7
II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu Supriyanto (2014:3) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Tani Desa Mandiri Pangan di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali, menyatakan bahwa pendapatan, pendidikan Kepala Keluarga, kemampuan memenuhi kebutuhan keuangan (simpanan) berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan dengan tingkat signifikasi 10%. Pendapatan dan pendidikan Kepala Keluarga berpengaruh positif, sedangkan
kemampuan
memenuhi
kebutuhan
keuangan
(simpanan)
berpengaruh negatif terhadap tingkat ketahanan pangan. Nilai LR Statistik 62,6053 mempunyai nilai probabilitas 0,0000 pada signifikasi 10%, artinya secara bersama-sama variabel independen berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan. Nilai Z statistik menunjukkan semua variabel independen secara individu berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan, kecuali variabel umur Kepala Keluarga. Berdasarkan uji Independent Sample T Test menunjukkan nilai F hitung 29,96 dengan nilai probabilitas 0,006. Prob <0,10 artinya terdapat perbedaan rata-rata pangsa pengeluaran pangan antara rumah tangga yang ikut dan tidak program (Desa Mandiri Pangan) Demapan yaitu 46,83%, dan 52,13%. Junaidi dkk., (2014:533) dalam penelitiannya yang berjudul Kondisi Sosial Ekonomi Wanita Tani dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Padi di Lahan Rawa Lebak, menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi wanita tani dilihat dari umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga dan luas lahan adalah sebanyak 92,5% wanita tani berumur dikisaran usia produktif, sebanyak 87,5% berpendidikan rendah yaitu hanya sebatas Sekolah Dasar (SD), wanita tani yang mempunyai anggota keluarga lebih dari 5 orang sebanyak 55% dan luas garapan untuk usahatani padi rata-rata seluas 1,2 hektar. Ketahanan pangan rumah tangga wanita tani padi di lahan rawa lebak dilihat dari sisi Pangsa Pengeluaran Pangan (PPP) yaitu sebanyak 69% rumah tangga PPP nya tergolong rendah (<60%) dan
7
8
sebanyak 31% PPP nya tergolong tinggi (≥60%). Faktor sosial ekonomi wanita tani dan faktor lainnya yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga petani padi di lahan rawa lebak adalah umur, luas lahan, pendapatan total rumah tangga dan harga minyak goreng. Dina (2011:12) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo menyimpulkan bahwa rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08% tergolong kurang. Sedangkan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36% tergolong sedang. Berdasarkan sebaran kategori TKE, sejumlah 46,67% rumah tangga termasuk ke dalam kategori kurang. Sedangkan kategori TKP yaitu 43,33% rumah tangga termasuk kategori sedang. Sebanyak 60% rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33% termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Hal ini menunjukkan bahwa lebih banyak rumah tangga yang tahan pangan protein daripada rumah tangga tahan pangan energi. Edward et al. (2015:44) dalam penelitiannya yang berjudul Profiles of Food Security for US Farmworker Households and Factors Related to Dynamic of Change mengelompokkan status ketahanan pangan rumah tangga yang ada di Carolina bagian utara menjadi empat kelompok. Pertama, rumah tangga dengan status ketahanan pangan paling tinggi dengan proporsi sebesar 39,1%. Rumah tangga tersebut tergolong paling aman, dimana tidak ada kekhawatiran baik bagi orang dewasa atau anak-anak akan mengalami kelaparan. Kedua, rumah tangga dengan status ketahanan pangan marginal dengan proporsi sebesar 9,3%. Rumah tangga ini mulai mengkhawatirkan kuantitas makanan. Rumah tangga akan khawatir apabila tidak mempunyai cukup uang untuk membeli makanan yang seimbang. Ketiga, rumah tangga dengan status ketahanan pangan rendah dengan proporsi sebesar 35,1%. Rumah tangga ini akan sangat mengkhawatirkan makanan yang berimbang, terutama untuk anak-anak mereka. Keempat, rumah tangga dengan status ketahanan pangan paling rendah dengan proporsi sebesar 16,5%. Rumah
