6
II.
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Penelitian Arni (1999) dengan judul “Analisa Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Keseimbangan Internal Ekonomi Makro Indonesia” menyatakan bahwa krisis moneter telah memporakporandakan perekonomian makro Indonesia. Ada 4 indikator utama ekonomi makro, yaitu: laju pertumbuhan ekonomi (GDP), tingkat inflasi, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan keseimbangan neraca pembayaran (ekspor-impor). Semua indicator ekonomi makro Indonesia berada dibawah batas ambang kenormalan. Ada dua instrumen untuk memperbaiki indikator ekonomi makro tersebut, yaitu melalui kebijakan fiscal dan moneter. Dua kebijakan ini harus dilakukan sejalan, karena bersifat saling mengimbangi. Studi ini bertujuan untuk melihat dampak kebijakan fiskal terhadap keseimbangan internal ekonomi makro Indonesia, dengan mengabaikan keseimbangan eksternalnya, yaitu neraca pembayaran. Kebijakan fiscal dan moneter dalam studi ini adalah pengeluaran pemerintah (G), jumlah uang beredar (Ms), dan pajak pendapatan (t1). Sedangkan keseimbangan internal ekonomi makro, adalah pertumbuhan ekonomi (GDP), tingkat harga (inflasi) dan penyerapan tenaga kerja (e). Dari hasil analisa disimpulkan bahwa, kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif yang cukup berarti terhadap pertumbuhan GDP, dan penyerapan tenaga kerja, walau pun terjadi peningkatan inflasi yang relatif kecil. Kebijakan peningkatan pajak pendapatan memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan GDP tetapi menurunkan penyerapan tenaga kerja, sementara tingkat inflasi masih dalam batas normal. Kebijakan penambahan uang beredar memberikan dampak yang sangat buruk terhadap ekonomi makro Indonesia. Berdasarkan hasil analisa ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan, yaitu: kebijakan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan pajak pendapatan sangat berarti dalam perbaikan ekonomi Indonesia, tingkat suku bunga yang optimal adalah 23%. Perlu dipikirkan kebijakan untuk mengurangi jumlah uang beredar. 6
7
Penelitian Idayanti (2005) dengan judul “Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pasca Krisis Di Indonesia (Januari 1999 – Desember 2003)” bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh inflasi, kurs, JUB, tingkat suku bunga SBI terhadap6pertumbuhan ekonomi di Indonesia pasca krisis. Data yang digunakan adalah deret waktu (time series) mulai bulan Januari 1999-Desember 2003. Alat analisisnya adalah model ECM (Eror Corection Model), dimana pertumbuhan ekonomi PDB sebagai variabel dependen dan Inflasi, Kurs, tingkat suku bunga SBI, dan JUB sebagai variabel independen. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Inflasi berpengaruh negatif, Kurs berpengaruh negatif, JUB berpengaruh negatif, dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil dari penelitian berdasarkan uji ECM (Error correction model) menunjukkan bahwa inflasi untuk jangka pendek memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar –0,770305, sedangkan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh positif dan signifikan dengan koefisien sebesar 0,245843. Variabel Kurs jangka pendek mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar –2,430408, sedangkan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar –1,190790. Variabel JUB menunjukkan untuk jangka pendek mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan sebesar –0,952125 sedangkan untuk jangka panjang mempunyai pengaruh positif dan signifikan dengan koefisien sebesar 0,067834. Variabel SBI untuk jangka pendek mempunyai pengaruh negatif dan signifikan dengan koefisien sebesar –1,032986 dan dalam jangka panjang mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan dengan koefisien sebesar –1,190790. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka terdapat beberapa saran yang diajukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu melalui kebijakan moneter yang lebih ditujukan pada pencapaian kestabilan makroekonomi yang tercermin pada pengendalian variabel ekonomi seperti kestabilan tingkat harga (inflasi), jumlah uang beredar yang sesuai dengan
8
kebutuhan riil perekonomian, nilai tukar Rupiah yang stabil dan kompetitif, serta landasan fundamental ekonomi yang kuat sehingga dapat mendukung terjadinya pertumbuhan ekonomi yang memadai. Penelitian Gulo (2008) dengan judul “Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh aspek fiskal dan moneter (pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar dan pajak) serta kondisi perekonomian terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1988 – 2007, yaitu data pengeluaran pemerintah untuk dana rutin dan pembangunan, jumlah uang beredar, penerimaan pajak dan PDB Indonesia. Data tersebut diperoleh dari Departemen Keuangan, BPS dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek fiskal dan moneter berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tingkat kepercayaan 99 persen atau α=1 %, dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 99,54 persen. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah (baik rutin dan pembangunan) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, sedangkan jumlah uang beredar dan penerimaan pajak tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masing-masing pada α=1 % dan α=10%. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar, dan penerimaan pajak tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil estimasi model diketahui bahwa kondisi perekonomian sesudah krisis ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin buruk setelah terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997.
