II.
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widyaastuti (2013) dengan judul “Strategi Diseminasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung” menunjukkan bahwa dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung memiliki kekuatan utama dengan adanya kemauan untuk mandiri, kreatif, berbisnis dan maju dari petani, kelemahan utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah rendahnya kualitas SDM (paradigma dan orientasi usahatani masih subsisten), peluang utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah perkembangan teknologi yang semakin canggih dan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013, serta ancaman utama dalam diseminasi BUMP di Kabupaten Temanggung adalah terbatasnya jumlah jaringan komunikasi/internet dan agen media informasi di daerah perdesaan. Penelitian mengenai “Sikap Petani Terhadap Teknologi Pengendalian Hama Wereng Batang Cokelat Melalui Sekolah Lapang Pngendalian Hama Terpadu di Desa Kebonharjo Kecamatan Polanharjo Kabupaten Klaten” yang dilakukan oleh Nanang Adi Pamungkas (2013), menunjukkan bahwa hubungan antara sikap Petani dengan sikap terhadap teknologi pengendalian hama wereng batang cokelat melalui SLPHT hubungan signifikan arah negatif yaitu pendidikan non formal dan sangat signifikan kontak media massa. Darmawan Baskoro Wibisono (2011) melakukan penelitian dengan judul “Sikap Petani Terhadap Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (Puap) Di Kota Salatiga” Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan positif antara umur dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pengalaman pribadi dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara pendidikan non formal dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif
6
7
antara pengaruh orang lain yang dianggap penting dan sikap petani terhadap program PUAP, ada hubungan positif antara media massa yang diakses petani dan sikap petani terhadap program PUAP. Tabel 1. Penelitian Terdahulu yang Terkait No.
Penelitian Terdahulu
1.
Lanjar Sugiarti 2010 “Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Petani Dengan Tingkat Adopsi Budidaya Tanaman Semangka Hibrida Di Kabupaten Karanganyar Bekerjasama Dengan Pt. Tunas Agro Persada Semarang”
Menggunakan Penelitian terdahulu metode analisis data menggunakan variabel terikat lebar interval dan pada hubungan faktor sosial ekonomi petani dengan rank kendall tingkat adopsi budidaya tanaman semangka hibrida. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
2.
Eliek Prasetiawan 2013 “Sikap Petani Buah Naga (Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Teknik Penyuluhan Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo”
Faktor-faktor pembentuk sikap dan menggunakan metode analisis data lebar interval
3.
Dessy Suminta Uli S 2013 Faktor-faktor “Sikap Petani Terhadap pembentuk sikap Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) studi kasus: Desa Semanampang, Kecamatan Pahae Julu, Kabupaten Tapanuli Utara”
4.
Persamaan
Perbedaan
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani buah naga terhadap teknik penyuluhan. Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Penelitian terdahulu menggunakan variabel terikat pada sikap petani terhadap perkumpulan petani pemakai air (p3a). Penelitian ini menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Penelitian terdahulu Albeta Sekar Toraldy 2013 Menggunakan “Analisis Preferensi metode analisis data menggunakan variabel terikat pada analisis preferensi Konsumen Terhadap Buah rank kendall konsumen terhadap buah Pisang Keprok di Kota pisang keprok. Penelitian ini Surakarta” menggunakan variabel terikat pada tingkat sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
Sumber: Data yang Diolah
8
B. Tinjauan Pustaka 1. Kelembagaan Agribisnis Davis and Golberg, Sonka and Hunson, Farrel and Funk diacu dalam Firdaus (2008), menyatakan bahwa “Agribusiness incluced all operations involved in the manufacture and distribution of farm supplies, production on the farm, in the storage, processing and distribution of farm commodities made from the trading (Wholesaler,retailers), consumers to it, all non farm firms and institution serving them”. Dewasa ini pandangan tentang agribisnis yang secara umum dianggap tepat sudah semakin luas. Menurut pandangan ini, agribisnis mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian (Farm Supplies) sampai dengan tataniaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya. Menurut Arsyad et al. (1985) dalam Firdaus (2008), yang dimaksud dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruahan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegitan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian. Pengertian agribisnis menurut suku katanya berasal dari kata agri dan bisnis. “agri adalah pertanian sedangkan bisnis adalah usaha yang menghasilkan uang, dengan demikian pengertian agribisnis adalah setiap usaha yang berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian, yang meliputi pengusahaan input pertanian dan atau pengusahaan produksi itu sendiri ataupun juga pengusahaan pengelolaan hasil pertanian”. “Sistem agribisnis adalah suatu rangkaian kegiatan yang terdiri dari empat sub-sistem yang saling mempengaruhi yaitu sub-sistem penyedia input pertanian, subsistem produksi pertanian, subsistem pengolahan hasil, dan sub-sistem pemasaran hasil pertanian termasuk produk-produk turunannya, yang seluruh kinerjanya dipengaruhi oleh koordinator agribisnis”. (Hadi P 1992, diacu dalam Krisnamurthi B, et al 2010)