9
tangga memiliki kekhawatiran akan kehabisan uang apabila digunakan untuk membeli makanan dan hanya dapat digunakan untuk membeli makanan dengan kualitas rendah untuk anak-anak. Berdasarkan penelitian terdahulu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai proporsi pengeluaran pangan dan pola konsumsi rumah tangga miskin di Kecamatan Poncowarno Kabupaten Kebumen. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi merupakan indikator ketahanan pangan, dimana pengeluaran konsumsi untuk pangan lebih mendominasi. Tingginya proporsi pengeluaran konsumsi pangan dapat menunjukkan bahwa terjadinya penurunan kesejahteraan rumah tangga yang akan mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. B. Tinjauan Pustaka 1. Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang dapat digunakan untuk konsumsi manusia sebagai makanan atau minuman. Komoditas pangan harus mengandung zat gizi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Kandungan zat gizi yang terdapat pada komoditas tanaman sangat bermanfaat
bagi
pertumbuhan
dan
juga
perkembangan
manusia
(Purwono dan Heni, 2010:6). Handajani (1994:11) menyatakan pangan adalah semua bahan yang bila dimakan membentuk atau memperbaiki jaringan tubuh, memberikan tenaga, serta mengatur semua proses dalam tubuh. Pangan juga mengandung nilai tertentu bagi kelompok manusia maupun perseorangan seperti; unsur kesehatan, memberikan rasa kenyang, dan memberikan nilai yang berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti perasaan, tingkat sosial, agama dan lain-lain. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya,
sehingga
apabila
seseorang
kekurangan
pangan
maka
kemampuan bertahan hidup mereka akan terganggu (Laura dkk., 1985:1). Wiratakusumah (2001:12) mengartikan pangan sebagai bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan,
10
pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan setiap insan baik secara fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis. Kebutuhan akan pangan dari tahun-ketahun terus mengalami peningkatan. Keseimbangan antara permintaan dan juga penawaran komoditas pangan menjadi indikator penting dalam perencanaan pencapaian ketahanan
pangan.
Proyeksi
kebutuhan
pangan
didasarkan
pada
pertumbuhan penduduk, pendapatan, diversifikasi pangan, perubahan harga dan area lahan garapan yang tersedia. Ketergantungan pangan pokok masyarakat pada beras mengharuskan pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah peningkatan permintaan beras. Kenaikan permintaan dapat menjadi masalah yang besar apabila hanya mengandalkan lahan
sawah
yang
terbatas.
Pengembangan
produksi
juga
perlu
diprioritaskan pada komoditas yang tren defisitnya masih besar yaitu kedelai, gula dan daging (Mulyani dkk., 2011:76). 2. Konsumsi Pangan Tingkat konsumsi pangan kaitannya dengan pendapatan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Pada pendapatan rendah, dimana hampir semua pendapatan yang diperoleh akan dikeluarkan untuk makanan. Tahap ini disebut tahap permulaan
(initial
stage)
daripada
tingkat
konsumsi
pangan.
Karakteristik tahap ini adalah adanya korelasi yang cukup kuat antara pendapatan dan tingkat konsumsi pangan. Apabila pendapatan naik, maka tingkat konsumsi pangan pun akan mengalami kenaikan. Makanan yang dikonsumsi biasanya berupa makanan yang mengandung sumber kalori yang tinggi, tetapi kualitas pangan kurang diperhatikan. Pada tingkat ini biasanya penduduk masih dalam keadaan kekurangan gizi. b. Marginal stage daripada tingkat konsumsi pangan, dimana kenaikan pendapatan tidak memberikan reaksi yang proporsional terhadap tingkat konsumsi pangan. Menjelang akhir tahap ini biasanya penduduk juga masih dalam keadaan kurang gizi.
