atau mesin. Setiap bagian dalam perusahaan memandang persediaan dari sisi yang berbeda-beda, misalnya: 1) Bagian Pemasaran, menghendaki tingkat persediaan yang tinggi agar dapat memenuhi permintaan pelanggan sebaik mungkin. 2) Bagian pembelian, cenderung untuk membeli barang dalam jumlah yang besar dengan tujuan untuk memperoleh harga beli per unit serendah mungkin. 3) Bagian produksi, menghendaki tingkat persediaan yang besar untuk mencegah terhentinya proses produksi yang disebabkan karena kekurangan bahan. 4) Bagian keuangan, lebih memilih untuk memiliki persediaan yang tidak terlalu besar agar dapat memperkecil investasi dan biaya pergudangan (Herjanto, 2008).
18
Persediaan bahan mentah juga sering disebut dengan bahan dasar. Bahan dasar merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Kekurangan bahan dasar berakibat terhentinya proses karena habisnya bahan untuk diproses. Karena kekurangan material, perusahaan tidak dapat bekerja dengan luas produksi yang optimal. Akan tetapi terlalu besarnya persediaan bahan dasar dapat berakibat terlalu tingginya beban biaya guna menyimpan dan memelihara bahan tersebut. Selama penyimpanan digudang, memperbesar kemungkinan kerugian karena kerusakan, turunnya kualitas, keusangan sehingga semuannya ini akan memperkecil keuntungan perusahaan. Keadaan terlalu banyaknya persediaan ini ditinjau dari segi financial merupakan hal yang tidak efektif disebabkan karena terlalu besarnya barang modal yang menganggur dan tidak berputar. Untuk dapat berproduksi secara efisien, harus memperhitungkan semua kegiatan yang dilakukan sehingga apa yang menjadi tujuan perusahaan dapat tercapai. Untuk menjaga kelancaran proses produksi tidak cukup hanya ditentukan dari jumlah persediaan yang dibeli tetapi harus ditentukan juga berapa dan kapan pemesanan persediaan datang tepat pada waktunya yang dibutuhkan (Nurhasanah, 2012). Pengendalian adalah suatu proses pengukuran, penentuan, pengaturan, serta perbaikan terhadap bahan baku yang disesuaikan dengan ketetapan maupun rencana. Pengendalian sebagai komponen dalam proses manajemen memiliki peran penting dalam proses pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Proses tersebut dilaksanakan ketika suatu program sedang dilaksanakan sampai dengan kegiatan tersebut selesai dilaksanakan (Badruddin, 2013). Persediaan merupakan bagian yang terbesar dalam penggunaan modal kerja perusahaan dan merupakan aktiva yang selalu mengalami perubahan setiap saat. Persediaan juga mengalami perputaran yang berbeda-beda, tinggi rendahnya perputaran akan berpengaruh langsung terhadap besar kecilnya dana yang ditawari atau dibutuhkan dalam
19
persediaan tersebut. Semakin tinggi perputaran persediaan berarti semakin pendek waktu yang dibutuhkan dalam persediaan, sehingga kebutuhan dan relatif lebih kecil dan sebaliknya semakin lamban perputaran persediaan maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan dalam persediaan, sehingga kebutuhan dan untuk persediaan relatif besar (Siagian, 2005). Persediaan atau inventory merupakan hal yang sangat perlu untuk diperhatikan. Secara logika kita selalu ingin agar usaha tidak perlu memiliki persediaan. Begitu ada pembelian barulah produk dibuat atau diproduksi. Hal tersebut masih bisa dilakukan pada usaha yang masih berskala kecil. Namun untuk usaha yang sudah berkembang akan mempunyai tingkat persediaan yang besar, sehingga diperlukan persediaan untuk dapat menghemat biaya pemesanan (Prasetyo, 2010). b. Fungsi-fungsi Persediaan Bagi sebagian perusahaan kebijakan persediaan yang aman adalah memiliki persediaan dalam jumlah banyak, tetapi ternyata hal ini akan menyebabkan tingginya biaya untuk penyimpanan dan pembelian bahan atau barang yang bersangkutan, sedangkan kelebihan persediaan juga akan menyebabkan banyaknya dana yang terserap dalam persediaan sehingga tidak efisien. Sebaliknya bila persediaan terlalau sedikit akan berisiko kekurangan bahan atau barang. Hal ini akan menggganggu kelancaran proses produksi selain itu juga biaya pembelian