9
Tabel 2. Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Analisis Pengaruh Fiskal dan Moneter terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia Nama peneliti Arni (1999)
Judul
Analisa Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Keseimbangan Internal Ekonomi Makro Indonesia Idayanti Pengaruh (2005) Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Pasca Krisis Di Indonesia (Januari 1999 – Desember 2003) Gulo Analisis (2008) Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber : Analisis Data
Persamaan
Perbedaan
Menganalisis kebijakan fiskal dan moneter Indonesia terhadap penyerapan tenaga kerja
Penelitian tersebut menggunakan variabel pengeluaran pemerintah (G), jumlah uang beredar (Ms), dan pajak pendapatan (t1) sedangkan penelitian ini menggunakan variabel penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, pengeluaran pemerintah, pengeluaran pemerintah sektor pertanian, suku bunga dan jumlah uang beredar Penelitian tersebut menganalisis kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi, penelitian ini lebih fokus menganalisis kebijakan fiskal dan moneter terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian Penelitian tersebut menggunakan data perbulan, penelitian ini menggunakan data pertahun
Menganalisis kebijakan moneter Indonesia
Menganalisis kebijakan fiskal dan moneter Indonesia
Penelitian tersebut menganalisis kebijakan fiskal dan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi, penelitian ini menganalisis kebijakan fiskal terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian Penelitian tersebut menggunakan data ketika terjadi gejolak ekonomi pada masa krisis ekonomi, penelitian ini menggunakan data dimana keadaan perekonomian Indonesia stabil
10
B. Tinjauan Pustaka 1. Pembangunan ekonomi Perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang luar biasa selama satu dasawarsa setelah terjadinya Krisis Asia, sebagai hasil dari kebijakan ekonomi makro yang hati-hati dan reformasi kebijakan yang efektif pada saat itu sehingga bangsa Indonesia dapat menikmati kemajuan selama beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, tingkat pertumbuhan sedikit menurun dalam beberapa tahun terakhir, yang tercermin dari melemahnya permintaan internasional dan melambatnya pertumbuhan investasi akibat harga komoditas yang lebih rendah serta meningkatnya ketidakpastian peraturan pemerintah dan adanya hambatan infrastruktur. Saat ini, Indonesia masih berada dalam tahap pertumbuhan, akan tetapi laju reformasi telah melambat dalam beberapa tahun terakhir dan pemerintah telah mengambil sejumlah langkah perdagangan proteksionis. Faktor internal maupun eksternal akan tetap menjadi tantangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan moneter. Untuk memastikan meningkatnya standar kehidupan secara berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia, stabilitas ekonomi makro perlu dijaga, berbagai macam reformasi struktural perlu dilakukan, dan juga perlu disediakan ruang fiskal yang lebih lebar untuk meningkatkan belanja pemerintah dalam bidang-bidang prioritas seperti pendidikan,
kesehatan,
pengentasan
kemiskinan
dan
infrastruktur.
Penghapusan sebagian besar subsidi bahan bakar minyak yang dilakukan belum lama ini merupakan langkah yang patut dipuji menuju arah tersebut. Akan tetapi, harga ekspor komoditas yang rendah dan pertumbuhan yang lebih lambat sekarang ini menandakan bahwa ruang fiskal yang lebih lebar tersebut harus berasal dari terhadap peningkatan pendapatan pajak yang masih rendah pada saat ini dan rencana tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Selain itu, peningkatan efisiensi dan penargetan belanja pemerintah di tingkat pusat maupun daerah juga dilakukan (OECD, 2015)
11
Modal fisik (physical capital) dan sumber daya manusia (human capital) berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Ketersediaan modal fisik sangat terkait dengan ketersediaan dana investasi. Pada kasus perekonomian Indonesia, meski kinerja pertumbuhan belum mencapai rata-rata prakrisis Asia, namun fundamental perekonomian yang cukup kuat, disertai dengan perbaikan risiko makro dan mikro perekonomian, telah mendorong berbagai lembaga internasional untuk memberikan penilaian positif terhadap prospek perekonomian Indonesia. Hasilnya, Indonesia kembali dikategorikan pada peringkat layak investasi (investment grade) oleh beberapa lembaga internasional (Maryaningsih et al., 2014) Sejarah mencatat hubungan antara pertumbuhan output (PDB) dan kesempatan kerja telah melemah. Sejarah mesin pertumbuhan ekonomi telah kehabisan tenaga. Hal ini semakin sulit untuk menciptakan lapangan kerja, diluar kawasan perdagangan retail impor. Implikasi yang tak diinginkan adalah bahwa pekerja kasar tidak lagi menjadi sumber daya yang langka atau penting, kecuali
dalam
beberapa
jenis
pekerjaan
di
sektor
pertanian
(Ayres, 2009) 2. Pembangunan pertanian Kontribusi sektor pertanian diperkirakan terus menurun hingga tahun 2030 namun diikuti oleh peningkatan kesejahteraan, produktivitas, dan keterkaitannya dengan sektor lain. Produktivitas sektor pertanian akan meningkat seiring dengan kemajuan teknologi sehingga menghasilkan nilai tambah per pekerja yang lebih besar. Peranan sektor pertanian selanjutnya lebih sebagai pendukung sektor manufaktur dan sektor jasa. Komoditas-komoditas cash-crop (seperti kelapa sawit, cokelat dan karet) menjadi pendulum ekspor komoditas industri lanjutan. Dimensi sektor strategis menempatkan pertanian masih merupakan prioritas pertama agar dikelola dengan baik untuk mendukung percepatan sektor sekunder selanjutnya (Darsono, 2012)
12
