5
II. LANDASAN TEORI A. Definisi dan Konsep Mutu Mutu hari ini dan besok tidak selalu sama karena adanya perubahan dalam tuntutan. Dalam hal ini mutu merupakan persepsi relatif dan selalu dikaitkan dengan harapan yang didasarkan pada pengalaman yang lalu. (Hubeis & Kadarisman 2007). Untuk itu kita harus memahami apa definisi dan konsep dari mutu itu sendiri. 1. Definisi terkait dengan Mutu Meskipun tidak ada definisi yang baku tentang mutu, namun secara umum orang menyatakan bahwa mutu adalah sesuatu yang mencirikan tingkat di mana produk itu mampu memenuhi keinginan atau harapan konsumen. Menurut Goetsch & Davis (2002) mutu tidak hanya berupa produk atau jasa saja melainkan juga mencakup proses, lingkungan, dan orang. Berbagai definisi terkait dengan mutu, pengendalian mutu, jaminan mutu dan manajemen mutu. (a) Mutu Juran
(1988)
dalam
Muhandri
&
Kadarisman
(2006)
mendefinisikan mutu sebagai “fitness for use” (cocok atau layak untuk digunakan). Artinya suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Crosby dalam Muhandri & Kadarisman (2006) mendefinisikan mutu sebagai “Conformance
to
Requirement”.
Dengan
definisi
ini
Crosby
menitikberatkan kegiatan mutu perusahaan untuk (1) mencoba mengerti harapan-harapan konsumen, (2) memenuhi harapanharapan tersebut sehingga (3) perlu pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis dan sesuai dengan permintaan atau keinginan. ISO - 9000 mendefinisikan mutu sebagai derajat yang dicapai oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan atau kebutuhan yang dinyatakan. (ISO 9000:2000). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mutu adalah kesesuaian serangkaian karakteristik produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan syarat,
6
kebutuhan dan keinginan konsumen dapat dilihat pada Gambar 1. Pemahaman mengenai Mutu. (Muhandri & Kadarisman, 2006).
Perusahaan
Membuat
Menetapkan
Produk/Jasa
Konsumen
Karakteristik
• Syarat • Kebutuhan • Keinginan
sesuai Standar
Permintaan
Gambar 1. Pemahaman mengenai mutu (Muhandri & Kadarisman, 2006)
(b) Pengendalian Mutu Menurut Feihgenbaum (1989) dalam Muhandri & Kadarisman (2006), Pengendalian Mutu adalah pengukuran kinerja produk, membandingkan dengan standar dan sepsifikasi produk, serta melakukan tindakan koreksi bila ada penyimpangan. Tiga langkah utama dalam pengendalian mutu adalah: (1) menetapkan standar, (2) menilai kesesuaian (mengukur dan membandingkan dengan standar), dan (3) melakukan tindakan koreksi bila diperlukan. Menurut Juran (1988) dalam Muhandri & Kadarisman (2006), Pengendalian Mutu merupakan proses yang digunakan untuk membantu pencapaian produk dan proses sesuai dengan tujuan. Kegiatan pengendalian mutu mencakup : (1) menilai kinerja operasi yang aktual, (2) membandingkan dengan tujuan (standar), dan (3) mengambil tindakan jika terdapat perbedaan. ISO 9000, Pengendalian Mutu merupakan teknik-teknik dan kegiatan operasional yang digunakan untuk memenuhi persyaratan mutu. Kegiatan ini mencakup : (1) monitoring suatu proses, (2) melakukan tindakan koreksi bila terdapat ketidaksesuaian, dan (3) menghilangkan penyebab ketidaksesuaian. (c) Jaminan Mutu Menurut Juran (1988) dalam Muhandri & Kadarisman (2006), Jaminan Mutu merupakan kegiatan yang terus menerus dilakukan agar fungsi mutu dapat dilakukan dengan baik untuk membangun
7
kepercayaan konsumen. Ishikawa (1960) dalam Muhandri & Kadarisman (2006), Jaminan Mutu merupakan suatu jaminan bahwa produk akan dibeli konsumen dengan penuh kepercayaan dan digunakan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dengan penuh
keyakinan
dan
kepuasan.
ISO-9000,
Jaminan
Mutu
merupakan bagian dari Manajemen Mutu yang memfokuskan kepada pemberian keyakinan bahwa persyaratan mutu dipenuhi. (d) Manajemen Mutu Menurut Feigenbaum (1983) dalam Muhandri & Kadarisman (2006),
Manajemen
Mutu
merupakan
pemanduan
berbagai
kelompok dalam perusahaan, sehingga produk dan jasa mencapai tingkat yang ekonomis dan memuaskan pelanggan. ISO 9000, Manajemen Mutu adalah kegiatan-kegiatan terorganisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan mengenai mutu. Pengarahan dan pengendalian mengenai mutu termasuk penyusunan: - Kebijakan Mutu (keseluruhan arah dari suatu perusahaan berkaitan dengan mutu yang secara formal dinyatakan sebagi manajemen puncak). - Tujuan Mutu (sesuatu yang akan dicapai yang berkaitan dengan mutu,
umumnya
dispesifikasikan
didasarkan untuk
kepada
fungsi-fungsi
kebijakan yang
mutu
relevan
dan dalam
perusahaan. Pencapaian tujuan mutu dapat berdampak positif pada mutu produk, keefektifan operasional dan peri kerja keuangan). - Rencana Mutu (difokuskan untuk menyusun tujuan dan sasaran mutu serta melakukan spesifikasi proses-proses operasi penting dan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi tujuan tersebut). 2. Konsep terkait dengan Mutu Dari definisi singkat tentang mutu terlihat bahwa mutu suatu produk berkaitan dengan kepuasan pengguna (konsumen) produk itu, ini berarti konsep mutu lebih berkaitan dengan evaluasi subjektif dari konsumen.