9
Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu : kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of game) dalam interaksi personal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarkhi (Hayami dan Kikuchi 1981 dalam Baga L et al 2009). Kelembagaan sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak serta tanggungjawabnya. Kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi (2003), dapat dinyatakan sebagai kumpulan orang-orang dengan sadar berusaha memberikan sumbangsih mereka kearah pencapaian suatu tujuan umum. Kelembagaan sebagai suatu organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintah. Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan peningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku pada organisasi formail maupun organisasi nonformal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowlar (1992) menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, partai, perusahaan, dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hokum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan, adat-istiadat, dan lain-lain. Kelembagaan petani yang dimaksud di sini adalah lembaga petani yang berada pada kawasan lokalitas (local institution), yang berupa organisasi keanggotaan (membership organization) atau kerjasama
10
(cooperatives) yaitu petani-petani yang tergabung dalam kelompok kerjasama (Uphoff, 1986). Kelembagaan ini meliputi pengertian yang luas, yaitu selain mencakup pengertian organisasi petani, juga ‘aturan main’ (role of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu. Kelembagaan petani dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa peran, yaitu: (a) tugas dalam organisasi (interorganizational task) untuk memediasi masyarakat dan negara, (b) tugas sumberdaya (resource tasks) mencakup mobilisasi sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material, informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, (c) tugas pelayanan (service
tasks)
mungkin
mencakup
permintaan
pelayanan
yang
menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan (d) tugas antar organisasi (extra-organizational task) memerlukan adanya permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar (Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989). Kelembagaan
petani
merupakan
lembaga
yang
ditumbuh
kembangkan dari, oleh dan untuk petani guna memperkuat kerjasama dalam memperjuangankan kepentingan petani dalam bentuk kelompoktani (poktan) dan gabungan kelomptani (gapoktan). Selain itu, kelompoktani dengan lembagan petani mempunyai peran penting dan strategis dalam pertumbuhan ekonomi di wilayah pedesaan. Sesuai dengan Permentan No. 82 Tahun 2013 tentang pembinaan poktan dan gapoktan bahwa kelompoktani (poktan) adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan social, ekonomi dan sumberdaya; kesamaan komoditas dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Sedangkan untuk gabungan kelompoktani (gapoktan) adalah kumpulan beberapa kelompoktani yang tergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha (Syamsul, 2014).
11
Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertanian juga memiliki titik strategis (entry point) dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra, 2008). Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan. Di tingkat makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam program dan proyek intensifikasi dan peningkatan
produksi
pangan. Kegiatan
pembangunan
pertanian
dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD) dan lain-lain. Kondisi di atas menunjukkan signifikansi keberdayaan kelembagaan
dalam
akselerasi
pembangunan
sektor
pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil berbagai pengamatan yang menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individu individu yang memiliki jiwa berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap perencanaan
dan
implementasi
inisiatif
tersebut
maka
peluang
keberhasilan pembangunan pertanian menjadi semakin besar (De los Reyes dan Jopillo 1986;USAID 1987; Kottak 1991; Uphoff 1992a; Cernea 1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam Suradisastra, 2011).