Kekurangan modal, pengetahuan, infrastruktur pertanian, dan aplikasi teknologi modern dalam kegiatan pertanian menyebabkan sektor ini tingkat produktivitasnya sangat rendah dan seterusnya mengakibatkan tingkat pendapatan petani yang banyak bedanya dengan pendapatan pada tingkat subsisten. Di negara-negara maju, sumbangan relative sektor pertanian kepada pendapatan nasional adalah kecil, tetapi pada waktu yang sama jumlah penduduk yang bekerja di sektor ini juga relatif kecil. Walaupun demikian mereka mampu mengeluarkan hasil-hasil pertanian yang melebihi kebutuhan keseluruhan penduduknya. Salah satu faktor penting yang menimbulkan keadaan ini adalah penggunaan teknologi modern di sektor pertanian, yang meliputi penggunaan alat-alat pertanian modern dan input-input pertanian lain seperti pupuk, insektisida, fungisida dan penggnaan bibit yang baik yang sudah secara meluas dilakukan. Disamping itu, keluasan tanah yang dimiliki seorang petani adalah sangat besar (Sukirno, 2003) Tidak ada negara yang senang mengkhususkan diri dalam produksi komoditi-komoditi bernilai tambah rendah yang hanya bertumpu pada tenaga kerja non-terampil, dan tidak ada pula Negara yang secara sukarela membiarkan negara-negara lain terus melaju meninggalkannya melalui pengembangan sektor-sektor ekonomi yang berpilarkan pada modal, teknologi dan keahlian yang serba tinggi. Jika Negara-negara berkembang terus saja berkutat dengan pembuatan produk-produk bernilai tambah rendah (yang secara teoritis merupakan produk “andalan” mereka karena banyak menyerap faktor-faktor produksi yang mereka miliki secara melimpah, yakni tenaga kerja), maka mereka akan terus terperangkap di dalam struktur ekonomi domestik yang hanya akan melenggangkan ketergantungan kepada produk dan faktor produksi yang nilai ekonomisnya terbatas pembangunannya dalan jangka panjang (Todaro, 1997)
13
Salah satu tujuan ekonomi secara makro adalah untuk mencapai kesempatan kerja penuh atau menghilangkan pengangguran baik di sektor formal maupun informal. Tujuan ini berhubungan erat dengan tingkat atau besarnya PDB riel serta dengan tingkat teknologi yang digunakan. Semakin besar PDB riel maka besar kesempatan kerja yang berarti semakin kecil tingkat pengangguran, sementara itu pada tingkat PDB riel yang sama, tingkat pengangguran akan lebih besar bila digunakan teknologi lebih pada modal, dan begitu sebaliknya (Wijaya, 1990) 3. Sumber Daya Manusia Rencana pembangunan (ekonomi) nasional memerlukan tenaga kerja, untuk dapat operational dalam penyusunan program ketenagakerjaan maka diberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah yang bekerja dan digolongkan menurut jumah dan jenis jabatan (occupation), yang dibutuhkan untuk menunjang perkembangan ekonomi sesuai dengan rencana pembangunan. Suatu rencana pembangunan biasanya sudah menentukan target produksi untuk tiap-tiap sektor. Dari target produksi tersebut dapat ditentukan komposisi kebutuhan tenaga kerja menurut jenis jabatan, yang dihubungkan dengan tingkat teknologi dalam industri yang bersangkutan (Swasono, 1987) Setiap organisasi atau perusahaan memerlukan sumber daya untuk mencapai tujuannya, sumber daya merupakan sumber energi, tenaga, kekuatan (power) yang diperlukan untuk menciptakan daya, gerakan, aktivitas, kegiatan, dan tindakan. Sumber daya tersebut antara lain terdiri atas sumber daya alam, sumber daya finansial, sumber daya manusia, sumber daya ilmu pengetahuan, dan sumber daya teknologi. Di antara sumberdaya tersebut, sumber daya yang terpenting adalah sumber daya manusia (SDM – human resources). SDM merupakan sumber daya yang digunakan untuk menggerakkan dan menyinergikan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa SDM, sumber daya lainnya menganggur (idle) dan kurang bermanfaat dalam
14
mencapai tujuan organisasi. Istilah SDM mencakup semua yang terdapat dalam diri manusia yang antara lain terdiri atas dimensi-dimensi berikut : a. Fisik manusia. Keadaan fisik manusia meliputi tinggi-rendah atau beratringannya manusia, sehat-sakitnya fisik manusia, cantik-tampan atau tidaknya, serta kuat-lemahnya fisik manusia. Kemampuan fisik digunakan unruk menggerakkan, mengerjakan, atau menyelesaikan sesuatu. b. Psikis manusia. Keadaan psikis/kejiwaan manusia antara lain meliputi sehat atau sakitnya jiwa manusia, motivasi, semangat dan etos kerja, kreativitas, motivasi, dan profesionalisme manusia. c. Sifat atau karakteristik manusia. Karakteristik manusia terdiri atas kecerdasan (kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial), energy atau daya untuk melakukan sesuatu, bakat, dan kemampuan untuk berkembang. d. Pengetahuan dan ketrampilan manusia. Pengetahuan manusia meliputi tinggi-rendahnya pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, dan kompetensi yang dimiliki manusia. e. Pengalaman manusia. Pengalaman manusia meliputi pengalaman yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pekerjaan. (Wirawan, 2008) 4. Tenaga Kerja Pertanian Sumberdaya manusia pertanian adalah seluruh manusia yang terkait dengan dunia pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung seperti petani sawah, peternak, pengusaha yang bergerak di bidang peternakan (budidaya, obat-obatan, pakan dan sebagainya), peneliti serta mahasiswa bidang pertanian yang merupakan potensi besar untuk pengembangan pertanian di masa mendatang. Hasil-hasil pembangunan pertanian pun sangat tergantung kepada kualitas sumberdaya manusia, terutama melalui pendidikan formal atau informal. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa seleksi pegawai baik di lingkungan pemerintah maupun swasta pada sector pertanian dari tahun ke
15
tahun, secara umum menunjukkan persaingan yang sangat ketat. Hal ini terjadi karena jumlah calon tenaga kerja yang melamar jauh lebih besar dibandingkan jumlah formasi yang tersedia (Herbenu, 2007) Di banyak Negara berkembang lebih setengah dari penduduknya berada di sektor pertanian. Masalah pengangguran tak kentara banyak dijumpai di sektor ini. Cara bercocok tanam masih tradisional, penggunaan input pertanian sangat terbatas, dan alat-alat pertanian yang digunakan masih tradisional. Semua ini menyebabkan tingkat produktivitas sektor tersebut masih sangat rendah dan merupakan faktor penting yang menimbulkan pendapatan yang rendah dan masalah kemiskinan yang masih meluas (Sukirno, 2003) Transformasi sektor pertanian dan nonpertanian dapat bersifat internal dan eksternal. Faktor internal meliputi transfer tenaga kerja, modal dan barangbarang pertanian (dan jasa), sedangkan faktor eksternal meliputi ekspor barang dan jasa dari sektor pertanian. Proses pergeseran yang terjadi adalah bila muncul industri yang “maju” yang menyerap tenaga kerja dan modal dalam jumlah yang