8
Dengan kata lain, di dalam kenyataannya, konsumen yang menilai sejauh mana tingkat mutu suatu produk yang dikonsumsi, berarti mutu harus berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Keragaman konsep mutu juga ditemui pada penerapan konsep mutu di bidang pangan, yaitu berikut ini: a. Kramer dan Twigg (1983) dalam Hubeis & Kadarisman (2007), menyatakan quality as a composite of product attributes. Mutu disini merupakan
gabungan
atribut
poroduk
yang
dinilai
secara
oerganoleptik (warna, tekstur, penampakan, rasa, dan bau). Kriteria inilah yang umumnya digunakan konsumen dalam memilih suatu produk
pangan
segar
(hasil-hasil
pertanian,
peternakan,
dan
perikanan) ataupun hasil olahan produk industri pangan). b. Juran (1974) dalam Hubeis & Kadarisman (2007, menyatakan quality as fitness for use. Mutu di sini dinilai sebagai kepuasan (kebutuhan dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk (brand name) yang dihasilkan produsen. c. Juran (1974), Kramer dan Twigg (1982), serta Gatchallan (1989) dalam Hubeis & Kadarisman (2007), berpendapat bahwa quality as consistency in meeting the user’s requirements. Mutu di sini dianggap sebagai derajat penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau konsisten dalam standar dan spesifikasi). Konsep mutu secara garis besar menurut ISO 9000 dapat kita lihat pada Gambar 2.
Persyaratan
Grade
Mutu
Kemampuan
Kepuasan Pelanggan Gambar 2. Konsep Mutu (Sumber : ISO 9000)
9
B. Manajemen Mutu 1. Sejarah Perkembangan Manajemen Mutu Pada awalnya muncul kehidupan manusia, masalah mutu tidak menjadi perhatian karena waktu itu tiap individu (keluarga) memenuhi sendiri semua kebutuhannya. Kemudian manusia mulai berfikir bahwa cara seperti itu tidak efisien, karena tiap individu mempunyai kelebihan dan kekurangan yang berbeda dengan individu yang lain. Mereka mulai terlibat dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan, yaitu dengan menukarkan barang dengan barang atau dengan jasa sesuai dengan kelebihan masing-masing. Sehingga dapat dikatakan bahwa sejarah perkembangan sistem manajemen mutu dimulai ketika manusia sudah terlihat dalam transaksi (barter). Mutu hanya merupakan kesepakatan antar manusia yang melakukan barter. Perkembangan selanjutnya
dimulai
sejak
adanya
usaha-usaha
manusia
untuk
memproduksi barang (dimulai kira-kira sejak 5.000 tahun yang lalu). Beberapa bukti sejarah memperlihatkan bahwa : - Pada jaman pemerintahan Nebukadnezar di Babilonia (tahun 605 – 502 SM), telah ada spesifikasi untuk bangunan, pangan dan lain-lain. - Di Cina (tahun 1644 SM) telah ada spesifikasi mutu untuk keramik. Pada masa tersebut belum ada ukuran standar untuk mutu yang disepakati. Karakteristik mutu pada awalnya diekspresikan secara kualitatif (dengan kata-kata). Selain itu belum dikenal adanya merek sebagai penanda mutu dan penanda produsen penghasil barang (Muhandri dan Kadarisman, 2006). Baru pada abad pertengahan (sekitar tahun 1700 M) kebiasaan memberi cap (merek) pada suatu produk cukup populer karena sudah mulai terdapat beberapa produsen yang menghasilkan 1 jenis barang (bersaing pada jenis barang yang sama). Dari kebiasaan ini muncul keinginan untuk memelihara reputasi (penanda mutu dan produsen yang baik dengan memberikan merek). Sampai akhir abad 19, konsep sistem jaminan mutu tidak banyak berubah. Prinsip-prinsip pengendalian mutu yang dipakai adalah : - Pemeriksaan mutu dilakukan oleh konsumen (bila cocok ditentukan harganya dan dibeli)
10
- Adanya konsep ketrampilan (pembeli percaya pada mutu produk setelah beberapa kali melakukan pembelian) Perkembangan sistem manajemen mutu di atas dikenal sebagai konsep mutu kuno. Masa berikutnya dalam perkembangan sistem manajemen mutu disebut sebagai konsep mutu modern. 2. Tingkat Penerapan Manajemen Mutu Tingkat penerapan manajemen mutu seiring dengan perkembangan sejarah sistem manajemen mutu yang dimulai dari konsep mutu kuno sampai pada konsep mutu modern dan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Evolusi Sistem Manajemen Mutu (Jones 1991 dalam Muhandri & Kadarisman, 2006) a. Operator Quality Control Sistem Pengendalian Mutu Operator menggunakan konsep bahwa operator atau pekerja bertanggungjawab untuk membuat dan memeriksa sendiri hasil pekerjaannya. Belum ada sistem yang terkendali untuk menjaga mutu. Pemilik yang merupakan pengelola (bahkan
kadang-kadang
juga
merupakan
karyawan
yang
menghasilkan barang) mempercayai karyawan dalam hal mutu produk karena karyawan merupakan orang yang terlatih dan mempunyai keterampilan teknis tinggi. b. Foreman Quality Control Pada awal abad 20 terjadi perubahan yang mendasar pada konsep
produksi.