11
c. Stable stage daripada tingkat konsumsi pangan, dimana kenaikan pendapatan tidak memberikan pengaruh terhadap kenaikan konsumsi pangan. Pada tingkat ini ada kecenderungan mengkonsumsi pangan secara berlebihan, tanpa mempertimbangkan kandungan gizi yang ada didalamnya (Handajani, 1994:20-21). Konsumsi pangan masyarakat harus memperhatikan beberapa aspek, tidak hanya masalah kuantitas tetapi juga kualitas. Walaupun secara kuantitas terpenuhi, namun apabila kualitasnya kurang baik maka akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Kualitas konsumsi pangan dapat dilihat berdasarkan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas konsumsi pangan merupakan suatu nilai untuk menentukan apakah pangan tersebut bergizi atau tidak. Kualitas pangan dapat dikatakan baik apabila skor PPH mendekati 100 (Ariani, 2010:21-25). Konsumsi pangan pada usia dewasa (19-49 tahun) secara keseluruhan berasal dari sembilan kelompok pangan yang terdiri dari padi-padian, umbiumbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah atau biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Konsumsi pangan terbesar yaitu pada kelompok pangan padi-padian yaitu sekitar 99,4% sedangkan konsumsi pangan terendah yaitu pada kelompok pangan buah atau biji berminyak yaitu sekitar 2,0%. Tingginya konsumsi pangan pada kelompok padi-padian disebabkan karena kelompok pangan tersebut merupakan makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Rendahnya konsumsi pada kelompok pangan minyak dan lemak akan underestimate karena sebagian besar minyak dan lemak yang dikonsumsi dalam bentuk makanan jadi (Anwar dan Hardinsyah, 2014:54-55). 3. Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Pengeluaran pangan masyarakat dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok pangan dan non pangan. Kelompok pengeluaran pangan meliputi padi-padian, daging, telur, susu, ikan, sayur, buah, dan makanan serta minuman jadi. Kelompok pengeluaran non pangan meliputi perumahan, fasilitas rumah tangga, serta barang dan jasa. Pergeseran pola pengeluaran
12
dari pangan ke non pangan disebabkan karena elastisitas permintaan terhadap pangan pada umumnya rendah, sebaliknya permintaan terhadap barang non pangan tergolong tinggi. Keadaan ini akan terlihat jelas pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi pangannya tercukupi, dimana peningkatan pendapatan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan non pangan (Kuncoro, 2007:18). Sugiarto (2008:189) menyatakan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga biasanya berupa kebutuhan pangan dan non pangan yang dipengaruhi oleh pendapatan. Pendapatan yang relatif rendah membuat mereka memprioritaskan pengeluaran untuk bahan pangan dibandingkan dengan non pangan. Peningkatan pendapatan membuat pengeluaran pangan menurun, sebaliknya pengeluaran untuk non pangan akan meningkat. Tingginya tingkat pendapatan rumah tangga tidak selalu diikuti oleh peningkatan jumlah pangan pokok yang dikonsumsinya. Peningkatan pendapatan akan memberi peluang bagi masing-masing rumah tangga untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan sehingga dapat meningkatkan kualitas gizi keluarganya. Kondisi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat, apakah pendapatan rumah tangga hanya mampu dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja atau kebutuhan pangan dan non pangan (Suyastiri, 2008:54). 4. Proporsi Pengeluaran Pangan Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Proporsi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan indikator untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan terhadap total pengeluaran maka semakin baik tingkat perekonomian masyarakat. Persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran biasanya kurang dari 50% untuk negara maju, tetapi untuk negara berkembang seperti Indonesia persentasenya lebih dari 50%, namun tingkat kesejahteraan masyarakat terus membaik selama beberapa tahun terakhir (BPS, 2006: 15-16).