cukup yang semula tenaga kerja dan modal ini dipakai dalam proses produksi pertanian (Soekartawi, 1995) Terjadinya ketidakseimbangan di pasar tenaga kerja karena luas lahan yang terbatas, disertai keterbatasan daya serap tenaga pada sector non-pertanian dengan angkatan kerja yang terus bertambah. Kemudian dengan adanya perkembangan ekonomi, sector non-pertanian berkembang, permintaan terhadap tenaga kerja meningkat, kurva permintaan bergeser. Setelah mencapai titik A (turning point), maka tingkat upah mulai naik sesuai dengan permintaan dan penawaran (Suwarto, 2011) Penurunan pangsa tenaga kerja sektor pertanian terhadap PDB secara nyata yang tidak diikuti penurunan dalam penyerapan tenaga sektor pertanian, dikuatirkan akan menyebabkan penurunan produktivitas dan pendapatan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan. Konsekuensinya adalah sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang semakin berat. Dengan
16
demikian perlu di lihat perubahan-perubahan sosial ekonomi secara mikro di pedesaan, sehingga dapat diperkirakan kearah mana perubahan-perubahan tersebut terjadi, serta langkah antisipatif dalam merumuskan rekomendasi kebijakan yang tepat (Supiyati, 2003) 5. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal merujuk pada pilihan-pilihan pemerintah mengenai tingkat pembelanjaan dan penerimaan (pajak) pemerintah secara keseluruhan. Kebijakan fiskal akan mempengaruhi tabungan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka pendek, dampak utama dari kebijakan fiskal adalah terhadap permintaan agregat barang dan jasa (Mankiw, 2006) Kebijakan fiskal terpusat pada segi penerimaan (perpajakan) dan pembelanjaan pemerintah. Keduanya merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah di bidang ekonomi. Sebagian besar upaya stabilisasi makroekonomi berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. Namun usaha tersebut acapkali sulit sangat sulit dilakukan karena banyakya pos pengeluaran yang benar-benar penting, jika pos-pos tersebut tetap dipotong juga, maka dampak-dampak langsungnya akan terasa sangat menyakitkan dan memukul
peri
kehidupan
rakyat
pada
umumnya
(Todaro, 1999) Keuangan negara tidak hanya penting untuk membiayai tugas rutin pemerintah saja, tetapi juga sebagai “sarana” untuk mewujudkan sasaran Trilogi Pembangunan: pertumbuhan ekonomi, kestabilan dan pemerataan pendapatan. Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam mengelola keuangan negara (pengeluaran dan penerimaannya) sedemikian rupa sehingga dapat menunjang perekonomian nasional: produksi, konsumsi, investasi, kesempatan kerja, dan kestabilan harga, yang apabila diserahkan saja kepada
17
pasar bebas belum tentu akan menjamin tercapainya tujuan Negara (Gilarso, 2004) Elemen kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah dan pajak. Pengeluaran pemerintah adalah faktor penting yang menentukan pengeluaran agregatif dan selanjutnya akan menentukan besarnya PDB actual riel. Elemen kebijakan fiskal adalah perpajakan. Pungutan pajak misalnya, akan menurunkan pendapatan masyarakat. Akibatnya pengeluaran konsumsi swasta masyarakat berkurang. Di sisi lain, penurunan pajak atau bisa berupa pembebasan pajak secara sementara akan menaikkan kapasitas masyarakat untuk memproduksi output karena para pengusaha akan menginvestasikan lebih
banyak
dalam
mesin-mesin
dan
peralatan
produksi
lainnya
(Wijaya, 1990) Sejauh ini, tekad yang tertulis pemerintah dalam hal anggaran ini (Badan Analisa Fiskal, 2004) adalah, pertama, menempuh anggaran belanja seimbang dan dinamis di mana pengeluaran total tidak melebihi permintaan total. Kedua, Anggaran dibedakan menjadi anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Tabungan pemerintah merupakan penerimaan dalam negeri di atas pengeluaran rutin yang diusahakan meningkat agar dapat mengurangi kebutuhan bantuan dan hutang luar negeri. Ketiga, dari sisi penerimaan anggaran, dasar perpajakan diusahakan semakin luas lewat intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak. Keempat, di sisi pengeluaran anggaran, prioritas diberikan pada kegiatan-kegiatan pembangunan dan bukan pada kegiatan-kegiatan rutin. Subsidi-subsidi semakin dikurangi baik untuk perusahaan-perusahaan pemerintah maupun terhadap barang konsumsi, sehingga akan menghemat pengeluaran. Kelima, kebijakan anggaran diarahkan pada sasaran untuk meningkatkan penggunaan barang-barang dan tenaga kerja dari dalam negeri, dengan tujuan agar produksi dalam negeri semakin meningkat. Dan keenam, dalam hubungannya dengan perluasan kesempatan
18
kerja, produsen didorong untuk lebih menggunakan teknologi padat karya dengan sedikit menggunakan teknologi padat modal (Novelina, 2013). Melemahnya konsumsi rumah tangga antara lain ditunjukkan oleh menurunnya beberapa indikator konsumsi seperti penerimaan PPN dan penjualan kendaraan bermotor. Namun, perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga mampu ditahan oleh adanya kenaikan gaji dan pemberian gaji ke-13 bagi PNS/TNI/Polri/Pensiunan, stimulus fiskal berupa insentif pajak, penyaluran bantuan langsung tunai (BLT), serta bantuan sosial lainnya seperti program subsidi pangan (raskin), program keluarga harapan (PKH), program peningkatan infrastruktur pedesaan (PPIP), program pelayanan kesehatan masyarakat (Yankesmas), bantuan operasional sekolah (BOS), dan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) (Kemenkeu, 2011) a. Penerimaan perpajakan Pajak adalah sumbangan wajib yang dipungut pemerintah yang sah, tanpa adanya balas jasa yang secara langsung diterima oleh pembayar pajak. Pendapatan dari pajak dibedakan menjadi pajak dalam negeri (PPh, PPn, PBB, Cukai) dan pajak hasil perdagangan internasional (bea masuk, pajak ekspor). Dalam hal ini salah satu sumber keuangan negara yang sangat besar bagi Indonesia adalah pajak-pajak yang diperoleh dari produksi dan eskpor minyak bumi dan gas alam (Gilarso, 2004) Pajak langsung (direct tax) yakni pajak-pajak yang dipungut secara langsung dari kekayaan dan pendapatan individu maupun perusahaan meliputi 20 persen hingga 30 persen dari total jumlah penghasilan pajak pemerintah di sebagian besar Negara Dunia Ketiga, dan nilainya berkisar 12 persen sampai 20 persen GNP mereka. Sedangkan pajak tidak langsung (indirect tax), seperti bea impor dan pajak ekspor, pajak cukai (yaitu pajakpajak pembelian, penjualan, dan perputaran uang, seperti cukai rokok, pajak makanan di restoran, dan sebagainya) juga merupakan sumber penghasilan fiskal yang utama (Todaro, 1999)