dan
biaya
persediaan
juga
akan
semakin
besar
(Siagian, 2005). Persediaan menjadi hal yang penting bagi suatu perusahaan dalam kegiatan bisnis karena banyak memiliki fungsi atau kegunaan. Adapun fungsi-fungsi persediaan, antara lain: 1) Fungsi Decoupling, adalah persediaan yang memungkinkan perusahaan dapat memenuhi permintaan pelanggannya tanpa tergantung pada supplier. Persediaan bahan mentah diadakan agar
20
perusahaan tidak akan sepenuhnya bergantung pada pengadaannya dalam hal kuantitas serta waktu pengiriman, sedangkan persediaan barang jadi diperlukan untuk memenuhi permintaan produk dari para pelanggan yang fluktuatif. 2) Fungsi Economic Lot Sizing, persediaan lot sizing ini memerlukan pertimbangan
penghematan-penghematan
atau
potongan
pembelian, biaya pengangkutan per unit menjadi lebih murah dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena perusahaan melakukan pembelian dengan kuantitas yang lebih besar, dibandingkan dengan biaya-biaya yang timbul karena besarnya persediaan, seperti: biaya sewa gudang, investasi, risiko, dan sebagainya. 3) Fungsi Antisipasi, apabila perusahaan menghadapi permintaan yang fluktuatif yang dapat diperkirakan dan diramalkan berdasar pengalaman atau data-data di masa lampau, yaitu permintaan musiman. Dalam hal ini perusahaan dapat mengadakan persediaan musiman (seasional inventories) (Rangkuti, 2002). c. Jenis-jenis Persediaan Jenis-jenis persediaan fisik ada lima, antara lain: 1) Persediaan bahan mentah (raw material), yaitu persediaan barangbarang berwujud seperti, besi, kayu, serta komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. 2) Persediaan
komponen-komponen
rakitan
(purchased
parts/component), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk. 3) Persediaan bahan penolong (supplies), yaitu persediaan barangbarang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi bukan merupakan bagian atau komponen barang jadi. 4) Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu
21
bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 5) Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barangbarang
yang
telah
selesai
diproses
atau
diolah
dalam
perusahaan/pabrik dan siap untuk diperjualkan atau dikirim kepada pelanggan atau konsumen (Rangkuti, 2002). Jenis persediaan menurut fungsi dibagi menjadi tiga jenis: 1) Batch stock, persediaan yang diadakan karena perusahaan membuat barang-barang dalam jumlah lebih besar daripada yang dibutuhkan saat itu. 2) Fluctuation stock, persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang sulit diramalkan. 3) Anticipation stock, persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang mudah diramalkan, berdasarkan pada pola musiman yang terdapat dalam periode satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan atau permintaan yang meningkat (Umar, 2003). d. Macam-macam Biaya Persediaan 1) Biaya penyimpanan (holding costs/carrying costs), yaitu terdiri dari biaya-biaya yang bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak atau ratarata persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk sebagai biaya penyimpanan adalah: a) Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan (termasuk penerangan, pendingin ruangan, dan sebagainya). b) Biaya modal (opportunity cost of capital), yaitu alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan. c) Biaya keusangan, pencurian dan lain sebagainya. 2) Biaya pemesanan atau pembelian (ordering costs/procurement costs). Pada umunya biaya pemesanan (diluar biaya bahan dan