13
Pengetahuan tentang besarnya proporsi masing-masing jenis pangan terhadap struktur pengeluaran pangan dapat mengidentifikasi perananan pangan tersebut dalam alokasi pendapatan rumah tangga. Informasi tersebut dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan di bidang pangan dan gizi, terutama dikaitkan dengan kebijakan harga pangan maupun program penyediaan dan distribusi pangan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pangsa pengeluaran jenis pangan tertentu merupakan proporsi dari jumlah komoditas atau jenis pangan yang dikonsumsi dikalikan dengan harga pangan tersebut terhadap pendapatan rumah tangga yang dialokasikan untuk pangan secara keseluruhan. Proporsi pengeluaran pangan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh beras, terutama bagi rumah tangga rawan pangan. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang relatif rendah mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi beras dibandingkan makanan yang lain. Sedangkan proporsi pengeluaran pangan yang lain seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar dan sagu sangat kecil karena dikonsumsi sebagai makanan pokok hanya di sebagian kecil wilayah Indonesia (Rachman dan Ariningsih, 2008:246-247). Dampak dari guncangan pendapatan dan harga barang terhadap kesejahteraan individu atau rumah tangga di negara-negara miskin sangat besar. Individu atau rumah tangga akan berusaha untuk menyeimbangkan efek dari guncangan tersebut dengan menjual aset yang mereka miliki untuk konsumsi pangan. Akibatnya, proporsi pengeluaran pangan semakin meningkat karena sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok (Yonas dan Mans, 2012:148). 5. Kemiskinan Kemiskinan merupakan kondisi kekurangan bahan pokok, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan sebagainya. Suatu negara yang terperangkap dalam belenggu kemiskinan akan sangat susah untuk keluar. Perangkap kemiskinan merupakan serangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kemiskinan. Keadaan disuatu negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak
14
hambatan dalam upaya pembangunan ekonomi. Walaupun pada saat krisis bantuan kemanusiaan dari luar berupa makanan sering terjadi, namun hal tersebut relatif kurang membantu mencegah terjadinya krisis. Sehingga pemerintah lebih memilih untuk fokus dalam memerangi perangkap kemiskinan
daripada
mengharapkan
bantuan
dari
pihak
luar
(John dan Christopher, 2001:678). Kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok. Mereka dapat dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pakaian, pangan dan tempat tinggal. Garis kemiskinan sebagai penentu batas minimum pendapatan bisa dipengaruhi oleh persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, posisi manusia dalam lingkungan sekitar dan kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi (Salim, 1982:41). Ciri-ciri kemiskinan antara lain: (1) kekurangan nilai gizi makanan yang berada di bawah normal, namun hal ini bukan berarti kurang makan tetapi makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gizi yang cukup sesuai dengan standar gizi yang telah ditetapkan; (2) kondisi tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan karena tempatnya yang sempit, pengap dan kotor; (3) ketiadaan biaya yang digunakan untuk sekolah, sehingga pendidikan baik formal maupun non formal masih kurang; (4) kondisi kesehatan yang menyedihkan akibat kurangnya biaya untuk pengobatan, hal ini akan membuat sakit yang dideritamenjadi lebih parah dari sebelumnya; (5) kurangnya perhatian orang tua kepada anaknya, sehingga pergaulan mereka tidak terkontrol (Sumardi dan Evers, 1982:81). Menurut akar penyebab yang melatarbelakanginya, kemiskinan dibedakan menjadi dua kategori. Pertama, kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang disebabkan karena sumber-sumber daya yang langka dan atau karena kurangnya pengetahuan tentang teknologi. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin adalah secara alamiah sudah ada dan bukan karena ada individu atau kelompok di dalam masyarakat
15
yang lebih miskin dari yang lain. Walaupun dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut mungkin terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi perbedaan tersebut akan diperlunak oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya untuk meredam adanya kecemburuan sosial antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Kedua, kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat individu atau kelompok masyarakat tidak dapat menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Kemiskinan buatan pada kenyataannya terjadi bukan karena individu atau anggota keluarganya malas bekerja atau karena terus menerus sakit. Kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural ini terjadi karena struktur sosial yang berlaku mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Kemiskinan struktural ini biasanya terjadi pada masyarakat dimana terdapat perbedaan yang cukup tinggi antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dengan kemewahan. Masyarakat
miskin
walaupun
merupakan
mayoritas
terbesar
dari
masyarakat, dalam kenyataannya mereka tidak mempunyai kekuatan untuk memperbaiki nasibnya. Sedangkan minoritas kecil masyarakat kaya raya biasanya menggunakan kekuatannya untuk memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan terutama dari segi ekonomi dan politik. Selama proses tersebut masih terus berlangsung di dalam masyarakat, selama itu pula
diperkirakan
struktur
sosial
yang
berlaku
masih
bertahan.
Akibatnya terjadilah apa yang dimaksud dengan kemiskinan struktural (Suyanto, 2001:29-34). Kemiskinan,
kelaparan
dan
kekurangan
gizi
saling
terkait.