12
2. Kebijakan Pertanian Ealau dan Prewitt dalam Suharto (1997), memberikan pengertian kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang meltaatinya (yang terkena kebijakan itu). Menurut Muhadjir (2003), terdapat empat konsep dalam bentuk paradigma kebijakan yaitu (l) Paradigma Social Welfare Policy, (2) Paradigma Public Policy, (3) Paradigma Social Policy. dan (4) Paradigma Desentralisasi dan Otonomi. Proses kebijakan diwarnai beberapa hal yaitu meliputi sebagai berikut: (l) Interes dan keberanian dari pembuat atau penentu kebijakan, (2) Konteks professional, (3) Batas kewenangan, yaitu kewenangan organisasi, dan kewenangan akademik, (4) Kekuatan social, dan (5) Kecenderungan kebijakan publik Sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain adalah meningkatkan penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pertanian diharapkan mampu melayani kebutuhan pangan untuk penduduk yang besar dan terus meningkat. Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, salah satu tujuan pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan petani, yang merupakan pelaku utama pembangunan pertanian. Selama ini petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi perdesaan, terutama peran mereka sebagai penyedia pangan nasional dan bahan baku industri pertanian. Oleh karena itu, perlindungan dan pemberdayaan petani merupakan agenda penting yang harus dilakukan. Berhubungan dengan adanya kebijakan terutama kaitannya dengan pertanian maka UU No. 19 tahun 2013 tentang
13
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) merupakan tonggak penting dalam pengorganisasian petani. Dalam UU ini dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas. Pada Pasal 71 tertulis “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”. Organisasi dimaksud dalam UU ini disebut dengan lembaga atau kelembagaan terdiri atas empat bentuk yaitu Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Selain yang disebut dengan jelas tersebut, untuk bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam istilah Kelembagaan Ekonomi Petani yang dimaknai sebagai “lembaga yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”(Pasal 1). Dalam konteks ini, maka bisa berupa koperasi, baik koperasi primer maupun sekunder, serta juga badan usaha lainnya. Sangat dimungkinkan pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau pun CV (commanditaire vennootschap) atau sering disebut dengan Persekutuan Komanditer. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun semestinya juga menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan pada pasal 1 UU ini. Untuk penjabaran lebih jauh khusus untuk kelompok tani dan Gapoktan telah dikeluarkan kebijakan terbaru yaitu Permentan No. 82/Permentan/Ot.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani. Disebutkan bahwa tujuan lahirnya pedoman ini adalah untuk: (1) meningkatkan jumlah kelompok tani dan Gapoktan, (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani dan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya, dan (3) mendorong kelompok tani dan Gapoktan meningkatkan kapasitasnya menjadi kelembagaan ekonomi petani. Jadi, dalam hal berorganisasi, UU No. 19 tahun 2013 hanya mengakui lima jenis
14
organisasi, yaitu kelompok tani, Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani berupa BUMP. “Kelompok Tani” adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota”, sedangkan, “Gabungan Kelompok Tani” adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha” (Litbang, 2014). 3. Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan turutnya campur tangan manusia (petani). Pembangunan pertanian sebagai sub-sistem pembangunan ekonomi nasional, harus selalu memperhatikan pautannya (linkage) dengan pembangunan ekonomi dalam arti yang seluas-luasnya. Pembangunan pertanian sebagai bagian dari upaya pembangunan wilayah seutuhunya, harus senantiasa memperhatikan potensi wilayah yang bersangkutan, baik untuk kepentingan pembangunan pertanian itu sendiri, maupun untuk kepentingan pembangunan wilayah secara keseluruhan (Mardikanto, 2007). Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pertanian adalah tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat (petani) yang hidup di pedesaan. Dengan adanya kenaikan pendapatan itu, jumlah dan ragam serta mutu konsumsi masyarakat terus bertambah, baik konsumsi bahan pokok (khususnya pangan) maupun konsumsi terhadap barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor non pertanian. Tetapi, kenyataan juga menunjukkan bahwa, keberhasilan pembangunan pertanian tidak selalu dapat menciptakan perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja, terutama bagi angkatan kerja baru di pedesaan. Oleh sebab itu,
15