22
potongan kuantitas) tidak naik bila kuantitas pesanan bertambah besar. Tetapi jika semakin banyak komponen yang dipesan setiap kali pesan, jumlah pesanan per periode (tahunan) turun, maka biaya pemesanan total akan turun. Hal ini berarti bahwa biaya pemesanan total per periode (tahunan) adalah sama dengan jumlah pesanan yang dilakukan setiap periode dikalikan biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesan. Biaya-biaya tersebut meliputi: a) Upah b) Biaya telepon c) Pengeluaran surat menyurat d) Biaya pengiriman ke gudang e) Biaya pemeriksaan (inspeksi) penerimaan, dan sebagainya. 3) Biaya penyiapan (manufacturing/set-up costs). Biaya ini terjadi apabila bahan-bahan tidak dibeli tetapi diproduksi sendiri oleh perusahaan sehingga perusahaan menghadapi biaya penyiapan (setup costs) untuk memproduksi komponen tertentu. Biaya-biaya ini antara lain: a) Biaya mesin-mesin menganggur b) Biaya persiapan tenaga kerja langsung c) Biaya penjadwalan, dan lain-lain. 4) Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (shortage costs), merupakan biaya yang timbul apabila persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya kekurangan atau kehabisan bahan adalah sebagai berikut: a) Biaya pemesanan khusus b) Kehilangan pelanggan c) Terganggunya operasi d) Selisih harga, dan sebagainya (Rangkuti, 2002). 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persediaan bahan baku, faktor tersebut adalah:
23
a. Perkiraan pemakaian, angka ini mutlak diperlukan untuk membuat keputusan berapa persediaan yang dilakukan untuk mengantisipasi masa mendatang (biasanya dilakukan dalam kurun waktu satu tahun). b. Harga bahan baku, ketika harga bahan baku mahal atau terjadi peningkatan harga maka sebaiknya distok dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan karena terbenamnya uang yang seharusnya dapat diputar. c. Biaya-biaya dari persediaan, yang meliputi biaya penyimpanan, biaya pemesanan, dan lain-lain. d. Kebijakan pembelanjaan, dimana kebijakan ini ditentukan oleh sifat dari bahan itu sendiri. Untuk bahan-bahan yang cepat rusak tentunya tidak mungkin dilakukan penyimpanan yang terlalu lama terkecuali jika terdapat alat yang bisa membuat bahan tersebut bertahan lebih lama. e. Pemakaian senyatanya, yaitu pemakaian riil dari data tahun-tahun sebelumnya. Melalui data-data di masa lampau maka dapat digunakan untuk melakukan peramalan di masa yang akan datang. f. Waktu tunggu (lead time), yaitu tenggang waktu dari mulai barang itu dipesan hingga barang tersebut datang atau diterima. Waktu tunggu tidak selalu konstan (Maarif dan Tanjung, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan diatas adalah saling berkaitan. Kebijaksanaan persediaan bahan baku yang tepat akan mendasarkan
diri
kepada
faktor-faktor
tersebut.
Diketahuinya
kebijakansanaan pembelanjaan (financial policy), biaya-biaya persediaan, harga bahan serta perkiraan pemakain bahan baku (forecast demand) akan dapat ditentukan jumlah bahan yang dipesan secara ekonomis (biaya minimal). Demikian pula dengan diketahuinya perkiraan pemakaian bahan dan pemakaian sesungguhnya (pada waktu lampau) akan dapat dianalisis jumlah persediaan yang paling tepat (Ahyari, 1992).