Permintaan
terhadap
barang
industri
yang
meningkat sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilayani dengan
11
sistem “pengrajin”. Sistem produksi sudah mulai dilakukan dengan konsep spesialisasi. Artinya seorang karyawan hanya mengerjakan satu pekerjaan yang sejenis. Karyawan-karyawan ini dibawahi oleh seorang mandor (Foreman) yang bertugas mengawasi pekerjaan dan mutu produk yang dihasilkan. c. Inspection Quality Control Selama Perang Dunia I sistem pabrikasi semakin rumit karena perusahaan
dituntut
untuk
meningkatkan
produktivitas
dan
kelengkapan produk untuk mengejar kebutuhan konsumen. Seorang mandor tidak mampu lagi menangani sejumlah besar pekerja (untuk mengawasi mutu dan pekerjaan). Dalam masa ini atasan langsung karyawan juga mulai dispesialisasi. Bagian yang mengawasi karyawan (disiplin, kinerja dan sebagainya), bagian yang mengawasi mutu produk antara sampai produk akhir dan bagian yang melakukan pembelian merupakan inti yang terpisah (tidak ditangani oleh satu bagian saja). Pada masa ini mulai ada bagian yang bekerja penuh (full time) khusus untuk mengawasi mutu produk selama proses produksi (dengan melakukan pemeriksaan secara penuh). Organisasi perusahaan pun membesar seiring dengan adanya bagian-bagian khusus di atas. Masa ini dicirikan dengan: -
Sistem pabrikasi yang makin kompleks.
-
Skala produksi yang makin membesar.
-
Mutu produk mulai banyak mengalami gangguan.
-
Adanya “full time inspektor”.
-
Organisasi inspeksi (pemeriksaan) dipisahkan dari produksi.
d. Statistic Quality Control Perang dunia II memberikan dampak yang cukup penting dalam sejarah perkembangan sisem manajemen mutu dengan munculnya konsep pengendalian mutu statistik (Statistic Quality Control). Pada masa ini negara-negara yang terlibat perang memproduksi senjata secara besar-besaran. Produksi senjata yang bersifat massal tersebut tidak memungkinkan lagi untuk diperiksa secara menyeluruh (karena tidak efisien).
12
Pemeriksaan tidak dilakukan pada seluruh produk. Setelah proses diatur secara baku, maka produk diambil secara sampling. Sistem ini dikenal dengan Pengendalian Mutu Statistik. Masa ini dicirikan dengan: - Produksi yang bersifat massal. - Pemeriksaan
100%
produk
tidak
memungkinkan
untuk
dilaksanakan. - Menggunakan teknik Sampling dan Control Chart. Pemeriksaan mutu statistik saja ternyata tidak dapat menjawab tantangan perkembangan teknologi dan perkembangan persyaratan mutu yang dibutuhkan oleh konsumen. Rekomendasi yang dihasilkan teknik statistik seringkali tidak menjangkau permasalah mutu secara menyeluruh (hanya pada bagian produksi). Kenyataan ini kemudian menghantarkan pada ahli industri untuk melakukan pendekatan baru yang lebih komprehensif yang disebut sebagai Jaminan Mutu (Quality Assurance). e. Quality Assurance Pergeseran dari konsep Pengendalian Mutu (Quality Control) ke Jaminan Mutu (Quality Assurance) terjadi sekitar tahun 1960. Para ahli berusaha untuk menemukan suatu konsep pengendalian mutu. Dengan konsep jaminan mutu tidak hanya dilakukan pemeriksaan yang baik pada proses produksi, tetapi meliputi perencanaan, perancangan
produksi,
pengadaan
bahan
baku
transportasi,
penyimpanan dan sebagainya. Konsep jaminan mutu merupakan cikal bakal dari konsep yang lebih komprehensif lagi yaitu Total Quality Control (TQC), yang akhirnya lebih tepat di sebut dengan Total Quality Management (TQM). Masa ini dicirikan dengan: - Pengendalian dilakukan mulai dari pengadaan bahan sampai dengan bahan dikirim ke konsumen. - Pengendalian mutu dengan teknik statistik tetap dilakukan. - Tanggung jawab mutu masih ada di bagian Pengawasan mutu (Quality Control).
13
- Unsur-unsur
seperti
perencanaan,
pengarahan,
koordinasi,
pengendalian, monitoring dan evaluasi mulai diperhatikan untuk menjamin mutu. f.