19
Kenaikan pajak akan berarti bahwa kita memiliki pendapatan disposebel yang lebih rendah, dan pendapatan disposebel yang lebih rendah berarti kita harus mengurangi pengeluaran konsumsi kita. Sudah jelas jika pengeluaran investasi dan pemerintah tetap pada jumlah yang sama, maka pengurangan jumlah konsumsi kita berikutnya akan menurunkan produk nasional bruto dan penggunaan tenaga. Dengan demikian, dalam model Keynes, apabila output berada di bawah titik potensial, maka pajak yang lebih tinggi tanpa tambahan pengeluaran pemerintah akan terus menekan output lebih rendah lagi dibanding titik potensial. Dengan demikian dengan mudah kita bisa melihat bahwa dengan model multiplier, pajak menurunkan output (Samuelson, 1985) b. Penerimaan bukan pajak Ada beberapa jenis penerimaan yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. PNBP yang paling potensial untuk digali dengan lebih maksimal adalah penerimaan dari sektor pertambangan. Akhir-akhir ini, banyak pihak yang mengungkapkan bahwa ada potential lost dari pengelolaan pertambangan di Indonesia. Contohnya, berdasarkan kajian dari KPK, ditemukan bahwa dari sektor minerba saja, terdapat triliunan hak negara dari penerimaan royalti dan iuran tetap yang sampai saat ini belum masuk ke kas negara dan berpotensi hilang. Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet kerja, potensi penerimaan negara dari sektor perikanan juga sangat belum
tergarap
secara
optimal.
Beliau
mengungkapkan
bahwa
permasalahan penting dalam pengelolaaan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan adalah tarif PNBP yang sangat kecil dan juga maraknya kegiatan illegal fishing. PNBP yang juga potensial untuk mendukung peningkatan penerimaan negara adalah pendapatan jasa. Meskipun belum ada kajian secara akademis mengenai potensi penerimaan dari jenis pendapatan jasa tersebut, tetapi terdapat beberapa sektor di pendapatan jasa ini yang cukup
20
bersifat komersial dan bisa lebih diintensifkan, misalnya pendapatan hak dan perizinan serta pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan dan kenavigasian (Kemenkeu, 2016) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah salah satu komponen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai bagian dari pendapatan/penerimaan negara. Tujuan Perumusan Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah : 1) Menuju
kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan
pembiayaan pembangunan melalui
optimalisasi sumber-sumber
Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara; 2) Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang
dinikmatinya
dari
kegiatan-kegiatan
yang
menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak; 3) Menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia; 4) Menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan. (BPPT, 2016) Mekanisme pengelolaan PNBP adalah sebagai berikut : 1) Seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke kas Negara (Pasal 4 UU No. 20 Tahun 1997).
21
2) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban Negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN (Pasal 3 ayat 5 UU No. 17 Tahun 2003) 3) Penerimaan harus Disetor seluruhnya ke Kas Negara tepat pada waktunya (Pasal 16 ayat 2 UU No. 1 Tahun 2004) 4) Seluruh PNBP dikelola dalam system APBN (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 1997) 5) Penerimaan Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran (Pasal 16 ayat 3 UU No 1 Tahun 2004) 6) Menteri dapat menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut PNBP yang terutang (Pasal 6 ayat 1 UU No. 20 Tahun 1997) (Kemenkeu, 2012) c. Pengeluaran pemerintah Pengeluaran pemerintah (government expenditure) adalah salah satu variabel pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi dan net-ekspor (ekspor dikurangi impor). Kebijakan pengeluaran pemerintah ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal sebagai salah satu wujud intervensi pemerintah di dalam perekonomian dalam rangka mengatasi kegagalan pasar (market failure). Intervensi pemerintah, yang dikenal dengan kebijakan fiskal, salah satunya dilakukan melalui kebijakan pengeluaran/belanja pemerintah. Bentuk hubungan negatif yang terjadi di Indonesia antara peningkatan (anggaran belanja) dengan kemiskinan dan pengangguran ini sejalan dengan pemikiran ekonom-ekonom aliran Keynesian. Dimana mereka mendasari pemikiran bahwa variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap sebagai salah satu variabel penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Dan nantinya hal ini diharapkan akan menciptakan multiplier effect pada hal sektor-sektor ekonomi lainnya. Multiplier effect pengeluaran
22
pemerintah ini akan semakin besar jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan untuk kegiatan produktif dapat terpenuhi (Kemenkeu, 2014) Melalui pengeluaran pemerintah ikut serta dalam arus uang dan arus barang/jasa dan dengan demikian dapat mempengaruhi seluruh kegiatan kehidupan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dibagi menjadi dua kelompok besar. 1) Belanja Pemerintah Pusat, yang dirinci meliputi : a) Pengeluaran Rutin 1) Belanja pegawai (gaji, pension, uang makan, uang jalan, dll) 2) Belanja barang (kertas, mobil, pemeliharaan gedung, dll). Pengeluaran ini dirinci per departemen per daerah 3) Pembayaran bunga hutan (dalam negeri dan luar negeri) 4) Subsidi-subsidi 5) Pengeluaran rutin lainnya b) Dana Perimbangan, yaitu subsidi kepada daerah, melalui yang disebut Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum/Khusus. 2) Pengeluaran pembangunan Pengeluaran pembangunan yaitu yang tujuannya untuk memajukan
kegiatan
ekonomi
di
bidang
industri,
pertanian,