24
5. Pengendalian Persediaan Sistem pengendalian persediaan dapat didefinisikan sebagai serangkaian
kebijakan
pengendalian
untuk
menentukan
tingkat
persediaan yang harus dijaga, kapan pesanan untuk menambah persediaan harus dilakukan dan berapa besar pesanan harus diadakan. Sistem ini menentukan dan menjamin tersedianya persediaan yang tepat dalam kuantitas dan waktu yang tepat (Herjanto, 2008). Menurut Assauri (2004) dalam Suwardji et al. (2012), pengendalian persediaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan guna menentukan tingkat serta komposisi dari persediaan parts, bahan baku dan barang hasil atau produk, sehingga perusahaan dapat menjaga dan melindungi kelancaran proses produksi dan penjualan serta kebutuhan-kebutuhan pembelanjaan perusahaan dengan efektif dan efisien. Semakin besarnya frekuensi perputaran persediaan, baik perputaran persediaan bahan baku, perputaran persediaan barang dalam proses maupun perputaran persediaan barang jadi mencerminkan bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat persediaan yang relatif rendah, sehingga ada kemungkinan bahwa perusahaan tersebut akan kehabisan stok (stock out), terutama apabila waktu pengiriman (lead time) tidak menentu dan sering mengalami keterlambatan. Sebaliknya frekuensi perputaran persediaan yang semakin kecil menunjukkan bahwa perusahaan banyak menyimpan stok. Hal ini merupakan kerugian bagi perusahaan tersebut karena ia harus mengeluarkan biaya yang sangat besar dalam menyimpan persediaannya. Kondisi yang paling baik adalah tingkat
perputaran
persediaan
relatif
besar
dan
perusahaan
mempertahankan stok pengaman tertentu agar kondisi kehabisan stok pada setiap periode tidak terjadi (Rangkuti, 2006). Adapun metodemetode pengendalian persediaan bahan baku antara lain : a.
EOQ (Economic Order Quantity) Economic Order Quantity adalah suatu model atau metode perhitungan yang pertama kali dikembangkan tahun 1915 secara
25
terpisah oleh Ford Harris dan R. H. Wilson. Model ini merupakan model yang memperhitungkan dua macam biaya persediaan yang paling dasar yaitu biaya pemesanan dan biaya penyimpanan, sehingga biaya total persediaan (total inventory cost) diperoleh dari penjumlahan antara biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Dalam hal ini model ini mengasumsikan bahwa persediaan akan dipesan sebesar Q unit dan datang secara serentak. Kemudian biaya pemesanan dipandang menjadi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan, dan semakin tinggi frekuensi pemesanan maka semakin besar pula biaya pemesanan yang ditanggung oleh perusahaan (Siswanto, 2007). EOQ merupakan kebijakan yang dapat menentukan jumlah persediaan yang tepat bagi perusahaan. Sehingga dapat diartikan bahwa EOQ adalah jumlah bahan yang dapat dibeli dengan biaya persediaan yang minimal atau sering disebut dengan jumlah pesanan bahan baku yang optimal (Yudiana, 2013). Rangkuti (2002) menyebutkan bahwa EOQ digunakan dalam menentukan berapa banyak persediaan yang harus dipesan agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan. Model ini membantu perusahaan dalam menetapkan jumlah order maksimal dalam jangka waktu tertentu dengan meminimalkan biayanya. Kemudian dilanjutkan Rangkuti (2004) bahwa EOQ digunakan untuk menentukan jumlah pembelian bahan mentah pada saat sekali pemesanan dengan biaya yang paling rendah. Matsuyama
(2001)
menambahkan
bahwa
teori
EOQ
(Economic Order Quantity) seringkali dikaitkan dengan biaya per unit, biaya pemesanan dan permintaan pada suatu produk. Hal ini digunakan oleh perusahaan untuk menentukan suatu kebijakan perusahaan terhadap persediaan. Sehingga dengan demikian dapat diperoleh biaya yang paling minimal. EOQ akan berada pada titik
26
atau tingkat paling ekonomis ketika terjadi keseimbangan antara biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Hansen dan Mowen (2001) dalam Sakkung dan Sinuraya (2011), menjelaskan hubungan EOQ sebagai metode manajemen persediaan tradisional dengan biaya persediaan yang terkait didalamnya. Dikatakan bahwa jika persediaan bahan baku yang ada dalam perusahaan merupakan bahan baku yang dibeli dari luar dan bukan diproduksi atau dari dalam perusahaan, maka biaya yang terkait dengan persediaan diketahui sebagai biaya pemesanan (ordering costs) dan biaya penyimpanan (carrying costs). Adapun alasan-alasan adanya penyimpanan yang menurutnya sesuai dengan prinsip EOQ yaitu: 1) Untuk
menghadapi
ketidakpastian
dalam
permintaan
sebagaimana diketahui bahwa adanya kemungkinan permintaan yang berfluktuasi dari pelanggan. 2) Untuk menghindari fasilitas manufaktur yang tidak bisa bekerja lagi karena adanya kegagalan mesin, suku cadang yang rusak, suku cadang yang tidak tersedia, dan pengiriman suku cadang yang terlambat 3) Untuk mengambil keuntungan dari diskon-diskon 4) Untuk berjaga-jaga jika terjadi kenaikan harga di masa yang akan datang. b.