Total Quality Management Gagasan konsep Pengendalian Mutu Terpadu pertama kali dicetuskan oleh Feigenbaum pada tahun 1950-an. Pengendalian mutu
terpadu
pada
awalnya
menitikberatkan
perhatian
pada
pendekatan mutu dari berbagai aspek seperti perancangan, produksi, pemasaran dan produktivitas, sehingga seluruh departemen dalam perusahaan terlibat dalam kegiatan mutu. Tujuan kegiatan mutu dalam TQM awal ini adalah memadukan usaha pengembangan, pemeliharaan dan penyempurnaan mutu oleh berbagai kelompok dalam perusahaan sehingga pemasaran, perekayasaan, produksi dan pelayanan terlaksana pada kondisi yang paling ekonomis dalam memberikan kepuasan penuh pada konsumen. Perkembangan TQM lebih lanjut adalah munculnya berbagai jenis model standar sistem manajemen mutu yang baru antara lain : ISO 9000, Six Sigma, Malcolm Balridge Framework, EFQM (The European Foundation for Quality Manajemen), dan BSC (Balanced Scorecard). 3. Konsep Manajemen Mutu Dalam buku Firdaus (2008), James A.F. Stoner mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengawasan anggota organisasi dan proses penggunaan
semua sumber daya yang ada untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan. Dalam ISO-9000 versi 2000, disebutkan bahwa manajemen mutu mengkoordinasikan mengendalikan
kegiatan-kegiatan
suatu
organisasi
untuk
yang
mengarahkan
berkaitan
dengan
dan mutu.
Pengarahan dan pengendalian yang berkaitan dengan mutu meliputi penetapan kebijakan mutu dan tujuan mutu, perencanaan mutu, pengendalian
mutu,
jaminan
mutu.
Secara
jelas konsep
terkait
manajemen mutu digambarkan pada Gambar 4 (Muhandri & Kadarisman. 2006).
14
Manajemen Mutu
Perencanaan Mutu
Pengendalian Mutu
Perbaikan Mutu
Jaminan Mutu
Gambar 4. Konsep terkait Manajemen Mutu (Muhandri & Kadarisman. 2006)
Dalam buku Goetsch & Davis (2002), konsep Juran terhadap Manajemen mutu dikenal dengan istilah Trilogi Juran yaitu perencanaan mutu, pengendalian mutu dan peningkatan mutu. a. Perencanaan Mutu Perencanaan
Mutu
merupakan
kegiatan
pengembangan
produk, sistem, dan proses yang dibutuhkan untuk mencapai atau melebihi harapan pelanggan. Langkah-langkah penerapan: - Menetapkaan tujuan mutu - Mengidentifikasi pelanggan - Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pelanggan - Mengembangkan keistimewaan produk yang merespon kebutuhan pelanggan - Mengembangkan proses yang mampu menghasilkan keistimewaan produk - Menetapkan pengendalian proses: menerjemahkan rencana ke kegiatan operasi b. Pengendalian Mutu Peningkatan Mutu meliputi proses berikut: - Mengevaluasi kinerja mutu aktual - Membandingkan kinerja aktual dengan tujuan mutu - Mengambil tindakan terhadap penyimpangan antara kinerja aktual dan tujuan mutu c. Peningkatan Mutu Peningkatan Mutu merupakan sarana untuk meningkatkan kinerja
mutu
ke
tingkat
penerapan: - Menguji kebutuhan - Menetapkan infarstruktur
yang
dikehendaki.
Langkah-langkah
15
- Mengidentifikasi proyek peningkatan mutu - Menetapkan tim proyek - Menyediakan tim dengan sumber daya, pelatihan, dan motivasi untuk mendiagnosis penyebab dan upaya untuk mengatasinya. - Menetapkan pengendalian agar tetap pada jalurnya. d. Jaminan Mutu Jaminan Mutu adalah konsep terkait manajemen mutu terakhir menurut ISO 9000 yang merupakan inti dari penerapan Pengendalian Mutu Terpadu (TQM). Jaminan Mutu bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
persyaratan
mutu
produk
seperti
kemanaan,
keterandalan, sifat-sifat fungsional dan sebagainya. (Muhandri & Kadarisman. 2006) Ada 3 hal penting yang harus dipertimbangkan apabila ingin menerapakan Jaminan Mutu, yaitu: - Suatu Perusahaan harus mampu menjamin bahwa mutu produk yang
di
hasilkan
diminta/diharapkan
sesuai konsumen
dengan
persyaratan
(karakteristik
mutu
yang yang
sebenarnya). - Jika produk akan diekspor, maka semua persyarataan produk yang dikirimkan ke luar negeri harus memenuhi persyaratan mutu yang diinginkan oleh konsumen luar negeri (termasuk persyaratan pemerintahnya). - Pimpinan perusahaan harus menyadari pentingnya jaminan mutu dan memastikan bahwa semua jajaran di dalam perusahaan akan sepenuhnya berusaha mencapai tujuan mutu secara bersamasama. Jika program jaminan mutu berjalan efektif, diharapkan mampu memuaskan konsumen, sehingga akan diperoleh kenaikan angka penjualan. Dalam pendekatan ini upaya perusahaan untuk memberikan jaminan mutu dilakukan sejak tahap perencanaan produk baru sampai kepada pelayanan purna jual. Langkah-langkah penerapan jaminan mutu meliputi: (1) perencanaan produk, (2) perancangan, (3) percobaan, (4) pengujian, (5) pengadaan barang dan penetapan pemasok, (6) persiapan dan perancangan untuk produksi massal, (7) produksi, (8) pemasaran,