perhubungan, kesehatan, pendidikan, perluasan kesempatan kerja, dan lain-lain. Pengeluaran pembangunan sebagian besar digolongkan sebagai investasi dan dilaksanakan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan. (Gilarso, 2004) Komponen permintaan agregatif berupa pengeluaran pemerintah ditentukan oleh kebijakan atau kepentingan masyarakat. Keputusan pengeluaran pemerintah dibuat untuk kepentingan masyarakat umum yaitu mencapai tingkat output dan kesempatan kerja yang stabil dan tinggi (Wijaya, 1990)
23
d. Pengeluaran pemerintah sektor pertanian Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian merupakan hal yang sangat penting, sebab sektor pertanian dapat menyerap sebagian besar angkatan kerja perdesaan di negara – negara sedang berkembang termasuk Indonesia (Kristiana, 2015) Pengeluaran
pemerintah
sektor
pertanian
berfungsi
dalam
pendanaan pelaksanaan program-program yang telah dirancang sebuah dinas untuk pembangunan sektor pertanian. Program pertanian yang dibuat diharapkan dapat membantu para petani dalam mengembangkan sektor pertanian di daerahnya. Program dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan akan suatu wilayahnya daerah perkotaan dan pedesaan. Pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian di 35 Kaputaen/Kota di Jawa Tengah berbeda-beda tiap daerah, tergantung pada kebutuhan masingmasing daerah (Suwanti, 2013) Peran
strategis
belanja
pemerintah
pusat
untuk
memacu
pertumbuhan nasional menjadikan perencanaan anggaran sebagai salah satu proses yang sangat krusial dalam penyusunan APBN. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan reformasi pada bidang perencanaan dan penganggaran melalui implementasi konsep penganggaran terpadu, PBK dan KPJM melalui penerbitan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga.
Dukungan
pemerintah
terhadap
peningkatan kinerja sektor pertanian juga diwujudkan melalui peningkatan alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian secara signifikan yang disertai dengan tingginya tingkat realisasi belanja (Sukmawati et al., 2013)
24
6. Kebijakan Moneter Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bab 1 Pasal 10 yang dimaksud dengan Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan atau suku bunga (Pracoyo, 2005) Kebijakan moneter merupakan kebijakan otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Dalam praktek, perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan tersebut adalah stabilitas ekonomi makro yang antara lain dicerminkan oleh stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta cukup luasnya lapangan/kesempatan kerja yang tersedia (Yuniarti, 2012) Warjiyo dalam Novelina (2013) mengatakan bahwa kebijakan moneter adalah kebijakan pengendalian besaran moneter seperti jumlah uang beredar, tingkat bunga, dan kredit yang dilakukan oleh bank sentral. Kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank Indonesia dalam mewujudkan stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional. Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja) serta strategi untuk mencapainya (exhange rate targeting, monetary targeting, inflatuin targeting, implicit but not explicit anchor). Tekanan krisis pada perekonomian global terutama terlihat pada semester kedua tahun 2008 hingga semester pertama 2009. Selama periode tersebut, perekonomian di berbagai Negara pada umumnya mengalami perlambatan laju pertumbuhan hingga pertumbuhan ekonomi negatif. Memburuknya kondisi tersebut terlihat dari kinerja perekonomian negara-
25
negara maju dan kemudian meluas ke negara-negara berkembang. Berbagai kebijakan untuk keluar dari krisis telah dilakukan oleh negara-negara di dunia, baik secara bersama sama maupun individual. Dalam hal ini, pemerintah dan otoritas moneter di masing-masing negara telah mengadopsi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif yang antara lain berupa peningkatan defisit dan belanja Pemerintah, penurunan suku bunga, dan bantuan likuiditas. Walaupun tampaknya langkah-langkah tersebut telah memberikan hasil yang cukup baik bagi proses pemulihan ekonomi global, namun kebijakan-kebijakan yang diambil menyisakan tantangan-tantangan baru, khususnya bagi beberapa negara di kawasan Eropa (Kemenkeu, 2011) a. Suku bunga Dornbusch et all dalam Kewal (2012) menyatakan bahwa tingkat suku bunga menyatakan tingkat pembayaran atas pinjaman atau investasi lain, di atas perjanjian pembayaran kembali, yang dinyatakan dalam persentase tahunan. Kenaikan BI rate (suku bunga acuan) akan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan suku bunga kredit perbankan. Sementara itu di pasar saham, secara jangka pendek margin laba emiten akan tertahan akibat biaya penerbitan surat utang tinggi namun, kenaikan BI rate (suku bunga acuan) ini juga memberikan tekanan bagi perekonomian yang akan mengurangi penyerapan tenaga kerja (Permana, 2014) Perbankan sebagai salah satu fungsi intermediasi, berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan dunia usaha. Khusus untuk dunia usaha, dana yang diberikan oleh bank adalah dalam bentuk kredit. Jumlah permintaan kredit pada suatu bank dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari sisi debitur maupun dari sisi kreditur (perbankan) itu sendiri. Permintaan kredit dari sisi debitur (dunia usaha) dipengaruhi oleh adanya upaya untuk meningkatkan aktivitas usaha, baik dalam bentuk
26
investasi maupun modal kerja. Sedangkan dari sisi perbankan, permintaan kredit dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suku bunga kredit, batas maksimum kredit, SBI, kebijakan-kebijakan pemerintah dan pelayanan bank itu sendiri kepada nasabahnya (Yunan, 2009) Hubungan antara suku bunga dan inflasi ini tentunya akan berdampak pula pada sisi ekonomi yang lain seperti angka pengangguran. Ketika tingkat suku bunga dinaikkan dengan tujuan untuk menurunkan tingkat inflasi maka akan berdampak pula pada penurunan aktivitas ekonomi. Suku bunga yang dinaikkan memungkinkan masyarakat mengambil pilihan untuk menabung dari pada investasi pada sektor riil. Hakekatnya suku bunga ini juga memiliki hubungan yang negatif dengan inflasi seperti yang dijelaskan Mankiw. Ketika tingkat suku bunga naik maka investasi akan turun. Penurunan investasi inilah yang akan membuat usaha menjadi lesu. Bila kenaikan tingkat suku bunga malah membuat lesu kegiatan usaha