Analisis ABC (Activity Based Costing) Pada metode analisis ABC dipandang bahwa berbagai macam jenis barang yang ada dalam persediaan tidak seluruhnya memiliki prioritas yang sama, melainkan terdapat perbedaan terhadap masingmasing barang atau persediaan, sehingga dengan menggunakan analisis ABC ini maka dapat membantu seseorang atau perusahaan dalam mengetahui jenis-jenis barang mana saja yang perlu mendapat prioritas. Analisis ABC ini dapat mengklarifikasikan seluruh jenis barang berdasarkan tingkat kepentingannya. Menurut metode analisis
27
ini jenis-jenis barang dikelompokkan menjadi 3 bangian yaitu kelompok A, B, dan C. A merupakan kelompok yang memiliki nilai penjualan terbanyak, kelompok C merupakan kelompok yang memiliki nilai penjualan terendah, kemudian B adalah kelompok yang nilai penjualannya lebih dari kelompok C dan berada dibawah nilai penjualan kelompok A (Rangkuti, 2002). c.
Just In Time Metode just in time digunakan dalam manajemen produksi dan persediaan yang komprehesif atau menyeluruh dimana pembelian atau pemrosesan bahan baku dan bagian-bagian lainnya hanya dilakukan ketika dibutuhkan dan tepat pada saat akan digunakan pada saat tahap proses produksi. Metode ini berfokus pada eliminasi pemborosan, mengurangi persediaan, dan mengembangkan hubungan yang kuat dengan pemasok. JIT diaplikasikan pada tiap aspek bisnis, termasuk pembelian, produksi, dan pengiriman (Bochler et al., 2007). Menurut
Bateman
dan
Scott
(2008)
Just
in
time
mengharuskan subrakitan-subrakitan atau komponen-komponen diproduksi dalam lot-lot produksi yang sangat kecil dan dikirimkan ke tahapan proses berikutnya tepat pada saat dibutuhkan atau tepat pada waktunya, sehingga pemasok mengirimkan pesanan tepat waktu. JIT dalam penerapannya perusahaan akan sesering mungkin mengadakan pemesanan bahan baku dan sangat berusaha untuk menghilangkan pemborosan dan resiko ketidakpastian. Hansen dan Mowen (2001) dalam Sakkung dan Sinuraya (2011), menjelaskan bahwa
JIT
merupakan
suatu
pendekatan
manufaktur
yang
mempertahankan bahwa produk-produk harus ditarik dari seluruh sistem dengan adanya permintaan, dan bukannya mendorong seluruh sistem dengan skedul yang tetap untuk mengantisipasi permintaan (a pull system). JIT memecahkan masalah kinerja tepat waktu dengan
28
cara mengurangi waktu tunggu, dan bukannya dengan meningkatkan persediaan. d.
EPQ (Economic Production Quantity) EPQ (Economic Production Quantity) merupakan metode hasil dari pengembangan terhadap metode EOQ (Economic Order Quantity). Metode EPQ ini sangat cocok bagi perusahaan atau lingkungan produksi yang bahan bakunya selalu tersedia sepanjang waktu atau secara terus-menerus. Metode EPQ ini biasa digunakan pada perusahaan atau lingkungan produksi yang mempunyai kemampuan untuk melakukan proses produksi sendiri terhadap bahan bakunya atau mengadakan pengusahaan untuk pengadaan sendiri bahan baku dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya tanpa dan atau dengan memesan kepada produsen bahan bakunya (Zulian, 1996).