16
dan (9) pelayanan purna jual. Setiap langkah yang dilakukan harus mengacu pada siklus Plan – Do – Check - Action (Siklus PDCA). C. Pengaruh Mutu terhadap Kinerja Perusahaan. Menurut Johnson dalam Goetsch & Davis (2002) dikatakan bahwa “Mutu itu menyangkut hal membuat segala sesuatu dengan tepat pada saat pertama dan menyangkut pemuasan pelanggan. Namun mutu juga menyangkut biaya, pendapatan, dan laba. Mutu memainkan peran kunci dalam menjaga biaya tetap rendah, pendapatan tetap tinggi, dan laba tetap sehat. Menurut Evans & Linsay (2007) dikatakan bahwa mutu merupakan kunci keunggulan (competitive advantage), yaitu kemampuan sebuah perusahaan untuk mencapai keunggulan pasar. Dalam jangka panjang, keunggulan bersaing yang terjaga akan menghasilkan kinerja di atas ratarata. Pentingnya
mutu
dalam
mencapai
keunggulan
bersaing
telah
dibuktikan dan mempengaruhi mutu produk pada kinerja perusahaan: (1) mutu produk merupakan penentu penting profitabilitas perusahaan; (2) perusahaan yang menawarkan produk dan jasa dengan mutu tinggi biasanya memiliki pangsa pasar yang besar dan merupakan pemain awal di pasar mereka; (3) mutu secara positif dan signifikan memiliki hubungan dengan imbal hasil atas investasi yang lebih tinggi pada hampir semua jenis produk dan situasi pasar (studi PIMS menunjukkan bahwa produk yang dipandang memiliki mutu superior menghasilkan imbal hasil atas penjualan yang tiga kali lebih besar dibandingkan perusahaan yang dipandang memiliki mutu inferior); (4) penerapan strategi peningkatan mutu biasanya menghasilkan pangsa pasar yang lebih tinggi tapi dengan konsekuensi profitabilitas jangka pendek yang lebih rendah; dan (5) Produsen yang memproduksi barang bermutu biasanya dapat menjual dengan harga tinggi. Temuan ini dirangkum dalam Gambar 5. Mutu dan Profitabilitas (Evans & Linsay. 2007)
17
Mutu desain yang meningkat Nilai yang dipasarkan pelanggan
Pangsa pasar meningkat
Kepatuhan pada mutu yang lebih baik Harga yang lebih tinggi
Peningkatan pendapatan
Harga yang lebih tinggi
Peningkatan profitabilitas
Gambar 5. Mutu dan Profitabilitas (Evans & Linsay. 2007) Sedangkan menurut Suardi (2003), peningkatan kinerja dan reabilitas akan meningkatkan reputasi mutu produk. Kemudian produk akan semakin dikenal dan diakui sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar, karena produk semakin terkenal, bisa meningkatkan harga produk serta volume permintaan. Peningkatan harga dan peningkatan volume serta efisiensi produksi mengakibatkan peningkatan keuntungan. (Gambar 6) Salah satu kunci untuk mampu bersaing dalam pasar global adalah kemampuan untuk mencapai atau melebihi standar yang dapat dipakai. Secara historikal, ada banyak standar yang berbeda seperti halnya ada negara yang membuat produk.
Peningkatan kinerja dan reabilitas
Peningkatan reputasi untuk mutu
Peningkatan pangsa pasar
Peningkatan volume dan effisiensi produk
Peningkatan harga
Peningkatan keuntungan
Gambar 6. Keuntungan Mutu ditinjau dari pasar (Suardi. 2003)
18
D. Kinerja Perusahaan Dalam
manajemen
mutu,
indikator
kinerja
merupakan
suatu
persyaratan, sebab akan digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan (manfaat). Di samping itu, indikator kinerja digunakan untuk menilai keberhasilan program perbaikan mutu dari waktu ke waktu. Misalnya, bila jumlah cacat (defects) digunakan untuk mengukur kinerja produk yang dihasilkan, dari waktu ke waktu jumlah cacat akan diupayakan semakin kecil. Di USA pada tahun 80-an, dikenal gerakan zero defect dalam program perbaikan mutu. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh implementasi manajemen mutu terhadap peningkatan kinerja perusahaan yang dipersepsikan ke dalam empat tolok ukur pencapaian kinerja dalam rancangan model pengukuran kinerja Balanced Scorecard, pada unit produksi. Sebagai tahap awal, dalam penelitian ini terlebih dahulu akan dianalisis sejauhmana persepsi personil pada unit produksi dalam mengimplementasikan manajemen mutu dan akan ditentukan model rancangan Balanced Scorecard yang tolok ukurnya ditentukan dan dipersepsikan oleh manajemen unit produksi. Pengukuran kinerja organisasi atau suatu perusahaan selama ini banyak lebih melihat kepada kinerja keuangan saja, tanpa melihat kinerja yang tidak menyangkut keuangan. Pengukuran kinerja yang dilakukan terhadap
perusahaan dilakukan dengan pendekatan Balanced Scorecard