Kemiskinan merupakan kondisi dimana individu atau rumah tangga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal tersebut disebabkan karena daya beli mereka yang rendah dan menyebabkan individu mengalami kelaparan. Kelaparan yang terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan kurangnya asupan gizi yang diterima tubuh. Kekurangan gizi pada tubuh
16
akan berdampak pada pertumbuhan dan juga perkembangan individu (Jere et al., 2004:1). 6. Rumah Tangga Miskin Tingkat kesejahteraan keluarga dikelompokkan menjadi lima tahapan, yaitu Tahapan Keluarga Pra Sejahtera (KPS), Tahapan Keluarga Sejahtera I (KS I), Tahapan Keluarga Sejahtera II (KS II), Tahapan Keluarga Sejahtera III (KS III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus). Tahapan Keluarga Pra Sejahtera (KPS) yaitu keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari 5 indikator Keluarga Sejahtera I (KS I) atau indikator kebutuhan dasar keluarga (basic needs). Tahapan Keluarga Sejahtera I (KS I) yaitu keluarga mampu memenuhi 5 indikator tahapan KS I, tetapi tidak memenuhi salah satu dari 8 indikator Keluarga Sejahtera II (KS II) atau indikator kebutuhan psikologis (psychological needs) keluarga. Tahapan Keluarga Sejahtera II (KS II) yaitu keluarga yang mampu memenuhi 5 indikator tahapan KS I dan 8 KS II, tetapi tidak memenuhi salah satu dari 5 indikator Keluarga Sejahtera III (KS III) atau indikator kebutuhan pengembangan (developmental needs) keluarga. Tahapan Keluarga Sejahtera III (KS III) yaitu keluarga yang mampu memenuhi 5 indikator tahapan KS I, 8 indikator KS II dan 5 indikator KS III, tetapi tidak memenuhi salah satu dari 2 indikator Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus) atau indikator aktualisasi diri (self esteem) keluarga. Tahapan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus) yaitu keluarga yang mampu memenuhi keseluruhan dari 5 indikator tahapan KS I, 8 indikator KS II, 5 indikator KS III, serta 2 indikator tahapan KS III (Nurcahyani dkk., 2015:46). Kondisi perumahan pada rumah tangga miskin sebagian besar tidak permanen, lantainya berupa tanah, tidak mempunyai tempat buang air besar, menggunakan pompa air dan tidak dialiri listrik PLN. Mengenai penerimaan rumah tangga di pedesaan rata-rata sebesar Rp. 57.400,- per hari. Pendidikan kepala rumah tangga sebagian besar juga masih SD kebawah. Kebutuhan pokok mereka yang utama jelas pangan dan menjadikan beras sebagai makanan utamanya. Urutan pengeluaran rumah tangga miskin
17
berdasarkan jenis kebutuhan dari yang paling penting adalah sebagai berikut; pangan, perumahan, sandang, kesehatan, transportasi dan pendidikan (Mulyanto dan Hans, 2009:26-31). Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dan kesehatan. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rumah tangga masuk dalam kemiskinan a. Jumlah anggota rumah tangga yang besar, biasanya jumlah anggota miskin memiliki 6,3 orang anggota keluarga sedangkan rumah tangga tidak miskin rata-rata memiliki 4,3 orang anggota keluarga. Rumah tangga miskin memiliki anggota keluarga lebih banyak 2 orang dibandingkan keluarga tidak miskin. Semakin besar besar jumlah anggota keluarga akan semakin besar pula pendapatan yang dikeluarkan untuk biaya hidup sehingga akan menyebabkan kondisi menjadi semakin miskin. b. Pendidikan kepala rumah tangga yang rendah, kebanyakan kepala rumah tangga hanya lulus SD atau bahkan tidak lulus SD. Persoalan ekonomi, jarak yang jauh ke tempat pendidikan dan persepsi masyarakat bahwa mampu baca tulis dan berhitung sudah cukup merupakan alasan utama tidak melanjutkan pendidikan. Keterkaitan pendidikan dan kemiskinan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia dan pentingnya akan masa depan. c. Masih menggantungkan hidup mereka pada sektor pertanian padahal hanya mempunyai lahan yang sempit atau bahkan tidak mempunyai lahan. Kepemilikan lahan pertanian merupakan masalah utama rumah tangga miskin. Ketiadaan lahan memaksa mereka untuk menjadi pekerja di kebun atau sawah milik orang lain misalnya dengan sistem bagi hasil. Hasil yang diperoleh adalah hasil panen dikurangi dengan biaya selama bertanam kemudian dibagi dengan pemilik lahan. Asset dapat diartikan