keberhasilan pembangunan pertanian tidak cukup dijadikan andalan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Berkaitan dengan itu, diperlukan pertumbuhan sektor-sektor lain yang memerlukan kebutuhan modal (untuk investasi maupun modal kerja), kebutuhan tenaga kerja (yang murah), serta tersedianya bahan mentah dan bahan baku yang dihasilkan oleh sektor pertanian (Mardikanto, 2009). Pertanian berkelanjutan adalah suatu pendekatan sistem yang memahami keberlanjutan secara mutlak. Sistem ini memahaminya dari sudut pandang yang luas, dari sudut pertanian individual, kepada ekosistem lokal, dan masyarakat yang dipengaruhi oleh sistem pertanian, baik lokal maupun global. Pendekatan sistem tersebut, memberikan kita piranti untuk menggali interkoneksi antara pertanian dan aspek-aspek lain dari lingkungan kita (SAREP, 1998). Pertanian berkelanjutan mempertahankan keragaman hayati, memelihara kesuburan tanah dan kemurnian air, melindungi dan memperbaiki sifat-sifat kimia, fisika, dan kualitas biologis tanah, mendaur ulang sumberdaya alam dan menghemat energi. Pertanian berkelanjutan memproduksi bentuk-bentuk pangan bermutu tinggi, serat-seratan dan obat-obatan yang beragam. Pertanian berkelanjutan menggunakan sumbedaya yang terbarukan yang tersedia, teknologi tepat guna dan dapat diterima, serta minimasi penggunaan input eksternal dan harus dibeli, sehingga meningkatkan kebebasan lokal dan keswadayaan serta menjamin sumber pendapatan yang mantab bagi petani, keluarga, dan petani kecil maupun masyarakat pedesaan. Pertanian berkelanjutan lebih banyak melibatkan masyarakat untuk tinggal di lahannya, menguatkan masyarakat pedesaan dan memadukan manusia dengan lingkungan tempat hidupnya (Mardikanto, 2009). Badan Usaha Milik Petani (BUMP) diartikan sebagai badan usaha yang dibentuk, dimiliki, dan dikelola oleh petani, dengan tujuan untuk memperbaiki mutu budidaya dan pengelolaan usahatani demi terwujudnya peningkatan produktifitas, nilai-tambah produk, dan perbaikan pendapatan
16
usahatani, perbaikan daya tawar dan kemampuan membangun kemitraan yang sinergis, maju, inovatif dan berkelanjutan. Efisiensi pengembangan BUMP tersebut mencakup: a. BUMP dibentuk oleh inisiatif (wakil) petani untuk membangun kelembagaan petani yang benar-benar mampu melayani kebutuhan petani di semua sub-sistem kegiatan agrobisnis. b. BUMP dimiliki oleh petani, wakil (yang diberi mandat) oleh kelompok-tani/gapoktan
dan
atau
pribadi-pribadi
yang
memiliki kompetensi dan atau komiymen untuk melakukan pemberdayaan (masyarakat) petani. c. Lingkup BUMP pada awalnya terpusat pada semua bentuk layanan kepada petani pada keseluruhan sub-sistem kegiatan agrobisnis. d. BUMP dikelola oleh pemilik/pemegang saham dan tenagatenaga
professional
yang
dipilih
dan
ditetapkan
oleh
pemilik/pemegang saham. e. BUMP merupakan lembaga yang mandiri, bebas dari campur tangan kepentingan (oknum aparat) pemerintah. Meskipun demikian, seperti halnya dengan badan usaha pada umumnya, BUMP selalu tunduk pada kebijakan pemerintah, utamanya kebijakan pembangunan pertanian dan kebijakan pembangunan ekonomi pedesaan (Mardikanto dan Waluyo, 2012). 4. Sikap a. Pengertian Sikap Terdapat berbagai macam pengertian sikap yang dijelaskan oleh beberapa orang ahli. Menurut Allen dan Edgley (1980) secara historis, istilah ‘sikap’ (attitude) digunakan pertama kali oleh Hebert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Wringhtsman dan Deaux, 1981).
17
Tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap dalam bidang eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam menghadapi stimulus yang datang tiba-tiba. Oleh Lange, kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untuk memberikan respons itu disebut aufgabe atau task attitude. Sehingga menurut istilah Lange, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan mencakup pula aspek respons fisik (Azwar, 1995). Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponenkomponen
sikap
adalah
pengetahuan,
perasaan-perasaan,
dan
kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya, sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan objek sikap (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Nilai (value) dan opini (opinion) atau pendapat sangat erat berkaitan dengan sikap, bahkan kedua konsep tersebut seringkali digunakan dalam definisi-definisi mengenai sikap. Sebenarnya ketiga istilah tersebut tidak sama persis maknanya. Opini merupakan pernyataan sikap yang sangat spesifik atau sikap dalam artian yang lebih sempit. Opini terbentuk didasari oleh sikap yang sudah mapan akan tetapi opini lebih bersifat situasional dan temporer. Nilai merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih mendasar. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan sikap individu. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. Nilai bersifat lebih mendasar dan stabil sebagai bagian dari ciri kepribadian, sikap bersifat evaluatif dan berakar pada nilai yang dianut dan terbentuk dalam kaitannya dengan suatu objek, sedangkan opini merupakan sikap yang lebih spesifik dan sangat situasional serta lebih mudah berubah (Azwar, 1995).