(BSC) yang menggabungkan pengukuran kinerja dari empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran (Kaplan dan Norton, 1996). Sasaran dan pengukuran dari keempat perspektif BSC bukan hanya sekedar melihat pencapaian keuangan dan non keuangan saja namun lebih kepada kesinambungan sasaran jangka pendek dan panjang yaitu antara kinerja objektif dan mudah diukur (keuangan) dengan kinerja non keuangan yang lebih subjektif. (Mulyadi. 2001). 1. Kinerja keuangan Evaluasi kinerja perusahaan dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek, misalnya dalam jangka waktu satu tahun, kuartalan, bulanan. Serta dalam jangka waktu panjang, seperti dalam jangka waktu lima tahunan, untuk menilai implementasi strategi perusahaan. Evaluasi
19
kinerja perusahaan dapat dilihat dari berbagai sisi, salah satunya dari sisi keuangan (Rangkuti, 2003). Menurut Pearce II et al (2003) a. Rasio Kemampulabaan (Profitability Ratio) : Net Profit Margin =
NetIncome Sales
b. Pertumbuhan (Growth): Penjualan = % Total penjualan pertahun Pendapatan = % Total pendapatan pertahun Menurut Adi (2007), ada 3 indikator umum dalam mengukur keuntungan yang dicapai perusahaan yaitu: a. Net Profit Margin (NPM) b. Return on Asset (ROA) c. Return on Equity (ROE) 2. Kinerja Non Keuangan. Kinerja non keuangan dievaluasi terhadap persfektif pelanggan, persfektif internal bisnis proses dan persfektif pembelajaran dan pertumbuhan. a. Evaluasi kinerja perusahaan terhadap presfektif pelanggan terdiri dari: -
Jumlah pelanggan
-
Banyaknya komplain
-
Jumlah Permintaan/Pelanggan/Area
b. Evaluasi kinerja terhadap Persfektif Internal Bisnis Proses Pada dasarnya aspek produksi merupakan fungsi operasi dalam organisasi, yang merupakan suatu proses pengubahan atau proses konversi di mana sumber-sumber daya yang berlaku sebagai input diubah menjadi barang dan atau jasa. Produk barang dan jasa ini biasa disebut sebagai
output. Dalam kajian ini aspek produksi
dievaluasi terhadap: -
Volume produksi / jenis produk
-
Biaya produksi / unit produk
-
Harga produksi
-
Produk cacat/reject
-
Pengembangan dan orientasi pasar
20
-
Penerapan manajemen mutu
c. Evaluasi kinerja terhadap Persfektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan organisasi adalah sumber daya manusia, dan bagaimana baiknya sumber daya manusia itu difokuskan untuk memenuhi tujuan organisasi (Gaspersz, 2005). Aspek SDM yang dianalisis adalah bagaimana upaya perusahaan mengembangkan SDM, khususnya dalam meningkatkan kompetensi karyawan. Faktor menerapkan
lainnya teknologi
adalah
bagaimana
informasi
dalam
perusahaan
dalam
mendukung
kinerja
perusahaan mereka. - Jumlah karyawan - Jumlah karyawan yang pernah pelatihan - Penerapan teknologi informasi E. Usaha Mikro Kecil Menengah 1. Definisi UMKM Adi (2007) menjelaskan tentang definisi UMKM berdasarkan Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 secara spesifik didefinisikan sebagai berikut: a. Usaha Mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal dalam arti belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum. Hasil penjualan tahunan bisnis tersebut paling banyak Rp. 100.000.000,00 dan milik Warga Negara Indonesai. b. Usaha Kecil (UK) adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut : (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); (3) milik Warga Negara Indonesia (WNI); (4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung
21
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar; dan (5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. c. Usaha Menengah (UM) dan Usaha Besar (UB) adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan Usaha Kecil;
Kriteria tersebut adalah sebagai
berikut : (1) kekayaan bersih lebih dari Rp.200 juta sampai dengan Rp.10 milyar; tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (2) milik Warga Negara Indonesia (WNI); (3) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar; dan (4) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum dan atau yang berbadan hukum. 2. Peranan Usaha Kecil dan Menengah Peranan Usaha Kecil dan Menengah dalam perekonomian Indonesia pada tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pelaku ekonomi berdasarkan skala usaha Skala Usaha Parameter
Jumlah Unit / %
Usaha Kecil (UK)
%
41.301.263
99,12
Usaha Menengah (UM) 361.052
%
0.87
Usaha Besar (UB) 2.158
%
0,01
Kesempatan kerja (%)
88,92
10,54
0,54
Nilai Tambah (% terhadap ekonomi)
43,42
15,42
44,6
Produktivitas
Kecil
Sedang
Besar
Sumber : Kementrian Negara Koperasi dan UMKM dalam Hubeis, 2004.
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa dari aspek jumlah unit dan kesempatan kerja terlihat bahwa peranan usaha kecil dan menengah sangat besar yaitu masing-masing 99,99% dan 99,46%. Akan tetapi nilai tambah yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah hanya mencapai 58,84%.