18
sebagai sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat dan mempunyai manfaat ekonomi serta dapat diukur dalam satuan uang. Kemiskinan terlihat dari ketimpangan distribusi pendaptan antar kelompok masyarakat. Meratanya distribusi penguasaan lahan akan sangat berpengaruh terhadap distribusi pendapatan masyarakat, karena lahan merupakan salah satu faktor produksi utama dalam menciptakan pendapatan keluarga. d. Tempat tinggal yang memprihatinkan. Mereka tinggal dirumah dengan dinding papan bermutu rendah dan lantai yang sebagian besar tanah. Bangunan yang mereka tempati tersebut berdiri diatas tanah milik orang lain dengan status menumpang. Tempat tinggal sangat mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Suasana atau tempat tinggal yang bersih, sehat dan teratur sesuai dengan selera akan menimbulkan suasana tenang dan nyaman bagi penghuninya (Sa’diyah dan Arianti, 2012:3-4). FAO (2009) dalam Akter dan Basher (2014:150) menyatakan efek gabungan dari harga pangan dan guncangan penghasilan yang timbuldari pangan global dan krisis keuangan telah diklaim penyebab kemungkinan peningkatan tajam dari kelaparan dan kemiskinan di negara berpenghasilan rendah. Daya beli masyarakat yang rendah sangat rentan terhadap kondisi harga pangan, kenaikan harga pangan sedikit saja akan membuat daya beli masyarakat menjadi berkurang, sehingga mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Penurunan ekonomi global yang disebabkan oleh krisis keuangan membuat kesempatan kerja dan pendapatan menjadi berkurang, sehingga kemampuan rumah tangga untuk membeli makanan dengan harga yang lebih tinggi menjadi terbatas. Akhirnya, mereka melakukan penjualan terhadap aset produktif dan berhutang untuk mencukupi kebutuhan mereka selama krisis yang mana akan memaksa mereka untuk masuk dalam belenggu kemiskinan dalam jangka panjang pasca-krisis kemiskinan.
19
7. Ketahanan Pangan Moya et al. (2013:102) menyatakan konsep ketahanan pangan secara tradisional telah diterapkan dalam masalah kelaparan di negara-negara miskin. Konsep ketahanan pangan mengalami perubahan dari yang tadinya beranggapan bahwa swasembada nasional cadangan biji-bijian sebagai solusi untuk kelaparan di negara-negara miskin, berubah menjadi ketersediaan dan akses pangan. Konsep ketahanan pangan mengandung tiga dimensi yang saling terkait, yaitu ketersediaan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap pangan dan stabilitas harga pangan. Suatu negara dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang kurang baik apabila salah satu dari ketiga konsep tersebut tidak terpenuhi. Ketersediaan pangan yang cukup baik ditingkat nasional maupun regional, tetapi jika tidak dibarengi dengan kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan tersebut maka ketahanan pangan masih dikatakan tidak merata. Ketersediaan pangan juga dapat dikatakan tidak cukup kuat apabila ketersediaan dan aksesibilitas masyarakat sudah tercukupi, namun stabilitas harga pangan belum dapat terpenuhi (Arifin, 2007:152-153). Ketahanan pangan bagi rumah tangga dapat tercermin dari terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, sehingga kebutuhan akan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral dapat terpenuhi. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, berarti bebas dari pencemaran biologi, kimia maupun benda lain yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Terpenuhinya pangan dengan kondisi merata, berarti pangan tersebut harus tersedia secara merata dan dapat diperoleh setiap saat. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau baik dari segi kemudahan rumah tangga untuk memperoleh pangan tersebut maupun keterjangkauan rumah tangga terhadap harga yang ditawarkan (Adriani dan Bambang 2012:267-268). Ketahanan pangan adalah kondisi dimana seseorang memiliki jaminan kemudahan dalam mendapatkan pangan, dimana selalu tersedia pangan yang cukup tanpa tergantung dari musim, dengan kualitas dan keamanan