6. Keuntungan Penerapan Manajemen Persediaan Penerapan manajemen persediaan bahan baku yang baik akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Adapun keuntungan tersebut adalah: a. Menekan investasi modal dalam persediaan pada tingkat yang minimal. b. Menghindari risiko kerusakan, kecurangan, ataupun kecurian atas persediaan. c. Mengurangi investasi dalam sarana dan peralatan pergudangan. d. Menghindari kerugian yang timbul karena penurunan harga barang yang diproduksi oleh perusahaan. e. Mengurangi biaya dengan mengadakan stok setiap tahun. f. Mengurangi risiko kehabisan bahan baku yang akan menghambat proses produksi (Sugiono, 2009). Pada dasarnya persediaan mempunyai peran besar dalam rangka mempermudah atau memperlancar operasi perusahaan, khususnya perusahaan manufaktur yang harus secara berturut-turut memproduksi
29
barang-barang untuk disampaikan pada konsumen. Persediaan yang diadakan mulai dari bahan baku sampai barang jadi antara lain berguna untuk: a. Menghilangkan risiko keterlambatan barang tiba b. Menghilangkan risiko barang rusak c. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan d. Mencapai penggunaan mesin yang optimal e. Memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada konsumen (Umar, 2003). 7. Persediaan Pengaman (Safety Stock) Safety stock adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (stock out). Tujuannya untuk menentukan berapa besar stock yang dibutuhkan
selama
masa
tenggang
untuk
memenuhi
besarnya
permintaan.Besarnya persediaan pengaman tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: penggunaan bahan baku rata-rata, faktor waktu, dan biaya-biaya yang digunakan (Rangkuti, 2002). Persediaan sering dikaitkan dengan besarnya permintaan yang berubah-ubah dan ketidakteraturan waktu tunggu (lead time). Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka perusahaan perlu menyiapkan persediaan pengaman atau safety stock. Persediaan pengaman adalah tambahan persediaan dari jumlah biasanya sebesar rata-rata kondisi persediaan dan lamanya waktu tunggu. Peranan peramalan sangat penting dalam menentukan besarnya persediaan pengaman, jika peramalan dilakukan dengan tepat maka perusahaan boleh tidak mempunyai persediaan pengaman (Siagian, 2005) . 8. Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point) ROP atau titik pemesanan kembali merupakan saat atau waktu dimana harus dilakukan pemesanan lagi terhadap bahan baku, sehingga penerimaan bahan baku yang dipesan tepat pada waktu persediaan diatas safety stock sama dengan nol. ROP harus ditentukan secara benar karena
30
kekeliruan saat pemesanan kembali tersebut dapat berakibat terganggunya proses produksi (Yudiana, 2013). ROP (Reorder Point) adalah titik atau tingkat persediaan dimana pemesanan kembali harus dilakukan. Model persediaan sederhana mengasumsikan bahwa penerimaan suatu pesanan bersifat seketika. Artinya model persediaan mengasumsikan bahwa suatu perusahaan akan menunggu sampai tingkat persediaannya mencapai nol, sebelum perusahaan memesan kembali dan dengan seketika kiriman yang dipesan akan diterima. Akan tetapi waktu antara dialakukannya pemesanan atau waktu pengiriman bisa cepat atau lambat sehingga perlu ditetapkan kapan harus dilakukan pemesanan ulang. ROP harus dihitung secara cermat dan tepat, karena bila ROP terlambat akan berakibat munculnya biaya kekurangan bahan (stock out cost), begitu juga bila ROP terlalu cepat akan berakibat timbulnya biaya penyimpanan tambahan (extra carrying cost) (Siagian, 2005). Menurut Riyanto (2001) dalam Saputra dan Meilani (2013), Reorder point ialah saat atau titik di mana harus diadakan pesanan lagi sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan material yang dipesan itu adalah tepat pada waktu dimana persediaan di atas safety stock sama dengan nol. Reorder point dapat ditetapkan dengan berbagai cara, antara lain : a. Menetapkan jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan presentase tertentu. b. Menetapkan jumlah penggunaan selama lead time dan ditambah dengan penggunaan selama periode tertentu sebagai safety stock C. Kerangka Pemikiran Suatu perusahaan seperti Industri mebel rotan Agung Rejeki Furniture dalam menjalankan bisnisnya harus dapat menjaga kepercayaan konsumen atau pelanggan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara selalu dapat memenuhi permintaan yang diinginkan oleh konsumen. Untuk dapat selalu memenuhi permintaan tersebut maka perusahaan harus memiliki suatu proses produksi yang lancar. Padahal syarat kelancaran proses produksi pada suatu