22
F. Industri Pangan Olahan Nata de Coco Nata de Coco merupakan salah satu produk olahan air kelapa yang memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan kalori rendah. Pada mulanya air kelapa kebanyakan hanya merupakan limbah dari industri pembuatan kopra atau minyak goreng (Jawa: klentik). Nata dari air kelapa yang kemudian terkenal dengan nama Nata de Coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bantuan mikroba Acetobacter xylinum. Jumlah air kelapa yang dihasilkan dari buah kelapa di Indonesia kurang lebih 900 juta liter per tahun. Nata de Coco tidak hanya memiliki pasar domestik tetapi juga pasar ekspor terutama Eropa, Jepang, Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah. Di pasar domestik, permintaan Nata de Coco biasanya meningkat tajam pada saat menjelang hari raya Natal, Lebaran, Tahun Baru dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Begitu banyaknya permintaan pada waktu-waktu tersebut, banyak rumah tangga yang secara sporadis membuat Nata de Coco untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Sehingga berdasarkan segi skala perusahaan, usaha Nata de Coco dilakukan oleh banyak sekali perusahaan kecil-rumah tangga serta beberapa perusahaan menengah dan besar. Tentu saja mereka memiliki segmentasi pasar sendiri-sendiri. Perusahaan menengah dan besar memiliki pasar yang relatif lebih luas mencangkup pasar domestik dan pasar ekspor. Sedangkan perusahaan kecil-rumah tangga memiliki pasar lokal dan daerah sekitar. Usaha kecil-rumah tangga Nata de Coco telah banyak menyerap tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, pemerintah sangat mendukung usaha Nata de Coco tersebut melalui pemberian latihan/bimbingan teknis dan bantuan modal pada usaha kecil. Dari segi ekonomi produksi Nata de Coco menjanjikan nilai tambah. Pembuatan nata yang diperkaya dengan vitamin dan mineral akan mempertinggi nilai gizi dari produk ini. (http://www.smallcrab.com/others/35lain-lain/448-membuat-nata-de-coco [14 Oktober 2009] Nata de Coco diolah dalam skala rumah tangga oleh petani atau kelompok yang telah mengikuti pelatihan pengolahan Nata de Coco. Pengolahan yang dilakukan sangat sederhana, dengan sedikit variasi dalam campuran yang digunakan. (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Menurut Wahyudi (2003), berdasarkan proses produksi ada 3 produk
23
yang dapat dihasilkan dari pengolahan Nata de Coco yaitu dalam bentuk Biang Nata de Coco (starter), Lempeng Nata de Coco dan Nata de Coco kemasan. Berdasarkan jenis perusahaan terdapat tiga jenis perusahaan Nata de Coco yaitu: (1) perusahaan yang hanya menghasilkan Nata de Coco mentah (lembaran); (2) perusahaan yang hanya menghasilkan Nata de Coco kemasan; dan (3) perusahaan yang menghasilkan Nata de Coco mentah sekaligus pengolahnya menjadi Nata de Coco kemasan (Bank Indonesia, 2010). Pengolahan Nata de Coco meliputi : 1. Proses Pembuatan Nata de Coco Proses pembuatan Nata de Coco secara jelas dapat dilihat Gambar 8. Alur Pembuatan Nata de Coco. (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005). Menurut Wahyudi, 2003. proses pembuatan lembaran Nata de Coco yang dilakukan oleh produsen nata mengacu ke Gambar 7. Alur Proses Pembuatan Lempeng/Lembaran Nata de Coco. Tahapan proses pembuatan nata dapat kita lihat dibawah ini Smallcrab (2009) : a. Pemeliharaan Kultur Murni Acetobacter xylinum, Biakan atau kultur murni Acetobacter xylinum diperoleh di laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor. b. Persiapan Substrat, Sustrat adalah media pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum, bentuk cair yang didalamnya mengandung nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum, untuk menghasilkan Nata de Coco. c. Penyiapan Starter, Starter adalah bibit Acetobacter xylinum yang telah ditumbuhkan dalam substrat pertumbuhan kultur tersebut sehingga populasi bakteri Acetobacter xylinum berkembang. d. Fermentasi, Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung di dalam substrat oleh mikroba (kultur) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan selulosa/Nata de Coco). Proses fermentasi substrat air kelapa yang telah dipersiapkan sebelumnya adalah sebagai berikut; substrat air kelapa disterilkan dengan menggunakan outoclave atau dengan cara didihkan selama 15 menit. Substrat didinginkan hingga suhu 40oC. Substrat dimasukkan
24
pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar, dengan kedalaman substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan starter atau bibit sebanyak 10% (v/v). Substrat kemudian diaduk rata, ditutup dengan menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakan pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10–15 hari, pada suhu kamar baru kemudian nata dapat dipanen. e. Proses Pengolahan Nata de Coco, Nata de Coco yang dipanen pada umur 10-15 hari, dalam bentuk lembaran dengan ketebalan 1 - 1,5 cm. Nata de Coco dicuci dengan menggunakan air bersih, diiris dalam betuk kubus, dicuci dengan menggunakan air bersih. Nata de Coco direndam dalam air bersih selama 2-3 hari. Agar rasa asam Nata de Coco hilang perlu direbus hingga selama 10 menit. Hingga tahap ini telah dihasilkan Nata de Coco rasa tawar. Untuk menghasilkan Nata de Coco siap konsumsi yang memiliki rasa manis dengan flavour tertentu perlu dilakukan proses lanjut. Nata de Coco direbus dalam air bergula. Penyiapan air bergula dengan cara menambahkan gula pasir sebanyak 500 gr ke dalam 5 liter air ditambahkan vanili atau flavour agent lain untuk menghasilkan flavour yang diinginkan. Potongan Nata de Coco bentuk dadu dimasukkan kedalam air bergula selanjutnya direbus hingga mendidih selama 15 menit. Nata de Coco didinginkan dan siap untuk dikonsumsi. f. Pengemasan, Kemasan merupakan aspek penting dalam rangka menghasilkan produk Nata de Coco untuk keperluan komersial. Dengan demikian proses pengemasan perlu dilakukan secara teliti dan detai prosesnya sehingga menghasilkan nilai tambah yang optimal dari manfaat dan tujuan pengemasan tersebut. Kemasan terhadap produk Nata de Coco memiliki tujuan sebagai berikut: (a) mengawetkan produk agar bertahan lama tidah rusak; (b) memberikan sentuhan nilai estetika terhadap produk sehingga memiliki daya tarik yang lebih tinggi; (c) Meningkatkan nilai tambah secara ekonomi terhadap produk; (d) Memudahkan proses penyimpanan dan distribusi produk.