18
Sikap adalah sesuatu yang bersifat sedikit langsung, yaitu kecenderungan untuk melihat kepada sesuatu yang mungkin agak spesifik dengan cara-cara tertentu. Sikap adalah suatu kesiapan untuk menanggapi, suatu kerangka yang utuh untuk menetapkan keyakinan atau pendapat yang khas. Sikap biasanya banyak disadari. Orang dapat menyatakannya, meskipun di dalam banyak hal mereka mungkin memilih untuk tidak melakukannya (Leavitt, 1986). Sifat-sifat dasar sikap biasa dikaitkan dengan dua prinsip utama, yaitu pertama tentang pengertian sikap itu sendiri, yakni sebuah sistem penilaian yang relatif bertahan. Penilaian itu bisa positif atau negatif yang berkaitan dengan kepercayaan, perasaan, atau emosi, dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Kedua, ada perbedaan yang diakibatkan oleh dampak sikap terhadap tindakan sosial, hal itu bergantung dari karakteristik
utama sikap. Sifat
dasar sikap
mengandung tiga kriteria pokok, yakni subjek dan objek sikap, struktur atau komponen sikap, dan karakteristik sikap (Liliweri, 1997). b. Faktor Pembentuk Sikap Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain: 1) Pengalaman Pribadi Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Lebih lanjut Mardikanto (1996) menyatakan bahwa pengalaman dalam melakukan kegiatan bertani tercermin dari
19
kebiasaan-kebiasaan yang mereka (petani) terapkan dalam kegiatan bertani dan merupakan hasil belajar dari pengalamannya.
2) Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting Seseorang
yang
dianggap
penting
akan
banyak
mempengaruhi pembentukan sikap. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang berstatus sosial lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami. Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Mardikanto (1996) menyatakan bahwa tokoh-tokoh informal (tokoh keagamaan, tokoh adat, politikus dan guru) merupakan tokoh yang dianggap berpengaruh karena memiliki katau wibawa untuk menumbuhkan opini publik dan yang dijadikan panutan oleh masyarakat setempat. Orang lain yang dianggap penting adalah orang orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus. Misalnya adalah orang tua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin. Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang
searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting
(Rahayuningsih, 2008). Pilihan terhadap pengaruh dari luar itu biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia, terutana yang menjadi minat perhatiannya. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan dengan kehidupan sehari-hari banyak memiliki peranan (Ahmadi, 1999). 3) Pengaruh Kebudayaan Setiap kelompok masyarakat punya tradisi dan kebudayaan tersendiri, yang tentu saja berbeda satu sama lainnya. Kebudayaankebudayaan yang lebih sempurna dari suatu masyarakat yang
20
nantinya akan dapat menjadi sebuah peradaban. Namun, walaupun masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, budaya terdiri dari unsur-unsur
dan
mempunyai
fungsi-fungsi
tersendiri
bagi
masyarakatnya (Psychologymania, 2011). Sementara Malinowski (1994) yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam anthropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan adalah terdiri dari sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan. Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat kesatuan. Para ahli menunjuk pada adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu: a) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan sebagainya). b) Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya). c) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan). d) Bahasa (lisan maupun tertulis). e) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya). f) Sistem pengetahuan dan pendidikan. g) Religi (sistem kepercayaan). (Psychologymania, 2011) Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap
21
anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pula yang memberi corak
pengalaman
individu-individu
yang
menjadi
anggota
kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominansi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual (Azwar, 1995). 4) Kosmopolitan Secara sosial, Nas dalam Khairuddin (1992) menyatakan bahwa masyarakat kota bersifat kosmopolitan. Arti kosmopolitan menurut Departemen Kehutanan (1996) adalah tingkat hubungannya dengan ”dunia luar” diluar sistem sosialnya sendiri. Dimana kosmopolitnes dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Bagi warga yang kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi bagi yang ”localite” (tertutup, terkukung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dinikmati oleh orang-orang lain di luar system sosialnya. Menurut Soekartawi (1988) bahwa, masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi bila dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Disamping itu, masyarakat dengan individu-individu yang kosmopolitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat yang bersifat lokalitas. 5) Lembaga Pendidikan Sistem pendidikan, yakni sekolah adalah lembaga sosial yang turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat seperti yang diharapkan. Sekolah selalu saling berhubungan dengan masyarakat. Melalui pendidikan terbentuklah kepribadian seseorang. Boleh dikatakan hampir seluruh kelakukan individu bertalian dengan atau dipengaruhi oleh orang lain. Maka