20
pangan yang terjaga. Status ketahanan pangan rumah tangga terbagi menjadi empat. Status pertama adalah tahan pangan, dimana proporsi pengeluaran pangan ≤60% dan konsumsi energi >80% AKE atau rumah tangga tersebut tidak terdapat indikasi adanya kerawanan pangan yaitu proporsi pengeluaran pangan >60% dan konsumsi energi ≤80%. Status kedua adalah rawan pangan tanpa kelaparan, dimana rumah tangga memiliki beberapa indikator terjadinya rawan pangan serta terdapat sedikit atau tidak sama sekali indikator terjadimya kelaparan. Status ketiga adalah rawan pangan dengan tingkat kelaparan sedang, dimana rumah tangga memiliki labih banyak indikator terjadinya rawan pangan, dan terdapat lebih dari satu indikator terjadinya kelaparan pada anggota keluarga yang sudah dewasa (lebih dari 18 tahun). Status keempat adalah rawan pangan dengan tingkat kelaparan lebih
parah,
terjadinya
dimana
kelaparan
kondisi pada
rumah
anak-anak
tangga dan
terdapat
orang
indikator
dewasa
48-49
(Widayaningsih, 2012:48). Kondisi alam yang buruk, input pertanian yang rendah dan tekanan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi ketahanan pangan. Ketersediaan pangan yang cukup dengan kualitas yang tepat merupakan salah satu indikator kunci dari ketahanan pangan. Peningkatan produksi padi-padian menyebabkan peningkatan ketersediaan pangan. Ketahanan pangan dapat dicapai apabila individu atau rumah tangga memiliki akses yang cukup setiap saat. Variabel sosio-ekonomi merupakan faktor yang penting
dalam
mempengaruhi
produksi
padi-padian
karena
dapat
menentukan tingkat ketahanan pangan (Jiang et al., 2012:211-215). Pinstru dan Andersen (2009:6) menyatakan ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan dan keterjangkauan pangan. Ketahanan pangan dapat dicapai apabila seorang individu atau rumah tangga memiliki akses yang cukup setiap saat serta memiliki akses fisik dan juga ekonomi untuk mendapatkan makanan yang aman dan bergizi sehingga kebutuhan makanan dapat tercukupi.
21
C. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah Kebutuhan pokok manusia salah satunya adalah pangan yang harus tersedia setiap saat sehingga dapat dikonsumsi untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Konsumsi pangan masyarakat harus memperhatikan beberapa aspek, tidak hanya masalah kuantitas tetapi juga aspek kualitas pangan. Walaupun secara kuantitas terpenuhi namun pangan yang dikonsumsi memiliki kualitas yang kurang baik akan memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional tidak menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana setiap individu atau rumah tangga dapat memperoleh pangan yang cukup bagi seluruh anggota keluarganya. Besarnya pendapatan yang diperoleh akan menentukan total pengeluaran konsumsi rumah tangga. Kondisi pendapatan yang terbatas akan lebih mementingkan kebutuhan konsumsi pangan dibandingkan konsumsi non pangan. Peningkatan pendapatan menyebabkan terjadinya pergeseran pola pengeluaran pangan rumah tangga dari konsumsi pangan menuju ke arah konsumsi non pangan. Semakin menigkatnya pendapatan rumah tangga maka proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin menurun sedangkan konsumsi untuk kebutuhan non pangan akan mengalami peningkatan seiring dengan naiknya pendapatan. Konsumsi pangan oleh rumah tangga tidak hanya memperhatikan kuantitas saja tetapi kualitas pangan juga diperhatikan terutama tingkat konsumsi energi dan juga protein. Proporsi pengeluaran pangan dantingkat konsumsi energidapat dijadikan indikator ketahanan pangan karena mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai ukuran ketahanan pangan yaitu tingkat konsumsi, keanekaragaman pangan, pendapatan, memiliki ciri dapat diukur dengan angka, cukup sederhana untuk memperoleh dan menafsirkannya, objektif dan responsif terhadap perubahan-perubahan akibat adanya
perubahan
pembangunan.