31
perusahaan adalah adanya peralatan yang memadai, tenaga kerja yang terampil, serta bahan yang tersedia dengan didukung adanya perencanaan dan pengendalian produksi. Kelancaran suatu proses produksi sangat ditentukan oleh adanya tingkat persediaan dalam suatu perusahaan. Persediaan sangat penting karena dapat memperlancar proses produksi. Pengendalian persediaan dalam suatu perusahaan perlu diperhatikan agar perusahaan tidak kehabisan atau kekurangan bahan ketika akan atau sedang melakukan produksi. Pengendalian persediaan juga dapat digunakan sebagai antisipasi ketika bahan baku dari agen atau supplier tidak ada atau tidak tersedia dan memerlukan waktu tunggu untuk mendapatkannya. Sehingga persediaan dapat digunakan untuk proses produksi selama waktu pemesanan hingga barang yang dipesan. Pengendalian persediaan bahan baku dapat diterapkan dengan alat analisis EOQ (Economic Order Quantity) yang merupakan metode perhitungan jumlah optimal terhadap persediaan pada suatu perusahaan. Alat analisis tersebut sangat membantu dalam mengurangi risiko
yang
dapat
merugikan
perusahaan,
sehingga
EOQ
akan
memberitahukan seberapa banyak jumlah atau kuota optimal yang harus dilakukan perusahaan setiap kali melakukan pemesanan dan seberapa banyak frekuensi yang harus dilakukan perusahaan dalam satu periode. Dalam perhitungan EOQ terdapat safety stock yang merupakan persediaan
pengaman
yang
harus
dilakukan
perusahaan
untuk
mengantisipasi. Safety stock digunakan ketika mengalami lead time atau waktu tunggu antara saat pemesanan hingga barang diterima. Kemudian akan diketahui juga reorder point dimana perusahaan sudah harus melakukan pemesanan kembali terhadap persediaannya untuk menghindari kekurangan atau kehabisan bahan. Sehingga demikian dapat diketahui pemesanan optimal dalam perusahaan yang kemudian akan menghasilkan biaya persediaan yang minimal. Adapun alasan-alasan adanya penyimpanan yang menurutnya sesuai dengan prinsip EOQ yaitu:
32
1)
Untuk menghadapi ketidakpastian dalam permintaan sebagaimana diketahui bahwa adanya kemungkinan permintaan yang berfluktuasi dari pelanggan.
2)
Untuk menghindari fasilitas manufaktur yang tidak bisa bekerja lagi karena adanya kegagalan mesin, suku cadang yang rusak, suku cadang yang tidak tersedia, dan pengiriman suku cadang yang terlambat
3)
Untuk berjaga-jaga jika terjadi kenaikan harga di masa yang akan datang. Dengan melihat kondisi perusahaan yang mengalami atau menghadapi
adanya fluktuasi permintaan dari pelanggan dan perolehan bahan baku bukan merupakan hasil produksi sendiri melainkan membeli dari supplier maka dapat digunakan metode EOQ (Economic Order Quantity) sebagai alat untuk membantu mengefisienkan pengendalian persediaan di Agung Rejeki Furniture agar biaya persediaan dapat seminimal mungkin dengan persediaan yang optimal tanpa terjadi kelebihan atau kekurangan bahan baku yang berarti. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dibuat kerangka pemikiran seperti pada gambar berikut:
33
Agung Rejeki Furniture
Proses Produksi
Perencanaan & Pengendalian Produksi
Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Antisipasi Permintaan Fluktuatif & Ketersediaan Bahan Baku Pada Supplier / Agen
Metode Perhitungan EOQ (Economic Order Quantity)
Kuantitas Pembelian Bahan Baku Per Pesan
Waktu Pemesanan
Frekuensi Pemesanan Per Periode/Tahun
Safety Stock
Lead Time
Reorder Point
Biaya Pembelian Rotan Optimal
Biaya Persediaan Minimal Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pendekatan Masalah D. Asumsi Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Permintaan diketahui dengan pasti dan konstan selama periode persediaan.