22
karena itu kepribadian pada hakikatnya gejala sosial (Nasution, 2004). Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh
dalam
pembentukan
sikap
dikarenakan
keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Hal ini dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sikap kepercayaan maka pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Seperti diketahui, lembaga pendidikan sifatnya bermacammacam diantaranya bersifat formal, informal dan non formal. Pendidikan formal, dapat dilihat dari pendidikan yang pernah dialami (dalam hal ini petani) melalui sekolah-sekolah, dari jenjang tertinggi dari suatu tingkatan pendidikan formal yang tersedia (Mardikanto, 1993). 5. Petani Terdapat dua kata dalam bahasa Inggris berkenaan dengan “petani” yang memiliki konotasi dan atribut yang sangat berbeda, yaitu “peasant” dan “farmer”. Secara mudahnya, “peasant” adalah gambaran dari petani yang subsisten, sedangkan “farmer” adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis. Upaya merubah petani dari karakter peasant menjadi farmer itulah hakekat dari pembangunan atau modernisasi. Peasant adalah suatu kelas petani yang merupakan petani kecil, penyewa (tenants), penyakap (sharecroppers), dan buruh tani. Meskipun berada pada level bawah, sesungguhnya mereka lah yang menggerakkan pertanian. Istilah peasant misalnya digunakan untuk menamai revolusi petani (peasant revolt) yang terjadi dahulu di Eropa. Istilah “peasant revolt” juga digunakan dalam arti yang luas, yaitu sebagai
seluruh
bentuk
pelawanan
yang
datang
dari
petani
(Syahyuti, 2012). Petani atau orang yang sebagai “manajer” mempunyai kewajiban untuk mengambil keputusan, yang menguasai dan yang mengatur
23
penggunaan sumber-sumber produktif yang ada di dalam usahataninya secara efektif, sehingga dapat menghasilkan benda dan pendapatan seperti yang telah direncanakan. Di samping sebagai manajer, petani juga merupakan “juru-tani”, yang harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan di dalam bidang teknik pertanian, sehingga akan mampu untuk
melaksanakan
pengolahan
lahan,
pemeliharaan
tanaman,
pengambilan dan pengolahan hasil, serta penyimpanan dengan sebaikbaiknya (Mardikanto, 2007). Petani sebagai orang yang menjalankan usahataninya mempunyai peran yang jamak (multiple roles) yaitu sebagai juru tani dan juga sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala keluarga petani dituntut untuk dapat memberikan kehidupan yang layak dan mencukupi kepada kepada semua anggota rumah tangganya. Sebagai manajer dan juru tani yang berkaitan dengan kemampuan mengelola usahataninya akan sangat dipengaruhi oleh faktor di dalam dan di luar pribadi petani itu sendiri yang sering disebut sebagai karakteristik sosial ekonomi petani. Apabila ketrampilan bercocok tanam sebagai juru tani pada umumnya adalah ketrampilan sebagai pengelola
mencakup
kegiatan
pikiran
didorong
oleh
kemauan
(Mosher, 1981). Batasan petani kecil di Indonesia berdasarkan kesepakatan pada seminar petani kecil di Jakarta pada tahun 1979 adalah sebagai berikut : a. Petani yang pendapatannya rendah, yaitu kurang dari setara 240 kg beras per kapita per tahun. b. Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0,5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0,5 hektar di Jawa dan 1,0 hektar di luar Jawa. c. Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan yang terbatas. d. Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamik. Dua ciri yang menonjol pada petani kecil ialah kecilnya kepemilikan dan penguasaan sumberdaya serta rendahnya pendapatan yang diterima. Dari
24
segi ekonomi, ciri-ciri yang sangat penting pada petani kecil ialah terbatasnya sumberdaya dasar tempat para petani berusahatani. Pada umumnya, mereka hanya menguasai sebidang lahan kecil, kadang-kadang disertai dengan ketidakpastian dalam pengelolaannya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan kesehatan yang sangat rendah (Soekartawi et al, 1986). Petani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya dengan cara melakukan pengelolaan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain lain) dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk digunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain. Mereka juga dapat menyediakan bahan mentah bagi industri, seperti serealia untuk minuman beralkohol, buah untuk jus, dan wol atau kapan untuk penenunan dan pembuatan pakaian. Di negara miskin atau kebudayaan pra-industri, kebanyakan petani melakukan pertanian subsisten, sebuah sistem pertanian organik yang mendayagunakan rotasi tanaman, penyisihan benih, tebang dan bakar, atau metode lainnya. Di negara maju, petani memiliki sebidang lahan yang luas dan pembudidayaan dilakukan dengan memanfaatkan mesin pertanian untuk mendapatkan efisiensi tinggi. Dengan menggunakan mesin, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menjadi jauh berkurang (Wikipedia, 2013).