25
Pengemasan dapat dilakukan dengan kemasan yang sederhana dengan menggunakan kantung plastik kemasan dengan ukuran bervariasi ½ kg, 1 kg dan seterusnya sesuai dengan keperluan pasar bila pengemasan bertujuan untuk komersial. Kemasan dapat pula dilakukan dengan menggunakan kemasan cup plastik, ukuran aqua cup atau yang lebih besar. Ragam bentuk dan ukuran sangat ditentukan oleh kebutuhan pasar. Untuk
menghasilkan
mempertimbangkan
keawetan
kemasan produk
yang yang
baik dihasilkan
dengan perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) Kemasan harus bersih atau steril; (b) Isi kemasan diusahakan penuh agar tidak ada udara tersisa dalam kemasan sehingga mikroba kontaminan tidak tumbuh. Proses pengemasan produk Nata de Coco dapat dilakukan sebagai berikut; Nata de Coco yang telah direbus dengan penambahan gula dan flavouring agent tertentu didinginkan hingga suhu 40oC (suam-suam kuku). Produk tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam kemasan
plastik
atau
cup
secara
aseptik
untuk
menghindari
kontaminan. Pengisian produk ke dalam kemasan harus penuh agar tidak tersisa udara dalam kemasan sehingga mikroba kontaminan tidak bisa tumbuh. Kemasan selanjutnya ditutup dengan menggunakan sealer. Setelah pengemasan selesai, produk dimasukkan dalam air dingin hingga produk menjadi dingin dan segera ditiriskan. Selanjutnya produk yang telah dikemas dan didistribusikan atau disimpan dalam penyimpan berpendingin agar tetap segar dan lebih awet. 2. Karakteristik Mutu Nata de Coco Pada Hubeis & Kadarisman (2007), mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, flavor (rasa dan bau), aroma, tekstur/rasa di mulut, viskositas/konsistensi; (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik, misalnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral,
26
logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi (tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen). Berdasarkan klasifikasi tersebut, produk pangan hasil fermentasi mempunyai karakteristik penampilan yang berbeda misalnya karakteristik rasa. Secara organoleptik umumnya produk pangan hasil fermentasi mempunyai rasa yang lebih beragam dan berbeda dari produk hasil olahan lainnya. Nata de Coco diproduksi melalui proses proses fermentasi. Tingkat keberhasilan proses fermentasi ini sangat tergantung dari tingkat sterilisasi tempat dan peralatan-peralatan yang dipakai pada proses fermentasi. Tingkat keberhasilan proses fermentasi berkisar antara 80%97,5% tergantung dari sterilisasi tempat produksi. Selain itu, cuaca juga merupakan faktor keberhasilan yang penting karena suhu kamar sangat diperlukan dalam proses fermentasi. (Bank Indonesia, 2010). Industri produk fermentasi termasuk ke dalam industri pangan berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis di mana wawasan agribisnis memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap pengangkutan
dalam
menuju
pencapaian
pengelolaan
kegiatan
pengendalian mutu total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan,
produksi
dan
produktivitas
serta
pemasaran
(http://dedesuryani.worlpress.c0m/2009/02/01/produk-pangan-hasilfermentasi/).
27
Saring
Air Kelapa
Panaskan sampai Masukkan ke Loyang mendidih & Masukkan bahan kimia
Cuka Gula
-
Za
Air Kelapa 50 liter Za 167,5 gr Gula Pasir 418 gr Cuka biang 207,5 ml
Dinginkan ± 7 jam diinokulasi (starter ±120 ml) lalu difermentasi selama 8 hari
Koran
Karet
Tutup dgn Koran & ikat dgn karet
Panen setelah 8 hari
Keberhasilan pembuatan nata lempeng ditandai dgn: - Lempeng tebal berwarna putih - Tidak terdapat cairan/loyang kering - Lempeng nata tidak berjamur, bolong, noda hitam
Nata yang bagus mempunyai tebal ± 1,5-2 cm dengan bobot = 1 kg. Loyang kering
Gambar 7. Alur Proses Pembuatan Lempeng/Lembaran Nata de Coco (Wahyudi et al, 2003)
Air kelapa segar Penyaringan
Penambahan starter gula dan asam glasial Pencampuran
Pembuatan Lempeng Nata
Penyimpanan suhu kamar selama 8-10 hari Panen nata pada air mengalir Pencucian Perebusan selama 30 menit Pemotongan nata Penambahan sirup dan perasa
Pembuatan Produk Jadi (Nata de Coco dalam kemasan)
Pengemasan
Gambar 8. Alur Pembuatan Nata de Coco (Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005)