34
2. Biaya pemesanan per pesan diketahui dan konstan. 3. Biaya penyimpanan per unit per tahun diketahui dan konstan. 4. Jarak waktu atau lead time sejak melakukan pemesanan hingga barang datang adalah konstan. 5. Jumlah barang yang dipesan diterima seketika atau tiba dalam sekali waktu, tidak bertahap. 6. Tidak terdapat diskon dalam tingkat kuantitas pesanan E. Pembatasan Masalah 1. Penelitian dilakukan pada Industri Agung Rejeki Furniture. 2. Bahan baku yang diteliti pada penelitian ini adalah tiga macam jenis rotan alami yang meliputi rotan poles, rotan kubu, dan rotan fitrit. 3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pada Industri Agung Rejeki Furniture selama tiga tahun (2012-2014). F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Rotan adalah tanaman yang merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang sering dimanfaatkan dalam perusahaan mebel/furniture (kg). 2. Industri mebel/furniture rotan merupakan Industri yang bergerak di bidang pengolahan yang menggunakan bahan dasar rotan dan menghasilkan produk berupa furniture seperti meja, kursi, dan lain-lain. 3. Bahan baku adalah bahan (rotan) yang digunakan sebagai komponen utama dalam proses produksi (kg). 4. Rotan poles adalah rotan yang permukaannya halus karena telah dikupas kulitnya secara keseluruhan serta dipoles, dan sering digunakan sebagai pembentuk kerangka furniture sehingga berfungsi sebagai penyangga. 5. Rotan fitrit adalah rotan yang sudah dipoles tetapi memiliki diameter yang sangat kecil, dan sering digunakan sebagai bahan baku untuk membuat anyaman furniture/handicraft dengan desain produk berbentuk anyam. 6. Rotan kubu adalah rotan yang permukaannya masih tertutup kulit berwarna coklat kekuningan yang sering digunakan sebagai bahan untuk memproduksi furniture dengan desain dekorasi.
35
7. Persediaan merupakan bahan baku rotan yang disimpan yang akan digunakan
dalam proses produksi untuk menjaga kelancaran proses
produksi (kg). 8. Pengendalian adalah suatu proses pengukuran, penentuan, pengaturan, serta perbaikan terhadap bahan baku rotan yang disesuaikan dengan ketetapan maupun rencana. 9. Sistem pengendalian persediaan merupakan serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan harus melakukan pemesanan untuk menambah persediaan dan berapa besar frekuensi pemesanan yang harus diadakan. 10. Biaya penyimpanan yaitu biaya yang ditanggung selama mengadakan penyimpanan bahan baku (Rp). 11. Biaya pemesanan yaitu biaya yang ditanggung ketika perusahaan melakukan pemesanan terhadap bahan baku (Rp). 12. Safety stock atau persediaan pengaman adalah persediaan tambahan yang diadakan untuk melindungi atau menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan bahan (stock out) (kg). 13. Reorder point atau titik pemesanan kembali adalah titik atau tingkat persediaan dimana pemesanan kembali terhadap bahan baku harus dilakukan (kg). 14. EOQ (Economic Order Quantity) adalah suatu metode perhitungan persediaan untuk menentukan jumlah persediaan yang paling optimal pada perusahaan sehingga tercapai efisiensi biaya. 15. Waktu tunggu (Lead time) yaitu selang waktu yang dibutuhkan ketika melakukan pemesanan sampai bahan baku diterima (hari). 16. Frekuensi pemesanan adalah jumlah atau banyaknya pelaku usaha untuk melakukan pemesanan terhadap bahan baku (kali). 17. Waktu pemesanan yaitu waktu dimana pelaku usaha melakukan pemesanan bahan baku.