C. Kerangka Berpikir dan Pendekatan Masalah Pembangunan pertanian adalah pembangunan sektor pertanian atau pembangunan usahatani, yang selalu mengacu kepada selalu tercapainya kenaikan produktivitas dan penerimaan usahatani untuk jangka waktu yang tidak terbatas, secara berkelanjutan. Pembangunan pertanian memerlukan turutnya campur tangan manusia (Mardikanto, 2007). Petani adalah orangorang yang memelihara dan menentukan bagaimana usaha taninya harus dimanfaatkan. Namun sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta
25
wawasan yang memadai untuk dapat memecahkan permasalahan mereka. Pemecahan masalah secara serta merta dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk kelompok ataupun organisasi. Badan usaha milik petani merupakan badan usaha yang sedemikian rupa pembentukan dan organisasinya dibentuk, dimiliki dan dikelola oleh petani dengan tujuan untuk memperbaiki mutu budidaya dan pengelolaannya menjadi maju inovatif dan berkelanjutan. Strategi merupakan cara-cara yang digunakan oleh organisasi untuk mencapai tujuannya, melalui pengintegrasian segala keunggulan organisasi dalam menghadapi tantangan dan ancaman yang dihadapi dan potensial untuk dihadapi di masa yang akan datang oleh organisasi yang bersangkutan. Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuannya dan manajemen strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang (Hunger, 2003). Adapun
susunan
kerangka
berpikir
secara
sistematis
dapat
digambarkan sebagai berikut: Faktor-faktor pembentuk sikap 1) Pengalaman pribadi 2) Pendidikan formal 3) Pendidikan non formal 4) Pengaruh orang lain yang dianggap penting 5) Kosmopolitan 6) Kebudayaan
Gambar 1.
Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) : 1) Konsep BUMP 2) Tujuan BUMP 3) Kegiatan BUMP 4) Dampak BUMP
Kerangka Berpikir Hubungan Antara Faktor Pembentuk Sikap dengan Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung.
26
D. Hipotesis Diduga terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor pembentuk sikap yaitu pada umur, pengalaman responden, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kosmopolitan, dan pengaruh kebudayaan dengan sikap petani terhadap BUMP di Kabupaten Temanggung. E. Pembatasan Masalah 1. Responden penelitian adalah petani yang menjadi anggota Badan Usaha Milik Petani di Kabupaten Temanggung. 2. Faktor pembentuk sikap pada penelitian ini dibatasi pada tingkat umur, pengalaman responden, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengaruh orang lain yang dianggap penting, kosmopolitan, dan pengaruh kebudayaan terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP). 3. Hubungan timbal balik dimungkinkan terjadi antara faktor pembentuk sikap yang diteliti dengan sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung, namun dalam penelitian ini hanya dipelajari hubungan searah antara faktor pembentuk sikap dengan sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Definisi Operasional a. Variabel Pembentuk Sikap (Variabel Bebas) Variabel-variabel pembentuk sikap yaitu variabel personal yang ada dalam diri individu yang turut mempengaruhi pola perilakunya sehingga dapat membentuk sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) adalah : 1) Pengalaman responden adalah pengalaman responden menjadi anggota Badan Usaha Milik Petani (dinyatakan dalam bulan yang diukur dengan skala likert).
27
2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden di sekolah. 3) Pendidikan non formal adalah frekuensi pendidikan yang diperoleh responden di luar pendidikan non formal (pelatihan atau penyuluhan pertanian). 4) Pengaruh orang lain
adalah komponen sosial
yang
dapat
mempengaruhi pembentukan sikap. Pengaruh orang lain seperti intensitas dengan PPL, petani lain, dan keluarga. 5) Kosmopolitan merupakan masyarakat dengan dunia di luar sistem sosialnya sendiri yang dinyatakan melalui frekuensi bepergian ke luar wilayah tempat tinggalnya. Diukur dengan seringnya responden bepergian ke luar kota untuk memperoleh informasi mengenai inovasi yang dilaksanakan serta melalui media cetak maupun elektronik. 6) Pengaruh kebudayaan adalah tingkat budaya tradisional atau adat istiadat tradisional dan tingkat budidaya kerukunan masyarakat setempat yang dapat mempengaruhi pola pikir responden. b. Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung (Variabel Terikat) Sikap petani terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) di Kabupaten Temanggung diartikan sebagai tanggapan atau respon evaluatif petani responden terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang berupa sikap sangat setuju/ sangat positf, setuju/ positif, tidak tahu/ ragu-ragu, tidak setuju/ negatif, sangat tidak setuju/ sangat negatif dilihat dari pengetahuan responden tentang : 1) Konsep adalah suatu pandangan atau pengetahuan kognitif seseorang terhadap BUMP. 2) Tujuan merupakan pernyataan tentang hal-hal yang diinginkan atau ingin dihasilkan, implikasi atau hal-hal yang perlu dilakukan sebagai pemanfaatan hasil melalui Badan Usaha Milik Petani (BUMP).