sektor riil maka ini akan berdampak buruk pada sisi perekonomian yang lain. Lesunya usaha akan membuat pengusaha mengurangi beban biaya termasuk biaya untuk tenaga kerja dan hal ini akan mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga dapat memunculkan pengangguran baru (Burhani, 2014) Berdasarkan pendapat Keynes maka dapat diketahui bahwa fungsi investasi Keynes adalah berslope negative artinya semakin rendah tingkat suku bunga maka investasi semakin besar. Akan tetap mengingat sekecil apapun suku bunga bila investasi yang akan dilakukan akan mendatangkan keuntungan yang lebih kecil dari suku bunga tersebut makan tingkat investasi tetap saja rendah atau terbatas (Putong, 2015) Pemerintah di berbagai Negara menetapkan proporsi aktiva bank yang boleh disalurkan sebagai kredit. Banyak juga peraturan yang membatasi suku bunga yang boleh ditawarkan (baik itu suku bunga deposito maupun suku bunga kredit) oleh bank-bank komersial. Karena itu
27
kalangan banker pun semakin selektif dalam menilai setiap permohonan kredit. Penetapan suku bunga di bawah tingkat yang berlaku di pasar, maka permintaan dana kredit akan jauh melampuai tingkat penawarannya. Kelebihan tingkat penawaran tersebut mengharuskan dilakukannya penjatahan atas sedikit dana yang tersedia. Fenomena ini dikenal dengan represi keuangan (finansial repression), kegiatan invetasi mengalami represi atau tekanan akibat kelangkaan sumber daya finansial yang bersumber dari lebih rendahnya suku bunga baku daripada suku bunga yang berlaku di pasar. Dampak neto pembakuan pembakuan suku bunga oleh pemerintah adalah semakin sedikitnya (atau bahkan hilang sama sekali) sumber daya finansial bagi pera pengusaha kecil. Kalangan perbankan baru bisa menyediakan dana kredit, termasuk biaya administratifnya, kepada para produsen kecil itu jika suku bunga dimungkinkan meningkat. Kalau sudah begitu, maka para pelaku industri kecil dan para petani kecil terpaksa kembali ke pasar uang yang tak terorganisir demi mendapatkan modal, bahkan bersedia untuk membayar suku bunga bahkan lebih tinggi daripada suku bunga pasar demi memperoleh kredit yang semakin langka itu (Todaro, 1999) b. Jumlah uang yang beredar Jumlah uang yang beredar (Money Supply) adalah jumlah tertentu uang kartal di tambah uang giral yang dipegang oleh masyarakat pada tanggal tertentu. Akan tetapi, uang itu beredar. Lembaran-lembaran uang kertas dan kepingan-kepingan logam yang diterima oleh seseorang itu pada suatu saat dikeluarkan lagi untuk membeli dan membayar barang/jasa (Gilarso, 2004) Tingkat penawaran uang (money supply) yakni jumlah keseluruhan uang tunai yang beredar di masyarakat ditambah dengan total nilai rekening giro yang tersimpan di bank-bank, diyakini memiliki keterkaitan langsung dengan tingkat kegiatan ekonomi, pengingkatan penawaran uang (jumlah
28
uang yang beredar di masyarakat ditambah) cenderung akan merangsang perluasan aneka kegiatan ekonomi. Aliran pemikiran ekonomi moneter Keynesian economist menyatakan bahwa meningkatnya penawaran uang atau uang beredar akan meningkatkan ketersediaan dana yang dapat dipinjamkan (loanable funds). Selanjutnya dikatakan bahwa tingkat penawaran dana yang dapat dipinjamkan yang melebihi tingkat permintaannya akan menurunkan suku bunga kredit. Karena besar-kecilnya suku bunga yang berlaku, maka pengusaha akan memperluas investasinya tatkala suku bunga turun dan dana-dana kredit lebih banyak tersedia. Dengan investasi yang lebih banyak, maka tingkat permintaan agregatpun akan mengalami kenaikan, dan hal inilah yang akan membawa kegiatan ekonomi yang lebih tinggi (misalnya berupa terciptanya lebih banyak kesempatan kerja dan tercapainya angka GNP yang lebih tinggi) (Todaro, 1999) Guncangan pada jumlah uang beredar direspon positif oleh tingkat pengangguran. Hal ini berarti ketika terjadi kenaikan pada jumlah uang beredar maka akan menyebabkan tingkat atau jumlah pengangguran bertambah. Ini bisa terjadi ketika jumlah uang beredar yang naik, mengakibatkan biaya produksi menjadi naik. Ketika pendapatan produsen atau perusahaan tidak ikut naik, maka untuk meminimalisir kerugian yang disebabkan oleh kenaikan biaya maka, perusahaan akan mengambil langkah mengurangi biaya tersebut salah satunya dengan mengurangi pengeluaran untuk faktor produksi termasuk tenaga kerja (Burhani, 2014) Tingginya jumlah uang beredar akan mempengaruhi tingkat inflasi, karena semakin banyak uang yang dipegang masyarakat dapat mendorong terjadinya inflasi. Permintaan uang akan memiliki hubungan negatif terhadap output, meningkatnya permintaan uang akan berdampak pada peningkatan tingkat suku bunga dan pada akhirnya berakibat penurunan
29
output dan berpengaruh pada permintaan terhadap tenaga kerja yang mendorong bertambahnya pengangguran (Asyulinda, 2015) C. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Penyerapan tenaga kerja pertanian (Yt) adalah share jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja yang bekerja di seluruh sektor di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Indonesia tidak terlepas dari peran pemerintah melalui instrumen kebijakan-kebijakan. Instrument kebijakan ditetapkan oleh pemerintah pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja negara bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian di Indonesia. Instrumen kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah meliputi kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan kebijakan Luar Negeri. Kebijakan fiskal bukan hanya kebijakan dibidang perpajakan, akan tetapi menyangkut bagaimana mengelola pengeluaran negara untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan moneter merupakan kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi situasi makro yang dilakukan melalui pasar uang. Analisis data yang dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pengaruh fiskal dan kebijakan moneter terhadap penyerapan tenaga kerja di Indonesia dilakukan dengan menggunakan pendekatan model Ordinary Least Square (OLS). Data yang telah didapatkan kemudian diindeks dengan menggunakan metode indeks agregatif sederhana yang bertujuan untuk membandingkan perubahan setiap variabel dari tahun ke tahun.