kondisi
perekonomian,
kebijakan
dan
program
22
Adapun skema kerangka berpikir dan pendekatan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pendapatan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan PoncowarnoKabupaten Kebumen Total Pengeluaran Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Poncowarno Kabupaten Kebumen
Pengeluaran Bukan Pangan
Proporsi Pengeluaran Pangan
Pengeluaran Pangan
Konsumsi Pangan
Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Energi
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamata Poncowarno Kabupaten Kebumen
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah D. Asumsi Diasumsikan jika energi terpenuhi dari beragam pangan maka zat gizi lain juga terpenuhi. E. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Harga barang baik pangan dan bukan pangan berdasarkan harga saat penelitian dilakukan yaitu pada bulan Maret-Mei 2016.
23
2. Pengeluaran pangan dan pengeluaran bukan pangan masing-masing dikonversikan kedalam rata-rata pengeluaran perbulan. F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Definisi operasional dan pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan maupun minuman (Undang-Undang No.18 Tahun 2012).
2.
Rumah Tangga Miskin menurut BKKBN, Program Keluarga Sejahtera sesuai Inpres No. 3 tahun 1996, miskin disebut dengan istilah “kurang sejahtera”, yaitu keluarga yang tergolong Pra-Sejahtera dan Sejahtera I.
3.
Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) sebagai Keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan.
4.
Keluarga Sejahtera I (KS-I) adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal.
5.
Konsumsi pangan adalah sejumlah makanan atau minuman yang dimakan atau diminum oleh penduduk atau seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan fisiknya.
6.
Konsumsi non pangan adalah sejumlah barang atau jasa yang dikonsumi oleh rumah tangga miskin yang terdiri dari perumahan, barang dan jasa, pendidikan, kesehatan, sandang, barang tahan lama, pajak, asuransi dan kebutuhan sosial.
7.
Pengeluaran pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam satuan rupiah. Pengeluaran pangan rumah tangga terdiri dari pengeluaran untuk padi-
24
padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbubumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, tembakau dan sirih yang dinyatakan dalam rupiah per bulan. 8.
Pengeluaran non pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan diluar pangannya dalam satuan rupiah. Pengeluaran non pangan terdiri dari pengeluaran untuk perumahan, barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang tahan lama, pajak dan asuransi, keperluan pesta dan upacara, yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.
9.
Pengeluaran total rumah tangga adalah sejumlah uang yang dikeluarkan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya yang diperoleh dari penjumlahan pengeluaran pangan dengan pengeluaran non pangan dalam satuan rupiah per bulan.
10. Proporsi pengeluaran pangan adalah persentase perbandingan antara jumlah pengeluaran yang digunakan untuk pangan dengan jumlah total keseluruhan pengeluaran yang dikeluarkan, yang dinyatakan dalam % (persen). 11. Konsumsi Energi adalah sejumlah energi pangan yang dinyatakan dalam kilokalori (kkal) yang dikonsumsi per orang per hari. 12. Konsumsi Protein adalah sejumlah protein yang dinyatakan dalam gram (gr) yang dikonsumsi per orang per hari. 13. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi aktual dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan dan dinyatakan dalam % (persen). 14. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah persentase antara perbandingan konsumsi protein aktual dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan dan dinyatakan dalam % (persen). 15. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi atau energi pangan yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang, untuk memenuhi kebutuhanya. Dalam penelitian ini nilai kecukupan gizi
25
(AKG) berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia. 16. Nutrisurvey adalah aplikasi untuk menganalisis kandungan zat gizi bahan makanan dan atau resep makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. 17. Ketahanan Pangan Rumah Tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU RI No.18 Tahun 2012). Dalam penelitian ini ketahanan pangan tingkat rumah tangga dilihat dari proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran dan tingkat konsumsi energi (TKE). 18. Recall adalah suatu metode pengukuran konsumsi makanan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menyatakan dalam bentuk Ukuran Rumah Tangga (URT), dari URT jumlah pangan dikonversikan kedalam satuan berat (gram) dengan menggunakan daftar URT yang umum berlaku atau dibuat sendiri pada saat survey.