28
3) Kegiatan/ penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yaitu segala bentuk kegiatan teknis di lapang terkait dengan penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). 4) Dampak merupakan suatu konsekuensi dari tindakan yang diambil terkait dengan penerapan Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Skor pernyataan sikap untuk pernyataan positif adalah : - Sangat setuju
:5
- Setuju
:4
- Ragu-ragu
:3
- Tidak Setuju
:2
- Sangat tidak setuju
:1
Sedangkan untuk pernyataan negatif adalah : -
Sangat setuju
:1
-
Setuju
:2
-
Ragu-ragu
:3
-
Tidak setuju
:4
-
Sangat tidak setuju
:5
2. Pengukuran Variabel Pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan skala ordinal. Ciri-ciri penerapan skala ordinal adalah seperangkat obyek atau sekelompok orang diurutkan dari yang paling atas ke yang paling bawah dalam atribut tertentu (Suryabrata, 2008). Skala ordinal adalah skala yang sudah memiliki tingkatan namun jarak antar tingkatan belum pasti (Suliyanto, 2006).
29
a. Faktor Pembentuk Sikap Tabel 2. Faktor-Faktor Pembentuk Sikap Petani Terhadap BUMP Variabel
Indikator
Kategori
Skor
1-7 bulan 8-14 bulan 15-21 bulan 22-28 bulan 29-36 bulan
1 2 3 4 5
1. Pengalaman responden
Lamanya pengalaman responden tergabung dalam BUMP (dalam satuan bulan)
2. Pendidikan formal
Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh responden di bangku sekolah
Tidak Sekolah SD SMP SMA D3/Sarjana
1 2 3 4 5
3. Pendidikan non formal
Frekuensi responden mengikuti kegiatan penyuluhan (dalam 1 musim tanam, terdapat minimal 5 kali pertemuan)
Sangat Jarang (1 kali) Jarang (2 kali) Kadang (3 kali) Sering (4 kali) Sangat Sering ( ≥ 5 kali)
1 2 3 4 5
Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian
Sangat Jarang Jarang Kadang Sering Sangat Sering
1 2 3 3 5
Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian Frekuensi memperoleh informasi atau saran tentang pertanian
Sangat Jarang Jarang Kadang Sering Sangat Sering Sangat Jarang Jarang Kadang Sering Sangat Sering
1 2 3 3 5 1 2 3 3 5
4. Pengaruh orang lain : a) Tingkat pengaruh PPL
b) Tingkat petani lain
c) Tingkat pengaruh keluarga
30
5. Kosmopolitan
6. Pengaruh kebudayaan : a) Tingkat pengaruh budaya tradisional b) Tingkat pengaruh budaya kerukunan
Seringnya responden berpergian ke luar ddaerah untuk memperoleh informasi mengenai BUMP
1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali 7-8 kali ≥9
1 2 3 4 5
Sering tidaknya melaksanakan adat tradisional
Sangat Jarang Jarang Kadang Sering Sangat Sering
1 2 3 4 5
Sering tidaknya melaksanakan budaya kerukunan
Sangat Jarang Jarang Kadang Sering Sangat Sering
1 2 3 4 5
31
b. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Tabel 3. Sikap Petani Terhadap Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Variabel
Indikator
Kategori
Skor
a.
Konsep BUMP
Pemahaman responden terhadap pengertian BUMP
Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
1 2 3 4 5
b.
Tujuan BUMP
Pemahaman responden terhadap tujuan BUMP
Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
1 2 3 4 5
c.
Kegiatan BUMP
Sikap responden terhadap pelaksanaan BUMP
Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
1 2 3 4 5
d.
Dampak BUMP
Kemanfaatan BUMP bagi responden
Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju
1 2 3 4 5