30
Instrumen Kebijakan Ekonomi Pemerintah Indonesia
Kebijakan Fiskal
Penerimaan perpajakan (X1t)
Penerimaan bukan pajak (X2t)
Kebijakan Moneter
Kebijakan Ekonomi Luar Negeri
Pengeluaran pemerintah sektor pertanian (X3t)
Suku bunga (X4t)
Jumlah uang beredar (X5t)
Ekonomi Makro Indonesia
O L S
Output (GNP)
Penyerapan Tenaga Kerja
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Yt)
Penyerapan Tenaga Kerja Sektor NonPertanian
Gambar 1. Skema Kerangka Teori Keterangan : = hal yang diteliti = hal yang tidak diteliti
Harga
Ekspor Neto
31
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan studi pustaka yang berlandaskan dari teori-teori dan penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian "Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia” adalah : 1. Diduga variabel penerimaan perpajakan (X1t), penerimaan bukan pajak (X2t), pengeluaran pemerintah sektor pertanian (X3t), tingkat suku bunga (X4t) dan jumlah uang yang beredar (X5t) secara parsial berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja pertanian di Indonesia. 2. Diduga variabel penerimaan perpajakan (X1t), penerimaan bukan pajak (X2t), pengeluaran pemerintah sektor pertanian (X3t), tingkat suku bunga (X4t) dan jumlah uang yang beredar (X5t) secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga kerja pertanian di Indonesia. E. Asumsi Dasar 1. Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia belum full employment.. 2. Faktor yang tidak terdapat di dalam model pengaruhnya diabaikan
F. Pembatasan Masalah 1. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, penerimaan perpajakan, penerimaan bukan pajak, pengeluaran pemerintah sektor pertanian, suku bunga, dan jumlah uang yang beredar. 2. Data yang dianalisis terbatas pada data sekunder berupa data deret waktu (time series) dalam rentang waktu 15 tahun (tahun 2000-2014). G. Definisi Operasional 1. Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang meliputi penerimaan dan pengeluaran negara, sedemikian rupa sehingga dapat menunjang perekonomian nasional. 2. Kebijakan ekonomi luar negeri adalah semua kegiatan ekonomi pemerintah Indonesia yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
32
komposisi, arah dan kegiatan ekspor impor baik barang maupun jasa yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. 3. Kebijakan Moneter adalah kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai mata uang, yang meliputi suku bunga dan jumlah uang yang beredar. 4. Penerimaan perpajakan (X1t) adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan Internasional pada tahun 2000-2014 (Rp). 5. Penerimaan bukan pajak (X2t) adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam (SDA), pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) pada tahun 2000-2014 (Rp). 6. Pengeluaran pemerintah sektor pertanian (X3t) adalah jumlah uang yang dikeluarkan pemerintah yang digunakan untuk belanja pemerintah di sektor pertanian 2000-2014 (Rp). 7. Suku bunga (X4t) adalah suku bunga acuan yang ditetapkan oleh bank sentral pada tahun 2000-2014 (%). 8. Jumlah uang yang beredar (M2) (X5t) adalah jumlah uang beredar dalam arti luas yaitu jumlah keseluruhan uang kartal dan giral (M1) dan ditambah dengan deposit berjangkan dan saldo tabungan pada tahun 2000-2014. 9. Ekonomi Makro Indonesia adalah mekanisme perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 10. Output (GNP) adalah keseluruhan nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh input (faktor produksi) milik warga negara, baik faktor produksi tersebut dipekerjakan di dalam negeri maupun dipekerjakan di luar negeri, dalam suatu periode tertentu, biasanya dalam satu satu dan dinilai dengan harga pasar yang berlaku. 11. Harga adalah pertukaran atas manfaat produk baik bagi konsumen ataupun bagi produsen yang dinyatakan dalam satuan Rupiah (Rp).
33
12. Ekspor Neto adalah nilai ekspor di Indonesia yang sudah dikurangi dengan nilai impornya. 13. Penyerapan tenaga kerja pertanian (Yt) adalah share jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan dengan jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja yang bekerja di seluruh sektor di Indonesia 20002014 (Jiwa). 14. Penyerapan tenaga kerja non-pertanian adalah share jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor non-pertanian yang meliputi delapan sektor perekonomian yaitu pertambangan dan penggalian, listrik dan air bersih, industri, listrik gas dan air, konstruksi, perdagangan, transportasi pergudangan dan komunikasi, dan jasa dibandingkan dengan tenaga kerja yang bekerja di seluruh sektor di Indonesia (Jiwa). 15. Metode OLS adalah metode ekonometrik dimana terdapat variabel independen yang merupakan variabel penjelas dan satu variabel dependen yaitu variabel yang dijelaskan dalam suatu persamaan linear, dan merupakan model regresi yang meminimalkan jumlah kesalahan (error). 16. Angka indeks merupakan nilai perbandingan perubahan relatif yang dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap yang lain yang berfungsi membandingkan suatu perubahan dari periode ke periode (Siagian, 2000) 𝑋𝑛
IX = 𝑋0 x 100 IX = Indeks agregatif X pada periode ke-n Xn = X pada periode berjalan X0 = X pada periode dasar